Education (RME)
Pengertian Realistic Mathematics Education (RME)
2. Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai
dengan abstraksi yang harus dipelajari siswa. Model dapat berupa keadaan atau
situasi nyata dalam kehidupan siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang
dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.
4. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antar guru dan siswa
maupun siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam
pembelajaran matematika. Siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan
siswa lain, bertanya, dan menanggapi pertanyaan serta mengevaluasi pekerjaan
mereka.
3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada
nilainya.
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok.
7. Pendidikan berbudi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman
yang sedang berbicara.
1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih
kesulitan menemukan sendiri jawabannya.
2. Membutuhkan waktu yang lama bagi siswa yang memiliki kemampuan yang
rendah.
3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang
belum selesai.
4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.
5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi
atau memberi nilai.
Daftar Pustaka
Yuwono, Ipung. 2001. Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Malang: FMIPA
UN Malang.
Suharta, I Gusti Putu. 2001. Pembelajaran Pecahan Dalam Matematika Realistik,
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME).
Surabaya.
Tarigan, Daitin. 2006. Pembelajaran Matematika Realistik. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
Gravemeijer. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freundenthal
Institute.
Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya.
Banjarmasin: Tulip.
Aisyah, Nyimas. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Dirjen
Dikti Depdiknas.
Rahayu, Tika. 2010. Pendekatan RME Terhadap Peningkatan Prestai Belajar
Matematika Siswa Kelas 2 SD N Penaruban I Purbalingga. Yogyakarta: UNY.
Muhsetyo, Gatot dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Karunia, Eka Lestari dan Yudhanegara, Mokhammad Ridwan. 2015. Penelitian
Pendidikan Matematika. Bandung: Refika Aditama.
Model pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970
oleh institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International
Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang
dilakukan dalam RME meliputi.
Jadi pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata ditarik
masuk ke dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal adalah proses pelaksanaan
pemecahan masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol matematika sesuai prosedur matematika. RME
ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa “Matematika harus dikaitkan dengan
realita dan matematika merupakan aktivitas manusia”. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak
dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. (dalam Depdiknas, 1994 : 21) mengatakan bahwa
“Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa”. Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh para siswa (dalam
Depdiknas, 2000: 34). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informasi, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
1. Pendekatan mekanistik
Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam
pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.
2. Pendekatan empiristik
3. Pendekatan strukturalistik
4. Pendekatan realistik
Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai
pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa
dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.
Mekanistik - -
Empiristik + -
Strukturalistik - +
Realistik + +
Pada gambar di atas menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana “dunia
nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan
kembali matematika.
Pada Gambar Konsep Matematika (De Lange, 1987 : 15) berpendapat bahwa, “Dalam RME, pembelajaran
diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan
pengalaman sebelumnya secara langsung”.
Proses pencairan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987
: 18) sebagai Matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan
konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa, dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang
baru dari dunia nyata (Applied Mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-
hari (Mathematization of everyday experience ) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (dalam
Freudenthal, 2000 : 12).
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematisasi yang dikembangkan oleh
siswa sendiri (self developed models). Peran self developed modelsmerupakan jembatan bagi siswa dari
situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa
membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan
dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah
tersebut. Melalui penalaran matematis model-of akan bergeser menjadi model-far masalah yang sejenis.
Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.
Stretland (dalam Depdiknas, 1991 : 45) menekankan bahwa “dengan pembuatan “Produksi
Bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses
belajar”. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkontruksi
pengetahuan matematika formal.
d. Menggunakan Interaksi
Interaksi antara siswa dan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit
bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan
atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
e. Menggunakan Keterkaitan
Dalam RME pengintegrasian unti-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita
mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah.
Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak
hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau
pengetahuan matematika formal, pembelajaran MR dikelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik
RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika
atau pengetahuan matematika formal, selanjutnya siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-
konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah di bidang lain. Pembelajaran
ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada
memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.
Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka
situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai pengalaman siswa, sehingga siswa
dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-cara
informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek
matematiknya melalui matematika vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan
siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan
sendiri melalui proses internalisasi guru dalam hal ini berperan sebagai facilitator.
3. Informasi baru harus dihubungkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis
yang mentransportasikan, mengorganisasikan, dan menginterprestasikan pengalamannya.
4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berfikir, bukan apa yang mereka katakan atau tuliskan.
Sejalan dengan konsep asalnya, PMRI dikembangkan dari tiga prinsip dasar yang mengawali RME,
yaitu guided reinvention and progressive mathematization, didactial phenomenology, serta self-
developed models (2009:2). Prinsip RME menurut Van den Heuvel-Panhuizen dalam Supinah (2009 : 75)
adalah sebagai berikut.
a. Prinsip aktivitas
Yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik secara mental maupun
fisik dalam pembelajaran matematika. Menurut Freudental, karena ide proses matematisasi berkaitan
dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk
mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan.
b. Prinsip realitas
Yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik atau dapat
dibayangkan oleh siswa. Tujuan utama adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika. Dengan
demikian tujuan yang paling utama adalah agar siswa mampu menggunakan matematika yang mereka
pahami untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Prinsip realitas ini tidak hanya dikembangkan pada
tahap akhir dari suatu proses pembelajaran melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar
matematika.
c. Prinsip berjenjang
Artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari
mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu
masalah matematis secara formal.
d. Prinsip jalinan
Artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai
bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara
materi-materi itu secara lebih baik.
e. Prinsip interaksi
Yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan
menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.
f. Prinsip bimbingan
Yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan (reinvention) pengetahuan matematika
secara terbimbing.
