Anda di halaman 1dari 22

Pembelajaran Realistic Mathematics

Education (RME)
Pengertian Realistic Mathematics Education (RME)

Ilustrasi Belajar Matematika


Pendidikan matematika realistis atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah
sebuah pendekatan belajar matematika yang menempatkan permasalahan matematika
dalam kehidupan sehari-hari sehingga mempermudah siswa menerima materi dan
memberikan pengalaman langsung dengan pengalaman mereka sendiri. Masalah-
masalah realistis digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep atau
pengetahuan matematika formal, dimana siswa diajak bagaimana cara berpikir
menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi pokok persoalan.

Realistic Mathematics Education (RME) dikembangkan pertama kali oleh Freudenthal


pada tahun 1971 di Utrecht University Belanda. Menurut Freudenthal bahwa belajar
matematika adalah suatu aktivitas, sehingga kelas matematika bukan tempat
memindahkan matematika dari guru kepada siswa, melainkan tempat siswa
menemukan kembali ide dan konsep matematika melalui eksplorasi masalah-masalah
nyata (Yuwono,2001:17).

Berikut ini beberapa pengertian pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME)


dari beberapa sumber:
 Menurut Hadi (2005:19), Realistic Mathematics Education (RME) digunakan sebagai
titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika. Penjelasan lebih lanjut
bahwa pembelajaran matematika realistis ini berangkat dari kehidupan anak, yang dapat
dengan mudah dipahami oleh anak, nyata, dan terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat
dibayangkan sehingga mudah baginya untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya
dengan menggunakan kemampuan matematis yang telah dimiliki.
 Menurut Aisyah (2007), Realistic Mathematics Education (RME) merupakan suatu
pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk mendekatkan matematika
kepada siswa. Masalah-masalah nyata dari kehidupan sehari-hari yang dimunculkan
sebagai titik awal pembelajaran matematika. Penggunaan masalah realistis ini bertujuan
untuk menunjukkan bahwa matematika sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari
siswa.
 Menurut Rahayu (2010:15), Realistic Mathematics Education (RME) merupakan suatu
pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan realitas dan lingkungan
sebagai titik awal dari pembelajaran.
 Menurut Tarigan (2006:3), Realistic Mathematics Education (RME) menempatkan
realitas dan pengalaman nyata siswa dalam kehidupan sehari-hari sebagai titik awal
pembelajaran serta menjadikan matematika sebagai aktivitas siswa. Siswa diajak berpikir
cara menyelesaikan masalah yang pernah dialami.
 Menurut Muhsetyo dkk (2007), Realistic Mathematics Education (RME) dimaksudkan
untuk memulai pembelajaran matematika dengan cara mengaitkannya dengan situasi
dunia nyata disekitar siswa. Hal ini menandakan bahwa RME memiliki semangat yang
sama dengan pembelajaran bermakna dimana matematika dapat disesuaikan dengan
berbagai situasi yang beragam.

Prinsip Realistic Mathematics Education (RME)

Menurut Gravemeijer (1990:90), terdapat tiga prinsip dalam Realistic Mathematics


Education (RME), yaitu sebagai berikut:
1. Guided Reinvention dan Progressive Mathematization. Melalui topik-topik yang
disajikan siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami sendiri yang sama
sebagaimana konsep matematika ditemukan.
2. Didactial Phenomenology. Topik-topik matematika disajikan atas dua
pertimbangan yaitu aplikasinya serta konstribusinya untuk pengembangan
konsep konsep matematika selanjutnya.
3. Self Developed Models. Peran Self developed models merupakan jembatan bagi
siswa dari situasi real ke situasi konkrit atau dari matematika informal ke bentuk
formal, artinya siswa membuat sendiri dalam menyelesaikan masalah.

Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)

Menurut Treffers, karakteristik Realistic Mathematics Education (RME) adalah


menggunakan dunia nyata, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif dan
keterkaitan (intertwinment) unit belajar. Penjelasan masing-masing karakteristik adalah
sebagai berikut (Suharta, 2001:3-5):
1. Menggunakan dunia nyata. Pembelajaran matematika tidak dimulai dari sistem
formal, tetapi diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata). Dimana dalam
hal ini siswa menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
2. Menggunakan model-model. Istilah model berkaitan dengan model situasi dan
model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed
models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari
situasi konkret ke situasi abstrak atau dari situasi informal ke situasi formal.
3. Menggunakan produksi dan konstruksi siswa. Siswa memiliki kesempatan untuk
mengembangkan strategi-strategi informal dalam memecahkan masalah yang
dapat mengarahkan pada pengkonstruksian prosedur-prosedur pemecahan.
Dengan produksi dan konstruksi, siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada
bagian yang siswa anggap penting dalam proses belajar. Dengan bimbingan
guru, siswa diharapkan dapat menemukan kembali konsep matematika dalam
bentuk formal.
4. Menggunakan Interaktif. Interaksi antar siswa dan dengan guru merupakan hal
yang sangat mendasar dalam proses pembelajaran matematika realistis.
5. Keterkaitan (intertwinment) unit belajar. Dalam pembelajaran matematika
realistis, unit-unit matematika berupa fenomena-fenomena belajar saling
berkaitan dan sangat diperlukan sekali. Dengan keterkaitan ini akan
memudahkan siswa dalam proses pemecahan masalah.
Sedangkan menurut Aisyah (2007), terdapat lima karakteristik Realistic Mathematics
Education (RME) sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika, yaitu:
1. Pembelajaran harus dimulai dari masalah yang diambil dari dunia nyata.
Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa
agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan
pengalaman mereka. Sebab pembelajaran yang langsung diawali dengan
matematika formal cenderung menimbulkan kecemasan matematika
(mathematics anxiety).

2. Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus sesuai
dengan abstraksi yang harus dipelajari siswa. Model dapat berupa keadaan atau
situasi nyata dalam kehidupan siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang
dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.

3. Siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam


menyelesaikan masalah nyata yang diberikan guru. Siswa memiliki kebebasan
untuk mengembangkan strategi penyelesaian masalah sehingga diharapkan
akan diperoleh berbagai varian dari pemecahan masalah tersebut.

4. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antar guru dan siswa
maupun siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam
pembelajaran matematika. Siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan
siswa lain, bertanya, dan menanggapi pertanyaan serta mengevaluasi pekerjaan
mereka.

5. Hubungan diantara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain,


dan dengan masalah lain dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan
yang saling terkait dalam menyelesaikan masalah.

Fase dan Langkah Realistic Mathematics Education (RME)

Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dilandasi oleh teori belajar


konstruktivisme dengan mengutamakan enam prinsip dalam tahapan pembelajarannya,
yaitu (Karunia dkk, 2015:40-41):
1. Fase Aktivitas. Pada fase ini, siswa mempelajari matematika melalui aktivitas
doing, yaitu dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain secara
khusus. Siswa diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam keseluruhan proses
pendidikan sehingga mereka mampu mengembangkan sejumlah mathematical
tools yang kedalaman serta liku-likunya betul-betul dihayati.
2. Fase Realitas. Tujuan utama fase ini adalah agar siswa mampu mengaplikasikan
matematika untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini,
pembelajaran dipandang suatu sumber untuk belajar matematika yang dikaitkan
dengan realitas kehidupan sehari-hari melalui proses matematisasi.
Matematisasi dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal. Matematisasi
horizontal memuat suatu proses yang diawali dari dunia nyata menuju dunia
simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung makna suatu proses
perpindahan dalam dunia simbol itu sendiri.
3. Fase Pemahaman. Pada fase ini, proses belajar matematika mencakup berbagai
tahapan pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan solusi
informal yang berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema, sampai
dengan menemukan prinsip-prinsip keterkaitan.
4. Fase Intertwinement. Pada tahap ini, siswa memiliki kesempatan untuk
menyelesaikan masalah matematika yang kaya akan konteks dengan
menerapkan berbagai konsep, rumus, prinsip, serta pemahaman secara terpadu
dan saling berkaitan.
5. Fase Interaksi. Proses belajar matematika dipandang sebagai suatu aktivitas
sosial. Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk melakukan sharing
pengalaman, strategi penyelesaian, atau temuan lainnya. Interaksi
memungkinkan siswa untuk melakukan refleksi yang pada akhirnya akan
mendorong mereka mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi dari
sebelumnya.
6. Fase Bimbingan. Bimbingan dilakukan melalui kegiatan guided reinvention, yaitu
dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencoba
menemukan sendiri prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui
kegiatan pembelajaran yang secara spesifik dirancang oleh guru.
Sedangkan langkah-langkah penerapan pembelajaran Realistic Mathematics Education
(RME) adalah sebagai berikut (Hobri, 2009:170-172):
Baca Juga
 Metode Pembelajaran Tutor Sebaya
 Model Pembelajaran Mastery Learning
 Model Pembelajaran Learning Cycle

