Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Hasil Belajar Matematika

2.1.1.1 Hakikat Matematika di SD

Berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Tingkat SD / MI


yang terdapat pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah bahwa
matematika merupakan ilmu yang universal serta dapat dijadikan sebagai dasar
dalam perkembangan teknologi modern, serta berperan penting dalam berbagai
macam disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia. Pesatnya perkembangan
dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini berlandaskan dari
perkembangan matematika dibidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang
maupun matematika diskrit. Agar dapat digunakan dalam menguasai sekaligus
mencipta teknologi di masa depan diperlukan adanya penguasaan matematika
yang kuat sejak dini.
Menurut Ismail dkk (Hamzah, 2014: 48) matematika merupakan ilmu yang
membahas angka-angka dan perhitungannya, membahas masalah-masalah
numerik, mengenai kuantitas dan besaran, mempelajari hubungan pola, bentuk dan
struktur, sarana berpikir, kumpulan sistem, struktur dan alat. Hal ini berarti bahwa
objek yang dibahas dalam matematika hanyalah pada permasalah angka saja, baik
dalam permasalahan angka-angka yang memiliki nilai maupun sebagai sarana
dalam memecahkan suatu masalah.

Menurut Wahyudi dan Kriswandani (2013: 10) matematika adalah ilmu


pengetahuan yang mempelajari konsep – konsep abstrak yang disusun dengan
menggunakan symbol dan merupakan bahasa yang eksak, cermat, dan terbebas dari
emosi.
Berdasarkan uraian dari pendapat ahli tersebut Matematika merupakan
kegiatan manusia yang mengkaji berbagai benda abstrak yang berkaitan dengan

6
7

angka-angka yang digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari


dan juga digunakan sebagai pengembang ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

2.1.1.2 Pembelajaran Matematika di SD

Pembelajaran matematika merupakan komunikasi dua arah, mengajar


dilakukan oleh pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh
peserta didik. Pembelajaran didalamnya mengandung makna belajar dan mengajar
atau merupakan kegiatan belajar mengajar. Belajar tertuju kepada apa yang
dilakukan oleh seorang sebaga subjek menerima pelajaran, sedangkan mengajar
berorientasi kepada pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi
pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu
kegiatan pada saat terjai interaksi antara guru dengan siswa, serta anata siswa
dengan siswa didalam pembelajaran matematika sedang berlangsung.
Menurut Corey (Susanto, 2013), pemelajaran adalah suatu proses dimana
lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta
dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan
respon terhadap situasi tertentu. Pembelajaran dalam pandangan Corey sebagai
upaya menciptakan kondisi dan lingkungan belajar yang kondusif sehingga
memungkinkan siswa berubah bertingkah laku.
Adapun menurut Dimyati (Susanto, 2013), pembelajaran adalah kegiatan
guru secara terprogram dalam desain intruksional, untuk membuat siswa belajar
secara aktif, yang menekankan pada penyediaan sumber belajar. Pembelajaran
adalah aktivitas guru dalam merancang bahan pengajar agar proses pembelajaran
dapat berlangsung secara efektif, yakni siswa dapat belajar secara aktif dan
bermakna.
Menurut Ahmad Susanto (2013 :186) Pembelajaran matematika adala suatu
proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru unruk mengembangkan
kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa,
serta dapat meningkatkan kemampuan mengkrontruksi pengetahuan baru sebagai
upaya meningkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika.
8

Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang


mengandung dua jenis kegiatan tidak terpisahkan. Kegiatan tersebut adalah
belajar dan mengajar. Kedua aspek ini berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu
kegiatan pada saat terjadi interaksi antara siswa dengan guru, antara siswa dengan
siswa, dan antara siswa dengan lingkungan di saat pembelajaran matematika
sedang berlangsung.

2.1.1.3 Tujuan Pembelajaran Matematika di SD

Menurut Ahmad Susanto (2013 :189) Tujuan umum pendidikan matematika


di SD adalah agar siswa mampu dan terampil menggunakan matematika. Adapun
tujuan matematika di SD secara khusus menurut Depdiknas (Ahmad Susanto,
2013:190) sebagai berikut,

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep,


dan mengaplikasikan konsep algoritme
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan
solusi yang diperoleh
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media
lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah
5. Memiliki sikap menghargai penggunaan matematika dalam kehidupan
sehari-hari

2.1.1.4 Karakteristik Siswa di SD

Menurut Havighurst (Ahmad Susanto,2013) pada masa kanak-kanak akhir


dan anak sekolah, yaitu usia 6-12 tahun, memiliki tugas perkembangan sebagai
berikut.

