FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2020 A. TEORI BELAJAR PMRI 1. Pengertian Pendidikan Matematika Realistik Menurut Yusuf Hartono (dalam Krisdaning, 2013: 22) Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan yang diadaptasi dari suatu pendekatan pendidikan matematika yang telah diperkenalkan oleh Freudenthal di Belanda pada tahun 1973 dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Hans Freudenthal berpandangan bahwa ―mathematics as human activity sehingga belajar matematika yang dipandang paling baik adalah dengan melakukan penemuan kembali (reinvention) melalui masalah sehari-hari (daily life problems) dan selanjutnya secara bertahap berkembang menuju ke pemahaman matematika formal. Menurut Soejadi (dalam Apriyanti, 2012: 6) mengemukakan bahwa: ”Pendekatan Matematika Realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik daripada masa lalu”. Berdasarkan pengertian beberapa ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan yang bertitik tolak pada realita atau konteks nyata di sekitar siswa untuk mengawali kegiatan pembelajaran dan akhirnya digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-harinya. 2. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik Gravemeijer (dalam Tarigan, dalam Krisdaning, 2013) mengemukakan 5 karakteristik pendekatan matematika realistik (PMR), yaitu: a. Penggunaan Masalah Kontekstual (Use of Context) Proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan masalah kontekstual. Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan kembali matematika. b. Penggunaan Model (Use of Models, Bridging by Vertical Instruments) Konsep atau ide matematika direkonstruksikan oleh siswa melalui model- model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk formal, dan juga digunakan sebagai jembatan antara level pemahaman yang satu ke level pemahaman yang lain. Instrumen-instrumen vertikal ini dapat berupa skema-skema, diagram-diagram, simbol-simbol dan lain sebagainya. c. Kontribusi siswa (Students Contribution) Siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas dengan lingkungan belajar yang disediakan oleh guru, secara aktif menyelesaikan soal dengan cara masing-masing. d. Kegiatan interaktif (Interactivity) Kegiatan belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan perangkat pembelajaran. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal yang ditemukan sendiri oleh siswa. Interaksi terus dioptimalkan sampai konstruksi yang diinginkan diperoleh, sehingga interaksi tersebut bermanfaat. e. Keterkaitan topik (Intertwining) Struktur dan konsep matematika saling berkaitan dan terintegrasi satu sama lain. Keterkaitan dan keterintegrasian antar struktur dan konsep matematika ini harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih bermakna. 3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Matematika Realistik Gravemeijer (dalam Nopen, dalam Krisdaning, 2013) mengemukakan tiga prinsip utama dalam Pendidikan Matematika Realistik yaitu: a. Penemuan terbimbing dan matematisasi progresif (guided reinvension and progressive mathematizing) Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematisasi secara progresif. Guru memberi bimbingan kepada siswa dengan topik—topik yang disampaikan, siswa diberi kesempatan yang sama untuk membangun dan menemukan kembali tentang konsep-konsep matematika. b. Fenomenologis didaktis Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Fenomena pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Dalam hal ini siswa mempelajari matematika mulai dari masalah kontekstual yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa mendapatkan gambaran tentang pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika. c. Self develop or emergent models Prinsip ketiga adalah pengembangan model sendiri, yang berfungsi menjembatani antara pengetahuan informal dengan matematika formal. Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model-modelnya sendiri dalam memecahkan soal-soal kontekstual. Pemodelan ini dapat berupa membuat gambar, diagram, tabel atau melalui pengembangan simbol-simbol informal. 