Anda di halaman 1dari 17

TEORI BELAJAR PENDIDIKAN MATEMATIKA SD (PMRI,

KOOPERATIF NHT, VIGOTSKY)

Mata Kuliah Pendidikan Matematika Kelas Lanjut

Dosen Pengampu : Drs. Purwono PA., M.Pd.

Disusun oleh :

1. Isnaeni Khoerunnisa (18108241009)


2. Khotimah Safinatunnajah (18108241023)
3. Zahida Afifah Abdurrahman (18108241148)
4. Fadlan Kharisma Aji Nugroho (18108244036)
5. Aprilia Tri Rahminingsih (18108244040)
6. Vera Palentina (18108249002)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2020
A. TEORI BELAJAR PMRI
1. Pengertian Pendidikan Matematika Realistik
Menurut Yusuf Hartono (dalam Krisdaning, 2013: 22) Pendidikan Matematika
Realistik merupakan suatu pendekatan yang diadaptasi dari suatu pendekatan
pendidikan matematika yang telah diperkenalkan oleh Freudenthal di Belanda pada
tahun 1973 dengan nama Realistic Mathematics Education (RME). Hans
Freudenthal berpandangan bahwa ―mathematics as human activity sehingga
belajar matematika yang dipandang paling baik adalah dengan melakukan
penemuan kembali (reinvention) melalui masalah sehari-hari (daily life problems)
dan selanjutnya secara bertahap berkembang menuju ke pemahaman matematika
formal.
Menurut Soejadi (dalam Apriyanti, 2012: 6) mengemukakan bahwa:
”Pendekatan Matematika Realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan
lingkungan yang dipahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran
matematika sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih
baik daripada masa lalu”.
Berdasarkan pengertian beberapa ahli di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu pendekatan yang bertitik tolak
pada realita atau konteks nyata di sekitar siswa untuk mengawali kegiatan
pembelajaran dan akhirnya digunakan untuk menyelesaikan masalah dalam
kehidupan sehari-harinya.
2. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik
Gravemeijer (dalam Tarigan, dalam Krisdaning, 2013) mengemukakan 5
karakteristik pendekatan matematika realistik (PMR), yaitu:
a. Penggunaan Masalah Kontekstual (Use of Context)
Proses pembelajaran diawali dengan keterlibatan siswa dalam pemecahan
masalah kontekstual. Masalah kontekstual tidak hanya berfungsi sebagai
sumber pematematikaan, tetapi juga sebagai sumber untuk mengaplikasikan
kembali matematika.
b. Penggunaan Model (Use of Models, Bridging by Vertical Instruments)
Konsep atau ide matematika direkonstruksikan oleh siswa melalui model-
model instrumen vertikal, yang bergerak dari prosedur informal ke bentuk
formal, dan juga digunakan sebagai jembatan antara level pemahaman yang
satu ke level pemahaman yang lain. Instrumen-instrumen vertikal ini dapat
berupa skema-skema, diagram-diagram, simbol-simbol dan lain sebagainya.
c. Kontribusi siswa (Students Contribution)
Siswa aktif mengkonstruksi sendiri bahan matematika berdasarkan fasilitas
dengan lingkungan belajar yang disediakan oleh guru, secara aktif
menyelesaikan soal dengan cara masing-masing.
d. Kegiatan interaktif (Interactivity)
Kegiatan belajar bersifat interaktif, yang memungkinkan terjadinya
interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan
perangkat pembelajaran. Bentuk-bentuk interaksi seperti: negosiasi,
penjelasan, pembenaran, persetujuan, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk
mencapai bentuk pengetahuan matematika formal yang ditemukan sendiri oleh
siswa. Interaksi terus dioptimalkan sampai konstruksi yang diinginkan
diperoleh, sehingga interaksi tersebut bermanfaat.
e. Keterkaitan topik (Intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan dan terintegrasi satu sama
lain. Keterkaitan dan keterintegrasian antar struktur dan konsep matematika ini
harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang
lebih bermakna.
3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Matematika Realistik
Gravemeijer (dalam Nopen, dalam Krisdaning, 2013) mengemukakan tiga
prinsip utama dalam Pendidikan Matematika Realistik yaitu:
a. Penemuan terbimbing dan matematisasi progresif (guided reinvension and
progressive mathematizing)
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan
matematisasi secara progresif. Guru memberi bimbingan kepada siswa dengan
topik—topik yang disampaikan, siswa diberi kesempatan yang sama untuk
membangun dan menemukan kembali tentang konsep-konsep matematika.
b. Fenomenologis didaktis
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Fenomena
pembelajaran menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk
memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Dalam hal ini siswa
mempelajari matematika mulai dari masalah kontekstual yang terdapat dalam
kehidupan sehari-hari sehingga siswa mendapatkan gambaran tentang
pentingnya masalah kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik
matematika.
c. Self develop or emergent models
Prinsip ketiga adalah pengembangan model sendiri, yang berfungsi
menjembatani antara pengetahuan informal dengan matematika formal. Siswa
diberi kesempatan untuk mengembangkan model-modelnya sendiri dalam
memecahkan soal-soal kontekstual. Pemodelan ini dapat berupa membuat
gambar, diagram, tabel atau melalui pengembangan simbol-simbol informal.
4. Peran Guru dan Siswa dalam Pendidikan Matematika Realistik
Menurut Yusuf Hartono (dalam Krisdaning, 2013: 27-28) peran guru dan siswa
dalam pembelajaran matematika realistik adalah sebagai berikut.
a. Peran Guru
Dalam pendekatan matematika realistik guru dipandang sebagai fasilitator,
moderator, dan evaluator yang menciptakan situasi dan menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika
dengan cara mereka sendiri. Oleh karena itu, guru harus mampu menciptakan
dan mengembangkan pengalaman belajar yang mendorong siswa untuk
memiliki aktivitas baik untuk dirinya sendiri maupun bersama siswa lain
(interaktivitas).
b. Peran Siswa
Dalam pendekatan matematika realistik, siswa dipandang sebagai individu
(subjek) yang memiliki pengetahuan dan pengalaman sebagai hasil
interaksinya dengan lingkungan. Menurut Hadi (Yusuf, 2008: 5) konsepsi
siswa dalam pendekatan ini adalah sebagai berikut.
1) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika
yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
2) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu
untuk dirinya sendiri.
3) Siswa membentuk pengetahuan melalui proses perubahan yang meliputi
penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan
penolakan.
4) Siswa membangun pengetahuan baru untuk dirinya sendiri dari beragam
pengalaman yang dimilikinya.
5) Siswa memiliki kemampuan untuk memahami dan mengerjakan
matematika tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin.
5. Langkah-Langkah Pendidikan Matematika Realistik
Langkah-langkah dalam proses Pendidikan Matematika Realistik adalah
sebagai berikut (Krisdaning, 2013: 29-30):
a. Memahami masalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk
memahami masalah tersebut. Pada tahap ini karakteristik pertama diterapkan
yaitu penggunaan masalah kontekstual.
b. Menjelaskan masalah kontekstual
Guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan
petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya, tebatas pada bagian-bagian
tertentu dari permasalahan yang belum dipahami oleh siswa. Pada tahap ini
memberi peluang terlaksananya prinsip pertama PMR yaitu penemuan
terbimbing dan matematisasi progresif.
c. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontektual pada buku
siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah
yang berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan
masalah tersebut dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun yang
mengarahkan siswa memperoleh penyelesaian masalah tersebut. Pertanyaan-
pertanyaan penuntun seperti bagaimana kamu tahu itu, bagaimana caranya,
mengapa kamu berpikir seperti itu, dan lain-lain.
d. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka
dalam kelompok kecil. Setelah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan pada
diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Pada tahap ini siswa dapat melatih
keberanian mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain
atau bahkan dengan gurunya.
e. Menyimpulkan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru
mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi,
teorema, prinsip atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah
kontekstual yang baru diselesaikan.
B. Teori Belajar Kooperatif NHT (Numbered Head Together)
1. Pengertian Model Pembelajaran NHT
Model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) atau
penomoran Berpikir bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif
yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif
terhadap struktur kelas tradisional. Pembelajaran kooperatif tipe NHT menekankan
pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan
memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik. Model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh
Spenser Kagen pada tahun 1993 untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam
menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman
mereka terhadap isi pelajaran tersebut (Trianto, 2009).
Selain itu menurut (Lie, 1999 dalam Hamsa, 2009), mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) juga mendorong
siswa untuk meningkatkan kerja sama mereka. Model ini dapat digunakan untuk
semua mata pelajaran dan semua tingkatan peserta didik. Pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT) adalah suatu model pembelajaran dimana
setiap siswa di beri nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian guru
memanggil nomor dari siswa tersebut secara acak.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
Pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) merupakan salah
satu tipe pembelajran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus
(pembentukan kelompok yang terdiri 4-6 orang, dimana tiap anggota diberi
nomor).

