Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL

Tentang
REAUSTIK MATEMATIK EDUCATIOH (RME).

Disusun Oleh
Nama : Nila Sari
Nim : 2084204003

PROGRAM STUDI MATEMATIKA


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
HARAPAN BIMA
TAHUN 2022

1
2

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran yang menjadikan para pembelajarnya
memperoleh penguasaan konsep tentang apa yang diajarkan. Ketika para pembelajar atau
katakanlah peserta didik tersebut menguasai konsep yang diajarkan, maka pelajaran yang
diperolehnya akan bermakna baginya dan bahkan berefek bagi orang lain. Semua
pembelajaran di setiap jenjang pendidikan formal mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai
perguruan tinggi berorientasi pada hal tersebut, termasuk pembelajaran matematika.
Mengajarkan materi matematika berbeda dengan mengajarkan materi dari ilmu-ilmu
lain. Matematika memiliki karakteristik khusus dimana objek kajiannya bersifat abstrak dan
tidak dapat diindera secara langsung. Objek abstrak tersebut biasa disebut juga objek mental
atau pikiran (Sumardyono, 2004). Keberadaan objek mental tersebut menjadi tantangan bagi
para pengajar atau guru dalam mengajarkan matematika. Sudah tentu, mengajarkan sesuatu
yang tidak dapat diindera akan lebih sulit daripada mengajarkan sesuatu yang dapat diindera.
Kesulitan tersebut berdampak pada pengajaran matematika yang hanya terpaku pada rumus-
rumus dan penggunaannya pada soal matematika yang sedikit sekali keterkaitannya dengan
realitas. Kurangnya keterkaitan antara materi matematika dengan realitas peserta didik yang
kemudian membuat kebanyakan peserta didik/siswa memiliki minat yang rendah untuk
mempelajari matematika.
Menyikapi fenomena tersebut, tentu diperlukan suatu pendekatan pembelajaran
matematika yang mengaitkan materi-materi matematika dengan realitas yang dihadapi peserta
didik. Salah satunya adalah Realistic Mathematics Education (RME) yang dipopulerkan oleh
Prof. Hans Freudenthal. Beliau berpandangan bahwa matematika adalah aktivitas manusia
oleh karena itu matematika harus dikaitkan dengan realitas. RME menggabungkan pandangan
tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana seharusnya
mengajarkan matematika. Pembahasan lebih lanjut mengenai RME akan diuraikan dalam
makalah ini.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui filosofi lahirnya Realistic Mathematics Education (RME)?
2. Untuk mengetahui karakteristik RME
3

3. Untuk mengetahui langkah-langkah pembelajaran matematika dengan pendekatan RME


4. Untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan pembelajaran matematika dengan
pendekatan RME
5. Untuk mengetahui teori-teori belajar apa saja yang relevan dengan RME

C. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi kepada para tenaga pendidik khususnya guru matematika
mengenai pendekatan RME sebagai alternatif dalam melakukan pembelajaran
matematika.
2. Menambah wawasan guru matematika untuk menciptakan suatu pembelajaran
matematika yang menarik bagi siswa.
3. Menambah pengetahuan akan makna matematika yang terkait erat dengan realitas yang
dihadapi manusia.

PEMBAHASAN

A. Filosofi Lahirnya Realistic Mathematics Education (RME)


Realistic Mathematics Education (RME) pertama kali dicetuskan pada tahun 1971
lewat Freudenthal Institute yang merupakan bagian dari Faculty of Mathematics and
Computer Science di Utrect University. Pendiri dari institute tersebut adalah Prof. Hans
Freudenthal seorang yang berkebangsaan Jerman lalu bermukim di Amsterdam, Belanda.
Beliau adalah ahli matematika dan ahli pendidikan. Institute yang didirikannya tersebut
bergerak dalam pelaksanaan berbagai riset tentang pendidikan matematika dan bagaimana
seharusnya mengajarkan matematika. Freudenthal menyatakan bahwa matematika adalah
“human activity” (aktivitas manusia), dan dari ide inilah RME dikembangkan (Abdussakir,
2010).
Dalam teorinya, Freudenthal mengemukakan bahwa bahwa siswa tidak boleh
dipandang sebagai passive receivers of ready-made mathematics (penerima pasif yang
menerima matematika sebagai barang jadi). Menurutnya, pembelajaran matematika harus
diarahkan agar siswa dapat menggunakan berbagai macam situasi dan kesempatan untuk
menemukan kembali konsep-konsep matematika dengan cara mereka sendiri (Abdussakir,
4

2010). Oleh karena itu, guru matematika harus berupaya mengangkat persoalan-persoalan
terkait konsep-konsep matematika yang diajarkan.
Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan
“realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada
sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (Slettenhaar dalam Nufus, 2010: 1).
Alasan mengapa orang Belanda menggunakan istilah “realistic” bukan berarti
berkaitan dengan dunia nyata (real world) secara langsung, tetapi lebih kepada penggunaan
masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa. Membayangkan dalam bahasa belanda adalah
“zich realiseren”. Penekanannya adalah membuat sesuatu menjadi nyata dalam pikiran
(Abdussakir, 2010). Ini berarti bahwa RME tidak harus selalu menggunakan masalah
kehidupan nyata, akan tetapi masalah matematika yang bersifat abstrak dapat dibuat menjadi
nyata dalam benak (pikiran) siswa. Sehingga materi matematika yang diajarkan perlu bersifat
real bagi siswa. Inilah yang mendasari sehingga disebut Realistic Mathematics Education.

B. Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)


C. Paradigma Matematika dalam RME
Dalam bahasa Belanda oleh Simon Stevin, matematika disebut Wiskunde, ilmu
pasti. Wis artinya pasti atau yakin dan tidak menyerah pada keraguan; dan Kunde berarti
ilmu. Di sisi lain Stevin juga mengemukakan matematika sebagai seni dikenal dengan
istilah Wiskunst, mental art to be sure (seni mental untuk memperoleh kepastian)
(Freudenthal, 2002: 2).
Sebagai suatu proses mental, tentu matematika akan terkait dengan akal sehat
manusia. Dalam perjalanan hidup, akal sehat menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang
umum, berupa fakta-fakta yang terkait dengan aritmetika, algoritma dan pola pikir untuk
menyelesaikan suatu permasalahan. Menurut Freudenthal (2002: 9), “Mathematics was
more easily invented, as it was simply a question of common sense -- only better
organised” (Matematika lebih mudah ditemukan, karena hanya terkait pada persoalan
akal sehat secara terorganisir).
Keterkaitan matematika dengan persoalan-persoalan akal sehat menjadikannya
sebagai aktivitas, sehingga orang menggunakan matematika sehari-hari tanpa disadari.
Dengan demikian, matematika seharusnya sesuai dengan realitas. Freudenthal (2002: 17-
18) mengemukakan bahwa “Mathematics starting and staying in reality / Matematika
5

bermula dan tinggal dalam realitas”. Realitas yang dimaksud disini adalah terkait tentang
pengalaman-pengalaman akal sehat (common sense experiences) yang nyata dalam
pikiran, walaupun terkadang hal-hal tersebut terkadang tidak dapat digambarkan secara
kasat mata.
Telah dipahami bahwa objek kajian matematika berupa objek-objek abstrak yang
biasa disebut sebagai objek mental. Objek mental tersebut dapat berupa fakta, konsep,
operasi (relasi), dan prinsip (Sumardyono, 2004: 33). Keabstrakan inilah yang mesti
diupayakan agar menjadi lebih konkret bagi siswa dan dibimbing agar dapat menemukan
ide-ide atau konsep-konsep matematika dengan cara mereka sendiri. Penemuan kembali
ide-ide atau konsep-konsep matematika tersebut dilakukan melalui proses matematisasi.
Treffers dalam Nufus (2010 : 1) memformulasikan matematisasi menjadi dua
jenis, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Contoh matematisasi horisontal adalah
pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi masalah dalam cara-cara yang berbeda,
dan pentransformasian masalah dunia real ke masalah matematika. Contoh matematisasi
vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian
model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam RME matematika
dipandang sebagai aktivitas manusia sehingga dalam pengajarannya haruslah dikaitkan
dengan realitas. Ini berarti bahwa matematika harus dekat dan relevan dengan kehidupan
yang dialami siswa sehari-hari. Di samping itu, siswa harus dibimbing untuk menemukan
kembali ide-ide atau konsep-konsep matematika berdasarkan pengalaman mereka sendiri
melalui proses matematisasi horisontal dan vertikal.
D. Prinsip-prinsip Realistic Mathematics Education (RME)
Gravemeijer (Mustika, 2012:124) merumuskan tiga prinsip RME, yaitu: (a)
Penemuan terbimbing dan matematisasi berkelanjutan (guided reinvention and
progressive mathematization), (b) fenomenologi didaktis (didactical phenomenology),
dan (c) dari informal ke formal (from informal to formal mathematics).
Melalui prinsip pertama siswa dihadapkan dengan masalah kontekstual atau
realistik yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi sehingga terjadi perbedaan
penyelesaian atau prosedur dalam pemecahan masalah.
Pembelajaran matematika berdasarkan prinsip kedua dilakukan dengan
menyediakan situasi masalah-masalah khusus yang dapat digeneralisasi dan digunakan
6

sebagai dasar untuk matematisasi vertikal. Proses ini lebih menuntut penggunaan
penalaran dalam memperoleh generalisasi konsep matematika.
Pembelajaran matematika juga dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan
informal yang telah dimiliki siswa sehingga siswa mempunyai kesadaran bahwa
pengetahuan informalnya tersebut berguna dan penting untuk mencapai pengetahuan
matematika formal.
Ketiga prinsip tersebut menekankan pada siswa untuk berperan aktif dalam
memecahkan masalah-masalah yang dimunculkan oleh guru. Siswa dituntut untuk
menggunakan pengetahuan informalnya agar menghasilkan modelnya sendiri dan secara
bertahap diarahkan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika, sebagaimana
dahulu konsep tersebut ditemukan.
E. Karakteristik Realistic Mathematics Education (RME)
Menurut Treffers (dalam Soviati, 2011: 82) karakteristik RME:
a. Menggunakan masalah kontekstual (the use of context). Pembelajaran diawali dengan
menggunakan masalah kontekstual, tidak dimulai dari system formal. Masalah
kontekstual yang diangkat sebagai topik awal pembelajaran harus merupakan masalah
sederhana yang dikenali oleh siswa.
b. Menggunakan model-model (use model, bridging by vertical instruments). Istilah
model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan
oleh siswa. Model tersebut digunakan sebagai jembatan bagi siswa dari situasi real ke
situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.
c. Menggunakan kontribusi siswa (student contribution). Kontribusi yang besar pada
proses belajar mengajar diharapkan datang dari siswa, artinya semua pikiran
(konstruksi dan produksi) siswa diperhatikan.
d. Menggunakan interaksi (interactivity), Interaksi antar siswa dan guru, siswa dengan
siswa, serta siswa dengan sarana prasarana merupakan hal yang sangat penting dalam
RME. Bentuk-bentuk interaksi seperti negosiasi, penjelasan, pembenaran, persetujuan,
pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika
formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditemukan sendiri
oleh siswa.
7

e. Menggunakan keterkaitan (intertwinment). Struktur dan konsep matematika saling


terkait. Oleh karena itu, keterkaitan antar topik (unit pelajaran) harus dieksploitasi
untuk mendukung proses belajar yang lebih bermakna.

F. Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematics


Education (RME)
Pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita
terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses
yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginsiprasi, menguatkan, dan
melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.
Berdasarkan pengertian tersebut, Realistic Mathematics Education (RME) memenuhi
kriteria sebagai pendekatan pembelajaran. Sehingga dalam penerapannya, RME terkadang
diposisikan sebagai pendekatan pembelajaran matematika. Berikut langkah-langkah
pembelajaran matematika dengan pendekatan RME.
1. Memahami masalah kontekstual.
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dan siswa diminta untuk memahami
masalah tersebut. Guru menjelaskan soal atau masalah dengan memeberikan
petunjuk/saran seperlunya (terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang dipahami
siswa. Pada langkah ini karakteristik RME yang diterapkan adalah karakteristik pertama.
Selain itu pemberian masalah kontekstual berarti memberi peluang terlaksananya prinsip
pertama dari RME.
B. Menyelesaikan masalah kontekstual.
Siswa secara individual disuruh menyelesaikan masalah kontekstual pada Buku
Siswa atau LKS dengan caranya sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah yang
berbeda lebih diutamakan. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah tersebut
dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan penuntun untuk mengarahkan siswa
memperoleh penyelesaian soal tersebut. Misalnya: bagaimana kamu tahu itu, bagaimana
caranya, mengapa kamu berpikir seperti itu dan lain-lain. Pada tahap ini siswa dibimbing
untuk menemukan kembali tentang idea atau konsep atau definisi dari soal matematika.
Di samping itu pada tahap ini siswa juga diarahkan untuk membentuk dan menggunakan
model sendiri untuk membentuk dan menggunakan model sendiri untuk memudahkan
menyelesaikan masalah (soal). Guru diharapkan tidak memberi tahu penyelesaian soal
8

atau masalah tersebut, sebelum siswa memperoleh penyelesaiannya sendiri. Pada langkah
ini semua prinsip RME muncul, sedangkan karakteristik RME yang muncul adalah
karakteristik ke-2, menggunakan model.
C. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Siswa diminta untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban mereka dalam
kelompok kecil. Setelah itu hasil dari diskusi itu dibandingkan pada diskusi kelas yang
dipimpin oleh guru. Pada tahap ini dapat digunakan siswa untuk melatih keberanian
mengemukakan pendapat, meskipun berbeda dengan teman lain atau bahkan dengan
gurunya. Karakteristik RME yang muncul pada tahap ini adalah penggunaan idea tau
kontribusi siswa, sebagai upaya untuk mengaktifkan siswa melalui optimalisasi interaksi
antara siswa dengan siswa, antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan sumber
belajar.
D. Menarik Kesimpulan
Berdasarkan hasil diskusi kelompok dan diskusi kelas yang dilakukan, guru
mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan tentang konsep, definisi, teorema, prinsip
atau prosedur matematika yang terkait dengan masalah kontekstual yang baru
diselesaikan. Karakteristik RME yang muncul pada langkah ini adalah menggunakan
interaksi antara guru dengan siswa.

E. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistic


Mathematics Education (RME)
Kelebihan dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan RME adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang kehidupan sehari-hari dan
kegunaan pada umumnya bagi manusia.
2. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang
kajian yang dapat dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh
mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
3. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa mengenai cara penyelesaian suatu soal
atau masalah yang tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan yang
lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu
sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan
9

membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan
bisa diperoleh cara penyelesaian yang tepat, sesuai dengan tujuan dari proses
penyelesaian masalah tersebut.
4. Memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika,
proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu
dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak
lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri
proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai.
Kelemahan pembelajaran matematika dengan pendekatan RME nampak pada
kesulitan-kesulitan yang dihadapi saat menerapkan pendekatan RME. Kesulitan-kesulitan
tersebut yaitu :
1. Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya
mengenai siswa, guru, dan peranan sosial atau masalah kontekstual, sedang perubahan itu
merupakan syarat untuk dapat diterapkan RME.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam RME
tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa,
terlebih-lebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam
cara.
3. Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara
dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah.
4. Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan
penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari.

F. Teori-teori yang Relevan dengan Realistic Mathematics Education (RME)


1. Teori Piaget
Piaget berpandangan bahwa, anak-anak memiliki potensi untuk mengembangkan
intelektualnya. Pengembangan intelektual mereka bertolak dari rasa ingin tahu dan
memahami dunia di sekitarnya. Pemahaman dan penghayatan tentang dunia sekitarnya
akan mendorong pikiran mereka untuk membangun tampilan tentang dunia tersebut
dalam otaknya. Tampilan yang merupakan struktur mental itu disebut skema atau skemata
/ jamak
10

Dengan menggunakan skemanya, seseorang dapat memproses dan


mengidentifikasi suatu rangsangan yang diterimanya sehingga ia dapat menempatkannya
pada kategori / konsep yang sesuai. Lebih lanjut Piaget menyatakan bahwa prinsip dasar
dari pengembangan pengetahuan seseorang adalah berlangsungnya adaptasi pikiran
seseorang ke dalam realitas di sekitarnya.
RME sejalan dengan pandangan Piaget di atas. RME yang dikembangkan dengan
berlandaskan pada filsafat konstruktivis, memandang pengetahuan dalam matematika
bukanlah sebagai sesuatu yang sudah jadi dan siap diberikan kepada siswa, namun
sebagai hasil konstruksi siswa yang sedang belajar. Karena itu, dalam RME siswa
merupakan pusat dari proses pembelajaran itu sendiri, sedangkan guru berperan lebih
sebagai fasilitator.
B. Teori Vygotsky
Vygotsky berpendapat bahwa proses pembentukan dan pengembangan
pengetahuan anak tidak terlepas dari faktor interaksi sosialnya. Melalui interaksi dengan
teman dan lingkungannya, seorang anak terbantu perkembangan intelektualnya. Implikasi
yang muncul atas pandangan Vygotsky dalam pendidikan anak adalah perlu adanya suatu
dorongan kepada siswa untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya yang punya
pengetahuan lebih baik yang dapat memberikan bantuan dalam pengembangan
intelektualnya.
Salah satu karakteristik dalam RME adalah penemuan konsep dan pemecahan
masalah sebagai hasil sumbangan gagasan dari para siswa. Kontribusi gagasan tersebut
dapat diwujudkan melalui proses pembelajaran yang di dalamnya terdapat interaksi antara
siswa dengan siswa, antara siswa dengan guru atau antara siswa dengan lingkungannya.
Melalui interaksi sosial tersebut siswa yang lebih mampu berkesempatan menyampaikan
pemahaman yang dimilikinya pada siswa lain yang lebih lemah. Hal ini memungkinkan
bagi siswa yang lebih lemah tersebut memperoleh peningkatan dari perkembangan aktual
ke perkembangan potensial atas bantuan siswa yang lebih mampu. Sedangkan di sisi lain
guru mempunyai peran dalam membantu siswa yang mengalami kesulitan dengan
memberi arah, petunjuk, peringatan dan dorongan. Dengan demikian tampak bahwa
proses pembelajaran dengan pendekatan RME sejalan dengan teori Vygotsky yang
memberi tekanan pada pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan intelektual anak.
11

C. Teori Ausubel
Ausubel, Noval dan Hanesian menggolongkan belajar atas dua jenis yaitu belajar
menghafal dan belajar bermakna. Belajar menghafal mengacu pada penghafalan fakta-
fakta atau hubungan-hubungan, misal tabel perkalian dan lambang-lambang atom kimia.
Sedangkan menurut Ausubel belajar dikatakan bermakna jika informasi yang akan
dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur kognitifnya sehingga siswa tersebut
mengkaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Salah satu karakteristik RME adalah penggunaan konteks. Penggunaan konteks
dalam RME berarti bahwa lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar bagi siswa. Apa yang terjadi di sekitar
siswa maupun pengetahuan yang dimiliki siswa merupakan bahan yang berharga untuk
dijadikan sebagai permasalahan kontekstual yang menjadi titik tolak aktivitas berfikir
siswa. Permasalahan yang demikian lebih bermakna bagi siswa karena masih berada
dalam jangkauan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya. Oleh sebab itu,
untuk memecahkan masalah kontekstual seorang siswa harus dapat mengkaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan permasalahan tersebut. Dengan demikian
seorang siswa akan berhasil memecahkan masalah kontekstual jika ia mempunyai cukup
pengetahuan yang terkait dengan masalah tersebut. Selain itu siswa juga harus dapat
menerapkan pengetahuan yang telah dimilikinya untuk menyelesaikan masalah
kontekstual tersebut. Dengan demikian penyajian masalah kontekstual untuk siswa dalam
RME sejalan dengan teori belajar bermakna Ausubel.
D. Teori Bruner
Bruner berpendapat bahwa belajar matematika adalah belajar tentang konsep-
konsep dan struktur-struktur serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-
struktur tersebut. Menurut Bruner pemahaman atas suatu konsep beserta strukturnya
menjadikan materi itu lebih mudah diingat dan dapat dipahami lebih komprehensif.
Mirip dengan seperti apa yang dikemukakan Piaget, Bruner berpendapat adanya
tiga tahap perkembangan mental yang dilalui peserta didik dalam proses belajar. Namun
ketiga tahap berpikir menurut Bruner ini tidak dikaitkan dengan usia peserta didik. Tiga
tahap perkembangan mental menurut Bruner tersebut adalah: (a) Enactive, dimana dalam
tahap ini seseorang mempelajari suatu pengetahuan secara aktif dengan menggunakan/
memanipulasi benda-benda konkrit atau situasi nyata secara langsung; (b) Ikonic, dalam
12

tahap ini kegiatan belajar sesorang sudah mulai menyangkut mental yang merupakan
gambaran dari objek-objek; (c) Simbolic, tahap terakhir ini adalah tahap memanipulasi
simbol-simbol secara langsung dan tidak lagi terkait dengan objek maupun gambaran
objek.
Selain teori tentang tahap perkembangan mental di atas, pendapat Bruner yang lain
yang sesuai dengan RME adalah teorema konstruksi (construction theorem) dan teorema
notasi (notation theorem). Melalui teorema konstruksi, Bruner (dalam Pudjohartono,
2003: 23) berpendapat bahwa cara terbaik bagi siswa untuk mempelajari konsep atau
prinsip matematika adalah dengan mengkonstruksi konsep atau prinsip tersebut.
Alasannya adalah jika para siswa mengkonstruksi sendiri representasi dari suatu konsep
atau prinsip maa mereka akan lebih mudah menemukan sendiri konsep atau prinsip yang
terkandung dalam representasi itu. Selanjutnya mereka lebih mudah mengingat
pengetahuan itu serta lebih mudah menerapkannya dalam konteks yang lain yang sesuai.
Hal ini sesuai dengan prinsip RME dimana siswa dituntut untuk menggunakan
pengetahuan informalnya agar menghasilkan modelnya sendiri dan secara bertahap
diarahkan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Realistic Mathematics Education (RME) merupakan pendekatan pembelajaran matematika
yang berawal dari pandangan Hans Freudenthal yang menganggap matematika sebagai
aktivitas manusia sehingga dalam pengajarannya harus dikaitkan dengan realitas. Realitas
yang dimaksud disini adalah upaya menjadikan ide-ide atau konsep-konsep matematika
nyata dalam benak atau pikiran siswa.
2. Prinsip-prinsip RME terdiri dari: (a) Penemuan terbimbing dan matematisasi berkelanjutan
(b) fenomenologi didaktis, dan (c) dari informal ke formal. Ketiga prinsip tersebut
menekankan agar siswa berperan aktif dalam memecahkan masalah-masalah yang
dimunculkan oleh guru. Siswa dituntut untuk menggunakan pengetahuan informalnya agar
menghasilkan modelnya sendiri dan secara bertahap diarahkan untuk menemukan kembali
konsep-konsep matematika, sebagaimana dahulu konsep tersebut ditemukan.
3. Karakteristik RME yaitu: adanya penggunaan masalah-masalah kontekstual; penggunaan
model-model; adanya kontribusi siswa; adanya interaksi; adanya keterkaitan.
13

4. Langkah-langkah pembelajaran menggunakan pendekatan RME meliputi: Memahami


masalah kontekstual, Menyelesaikan masalah kontekstual. Membandingkan / mendiskusikan
jawaban, dan Menarik Kesimpulan.
5. Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan RME dapat memberikan
pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika memiliki keterkaitan dengan realitas
yang mereka alami, dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan
sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan
sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu
(misalnya guru).

DAFTAR PUSTAKA

Abdussakir. 2010. Realistic Mathematics Education (RME) dan Penerapannya di MI.


https://abdussakir.wordpress.com/2010/11/23/realistic-mathematics-education-rme-dan-
penerapannya-di-mi/.
Freudenthal, Hans. 2002. Revisting Mathematics Education. ISBN : 0-306-47202-3. Kluwer
Academic Publishers
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/
195404021980112001IHAT_HATIMAH/Pengertian_ \
Pendekatan,_strategi,_metode,_teknik,_taktik_dan.pdf
http://ironerozanie.wordpress.com/2010/03/03/realistic-mathematic-education-rme-atau-
pembelajaran-matematika-realistik-pmr/
http://kelompok11-3d.blogspot.com/2013/01/realistic-mathematic-education.html
Mustika, Aulia Musla. 2012. Penerapan PMRI dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah
Dasar Untuk Menumbuhkembangkan Pendidikan Karakter. ISBN : 978-979-16353-8-7
Nufus, Hayatun. 2010. Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Program Studi
Pendidikan Matematika Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.
Soviati, Evi. 2011. Pendekatan Matematika Realistik (PMR) Untuk Meningkatkan Kemampuan
Berfikir Siswa Di Tingkat Sekolah Dasar. Jurnal. ISSN : 1412-565X.
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah PPPM.

Anda mungkin juga menyukai