Dasar
Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan oleh Freud di Belanda dengan pola guided
reinventiondalam mengkontruksi konsep-aturan melalui process of mathematization, yaitu
matematika horizontal (tools, fakta, konsep, prinsip, algoritma, aturan uantuk digunakan dalam
menyelesaikan persoalan, proses dunia empirik) dan vertikal (reoorganisasi matematik melalui
proses dalam dunia rasio, pengemabngan mateastika).
Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang
karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan
kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan
Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang
sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut
pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan
relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain
memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika
sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada
pebelajar untuk dibimbing dan menemukan kembali matematika dengan
melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai
kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan
bermatematika atau matematisasi (Freudental,1968).
Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe
matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada
matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan
proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari
keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan
tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan
matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya
tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991).
Hal ini disebabkan oleh pemaknaan realistik yang berasal dari bahasa Belanda realiseren yang
artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi membayangkan. Kegiatan
membayangkan ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi
tidak selamanya harus melalui cara itu.
Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam matematika dapat dibedakan
menjadi empat yaitu, mekanistik, empiristik, struturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisonal dan didasarkan pada apa yang diketahui
dari pengalamn sendiri (diawali dari yang lebih sederhana sampai ke kompleks) dalam pendekatan
ini siswa dianggap sebagai mesin.
Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep konsep matematika tidak
diajarkan dan diharapkan siswa mampu menemukan melalui matematika horizontal. Pendekatan
mekanis dan empiris tidak banyak diajarkan di lingkungan sekolah.
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika realistik adalah
metode pembelajaran matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan
pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Selanjutnya siswa diberi kesempatan
mengpalikasikan konsep konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari hari atau
dalam bidang yang lainnya. Pembelajaran ini sengat berbeda dengan pembelajaran matematika
selama ini yang cenderung berorientasi kepada memberi informasi dan memakai matematika yang
siap pakai untuk memecahkan masalah.
Prinsip ini menghendaki bahwa dalam Pembelajaran Matematika realistik, dari masalah konstektual
yang diberikan oleh guru diawal pembelajaran, kemudian dalam menyelasaikan masalah siswa
diarahkan dan diberi bimbingan terbatas, sehingga siswa mengalami proses menemukan kembali
konsep, prinsip, sifat sifat dan rumus rumus matematika sebagaimana ketika konsep, prinsip,
sifat sifat dan rumus rumus itu ditemukan. Prinsip ini mengacu pada pandangan
konstruktivisme, yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer atau diajarkan
melalui pemberitahuan dari guru, melainkan dari siswa sendiri.
Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena pembelajaran, yang menghendaki bahwa di
dalam menentukan masalah konstektual untuk digunakan dalam pembelajaran dengan pendekatan
metode pembelajaran matematika realistik didasarkan atas dua alasan, yaitu : a) untuk
mengungkap berbagai macam aplikasi suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran, b)
untuk dipertimbangkan pantas tidaknya masalah konstektual itu digunakan sebagai poin poin
untuk suatu proses pematematikaan progresif. Dari penjabaran di atas menunjukan bahwa prinsip
ke 2 Pembelajaran matematika Realistik ini menekankan pada pentingnya masalah konstektual
untuk memperkenalkan topik topik matematika kepada siswa.
Menurut prinsip ketiga, model model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan pengetahuan
informal dan formal matematika. Dalam pemecahan konstektual siswa diberi kebebasan untuk
menemukan sendiri model matematika terkait dengan masalah kontekstual yang dipecahkan.
Sebagai konsekuensinya sangat dimungkinkan mucul berbagai model matematika yang dibangun
siswa. Berbagai model tersebut pada mulanya mungkin masih mirip dengan masalah
kontekstualnya. Ini merupakan langkah lanjutan dari penemuan ulang dan sekaligus menunjukan
bahwa sifat bottom up( dari bawah ke atas) mulai terjadi. Model model tersebut diharapkan
untuk mampu mengubah kepada bentuk matematika yang formal.
1. Kegiatan
Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan seluruh
perangkat perkakas dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan dalam
situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian bagian masalah tersebut dan
dikembangkan secara bertahap
2. Nyata (kontekstual)
3. Bertahap
Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahapan pemahaman, yaitu dari
kemampuan menemukan pemecahan informal yang berhubungan dengan konteks, menuju
penciptaan berbagai tahap hubungan langsung dan pembuatan bagan.