2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT


Menurut Trianto (2009), bahwa dalam mengajukan pertanyaan kepada
siswa, guru menggunakan struktur empat fase sebagai langkah-langkah
pembelajaran NHT sebagai berikut:
a. Langkah 1: Penomoran
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 4-6 orang dan kepada
setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 6.
b. Langkah 2: Mengajukan Pertanyaan
Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi.
Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya.
c. Langkah 3: Berpikir bersama Siswa
Menyatukan pendapat terhadap jawaban pertanyaan itu dan menyiapkan tiap
anggota dalam timnya mengetahui jawaban tim.
d. Langkah 4: Menjawab Pertanyaan
Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa dengan nomor yang
sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan untuk
seluruh kelas.
Langkah-langkah tersebut di atas kemudian dikembangkan menjadi enam
langkah sesuai untuk kebutuhan pelaksanaan penelitian ini. Pengembangan
langkah ini berangkat dari langkah pembelajaran kooperatif menurut Ibrahum
(2000, dalam Trianto, 2009). Enam langkah tersebut adalah sebagai berikut:
a. Fase 1 Menyampaikan Tujuan dan Memotivasi Siswa
Guru menyampaikan semua tujuan pembelajaran yang ingin di capai pada
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar.
b. Fase 2 Menyajikan Informasi
Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan.
c. Fase 3 Mengorganisasi Siswa ke dalam Kelompok Belajar Kooperatif
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
d. Fase 4 Membimbing Kelompok Bekerja dan Belajar
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar saat mereka mengerjakan
tugas mereka.
e. Fase 5 Evaluasi
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau
masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.
f. Fase 6 Memberikan Penghargaan
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar
individu dan kelompok.
Sumber : (Lie, A: 2008)
3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT
Menurut Uno (2009), bahwa kelebihan dan kekurangan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut.
a. Kelebihan
1) Setiap siswa menjadi siap semua
2) Semua dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh
3) Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai
4) Mengembangkan sikap demokratif; tanggung jawab; menghargai
pendapat orang lain dan dan memupuk rasa percaya diri sendiri.
b. Kekurangan
1) Tidak terlalu cocok untuk jumlah siswa yang banyak karena
membutuhkan waktu yang lama
2) Kemungkinan nomor yang telah dipanggil, di panggil kembali oleh
guru
3) Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru.
C. Teori Vigotsky
1. Profil Singkat Vigotsky
Nama lengkapnya adalah Lev Semyonovich Vygotsky. Ia dilahirkan di
salah satu kota Tsarist, Russia, tepatnya pada pada 17 November 1896, dan
berketurunan Yahudi. Ia tertarik pada psikologi saat berusia 28 tahun. Sebelumnya,
ia lebih menyukai dunia sastra. Awalnya, ia menjadi guru sastra di sebuah sekolah,
namun pihak sekolah juga memintanya untuk mengajarkan psikologi. Padahal, ia
sama sekali tidak pernah mengenyam pendidikan formal di fakultas psikologi
sebelumnya. Namun, inilah skenario yang membuatnya menjadi tertarik untuk
menekuni psikologi, hingga akhirnya ia melanjutkan kuliah di program studi
psikologi Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925. Judul disertasinya
mengenai ”Psychology of Art”.
Lev Vygotsky adalah seorang psikolog yang berasal dari Rusia dan hidup
pada masa revolusi Rusia. Vygotsky dalam menelurkan pemikiran-pemikirannya di
dunia psikologi kerap menghadapi rintangan oleh pemerintah Rusia saat itu.
Perkembangan pemikirannya meluas setelah ia wafat pada tahun 1934,
dikarenakan menderita penyakit TBC. Vygotsky pun sering dihubungkan dengan
psikolog Swiss bernama Piaget. Lahir pada masa yang sama dengan Piaget,
seorang psikolog yang juga mempunyai keyakinan bahwa keaktifan anak yang
membangun pengetahuan mereka. Vygotsky meninggal dalam usia yang cukup
muda, yaitu ketika masih berusia tiga puluh tujuh tahun.

2. Konstruktivisme Sosial Vygotsky

Lev Vygotsky mengkritik pendapat Piaget yang menyatakan bahwa faktor


utama yang mendorong perkembangan kognitif seseorang adalah motivasi atau
daya dari dalam si individu itu sendiri untuk mau belajar dan berinteraksi dengan
lingkungan. Vygotsky justru berpendapat bahwa interaksi sosial, yaitu interaksi,
individu tersebut dengan orang-orang lain merupakan faktor yang terpenting yang
mendorong atau memicu perkembangan kognitif seseorang (Ruseffendi, 1992:32).
Teori Vygotsky merupakan salah satu teori penting dalam psikolog perkembangan.
Menurut Vygotsky bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau belajar
menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu masih berada
dalam jangkauan kemampuannya. Vygotsky dalam Ruseffendi (1992:33)
berpendapat pula bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif
apabila si anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana
lingkungan yang mendukung (supportive) dalam bimbingan atau pendampingan
seseorang yang lebih mampu atau lebih dewasa, misalnya seorang guru.
Oakley (2004:38) menjelaskan bahwa teori Vygotsky berfokus pada tiga
faktor yaitu budaya (culture), bahasa (language) dan zona perkembangan
proksimal (zone of proximal development atau ZPD). Selanjutnya, Oakley
(2004:38-41) merinci ketiga hal tersebut sebagai berikut :
a. Budaya (culture)

Vygotsky berpendapat bahwa budaya dan lingkungan sosial seorang


anak adalah hal terpenting yang mempengaruhi pembentukan pengetahuan
mereka. Anak-anak belajar melalui lagu, bahasa, kesenian dan permainan. Ia
juga menyatakan bahwa budaya mempengaruhi proses belajar, anak-anak
belajar melalui interaksi dan kerjasama dengan orang lain dan
lingkungannya.
Vygotsky dalam Komalasari (2010:20) meyakini bahwa jalan pikiran
seseorang harus dimengerti dari latar sosial budaya dan sejarahnya.
Perolehan pengetahuan dan perkembangan kognitif seseorang sesuai dengan
teori sosiogenesis. Dimensi kesadaran sosial bersifat primer, sedangkan
dimensi individualnya bersifat derivative atau merupakan turunan dan
bersifat sekunder. Artinya pengetahuan dan perkembangan kognitif individu
berasal dari sumber-sumber sosial di luar dirinya. Hal ini tidak berarti
bahwa individu bersikap pasif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi
Vygotsky juga menekankan pentingnya peran aktif seseorang dalam
mengkonstruksi pengetahuannya.
Hal ini juga dipertegas oleh Winataputra, dkk (2008:6.9) yang
menyatakan bahwa proses dan konteks kultural yang beragam juga
menghasilkan belajar yang beragam pula. Sebagai contoh kita dapat
mengamati bagaimana anak-anak mempelajari suatu konsep melalui modus
tertentu. Ebelum media visual banyak digunakan, anak-anak mempelajari
nilai-nilai yang berlaku melalui apa yang didengar dari oerang lain
b. Bahasa (language)

