Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pengertian Belajar

Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks. Sebagai

tindakan maka belajar hanya dialami oleh siswa sendiri. Siswa adalah penentu

terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Proses belajar terjadi berkat siswa

memperoleh sesuatu yang ada di lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh

siswa berupa keadaan alam, benda-benda, hewan, tumbuh-tumbuhan, manusia atau

hal-hal yang dijadikan bahan belajar (Dimyati, 2009: 7).

Siswa dapat memiliki pengetahuan dan pengalaman mereka dengan belajar,

Komalasari (2010: 2) belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku dalam

pengetahuan,sikap dan keterampilan yang diperoleh dalam jangka waktu yang lama

dan dengan syarat bahwa perubahan yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya

kematangan ataupun perubahan sementara karena suatu hal. Trianto (2010: 15),

mendefinisikan belajar sebagai proses menciptakan hubungan antara sesuatu

(pengetahuan) yang sudah dipahami dan sesuatu (pengetahuan) yang baru.

Menurut Murfiah (2017: 2) belajar merupakan proses pendewasaan yang

dilakukan oleh seseorang guru dan peserta didik sebagai salah satu sumber ilmu guru

menyampaikan materi yang bermakna bagi peserta didik. Belajar adalah proses yang

berlangsung secara terus-menerus dari generasi ke generasi berikutnya proses

peradaban manusia yang sudah berlangsung sepanjang masa.

9
10

Menurut slameto (2003: 2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan

untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan,

sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan tingkah laku. Belajar

memang penting dilakukan oleh setiap orang untuk menambah kemampuan dan

keterampilan yang dimiliki sehingga dapat mudah berinteraksi dengan lingkungan

sekitar. Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap

suatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang dalam

situasi tersebut, perubahan tingkah laku itu dapat dijelaskan atau didasarkan

kecenderungan respon pembawaan kematangan, atau keadaan sesaat seseorang.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa belajar

merupakan suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu

perubahan yang baru, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya.

2. Pembelajaran Matematika

Menurut Dimyati dan Mudjono (2002: 157), menyebutkan pembelajaran

adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam

belajar, bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan keterampilan

dan sikap. Pembelajaran bisa diartikan sebagai pendidikan dalam lingkup

persekolahan atau proses sosialisasi individu siswa dengan sekolah, seperti guru,

sumber atau fasilitas dan teman sesama siswa.

Pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua aspek,

yaitu belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa, mengajar

berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi pelajaran.
11

Rancangan pembelajaran hendaknya memperhatikan hal-hal sebagi berikut Jihad dan

Abdul (2013: 13) :

1. Pembelajaran diselenggarakan dengan pengalaman nyata dan lingkungan otentik,

karena hal ini diperlukan untuk memungkinkan seseorang berproses dalam belajar

(belajar untuk memahami, belajar untuk berkarya, dan melakukan kegiatan nyata)

secara maksimal.

2. Isi pembelajaran harus didesain agar relevan dengan karakteristik siswa karena

pembelajaran difungsikan sebagai mekanisme adaptif dalam proses kontruksi,

dekontruksi dan rekontruksi pengetahuan, sikap dan kemampuan

3. Menyediakan media dan sumber yang dibutuhkan

4. Penilaian hasil belajar terhadap siswa dilakukan secara formatif sebagai diagnosis

untuk menyediakan pengalaman belajar secara berkesinambungan dan dalam

bingkai belajar sepanjang hayat (life long continuing education).

Matematika berasal dari bahasa latin “manhenern” atau “mathema” yang

berarti belajar atau hal yang harus dipelajari sedangkan dalam bahasa Belanda disebut

”wiskunde” atau ilmu pasti yang berkaitan dengan penalaran. Matematika merupakan

pelajaran yang memerlukan pemusatan pemikiran untuk mengingat dan mengenal

kembali semua aturan-aturan yang ada yang harus dipenuhi untuk menguasai materi

yang dipelajari (Hamzah, 2014: 48).

Pembelajaran matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar

kepada peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga peserta

didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang dipelajari (Muhsetyo,

2008: 127). Belajar matematika ialah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-
12

struktur yang terdapat dalam bahasan yang dipelajari serta mencari hubungan-

hubungan antara konsep-konsep dan struktur matematika itu (Hudojo, 2003:123).