Hal ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik topik seperti kesadaran akan
bilangan, mental aritmetika, perkiraan (estimasi) dan algoritma.
5. Interaksi
Dalam matematika realistik belajar matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Pendidikan
harus dapat memberikan kesempatan bagi para peserta didik untuk saling berbagi dan strategi dan
penemuan mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan
temuan ini, peserta didik mendapat ide untuk memperbaiki strateginya.
6. Bimbingan
Pengajar maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan peserta
didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses pembelajaran yang lentur
untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui
proses hafalan.
1.Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari hari dan kegunaan
matematika pada umumnya.
2.Pembelajaran matematika reaslistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa matematika adalah suatu kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan oleh siswa .
3.Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa cara penyelesaian masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara satu siswa
dengan siswa yang lainnya.
4.Pembelajaran matematika realistis memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada
siswa bahwa untuk menemukan suatu hasil dalam matematika diperlukan suatu proses.
7.Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka, karena sikap belajar siswa ada nilainya.
KEKURANGAN:
3. Upaya mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah juga merupakan salah satu kerugian
pembelajaran matematika realistik.
4. Metode Pembelajaran matematika realistik memperlukan partisipasi siswa secara aktif baik fisik
maupun mental.
Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa
dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk
menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-
hari atau dalam bidang lain.
Secara lebih jelas, maka langkah-langkah penerapan pembelajaran ini dapat diterapkan menjadi
lima langkah, yaitu:
Perkalian adalah penjumlahan yang berulang sebanyak n dan berlaku sifat komutatif dan
asosiatif. Menurut David Glover (2006:20). materi perkalian materi esensial yang cukup lama proses
penanamannya. Bahkan, kalau sudah disajikan dalam soal cerita seringkali siswa mengalami
kesulitan.
Untuk itu guru harus mampu menemukan suatu cara agar bisa membawa siswa lebih mudah dalam
penanaman konsep materi tesebut dengan membawa anak ke situasi permasalahan yang nyata
dalam kehidupan sehari-hari yang sering dialami siswa, misalnya dalam penanaman konsep
perkalian, dengan cara guru mengajukan pertanyaan, 3 ekor ayam, kakinya ada berapa ? Dengan
masalah seperti ini, jawaban anak diharapkan akan bermacam-macam. Salah satunya adalah
banyaknya kaki ayam adalah 2 + 2 + 2. Jika tidak ada yang menyatakan dengan 3 x 2, maka kita
dapat mengenalkan tentang notasi atau lambang atau konsep perkalian, yaitu 3 x 2. Jadi, dengan
pertanyaan tadi diharapkan siswa dapat membangun atau mengkontruksikan pengetahuannya
sendiri. Dari jawaban pertanyaan itu dimunculkan konsep perkalian. Jadi, bukan guru yang langsung
mengumumkan, namun siswa yang mendapatkan arti 3 x 2.
Pembelajaran dengan pendekatan realistik adalah suatu konsep pembelajaran yang
menghubungkan materi pelajaran dengan situasi nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi
pengetahuan matematika oleh siswa sendiri. Masalah konteks nyata merupakan bagian inti dan
dijadikan sebagai starting point dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan
realistik ini.
Dengan demikian pembelajaran realistik merupakan suatu sistem pembelajaran yang didasarkan
pada penelitian kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga guru harus merencanakan pengajaran
yang cocok dengan tahap perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa,
memfasilitasi pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan latar belakang dan keragaman
pengetahuan siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan pelaksanaan assessmen
otentiknya, sehingga pembelajaran mengarah pada peningkatan kecerdasan siswa secara
menyeluruh untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Model pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970
oleh institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International
Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang
dilakukan dalam RME meliputi.
Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisasikan secara matematis dan juga ide-ide
matematika yang perlu diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian ini
disebut matematisasi.
Pada RME siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa
mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk di
pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan
proses matematisasi horizontal. Selanjutnya dilakukan matematisasi vertikal, yakni siswa menyelesaikan
bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur
matematika yang berlaku dan dipahami siswa (Armanto, 2001 : 43).