1. Belajar ketrampilan fisik untuk pertandingan biasa sehari-hari


9

2. Membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri sebagai


organisme yang sedang tumbuh berkembang
3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebayanya
4. Belajar peranan sosial yang sesuai sebagai pria atau wanita
5. Mengembangkan konsep-konsep yang perlu bagi kehidupan sehari-hari
6. Mengembangkan kata hati, moralitas dan suatu skala nilai-nilai
7. Mencapai kebebasan pribadi
8. Mengembangkan sikap-sikap terhadap kelompok-kelompok dan
institus-institusi sosial

2.1.2 Definisi Belajar Menurut Konstruktivisme

Menurut Thobroni (2015:93), teori kontruktivisme bukanlah teori


pendidikan, teori ini membahas mengenai bagaimana proses terbentuknya
pengetahuan manusia. Menurut teori ini, pembentukan pengetahuan terjadi sebagai
hasil kontrusi manusia atau realitas yang dihadapinya.

Menurut kaum kontruktivis (Thobroni, 2015:93), menganggap bahwa


belajar merupakan proses aktif siswa mengonstruksi pengetahuan. Proses tersebut
dicirikan oleh beberapa hal sebagai berikut.

a. belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa
yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Kontruksi makna ini
dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punya.
b. Kontruksi makna merupakan suatu proses yang berlangsung terus
menerus
c. Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman belajar dengan dunia fisik
dan lingkungan siswa

Piaget (Thobroni, 2015:93), mengatakan bahwa kontruktivisme adalah


pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi dan
akomodasi. Asimilasi adalah proses dimana anak mengevaluasi dan mencoba
memahami informasi baru. Akomodasi adalah proses dimana anak memperluas dan
10

memodifikasi representasi-representasi mental merekan tentang dunia berdasarkan


pengalaman-pengalaman baru.

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli, dapat disimpulkan bahwa teori


belajar kontruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka, bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas
apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.

2.1.2.1Definisi Hasil Belajar

Sudjana (2009:22) mengungkapkan bahwa hasil belajar adalah suatu


kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.
Hasil belajar ini digunakan untuk mengukur ketercapaian tujuan pembelajaran yang
telah ditetapkan sebelum siswa mengikuti kegiatan pembelajaran.

Menurut Suprijono (2012:5) hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-


nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan ketrampilan. Setiap guru
pasti memiliki keinginan agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang
dibimbingnya. Oleh karena itu guru harus memiliki hubungan dengan siswa yang
dapat terjadi melalui proses belajar mengajar. Setiap proses belajar mengajar
keberhasilannya diukur dari seberapa jauh hasil belajar yang dicapai siswa.

Dimiyati dan Mujiono (2009:20) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah


suatu pencapaian akhir dari suatu proses belajar yang dilakukan. Hasil belajar ini
didapatkan dari evalusai yang dilakukan oleh guru dan hasilnya dapat berupa
dampak pengiring dan dampak pengajaran yang saling berkaitan. Kedua dampak
tersebut sangat bermanfaat bagi siswa dan guru.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas bahwa hasil belajar adalah adanya
perubahan pada diri siswa yang dapat diukur maupun diamati dalam perubahan
pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Hasil belajar yang penulis amati
berupa nilai evaluasi disetiap akhir pembelajaran, sehingga siswa dikatakan
berhasil apabila hasil tes diatas KKM atau sama dengan KKM yang telah
ditentukan.. Perubahan tersebut mencakup semua perubahan yang bersifat
progresif yang diharapkan kearah yang lebih baik. Bagi seorang siswa hasil
11

belajar ini dapat dilihat melalui perubahan yang terjadi pada seorang siswa mulai
dari belum pandai setelah belajar maka menjadi pandai. Perubahan ini tentunya
setelah siswa berinteraksi dengan lingkungannya yang diukur melalui tes, tugas,
pengamatan, atau evaluasi.

2.1.2.2 Ranah Hasil Belajar

Menurut Benyamin Bloom (Nana Sudjana, 2016 : 22) hasil belajar terbagi menjadi
3 ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Berikut
penjelasan dari ketiga ranah hasil belajar.

1. ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6
aspek, yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan
evaluasi
2. ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari 5, yaitu penerimaan,
jawaban, penilaian, organisasi, dan internalisasi
3. ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan
kemampuan bertindak. Ada 6 aspek ranah psikomotorik yaitu gerakan
reflek, ketrampilan gerakan dasar, ketrampilan perseptual, keharmonisan
atau ketepatan, gerakan ketrampilan komplek, gerak ekspresif dan
interprektif

2.1.2.3 Definisi Hasil Belajar Matematika dalam Penelitian

Hasil belajar adalah adanya perubahan pada diri siswa yang dapat diukur
maupun diamati dalam perubahan pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Hasil
belajar yang penulis amati berupa nilai evaluasi disetiap akhir pembelajaran,
sehingga siswa dikatakan berhasil apabila hasil tes diatas KKM atau sama dengan
KKM yang telah ditentukan.. Pengukuran hasil belajar yang diperoleh siswa dalam
kegiatan pembelajaran di dalam kelas dapat dilakukan dengan 2 teknik yaitu teknik
Tes dan Non Tes. Tekni Tes dapat dilakukan dengan pemberian tes evaluasi pada
akhir pembelajaran, sedangkan non tes dilakukan dengan melakukan observasi dan
dokumentasi.
12

Pada penelitian ini, hasil belajar matematika yang diperoleh siswa dapat
dilihat dari perolehan nilai kognitif setelah siswa melakukan tes evaluasi, karena
dengan nilai kognitif peneliti dapat mengetahui seberapa besar peningkatan hasil
belajar yang diperoleh siswa.

2.1.2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hasil belajar, menurut


Wasliman (2007:158) hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik adalah hasil
interaksi dari berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Berikut uraian
dari masing-masing kelompok faktor tersebut.
a. Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor yang bersumber dari dalam diri peserta
didik, yang mempengaruhi kemampuan belajarnya. Faktor internal ini meliputi:
kecerdasan, kebiasaan belajar, motivasi belajar, ketekunan, minat dan perhatian,
sikap, serta kondisi fisik dan kesehatan.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar diri peserta didik
yang mempengaruhi hasil belajar yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat.

2.1.3 Model Pembelajaran TSTS

2.1.3.1 Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS (Two Stay Two Stray)

Menurut Yusritawati (2009), model pembelajaran kooperatif tipe


TSTS (Two Stay Two Stray) merupakan model pembelajaran berkelompok
yang memberikan kesempatan kepada setiap kelompok untuk membagikan
informasinya ke kelompok lain agar siswa dapat saling bekerjasama,
bertanggung jawab, saling membantu memecahkan masalah dan untuk
bersosialisasi dengan baik.
Sejalan dengan pendapat tersebut Lie (2002:61), mendefinisikan
model pembelajaran kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two Stray) merupakan
salah satu model kooperatif yang memberikan kesempatan kepada
kelompok untuk membagikan hasil dan informasi ke kelompok lain.
13

2.1.3.2 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe TSTS (Two Stay Two


Stray
Menurut Lie (2006:61) adapun langkah-langkah model pembelajaran
kooperatif tipe TSTS (Two Stay Two Stray) adalah sebagai berikut.
1. Guru membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap kelompoknya
terdiri dari 4 siswa. Kelompok yang dibentuk merupakan kelompok yang
heterogen.
2. Guru memberikan sub pokok bahasan pada tiap-tiap kelompok untuk dibahas
bersama-sama dengan anggota kelompok lain.
3. Siswa bekerja sama dengan anggota kelompok
4. Setelah selesai, dua orang dalam masing-masing kelompok meninggalkan
kelompoknya untuk bertamu ke kelompok lain
5. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan
informasi mereka ke tamu mereka
6. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan
temuan mereka dalam kelompok lain
7. Kelompok mencocokan dan membahas hasil-hasil kerja mereka
8. Masing-masing kelompok mempresentasikan didepan kelas
2.1.3.3 Tahapan-tahapan Dalam Model Pembelajaran TSTS dalam Penelitian

Pembelajaran kooperatif model TSTS terdiri dari beberapa tahapan sebagai


berikut:

1. Persiapan

Pada tahap persiapan ini, hal yang dilakukan guru adalah membuat silabus
dan sistem penilaian, desain pembelajaran, menyiapkan tugas siswa dan
membagi siswa menjadi beberapa kelompok dengan masing-masing anggota 4
siswa dan setiap anggota kelompok harus heterogen berdasarkan prestasi
akademik siswa dan suku.
14

2. Presentasi Guru

Pada tahap ini guru menyampaikan indikator pembelajaran, mengenal dan


menjelaskan materi sesuai dengan rencana pembelajaran yang telah dibuat.