Untuk melengkapi karakteristik RME, tim pengembang PMRI dalam Quality Assurance
Conference yang diadakan di Yogyakarta tanggal 17-18 April 2009 sepakat menetapkan beberapa standar
penjaminan mutu PMRI. Standar yang ditetapkan diantaranya meliputi standar guru PMRI, standar
pembelajaran PMRI, dan standar bahan ajar PMRI. Standar tersebut dapat digunakan dan diacu para guru
matematika. Berikut ini adalah standar dimaksud yang berkaitan dengan guru matematika.
2. Guru memfasilitasi siswa dalam berfikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan
kreativitas siswa.
3. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan strategi
pemecahan masalah menurut mereka sendiri.
4. Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan berdiskusi dalam rangka
pengkonstruksian pengetahuan siswa.
5. Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan prinsip matematika melalui proses
refleksi dan konfirmasi.
2. Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan terbantu belajar
matematika.
3. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan
berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.
4. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih bermakna
dan membentuk pengetahuan yang utuh.
5. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta, konsep, dan prinsip
matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.
2. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa belajar
matematika.
3. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga siswa memperoleh
pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.
4. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan berpikir
siswa.
5. Bahan ajar dirumuskan atau disajikan sedemikian sehingga mendorong atau memotivasi siswa berpikir
kritis, kreatif, inovatif serta berinteraksi dalam belajar.
Dalam setiap pembelajaran, refleksi merupakan suatu hal yang utama untuk memberikan
gambaran mengenai proses belajar mengajar yang telah berlangsung sebelumnya. Refleksi merupakan
suatu kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif terhadap proses pembelajaran, antara lain
materi pelajaran, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan agar dapat memahami dan
menangkap maknanya secara lebih mendalam. Dengan demikian, akan mampu mengungkap tentang apa
yang sudah dan sedang dikerjakan. Apakah yang dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan? Dengan
adanya refleksi guru dapat mengetahui perkembangan pembelajaran yang dilakukan. Hasil dari refleksi
dapat menjadi gambaran bagi guru dalam mengambil tindakan dalam kegiatan selanjutnya. Pentingnya
refleksi dinyatakan Supinah (2009 : 78) sebagai berikut.
1. Bagi guru
Mendapatkan informasi tentang apa yang dipelajari siswa dan bagaimana siswa mempelajarinya.
Disamping itu, guru dapat melakukan perbaikan dalam perencanaan dan pembelajaran pada kesempatan-
kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang.
2. Bagi siswa
Meningkatkan kemampuan berfikir matematika siswa, disamping itu juga sama halnya seperti
yang dilakukan guru.
Tentang hal-hal yang perlu dalam refleksi menurut Arvold, Turner, dan Cooney dalam Supinah (
2009 : 79 ) merekomendasikan siswa untuk memberi jawaban atau respon terhadap pertanyaan-
pertanyaan berikut ini.
Dari pihak guru, dalam melakukan refleksi baik jika dapat mengikutsertakan metode mengajar,
pedagogi, penyelesaian yang menarik dan bermanfaat baginya serta bagaimana mengelola suasana
belajar yang baik dalam kelas. Dalam RME, penilaian bukan hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada proses
pembelajaran itu sendiri. Idealnya, selama kegiatan pembelajaran, proses penilaian pun dilaksanakan.
Ada banyak hal yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan penilaian. Diantaranya,
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan strategi yang berbeda, interaksi
siswa, diskusi selama proses belajar.
Tujuan dilaksanakannya penilaian untuk memberi gambaran informasi tentang proses belajar
mengajar yang telah dilaksanakan dan dapat juga sebagai alat untuk membantu proses pengambilan
keputusan.
De Lange (1987) dalam Zulkardi (2002 : 35) “merumuskan lima prinsip panduan penaksiran atau
penilaian dalam RME”, seperti berikut.
2. Metode penilaian sebaiknya dapat memudahkan para murid mendemonstrasikan apa yang mereka tahu
ketimbang apa yang tidak tahu.
4. Kualitas penilaian matematika tidak ditentukan oleh kemudahan akses terhadap penilaian objektif.
Dalam RME, proses dan produk berpengaruh penting dalam penilaian sehingga diharapkan
penilaian dilaksanakan baik selama proses interaksi maupun hasil mereka.
Ada beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan. Suryanto (2010) memberikan beberapa
alternatif yang dapat digunakan sebagai sarana penilaian, yaitu.
1. Hasil akhir siswa, dapat berupa jurnal, video, demonstrasi, majalah dinding, seni, maupun hasil kontruksi
model-model matematika.
2. Portofolio siswa merupakan kumpulan karya siswa yang dihasilkan siswa. Dapat berupa gambar, laporan,
hasil analisis suatu permasalahan, ataupun proses penyelesaian suatu masalah.
3. Penyelesaian terhadap pemecahan permasalahan atau tanggapan terhadap pertanyaan terbuka yang
dituangkan dalam tulisan.
4. Kemampuan menginvestigasi permasalahan berkaitan dengan bidang studi lain seperti ilmu pengetahuan
umum, ilmu sosial, ataupun penyelesaian soal-soal matematika itu sendiri.
5. Tanggapan siswa terhadap suatu kasus, situasi, dan permasalahan terbuka yang diberikan guru.
6. Penilaian kinerja siswa baik kelompok atau individu dalam memecahkan permasalahan.
7. Pengamatan langsung terhadap siswa dalam usahanya menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan
guru.
8. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kedalaman pemahaman siswa terhadap permasalahan yang
disampaikan.
9. Mengajukan pertanyaan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk berpikir sehingga guru mampu
menggali informasi terhadap pemahaman siswa.
10. Siswa diberi kesempatan untuk menilai sendiri kemampuannya dalam belajar, disesuaikan dengan
pengembangan yang mereka kembangkan.
a. Tujuan
Lange (1995) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan tujuan dalam pendidikan matematika
yaitu:
(1) Lower level
Pembelajaran matematika realistik haruslah meliputi semua tingkatan tujuan. Tingkat rendah
lebih difokuskan pada pengetahuan konseptual dan prosedural. Tingkat menengah dan atas lebih
difokuskan kepada kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, berkomunikasi, dan pembentukan
sikap kritis siswa.
b. Materi
Lange (1996) menegaskan bahwa “Materi merupakan asosiasi aktivitas kehidupan nyata yang
sangat spesifik, pengetahuan dan strategi digunakan dalam konteks dari situasi”. Beragam soal
kontekstual digabungkan dalam kurikulum di mulai dari awal.
c. Aktivitas
Peran guru dalam pembelajaran matematika realistik di dalam kelas (Lange, 1996; Gravemeijer,
1994) adalah sebagai fasilitator, pengatur, penterjemah, dan evaluator sebagai dasar dari suatu proses
matematika, secara umum dapat digambarkan langkah-langkah peran guru sebagai proses dasar dalam
pembelajaran matematika realistik sebagai berikut.
1. Berikan soal kontekstual pada siswa yang berhubungan dengan topik pembelajaran sebagai titik awal.
2. Pada waktu terjadi interaksi, berikan siswa petunjuk contohnya, dengan menggambarkan tabel pada
papan tulis, memadu siswa seorang-seorang atau dalam kelompok kecil yang sekiranya membutuhkan
bantuan guru.
3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban mereka dengan jawaban
temannya dalam diskusi kelas. Diskusi bertujuan untuk mengarahkan interpretasi siswa dalam
menterjemahkan soal kontekstual dan menyimpulkan solusi yang lebih efisien dari beberapa jawaban
yang bervariasi.
4. Biarkan siswa menemukan solusi dengan cara mereka sendiri. Artinya siswa bebas untuk membuat
pernyataan dengan tingkat kemampuannya, untuk membangun pengalaman dalam pengetahuan, dan
memainkan jawaban pendek pada langkah-langkah yang mereka kerjakan.
5. Berikan soal lain dalam konteks yang sama.
6. Dalam hal lain, peranan siswa dalam pembelajaran matematika realistik harus bekerja sendiri-sendiri atau
kelompok, mereka harus lebih percaya diri sendiri, dan mereka menjawab dengan free production atau
kontribusi.
d. Evaluasi
Lange (1995) merumuskan lima prinsip dalam evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam
membuat evaluasi dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:
1. Tujuan dasar tes adalah untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar. Artinya evaluasi harus dapat
mengukur siswa selama pembelajaran, bukan sekedar penyediaan informasi tentang hasil belajar dalam
bentuk nilai.
2. Metode penilaian harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa untuk
menggambarkan apa yang mereka ketahui bukan mengungkapkan apa yang tidak mereka ketahui. Hal
tersebut dapat diadakan dengan memiliki soal yang terbuka, atau mempunyai strategi jawaban yang
berbeda.
3. Tes harus melibatkan semua tujuan dari pendidikan matematika, proses berfikir tingkat rendah,
menengah, dan tinggi.
4. Alat evaluasi harus bersifat praktis, sehingga kontruksi tes dapat disusun dengan format yang berbeda-
beda sesuai dengan kebutuhan serta pencapaian tujuan yang ingin diungkapkan.
Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu.
1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan
matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika
adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh
mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan
orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-
sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara
penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang
paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.
4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus
menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan
bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses
tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu.
1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa,
guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan perubahan itu merupakan syarat untuk dapat
diterapkannya RME.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan
soal atau memecahkan masalah.
4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali
konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.