Menurut Suyitno (2004: 2), pembelajaran matematika adalah suatu proses atau

kegiatan guru mata pelajaran matematika dalam mengajarkan matematika kepada

para siswanya, yang di dalamnya terkandung upaya guru untuk menciptakan iklim

dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan siswa

tentang matematika yang amat beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru

dengan siswa serta antara siswa dengan siswa dalam mempelajari matematika.

Dalam pembelajaran matematika, para siswa dibiasakan untuk memperoleh

pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak

dimiliki dari sekumpulan obyek (abstraksi), dengan pengamatan terhadap contoh-

contoh dan bukan contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu

konsep. Selanjutnya, dengan abstraksi ini siswa dilatih untuk membuat perkiraan,

terkaan, atau kecenderungan berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang

dikembangkan melalui contoh-contoh khusus (generalisasi). Dalam proses

penalarannya, dikembangkan pola pikir induktif maupun deduktif. Namun proses itu

harus disesuaikan dengan perkembangan kemampuan siswa, sehingga pada akhirnya

akan sangat membantu kelancaran proses pembelajaran matematika di sekolah

(Suherman, 2003: 57).

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, jadi pembelajaran matematika

merupakan suatu proses belajar mengajar terencana dan terprogram yang melibatkan

guru matematika dengan menyusun suatu rancangan rencana pembelajaran,

melaksanakan rancangan pembelajaran, mengevaluasi pembelajaran dan refleksi


13

pembelajaran, dan melibatkan siswa berdasarkan kurikulum dengan segala interaksi

dan proses komunikasi di dalamnya dengan tujuan untuk melatih cara berpikir dan

bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan aktivitas kreatif,

mengembangkan kemampuan memecahkan masalah serta mengembangkan

kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan.

3. Hasil Belajar Matematika

Hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima

pengalaman belajarnya (Sudjana, 2008: 22). Hasil belajar mempunyai peranan

penting dalam proses pembelajaran. Proses penilaian terhadap hasil belajar dapat

memberikan informasi kepada guru tentang kemajuan siswa dalam upaya mencapai

tujuan-tujuan belajarnya melalui kegiatan belajar.

Menurut Reigeluth juga menyatakan bahwa hasil belajar dapat diukur dari

tinggi rendahnya kemampuan belajarnya seseorang yang ditunjukkan oleh adanya

perilaku sebagai hasil pengalaman (Ahiri, 2008: 2). Menurut Suyitno (2004: 27) hasil

belajar tidak lain adalah hasil akhir dari proses belajar mengajar sebagai perwujudan

segala upaya yang telah dilakukan selama proses itu berlangsung. Sementara itu,

pencapaian hasil belajar lebih sering dikaitkan dengan nilai perolehan siswa setelah

proses belajar mengajar dan evaluasi diberikan. Nilai perolehan siswa biasanya

dinyatakan dalam bentuk angka, huruf atau symbol yang dapat mencerminkan hasil

yang telah dicapai oleh siswa dalam periode tertentu. Menurut Ahiri (2008: 1) hasil

belajar yang berkualitas dapat diketahui apabila dalam diri individu terjadi suatu

perubahan perilaku kearah yang lebih baik atau sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Perubahan perilaku tersebut umumnya bersifat permanen. Hasil belajar bukan suatu
14

penguasaan hasil latihan melainkan pengubahan kelakuan. Hasil belajar akan tampak

pada setiap perubahan aspek-aspek: (1) pengetahuan, (2) pengertian, (3) kebiasaan,

(4) keterampilan, (5) apresiasi, (6) emosional, (7) hubungan sosial, (8) jasmani, (9)

etis dan (10) sikap (Hamalik ,2000: 30).

Menurut Sudjana (2001: 67) ada tiga unsur dalam kualitas pengajaran yang

berpengaruh pada hasil belajar siswa, yakni kompetensi guru, karakteristik kelas dan

karakteristik sekolah. Berkaitan dengan kompetensi guru, yang merupakan salah satu

unsur yang mempengaruhi kualitas belajar, maka dalam pembelajaran guru harus

pandai-pandai memilih pendekatan dan cara mengajar yang sesuai dengan isi materi

pelajaran. Cara tersebut harus benar-benar sesuai dengan materi efektif dan efisien.