Jadi pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata ditarik masuk ke
dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal adalah proses pelaksanaan pemecahan
masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol matematika sesuai prosedur matematika. RME ini
mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa Matematika harus dikaitkan dengan
realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak
dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. (dalam Depdiknas, 1994 : 21) mengatakan bahwa
Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan realistik. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh para siswa (dalam
Depdiknas, 2000: 34). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informasi, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat
dibedakan menjadi empat jenis yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan
realistik (dalam Depdiknas, 2005:95).
1. Pendekatan mekanistik
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dari
pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam pendekatan ini
manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.
2. Pendekatan empiristik
Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan
diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horizontal.
3. Pendekatan strukturalistik
4. Pendekatan realistik
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal
tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa dapat
menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Mekanistik - -
Empiristik + -
Strukturalistik - +
Realistik + +
Pembelajaran RME mempunyai karakteristik menggunakan konteks dunia nyata, model-model, produksi
dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (interteinment) (dalam Depdiknas, 1991 : 35).
Pada gambar di atas menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana dunia nyata
tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali
matematika.
Pada Gambar Konsep Matematika (De Lange, 1987 : 15) berpendapat bahwa, Dalam RME,
pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka
menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
Proses pencairan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987 : 18)
sebagai Matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan konsep
yang lebih komplit. Kemudian siswa, dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru
dari dunia nyata (Applied Mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-
hari (Mathematization of everyday experience ) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (dalam
Freudenthal, 2000 : 12).
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematisasi yang dikembangkan oleh siswa
sendiri (self developed models). Peran self developed modelsmerupakan jembatan bagi siswa dari situasi
real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat
model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan dunia
nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah
tersebut. Melalui penalaran matematis model-of akan bergeser menjadi model-far masalah yang sejenis.
Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.
Stretland (dalam Depdiknas, 1991 : 45) menekankan bahwa dengan pembuatan Produksi Bebas
siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses
belajar. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk
mengkontruksi pengetahuan matematika formal.
d. Menggunakan Interaksi
Interaksi antara siswa dan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit bentuk-
bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau
refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
e. Menggunakan Keterkaitan
Dalam RME pengintegrasian unti-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita
mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah.
Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak
hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau
pengetahuan matematika formal, pembelajaran MR dikelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik
RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika
atau pengetahuan matematika formal, selanjutnya siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-
konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah di bidang lain. Pembelajaran
ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada
memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.
Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka
situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai pengalaman siswa, sehingga
siswa dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-
cara informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek
matematiknya melalui matematika vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan
siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika
formal).
3. Informasi baru harus dihubungkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka
logis yang mentransportasikan, mengorganisasikan, dan menginterprestasikan pengalamannya.
4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berfikir, bukan apa yang mereka katakan atau tuliskan.
Sejalan dengan konsep asalnya, PMRI dikembangkan dari tiga prinsip dasar yang mengawali RME,
yaitu guided reinvention and progressive mathematization, didactial phenomenology, serta self-
developed models (2009:2). Prinsip RME menurut Van den Heuvel-Panhuizen dalam Supinah (2009 : 75)
adalah sebagai berikut.
a. Prinsip aktivitas
Yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik
dalam pembelajaran matematika. Menurut Freudental, karena ide proses matematisasi berkaitan
dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk
mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan.
b. Prinsip realitas
Yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik atau dapat dibayangkan
oleh siswa. Tujuan utama adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika. Dengan demikian
tujuan yang paling utama adalah agar siswa mampu menggunakan matematika yang mereka pahami
untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Prinsip realitas ini tidak hanya dikembangkan pada tahap
akhir dari suatu proses pembelajaran melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar
matematika.
c. Prinsip berjenjang
Artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu
menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu
masalah matematis secara formal.
d. Prinsip jalinan
Artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-
bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara
materi-materi itu secara lebih baik.
e. Prinsip interaksi
Yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan
menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.
f. Prinsip bimbingan
Yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan (reinvention) pengetahuan matematika secara
terbimbing.
1. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang matematika dan PMRI serta
dapat menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.
2. Guru memfasilitasi siswa dalam berfikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan
kreativitas siswa.
3. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan
strategi pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
4. Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan berdiskusi dalam
rangka pengkonstruksian pengetahuan siswa.
5. Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan prinsip matematika melalui proses
refleksi dan konfirmasi.
2. Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan terbantu belajar
matematika.
3. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan
berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.
5. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta, konsep, dan prinsip
matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.
2. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa
belajar matematika.
3. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga siswa memperoleh
pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.
4. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan
berpikir siswa.
5. Bahan ajar dirumuskan atau disajikan sedemikian sehingga mendorong atau memotivasi siswa
berpikir kritis, kreatif, inovatif serta berinteraksi dalam belajar.
Dalam setiap pembelajaran, refleksi merupakan suatu hal yang utama untuk memberikan gambaran
mengenai proses belajar mengajar yang telah berlangsung sebelumnya. Refleksi merupakan suatu
kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif terhadap proses pembelajaran, antara lain materi
pelajaran, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan agar dapat memahami dan menangkap
maknanya secara lebih mendalam. Dengan demikian, akan mampu mengungkap tentang apa yang
sudah dan sedang dikerjakan. Apakah yang dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan? Dengan
adanya refleksi guru dapat mengetahui perkembangan pembelajaran yang dilakukan. Hasil dari refleksi
dapat menjadi gambaran bagi guru dalam mengambil tindakan dalam kegiatan selanjutnya. Pentingnya
refleksi dinyatakan Supinah (2009 : 78) sebagai berikut.
1. Bagi guru
Mendapatkan informasi tentang apa yang dipelajari siswa dan bagaimana siswa mempelajarinya.
Disamping itu, guru dapat melakukan perbaikan dalam perencanaan dan pembelajaran pada
kesempatan-kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang.
2. Bagi siswa
Meningkatkan kemampuan berfikir matematika siswa, disamping itu juga sama halnya seperti yang
dilakukan guru.
Tentang hal-hal yang perlu dalam refleksi menurut Arvold, Turner, dan Cooney dalam Supinah ( 2009 :
79 ) merekomendasikan siswa untuk memberi jawaban atau respon terhadap pertanyaan-pertanyaan
berikut ini.
Dari pihak guru, dalam melakukan refleksi baik jika dapat mengikutsertakan metode mengajar,
pedagogi, penyelesaian yang menarik dan bermanfaat baginya serta bagaimana mengelola suasana
belajar yang baik dalam kelas. Dalam RME, penilaian bukan hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada
proses pembelajaran itu sendiri. Idealnya, selama kegiatan pembelajaran, proses penilaian pun
dilaksanakan. Ada banyak hal yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan penilaian.
Diantaranya, kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan strategi yang
berbeda, interaksi siswa, diskusi selama proses belajar.
Tujuan dilaksanakannya penilaian untuk memberi gambaran informasi tentang proses belajar mengajar
yang telah dilaksanakan dan dapat juga sebagai alat untuk membantu proses pengambilan keputusan.
De Lange (1987) dalam Zulkardi (2002 : 35) merumuskan lima prinsip panduan penaksiran atau
penilaian dalam RME, seperti berikut.
2. Metode penilaian sebaiknya dapat memudahkan para murid mendemonstrasikan apa yang mereka
tahu ketimbang apa yang tidak tahu.
4. Kualitas penilaian matematika tidak ditentukan oleh kemudahan akses terhadap penilaian objektif.
Dalam RME, proses dan produk berpengaruh penting dalam penilaian sehingga diharapkan penilaian
dilaksanakan baik selama proses interaksi maupun hasil mereka.
Ada beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan. Suryanto (2010) memberikan beberapa alternatif
yang dapat digunakan sebagai sarana penilaian, yaitu.
1. Hasil akhir siswa, dapat berupa jurnal, video, demonstrasi, majalah dinding, seni, maupun hasil
kontruksi model-model matematika.
2. Portofolio siswa merupakan kumpulan karya siswa yang dihasilkan siswa. Dapat berupa gambar,
laporan, hasil analisis suatu permasalahan, ataupun proses penyelesaian suatu masalah.
4. Kemampuan menginvestigasi permasalahan berkaitan dengan bidang studi lain seperti ilmu
pengetahuan umum, ilmu sosial, ataupun penyelesaian soal-soal matematika itu sendiri.
5. Tanggapan siswa terhadap suatu kasus, situasi, dan permasalahan terbuka yang diberikan guru.
6. Penilaian kinerja siswa baik kelompok atau individu dalam memecahkan permasalahan.
7. Pengamatan langsung terhadap siswa dalam usahanya menyelesaikan suatu permasalahan yang
diberikan guru.
9. Mengajukan pertanyaan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk berpikir sehingga guru
mampu menggali informasi terhadap pemahaman siswa.
10. Siswa diberi kesempatan untuk menilai sendiri kemampuannya dalam belajar, disesuaikan dengan
pengembangan yang mereka kembangkan.
2.1.4 Desain Pembelajaran Matematika Realistik
a. Tujuan
Lange (1995) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan tujuan dalam pendidikan matematika yaitu:
Pembelajaran matematika realistik haruslah meliputi semua tingkatan tujuan. Tingkat rendah lebih
difokuskan pada pengetahuan konseptual dan prosedural. Tingkat menengah dan atas lebih difokuskan
kepada kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, berkomunikasi, dan pembentukan sikap
kritis siswa.
b. Materi
Lange (1996) menegaskan bahwa Materi merupakan asosiasi aktivitas kehidupan nyata yang sangat
spesifik, pengetahuan dan strategi digunakan dalam konteks dari situasi. Beragam soal kontekstual
digabungkan dalam kurikulum di mulai dari awal.
c. Aktivitas
Peran guru dalam pembelajaran matematika realistik di dalam kelas (Lange, 1996; Gravemeijer, 1994)
adalah sebagai fasilitator, pengatur, penterjemah, dan evaluator sebagai dasar dari suatu proses
matematika, secara umum dapat digambarkan langkah-langkah peran guru sebagai proses dasar dalam
pembelajaran matematika realistik sebagai berikut.
1. Berikan soal kontekstual pada siswa yang berhubungan dengan topik pembelajaran sebagai titik
awal.
2. Pada waktu terjadi interaksi, berikan siswa petunjuk contohnya, dengan menggambarkan tabel pada
papan tulis, memadu siswa seorang-seorang atau dalam kelompok kecil yang sekiranya membutuhkan
bantuan guru.
3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban mereka dengan jawaban
temannya dalam diskusi kelas. Diskusi bertujuan untuk mengarahkan interpretasi siswa dalam
menterjemahkan soal kontekstual dan menyimpulkan solusi yang lebih efisien dari beberapa jawaban
yang bervariasi.
4. Biarkan siswa menemukan solusi dengan cara mereka sendiri. Artinya siswa bebas untuk membuat
pernyataan dengan tingkat kemampuannya, untuk membangun pengalaman dalam pengetahuan, dan
memainkan jawaban pendek pada langkah-langkah yang mereka kerjakan.
d. Evaluasi
Lange (1995) merumuskan lima prinsip dalam evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam membuat
evaluasi dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1. Tujuan dasar tes adalah untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar. Artinya evaluasi harus
dapat mengukur siswa selama pembelajaran, bukan sekedar penyediaan informasi tentang hasil belajar
dalam bentuk nilai.
2. Metode penilaian harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa untuk
menggambarkan apa yang mereka ketahui bukan mengungkapkan apa yang tidak mereka ketahui. Hal
tersebut dapat diadakan dengan memiliki soal yang terbuka, atau mempunyai strategi jawaban yang
berbeda.
3. Tes harus melibatkan semua tujuan dari pendidikan matematika, proses berfikir tingkat rendah,
menengah, dan tinggi.
4. Alat evaluasi harus bersifat praktis, sehingga kontruksi tes dapat disusun dengan format yang
berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan serta pencapaian tujuan yang ingin diungkapkan.
Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu.
1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa
matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak
hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan
orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu
sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan
cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian
yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.
4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus
menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan
bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri
proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu.
1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai
siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan perubahan itu merupakan syarat
untuk dapat diterapkannya RME.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam
menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan
kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.
Strategi pembelajaran.
Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan
pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara
efektif dan efisien. Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008)
menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa
strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam
suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam
dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree
dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran
dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat unsur strategi dari setiap
usaha, yaitu :
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan sasaran (target) yang
harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling efektif untuk
mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh sejak titik awal
sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran (standard) untuk
mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil perilaku dan
pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan teknik
pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria dan ukuran baku
keberhasilan.