4. Peran Guru dan Siswa dalam Pendidikan Matematika Realistik Menurut Yusuf Hartono (dalam Krisdaning, 2013: 27-28) peran guru dan siswa dalam pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut. a. Peran Guru Dalam pendekatan matematika realistik guru dipandang sebagai fasilitator, moderator, dan evaluator yang menciptakan situasi dan menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, guru harus mampu menciptakan dan mengembangkan pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk memiliki aktivitas baik untuk dirinya sendiri maupun bersama siswa lain (interaktivitas). b. Peran Siswa Dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai individu (subjek) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil interaksinya dengan lingkungan. Menurut Hadi (Yusuf, 2008: 5) konsepsi siswa dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut. 1) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya. 2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. 3) Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan penolakan. 4) Siswa membangun pengetahuan baru untuk dirinya sendiri dari beragam pengalaman yang dimilikinya. 5) Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan matematika tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin. 5. Langkah-Langkah Pendidikan Matematika Realistik Langkah-langkah dalam proses Pendidikan Matematika Realistik adalah sebagai berikut (Krisdaning, 2013: 29-30): a. Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk memahami masalah tersebut. Pada tahap ini karakteristik pertama diterapkan yaitu penggunaan masalah kontekstual. b. Menjelaskan masalah kontekstual Guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, tebatas pada bagian-bagian tertentu dari permasalahan yang belum dipahami oleh siswa. Pada tahap ini memberi peluang terlaksananya prinsip pertama PMR yaitu penemuan terbimbing dan matematisasi progresif. c. Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontektual pada buku siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun yang mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian masalah tersebut. Pertanyaan- pertanyaan penuntun seperti bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya, mengapa kamu berpikir seperti itu, dan lain-lain. d. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam kelompok kecil. Setelah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan pada diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini siswa dapat melatih keberanian mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan gurunya. e. Menyimpulkan Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi, teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru diselesaikan. B. Teori Belajar Kooperatif NHT (Numbered Head Together) 1. Pengertian Model Pembelajaran NHT Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) atau penomoran Berpikir bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Pembelajaran kooperatif tipe NHT menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen pada tahun 1993 untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut (Trianto, 2009). Selain itu menurut (Lie, 1999 dalam Hamsa, 2009), mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) juga mendorong siswa untuk meningkatkan kerja sama mereka. Model ini dapat digunakan untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan peserta didik. Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) adalah suatu model pembelajaran dimana setiap siswa di beri nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian guru memanggil nomor dari siswa tersebut secara acak. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) merupakan salah satu tipe pembelajran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus (pembentukan kelompok yang terdiri 4-6 orang, dimana tiap anggota diberi nomor).
2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Menurut Trianto (2009), bahwa dalam mengajukan pertanyaan kepada siswa, guru menggunakan struktur empat fase sebagai langkah-langkah pembelajaran NHT sebagai berikut: a. Langkah 1: Penomoran Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 4-6 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 6. b. Langkah 2: Mengajukan Pertanyaan Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya. c. Langkah 3: Berpikir bersama Siswa Menyatukan pendapat terhadap jawaban pertanyaan itu dan menyiapkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tim. d. Langkah 4: Menjawab Pertanyaan Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa dengan nomor yang sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. Langkah-langkah