Sardiman (2007: 51) berpendapat bahwa hasil belajar yang dicapai selalu

memunculkan pemahaman atau pengertian atau menimbulkan reaksi atau jawaban

yang dapat dipahami dan diterima oleh akal. Untuk mencapai hasil belajar,

kemampuan para pendidik teristimewa guru dalam membimbing belajar murid-

muridnya amat dituntut. Jika guru dalam keadaan siap dan memiliki profesiensi

(berkemampuan tinggi) dalam menunaikan kewajibannya, harapan terciptanya

sumber daya manusia yang berkualitas sudah tentu akan dicapai.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

adalah nilai yang dicapai oleh siswa melalui evaluasi materi pelajaran matematika

yang diberikan oleh guru dalam periode tertentu.


15

4. Model Pembelajaran Problem Posing

a. Pengertian Model Pembelajaran

Eggen menjelaskan bahwa model pembelajaran merupakan strategi

perspektif pembelajaran yang didesain untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran

tertentu. Model pembelajaran merupakan suatu perspektif sedemikian sehingga guru

bertanggung jawab selama tahap perencanaan, implementasi, dan penilaian dalam

pembelajaran (Siswono, 2008: 57).

Model pembelajaran menurut Joice dan Weil digambarkan bahwa suatu

perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai desain dalam pembelajaran di

kelas atau pembelajaran tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat

pembelajaran termasuk di dalamnya buku-buku, film, tape recorder, media program

komputer, dan kurikulum (Ibid).

Sedangkan Bell menjelaskan “a teaching/learning model is a generalized

instructional process which may be used for many different topics in variety

subjects”. Kutipan tersebut berarti bahwa suatu model pembelajaran adalah suatu

perumusan proses pembelajaran yang dapat digunakan untuk topik-topik berbeda

dalam bermacam-macam materi pokok. Setiap model diarahkan untuk membantu

siswa mencapai tujuan pembelajaran (Ibid).

Berdasarkan ketiga pendapat ahli di atas dapat diketahui pengertian model

pembelajaran. Model pembelajaran diartikan sebagai kerangka konseptual yang

melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk

mencapai tujuan belajar (Ibid, 59). Oleh karena itu agar tujuan belajar bisa
16

tercapai dengan baik, maka model pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan

karakteristik siswa dan juga materi pokok yang diajarkan.

Menurut Joice dan Weil dikemukakan lima unsur penting yang

menggambarkan suatu model pembelajaran, yaitu (1) sintaks, yakni suatu urutan

pembelajaran yang biasa juga disebut fase; (2) sistem sosial, yaitu peran siswa dan

guru serta norma yang diperlukan; (3) prinsip reaksi, yaitu memberikan gambaran

kepada guru tentang cara memandang dan merespon apa yang dilakukan siswa; (4)

sistem pendukung, yaitu kondisi atau syarat yang diperlukan untuk terlaksananya

suatu model, seperti setting kelas,sistem instruksional,perangkat pembelajaran,

fasilitas belajar, dan media belajar; dan (5) dampak instuksional dan dampak

pengiring. Dampak instruksional adalah hasil belajar yang dicapai langsung dengan

cara mengarahkan para pelajar pada tujuan yang diharapkan. Sedangkan dampak

pengiring adalah ahsil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses belajar

mengajar, sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh

para pelajar tanpa arahan langsung dari guru.Selanjutnya Arends memberikan empat

ciri khusus dari model pembelajaran yang tidak dimiliki oleh strategi tertentu, yakni

sebagai berikut: (1) rasional teoritis yang logis yang disusun oleh pencipta atau

pengembangnya;(2) landasan pemikiran tentang apa dan bagaimana siswa belajar

(tujuan pembelajaran yang akan dicapai); (3) tingkah laku mengajar yang

diperlukan agar model tersebut dapat dilaksanakan dengan berhasil; dan (4)

lingkungan belajar yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Adapun fungsi dari model pembelajaran disini adalah sebagai pedoman bagi

perancang pengajaran dan para guru dalam melaksanakan Pembelajaran (Ibid, 58).
17

Berdasarkan teori-teori di atas penulis dapat mengambil kesimpulan

bahwa model pembelajaran adalah suatu kerangka konseptual atau rancangan yang

digunakan sebagai desain dalam pembelajaran di kelas dengan topik- topik

yang berbeda dalam bermacam-macam materi pokok untuk mencapai tujuan

belajar.