Vygotsky mengemukakan bahwa bahasa berperan penting dalam


proses perkembangan kognitif anak. Menurutnya pula, ada hubungan yang
jelas antara perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif. Ia
menyatakan bahwa ada tiga tahap perkembangan bahasa. Tiga tahap
perkembangan tersebut dideskripsikan dalam tabel berikut :
Tabel Tahap Perkembangan Bahasa Vygotsky
Tahap Perkiraan Usia Deskripsi
Social speech Sampai 3 tahun Bicara biasanya
(eksternal speech) dilakukan untuk
mengontrol tingkah laku,
dan untuk
mengekspresikan
pemikiran sederhana
seperti emosi
Egocentric speech 3-7 tahun Anak-anak lebih sering
berbicara dengan diri
mereka sendiri, mereka
membicarakan apa yang
mereka lakukan dan
mengapa mereka
melakukannya
Inner speech Di atas 7 tahun Inner speech atau
sampai dewasa pembicaraan batin,
merupakan proses
hubungan antara pikiran
dan bahasa, pada tahap
ini setiap individu telah
sampai pada tipe fungsi
mental yang lebih tinggi
Sumber : Lisa dan LeFrancois dalam Oakley (2004:39)
Selanjutnya, Vygotsky menurut Oakley (2004:40) menentukan
perbedaan antara fungsi mental dasar dan fungsi mental lebih tinggi. Fungsi
mental dasar adalah alami dan tidak dipelajari, sedangkan fungsi mental
lebih tinggi dipengaruhi dan berkembang melalui belajar, seperti bahasa dan
memori, pemikiran, pemusatan perhatian dan lain-lain. Seseorang
membutuhkan inner speech dan budaya yang ditransmisikan melalui bahasa
dan bantuan orang lain yang lebih ahli untuk mengubah fungsi mental dasar
menjadi fungsi mental yang lebih tinggi.
Vygotsky dalam Dahar (2011:153) menyarankan bahwa interaksi
sosial merupakan hal yang penting bagi siswa dalam menginternalisasi
pemahaman-pemahaman yang sulit, masalah-masalah dan proses.
Selanjutnya, proses internalisasi melibatkan rekonstruksi aktivitas
psikologis dengan dasar penggunaan bahasa. Dengan demikian, terlihat jelas
bahwa penggunaan bahasa secara aktif yang didasarkan pemikiran
merupakan sarana bagi siswa untuk menegosiasi kebermaknaan
pengalaman-pengalaman mereka.
c. Zona perkembangan proksimal atau Zone of proximal development

(ZPD)

Vygotsky dalam Komalasari (2010:23) mengemukakan konsepnya


tentang zona perkembangan proksimal (zone of proximal development).
Menurutnya perkembangan seseorang dapat dibedakan ke dalam dua
tingkat, yaitu tingkat perkembangan aktual dan tingkat perkembangan
potensial. Tingkat perkembangan aktual tampak dari kemampuan seseorang
untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan berbagai masalah secara
sendiri. Ini disebut sebagai kemampuan intramental. Sedangkan tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibimbing
orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih
mampu atau kompeten. Ini disebut kemampuan intermental. Jarak antara
tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial
disebut zona perkembangan proksimal, yang diartikan sebagai fungsi-fungsi
atau kemampuan-kemampuan yang belum matang yang masih pada proses
pematangan.
Hal yang sama juga disebutkan oleh Jauhar (2011:39) yaitu zone of
proximal development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan memecahkan
masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah dibawah bimbingan
orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Trianto (2011:39) juga menambahkan bahwa menurut Vygotsky
proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-
tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada
dalam jangkauan mereka yang disebut dengan zone of proximal
development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit di atas daerah
perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky yakin bahwa fungsi mental
yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerja sama
antar individu sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam
individu tersebut.

Gambar 1. Zona Perkembangan Proksimal

Tingkat Potensial

Zona Perkembangan Proksimal

Tingkat Aktual

Sumber : Oakley (2004:41)


Kunci utama dari teori ini menurut Oakley (2004:41) adalah peran
guru atau orang lain yang lebih berpengalaman. Ide Vygotsky adalah peran
penting guru dalam menyediakan bimbingan kepada siswa, memberikan
masukan dan saran serta menawarkan berbagai macam strategi dalam
memecahkan masalah.
Wijayanti (2008) berpendapat bahwa teori tentang ZPD dari Vygotsky
ini bermakna bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial dengan
bantuan guru atau teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari guru
atau dari teman yang lebih mampu, siswa bergerak ke dalam ZPD mereka
dimana pembelajaran terjadi.
Berkaitan dengan teori ZPD ini, Bruner dalam Oakley (2004:42)
mengembangkan ide Vygotsky lebih jauh. Ia menyarankan agar guru
menggunakan Scaffolding dalam pembelajaran. Menurut Ruseffendi
(1992:34) Scaffolding adalah bantuan atau support kepada seseorang anak
dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten dengan maksud agar
si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih
tinggi tingkat kerumitannya dari pada tingkat perkembangan kognitif yang
actual dari anak yang bersangkutan.
Selanjutnya Winataputra, dkk (2008:6.21) menanmbahkan bahwa
Scaffolding merupakan proses memberikan tuntunan atau bimbingan kepada
siswa untuk mencapai apa yang harus dipahami dari apa yang sekarang
sudah diketahui. Berdasarkan pemahaman guru terhadap kemampuan siswa,
siswa didorong dan ditugaskan untuk mengerjakan tugas yang sedikit lebih
sulit, dan selangkah lebih tinggi dari kemampuan yang saat ini dmiliki
dengan intensitas bimbingan yang semakin berkurang. Dengan cara ini,
kemampuan berpikir siswa akan berkembang, di samping sesuai dengan
perkembangan intelektual siswa, juga dipengaruhi oleh tantangan berpikir
dalam penugasan oleh guru.

3. Implikasi Teori Vygotsky Proses Pembelajaran


Implikasi teori Vygotsky dalam pembelajaran menurut Oakley (2004:48-
50) yaitu sebagai berikut:
1. Proses pembelajaran yang diberikan oleh guru harus sesuai dengan
tingkat perkembangan potensial siswa. Siswa seharusnya diberikan tugas
yang dapat membantu mereka untuk mencapai tingkat perkembangan
potensialnya.
2. Vygotsky mempromosikan penggunaan pembelajaran kolaboratif dan
kooperatif, dimana siswa dapat saling berinteraksi dan saling
memunculkan strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif dalam
masing-masing ZPD mereka.
Menurut Ruseffendi (1992:34) menjelaskan implikasi teori Vygotsky
dalam pembelajaran diantaranya adalah guru bertugas menyediakan atau
mengatur lingkungan belajar siswa dan mengatur tugas-tugas yang harus
dikerjakan siswa, serta memberikan dukungan dinamis, sedemikian hingga setiap
siswa bisa berkembang secara maksimal dalam zona perkembangan proksimal.

4. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori Vygotsky

Contoh dalam pembelajaran, jika seseorang siswa membuat suatu


kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung
memberitahukan di mana letak kesalahan tersebut. Sebagai contoh, jika
seseorang siswa menyatakan bahwa untuk sebarang bilangan real x dan y
berlaku (x-y)2 = x2 - y2. Guru tidak perlu langsung menyatakan bahwa itu salah.
Lebih baik guru memberi pernyataan yang sifatnya menuntun, misalnya:
“apakah (3-2)2 = 32 - 22?”
Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan bisa menemukan sendiri letak
kesalahannya yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas
bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara memilih pendekatan
pembelajaran yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran
siswa bisa berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut
untuk menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan sendiri
letak kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding (tuntunan atau
dukungan yang dinamis) dari guru pada siswa.
Guru kiranya bisa memanfaatkan baik teori Piaget maupun teori
Vygotsky dalam upaya untuk melakukan proses pembelajaran yang efektif. Di
satu pihak, guru perlu mengupayakan supaya siswa berusaha agar bisa
mengembangkan diri masing-masing secara maksimal, yaitu mengembangkan
kemampuan berpikir dan bekerja secara independen (sesuai dengan teori Piaget),
di lain pihak, guru perlu juga mengupayakan supaya tiap-tiap siswa juga aktif
berinteraksi dengan siswa-siswa lain dan orang- orang lain di lingkungan
masing-masing (sesuai dengan teori Vygotsky). Jika kedua hal itu dilakukan,
perkembangan kognitif tiap-tiap siswa akan bisa terjadi secara optimal.
DAFTAR PUSTAKA

Dahar, R.W. 2011. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Erlangga.

Jauhari, Mohammad. 2011. Implementasi PAIKEM: dari Behavioristik sampai

Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual: Konsep dan Aplikasi.

Bandung: Refika Aditama.

Oakley, Lisa. 2004. Cognitive Development. London: Routledge-Taylor &


Francis Group

Rusefendi, dkk. 1992. Materi Pokok Pendidikan Matematika 3. Jakarta:


Debdikbud.

Trianto. 2011. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif: Konsep,


Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Jakarta: Bumi Aksara.

Widjajanti, D. B. 2008. Strategi Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah.


Tersedia:http://eprints.uny.ac.id/6910/1/P8%20Pendidikan%20(Djam
ila h).pdf. Diakses tanggal 15 Maret 2013.

Winataputra, U.S, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :


Universitas Terbuka.

Anda mungkin juga menyukai