1. Langkah 1: Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah


kontekstual dan siswa memahami permasalahan tersebut.
2. Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual Guru menjelaskan situasi dan
kondisi soal dengan memberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap
bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa. Penjelasan ini hanya sampai
siswa mengerti maksud soal.
3. Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individu
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Guru
memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka dengan
memberikan pertanyaan/petunjuk/saran.
4. Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru menyediakan
waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan
jawaban dari soal secara berkelompok. Untuk selanjutnya dibandingkan dan
didiskusikan pada diskusi kelas.
5. Langkah 5: Menyimpulkan Dari diskusi, guru mengarahkan siswa menarik
kesimpulan suatu prosedur atau konsep, dengan guru bertindak sebagai
pembimbing.

Kelebihan dan Kekurangan Realistic Mathematics Education (RME)

Kelebihan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) antara lain sebagai


berikut:

1. Karena siswa membangun sendiri pengetahuannya, maka siswa tidak mudah


lupa dengan pengetahuannya.

2. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan


realitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan untuk belajar matematika.

3. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka karena setiap jawaban siswa ada
nilainya.
4. Memupuk kerja sama dalam kelompok.

5. Melatih keberanian siswa karena harus menjelaskan jawabannya.

6. Melatih siswa untuk terbiasa berpikir dan mengemukakan pendapat.

7. Pendidikan berbudi pekerti, misalnya: saling kerja sama dan menghormati teman
yang sedang berbicara.

Sedangkan kekurangan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) antara


lain sebagai berikut:

1. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih
kesulitan menemukan sendiri jawabannya.

2. Membutuhkan waktu yang lama bagi siswa yang memiliki kemampuan yang
rendah.

3. Siswa yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang
belum selesai.

4. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.

5. Belum ada pedoman penilaian, sehingga guru merasa kesulitan dalam evaluasi
atau memberi nilai.

Daftar Pustaka
 Yuwono, Ipung. 2001. Pembelajaran Matematika Secara Membumi. Malang: FMIPA
UN Malang.
 Suharta, I Gusti Putu. 2001. Pembelajaran Pecahan Dalam Matematika Realistik,
Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Realistic Mathematics Education (RME).
Surabaya.
 Tarigan, Daitin. 2006. Pembelajaran Matematika Realistik. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.
 Gravemeijer. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freundenthal
Institute.
 Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya.
Banjarmasin: Tulip.
 Aisyah, Nyimas. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Dirjen
Dikti Depdiknas.
 Rahayu, Tika. 2010. Pendekatan RME Terhadap Peningkatan Prestai Belajar
Matematika Siswa Kelas 2 SD N Penaruban I Purbalingga. Yogyakarta: UNY.
 Muhsetyo, Gatot dkk. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas
Terbuka.
 Karunia, Eka Lestari dan Yudhanegara, Mokhammad Ridwan. 2015. Penelitian
Pendidikan Matematika. Bandung: Refika Aditama.

Berbagi Ilmu Itu


Indah
Pendekatan Pembelajaran Realistic
Mathematics Education (RME)
RME adalah suatu teori pembelajaran dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide
bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap
konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi
melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal.

Model pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970
oleh institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International
Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang
dilakukan dalam RME meliputi.

a. Menemukan masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).

b. Memecahkan masalah (problem solving).

c. Mengorganisasikan bahan ajar (organizing a subject matter).


Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisasikan secara matematis dan juga ide-
ide matematika yang perlu diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian ini
disebut matematisasi.

Seorang ahli berpendapat sebagai berikut.


Pada RME siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa
mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk di
pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan
proses matematisasi horizontal. Selanjutnya dilakukan matematisasi vertikal, yakni siswa menyelesaikan
bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur
matematika yang berlaku dan dipahami siswa (Armanto, 2001 : 43).

Jadi pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata ditarik
masuk ke dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal adalah proses pelaksanaan
pemecahan masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol matematika sesuai prosedur matematika. RME
ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa “Matematika harus dikaitkan dengan
realita dan matematika merupakan aktivitas manusia”. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak
dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. (dalam Depdiknas, 1994 : 21) mengatakan bahwa
“Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan
kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa”. Upaya ini dilakukan melalui
penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan
tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh para siswa (dalam
Depdiknas, 2000: 34). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan
informasi, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.

Dua jenis matematisasi diformulasikan (dalam Depdiknas, 1991 : 25), yaitu


matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian,
perumusan, dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian
masalah dunia riil ke masalah matematika. Contoh dari matematisasi vertikaladalah representasi
hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-
model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian
seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (dalam Depdiknas, 2000 : 17).
Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika
dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan
realistik (dalam Depdiknas, 2005:95).

1. Pendekatan mekanistik

Pendekatan mekanistik merupakan pendekatan tradisional dan didasarkan pada apa yang
diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks). Dalam
pendekatan ini manusia dianggap sebagai mesin. Jenis matematisasi ini tidak digunakan.

2. Pendekatan empiristik

Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak


diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horizontal.

3. Pendekatan strukturalistik

Pendekatan strukturalistik merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya


pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai
melalui matematisasi vertikal.

4. Pendekatan realistik

Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai
pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertikal diharapkan siswa
dapat menemukan dan mengkonstruksi konsep-konsep matematika.

Tabel 2.1 Tipe Pendekatan Pembelajaran Matematika

Tipe Matematika Horizontal Matematika Vertikal

Mekanistik - -

Empiristik + -

Strukturalistik - +

Realistik + +

Sumber : Freudenthal , 1991 : 48


Pembelajaran RME mempunyai karakteristik menggunakan konteks dunia nyata, model-model,
produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (interteinment) (dalam Depdiknas, 1991 : 35).

a. Menggunakan Konteks “Dunia Nyata”

Pada gambar di atas menunjukkan dua proses matematisasi yang berupa siklus dimana “dunia
nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi, tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan
kembali matematika.

Pada Gambar Konsep Matematika (De Lange, 1987 : 15) berpendapat bahwa, “Dalam RME, pembelajaran
diawali dengan masalah kontekstual (“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan
pengalaman sebelumnya secara langsung”.

Proses pencairan (inti) dari konsep yang sesuai dari situasi nyata dinyatakan oleh De Lange (1987
: 18) sebagai Matematisasi konseptual. Melalui abstraksi dan formalisasi siswa akan mengembangkan
konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa, dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang
baru dari dunia nyata (Applied Mathematization). Oleh karena itu, untuk menjembatani konsep-konsep
matematika dengan pengalaman siswa sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-
hari (Mathematization of everyday experience ) dan penerapan matematika dalam sehari-hari (dalam
Freudenthal, 2000 : 12).

b. Menggunakan Model-Model (Matematisasi)

Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematisasi yang dikembangkan oleh
siswa sendiri (self developed models). Peran self developed modelsmerupakan jembatan bagi siswa dari
situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa
membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pertama adalah model situasi yang dekat dengan
dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah
tersebut. Melalui penalaran matematis model-of akan bergeser menjadi model-far masalah yang sejenis.
Pada akhirnya, akan menjadi model matematika formal.

c. Menggunakan Produksi dan Konstruksi

Stretland (dalam Depdiknas, 1991 : 45) menekankan bahwa “dengan pembuatan “Produksi
Bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses
belajar”. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual
merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkontruksi
pengetahuan matematika formal.

d. Menggunakan Interaksi

Interaksi antara siswa dan guru merupakan hal yang mendasar dalam RME. Secara eksplisit
bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan
atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.

e. Menggunakan Keterkaitan

Dalam RME pengintegrasian unti-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita
mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah.
Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak
hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.