b. Problem Posing

Problem posing merupakan model pembelajaran yang mengharuskan

siswa menyusun pertanyaan sendiri atau memecah suatu soal menjadi pertanyaan-

pertanyaan yang lebih sederhana. Selain peserta didik menyusun pertanyaan yang

telah dibuat dengan jawaban yang divergen (Shoimin, 2014: 133)

Problem posing menurut Ellerton diartikan sebagai pembuatan soal oleh

siswa yang dapat mereka pikirkan tanpa pembatasan apapun baik terkait isi maupun

konteksnya. Selain itu, problem posing diartikan sebagai pembentukan soal

berdasarkan konteks, cerita, informasi, atau gambar yang diketahui

(Mahmudi, 2008: 4).

Menurut Silver pengajuan soal (problem posing) diaplikasikan pada tiga

bentuk aktivitas kognitif matematika yang berbeda, yaitu:

1) Pengajuan pre-solusi (presolution posing) yaitu seorang siswa membuat soal dari

situasi yang diadakan.

2) Pengajuan di dalam solusi (within-solution posing), yaitu seorang siswa

merumuskan ulang soal seperti yang telah diselesaikan.


18

3) Pengajuan soal solusi (post solution posing), yaitu seorang siswa memodifikasi

tujuan atau kondisi soal yang sudah diselesaikan untuk membuat soal baru.

(siswono, 2008: 40)

Problem posing menurut Elwan diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu

free problem posing (problem posing bebas), semi-structured problem posing

(problem posing semi terstruktur), dan structured problem posing (problem posing

terstruktur). Pemilihan tipe-tipe itu didasarkan pada materi matematika, kemampuan

siswa, hasil belajar siswa, atau tingkat berpikir siswa. Berikut diuraikan masing-

masing tipe tersebut.

1) Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta

untuk membuat soal secara bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari.

Tugas yang diberikan kepada siswa dapat berbentuk: “buatlah soal yang

sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk

kompetisi matematika atau tes, buatlah soal untuk temanmu atau buatlah soal

sebagai hiburan (for fun)”.

2) Semi-structured problem posing (problem posing semi terstruktur). Dalam hal ini

siswa diberikan suatu situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk

mengeksplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau

konsep yang telah mereka miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah soal

terbuka (open–ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi

matematika, membuat soal berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal

dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang
19

terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar

yang diberikan.

3) Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa

diminta untuk membuat soal yang diketahui dengan mengubah data atau

informasi yang diketahui. Brown dan Walter merancang formula pembuatan soal

berdasarkan soal-soal yang telah diselesaikan dengan memvariasikan kondisi

atau tujuan dari soal yang diberikan (Mahmudi, 2008: 7).

Dalam pembelajaran matematika, pengajuan masalah menempati posisi

yang strategis. Pengajuan masalah dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin

matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika. English menjelaskan

model pengajuan masalah dapat membantu siswa dalam mengembangkan keyakinan

dan kesukaan terhadap matematika, sebab ide-ide matematika siswa dicobakan

untuk memahami masalah yang sedang dikerjakan dan dapat meningkatkan

performannya dalam pemecahan masalah.Pengajuan masalah juga sebagai sarana

komunikasi siswa (Siswono, 2008: 41).

Kurikulum pendidikan matematika di Amerika (NCTM Curriculum and

Evaluation Standars for School Mathematics ) menganjurkan agar siswa-siswa

diberi kesempatan yang banyak untuk investigasi dan merumuskan pertanyaan-

pertanyaan soal-soal dari situasi masalah. Pengajuan soal juga merangsang

kemampuan matematika siswa. Sebab dalam mengajukan soal siswa perlu membaca

suatu informasi yang diberikan dan mengkomunikasikan pertanyaan secara verbal

maupun tertulis (Siswono, 2000: 8).


20

Pembelajaran dengan pengajuan soal menurut Menon dapat dilakukan

dengan tiga cara berikut:

1) Berikan kepada siswa soal cerita tanpa pertanyaan, tetapi semua informasi yang

diperlukan untuk memecahkan soal tersebut ada. Tugas siswa adalah membuat

pertanyaan berdasarkan informasi tadi.

2) Guru menyeleksi sebuah topik dan meminta siswa untuk membagi kelompok.

Tiap kelompok ditugaskan membuat soal cerita sekaligus penyelesaiannya.