3. Kegiatan Kelompok

Pada kegiatan ini pembelajaran menggunakan lembar kegiatan yang berisi


tugas-tugas yang harus dipelajari oleh tiap-tiap siswa dalam satu kelompok.
Setelah menerima lembar kegiatan yang berisi permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan konsep materi dan klasifikasinya, siswa mempela-
jarinya dalam kelompok kecil (4 siswa) yaitu mendiskusikan masalah tersebut
bersama-sama anggota kelompoknya. Masing-masing kelompok menyelesai-
kan atau memecahkan masalah yang diberikan dengan cara mereka sendiri.
Kemudian 2 dari 4 anggota dari masing-masing kelompok meninggalkan
kelompoknya dan bertamu ke kelompok yang lain, sementara 2 anggota yang
tinggal dalam kelompok bertugas menyampaikan hasil kerja dan informasi
mereka ke tamu. Setelah memperoleh informasi dari 2 anggota yang tinggal,
tamu mohon diri dan kembali ke kelompok masing-masing dan melaporkan
temuannya serta mancocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

4. Formalisasi

Setelah belajar dalam kelompok dan menyelesaikan permasalahan yang


diberikan salah satu kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya
untuk dikomunikasikan atau didiskusikan dengan kelompok lainnya.
Kemudian guru membahas dan mengarahkan siswa ke bentuk formal.

5. Evaluasi Kelompok dan Penghargaan

Pada tahap evaluasi ini untuk mengetahui seberapa besar kemampuan


siswa dalam memahami materi yang telah diperoleh dengan menggunakan
model pembelajaran kooperatif model TSTS. Masing-masing siswa diberi kuis
yang berisi pertanyaan-pertanyaan dari hasil pembelajaran dengan model
TSTS, yang selanjutnya dilanjutkan dengan pemberian penghargaan kepada
kelompok yang mendapatkan skor rata-rata tertinggi.
15

2.1.3.4 Kelebihan Model Pembelajaran Tipe TSTS (Two Stay Two Stray)
Menurut Lie (2006:61), Kelebihan metode pembelajaran TSTS (Two Stay Two Stray)
yaitu :
1. Dapat digunakan dalam semua mata pelajaran dan semua tingkat usia
siswa
2. Metode ini tidak hanya bekerja sama dengan anggota kelompok tetapi bisa
juga bekerja sama dengan kelompok lain
3. Memungkinkan terciptanya keakraban sesama teman dalam suatu kelas
dan lebih berorientasi pada keaktifan siswa
4. Dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan umur
5. Kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna
6. Menambah rasa percaya diri dan kekompakan pada diri siswa
7. Kemampuan berbicara siswa dapat ditingkatkan
8. Membantu meningkatkan motivasi dan presentasi belajar
2.1.3.5 Kekurangan Model Pembelajran TSTS (Two Stay Two Stray)
a. Membutuhkan waktu yang lama
b. Siswa cenderung tidak mau belajar dalam kelompok
c. Bagi guru, membutuhkan banyak persiapan (materi, dana dan tenaga)
d. Guru cenderung kesulitan dalam pengelolaan kelas.
Untuk mengatasi kekurangan pembelajaran kooperatif model TSTS, maka
sebelum pembelajaran guru terlebih dahulu mempersiapkan dan membentuk
kelompok-kelompok belajar yang heterogen ditinjau dari segi jenis kelamin dan
kemampuan akademis. Jika berdasarkan kemampuan akademis maka dalam satu
kelompok terdiri dari satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan
kemampuan sedang dan satu lainnya dari kelompok kemampuan akademis kurang.
Pembentukan kelompok heterogen memberikan kesempatan untuk saling mengajar
dan saling mendukung sehingga memudahkan pengelolaan kelas karena dengan
adanya satu orang yang berkemampuan akademis tinggi yang diharapkan bisa
membantu anggota kelompok yang lain.
16

2.1.3.6 Tujuan Model Pembelajaran Tipe TSTS (Two Stay Two Stray)
Dalam model pembelajaran ini siswa dihadapkan pada kegiatan
mendengarkan apa yang diutarakan oleh temannya ketika sedang bertamu, yang
secara tidak langsung siswa akan dibawa untuk menyimak apa yang diutarakan
oleh anggota kelompok yang menjadi tuan rumah tersebut. Dalam proses ini, akan
terjadi kegiatan menyimak materi pada siswa.
Menurut Lie (2004) dalam model TSTS) ini memiliki tujuan yang sama
dengan pendekatan lainnya. Siswa diajak untuk bergotong royong dalam
menemukan suatu konsep. Penggunaan model TSTS akan mengarahkan siswa
untuk aktif, baik dalam berdiskusi, tanya jawab, mencari jawaban, menjelaskan,
dan juga menyimak materi yang dijelaskan oleh teman.
2.1.4 Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Perlakuan Model
TSTS

Strategi untuk mencapai kesuksesan dalam belajar adalah penggunan


model dalam setiap pembelajaran. Penggunaan model pembelajaran tentu saja
tidak mudah dan memerlukan perencanaan yang matang sebelum diaplikasikan
dalam kelas. Perencanaan tersebut melibatkan penyusunan pemetaan sintak dan
langkah-langkah pembelajaran di kelas. Adapun pemetaan sintak dan langkah-
langkah yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran matematika
dengan model TSTS dipaparkan pada tabel 1 dan 2 berikut.
17

Tabel 1
Pemetaan Sintak TSTS
Standar Proses

Pendahuluan

Konfirmasi
Eksplorasi

Elaborasi

Penutup
Sintak

Fase 1. Persentasi Guru √ √

Fase 2. Kegiatan Kelompok √


Fase 3. Formalisasi √
Fase 4. Evaluasi Kelompok √
Fase 5. Kesimpulan √

Tabel 2
Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran Matematika dengan Model TSTS

Tahapan
Kegiatan Guru Pelaksan Kegiatan Siswa
aan

1. Guru menyiapkan peserta didik 1. Siswa menyiapkan secara psikis


secara psikis dan fisik untuk dan fisik.
mengikuti proses pembelajaran. 2. Siswa menjawab pertanyaan
1. Persentasi Guru

2. Guru mengajukan pertanyaan- tentang pelajaran sebelumnya.


pertanyaan yang mengaitkan 3. Siswa menjelaskan penjelasan
pengetahuan sebelumnya dengan tentang tujuan dan kompetensi
materi yang akan dipelajari. yang akan dicapai.
3. Guru menjelaskan tujuan 4. Siswa menyiapkan materi dan
pembelajaran atau kompetensi mendengarkan penjelasan
dasar yang akan dicapai. tentang uarai kegiatan yang akan
4. Guru menyiapkan cakupan dilakukan.
materi dan penjelasan uraian
kegiatan sesuai silabus.
18

5. Guru membagi siswa menjadi 5 5. Siswa dibagi mnjadi 5


kelompok. kelompok.
6. Guru membagi LKS ke masing- 6. Siswa menerima LKS yang

2. Kegiatan Kelompok
masing kelompok. dibagi guru.
7. Guru memberi waktu untuk 7. Siswa melakukan diskusi
diskusi kelompok. kelompok dengan waktu yang
8. Guru menyuruh dua siswa dari sudah ditentukan.
masing-masing kelompok 8. Siswa melakukan rotasi.
meninggalkan kelompoknya dan
bertamu kekelomok lain,
sementara dua siswa yan tinggal
dalam kelompok bertugas
menyampaikan hasil kerja dan
menginformasikan ke tamu.
9. Guru menyuruh perwakilan 9. Siswa melakukan presentasi
kelompok untuk hasil diskusi kelompok.
3. Formalisasi.
mempresentasikan hasil diskusi 10. Siswa mendengarkan pembahasa
kelompoknya untuk di dari guru dan melakukan
komunikasikan atau di bentukan formal.
diskusikan dengan kelompok
lain.
10. Guru membahas dan
mengarahkan siswa ke bentuk
formal.
11. Guru memberikan siswa kuis 11. Siswa mengerjakan kuis yang
4. Evalua

Kelom
pok

yang berisi pertanyaan- diberikan.


si

pertanyaan dari hasil


pembelajaran.

12. Guru menyimpulkan pelajaran 12. Siswa mendengarkan


5. Kesimpulan.

hari ini. kesimpulan pelajaran hari ini.

2.1.5 Penelitian Tindakan Kelas (PTK)


2.1.4.1 Definisi PTK

Secara historis Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pertama kali


diperkenalkan oleh ahli Psikologi Sosial Serikat yang bernama Kurt Lewin pada
tahun 1946 (Darmidi, 2015 : 7). Gagasan Lewin tersebut kemudian dikembangkan
oelh ahli lain seperti Stephen, Kemmis, Robin, Mc Taggart, John Elliot, Dave
Ebbutt, dan sebagainya. Di indonesia PTK baru dikenal pada dekade 1980-an. Usia
19

yang relative muda tersebut maka keberadaan PTK sebagai salah satu jenis
penelitian masing diperdebatkan, terutama dengan bobot keilmiahannya.

Menurut John Elliot (Darmidi, 2015 : 7) PTK adalah kajian tentang situasi
sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas tindakan di dalamnya. Pendapat
yang hampir sama dikemukakan oleh Kemmis dan Mc Taggart (1988), yang
mengatakan bahwa PTK adalah suatu bentuk refleksi diri kolektif yang dilakukan
oleh peneliti dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran dan keadilan
tindakan terhadap situasi tempat dimana dilakukan tindakan tersebut.
Menurut Kemmis (Darmidi, 2015 : 8) PTK adalah suatu bentuk refleksi diri
yang dilakukan oleh para partisipan (guru, siswa, atau kepala sekolah) dalam situasi
sosial.

Adapun menurut Harjodipuro (Darmidi , 2015:8) PTK adalah suatu


pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui inovasi pembelajaran melalui
perubahan dengan memotivasi para guru untuk memikirkan dan memperbaiki cara
mengajarnya, agar bersikap kritis terhadap stategi dan cara yang digunakan untuk
mencari solusi terbaik dalam menyajikan materi pelajaran.

Berdasarkan pendapat ketiga ahli tersebut dapat disimpulkan bahawa PTK


adalah suatu bentuk refleksi dalam pembelajaran guna memperbaiki kinerjanya
sebagai guru, sehingga hasil belajar menjadi meningkat.

2.1.4.2 Prinsip-Prinsip PTK

Agar peneliti memperoleh kejelasan yang lebih baik tentang penelitian


tindakan kelas, perlu memahami prinsip-prinsip yang harus dipenuhi apabila
melakukan PTK. Hopkins (Darmidi , 2015:54) mengemukakan ada 6 prinsip
sebagai berikut.

1. Metode PTK yang diterapkan seharusnya tidak menganggu komitmen


guru sebagai pengajar
2. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang
berlebihan karena dilakukan sesuai dengan jadwal pelajaran
3. Metode yang digunakan harus reliable
20

4. Masalah program yang diusahakan adalah masalah yang merisaukan,


dan didasarkan pada tanggung jawab professional
5. Dalam menyelenggarakan PTK, guru haru selalu bersikap konsisten dan
memiliki kepedulian tinggi terhadap proses dan prosedur yang berkaitan
dengan pekerjaannya
6. PTK tidak dilakukan sebatas dalam konteks kelas atau mata pelajaran
tertentu melainkan dengan perspektif misi sekolah secara keseluruhan
2.1.4.3 Model PTK

Ada beberapa model penelitian tindakan kelas. Dalam bukunya Chaig A.


Mertler (2014: 16) terdapat 7 macam model penelitian tindakan kelas, yaitu sebagai
berikut.
1. Model Penelitian Tindakan Berinteraksi Spiral Stringer, dalam penelitian
tindakan ini menggambarakan bahwa penelitian tindakan sebagai suatu
kerangka kerja yang sederhana, namun berpengaruh kuat yang terdiri dari
rutinitas melihat, berpikir dan bertindak.

Gambar 1 Penelitian Tindakan Berinteraksi Spiral Stringer


21

2. Model Penelitian Tindakan Spiral Kurt Lewin, dalam penelitian tindakannya


yang melukiskan suatu penelitian tindakan spiral yang mencangkup penemuan
fakta, perencanaan, pengambilan keputusan, evaluasi dan rencana amandemen
sebelum masuk pada langkah selanjutnya.