tersebut di atas kemudian dikembangkan menjadi enam langkah sesuai untuk kebutuhan pelaksanaan penelitian ini. Pengembangan langkah ini berangkat dari langkah pembelajaran kooperatif menurut Ibrahum (2000, dalam Trianto, 2009). Enam langkah tersebut adalah sebagai berikut: a. Fase 1 Menyampaikan Tujuan dan Memotivasi Siswa Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin di capai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar. b. Fase 2 Menyajikan Informasi Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan. c. Fase 3 Mengorganisasi Siswa ke dalam Kelompok Belajar Kooperatif Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien d. Fase 4 Membimbing Kelompok Bekerja dan Belajar Guru membimbing kelompok-kelompok belajar saat mereka mengerjakan tugas mereka. e. Fase 5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. f. Fase 6 Memberikan Penghargaan Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok. Sumber : (Lie, A: 2008) 3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Menurut Uno (2009), bahwa kelebihan dan kekurangan model pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut. a. Kelebihan 1) Setiap siswa menjadi siap semua 2) Semua dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh 3) Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai 4) Mengembangkan sikap demokratif; tanggung jawab; menghargai pendapat orang lain dan dan memupuk rasa percaya diri sendiri. b. Kekurangan 1) Tidak terlalu cocok untuk jumlah siswa yang banyak karena membutuhkan waktu yang lama 2) Kemungkinan nomor yang telah dipanggil, di panggil kembali oleh guru 3) Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru. C. Teori Vigotsky 1. Profil Singkat Vigotsky Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan berketurunan Yahudi. Ia tertarik pada psikologi saat berusia 28 tahun. Sebelumnya, ia lebih menyukai dunia sastra. Awalnya, ia menjadi guru sastra di sebuah sekolah, namun pihak sekolah juga memintanya untuk mengajarkan psikologi. Padahal, ia sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal di fakultas psikologi sebelumnya. Namun, inilah skenario yang membuatnya menjadi tertarik untuk menekuni psikologi, hingga akhirnya ia melanjutkan kuliah di program studi psikologi Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925. Judul disertasinya mengenai ”Psychology of Art”. Lev Vygotsky adalah seorang psikolog yang berasal dari Rusia dan hidup pada masa revolusi Rusia. Vygotsky dalam menelurkan pemikiran-pemikirannya di dunia psikologi kerap menghadapi rintangan oleh pemerintah Rusia saat itu. Perkembangan pemikirannya meluas setelah ia wafat pada tahun 1934, dikarenakan menderita penyakit TBC. Vygotsky pun sering dihubungkan dengan psikolog Swiss bernama Piaget. Lahir pada masa yang sama dengan Piaget, seorang psikolog yang juga mempunyai keyakinan bahwa keaktifan anak yang membangun pengetahuan mereka. Vygotsky meninggal dalam usia yang cukup muda, yaitu ketika masih berusia tiga puluh tujuh tahun.
2. Konstruktivisme Sosial Vygotsky
Lev Vygotsky mengkritik pendapat Piaget yang menyatakan bahwa faktor
utama yang mendorong perkembangan kognitif seseorang adalah motivasi atau daya dari dalam si individu itu sendiri untuk mau belajar dan berinteraksi dengan lingkungan. Vygotsky justru berpendapat bahwa interaksi sosial, yaitu interaksi, individu tersebut dengan orang-orang lain merupakan faktor yang terpenting yang mendorong atau memicu perkembangan kognitif seseorang (Ruseffendi, 1992:32). Teori Vygotsky merupakan salah satu teori penting dalam psikolog perkembangan. Menurut Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu masih berada dalam jangkauan kemampuannya. Vygotsky dalam Ruseffendi (1992:33) berpendapat pula bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila si anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana lingkungan yang mendukung (supportive) dalam bimbingan atau pendampingan seseorang yang lebih mampu atau lebih dewasa, misalnya seorang guru. Oakley (2004:38) menjelaskan bahwa teori Vygotsky berfokus pada tiga faktor yaitu budaya (culture), bahasa (language) dan zona perkembangan proksimal (zone of proximal development atau ZPD). Selanjutnya, Oakley (2004:38-41) merinci ketiga hal tersebut sebagai berikut : a. Budaya (culture)
Vygotsky berpendapat bahwa budaya dan lingkungan sosial seorang