Selanjutnya soal-soal tersebut dipecahkan oleh kelompok-kelompok lain.

Sebelumnya soal diberikan kepada guru untuk diedit tentang kebaikan dan

kesiapannya. Soal-soal tersebut nanti digunakan sebagai latihan. Nama pembuat

soal tersebut ditunjukkan tetapi solusinya tidak. Soal-soal tersebut didiskusikan

dalam masing-masing kelompok dan kelas. Hal ini akan memberi nilai

komunikasi dan pengalaman belajar. Diskusi tersebut seputar apakah soal

tersebut ambigu atau tidak. Soal yang dibuat siswa tergantung ketertarikan

siswa masing-masing. Sebagai perluasan,siswa dapat menanyakan soal cerita

yang dibuat secara individu.

3) Siswa diberikan soal dan diminta untuk mendaftar sejumlah pertanyaan yang

berhubungan dengan masalah. Sejumlah pertanyaan kemudian diseleksi dari

daftar tersebut untuk diselesaikan. Pertanyaan dapat bergantung dengan

pertanyaan lain. Bahkan dapat sama, tetapi kata-katanya berbeda. Dengan

mendaftar pertanyaan yang berhubungan dengan masalah tersebut akan

membantu siswa “memahami masalah”, sebagai salah satu aspek pemecahan

masalah oleh Polya (Ibid, 9).


21

Dalam melaksanakan pembelajaran dengan strategi problem posing,

Lowrie menyarankan guru matematika untuk meminta siswa membuat soal untuk

teman dekatnya sehingga mereka lebih menguasai dalam pembuatan soal. Guru

perlu memberikan kesempatan kepada siswa berkemampuan rendah untuk bekerja

secara kooperatif dengan temannya sehingga dapat mencapai tingkat kemampuan

yang lebih tinggi. Guru juga perlu mendorong siswa untuk membuat soal

kontekstual atau sesuai dengan situasi sehari hari. Selain itu, siswa juga perlu

didorong untuk menmggunakan piranti teknologi seperti kalkulator dalam membuat

soal sebagai upaya pengembangan kemampuan berpikir matematika (Mahmudi,

2010: 9).

Adapun langkah-langkah problem posing secara berkelompok adalah

sebagai berikut :

1) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan memotivasi siswa untuk belajar.

2) Guru menyajikan informasi baik secara ceramah atau tanya jawab selanjutnya

memberi contoh cara pembuatan soal dari informasi yang diberikan.

3) Guru membentuk kelompok belajar antar 5-6 siswa tiap kelompok yang

bersifat heterogen baik kemampuan, ras dan jenis kelamin.

4) Guru memberikan tugas yang berbeda pada setiap kelompok untuk membuat

pertanyaan.

5) Semua tugas membuat pertanyaan dikumpulkan kemudian guru melimpahkan

pada kelompok lainnya untuk dikerjakan.

6) Selama kerja kelompok berlangsung guru membimbing kelompok-kelompok

yang kesulitan membuat soal dan menyelesaikannya.


22

7) Guru mengevalusi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari dengan cara

masing-masing kelompok mempresentasikan hasil pekerjaannya (Suryosubroto,

2009: 212).

Berdasarkan teori-teori tentang problem posing di atas, penulis dapat

menyimpulkan bahwa problem posing merupakan suatu model pembelajaran yang

mana siswa diajari mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan menggunakan

bahasa, kemampuan dan pemahaman masing-masing siswa sesuai informasi yang

diberikan oleh guru. Dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran

problem posing ini siswa dituntut untuk membuat/mengajukan pertanyaan sekreatif

mungkin sehingga siswa mampu memahami materi pelajaran yang diajarkan oleh

guru dengan baik dan bisa memperoleh hasil belajar yang lebih baik.

c. Kelebihan dan kekurangan Model Pembelajaran Problem Posing

Dalam setiap pembelajaran pasti ada sisi kelebihan atau keunggulan dan kekurangan

atau kelemahan. Kelebihan dan kekurangan Problem Posing diantaranya adalah

Kelebihan :

 Mendidik murid berpikir kritis

 Siswa aktif dalam pembelajaran

 Perbedaan pendapat antara siswa dapat diketahui sehingga mudah diarahkan

pada diskusi yang sehat

 Mendidik peserta didik percaya pada diri sendiri

Kekurangan :

 Memerlukan waktu yang cukup banyak

 Tidak semua peserta didik terampil bertanya (Shoimin, 2017: 133).


