Anda di halaman 1dari 8

FENOMENOLOGI MATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN

MATEMATIKA REALISTIK
Mulyanti Rahma
Program Studi Pendidikan Matematika, Pascasarjana Universitas Negeri Makassar
e-mail: mulyantirahma28@gmail.com

Abstrak:
Pembelajaran matematika merupakan pembelajaran yang bersifat abstrak, karena tidak jarang
guru maupun siswa mengalami beberapa kendala dalam proses pembelajaran. Untuk
mengurangi tingkat keabstrakan siswa terhadap matematika, saat ini sudah dikenalkan dengan
pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Salah satu prinsip dalam pendidikan
matematika realistik adalah didactical phenomenology. Prinsip ini menyarankan guru untuk
melihat fenomena-fenomena dalam kehidupan sehari-hari seperti aktivitas, sejarah, maupun
cerita fiksi yang mengandung konsep-konsep matematika. Dengan melakukan hal ini, maka
guru akan memperoleh inspirasi untuk mendesain maupun mengembangkan suatu aktivitas
yang dapat digunakan sebagai pendekatan dalam pembelajaran matematika. Tujuan artikel ini
adalah memaparkan tentang fenomena-fenomena yang dapat digunakan dalam pembelajaran
matematika realistik. Metode yang digunakan adalah kajian literatur.
Kata Kunci: Didactical Phenomenology, Pendidikan Matematika Realistik

1. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu pelajaran yang diberikan mulai dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Objek yang ada dalam matematika bersifat
abstrak. Karena sifatnya yang abstrak, tidak jarang guru maupun siswa mengalami
beberapa kendala dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran matematika di
sekolah belum dianggap sebagai aktivitas yang menyenangkan. Padahal dalam
kehidupan sehari-hari tidak dapat dipungkiri terdapat aktivitas manusia yang
berhubungan dengan matematika. Soedjadi mengatakan bahwa mengaitkan
pengalaman kehidupan nyata dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di
kelas sangat penting dilakukan agar pembelajaran bermakna sehingga siswa lebih
menikmati (Wahyudi, 2012).
Berdasarkan pendapat di atas, pembelajaran matematika sebaiknya
ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan
pengalaman sehari-hari. Selain itu, perlu menerapkan kembali konsep matematika
yang telah dimiliki anak pada kehidupan sehari-hari atau pada bidang lain yang
terkait. Freudental memperkenalkan suatu pendekatan Pembelajaran Matematika
Realistik (PMR) atau disebut juga Realistic Mathematics Education (RME)
merupakan teori pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi
pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan
matematika dalam kehidupan sehari-hari.
RME paling banyak diimplementasikan pada matematika sekolah seperti
sekolah dasar maupun menengah seperti pada penelitian (Hendroanto, 2015).
Hanya sedikit yang mengimplementasikan RME pada tingkat perguruan tinggi.
Ada beberapa contoh penggunaan RME pada perguruan tinggi untuk mata kuliah
seperti kalkulus. RME digunakan pada pembelajaran kalkulus dan hasilnya sangat
baik. Secara umum, penggunaan RME pada pembelajaran di perguruan tinggi
memberikan efek yang baik dan positif bagi mahasiswa.
Ada tiga prinsip utama dalam RME yang digunakan untuk
mengembangkan aktivitas yaitu 1) Didactical Phenomenology, 2) Guided
Reinvention dan 3) Emergent Modelling (Aan Hendroanto, 2020). Didactical
phenomenology menyarankan seorang guru untuk menggunakan fenomena-
fenomena baik yang berupa sejarah, kejadian, cerita fiksi maupun non fiksi yang
mengandung konsep-konsep matematika sebagai pendekatan dalam aktivitas
pembelajaran. Guided reinvention mencontohkan bahwa aktivitas pembelajaran
harus melibatkan siswa sebagai penemu yang menemukan sendiri konsep
matematika dengan bantuan dari aktivitas ataupun instruksi guru. Sedangkan,
emergent modelling merupakan prinsip bahwa aktivitas pembelajaran melibatkan
model-model yang sifatnya meningkat dari dasar (model of) sampai model yang
digunakan untuk berpikir (model for). Dari tiga prinsip di atas Didactical
Phenomenology bisa dikatakan sebagai yang paling dasar dan harus dilakukan
pada langkah awal mengembangkan aktivitas pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan RME.
Pembelajaran ini pertama kali dikembangkan dan dilaksanakan di Belanda
dan berhasil memudahkan siswa untuk belajar matematika. Oleh karena itu,
penulis mencoba membahas pendekatan PMR pada kajian teori ini dengan harapan
dapat memberikan gambaran proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan matematika realistik dan hubungannya dengan fenomena yang
mengandung matematika.
2. Metode
Metode penelitian yang dilakukan penulis merupakan kajian literatur, yaitu
penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan karya tulis, seperti buku, jurnal, dan
referensi lainnya. Penulis mengumpulkan referensi yang relevan yang berkaitan
dengan pendekatan Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan fenomenologi
matematika yang berkaitan dengan PMR.