anak adalah hal terpenting yang mempengaruhi pembentukan pengetahuan mereka. Anak-anak belajar melalui lagu, bahasa, kesenian dan permainan. Ia juga menyatakan bahwa budaya mempengaruhi proses belajar, anak-anak belajar melalui interaksi dan kerjasama dengan orang lain dan lingkungannya. Vygotsky dalam Komalasari (2010:20) meyakini bahwa jalan pikiran seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya. Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sesuai dengan teori sosiogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan dimensi individualnya bersifat derivative atau merupakan turunan dan bersifat sekunder. Artinya pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Hal ini tidak berarti bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Hal ini juga dipertegas oleh Winataputra, dkk (2008:6.9) yang menyatakan bahwa proses dan konteks kultural yang beragam juga menghasilkan belajar yang beragam pula. Sebagai contoh kita dapat mengamati bagaimana anak-anak mempelajari suatu konsep melalui modus tertentu. Ebelum media visual banyak digunakan, anak-anak mempelajari nilai-nilai yang berlaku melalui apa yang didengar dari oerang lain b. Bahasa (language)
Vygotsky mengemukakan bahwa bahasa berperan penting dalam
proses perkembangan kognitif anak. Menurutnya pula, ada hubungan yang jelas antara perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif. Ia menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan bahasa. Tiga tahap perkembangan tersebut dideskripsikan dalam tabel berikut : Tabel Tahap Perkembangan Bahasa Vygotsky Tahap Perkiraan Usia Deskripsi Social speech Sampai 3 tahun Bicara biasanya (eksternal speech) dilakukan untuk mengontrol tingkah laku, dan untuk mengekspresikan pemikiran sederhana seperti emosi Egocentric speech 3-7 tahun Anak-anak lebih sering berbicara dengan diri mereka sendiri, mereka membicarakan apa yang mereka lakukan dan mengapa mereka melakukannya Inner speech Di atas 7 tahun Inner speech atau sampai dewasa pembicaraan batin, merupakan proses hubungan antara pikiran dan bahasa, pada tahap ini setiap individu telah sampai pada tipe fungsi mental yang lebih tinggi Sumber : Lisa dan LeFrancois dalam Oakley (2004:39) Selanjutnya, Vygotsky menurut Oakley (2004:40) menentukan perbedaan antara fungsi mental dasar dan fungsi mental lebih tinggi. Fungsi mental dasar adalah alami dan tidak dipelajari, sedangkan fungsi mental lebih tinggi dipengaruhi dan berkembang melalui belajar, seperti bahasa dan memori, pemikiran, pemusatan perhatian dan lain-lain. Seseorang membutuhkan inner speech dan budaya yang ditransmisikan melalui bahasa dan bantuan orang lain yang lebih ahli untuk mengubah fungsi mental dasar menjadi fungsi mental yang lebih tinggi. Vygotsky dalam Dahar (2011:153) menyarankan bahwa interaksi sosial merupakan hal yang penting bagi siswa dalam menginternalisasi pemahaman-pemahaman yang sulit, masalah-masalah dan proses. Selanjutnya, proses internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas psikologis dengan dasar penggunaan bahasa. Dengan demikian, terlihat jelas bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang didasarkan pemikiran merupakan sarana bagi siswa untuk menegosiasi kebermaknaan pengalaman-pengalaman mereka. c. Zona perkembangan proksimal atau Zone of proximal development
(ZPD)
Vygotsky dalam Komalasari (2010:23) mengemukakan konsepnya
tentang zona perkembangan proksimal (zone of proximal development). Menurutnya perkembangan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan berbagai masalah secara sendiri. Ini disebut sebagai kemampuan intramental. Sedangkan tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibimbing orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu atau kompeten. Ini disebut kemampuan intermental. Jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial disebut zona perkembangan proksimal, yang diartikan sebagai fungsi-fungsi atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih pada proses pematangan. Hal yang sama juga disebutkan oleh Jauhar (2011:39) yaitu zone of proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu. Trianto (2011:39) juga menambahkan bahwa menurut Vygotsky proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas- tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka yang disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut.