23

5. Model Pembelajaran Konvensional

Salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak

digunakan oleh guru adalah pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional

merupakan kegiatan belajar mengajar yang diawali dengan penyajian informasi

bahan ajar yang akan dipelajari yang disertai dengan pemberian contoh soal,

pemberian tugas, diskusi dan tanya jawab sampai pada akhirnya siswa dapat

mengerti apa yang diajarkan oleh guru (Trianto, 2007: 41). Pembelajaran ini

sebenarnya sudah tidak layak lagi kita gunakan sepenuhnya dalam suatu proses

pengajaran, dan perlu diubah. Tapi untuk mengubah pembelajaran ini tidak mudah

bagi guru, karena guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan menggunakan

model pembelajaran lainnya.

Proses pembelajaran konvensional ditandai dengan pemaparan suatu konsep

atau materi yang diiringi dengan penjelasan,serta pembagian tugas dan latihan dari

awal sampai akhir proses pembelajaran (Sholihah, 2012: 23) Dalam kaitannya

dengan pembelajaran matematika, pembelajaran ini hanya menekankan siswa untuk

menghafal rumus-rumus tanpa mengetahui dari mana rumus tersebut diperoleh.

Sehingga penguasaan siswa terhadap konsep matematika hanya bersumber dari

hafalan dari pada pemahaman. Biasanya guru menyampaikan informasi mengenai

bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan penuturan secara lisan,yang dikenal

dengan istilah ceramah.

Metode mengajar yang lebih banyak digunakan guru dalam pembelajaran

konvensional adalah metode ekspositori. Pada pembelajaran yang menggunakan

pendekatan ekspositori pusat kegiatan ada pada guru, guru sebagai pemberi
24

informasi, komunikasi yang digunakan guru dalam interaksinya dengan siswa,

menggunakan komunikasi satu arah. Oleh sebab itu pembelajaran siswa kurang

optimal. “Pendekatan ekspositori menempatkan guru sebagai pusat pengajaran,

karena guru lebih aktif memberikan informasi, menerangkan suatu konsep,

mendemonstrasikan keterampilan dalam memperoleh pola, aturan, dalil, member

contoh soal beserta penyelesaiannya, member kesempatan siswa untuk bertanya, dan

kegiatan guru lainnya dalam pembelajaran ini.

Menurut Wina Sanjaya (2008:10) Langkah-langkah pembelajaran

konvensional dengan pendekatan ekspositori yang akan peneliti terapkan dalam

penelitian ini,yaitu:

1) Persiapan, dalam tahap ini guru mempersiapkan bahan yang akan diajarkan secara

rapi dan sistematis.

2) Apersepsi, dalam tahap ini guru mengaitkan materi sebelumnya dengan materi

yang akan dibahas, bias dengan bertanya atau memberikan ulasan secara singkat.

3) Penyajian, dalam tahap ini guru memberikan penjelasan materi, bias dengan

ceramah atau menugaskan siswa membaca buku sumber/buku.

4) Evaluasi, dalam tahap ini guru memberikan Lembar Kerja Pesera Didik (LKPD)

untuk mengetahui seberapa jauh siswa menguasai materi yang telah diajarkan.

Kemudian pembahasan biasanya guru meminta perwakilan siswa menjawab

dipapan tulis. Guru bersama siswa secara interaktif mengoreksi hasil tersebut.

5) Memberikan umpan balikan (feedback), pemberian umpan balik ada pada tahap

akhir berupa refleksi dari keseluruhan pembelajaran.


25

B. Penelitian yang Relevan

Setelah peneliti melakukan kajian pustaka tentang judul penelitian yang

dilakukan oleh peneliti, ada beberapa hasil penelitian yang relevan yang dikaji oleh

peneliti. Adapun penelitian-penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Rismawati dengan judul “Pengaruh Penerapan

Model Problem Posing terhadap hasil belajar matematika materi pokok keliling

dan luas segi empat pada peserta didik kelas VII SMP Islam Durenan”. Adapun

hasil dari penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut hasil hitung baik

pada taraf signifikansi 1% maupun 5% ternyata nilai t hitung > ¿ t tabel (5 %=¿2,048

dan 1 % ¿ 2,637 ), dengan demikian H 0 ditolak dan H 1 diterima dengan besar

pengaruh 24,11%.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Elin Nur Hidayati dengan judul “Pengaruh model

pembelajaran problem posing terhadap hasil belajar peserta didik kelas VII

SMPN 2 Sumbergempol Tahun ajaran 2010 / 2011” Adapun hasil dengan

menggunakan uji-t pada taraf signifikansi 5 % diperoleh nilai (t hitung ¿ t tabel) yaitu

t hitung ¿ 4,68> ¿ t tabel.