Gambar 2 Penelitian Tindakan Spiral Kurt Lewin


3. Model Siklus Penelitian Tindakan Calhoun, walaupun tidak tampil spiral
seperti model lainya, dalam penelitian tindakan ini masih menggambarkan satu
proses yang dibangun di sekitar siklikal. Dalam gambar, garis yang tidak
terputus mengindikasikan arah utama pada siklus, namun garis yang terputus-
putus menunjukan arah maju dan mundur ketika permulusan atau klarifikasi
informasi.

Gambar 3 Siklus Penelitian Tindakan Calhoun


22

4. Model Penelitian Tindakan Spiral Bachman, dalam penelitian tindakan ini para
peserta mengumpulkan informasi, merencanakan tindakan, mengobservasi,
dan mengevaluasi tindakan-tindakan itu, dan kemudian merefleksikan dan
merencanakan satu siklus spiral baru berdasarkan kajian yang dikumpulkan
pada siklus sebelumnya.

Gambar 4 Penelitian Tindakan Spiral Bachman


5. Model Pemecahan Masalah Progresif Riel, dalam model penelitian tindakan
ini peserta dibawa pada empat langkah pada setiap siklus yaitu perencanaan,
pengambilan tindakan, pengumpulan bukti dan refleksi.
23

Gambar 5 Pemecahan Masalah Progresif Riel


6. Model Penelitian Tindakan Piggot-Irvin, dalam penelitian tindakan ini
melukiskan sifat spiral dengan menunjukan langkah perencanaan, tindakan dan
refleksi melalui tiga siklus penelitian yang berurutan.

Gambar 6 Penelitian Tindakan Piggot-Irvin


7. Model Penelitian Tindakan Hendrick, dalam penelitian tindakan ini berfokus
pada langkah bertindak, evaluasi dan refleksi.
24

Gambar 7 Penelitian Tindakan Hendrick


8. Model Penelitian Tindakan Spiral Kemmis & Mc Taggart (Kunandar, 2011:
70), dalam penelitian ini terdapat 4 tahap yang perlu dilakukan yaitu
perencanaan (plan), pelaksanaan (act), observasi dan refleksi. Dalam penelitian
ini tindakan dan observasi dijadikan menjadi satu kesatuan.
25

Gambar 8 Penelitian Tindakan Spiral Kemmis & Mc Taggart


Dari model-model tersebut, peneliti memilih untuk menggunakan model
penelitian Spiral Kemmis & Mc Taggat. Hal ini dikarenakan model tersebut terdiri
dari 4 tahap yang terpenting dilakukan dalam suatu penelitian. Alasan peneliti tidak
menggunakan model lainnya, karena:
1. pada model pertama belum terdapat tahap refleksi,
2. pada model kedua yang terdiri dari 7 tahap, pada tahap 1 dan 2 sudah masuk
pada perencanaan,
3. pada model ketiga yang terdiri dari 5 tahap, tahap 1 sudah masuk pada tahap
perencanaan,
4. pada model keempat, walaupun sama-sama memiliki 4 tahap yang sama,
namun pada tindakan dan observasi menjadi satu kesatuan, maka kurang cocok
dengan yang diharapkan peneliti,
5. pada model kelima juga terdapat 4 tahap, namun pada tahap 1 (studi dan
rencana), studi tersebut sebenarnya sudah dilakukan pada saat observasi
prasiklus bukan pada siklus lagi,
26

6. pada model keenam yang hanya terdapat 3 tahap, tidak terdapat tahap observasi
atau pengamatan,
7. pada model ketujuh juga hanya terdapat 3 tahap, tidak memiliki tahap
perencanaan.
2.2 Penelitian yang Relevan

Terdapat penelitian yang telah membandingkan antara model TSTS dengan


model pembelajaran lainnya. Diantaranya penenilitian Wahadi (2012) dengan
menggunakan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dalam
pelajaran matematika pada siswa kelas IV SDN Semampir. Peneliti Sari (2014)
dengan menggunakan model pembelajaran Snowball Throwing terhadap hasil
belajar PKn . Adapun peneliti Sumiyati (2012) yang membandingkan dengan
STAD dalam pelajaran matematika materi tentang menjumlahkan dan
mengurangkan berbagai bentuk pecahan pada siswa kelas V SDN Timbang 01 Kec.
Banyuputih Kab. Batang. Ketiga peneliti ini telah menunjukkan bahwa model
pembelajaran TSTS menghasilkan hasil belajar yang lebuh baik dibanding dengan
model pembelajaran lain.

Selain penelitian membandingkan dengan penerapan model pembelajaran


tsts dengan model lain, terdapat beberapa penelitian yang menerapkan model tsts
terhadap hasil belajar, diantaranya penelitian Gunawan (2012) pada materi bangun
datar siswa kelas V SD Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga. Penelitian Warsono
(2014) siswa kelas 5 SD Sidomulyo 03 Jakenan Pati dalam materi IPA tentang
fungsi organ pernapasan hewan. Adapun penelitian Mestasiana (2013) dalam
matapelajaran matematika tentang mengukur waktu dengan satuan satuan jam pada
siswa kelas 2 SDN Pagerharjo 02 Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati. Ketiga
peneliti ini telah menunjukkan bahwa model pembelajaran TSTS telah
menghasilkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan dengan model
pembelajaran lainnya.

Seperti halnya Wahadi (2012), Sari (2014) dan Sumiyati (2012), penelitian
ini juga akan menggunakan model pembelajaran TSTS. Namun, bukan untuk
dibandingkan dengan model lain, penelitian ini akan menerapkan model tsts untuk
27

menungkatkan hasil belajar matematika seperti halnya pada penelitian Gunawan


(2012) dan Mestasiana (2013). Meskipun demikian materi dan subjek yang
digunakan pada penelitian berbeda dengan kedua penelitian tersebut. Penelitian ini
akan menerapkan model pembelajaran tsts dalam matematika tentang pecahan bagi
siswa kelas IV SD 04 Kaloran.

2.3 Kerangka Pikir

Berdasarkan penelitian yang penulis laksanakan, guru dalam mengajar


masih menggunakan cara yang konvensional, dengan bantuan media cetak berupa
buku pegangan guru dan lembar kerja siswa. Model pembelajaran tersebut kurang
memberi kesempatan dan latihan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan
yang dimiliki karena terpusat pada guru.

Melalui model pembelajaran Two Stay Two Stray berhubungan erat dengan
pembelajaran yang meneyenangkan. Model pembelajaran Two Stay Two Stray
adalah model pembelajaran yang dapat mendorong siswa untuk belajar secara
mandiri dalam menemukan sebuah konsep pelajaran. Selain itu kelebihan model
pembelajaran Two Stay Two Stray dapat digunakan dalam semua mata pelajaran
dan semua tingkat usia siswa ,model pembelajaran ini tidak hanya bekerja sama
dengan anggota kelompok tetapi bisa juga bekerja sama dengan kelompok lain,
memungkinkan terciptanya keakraban sesama teman dalam suatu kelas dan lebih
berorientasi pada keaktifan siswa, dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan
tingkatan umur, kecenderungan belajar siswa menjadi lebih bermakna, menambah
rasa percaya diri dan kekompakan pada diri siswa, kemampuan berbicara siswa
dapat ditingkatkan, dan membantu meningkatkan motivasi dan presentasi belajar

Maka kerangka pikir penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut :


28

Hasil belajar siswa kelas


Guru masih IV di SD Negeri 04
Kondisi menggunakan Kaloran pada mata
Awal metode pelajaran Matematika
kensional masih rendah. Hasil tes
dari 21 siswa hanya
terdapat 7 siswa yang
tuntas KKM dan 14 siswa
Penerapan Model Pembelajaran belum tuntas KKM yaitu
TSTS
1. Guru membagi ke beberapa
kelompok Siklus I
2. Guru memberikan sub pokok
Hasil belajar siswa
bahasan
meningkat < KKM
3. Siswa bekerja kelompok
Tindakan (75).
4. Siswa membahas hasil kerja
kelompok
5. Siswa melakukan presentasi
Siklus II
Hasil Belajar siswa
sudah tuntas ≥ KKM
(75).
Kondisi Akhir
Hasil belajar siswa kelas IV di
SD Negeri 04 Kaloran
meningkat 80% dari jumlah
siswa memperoleh nilai ≥ dari
KKM (75).

Gambar 9
Kerangka Berpikir
29

2.4 Hipotesis Tindakan


Berdasarkan kerangka pikir, maka hipotesis pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah :
1. Adanya penyusunan perencanaan pembelajaran yang sesuai dengan
sintak TSTS dan KTSP 2006, serta pelaksanaan pembelajaran sesuai
dengan perencanaan dapat meningkatkan hasil.

Anda mungkin juga menyukai