Matematika Realistik (MR) yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang
dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran.
Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau
pengetahuan matematika formal, pembelajaran MR dikelas berorientasi pada karakteristik-karakteristik
RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika
atau pengetahuan matematika formal, selanjutnya siswa diberi kesempatan mengaplikasikan konsep-
konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah di bidang lain. Pembelajaran
ini sangat berbeda dengan pembelajaran matematika selama ini yang cenderung berorientasi kepada
memberi informasi dan memakai matematika yang siap pakai untuk memecahkan masalah-masalah.
Karena matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran maka
situasi masalah perlu diusahakan benar-benar kontekstual atau sesuai pengalaman siswa, sehingga siswa
dapat memecahkan masalah dengan cara-cara informal melalui matematisasi horizontal. Cara-cara
informal yang ditunjukkan oleh siswa digunakan sebagai inspirasi pembentukan konsep atau aspek
matematiknya melalui matematika vertikal. Melalui proses matematisasi horizontal-vertikal diharapkan
siswa dapat memahami atau menemukan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal).
Pembelajaran matematika menurut pandangan konstruktivis adalah memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan
sendiri melalui proses internalisasi guru dalam hal ini berperan sebagai facilitator.

Menurut Davis (dalam Depdiknas, 1996 : 42),


Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada :
1. Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.

2. Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada permasalahan.

3. Informasi baru harus dihubungkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis
yang mentransportasikan, mengorganisasikan, dan menginterprestasikan pengalamannya.

4. Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berfikir, bukan apa yang mereka katakan atau tuliskan.

1.1.1 Prinsip – prinsip Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

Sejalan dengan konsep asalnya, PMRI dikembangkan dari tiga prinsip dasar yang mengawali RME,
yaitu guided reinvention and progressive mathematization, didactial phenomenology, serta self-
developed models (2009:2). Prinsip RME menurut Van den Heuvel-Panhuizen dalam Supinah (2009 : 75)
adalah sebagai berikut.

a. Prinsip aktivitas

Yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik secara mental maupun
fisik dalam pembelajaran matematika. Menurut Freudental, karena ide proses matematisasi berkaitan
dengan pandangan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia, maka cara terbaik untuk
mempelajari matematika adalah melalui doing yakni dengan mengerjakan.

b. Prinsip realitas

Yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang realistik atau dapat
dibayangkan oleh siswa. Tujuan utama adalah agar siswa mampu mengaplikasikan matematika. Dengan
demikian tujuan yang paling utama adalah agar siswa mampu menggunakan matematika yang mereka
pahami untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Prinsip realitas ini tidak hanya dikembangkan pada
tahap akhir dari suatu proses pembelajaran melainkan dipandang sebagai suatu sumber untuk belajar
matematika.
c. Prinsip berjenjang

Artinya dalam belajar matematika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari
mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu
masalah matematis secara formal.

d. Prinsip jalinan

Artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai
bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara
materi-materi itu secara lebih baik.

e. Prinsip interaksi

Yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan
menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.

f. Prinsip bimbingan

Yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan (reinvention) pengetahuan matematika
secara terbimbing.

1.1.2 Standar Penjaminan Mutu PMRI

Untuk melengkapi karakteristik RME, tim pengembang PMRI dalam Quality Assurance
Conference yang diadakan di Yogyakarta tanggal 17-18 April 2009 sepakat menetapkan beberapa standar
penjaminan mutu PMRI. Standar yang ditetapkan diantaranya meliputi standar guru PMRI, standar
pembelajaran PMRI, dan standar bahan ajar PMRI. Standar tersebut dapat digunakan dan diacu para guru
matematika. Berikut ini adalah standar dimaksud yang berkaitan dengan guru matematika.

a. Standar Guru PMRI


1. Guru memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang matematika dan PMRI serta dapat
menerapkannya dalam pembelajaran matematika untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

2. Guru memfasilitasi siswa dalam berfikir, berdiskusi, dan bernegosiasi untuk mendorong inisiatif dan
kreativitas siswa.

3. Guru mendampingi dan mendorong siswa agar berani mengungkapkan gagasan dan menemukan strategi
pemecahan masalah menurut mereka sendiri.

4. Guru mengelola kelas sedemikian sehingga mendorong siswa bekerja sama dan berdiskusi dalam rangka
pengkonstruksian pengetahuan siswa.

5. Guru bersama siswa menyarikan (summarize) fakta, konsep, dan prinsip matematika melalui proses
refleksi dan konfirmasi.

b. Standar Pembelajaran Menurut PMRI

1. Pembelajaran dapat memenuhi tuntutan ketercapaian standar kompetensi dalam kurikulum.

2. Pembelajaran diawali dengan masalah realistik sehingga siswa termotivasi dan terbantu belajar
matematika.

3. Pembelajaran memberi kesempatan pada siswa mengeksplorasi masalah yang diberikan guru dan
berdiskusi sehingga siswa dapat saling belajar dalam rangka pengkonstruksian pengetahuan.

4. Pembelajaran mengaitkan berbagai konsep matematika untuk membuat pembelajaran lebih bermakna
dan membentuk pengetahuan yang utuh.

5. Pembelajaran diakhiri dengan refleksi dan konfirmasi untuk menyarikan fakta, konsep, dan prinsip
matematika yang telah dipelajari dan dilanjutkan dengan latihan untuk memperkuat pemahaman.

c. Standar Bahan Ajar PMRI

1. Bahan ajar yang disusun sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

2. Bahan ajar menggunakan permasalahan realistik untuk memotivasi siswa dan membantu siswa belajar
matematika.

3. Bahan ajar memuat berbagai konsep matematika yang saling terkait sehingga siswa memperoleh
pengetahuan matematika yang bermakna dan utuh.
4. Bahan ajar memuat materi pengayaan yang mengakomodasi perbedaan cara dan kemampuan berpikir
siswa.

5. Bahan ajar dirumuskan atau disajikan sedemikian sehingga mendorong atau memotivasi siswa berpikir
kritis, kreatif, inovatif serta berinteraksi dalam belajar.

1.1.3 Refleksi dan Penilaian dalam Pembelajaran PMRI

Dalam setiap pembelajaran, refleksi merupakan suatu hal yang utama untuk memberikan
gambaran mengenai proses belajar mengajar yang telah berlangsung sebelumnya. Refleksi merupakan
suatu kegiatan dengan menyimak kembali secara intensif terhadap proses pembelajaran, antara lain
materi pelajaran, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan agar dapat memahami dan
menangkap maknanya secara lebih mendalam. Dengan demikian, akan mampu mengungkap tentang apa
yang sudah dan sedang dikerjakan. Apakah yang dikerjakan itu sesuai dengan apa yang dipikirkan? Dengan
adanya refleksi guru dapat mengetahui perkembangan pembelajaran yang dilakukan. Hasil dari refleksi
dapat menjadi gambaran bagi guru dalam mengambil tindakan dalam kegiatan selanjutnya. Pentingnya
refleksi dinyatakan Supinah (2009 : 78) sebagai berikut.

1. Bagi guru

Mendapatkan informasi tentang apa yang dipelajari siswa dan bagaimana siswa mempelajarinya.
Disamping itu, guru dapat melakukan perbaikan dalam perencanaan dan pembelajaran pada kesempatan-
kesempatan berikutnya atau waktu yang akan datang.

2. Bagi siswa

Meningkatkan kemampuan berfikir matematika siswa, disamping itu juga sama halnya seperti
yang dilakukan guru.

Tentang hal-hal yang perlu dalam refleksi menurut Arvold, Turner, dan Cooney dalam Supinah (
2009 : 79 ) merekomendasikan siswa untuk memberi jawaban atau respon terhadap pertanyaan-
pertanyaan berikut ini.

1. Apa yang saya pelajari hari ini?


2. Kesulitan apakah yang saya pelajari hari ini?

3. Bagian matematika manakah yang saya suka?

4. Pada bagian matematika manakah saya mengalami kesulitan?

Dari pihak guru, dalam melakukan refleksi baik jika dapat mengikutsertakan metode mengajar,
pedagogi, penyelesaian yang menarik dan bermanfaat baginya serta bagaimana mengelola suasana
belajar yang baik dalam kelas. Dalam RME, penilaian bukan hanya pada hasil akhir, tetapi juga pada proses
pembelajaran itu sendiri. Idealnya, selama kegiatan pembelajaran, proses penilaian pun dilaksanakan.
Ada banyak hal yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan penilaian. Diantaranya,
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah dengan menggunakan strategi yang berbeda, interaksi
siswa, diskusi selama proses belajar.

Tujuan dilaksanakannya penilaian untuk memberi gambaran informasi tentang proses belajar
mengajar yang telah dilaksanakan dan dapat juga sebagai alat untuk membantu proses pengambilan
keputusan.

De Lange (1987) dalam Zulkardi (2002 : 35) “merumuskan lima prinsip panduan penaksiran atau
penilaian dalam RME”, seperti berikut.

1. Tujuan utama pengujian adalah untuk memperbaiki proses belajar-mengajar.

2. Metode penilaian sebaiknya dapat memudahkan para murid mendemonstrasikan apa yang mereka tahu
ketimbang apa yang tidak tahu.

3. Penilaian sebaiknya mengoperasionalkan semua tujuan pendidikan matematika.

4. Kualitas penilaian matematika tidak ditentukan oleh kemudahan akses terhadap penilaian objektif.

5. Alat penilaian sebaiknya praktis, cocok dengan praktik sekolah umum.

Dalam RME, proses dan produk berpengaruh penting dalam penilaian sehingga diharapkan
penilaian dilaksanakan baik selama proses interaksi maupun hasil mereka.

Ada beberapa teknik penilaian yang dapat digunakan. Suryanto (2010) memberikan beberapa
alternatif yang dapat digunakan sebagai sarana penilaian, yaitu.
1. Hasil akhir siswa, dapat berupa jurnal, video, demonstrasi, majalah dinding, seni, maupun hasil kontruksi
model-model matematika.

2. Portofolio siswa merupakan kumpulan karya siswa yang dihasilkan siswa. Dapat berupa gambar, laporan,
hasil analisis suatu permasalahan, ataupun proses penyelesaian suatu masalah.

3. Penyelesaian terhadap pemecahan permasalahan atau tanggapan terhadap pertanyaan terbuka yang
dituangkan dalam tulisan.

4. Kemampuan menginvestigasi permasalahan berkaitan dengan bidang studi lain seperti ilmu pengetahuan
umum, ilmu sosial, ataupun penyelesaian soal-soal matematika itu sendiri.

5. Tanggapan siswa terhadap suatu kasus, situasi, dan permasalahan terbuka yang diberikan guru.

6. Penilaian kinerja siswa baik kelompok atau individu dalam memecahkan permasalahan.

7. Pengamatan langsung terhadap siswa dalam usahanya menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan
guru.

8. Wawancara dilakukan untuk mengetahui kedalaman pemahaman siswa terhadap permasalahan yang
disampaikan.

9. Mengajukan pertanyaan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk berpikir sehingga guru mampu
menggali informasi terhadap pemahaman siswa.

10. Siswa diberi kesempatan untuk menilai sendiri kemampuannya dalam belajar, disesuaikan dengan
pengembangan yang mereka kembangkan.

2.1.4 Desain Pembelajaran Matematika Realistik

Desain pembelajaran matematika realistik, sebagai berikut.

a. Tujuan

Lange (1995) menyatakan bahwa terdapat tiga tingkatan tujuan dalam pendidikan matematika
yaitu:
(1) Lower level

(2) Middle level

(3) Higher order level

Pembelajaran matematika realistik haruslah meliputi semua tingkatan tujuan. Tingkat rendah
lebih difokuskan pada pengetahuan konseptual dan prosedural. Tingkat menengah dan atas lebih
difokuskan kepada kemampuan pemecahan masalah, berargumentasi, berkomunikasi, dan pembentukan
sikap kritis siswa.

b. Materi

Lange (1996) menegaskan bahwa “Materi merupakan asosiasi aktivitas kehidupan nyata yang
sangat spesifik, pengetahuan dan strategi digunakan dalam konteks dari situasi”. Beragam soal
kontekstual digabungkan dalam kurikulum di mulai dari awal.

c. Aktivitas

Peran guru dalam pembelajaran matematika realistik di dalam kelas (Lange, 1996; Gravemeijer,
1994) adalah sebagai fasilitator, pengatur, penterjemah, dan evaluator sebagai dasar dari suatu proses
matematika, secara umum dapat digambarkan langkah-langkah peran guru sebagai proses dasar dalam
pembelajaran matematika realistik sebagai berikut.

1. Berikan soal kontekstual pada siswa yang berhubungan dengan topik pembelajaran sebagai titik awal.

2. Pada waktu terjadi interaksi, berikan siswa petunjuk contohnya, dengan menggambarkan tabel pada
papan tulis, memadu siswa seorang-seorang atau dalam kelompok kecil yang sekiranya membutuhkan
bantuan guru.

3. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan jawaban mereka dengan jawaban
temannya dalam diskusi kelas. Diskusi bertujuan untuk mengarahkan interpretasi siswa dalam
menterjemahkan soal kontekstual dan menyimpulkan solusi yang lebih efisien dari beberapa jawaban
yang bervariasi.

4. Biarkan siswa menemukan solusi dengan cara mereka sendiri. Artinya siswa bebas untuk membuat
pernyataan dengan tingkat kemampuannya, untuk membangun pengalaman dalam pengetahuan, dan
memainkan jawaban pendek pada langkah-langkah yang mereka kerjakan.
5. Berikan soal lain dalam konteks yang sama.

6. Dalam hal lain, peranan siswa dalam pembelajaran matematika realistik harus bekerja sendiri-sendiri atau
kelompok, mereka harus lebih percaya diri sendiri, dan mereka menjawab dengan free production atau
kontribusi.

d. Evaluasi

Lange (1995) merumuskan lima prinsip dalam evaluasi yang dapat dijadikan acuan dalam
membuat evaluasi dalam pembelajaran matematika realistik, yaitu:

1. Tujuan dasar tes adalah untuk meningkatkan kualitas belajar dan mengajar. Artinya evaluasi harus dapat
mengukur siswa selama pembelajaran, bukan sekedar penyediaan informasi tentang hasil belajar dalam
bentuk nilai.

2. Metode penilaian harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan siswa untuk
menggambarkan apa yang mereka ketahui bukan mengungkapkan apa yang tidak mereka ketahui. Hal
tersebut dapat diadakan dengan memiliki soal yang terbuka, atau mempunyai strategi jawaban yang
berbeda.

3. Tes harus melibatkan semua tujuan dari pendidikan matematika, proses berfikir tingkat rendah,
menengah, dan tinggi.

4. Alat evaluasi harus bersifat praktis, sehingga kontruksi tes dapat disusun dengan format yang berbeda-
beda sesuai dengan kebutuhan serta pencapaian tujuan yang ingin diungkapkan.

2.1.5 Keunggulan RME

Menurut Suwarsono (2001:5) terdapat beberapa kekuatan atau kelebihan dari pembelajaran
matematika realistik, yaitu.

1. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan
matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia.
2. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika
adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh
mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.

3. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara
penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan
orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-
sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara
penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang
paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut.

4. Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam
mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus
menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan
bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses
tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.

1.1.6 Kelemahan RME

Adanya persyaratan-persyaratan tertentu agar kelebihan RME dapat muncul justru menimbulkan
kesulitan tersendiri dalam menerapkannya. Kesulitan-kesulitan tersebut, yaitu.

1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa,
guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan perubahan itu merupakan syarat untuk dapat
diterapkannya RME.

2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran
matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.

3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan
soal atau memecahkan masalah.
4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali
konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

Anda mungkin juga menyukai