Gambar 1. Zona Perkembangan Proksimal
Tingkat Potensial
Zona Perkembangan Proksimal
Tingkat Aktual
Sumber : Oakley (2004:41)
Kunci utama dari teori ini menurut Oakley (2004:41) adalah peran guru atau orang lain yang lebih berpengalaman. Ide Vygotsky adalah peran penting guru dalam menyediakan bimbingan kepada siswa, memberikan masukan dan saran serta menawarkan berbagai macam strategi dalam memecahkan masalah. Wijayanti (2008) berpendapat bahwa teori tentang ZPD dari Vygotsky ini bermakna bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan bantuan guru atau teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari guru atau dari teman yang lebih mampu, siswa bergerak ke dalam ZPD mereka dimana pembelajaran terjadi. Berkaitan dengan teori ZPD ini, Bruner dalam Oakley (2004:42) mengembangkan ide Vygotsky lebih jauh. Ia menyarankan agar guru menggunakan Scaffolding dalam pembelajaran. Menurut Ruseffendi (1992:34) Scaffolding adalah bantuan atau support kepada seseorang anak dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten dengan maksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif yang actual dari anak yang bersangkutan. Selanjutnya Winataputra, dkk (2008:6.21) menanmbahkan bahwa Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan kepada siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang sudah diketahui. Berdasarkan pemahaman guru terhadap kemampuan siswa, siswa didorong dan ditugaskan untuk mengerjakan tugas yang sedikit lebih sulit, dan selangkah lebih tinggi dari kemampuan yang saat ini dmiliki dengan intensitas bimbingan yang semakin berkurang. Dengan cara ini, kemampuan berpikir siswa akan berkembang, di samping sesuai dengan perkembangan intelektual siswa, juga dipengaruhi oleh tantangan berpikir dalam penugasan oleh guru.
3. Implikasi Teori Vygotsky Proses Pembelajaran
Implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran menurut Oakley (2004:48- 50) yaitu sebagai berikut: 1. Proses pembelajaran yang diberikan oleh guru harus sesuai dengan tingkat perkembangan potensial siswa. Siswa seharusnya diberikan tugas yang dapat membantu mereka untuk mencapai tingkat perkembangan potensialnya. 2. Vygotsky mempromosikan penggunaan pembelajaran kolaboratif dan kooperatif, dimana siswa dapat saling berinteraksi dan saling memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam masing-masing ZPD mereka. Menurut Ruseffendi (1992:34) menjelaskan implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran diantaranya adalah guru bertugas menyediakan atau mengatur lingkungan belajar siswa dan mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, serta memberikan dukungan dinamis, sedemikian hingga setiap siswa bisa berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan proksimal.
4. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori Vygotsky
Contoh dalam pembelajaran, jika seseorang siswa membuat suatu
kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung memberitahukan di mana letak kesalahan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang siswa menyatakan bahwa untuk sebarang bilangan real x dan y berlaku (x-y)2 = x2 - y2. Guru tidak perlu langsung menyatakan bahwa itu salah. Lebih baik guru memberi pernyataan yang sifatnya menuntun, misalnya: “apakah (3-2)2 = 32 - 22?” Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan bisa menemukan sendiri letak kesalahannya yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran siswa bisa berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan sendiri letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa. Guru kiranya bisa memanfaatkan baik teori Piaget maupun teori Vygotsky dalam upaya untuk melakukan proses pembelajaran yang efektif. Di satu pihak, guru perlu mengupayakan supaya siswa berusaha agar bisa mengembangkan diri masing-masing secara maksimal, yaitu mengembangkan kemampuan berpikir dan bekerja secara independen (sesuai dengan teori Piaget), di lain pihak, guru perlu juga mengupayakan supaya tiap-tiap siswa juga aktif berinteraksi dengan siswa-siswa lain dan orang- orang lain di lingkungan masing-masing (sesuai dengan teori Vygotsky). Jika kedua hal itu dilakukan, perkembangan kognitif tiap-tiap siswa akan bisa terjadi secara optimal. DAFTAR PUSTAKA
Dahar, R.W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Erlangga.
Jauhari, Mohammad. 2011. Implementasi PAIKEM: dari Behavioristik sampai
Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi.