PMRI
Dosen Pengampuh
Disusun Oleh :
1. Feralia Goretti Situmorang (06081381520035)
2. Khafifa (06081281520074)
3. M.Ridho Ratu Berlian (06081381520039)
Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2
tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal.Pada
matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya
menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di
pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan
hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian
menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju
ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk
matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal,
1991). Hal ini disebabkan oleh pemaknaan realistik yang berasal dari bahasa Belanda
realiseren yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi membayangkan.
Kegiatan membayangkan ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari
dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu
PEMBAHASAN
A. PMRI
PMRI diprakarsai oleh sekolompok pendidik matematika di Indonesia. Proses
pembelajaran matematika yang dilakukan secara langsung pada tahapformal dengan
cara memberikan rumus dan mengharuskan untuk menghafalkanrumus tersebut tanpa
adanya kegiatan bermakna telah membuat siswa takut danmenghindari pelajaran
matematika. Hal ini menjadi salah satu alasan yangmenyebabkan para pendidik
matematika berusaha untuk melakukan reformasipendidikan matematika (Sembiring,
Hoogland, & Dolk, 2010).
Para matematikawan meneliti pendidikan matematika di berbagai negara dan
memilih untuk mengembangkan bentuk Indonesia dari Realistic Mathematics
Education (RME). Mereka memutuskan untuk membuat versi lokal dari RME.
Mengapa harus lokal? Karena, pengalaman masa lalu (implementasi matematika
modern) menunjukkan bahwa tidak cukup jika hanya mengimpor dan menyebarkan
apa yang bekerja di negara lain. Kelompok matematikawan tersebut juga memahami
bahwa reformasi top-down memiliki kesempatan keberhasilan yang rendah. Dalam
pandangan mereka, reformasi pendidikan matematika yang dibutuhkan harusnya
menjadi bottom-up dan mulai dari situasi Indonesia yang spesifik. Hal ini yang
menjadi faktor dikembangkanlah pendekatan baru yakni pendekatan PMRI
(Sembiring, Hoogland, & Dolk, 2010; Hadi, 2012).PMRI diketahui sebagai
pendekatan yang telah berhasil di Nederlands (Belanda). Becker dan Selter
(Suherman, 2003:143)menyatakan, ada suatu penelitian kuantitatif dan kualitatif yang
telahditunjukkan bahwa siswa yang memperoleh pembelajaran denganpendekatan
RME mempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengansiswa yang
memperoleh pembelajaran dengan pendekatan tradisionaldalam keterampilan
berhitung, lebih khusus lagi dalam aplikasi.
Menurut Zulkardi (2000) PMRI adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik
tolak dari hal-hal yang real bagi siswa, menekankan ketrampilan proses of doing
mathematics, berdiskusi berkolaborasi berargumentasi dengan teman sekelas sehinga
dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk
menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok.Pendekatan PMRI
didefinisikan sebagai matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan
realita dan pengalaman siswa sebagaititik awal pembelajaran (Suharta, 2003:5).
B. Filosofi PMRI
Landasan filosofis RME yang kemudiandiadopsi oleh PMRI dirumuskan
berdasarkan pandangan Freudenthal mengenaimatematika, yaitu (1) mathematics
must be connected to reality, dan (2) mathematicsshould be seen as a human activity
(Prabowo dan Sidi, 2010:173).PMRI mengacu pada konsep Freudenthal tentang
matematika sebagai aktivitas manusia. Menurutnya, matematika harus dihubungkan
dengan kenyataan, berada dekat dengan siswa dan relevan dengan kehidupan
masyarakat agar memiliki nilaimanusiawi. Pandangannya menekankan bahwa materi-
materi matematika harus dapatditransmisikan sebagai aktifitas manusia (human
activity). Pendidikan seharusnyamemberikan kesempatan siswa untuk re-invent
(menemukan/menciptakan)matematika melalui praktek (doing it). Dengan demikian
dalam pendidikanmatematika, matematika seharusnya tidak sebagai sistem yang
tertutup tetapi sebagaisuatu aktivitas dalam proses pematematikaan.Menurut
Freudenthal dalam Hadi (2012) siswa harus terlibat dalam eksplorasi matematika dan
harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika dengan
menggunakan penugasan secara baik, dengan bantuan dari guru. Sehingga pada
akhirnya matematika tidak hanya diajarkan kepada siswa sebagai produk yang siap
pakai.
C. Prinsip PMRI
1. Guided Reinvention (menemukan kembali) / Progressive Mathematizing
(matematisasi progresif):
Melalui penyelesaian masalah secara informal, siswa dengan
sendirinyadigiring melakukan aktivitas penemuan kembali sifat-sifat atau teori-teori
matematika yang sudah ada. Strategi siswa untuk menyelesaikan masalahsecara
informal tersebut dapat menjadi titik awal atau pendahuluan untukmenyelesaikan
masalah dengan prosedur yang formal.Menurut Freudenthal (dalam Akker,
Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006) hasil berpikir secara matematis
(mathematical thought-things), seperti konsep, alat-alat, dan prosedur-prosedur
ditemukan dengan mengorganisasi fenomena-fenomena tertentu. Menurut
Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006)
jika seorang pembuat materi ajar mau memunculkan prinsip penemuan kembali,
orang tersebut harus berusaha untuk menemukan situasi-situasi yang dapat membuat
siswa merasa membutuhkan untuk menemukan hasil berpikir secara matematis. Untuk
menemukan situasi tersebut, seorang pembuat materi ajar dapat melakukan analisis
hubungan antara hasil berpikir secara matematis dan fenomena-fenomena yang akan
diorganisir oleh siswa. Dengan kata lain, seorang pembuat materi ajar harus membuat
lintasan belajar (learning trajectory) yang harus dilalui oleh siswa sedemikian hingga
siswa dapat menemukan sendiri hasil berpikir secara matematis.
2. Didactical phenomenology (fenomena didaktik):
Fenomenologi didaktis mengandung arti bahwa dalam mempelajari konsep-
konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi lain dalam matematika, para siswa perlu
bertolak dari masalah-masalah (fenomena-fenomena) kontekstual, yaitu masalah-
masalah yang berasal dari dunia nyata, atau setidak-tidaknya dari masalah-masalah
yang dapat dibayangkan sebagai masalah-masalah nyata. Situasi atau fenomena yang
dimengerti oleh siswa sangat penting dalampelaksanaan pembelajaran untuk
memudahkan siswa dalam melakukan langkah-langkah penyelesaiannya sehingga dari
situasi di sekitar yang dapatdipahami siswa tersebut mereka dapat mengembangkan
pemahamannyauntuk menyelesaikan masalah yang formal.
3. Self developed models(pengembangan model sendiri):
Pengembangan model sendiri sangat penting bagi siswa yang berperansebagai
jembatan penghubung bagi siswa untuk memahami pengetahuan yang diperolehnya
dari situasi real ke situasi abstrak. Siswa menggunakan model dalam menyelesaikan
masalah matematika dengan suatu proses generalisasidan formalisasi sehingga pada
akhirnya akan menuju matematika formal.
D. Karakteristik PMRI
(1) Use of contexts for phenomenologist exploration
Konteks adalah lingkungan keseharian siswa yang nyata. Dalam
matematikatidak selalu diartikan konkret, dapat juga sesuatu yang telah dipahami
siswa atau dapat dibayangkan siswa. Belajar matematika adalah membuat hubungan
antara pengetahuan yang dimiliki siswa dengan yang akan dipelajarinya.
(2) Use of models for mathematical concept construction
Model diarahkan pada model konkret meningkat ke abstrak atau model
darisituasi nyata atau model untuk arah abstrak. Penggunaan model ini
memberikankesempatan kepada siswa mengembangkan penalaran maupun
kreativitas.
(3) Use of students creations and contributions
Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari
kontsruksipeserta didik sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal
mereka kearah yang lebih formal atau baku. Ciri ini juga mendorong kreativitas
maupunpenalaran dan kepribadian siswa untuk berani dan mau berbagi
pemikiranmaupun pendapat dalam menyelesaikan suatu masalah.
(4) Students activity and interactivity in the learning process
Dalam pembelajaran konstruktif diperhatikan interaksi, negosisasi
secaraeksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi sesama peserta didik, peserta didik-
guru,dan guru-lingkungannya. Proses belajar mengajar berlangsung secarainteraktif,
dan siswa menjadi fokus dari semua aktifitas di kelas. Kondisi inimengubah otoritas
guru yang semula sebagai satu-satunya pusat dan sumberpengetahuan menjadi
seorang pembimbing. Guru harus melatih otoritas inidengan cara memilih kegiatan-
kegiatan instruksional yang akan dilaksanakan,melaksanakan dan membimbing
pelaksanaan diskusi, dan menyeleksi kontribusikontribusiyang diberikan siswa (untuk
dibahas secara klasikal). Dalam prosesini pembelajaran matematika mengembangkan
aspek-aspek afektif, sepertidemokrasi, menghargai pendapat, antusias, aktif dan
berbagi-berdiskusi denganteman lain ataupin guru.
(5) Intertwining mathematics concepts, aspects, and units
Dalam pembelajaran menggunakan pendekatan holistik, artinya bahwa topik-
topikbelajar dapat dikaitkan dan diintegrasikan sehingga memunculkanpemahaman
suatu konsep atau operasi secara terpadu. Hal ini memungkinkanefisiensi dalam
mengajarkan beberapa topik pelajaran.
E. Iceberg PMRI
Frans Moerland (2003) memvisualisasikan proses matematisasi
dalampembelajaran matematika realistik sebagai proses pembentukan gunung
es(iceberg). Proses pembentukan gunung es di laut selalu dimulai dari bagian dasardi
bawah permukaan laut dan seterusnya akhirnya terbentuk puncak gunung es
yangmuncul di atas permukaan laut. Bagian dasar gunung es lebih luas dari
padapuncaknya, dengan demikian konstruksi gunung es tersebut menjadi kokoh
danstabil. Proses ini diadopsi pada proses matematisasi dalam matematika
realistik,yaitu dalam pembelajaran selalu diawali dengan matematisasi horizontal
kemudianmeningkat sampai matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal lebih
ditekankanuntuk membentuk konstruksi matematika yang kokoh sehingga
matematisasi vertical lebih bermakna bagi siswa.Dalam prinsip-prinsip pembelajaran
matematika realistik, matematisasihorizontal terdiri tiga tingkatan, yaitu : (1)
mathematical world orientation; (2)model material; (3) building stone number
relation. Sedangkan matematisasivertikal adalah kegiatan yang menggunakan notasi
matematika formal. Tingkatanini oleh Frans Moerlands digambarkan dalam diagram
sebagai berikut:
F. Langkah-langkah pembelajaran PMRI
Menurut Hobri (2005: 102) terdapat lima langkah dalam melaksanakan
pembelajaran dengan pendekatan PMRI, yaitu:
Langkah 1: Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian
siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih
masalah yang mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih
dari satu jawaban yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk
memunculkan berbagai strategi pemecahan masalah. Diharapkan dalam
menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan dengan caranya
sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.
Langkah 2: Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan
masalah.
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau
mendeskripsikan permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka
sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
Langkah 3: Menyelesaikan masalah realistic
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan
masalah realistik yang diajukan guru. Siswa diharapkan dapat
mengkomunikasikan penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota
kelompoknya. Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan
bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan
bantuan.
Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk
menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan
kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam
pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil
diskusi.
Langkah 5: Menegosiasikan penyelesaian masalah
Setelah terjadi diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik
kesimpulan tentang materi yang telah dipelajari.
Kelemahan PMRI
Kelemahan pembelajaran realistik menurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003),
yaitu :
Pencarian soal-soal yang kontekstual tidak terlalu mudah untuk setiap
topic matematika yang perlu dipelajari siswa.
Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada
pembelajaran konvensional
Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu peroses
berfikir siswa.
Cara mengatasi kelemahan PMRI
Memodifikasi semua siswa untuk dalam kegiatan pembelajaran
Memberikan bimbingan kepada siswa yang memerlukan.
Memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk dapat menemukan
dan memahami konsep.
Mengguanakan alat peraga yang sesuai sehingga dapat membantu peroses
berfikir siswa maka pembelajran matematika dengan pendekatan realistik
dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap konsep
matematika.
PENUTUP
A. Kesimpulan
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) adalah adaptasi dari RME dalam
Konteks Indonesia: Budaya, Alam, Sistem Sosial, dll. PMRI bukan suatu proyek tetapi suatu
gerakan. PMRI mengembangkan suatu teori pembelajaran matematika yangsantun, terbuka
dan komunikatif. RME adalah teori pembelajaran matematika yang dikembangkan di
Belanda sejak sekitar 35- 40 tahun yang lalu sampai sekarang. RME singkatan dari Realistic
Mathematics Education. RME diadaptasisi di banyak negara: AS, Afrika Selatan, Beberapa
Negara Eropa, Asia dan Amerika Latin.
B. Saran
A. Tujuan Pembelajaran
a. Pendahuluan
1. Guru memeriksa kehadiran siswa.
2. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.
3. Guru memberikan apersepsi yakni mengingatkan penjumlahan dan perkalian
bilangan.
4. Guru memotivasi siswa tentang pentingnya materi sifat komutatif dan asosiatif
b. Kegiatan Inti
1. Guru memaparkan contoh sifat komutatif dan asosiatif yang berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Kalau kita makan, apa yang biasa kita lakukan? Makan nasi dulu
kemudian minum, atau minum dulu kemudian makan nasi? Nah, bisa berlaku
bolak-balik bukan? Nah itu, contoh sifat komutatif dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh lain, sifat komutatif, misalnya begini. Kalau kita mandi, apa yang biasa
kita lakukan terlebih dulu? Membasahi badan dulu (bersabun, dll) kemudian
gosok gigi; atau gosok gigi dulu kemudian membasahi badan (bersabun, dll)?
Bisa berlaku bolak-balik bukan?
Siapa tahu 1 + 2 ? kalau dibalik 2 + 1 sama tidak hasilnya ?
Sedangkan contoh aktivitas sehari-hari yang tidak sesuai sifat komutatif
itu banyak. Misalnya begini. Kalau kita pakai sepatu, mana yang kita pakai
terlebih dulu. Pakai kaus kaki dulu kemudian sepatunya dipakai, atau pakai
sepatu dulu kemudian kaus kakinya dipakai? Tentu enggak bisa dibolak-balik
bukan? Harus kaus kaki dulu kemudian sepatu.
Kalau kita makan, ada nasi, ikan, dan sayur, apa yang biasa kita lakukan?
Makan nasi dan sayur dulu kemudian makan sayur, atau makan nasi dan ikan
dulu kemudian makan sayur? Nah, bisa berlaku bolak-balik bukan? Nah itu,
contoh sifat asosiatif dalam kehidupan sehari-hari
(2 + 1) + 3 = ? kalau 2 + (1 + 3) = ?
2. Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok untuk menyelesaikan
masalah yang melibatkan konsep sifat komutatif dan asosiatif.
3. Guru membagikan alat peraga kepada masing-masing kelompok.
4. Guru menyampaikan langkah-langkah pelaksanaan diskusi kelompok.
5. Guru mengamati diskusi kelompok siswa dan memberikan pengarahan kepada
kelompok yang mengalami kesulitan.
6. Guru meminta siswa mengumpulkan tugas kelompok dan meminta 2 kelompok
untuk maju mempresentasikan hasil diskusinya.
7. Guru memberikan balikan dan meminta kelompok lain untuk memberikan
tanggapan.
8. Setelah kelompok selesai mempresentasikan hasil diskusi, guru memberikan
kesempatan kepada siswa yang lain untuk bertanya jika ada hal-hal yang
masih belum dipahami.
9. Bersama-sama menyimpulkan hasil pekerjaannya dan menuliskan rumus sifat
pertukaran (Komutatif) terhadap penjumlahan dan perkalian.
10. Bersama-sama menuliskan kalimat operasi hitung pengelompokan (asosiatif)
terhadap penjumlahan dan perkalian
11. Bersama-sama guru dan siswa membuktikan bahwa pengurangan tidak
bersifat komutatif dan asosiatif .
12. Bersama-sama guru dan siswa membuktikan bahwa pembagian tidak bersifat
komutatif dan asosiatif.
c. Kegiatan Akhir
1. Guru memberikan penghargaan atas hasil kerja siswa.
2. Mengulang materi dengan mengelompokkan bahwa hanya penjumlahan dan
perkalian yang dapat bersifat komutatif.
3. Guru memberikan PR dari buku siswa halaman 2 4
F. Penilaian
Teknik & Bentuk Instrumen
1. Tugas kelompok (tes tertulis).
2. Unjuk kerja (presentasi kelompok).
LEMBAR TUGAS KELOMPOK
1. Nila mempunyai 5 sedotan berwarna merah dan 3 sedotan berwarna hitam. Yeni
mempunyai 3 sedotan berwarna merah dan 5 sedotan berwarna hitam. Samakah
jumlah sedotan yang dimiliki Nila dan Yeni? Apakah ada sifat operasi hitung
yang kalian temukan? Jika ada, sifat apakah itu dan mengapa?
3. Rita mempunyai 2 kotak berisi sedotan. Kotak A berisi 3 sedotan merah dan 2
sedotan hitam. Kotak B berisi 4 sedotan putih. Tari juga mempunyai 2 kotak
berisi sedotan. Kotak A berisi 3 sedotan merah. Kotak B berisi 2 sedotan hitam
dan 4 sedotan putih. Samakah jumlah sedotan yang dimiliki Rita dan Tari?
Apakah ada sifat operasi hitung yang kalian temukan? Jika ada, sifat apakah itu
dan mengapa?