Anda di halaman 1dari 21

Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik (RME) Dalam Proses Pembelajaran di Sekolah

Dasar

Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided
reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu
matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam
menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui
proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).

Prinsip RME adalah aktivitas (doing) konstruksivis, realitas (kebermaknaan proses-aplikasi),


pemahaman (menemukan-informal daam konteks melalui refleksi, informal ke formal), inter-
twinment (keterkaitan-intekoneksi antar konsep), interaksi (pembelajaran sebagai aktivitas sosial,
sharing), dan bimbingan (dari guru dalam penemuan).

A. Pengertian Model Pembelajaran Realistik


Pembelajaran matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebuah
pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda.
Gravemeijer menjelaskan bahwa RME dapat digolongkan sebagai aktivitas yang meliputi
aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan.
Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal
pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep
matematika atau pengetahuan matematika formal.

Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang
karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan
kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan
Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang
sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut
pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan
relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain
memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika
sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada
pebelajar untuk dibimbing dan menemukan kembali matematika dengan
melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai
kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan
bermatematika atau matematisasi (Freudental,1968).

Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe
matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada
matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan
proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari
keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan
tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan
matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya
tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991).

Hal ini disebabkan oleh pemaknaan realistik yang berasal dari bahasa Belanda realiseren yang
artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi membayangkan. Kegiatan
membayangkan ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi
tidak selamanya harus melalui cara itu.

Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam matematika dapat dibedakan
menjadi empat yaitu, mekanistik, empiristik, struturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisonal dan didasarkan pada apa yang diketahui
dari pengalamn sendiri (diawali dari yang lebih sederhana sampai ke kompleks) dalam pendekatan
ini siswa dianggap sebagai mesin.

Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep konsep matematika tidak
diajarkan dan diharapkan siswa mampu menemukan melalui matematika horizontal. Pendekatan
mekanis dan empiris tidak banyak diajarkan di lingkungan sekolah.

Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya


pengajaran penjumlahan cara panjang yang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu
konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.

Pendekatan realistik merupan pendekatan dengan menggunakan metode matematisasi horizontal


dan vertikal dan mendekatan ini sebagai pangkal tolak pembelajaran.

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah
metode pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan
pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan
mengpalikasikan konsep konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari hari atau
dalam bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran matematika
selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang
siap pakai untuk memecahkan masalah.

B. Prinsip-Prinsip Model Pembelajaran Matematika Realistik (RME)


Ada tiga unsur prinsip utama dalam pembelajaran Matematika realistik yaitu : a) guided reinvention
and progresive mathematizing , b) didactical phenomenology dan c) self developed models. Ketiga
prinsip tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Guided reinvention and progresive mathematizing (penemuan kembali terbimbing /


pematematikaan progresif)

Prinsip ini menghendaki bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, dari masalah konstektual
yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa
diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali
konsep, prinsip, sifat sifat dan rumus rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip,
sifat sifat dan rumus rumus itu ditemukan. Prinsip ini mengacu pada pandangan
konstruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan
melalui pemberitahuan dari guru, melainkan dari siswa sendiri.

2. Didactical phennomenology (fenomena pembelajaran)

Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di
dalam menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan
metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan, yaitu : a) untuk
mengungkap berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, b)
untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah konstektual itu digunakan sebagai poin poin
untuk suatu proses pematematikaan progresif. Dari penjabaran di atas menunjukan bahwa prinsip
ke 2 Pembelajaran matematika Realistik ini menekankan pada pentingnya masalah konstektual
untuk memperkenalkan topik topik matematika kepada siswa.

3. Self development models ( model model dibangun sendiri)

Menurut prinsip ketiga, model model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan
informal dan formal matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk
menemukan sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan.
Sebagai konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun
siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah
kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus menunjukan
bahwa sifat bottom up( dari bawah ke atas) mulai terjadi. Model model tersebut diharapkan
untuk mampu mengubah kepada bentuk matematika yang formal.

C. Karakteristik Model Pembelajaran Realistik atau RME

Pembelajaran Matematika Realistis mencerminkan pandangan matematika tertentu mengenai


bagaimana anak belajar matematika dan bagiamana matematika harus diajarkan. Pandangan ini
tercermin dalam enam karakteristik yaitu : kegiatan, nyata, bertahap, saling menjalin, interaksi, dan
bimbingan.

1. Kegiatan

Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan seluruh
perangkat perkakas dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan dalam
situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian bagian masalah tersebut dan
dikembangkan secara bertahap
2. Nyata (kontekstual)

Matematika realistis harus memungkinkan peserta didik dapat menerapkan pemahaman


matematika dan perkakas /alat matematikannya untuk memecahkan masalah. Hanya dalam
pemecahan masalah peserta didik dapat mengembangkan alat matematis dan pemahaman
matematis.

3. Bertahap

Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahapan pemahaman, yaitu dari
kemampuan menemukan pemecahan informal yang berhubungan dengan konteks, menuju
penciptaan berbagai tahap hubungan langsung dan pembuatan bagan.

4. Saling menjalin (keterkaitan)

Hal ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik topik seperti kesadaran akan
bilangan, mental aritmetika, perkiraan (estimasi) dan algoritma.

5. Interaksi

Dalam matematika realistik belajar matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Pendidikan
harus dapat memberikan kesempatan bagi para peserta didik untuk saling berbagi dan strategi dan
penemuan mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan
temuan ini, peserta didik mendapat ide untuk memperbaiki strateginya.

6. Bimbingan

Pengajar maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan peserta
didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses pembelajaran yang lentur
untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui
proses hafalan.

Sementara menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa


karakteristik dan komponen sebagai berikut.
1. The use of context (menggunakan konteks), artinya dalam pembelajaran matematika realistik
lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian
materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2. Use models, bridging by vertical instrument (menggunakan model), artinya permasalahan atau
ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata
maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3. Students constribution (menggunakan kontribusi siswa), artinya pemecahan masalah atau
penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4. Interactivity (interaktif), artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa
dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5. Intertwining (terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya), artinya topik-topik yang berbeda
dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara
serentak.

D. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Matematika Realistik (RME)


KELEBIHAN:

1.Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari hari dan kegunaan
matematika pada umumnya.

2.Pembelajaran matematika reaslistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa matematika adalah suatu kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan oleh siswa .

3.Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa cara penyelesaian masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara satu siswa
dengan siswa yang lainnya.

4.Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa untuk menemukan suatu hasil dalam matematika diperlukan suatu proses.

5.Karena membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak pernah lupa

6.Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas kehidupan,


sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika.

7.Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka, karena sikap belajar siswa ada nilainya.

8.Memupuk kerjasama dalam kelompok.

9.Melatih keberanian siswa karena siswa harus menjelaskan jawabannya.

10.Melatih siswa untuk terbiasa berfikir dan mengemukakan pendapat.

11.Mendidik budi pekerti.

KEKURANGAN:

1. Upaya penerapan Pembelajaran matematika realistik membutuhkan perubahan yang sangat


mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekan dan juga diperlukan waktu
yang lama.
2. Pencarian soal soal kontekstual yang memenuhi syarat syarat yang dituntut pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap topik yang akan dipelajari , terlebih lagi soal
soal tersebut harus diselesaikan dengan berbagai macam cara.

3. Upaya mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah juga merupakan salah satu kerugian
pembelajaran matematika realistik.

4. Metode Pembelajaran matematika realistik memperlukan partisipasi siswa secara aktif baik fisik
maupun mental.

E. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Realistik (RME)

Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya


diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan
pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi
bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk
yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar
memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru
diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan
matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis
pecahan.

Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa
dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk
menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-
hari atau dalam bidang lain.

Secara lebih jelas, maka langkah-langkah penerapan pembelajaran ini dapat diterapkan menjadi
lima langkah, yaitu:

1) Memberikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.


2) Mendorong siswa menyelesaikan masalah tersebut, baik individu maupun kelompok.
3) Memberikan masalah yang lain pada siswa, tetapi dalam konteks yang sama setelah
diperoleh beberapa langkah dalam menyelesaikan masalah tersebut.
4) Mempertimbangkan cara dan langkah yang ditentukan dengan memeriksa dan meneliti,
kemudian guru membimbing siswa untuk melangkah lebih jauh ke arah proses matematika
vertikal.
5) Menugaskan siswa baik individu maupun kelompok untuk menyelesaikan permasalahan lain
baik terapan maupun bukan terapan.

Contoh Penerapan Dalam Pembelajaran Matematika Materi Perkalian

Perkalian adalah penjumlahan yang berulang sebanyak n dan berlaku sifat komutatif dan
asosiatif. Menurut David Glover (2006:20). materi perkalian materi esensial yang cukup lama proses
penanamannya. Bahkan, kalau sudah disajikan dalam soal cerita seringkali siswa mengalami
kesulitan.

Untuk itu guru harus mampu menemukan suatu cara agar bisa membawa siswa lebih mudah dalam
penanaman konsep materi tesebut dengan membawa anak ke situasi permasalahan yang nyata
dalam kehidupan sehari-hari yang sering dialami siswa, misalnya dalam penanaman konsep
perkalian, dengan cara guru mengajukan pertanyaan, 3 ekor ayam, kakinya ada berapa ? Dengan
masalah seperti ini, jawaban anak diharapkan akan bermacam-macam. Salah satunya adalah
banyaknya kaki ayam adalah 2 + 2 + 2. Jika tidak ada yang menyatakan dengan 3 x 2, maka kita
dapat mengenalkan tentang notasi atau lambang atau konsep perkalian, yaitu 3 x 2. Jadi, dengan
pertanyaan tadi diharapkan siswa dapat membangun atau mengkontruksikan pengetahuannya
sendiri. Dari jawaban pertanyaan itu dimunculkan konsep perkalian. Jadi, bukan guru yang langsung
mengumumkan, namun siswa yang mendapatkan arti 3 x 2.
Pembelajaran dengan pendekatan realistik adalah suatu konsep pembelajaran yang
menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi
pengetahuan matematika oleh siswa sendiri. Masalah konteks nyata merupakan bagian inti dan
dijadikan sebagai starting point dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan
realistik ini.

Dengan demikian pembelajaran realistik merupakan suatu sistem pembelajaran yang didasarkan
pada penelitian kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga guru harus merencanakan pengajaran
yang cocok dengan tahap perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa,
memfasilitasi pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan latar belakang dan keragaman
pengetahuan siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan pelaksanaan assessmen
otentiknya, sehingga pembelajaran mengarah pada peningkatan kecerdasan siswa secara
menyeluruh untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.

Pendekatan Pembelajaran Realistic


Mathematics Education (RME)
RME adalah suatu teori pembelajaran dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa
matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap
konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi
melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal.

Model pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970
oleh institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International
Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang
dilakukan dalam RME meliputi.

a. Menemukan masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).

b. Memecahkan masalah (problem solving).

c. Mengorganisasikan bahan ajar (organizing a subject matter).

Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisasikan secara matematis dan juga ide-ide
matematika yang perlu diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian ini
disebut matematisasi.

Seorang ahli berpendapat sebagai berikut.

Pada RME siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa
mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk di
pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan
proses matematisasi horizontal. Selanjutnya dilakukan matematisasi vertikal, yakni siswa menyelesaikan
bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur
matematika yang berlaku dan dipahami siswa (Armanto, 2001 : 43).

Jadi pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata ditarik masuk ke
dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal adalah proses pelaksanaan pemecahan
masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol matematika sesuai prosedur matematika. RME ini
mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa Matematika harus dikaitkan dengan
realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak
dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. (dalam Depdiknas, 1994 : 21) mengatakan bahwa
Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh para siswa (dalam
Depdiknas, 2000: 34). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informasi, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

Dua jenis matematisasi diformulasikan (dalam Depdiknas, 1991 : 25), yaitu


matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian,
perumusan, dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian
masalah dunia riil ke masalah matematika. Contoh dari matematisasi vertikaladalah representasi
hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-
model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian
seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (dalam Depdiknas, 2000 : 17).

Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat
dibedakan menjadi empat jenis yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan
realistik (dalam Depdiknas, 2005:95).

1. Pendekatan mekanistik

Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari
pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini
manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.

2. Pendekatan empiristik

Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan
diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horizontal.

3. Pendekatan strukturalistik

Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya


pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep
dicapai melalui matematisasi vertikal.

4. Pendekatan realistik

Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal
tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat
menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

Tabel 2.1 Tipe Pendekatan Pembelajaran Matematika

Tipe Matematika Horizontal Matematika Vertikal

Mekanistik - -

Empiristik + -
Strukturalistik - +

Realistik + +

Sumber : Freudenthal , 1991 : 48

Pembelajaran RME mempunyai karakteristik menggunakan konteks dunia nyata, model-model, produksi
dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (interteinment) (dalam Depdiknas, 1991 : 35).

a. Menggunakan Konteks Dunia Nyata

Pada gambar di atas menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana dunia nyata
tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali
matematika.

Pada Gambar Konsep Matematika (De Lange, 1987 : 15) berpendapat bahwa, Dalam RME,
pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka
menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.

Proses pencairan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987 : 18)
sebagai Matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep
yang lebih komplit. Kemudian siswa, dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru
dari dunia nyata (Applied Mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-
hari (Mathematization of everyday experience ) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (dalam
Freudenthal, 2000 : 12).

b. Menggunakan Model-Model (Matematisasi)

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematisasi yang dikembangkan oleh siswa
sendiri (self developed models). Peran self developed modelsmerupakan jembatan bagi siswa dari situasi
real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat
model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia
nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah
tersebut. Melalui penalaran matematis model-of akan bergeser menjadi model-far masalah yang sejenis.
Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

c. Menggunakan Produksi dan Konstruksi

Stretland (dalam Depdiknas, 1991 : 45) menekankan bahwa dengan pembuatan Produksi Bebas
siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses
belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk
mengkontruksi pengetahuan matematika formal.

d. Menggunakan Interaksi
Interaksi antara siswa dan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-
bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau
refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

e. Menggunakan Keterkaitan

Dalam RME pengintegrasian unti-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita
mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah.
Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak
hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau
pengetahuan matematika formal, pembelajaran MR dikelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik
RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika
atau pengetahuan matematika formal, selanjutnya siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-
konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah di bidang lain. Pembelajaran
ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada
memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.
Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka
situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai pengalaman siswa, sehingga
siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-
cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek
matematiknya melalui matematika vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan
siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika
formal).

Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan kepada


siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan
sendiri melalui proses internalisasi guru dalam hal ini berperan sebagai facilitator.

Menurut Davis (dalam Depdiknas, 1996 : 42),

Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada :

1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.

2. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada permasalahan.

3. Informasi baru harus dihubungkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka
logis yang mentransportasikan, mengorganisasikan, dan menginterprestasikan pengalamannya.

4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berfikir, bukan apa yang mereka katakan atau tuliskan.

1.1.1 Prinsip prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Sejalan dengan konsep asalnya, PMRI dikembangkan dari tiga prinsip dasar yang mengawali RME,
yaitu guided reinvention and progressive mathematization, didactial phenomenology, serta self-
developed models (2009:2). Prinsip RME menurut Van den Heuvel-Panhuizen dalam Supinah (2009 : 75)
adalah sebagai berikut.

a. Prinsip aktivitas

Yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik
dalam pembelajaran matematika. Menurut Freudental, karena ide proses matematisasi berkaitan
dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk
mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan.

b. Prinsip realitas

Yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik atau dapat dibayangkan
oleh siswa. Tujuan utama adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika. Dengan demikian
tujuan yang paling utama adalah agar siswa mampu menggunakan matematika yang mereka pahami
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Prinsip realitas ini tidak hanya dikembangkan pada tahap
akhir dari suatu proses pembelajaran melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar
matematika.

c. Prinsip berjenjang

Artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu
menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu
masalah matematis secara formal.

d. Prinsip jalinan

Artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-
bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara
materi-materi itu secara lebih baik.

e. Prinsip interaksi

Yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan
menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.

f. Prinsip bimbingan

Yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan (reinvention) pengetahuan matematika secara
terbimbing.

1.1.2 Standar Penjaminan Mutu PMRI


Untuk melengkapi karakteristik RME, tim pengembang PMRI dalam Quality Assurance Conference yang
diadakan di Yogyakarta tanggal 17-18 April 2009 sepakat menetapkan beberapa standar penjaminan
mutu PMRI. Standar yang ditetapkan diantaranya meliputi standar guru PMRI, standar pembelajaran
PMRI, dan standar bahan ajar PMRI. Standar tersebut dapat digunakan dan diacu para guru matematika.
Berikut ini adalah standar dimaksud yang berkaitan dengan guru matematika.

a. Standar Guru PMRI

1. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang matematika dan PMRI serta
dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.

2. Guru memfasilitasi siswa dalam berfikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan
kreativitas siswa.

3. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan
strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.

4. Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan berdiskusi dalam
rangka pengkonstruksian pengetahuan siswa.

5. Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan prinsip matematika melalui proses
refleksi dan konfirmasi.

b. Standar Pembelajaran Menurut PMRI

1. Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi dalam kurikulum.

2. Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan terbantu belajar
matematika.

3. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan
berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.

4. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih


bermakna dan membentuk pengetahuan yang utuh.

5. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta, konsep, dan prinsip
matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.

c. Standar Bahan Ajar PMRI

1. Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

2. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa
belajar matematika.

3. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga siswa memperoleh
pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.

4. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan
berpikir siswa.
5. Bahan ajar dirumuskan atau disajikan sedemikian sehingga mendorong atau memotivasi siswa
berpikir kritis, kreatif, inovatif serta berinteraksi dalam belajar.

1.1.3 Refleksi dan Penilaian dalam Pembelajaran PMRI

Dalam setiap pembelajaran, refleksi merupakan suatu hal yang utama untuk memberikan gambaran
mengenai proses belajar mengajar yang telah berlangsung sebelumnya. Refleksi merupakan suatu
kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif terhadap proses pembelajaran, antara lain materi
pelajaran, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan agar dapat memahami dan menangkap
maknanya secara lebih mendalam. Dengan demikian, akan mampu mengungkap tentang apa yang
sudah dan sedang dikerjakan. Apakah yang dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan? Dengan
adanya refleksi guru dapat mengetahui perkembangan pembelajaran yang dilakukan. Hasil dari refleksi
dapat menjadi gambaran bagi guru dalam mengambil tindakan dalam kegiatan selanjutnya. Pentingnya
refleksi dinyatakan Supinah (2009 : 78) sebagai berikut.

1. Bagi guru

Mendapatkan informasi tentang apa yang dipelajari siswa dan bagaimana siswa mempelajarinya.
Disamping itu, guru dapat melakukan perbaikan dalam perencanaan dan pembelajaran pada
kesempatan-kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang.

2. Bagi siswa

Meningkatkan kemampuan berfikir matematika siswa, disamping itu juga sama halnya seperti yang
dilakukan guru.

Tentang hal-hal yang perlu dalam refleksi menurut Arvold, Turner, dan Cooney dalam Supinah ( 2009 :
79 ) merekomendasikan siswa untuk memberi jawaban atau respon terhadap pertanyaan-pertanyaan
berikut ini.

1. Apa yang saya pelajari hari ini?

2. Kesulitan apakah yang saya pelajari hari ini?

3. Bagian matematika manakah yang saya suka?

4. Pada bagian matematika manakah saya mengalami kesulitan?

Dari pihak guru, dalam melakukan refleksi baik jika dapat mengikutsertakan metode mengajar,
pedagogi, penyelesaian yang menarik dan bermanfaat baginya serta bagaimana mengelola suasana
belajar yang baik dalam kelas. Dalam RME, penilaian bukan hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada
proses pembelajaran itu sendiri. Idealnya, selama kegiatan pembelajaran, proses penilaian pun
dilaksanakan. Ada banyak hal yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan penilaian.
Diantaranya, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan strategi yang
berbeda, interaksi siswa, diskusi selama proses belajar.
Tujuan dilaksanakannya penilaian untuk memberi gambaran informasi tentang proses belajar mengajar
yang telah dilaksanakan dan dapat juga sebagai alat untuk membantu proses pengambilan keputusan.

De Lange (1987) dalam Zulkardi (2002 : 35) merumuskan lima prinsip panduan penaksiran atau
penilaian dalam RME, seperti berikut.

1. Tujuan utama pengujian adalah untuk memperbaiki proses belajar-mengajar.

2. Metode penilaian sebaiknya dapat memudahkan para murid mendemonstrasikan apa yang mereka
tahu ketimbang apa yang tidak tahu.

3. Penilaian sebaiknya mengoperasionalkan semua tujuan pendidikan matematika.

4. Kualitas penilaian matematika tidak ditentukan oleh kemudahan akses terhadap penilaian objektif.

5. Alat penilaian sebaiknya praktis, cocok dengan praktik sekolah umum.

Dalam RME, proses dan produk berpengaruh penting dalam penilaian sehingga diharapkan penilaian
dilaksanakan baik selama proses interaksi maupun hasil mereka.

Ada beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan. Suryanto (2010) memberikan beberapa alternatif
yang dapat digunakan sebagai sarana penilaian, yaitu.

1. Hasil akhir siswa, dapat berupa jurnal, video, demonstrasi, majalah dinding, seni, maupun hasil
kontruksi model-model matematika.

2. Portofolio siswa merupakan kumpulan karya siswa yang dihasilkan siswa. Dapat berupa gambar,
laporan, hasil analisis suatu permasalahan, ataupun proses penyelesaian suatu masalah.

3. Penyelesaian terhadap pemecahan permasalahan atau tanggapan terhadap pertanyaan terbuka


yang dituangkan dalam tulisan.

4. Kemampuan menginvestigasi permasalahan berkaitan dengan bidang studi lain seperti ilmu
pengetahuan umum, ilmu sosial, ataupun penyelesaian soal-soal matematika itu sendiri.

5. Tanggapan siswa terhadap suatu kasus, situasi, dan permasalahan terbuka yang diberikan guru.

6. Penilaian kinerja siswa baik kelompok atau individu dalam memecahkan permasalahan.

7. Pengamatan langsung terhadap siswa dalam usahanya menyelesaikan suatu permasalahan yang
diberikan guru.

8. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kedalaman pemahaman siswa terhadap permasalahan


yang disampaikan.

9. Mengajukan pertanyaan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk berpikir sehingga guru
mampu menggali informasi terhadap pemahaman siswa.

10. Siswa diberi kesempatan untuk menilai sendiri kemampuannya dalam belajar, disesuaikan dengan
pengembangan yang mereka kembangkan.
2.1.4 Desain Pembelajaran Matematika Realistik

Desain pembelajaran matematika realistik, sebagai berikut.

a. Tujuan

Lange (1995) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan tujuan dalam pendidikan matematika yaitu:

(1) Lower level

(2) Middle level

(3) Higher order level

Pembelajaran matematika realistik haruslah meliputi semua tingkatan tujuan. Tingkat rendah lebih
difokuskan pada pengetahuan konseptual dan prosedural. Tingkat menengah dan atas lebih difokuskan
kepada kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, berkomunikasi, dan pembentukan sikap
kritis siswa.

b. Materi

Lange (1996) menegaskan bahwa Materi merupakan asosiasi aktivitas kehidupan nyata yang sangat
spesifik, pengetahuan dan strategi digunakan dalam konteks dari situasi. Beragam soal kontekstual
digabungkan dalam kurikulum di mulai dari awal.

c. Aktivitas

Peran guru dalam pembelajaran matematika realistik di dalam kelas (Lange, 1996; Gravemeijer, 1994)
adalah sebagai fasilitator, pengatur, penterjemah, dan evaluator sebagai dasar dari suatu proses
matematika, secara umum dapat digambarkan langkah-langkah peran guru sebagai proses dasar dalam
pembelajaran matematika realistik sebagai berikut.

1. Berikan soal kontekstual pada siswa yang berhubungan dengan topik pembelajaran sebagai titik
awal.

2. Pada waktu terjadi interaksi, berikan siswa petunjuk contohnya, dengan menggambarkan tabel pada
papan tulis, memadu siswa seorang-seorang atau dalam kelompok kecil yang sekiranya membutuhkan
bantuan guru.

3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban mereka dengan jawaban
temannya dalam diskusi kelas. Diskusi bertujuan untuk mengarahkan interpretasi siswa dalam
menterjemahkan soal kontekstual dan menyimpulkan solusi yang lebih efisien dari beberapa jawaban
yang bervariasi.

4. Biarkan siswa menemukan solusi dengan cara mereka sendiri. Artinya siswa bebas untuk membuat
pernyataan dengan tingkat kemampuannya, untuk membangun pengalaman dalam pengetahuan, dan
memainkan jawaban pendek pada langkah-langkah yang mereka kerjakan.

5. Berikan soal lain dalam konteks yang sama.


6. Dalam hal lain, peranan siswa dalam pembelajaran matematika realistik harus bekerja sendiri-
sendiri atau kelompok, mereka harus lebih percaya diri sendiri, dan mereka menjawab dengan free
production atau kontribusi.

d. Evaluasi

Lange (1995) merumuskan lima prinsip dalam evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam membuat
evaluasi dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

1. Tujuan dasar tes adalah untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar. Artinya evaluasi harus
dapat mengukur siswa selama pembelajaran, bukan sekedar penyediaan informasi tentang hasil belajar
dalam bentuk nilai.

2. Metode penilaian harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa untuk
menggambarkan apa yang mereka ketahui bukan mengungkapkan apa yang tidak mereka ketahui. Hal
tersebut dapat diadakan dengan memiliki soal yang terbuka, atau mempunyai strategi jawaban yang
berbeda.

3. Tes harus melibatkan semua tujuan dari pendidikan matematika, proses berfikir tingkat rendah,
menengah, dan tinggi.

4. Alat evaluasi harus bersifat praktis, sehingga kontruksi tes dapat disusun dengan format yang
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan serta pencapaian tujuan yang ingin diungkapkan.

2.1.5 Keunggulan RME

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu.

1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.

2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak
hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan
orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu
sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan
cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian
yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.

4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus
menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan
bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri
proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

1.1.6 Kelemahan RME

Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu.

1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai
siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan perubahan itu merupakan syarat
untuk dapat diterapkannya RME.

2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.

4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan
kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
Strategi pembelajaran.
Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan
pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008)
menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa
strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam
suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree
dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran
dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap
usaha, yaitu :
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang
harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk
mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal
sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk
mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan
pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik
pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku
keberhasilan.

Anda mungkin juga menyukai