3. penelitian yang dilakukan oleh Mawadurrohman, dengan judul “Penerapan

model pembelajaran problem posing untuk meningkatkan hasil belajar

matematika pada materi Persegi panjang dan persegi panjang siswa kelas VII

SMP Ilam Al-Ihsan Pogalan Trenggalek 2010/2011”. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa hasil belajar siswa meningkat setelah penerapan model

pembelajaran problem posing yang terlihat dari hasil tes sebelum tindakan dan
26

setelah tindakan. Nilai yang diperoleh siswa dihitung rata-rata dan didapatkan

hasil sebagai berikut : pada siklus I dan II nampak bahwa terjadi peningkatan

terhadap hasil belajar siswa. Pada siklus I nilai rata-rata yang diperoleh 84,61%,

meningkat dari sebelum tindakan hanya 47,30%. Sedangkan pada siklus II nilai

rata-rata yang diperoleh 92,69%.

Dari penelitian-penelitian yang telah dipaparkan di atas, peneliti mencoba

membuat penelitian yang sedikit berbeda dengan penelitian di atas, yakni dengan

judul “Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing Terhadap Hasil Belajar

Matematika pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 8 Kendari.

Prestasi belajar siswa ditentukan berbagai faktor, satu diantaranya yang

dominan ditentukan oleh pemilihan model pembelajaran oleh guru. Model

pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan materi pelajaran sangat mendukung

dari keberhasilan proses kegiatan belajar. Dalam penelitian ini dengan model

pembelajaran problem posing yang menekankan siswa untuk aktif dalam mencari,

merumuskan hingga memecahkan masalah secara mandiri. Pembelajaran di kelas

VIII SMP Negeri 8 Kendari masih menekankan pada aspek kognitif dengan

menggunakan hafalan dalam menguasai materi pelajaran.

C. Kerangka berpikir

Penggunaan Model pembelajaran problem posing diharapkan siswa

mampu berlatih mengerjakan soal-soal yang telah diberikan, dengan cara mencari

pemecahan masalahnya dengan teman satu kelompok. Model pembelajaran

problem posing ini, diharapkan mampu menjadikan siswa belajar dari pengalaman-

pengalaman yang ada yaitu pengalaman mengerjakan soal-soal, sehingga pada


27

waktu ujian siswa dapat dengan cepat, karena terbiasa berlatih sebelumnya. Guru

harus melibatkan peran siswa dalam proses pembelajaran sehingga kegiatan

mengajar dapat berlangsung dengan baik, dan dapat terjalin interaksi antara guru

dan siswa. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, guru harus memahami dan

menyesuaikan tugas-tugasnya, memilih pendekatan yang sesuai dengan kondisi

siswa dan harus mengetahui masalah-masalah yang dihadapi siswa yang

menyebabkan rendahnya hasil belajar siswa.Diharapkan setelah penggunaan model

pembelajaran problem posing, hasil belajar siswa dapat meningkat serta dapat

menyelesaikan masalah di kehidupan nyata.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan dan kerangka berpikir yang

telah dipaparkan sebelumnya, maka hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut.

“Model Pembelajaran Problem Posing berpengaruh secara signifikan terhadap hasil

belajar matematika siswa kelas VIII SMPN 8 Kendari.

Adapun rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

H 0 : μ 1≤ μ 2

H 1 : μ 1> μ 2

Keterangan :

μ1 : Rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran

problem posing.

μ2: Rata-rata hasil belajar matematika siswa yang diajar dengan model pembelajaran

Konvensional.
28

H 0 : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan Model Pembelajaran problem posing

terhadap hasil belajar matematika siswa.

H 1: Terdapat pengaruh Model Pembelajaran problem posing terhadap hasil belajar

matematika siswa.

Anda mungkin juga menyukai