Anda di halaman 1dari 20

BAB III

PMRI

Kompetensi Dasar
Mahasiswa memahami pengertian, jenis, dan contoh Pendidikan Matematika Realistik
Indonesia (PMRI) matematika, serta implementasinya. .

Indikator Hasil Belajar


1. Mahasiswa dapat menguasai teori dan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia.
2. Mahasiswa dapat menggali dan memberi contoh penerapan metode pembelajaran
matematika di SD.

A. Kajian PMRI

Berbagai pendekatan pembelajaran telah banyak dibahas dan diterapkan dalam dunia
pendidikan, seperti penerapan faham konstruktivistik dan CTL. Mengacu pada kedua pendekatan
ini, di Indonesia saat ini sedang dikembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang khusus
digunakan sebagai usaha meningkatkan kualitas pendidikan matematika di Indonesia.
Pendekatan dimaksud adalah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI).

PMRI diadaptasi dari Realistics Mathematic Education (RME) yang dikembangkan


berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal (dalam Sutarto Hadi, 2003) yang berpendapat bahwa
matematika merupakan aktivitas manusia dan harus dikaitkan dengan realitas kehidupan.
Selanjutnya, Armanto (2008) menyatakan bahwa penerapan PMR di Indonesia sangat sesuai
dengan amanah KTSP, yaitu: (1) dalam setiap kesempatan pembelajaran dimulai dengan
pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (kontekstual); (2) melalui masalah kontekstual,
secara bertahap siswa dibimbing menguasai konsep materi pelajaran; (3) pendekatan pemecahan
masalah merupakan fokus pembelajaran, mencangkup masalah tertutup (masalah dengan solusi

1
tunggal), masalah terbuka (masalah dengan solusi tidak tunggal dan memiliki berbagai cara
penyelesaian).

Hal ini dilakukan karena masalah matematika terbuka akan dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan produktif siswa. Karena itu, mahasiswa (calon guru)
harus juga aktif, dan kreatif mengkaji penerapan masalah terbuka dalam pembelajaran. Dengan
demikian, setelah menjadi guru, mahasiswa telah terbiasa menghadapi masalah terbuka dan
mampu menyajikan bagi anak didiknya. Zulkardi (dalam Supinah dan Agus D.W, 2009)
menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran, harus dimungkinkan siswa mampu
mendemonstrasikan apa yang mereka ketahui bukannya apa yang mereka tidak ketahui. Hal ini
dapat dibimbing dengan menyediakan soal-soal yang memungkinkan banyak jawaban dengan
berbagai strategi untuk menjawabnya.

Beberapa hasil penelitian berkaitan dengan PMRI yang dapat dipedomani dalam rangka
penyusunan bahan ajar melalui penelitian pengembangan ini antara lain: (1) temuan Suharta
(2004) menyatakan bahwa penerapan PMRI berpengaruh positif terhadap penalaran dan
komunikasi matematik peserta didik. (2) temuan Fausan (2002) tentang pengembangan dan
pengimplementasian perangkat pembelajaran yang berorientasi PMR di SD adalah efektif untuk
mengembangkan pengertian konseptual dan prosedural, penalaran, peserta didik tidak cepat lupa,
sikap positif terhadap masalah matematika, peserta dapat menghargai pendapat teman, dan
melatih peserta didik untuk berpikir. Selanjutnya, ada juga beberapa pendapat tentang penerapan
PMRI dalam pengembangan penalaran, kreativitas maupun kepribadian siswa yang dikutif dari
beberapa pengalaman dan pendapat guru SD/MI, pengamat ujicoba, konsultan maupun
pengembang yang terlibat dalam proyek PMRI (dalam Siswono, 2006), yaitu:

a. Hj. Muzenah Fachir, S.Pd (Guru SD Islam Sabilal Muhtadin, Bandung): mengajar konsep
perkalian dengan tutup botol bekas sebagai media membuat menemukan sendiri konsep
dasar perkalian dan pembelajaran menjadi bermakna dan menyenangkan. (Buletin PMRI,
Juni 2005)
b. Tatag Y.E.Siswono (Dosen Unesa): hasil wawancara dan observasi mengindikasikan
bahwa pembelajaran PMRI memberi dampak pengiring (tak langsung) bagi siswa, yaitu:
mereka menjadi tertib, berani mengemukakan pendapat dan mengajukan pertanyaan,
berpikir keras dan antusias. (Buletin PMRI, Juni 2005).
c. Annie Makkink (Anggota mitra PMRI dari Proyect Bilaterale samenwerking Indonesia
(PBSI): Pembelajaran matematika yang membebaskan anak berkreasi (dalam hal ini

2
PMRI) merupakan cara untuk mengenal adanya keragaman dan perbedaan kepada anak.
(Kompas, Jum’at, 28 Januari 2008).
d. Prof. R. Soedjadi (Tim PMRI Unesa Surabaya): disadari atau tidak PMRI secara bertahap
mengubah ”budaya guru mengajar” dan ”budaya siswa belajar”. Marilah kita sadari
perlunya PMRI untuk menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik. (Buletin
PMRI, Oktober 2003).

B. Prinsip PMRI

Berdasarkan konsep di atas, agar dapat melaksanakan PMRI secara untuh, mahasiswa
perlu mengenal prinsip-prinsip yang digunakan dalam PMRI yang mengacu pada prinsip-prinsip
RME. Menurut Gravemeijer (dalam Supinah dan Agus D.W, 2009) ada tiga prinsip kunci RME,
yaitu: Guided re-invention, Didacdical Phenomenology, dan Self-developed model.

1. Guided re-invention atau Menemukan Kembali Secara Seimbang

Dalam melaksanakan pembelajaran, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk


melakukan matematisasi dengan masalah kontekstual yang realistik bagi siswa. Siswa didorong
untuk aktif bekerja sehingga dapat membangun sendiri pengetahuannya. Hal ini berarti,
pembelajaran dimulai dengan memberikan masalah konstekstual atau real/nyata bagi siswa,
selanjutnya dengan melakukan aktivitas diharapkan siswa dapat menemukan sifat, definisi,
teorema, ataupun aturan lainnya oleh siswa sendiri.

2. Didacdical Phenomenology atau Fenomena Didaktik

Pembelajaran matematika yang selama ini cenderung sebagai ajang memberi informasi
kepada siswa, perlu diubah dengan menjadikan masalah sebagai sarana utama untuk mengawali
pembelajaran. Dalam memecahkan masalah itu, siswa diberikan kesempatan untuk
memecahkannya dengan caranya sendiri melalui matematisasi horizontal dan matematisasi
vertikal. Menurut De Lange, proses matematisasi horizontal antara lain meliputi langkah-langkah
informal yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah (soal), membuat model,
membuat skema, menemukan hubungan, dan lain-lain. Matematika vertikal antara lain meliputi
proses menyatakan suatu hubungan dengan suatu formula (rumus), membuktikan keteraturan,
membuat berbagai model, merumuskan konsep baru, melakukan generalisasi, dan sebagainya.
Proses matematisasi horizontal-vertikal inilah yang memungkinkan siswa dapat memahami

3
matematika yang bersifat abstrak. Dengan masalah konstekstual yang diberikan diawal
pembelajaran, sangat dimungkinkan siswa akan menyelesaikannya dengan banyak cara dan
mereka diharapkan dapat mempertanggungjawabkannya. Dengan demikian, siswa mulai
dibiasakan untuk bebas berpikir dan berani berpendapat, karena walaupun cara yang digunakan
berbeda tetapi secara matematis cara itu benar dan mendapatkan jawaban yang juga benar. Hal
ini bisa terjadi bila dalam pelaksanaan pembelajaran guru melibatkan masalah terbuka. Dengan
memperhatikan fenomena didaktik yang terjadi di kelas seperti itu, akan terbentuk proses
pembelajaran matematika yang tidak lagi berorientasi pada guru tetapi beralih ke pembelajaran
matematika yang berorientasi pada siswa bahkan berorientasi pada masalah (Marpaung, 2001:4).

3. Self-developed model atau Model Dibangun Sendiri Oleh Siswa

Pada saat siswa menyelesaikan masalah kontekstual, siswa mengembangkan suatu model.
Model itulah diharapkan dapat dibangun sendiri oleh siswa baik saat matematisasi horizontal
maupun vertikal. Kebebasan yang diberikan oleh guru kepada siswa saat memecahkan masalah,
dengan sendirinya akan memungkinkan munculnya berbagai model pemecahan masalah buatan
siswa. Bila dibuatkan hubungan, dalam proses pembelajaran matematika realistik diharapkan
terjadi urutan pembelajaran seperti: mulai situasi nyata model dari situasi nyata itu
model ke arah formal pengetahuan formal.

Hubungan inilah yang disebut model ”bottom up” yang merupakan prinsip RME yang disebut
”Self-developed Models” (Soedjadi, 2000: 1)

Dalam perkembangannya di Indonesia, saat ini Pendidikan Matematika Realistik (PMR)


mendapat perhatian yang sangat tinggi dari berbagai fihak seperti guru, siswa, orang tua, dosen
LPTK, dan terutama pemerintah. Dukungan penuh diberikan oleh LPTK, terbukti dengan
semakin banyaknya LPTK terlibat dalam pengembangan PMR tersebut dengan mengambil
beberapa sekolah sebagai tembat uji coba, seperti UNESA, Unsri, Unimed, Unlam, dan lain
sebagainya termasuk Undiksha sejak tahun 2008 lalu telah mendirikan P4MRI. Semuanya itu
diprakarsai oleh ITB dengan IP-PMRI nya. Tim PMRI Pusat dengan wadah IP-PMRI itu sedang
berusaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan matematika secara nasional sesuai dengan
paradigma baru pendidikan.

4
Praktik pendidikan yang selama ini terjadi adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru
yang dianggap berhasil adalah guru yang mampu mengelola kelas sedemikian rupa sehingga
siswa-siswa tertib dan tenang mengikuti pembelajaran. Guru seolah-olah ingin memindahkan
pengetahuan yang dimilikinya agar segera dimiliki oleh siswanya. Siswa dianggap berhasil
dalam belajar apabila mampu mengingat banyak fakta, dan mampu mengungkapkan kembali
fakta-fakta tersebut kepada orang lain, atau menggunakan fakta tersebut untuk menjawab soal-
soal saat ujian. Guru merasa belum mengajar kalau tidak dapat menjelaskan materi pelajaran
kepada para siswa. Guru yang baik adalah guru yang menguasai bahan, saat pembelajaran bisa
tanpa melihat buku, selama kurun waktu sesuai jadwal pelajaran mampu berceramah secara
lantang. Menurut Sutarto Hadi (2003), praktik pendidikan seperti di atas sangat jauh dari hakikat
pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang
memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya. Hal ini berarti, paradigma
baru pendidikan lebih menekankan pada pemberian kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan potensinya. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan
pengetahuan. Guru harus mengubah perannya tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi
dalam pembelajaran, tetapi berperan sebagai fasilitator agar siswa mampu membangun
pengetahuan untuk dirinya sendiri, dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya.

Menurut Zamroni (dalam Hadi, 2003), paradigma baru pendidikan menekankan bahwa
proses pendidikan formal sistem persekolahan di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

a. Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar


(teaching);
b. Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
c. Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik
khusus dan mandiri; dan
d. Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi
dengan lingkungan.

Sejalan dengan paradigma baru pendidikan di atas, tampaknya PMR sangat tepat
dikembangkan di Indonesia dengan nama PMRI. Hal ini sesuai dengan konsepsi PMR tentang
siswa, guru, dan tentang pembelajaran, yang dinyatakan oleh Hadi (2003) sebagai berikut.

1) Konsepsi tentang siswa


PMR mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut.

5
a) Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya;
b) Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri;
c) Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan;
d) Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari
seperangkat ragam pengalaman;
e) Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan
mengerjakan matematika.

2) Peran Guru
PMR mempunyai konsepsi tentang guru sebagai berikut.

a) Guru hanya sebagai fasilitator belajar;


b) Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif;
c) Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada
proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil;
dan
d) Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif
mengaitkan kurikulum dengan dunia riil baik fisik maupun sosial.

3) Konsepsi tentang pembelajaran


Menurut De Lange (dalam Sutarto Hadi, 2003) menyatakan bahwa pembelajaran matematika
dengan pendekatan PMR meliputi aspek-aspek:

a) Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil bagi siswa sesuai
dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam
pembelajaran secara bermakna;
b) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pembelajaran tersebut.

6
c) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal
terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
d) Pembelajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan
terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju
terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif
penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh
atau terhadap hasil pembelajaran.

D. Karakteristik PMRI

Sesuai dengan berbagai konsepsi di atas, Marpaung (2008) menyatakan bahwa dalam
kaitannya dengan penyelenggaraan pembelajaran, Pendidikan Matematika Realistik (PMR)
memiliki karakteristik sebagai berikut.

1. Guru harus mengusahakan agar siswa selalu aktif dalam pembelajaran untuk
mengkonstruksi pengetahuannya sendiri karena matematika merupakan aktivitas
manusia.
2. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah kontekstual/realistik
bagi siswa.
3. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memecahkan masalah dengan
caranya sendiri.
4. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi.
5. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Guru dalam
berkomunikasi dengan siswa hendaknya santun, terbuka, dan komunikatif (SANI).
6. Guru menyajikan materi ajar yang saling terkait (intertwinment).
7. Pembelajaran berpusat pada siswa. Siswa bebas memilih modus representasi sesuai
dengan struktur kognitifnya saat memecahkan masalah.
8. Guru bertindak sebagai fasilitator (tut wuri handayani)
9. Kalau siswa membuat kesalahan tidak perlu langsung dimarahi tetapi dibantu melalui
pertanyaan-pertanyaan penuntun.

7
10. Guru perlu menghargai keberanian siswa mengemukakan idenya, sehingga akan terjadi
saling keterbukaan. Hal ini akan menguntungkan guru karena tahu apa yang ada dalam
pikiran siswa.

Dengan karakteristik pembelajaran seperti di atas, maka pembelajaran matematika saat


ini perlu adanya pemberian berbagai jenis masalah, baik masalah matematika tertutup maupun
terbuka. Siswa diharapkan dengan senang hati berusaha memecahkan masalah tersebut sampai
mendapat suatu pemecahan yang masuk akal dan dapat dipertanggung jawabkan.

E. Pengembangan Masalah Matematika Terbuka Berpendekatan Pendidikan


Matematika Realistik (PMR)

Secara konseptual, masalah terbuka dalam pembelajaran matematika adalah masalah atau
soal-soal matematika yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memiliki beberapa atau
bahkan banyak solusi yang benar dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi tersebut.
Pendekatan ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk “experience in finding something
new in the process” (Schoenfeld, 1997 dalam Sudiarta, 2003). Pembelajaran yang berdasarkan
masalah matematika terbuka sangat sesuai dengan tuntutan KBK. Di samping mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah (problem solving), pendekatan ini juga menekankan pada
pencapaian kompetensi matematis tingkat tinggi yaitu berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Karena itu, pembelajaran yang berorientasi pemecahan masalah matematika terbuka perlu
dikembangkan dalam pelaksanaan KBK atau KTSP yang saat ini sedang dilaksanakan di
sekolah-sekolah.

Sesuai dengan karakteristik PMRI di atas, masalah matematika yang perlu


dikembangkan dalam setiap menyelenggarakan pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1. kontekstual, masalah yang dikembangkan berasal dari bahan-bahan ajar yang dekat, dikenal
dan menarik perhatian siswa.
2. inventif, siswa dipancing agar menemukan sendiri jawabannya.
3. Daya Kreatif siswa diharapkan muncul setelah membaca soal.
4. Ada kemungkinan siswa mengkaji solusi alternatif yang lebih baik.
5. Siswa mengkomunikasikan argumentasi terhadap jawaban yang dibuatnya.

8
6. Dengan adanya berbagai alternatif jawaban, siswa dapat saling menghargai pendapat
temannya dan bisa menerimanya bila pendapat itu memang benar. (Salman, M. 2008).
Berikut ini disajikan contoh masalah matematika tipe tertutup yang umumnya ditemukan
dengan mudah pada buku-buku sekolah (tabel 1, contoh 1) dan rencana pengembangannya
berupa pemecahan masalah matematika terbuka (tabel 2, contoh 2) yang memungkinkan dapat
mengembangkan kompetensi siswa SD dalam berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Perhatikan gambar berikut!

Gambar 1.1 Masalah Tertutup

Tabel 1.1 Masalah Tertutup

Kelas Kompetensi Dasar Masalah Matematika Keterangan

Mulai Terampil dalam Contoh 1 1. Tertutup


Kelas 2 SD melakukan operasi .
Seekor unta beratnya 12 2. Jawaban
hitung penjumlahan,
kali berat badan tunggal
pengurangan, perkalian
dan pembagian kambing. Jika berat
bilangan cacah badan seekor kambing 30
kg, berapakah berat
badan unta tersebut?

9
Penjelasan contoh 1

Pada contoh ini masalah matematika telah disajikan secara eksplisit sehingga siswa gampang
menjawabnya, sebab:

(a) Operasi matematikanya telah diberikan secara eksplisit, yaitu perkalian (perhatikan:
seekor unta beratnya 12 kali berat badan seekor kambing).
(b) Hubungan antara berat unta dan kambing juga diberikan secara eksplisit yaitu 12 kali.
(c) Berat seekor kambing juga diberikan secara eksplisit yaitu 30 kg
(d) Ditanya : berat unta
Dari analisis di atas tampak bahwa untuk menyelesaikannya siswa cukup memiliki
keterampilan dalam mengalikan bilangan. Tidak ada prosedur maupun jawaban lain. Dengan
unsur-unsur yang diketahui secara eksplisit di atas, jawaban siswa yang diharapkan adalah
sebagai berikut.

Diketahui: berat badan unta = 12 x berat badan kambing

Berat badan kambing = 30 kg

Pertanyaan: berat badan unta = … (pertanyaan sudah tampak diketahui secara eksplisit).

Penyelesaian: berat badan unta = 12 x 30 kg = 360 kg (dengan hanya melakukan


substitusi). Ini berarti, jawaban soal tunggal, prosedurnya juga tunggal, dan tidak ada
kemungkinan jawaban lain.

Dalam pemecahan masalah tertutup seperti di atas, siswa hanya memerlukan penggunaan
keterampilan dasar matematika (mathematical basic skill) sehingga kurang menuntut
kemampuan berpikir kreatif, produktif dan pemecahan masalah (problem solving). Seperti
tampak pada contoh 1, untuk dapat memecahkan masalah tertutup tersebut, siswa cukup
memiliki sedikit keterampilan tentang perkalian bilangan. Selanjutnya, semuanya sudah
dinyatakan secara jelas dalam rumusan soal dan siswa dengan mudah dapat menebaknya
(Sudiarta, 2003). Akibatnya, kompetensi siswa kurang dapat berkembang secara optimal.

10
Untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam berpikir kritis, kreatif dan produktif, selain
memberikan soal-soal tertutup seperti di atas, siswa sebaiknya “ditantang” dengan masalah yang
dirumuskan sedemikian rupa sehingga menuntut siswa untuk berpikir divergen, melakukan
investigasi terhadap berbagai konteks yang realisitis. Untuk mencapai tujuan tersebut, soal
tertutup seperti di atas dapat dimodifikasi menjadi masalah terbuka. Bahkan dapat dikemas
dalam sebuah tema dan subtema sehingga menjadi lebih menarik dan dapat dikaitkan dengan
segala kemungkinan pengalaman siswa. Karena itu, mahasiswa sebagai calon guru perlu berlatih
mengubah/memodifikasi masalah matematika tertutup seperti di atas menjadi masalah
matematika terbuka. Menurut Sudiarta (2008) mengubah masalah tertutup menjadi masalah
terbuka dapat dilakukan dengan menganalisis secara seksama premis-premis yang ada dalam
masalah tersebut, kemudian:

(a) Mereduksi/menyembunyikan beberapa bagiannya, sehingga hal ini akan menjadi obyek
untuk diinvestigasi oleh siswa dalam pemecahan masalah.
(b) Cara lain adalah dengan teknik inversi yaitu dengan membalik konteks pertanyaannya ke
arah yang divergen, yang memungkinkan adanya lebih dari satu jawaban yang benar.
Dengan demikian, bentuk modifikasi soal tertutup di atas dapat disajikan sebagai berikut.

Perhatikan gambar 1.2 : Masalah Terbuka

Tabel 1.2 Masalah Terbuka

Kelas Kompetensi Dasar Tema: Matematika dan Keterangan


Fauna

Subtema: Matematika dan

11
Pedagang

Mulai Terampil dalam Contoh 2 - disajikan


Kelas melakukan operasi secara
3 SD hitung penjumlahan, Seekor unta beratnya 360 tematik,
kg, berapa ekor kambing - terbuka
pengurangan,
yang kamu perlukan agar - prosedur dan
perkalian dan jawaban tak
jumlah semua berat
pembagian bilangan tunggal
badannya sama dengan
cacah
berat badan unta itu?

Penjelasan Contoh 2

Pada soal ini masalah dirumuskan sedemikian rupa sehingga menuntut siswa untuk melakukan
investigasi konteks, sebab tidak semua informasi diberikan secara eksplisit. Karena berat badan
kambing tidak diketahui maka diperlukan kreativitas dan produktivitas berpikir siswa untuk
mengambil keputusan matematis yang reasonable, misalnya dengan pengandaian. Anak harus
melakukan investigasi dalam melakukan pengandaian yang masuk akal, dan dapat dipertahankan
nilai logis-matematisnya maupun nilai realitas-kontekstualnya. Misalnya, jika diandaikan berat
badan kambing itu semuanya sama yaitu masing-masing 30 kg, maka soal dapat dipecahkan
sebagai berikut.

Alternatif Jawaban dan Prosedur Pertama.

Siswa dapat memisalkan berat seekor kambing sama dengan 30 kg. Kemudian mereka
melakukan coba-coba dengan penjumlahan berulang sebagai berikut.

30 + 30 + 30 + … + 30 = 360 (diperlukan 12 ekor kambing)

Alternatif Jawaban dan Prosedur Kedua

Siswa yang sudah cukup paham dan terampil dengan konsep pembagian, dapat langsung
menggunakan algoritma pembagian yaitu 360 : 30 = 12. Jadi, diperlukan 12 ekor kambing
dengan berat badan masing-masing 30 kg.

12
Cara ini sesungguhnya belum final karena pengandaian baru masuk akal secara matematis. Nilai
realitasnya masih perlu diuji dengan bertanya apakah realistis mengandaikan semua kambing
beratnya masing-masing sama?
Alternatif Jawaban dan Prosedur Ketiga

Siswa sebaiknya diarahkan untuk membuat pengandaian yang lebih dekat dengan kenyataan.
Misalnya, beberapa kambing beratnya 30 kg dan beberapa kambing lainnya beratnya 20 kg.
Sehingga konsep dan prosedur penyelesaiannya akan menjadi kalimat matematika terbuka
sebagai berikut.
30 …+ 20 … = 360, atau dalam bahasa matematika formal dapat ditulis 30 x + 20 y = 360,
dengan x dan y bilangan bulat positif. Selesaiannya tentu lebih dari satu, misalnya x = 8 dan y =
6 (jadi ada 8 ekor kambing dengan berat badan 30 kg dan 6 ekor kambing dengan berat badan 20
kg), selesaian yang lain misalnya x = 10 dan y = 3, demikian seterusnya.
Dalam hal ini tampak bahwa bukan selesaiannya yang menjadi tujuan atau yang menjadi kriteria
penilaian, tetapi bagaimana anak:
1). Mengambil keputusan setelah melakukan investigasi matematika,
2). Membuat argumentasi-argumentasi matematis dan kontekstual,
3). Mengkomunikasikan dan mempertahankan prosedur yang mereka lakukan.
Secara umum, untuk soal matematika terbuka seperti contoh 2 di atas dapat diberikan
catatan sebagai berikut.
a. Tidak ada konsep, operasi atau prosedur matematika yang diberikan secara eksplisit. Siswa
mengambil keputusan sendiri tentang konsep dan prosedur yang ingin dilakukan, mencermati
dan menebak sendiri selesaian yang akan dilakukan. Konsep yang mungkin digunakan pada
contoh ini misalnya pembagian, perkalian, penjumlahan berulang, ataupun persamaan
terbuka dengan 2 variabel berupa bilangan bulat positif, tergantung kecenderungan
intelektual individual siswa, berdasarkan kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman mereka.
b. Ada data yang harus dilengkapi sendiri oleh siswa, dalam hal ini data tentang berat badan
kambing. Hal ini memerlukan kemampuan siswa untuk berpikir kreatif dan produktif dalam
mengambil keputusan yang beralasan atau membuat estimasi yang kuat berupa pengandaian
yang masuk akal terhadap berat badan kambing tadi.
Dari analisis contoh masalah matematika terbuka di atas, dapat dilihat betapa pentingnya
penerapan pembelajaran berorientasi masalah terbuka dalam meningkatkan kompetensi siswa

13
dalam berpikir kritis, kreatif dan produktif dalam rangka meningkatkan pemahaman mereka
tentang konsep-konsep matematika.
Agar siswa SD mampu mengembangkan kemampuan berpikir aktif, kreatif, dan produktif
seperti di atas, guru/calon guru harus juga aktif, kreatif, dan produktif. Dalam hal ini, guru
melakukan problem posing yaitu membentuk masalah matematika terbuka atau memodifikasi
masalah matematika tertutup yang ada di buku-buku paket matematika SD menjadi masalah
matematika terbuka.
Berdasarkan uraian di atas, pada bahan ajar ini akan diarahkan pada pengemasan materi
matematika sesuai dengan ciri-ciri PMRI, yang diawali dengan penyajian masalah-masalah yang
kontekstual baik masalah tertutup maupun masalah terbuka. Dengan penyajian ini diharapkan
menjadi kajian bagi mahasiswa agar kelak setelah menjadi guru dapat melaksanakan
pembelajaran secara realistik. Di samping itu penyajian masalah terbuka dimaksudkan agar
mahasiswa mampu mengembangkan masalah terbuka sebagai salah satu usaha untuk
meningkatkan kemampuan berpikir aktif, kreatif, dan produktif siswa SD.
Berikut ini disajikan contoh masalah terbuka yang kontekstual dalam bentuk gambar
(Japa, 2009) yang dapat dikembangkan untuk materi yang relevan.

Soal Terbuka :
Perhatikan gambar !

14
Gambar 1.3 Masalah Terbuka

Alternatif Jawaban:

Jawaban dari masalah di atas bergantung kepada kemampuan siswa memprediksi banyak buah
mangga yang ada.

1). Bila banyak mangga hanya seperti yang tampak pada gambar (14 biji), maka tiap bakul dapat
terisi buah mangga seperti tabel berikut.

Banyak Mangga

14

bakul I bakul II

7 7

8 6

9 5

6 9

Dst

2). Bila banyak mangga lebih dari 14 biji, dengan anggapan ada buah mangga yang tidak
kelihatan tetapi akan dipetik semuanya maka selesaian masalahnya menjadi lebih bervariasi.
Hal ini bergantung kepada kemampuan siswa melakukan investigasi tentang banyak buah
mangga yang ada. Dengan demikian, selesaiannya antara lain sebagai berikut.

15
a. Bila banyak buah mangga yang dapat dipetik seluruhnya 60 biji, maka tiap kotak bisa
berisi seperti tabel berikut.

Banyak Mangga

60

bakul I bakul II

30 30

29 31

31 29

Dst

b. Demikian seterusnya, bila banyak buah mangga kurang dari 60 atau lebih dari 60, akan
didapatkan variasi jawaban yang berbeda.
c. Atau, siswa bisa saja mengandaikan berapa kapasistas bakul bisa memuat mangga
sehingga mereka akan memetik mangga sesuai kapasistas bakul tersebut. Hal ini juga
menghasilkan jawaban yang bervariasi, namun secara matematis benar.

RANGKUMAN

PMRI memberi kesempatan kepada siswa untuk membangun sendiri pengetahuannya


sampai menemukan sifat, konsep dan prinsip-prinsip matematika, untuk mengubah masalah
matematika tertutup menjadi masalah matematika terbuka yang realistik dapat dilakukan dengan
menganalisis secara seksama, kemudian: (1) mereduksi atau menyembunyikan beberapa
bagiannya sehingga hal ini akan menjadi obyek untuk diinvestigasi oleh siswa dalam pemecahan
masalahnya, dan (2) melakukan teknik inversi, yaitu dengan membalik konteks pertanyaannya ke
arah yang divergen, yang memungkinkan adanya lebih dari satu jawaban yang benar.

16
LEMBAR MASALAH 1
Petunjuk
1. Kerjakan Lembar Masalah ini secara berkelompok.
2. Setiap anggota kelompok harus terlibat secara aktif dalam pengerjaan Lembar Masalah ini.
3. Carilah sumber-sumber yang relevan untuk menunjang penyelesaian lembar masalah ini.
4. Buatlah laporan kelompok sebagai bukti bahwa masalah telah diselesaikan secara kelompok.
5. Pada halaman kulit laporan, tulis kelompok dan nama anggota kelompok berserta NIM yang
bersangkutan.
6. Siapkan bahan presentasi untuk disajikan dalam diskusi kelas.
7. Pilihlah wakil kelompok sebagai penyaji dan anggota kelompok yang lain ikut
memperlancar pelaksanaan diskusi.

LEMBAR MASALAH

Petunjuk

1. Kerjakan lembar masalah ini secara berkelompok.


2. Setiap anggota kelompok harus terlibat secara aktif dalam pengerjaan lembar masalah.
3. Carilah sumber-sumber yang relevan untuk menunjang penyelesaian lembar masalah ini.
4. Buatlah laporan kelompok sebagai bukti bahwa masalah telah diselesaikan secara
berkelompok.
5. Pada halaman kulit laporan, tulis kelompok dan nama anggota kelompok.
6. Pilihlah wakil kelompok sebagai penyaji dan anggota kelompok yang lain ikut
memperlancar pelaksanaan diskusi.

Masalah

17
Dalam penelitian Suarjana, dkk (2007) disebutkan bahwa hampir semua guru yang
dikunjungi di sekolah-sekolah belum menerapkan PMRI” dan dalam penelitian Japa, dkk (2007)
disebutkan bahwa dalam mengembangkan masalah matematika terbuka berkaitan dengan
pembelajaran PMRI memang ada berbagai kendala, namun kendala itu tentu harus diatasi bila
ingin mengembangkan kemampuan siswa berpikir kritis, aktif, dan produktif. Berdasarkan hasil
penelitian di atas, mahasiswa tentu perlu juga mengembangkan kompetensinya.

1. Kunjungi sebuah sekolah yang ada disekitar Anda. Tanyakan kepada guru-gurunya
apakah sudah menerapkan PMRI? Bila belum apa alasannya?
2. Apa upaya yang bisa dilakukan agar guru-guru di SD mau dan mampu menerapkan
PMRI, baik masa kini maupun masa mendatang?
3. Buatlah persiapan pembelajaran yang menerapkan pendekatan PMRI dan memuat
masalah matematika terbuka yang kontekstual!

Tes Akhir

1. Jelaskan secara singkat konsep pembelajaran menurut PMRI!


2. Jelaskan ciri-ciri pembelajaran yang menerapkan PMRI!
3. Jelaskan secara singkat prinsip-prinsip pembelajaran dalam PMRI!
4. Bagaimana konsepsi PMRI tentang siswa, guru, maupun pembelajaran.
5. Ambilah sebuah contoh masalah matematika tertutup yang ada di buku paket Matematika
SD, kemudian ubahlah menjadi masalah matematika terbuka dengan teknik reduksi dan
inversi!

DAFTAR PUSTAKA

18
Aisyah. Nyimas dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Depdiknas.

Armanto, Dian. 2006. Pendidikan Matematika Realistik. Tersedia pada http://pjjpgsd.seamolec.org.


(diunduh tanggal 20 Juli 2008)

-------- 2008. Soal Kontekstual Dalam PMRI. Disajikan dalam vicon dikti di Jakarta, 14 juli
2008. http://pjjpgsd.seamolec.org. Diunduh tanggal 20 Juli 2008.

Sugiarto dan Isti Hidayah. 2006. Buku Pembuatan dan Penggunaan Alat Peraga Matematika
Alternatif untuk SD/MI. Jakarta: Depdiknas

Hadi, Sutarto. 2003. Paradigma Baru Pendidikan Matematika. Makalah disajikan pada pertemuan Forum
Komunikasi Sekolah Inovasi Kalimantan Selatan tanggal 30 April 2003. Tersedia pada
http://www.pmri.or.id/paper/pap03.doc diunduh pada tanggal 29 April 2010.

Karim, Mochtar A, dkk. 1966/1997. Pendidikan Matematika I. Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.

Marpaung, Y. 2008. Implementasi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di Yogyakarta:


Suatu Tantangan dan Harapan. Makalah disajikan saat Workshop Nasional PMRI untuk dosen
PGSD tanggal 18-20 Juni 2008 di Hotel Cipaku Indah Bandung

Reys, Robert E. 1978. Helping Children Learn Mathematics. New Jersy: Prentice Hall.

Salman, M. 2008. Pembelajaran Matematika secara Bersahabat ada Sekolah Dasar. Majalah PMRI, Vol.
VI No. 1, Januari 2008.

Silver, E.A. 1994. On Mathematical Problem Posing. For the Learning of Mathematics. Journal
for Research in Mathematics Education. 14 (1): 19-28. NCTM.

Siswono, Tatag Y.E. 2006. PMRI: Pembelajaran Matematika Yang Menggunakan Penalaran, Kreativitas,
dan Kepribadian Siswa. Makalah Workshop Pembelajaran Matematika di MI ”Nurur Rohmah.
Sidoarjo, 8 Mei 2006. Tersedia pada http://www.docstoc.com/.../pmri-Pembelajaran-
Matematika-yang-mengembangkan-penalaran/ diunduh pada tanggal 28 April 2010.

19
Sudarman. 2007. Problem-Based Learning: Suatu Model Pembelajaran untuk Mengembangkan dan
Meningkatkan Kemampuan Memecahkan Masalah. Jurnal Pendidikan Inovatif, 2(2):68-73.

Sudiarta, Gst. P. 2003. Pembangunan Konsep Matematika Melalui “Open-Ended Problem”. Studi Kasus
Pada Sekolah Dasar Elisabeth Osnabrueck Jerman, Jurnal Pendidikan dan Pengajaran, IKIP Negeri
Singaraja: Edisi Oktober 2003.

----------- 2008. Membangun Kompetensi Berpikir Kritis Melalui Pendekatan Open-Ended. Singaraja:
Universitas Pendidikan Ganesha.

Suryanto. 1998. Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam
Seminar Nasional: Upaya-Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika dalam
Menghadapi Era Globalisasi. Malang, 4 April 1998.

Supinah dan Agus D.W. 2009. Strategi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Modul Matematika SD
Program BERMUTU. Tersedia pada http://www.slideshare.net/NASuparawoto/Strategi-
Pembelajaran-matematika-di-sd diunduh pada 22 April 2010

Tarigan, Daitin. 2007. Pembelajaran Matematika Realistik. Jakarta. Depdiknas.

20

Anda mungkin juga menyukai