3. Kajian Teori
3.1 Pengertian Pembelajaran Matematika Realistik
Realistic Mathematics Education (RME) merupakan teori pembelajaran
khusus matematik yang dikembangkan pertama kali di negeri Belanda, tepatnya di
the Freudenthal Institute, Utrecht University, sejak tahun 1970an oleh Freudenthal
(Al Jupri, 1998). Permulaan munculnya teori RME adalah sejak proyek Wiskobas
(matematika di sekolah dasar) tahun 1968 yang digagas Edu Wijdeveld dan Fred
Goffree, kemudian bergabung Adri Treffers. Ketiga ahli pendidikan matematika
inilah yang pertama kali mengembangkan dasar-dasar dari teori RME.
Freudental menyatakan bahwa Pendidikan Matematika Realistik merupakan
suatu pendekatan dalam pembelajaran matematika di Belanda. Penggunaan kata
“realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda “zich realiseren” yang berarti
“ untuk dibayangkan” atau “to image” (dalam Wahyudi, 2012)). Menurut Van den
Heu-Panhuizen, penggunaan kata “realistic” tersebut tidak sekedar menunjukkan
adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real-word) tetapi lebih mengacu pada
fokus Pendidikan Matematika Realistik dalam penekanan penggunaan suatu
situasi yang biasa dibayangkan (imagineable) oleh siswa.
Dengan demikian, kata “realistic” bisa bermakna: (1) konteks nyata yang ada
dalam kehidupan sehari-hari; (2) konteks matematis formal dalam dunia
matematika; atau (3) konteks hayalan yang tak terdapat dalam kenyataan tetapi
dapat dibayangkan. Sementara De Lange mendefinisikan dunia nyata sebagai
suatu dunia nyata yang konkrit, yang disampaikan kepada siswa melalui aplikasi
matematika. Begitulah cara kita memahami proses belajar matematika yangterjadi
pada siswa, yaitu terjadi pada situasi nyata (Rahmawati, 2013).
Pengembangan aktivitas pembelajaran pada perkuliahan geometri bidang
ini dibagi menjadi dua tahap yaitu horizontal mathematization dan vertical
mathematization. Hal ini dikarenakan pada jenjang perguruan tinggi materi
mencakup ranah formal yang akan memakan banyak waktu jika prinsip
progressive mathematization dalam RME diterapkan dalam aktivitas
pembelajaran. Oleh karena itu, aktivitas dengan pendekatan RME hanya ada pada
tahap horizontal mathematization dimana aktivitas berdasarkan konteks digunakan
untuk mengenalkan ataupun menguatkan pemahaman konsep mahasiswa pada
beberapa sub topik tertentu.
Didactical Phenomenological Analysis dilakukan sebagai langkah awal
pengembangan aktivitas pemelajaran geometri bidang dengan pendekatan RME.
Tujuannya yaitu untuk mencari fenomena-fenomena yang memiliki kandungan
konsep materi geometri bidang. Ada sebanyak 11 topik geometri bidang yang
memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi aktivitas dengan konteks tertentu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Aan Hendroanto, terdapat 11
topik geometri bidang yang memiliki fenomena yang bisa digunakan sebagai
konteks dalam aktivitas pembelajaran, diantaranya sebagai berikut: lukisan dasar,
segitiga dan garis-garis istimewa pada segitiga, luas segitiga dan garis berat,
theorema Pythagoras dan Teorema proyeksi, Jenis-jenis segiempat, Luas bangun
datar, Sifat unsur-unsur lingkaran, Luas dan keliling lingkaran, Garis singgung
persekutuan dua lingkaran, Sifat sudut luar dan dalam segi-n beraturan, Lukisan
segi-n beraturan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwan pendidikan matematika
realistik adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan kehidupan siswa
dengan materi pelajaran sehingga memudahkan siswa dalam memahami konsep
pembelajaran matematika.

3.2 Prinsip-prinsip Pembelajaran Matematika Realistik


Dalam pembelajaran matematika realistik ada tiga prinsip kunci yang dapat
dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran.
a. Guided Re-invention “menemukan kembali secara terbimbing”
Prinsip ini menekankan “penemuan kembali” secara terbimbing. Melalui topik-
topik tertentu yang disajikan, siswa diberi kesempatan sama untukmembangun
dan menemukan kembali ide-ide dan konsep-konsep matematika.Setiap siswa
diberi kesempatan yang sama untuk merasakan situasi dan mengalami masalah
kontekstual yang memiliki berbagai kemungkinan solusi. Apabila diperlukan
dapat diberikan bimbingan yang diperlukan. Jadi pembelajaran tidak diawali
dengan “sifat” atau “definisi” atau “teorema” atau “aturan” dan diikuti dengan
contoh-contohnya serta “penerapanya” tetapi justru dimulai dengan masalah
kontekstual atau real/nyata meski dengan hanya membayangkannya.
b. Progresive mathematization atau matematisasi progesif
Prinsip ini menekankan “matematisasi” atau “pematematikaan” yang dapat
diartikan sebagai “upaya untukmengarahkan kepada pemikiran matematika”.
Dikatakan progresif karena terdapat dua langkah matematisasi. Yaitu (1)
horizontal dan (2) vertikal yang berawal dari masalah kontekstual yang
diberikan dan akan berakhir pada matematika formal.
c. Didactial Phenomenology atau fenomenologi didaktik
Prinsip ini menekankan pada fenomena pembelajaran yang bersifat mendidik
dan menekankan pentingnya masalah kontekstual untuk mengenalkan topik-
topik matematika kepada siswa. masalah kontekstual dipilih dengan
mempertimbangkan (1) aspek kecocokan aplikasi yang harus diantisipasi dalam
pembelajaran dan (2) kecocokan dengan proses re-invention yang berarti bahwa
aturan atau cara, atau konsep atau sifat termasuk model matematika tidak
tersediaatau diajarkan oleh guru tetapi siswa perlu berusaha sendiri untuk
menemukan atau membangun sendiri dengan berpangkal dari masalah
kontekstual yang diberikan. Hal ini akan menimbulkan “learning trajectory”
atau lintasan belajar yang akan mencapai tujuan yang di terapkan.
d. Self developed model atau membangaun sendiri model
Prinsip ini menunjukkan adanya fungsi “jembatan” yang berupa model. Oleh
karena berpangkal dari masalah kontekstual dan akan menuju matematika
formal serta adanya kebebasan anak maka tidaklah mustahil siswa akan
mengembangkan model sendiri. Model itu mungkin masih sederhana dan masih
mirip dengan masalah kontekstualnya. Model ini disebut “model of” dan
sifatnya masih bisa disebut “matematika formal”. Selanjutnya mungkin melalui
generalisasi ataupun formalisasi dapat mengembangkan model yang
mengarahkanke matematika formal, model ini dapat disebut “model for”. Hal
tersebut sesuai dengan matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal, yang
memungkinkan siswa dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan caranya
tersendiri.

3.3 Karakteristik Pembelajaran Matematika Realistik


Menurut Treffers (dalam Wijaya, 2012) merumuskan lima krakteristik
Pembelajarn Matematika Realistik, yaitu:
a. Menggunakan masalah kontekstual (the use of contex)
Proses pembelajaran menggunakan pendekatan PMR, selalu diawali
dengan masalah kontekstual, tidak dimulai dari sistem formal. Masalah
kontekstual yang digunakan merupakan masalah sederhana yang dikenal oleh
siswa. Masalah kontekstual dapat berupa realita atau sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh siswa.
b. Menggunakan model (use models, bridging by verti instruments)
Penggunaan model, skema, diagram, simbol dan sebagainya merupakan
jembatan bagi siswa dari situasi konkrit menuju abstrak. Siswa diharapkan
mengembangkan model.
c. Menggunakan kontribusi siswa (student contribution)
Dalam menyelesaikan masalah, siswa mempunyai kesempatan untuk
menemukan cara pemecahan masalah dengan atau tanpa bantuan guru. Proses
ini menunjukan bahwa pemecahan masalah merupakan hasil konstruksi dan
produksi siswa sendiri. Dengan kata lain, dalam PMR kontribusi siswa sangat
diperhatikan.
d. Interaktivitas (interactivity)
Proses mengkonstruksi dan memproduksi pemecahan masalah tentu tidak
dapat dilakukan sendiri. Untuk itu perlu interaksi baik antar siswa dengan guru,
maupun siswa dengan siswa.
e. Terintegrasi dengan topik lainnya (intertwining)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, oleh karena itu
keterkaitan antar topik harus digali untuk mendukung pembelajaran yang lebih
bermakna.

3.4 Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Matematika Realistik


Kelebihan model Pembelajaran Matematika Realistik yaitu sebagai berikut:
a. Siswa tidak mudah lupa karena membangun sndiri penegtahuanya
b. Suasana dalam proses pembelajaran menyenangkan karena
menggunakanrealitas kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan
untuk belajar matematika.
c. Siswa merasa dihargai dan semakin terbuka, karena sikap belajar
siswa adanilainya.
d. Dapat memupuk kerjasama dalam kelompok.
e. Melatih keberanian siswa karena siswa harus menjelaskan jawabannya.
f. Melatih siswa untuk terbiasa berfikir dan mengemukakan pendapa.

