Anda di halaman 1dari 3

NAMA : IRVAN SENTANI

NIM : 857321628
MATKUL : KARYA ILMIAH PGSD/PDGK4560

KUTIPAN LANGSUNG

Menurut Julie (2003), belajar matematika akan bermakna bila informasi yang baru saja diterima
oleh siswa dalam pembelajaran mempunyai kaitan dengan informasi yang sudah tersimpan di
dalam memori siswa. Dengan minat siswa yang tinggi untuk belajar matematika diharapkan siswa
dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik dan akan mengingatnya dalam jangka waktu
yang lama sehingga dapat membantu siswa dalam menghadapi permasalahan hidupnya kelak.
Menurut Singer (1991: 78) jika seorang siswa memiliki rasa ingin belajar, ia akan cepat dapat
mengerti dan mengingatnya.

Marpaung (2006) menjabarkan karakteristik PMRI yang dipraktekkan di kelas, sebagai berikut: (i)
Murid aktif, guru aktif; (ii) Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan masalah
kontekstual/realistik; (iii) Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah dengan
cara sendiri; (iv)Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan; (v) Siswa dapat
menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau besar); (vi) Pembelajaran tidak selalu di kelas
(bisa di luar kelas, duduk di lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan
data); (vii) Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara siswa dan siswa, juga
antara siswa dan guru; (viii) Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan
strukturkognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah (Menggunakan model); (ix) Guru
bertindak sebagai fasilitator (Tutwuri Handayani); (x) Kalau siswa membuat kesalahan dalam
menyelesaikan masalah jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan (Sani dan
Motivasi).

Menurut Surya (2004), pembelajaran ialah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk
memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Depdiknas (2003: 1) menjelaskan bahwa matematika berasal dari bahasa latin manthanein atau
mathema yang artinya belajar atau hal yang dipelajari. Sedangkan dalam bahasa Belanda
matematika disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Ciri
utama matematika adalah penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan
diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau
pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman
konsep dapat diawali secara induktif melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses
induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika.
Menurut Panca (2003), matematika adalah ilmu yang diciptakan manusia. Manusia berpikir untuk
menciptakan sesuatu berdasarkan apa yang dilihat, dialami dan direncanakan dalam kehidupan
sehari-harinya. Jadi tidak mungkin jika matematika itu tidak berkaitan dengan kehidupan sehari-
hari. Juga tidak mungkin matematika adalah ilmu yang tidak berkembang.

Menurut Hudoyo (dalam Triastuti, 2006), pembelajaran matematika dapat diartikan sebagai
kegiatan yang menekankan pada eksplorasi matematika, model berfikir yang matematik, dan
pemberian tantangan atau masalah yang berkaitan dengan matematika. Sebagai akibatnya peserta
didik melalui pengalamannya dapat membedakan pola-pola dan struktur matematika, peserta didik
dapat berfikir secara rasional dan sistematik.

Menurut Hadi (2003), Pendidikan Matematika Realistik (PMR) atau Realistic Mathematics
Education (RME) merupakan suatu pendekatan teoritis terhadap pembelajaran matematika yang
dikembangkan oleh Institut Freudenthal di Belanda sejak tahun 1971 dan berdasarkan pemikiran
Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human
activities) dan harus dikaitkan dengan realitas. Freudenthal berkeyakinan bahwa siswa tidak boleh
dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif matematika yang
sudah jadi). Menurutnya pendidikan harus mengarahkan siswa kepada penggunaan berbagai
situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri.
Banyak soal yang dapat diangkat dari berbagai situasi (konteks), yang dirasakan bermakna
sehingga menjadi sumber belajar. Konsep matematika muncul dari proses matematisasi, yaitu
dimulai dari penyelesaian yang berkait dengan konteks (context-link solution), siswa secara
perlahan mengembangkan alat dan pemahaman matematik ke tingkat yang lebih formal.

KUTIPAN TIDAK LANGSUNG

PMRI memiliki kesamaan dengan PMR namun juga memiliki perbedaan. Hal ini dikarenakan
karakteristik PMRI pada dasarnya diturunkan dari karakteristik PMR (Marpaung, 2006). Maksud
dari pernyataan itu, karakteristik PMRI adalah hasil interpretasi dan pengembangan karakteristik
PMR sesuai dengan kondisi sosial dan kultur Indonesia. Menurut Gravemeijer (dalam Susento,
2004), sebagai sebuah pendekatan pembelajaran matematika, PMR mempunyai lima karakteristik
yaitu: (i) Penggunaan konteks, (ii) Instrumen vertikal, (iii) Kontribusi siswa, (iv) Kegiatan
interaktif, (v) Keterkaitan materi.PMRI merupakan adopsi dari RME (Realistic Mathematics
Education)/ PMR (Pendidikan Matematika Realistik) dalam konteks Indonesia (Marpaung, 2003).
PMR tidak dapat dipisahkan dari Institut Freudenthal. Institut ini didirikan
pada tahun 1971, berada di bawah Utrecht University, Belanda. PMR didasarkan atas pemikiran
Freudenthal bahwa dalam belajar matematika siswa harus diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru (Gravemeijer, 2004 dalam
Hadi, 2003), dan bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut
harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia riil” (de Lange, 1995 dalam
Hadi, 2003). Menurut Blum dan Niss (dalam Hadi, 2003), dunia riil adalah segala sesuatu di luar
matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda
dengan matematika, ataupun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita.

Matematika dibangun menjadi sebuah pengetahuan yang berantai yang diawali dengan
mendefenisikan suatu objek yang hanya melibatkan berbagai operasi hitungan (Souza de Cursi,
2015:91). Pengetahuan matematika yang berantai tersebut mampu membuat siswa memperoleh
suatu pemahaman konsep matematika yang baru. Pemahaman konsep matematika kepada siswa-
siswa di sekolah dasar tidak terlepas dari peran guru. Guru harus mampu menyampaikan konsep
matematika secara baik dan menarik. Guru juga harus mampu membangun pemahaman konsep
kepada siswa, sehingga siswa mampu membangun, merefleksikan, mengartikulasi pengetahuan
siswa, sehingga siswa memiliki rasa memiliki kepemilikan terhadap pengetahuan. Pemahaman
terhadap suatu konsep dapat diperoleh dari berbagai hal.

Pemahaman konsep matematika harus diajarkan sejak siswa berada pada sekolah dasar. Siswa-
siswa yang berada pada sekolah dasar sedang mengalami periode emas dalam pertumbuhan fisik
dan pikiran. Siswa-siswa pada sekolah dasar masih memiliki sifat tabula rasa dalam dirinya.
Tabula rasa diibaratkan seperti halaman kosong, kanvas putih yang tidak ternoda dan segala
sesuatu yang dapat memutuskan suatu keputusan adalah individu itu sendiri (Luna,
2015:47).Tabula rasa siswa pada sekolah dasar akan rusak ketika ada sebuah konsep yang
melewati ruang mental siswa kemudian diterjemahkan kedalam suatu pemahaman yang akan
memunculkan suatu ide (Porter, 2011:8-9). Rendahnya pemahaman konsep matematika siswa
dapat menyebabkan siswa memberikan jawaban yang berbeda terhadap pertanyaan yang sama
(Björklund & Pramling, 2017:68). Keadaan seperti ini harus dimanfaatkan oleh guru dalam
menanamkan konsep tepat dalam diri siswa di sekolah dasar.

Saat ini banyak guru yang mengajarkan matematika hanya dengan menyampaikan materi kepada
siswa sehingga siswa hanya mampu menyelesaikan permasalahan matematika tanpa mengerti
penyelesaian tersebut. Siswa merasa kesulitan dalam menyelesaikan persoalan matematika dengan
kompeten apabila siswa memiliki tidak memiliki pemahaman konsep yang tepat (Santrock,
2011:380). Misalkan pada topik pecahan, banyak guru di kelas mengajarkan pecahan hanya
menggunakan simbol-simbol dan operasi yang digunakan dalam pecahan tersebut dengan tidak
menjelaskan konsep pecahan yang dapat ditemukan dalam berbagai aktivitas yang dilakukan siswa
sehingga kegiatan belajar di dalam kelas menjadi tidak menarik dan membosankan. Pengajaran
yang monoton pada topik pecahan dapat membuat siswa tidak bisa mengembangkan konsep
pecahan (Zhang, Clements, & Ellerton, 2014:258). Hal ini menyebabkan siswa hanya memahami
defenisi pecahan hanya sebatas simbol-simbol tanpa mengerti nilai dari simbol pecahan di dalam
aktivitas keseharian siswa.

Anda mungkin juga menyukai