Kelemahan model Pembelajaran Matematika Realistik yaitu sebagai berikut:


a. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa
masihkesulitan dalam menentukan sendiri jawabannya
b. Membutuhkan waktu yang lama karena siswa di berikan waktu
penuh untukmengkonstruksikan pengetahuanya sendiri.
c. Siswa yang pandai kadang tidak sabar menanti jawabannya
terhadap temanyang belum selesai
d. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu
e. Belum ada pedoman penilaian sehingga guru merasa sedikit
kesulitan dalamevaluasi atau memberi nilai.

3.5 Langkah-langkah Pembelajaran Matematika Realistik


Berdasarkan prinsip dan karakteristik PMR, maka langkah-langkah yang
harus dilakukan dalam kegiatan ini ini proses pembelajaran menurut De Lange
adalah sebagai berikut:
a. Memahami masalah kontekstual
Pada langkah ini siswa diberi masalah kontekstual dan siswa diminta untuk
memahami masalah kontekstual yang diberikan. Langkah ini tergolong
dalam karakteristik-1 dari PMR.
b. Menjelaskan masalah kontekstual
Pada langkah ini guru menjelaskan situasi dan masalah dengan memberikan
petunjuk atau saran sperlunya terhadap bagian tertentu yang belum dipahami
siswa. Langkah ini tergolong dalam karakteristik-4 dari PMR.
c. Menyelesaikan masalah kontekstual
Setelah memahami masalah, siswa menyelesaikan masalah kontekstual
secara individual dengan cara mereka sendiri, dan menggunakan
perlengkapan yang sudah mereka pilih sendiri. Sementara itu guru
memotivasi siswa agarsiswa bersemangat untuk menyelesaikanmasalah
kontekstual dengan cara merekasendiri. Langkah ini tergolong dalam
karakteristik-2 dalam PMR.
d. Membandingan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk
membandingkan jawaban soal secara berkelompok, untuk selanjutnya
dibandingkan dan didiskusikan di kelas. Di sini siswa dilatih untuk belajar
mengemukakan pendapat. Langkah ini tergolong dalam karakteristik-3 dan
karakteristik-4 dari PMR, yaitu menggunakan kontribusi siswa dan adanya
interaksi antar siswa.
e. Menyimpulkan
Setelah selesai diskusi kelas, guru membimbing siswa untuk mengambil
kesimpulan suatu konsep atau prinsip. Langkah ini tergolong dalam
karakteristik-4 dari PMR, yaitu interaksi antara siswa dan guru.
4. Kesimpulan
Dalam rangka meningkatkan hasil belajar matematika siswa dan
penguasaan konsep dasar matematika siswa, serta kemampuan berpikir siswa, guru
diharapkan kreatif dalam menerapkan model atau pendekatan yang tepat dalam
pembelajaran matematika. Model atau pendekatan ini harus sesuai dengan mata
pelajaran dan dapat digunakan untuk mengoptimalkan lingkungan belajar.
Pendekatan matematika realistik adalah pendekatan yang mengambil
realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran, dimana siswa
diberi kesempatan untuk membangun pengetahuan matematika formal mereka
sendiri melalui masalah dunia nyata yang ada. Dengan pendekatan ini, siswa
mudah menguasai konsep dan mata pelajaran, tetapi juga tidak mudah melupakan
apa yang telah dipelajarinya. Pendekatan ini juga cocok untuk mengajarkan
konsep-konsep dasar dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan berpikir
siswa, yang pada akhirnya bermuara pada hasil belajar siswa. Seperti didactical
phenomenological analysis pada materi geometri bidang dapat digunakan dalam
mengeksplorasi aktivitas yang dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA
Aan Hendroanto. (2020). Didactical Phenomenology Untuk Mengembangkan
Aktivitas Pembelajaran Geometri Bidang Dengan Pendekatan Pendidikan
Matematika Realistik. Prosiding Seminar Nasional Etnomatnesia.
Al Jupri. (1998). Pendidikan Matematika Realistik : Sejarah, Teori, dan
Implementasinya. Encyclopedia of Immunology, h.86.
Hendroanto. (2015). Supporting Students’spatial Ability In Understanding Three-
Dimensional Representations. Proceeding the Third South East Asia
Design/Development Research (SEA-DR) International Conference. Palembang:
Universitas Sriwijaya.
Rahmawati. (2013). Pengaruh Pendekatan Pendidikan Realistik Matematika dalam
Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa Sekolah Dasar. Junal
FMIPA Unila, Vol.1(1), h.225.
Wahyudi. (2012). Pembelajaran Matematika Realistik Sebagai Sebuah Cara Mengenal
Matematika Secara Nyata. Jurnal Ilmiah Pendidikan Ke SDan, Vol.2(1), h.10.
Wijaya. (2012). Pendidikan matematika realistik: Suatu alternatif pendekatan
pembelajaran matematika. Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai