Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


PEMBELAJARAN INOVATIF

“PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

1. AYU SETYORINI (1784202024)


2. DIAN SARTIKA (1784202025)
3. M. ALFIAN NANDA (1784202040)
4. PUSPITA RIA FEBRIANNE (1784202042)

STKIP PGRI SIDOARJO

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat, dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah kami
yang berjudul “PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia)” tanpa suatu
halangan apapun.
            Shalawat serta salam selalu kami curahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW yang menjadi panutan dan suri tauladan bagi kita semua. Beliaulah yang
telah membimbing kita dari jalan yang gelap gulita menuju jalan yang terang,
yakni Addinul Islam.
            Makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran
inovatif. Dalam hal ini, kami selaku penulis banyak berhutang budi kepada
banyak pihak yang telah membantu, memotivasi, dan senantiasa mendo’akan
kami agar makalah ini selesai dengan baik. Kami juga tidak lupa menyampaikan
ucapan terima kasih kepada semua pihak yang membantu kami.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna, masih banyak
kekurangan, oleh karenanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua
pihak sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.
                                                                                           Sidoarjo, 4 April 2019

                                                                                                                   Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul……………………………………………………………….....
…...i
Kata Pengantar…………………………………………………………....ii
Daftar Isi………………………………………………………………….iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang……………………………………………….........1
B. Rumusan Masalah…………………………………………….…...1

BAB II PEMBAHASAN
1. Sejarah dan landasan filosofis Matematika Realis…………….......2
2. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik...............................3
3. Kompetensi yang dikembangkan....................................................10
4. Strategi Pembelajaran......................................................................10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan……………………………………..……...................15
B. Saran...............................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................16

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa pengajaran matematika,


khususnya di sekolah dasar, belum menekankan pada pengembangan
daya nalar (reasoning), logika dan proses berpikir siswa. Pengajaran
matematika umumnya didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta
konsep-konsep secara verbal, tanpa ada perhatian yang cukup terhadap
pemahaman siswa. Selain itu, proses belajar mengajar hampir selalu
berlangsung dengan metode ceramah yang mekanistik, dengan guru
menjadi pusat dari seluruh kegiatan dikelas. Siswa mendengarkan, meniru
atau mencontoh dengan persis sama cara yang diberikan guru tanpa
inisiatif. Siswa tidak dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi
dirinya, mengembangkan penalaran maupun kreativitasnya. Pembelajaran
matematika juga seolah-olah dianggap lepas untuk mengembangkan
kepribadian siswa. Pembelajaran matematika dianggap hanya menekankan
faktor kognitif saja, padahal pengembangan kepribadian sebagai bagian
dari kecakapan hidup merupakan tugas semuamata pelajaran di sekolah.
Menghadapi kondisi itu, pembelajaran matematika harus
mengubah citra dari pembelajaranyang mekanistis menjadi humanistic
yang menyenangkan. Pembelajaran yang dulunya memasung kreativitas
siswa menjadi yang membuka kran kreativitas. Pembelajaran yang dulu
berkutat pada aspek kognitif menjadi yang berkubang pada semua aspek
termasuk kepribadian dan sosial. Salah satu inovasi pembelajaran
matematika itu adalah pembelajaran yang mendasarkan pada penerapan
“Pendidikan Matematika RealistikIndonesia” atau disingkat PMRI. PMRI
mendasarkan pada teori pendidikan matematika yang dikembangkan di
Belanda yang dinamakan “Realistics Mathematics Educations (RME)”.
Kemudian dikembangkan dengan situasi dan kondisi serta konteks di
Indonesia, maka ditambahkan kata “Indonesia” untuk memberi ciri yang

4
berbeda. Prinsip dan karakteristik dasar dari PMRI tetap sama
mendasarkan pada RME.

B. Rumusan Masalah
1. Sejarah matematika realistik ?
2. Apa karakteristik pendidikan matematika realistik ?
3. Bagaimana kompetensi yang dikembangkan ?
4. Bagaimana strategi pembelajarannya

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah dan landasan filosofis Matematika Realistik

Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics


Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan
meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan
kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai
oleh Wijdeveld dan Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas.
Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar
ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika.
Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan
kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan.
Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer,
Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan
kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan
kepada pembelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali”
matematika dengan melakukannya. Artinya dalam pendidikan
matematika dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan dan
bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada
kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968).
Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide
tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan,
yaitu matematisasi horisontal dan vertikal.Pada matematisasi
horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya
menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-
hari.Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi
dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung
dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan
kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horizontal
bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan

6
matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk
matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama
nilainya (Freudenthal, 1991). Hal ini disebabkan oleh pemaknaan
“realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya
bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”.
Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan
apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui
cara itu.
2. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik.

Karena PMRI merupakan adaptasi dari RME maka prinsip PMRI


sama dengan prinsip RME tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan
RME karena konteks, budaya, sistem sosial dan alamnya berbeda.
Gravemeijer (1994) merumuskan tiga prinsip RME yaitu:

a. Reinvensi terbimbing dan matematisasi berkelanjutan (guided


reinvention and progressive mathematization),
Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengalami proses
yang sama
sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran
dimulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang
selanjutnya melalui aktifitas siswa diharapkan menemukan
“kembali” sifat, definisi, teorema atau prosedur-prosedur. Masalah
kontekstual dipilih yang mempunyai berbagai kemungkinan solusi.
Perbedaan penyelesaian atau prosedur peserta didik dalam
memecahkan masalah dapat digunakan sebagai langkah proses
pematematikaan baik horisontal maupun vertikal. Pada prinsip ini
siswa diberikan kesempatan untuk menunjukkan kemampuan
berpikir kreatifnya untuk memecahkan masalah, sehingga
menghasilkan jawaban maupun cara atau strategi yang berbeda
(divergen) dan “baru” secara fasih dan fleksibel.
b. Fenomenologi didaktis (didactical phenomenology)

7
Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika
disajikan atas dua pertimbangan, yaitu melihat kemungkinan
aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik tolak dalam proses
pematematikaan. Tujuan penyelidikan fenomena-fenomena
tersebut adalah untuk menemukan situasi-situasi masalah khusus
yang dapat digeneralisasikan dan dapat digunakan sebagai dasar
pematematikaan vertikal. Pada prinsip ini memberikan kesempatan
bagi siswa untuk menggunakan penalaran (reasoning) dan
kemampuan akademiknya untuk mencapai generalisasi konsep
matematika
c. Dari informal ke formal (from informal to formal mathematics;
model plays in bridging the gap between informal knowledge and
formal mathematics) (Gravemeijer 1994, dalam Armanto, 2002)

Sedangkan van den Heuvel-Panhuizen (1996) merumuskannya sebagai


berikut:

a. Prinsip aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia.


Si pebelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam
pembelajaran matematika. Si pebelajar bukan insane yang pasif
menerima apa yang disampaikan oleh guru, tetapi aktif baik secara
fisik, teristimewa secara  mental mengolah dan menganalisis
informasi, mengkonstruksi pengetahuan matematika.
b. Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogianya dimulai dengan
masalah-masalah yang realistic bagi siswa, yaitu dapat
dibayangkan oleh siswa.  Masalah yang realistik  lebih menarik
bagi siswa dari masalah-masalah matematis formal tanpa makna.
Jika pembelajaran dimulai dengan masalah yang bermakna bagi

8
mereka, siswa akan tertarik untuk belajar. Secara berangsur angsur
siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis formal.
c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematia siswa melewati
berbagai jenjang pemahaman,yaitu dari mampu menemukan solusi
suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui
skematisasi  memperoleh wawasan tentang hal-hal yang mendasar
sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara
formal. Model bertindak sebagai jembatan antara yang informal
dan yang formal.  Model yang semula merupakan model suatu
situasi berubah melalui abtraksi dan generalisasi menjadi model
untuk semua masalah lain yang ekuivalen.
d. Prinsip jalinan,  artinya berbagai aspek atau topik
dalam  matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-
bagian yang terpisah,  tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa
dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secaa lebih baik.
Konsep matematika adalah relasi-relasi. Secara psikologis, hal-hal
yang berkaitan akan lebih mudah dipahami dan dipanggil kembali
dari ingatan jangka panjang daripada hal-hal yang terpisah tanpa
kaitan satu sama lain.
e. Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagi aktifitas
sosial. Kepada siswa perlu dan harus diberikan kesempatan
menyampaikan strateginya menyelesai-kan suatu masalah kepada
yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan
orang lain dan strateginya menemukan hal itu serta
menanggapinya. Melalui diskusi, pemahaman siswa tentang suatu
masalah atau konsep menjadi lebih mendalam dan siswa terdorong
untuk melakukan refleksi  yang memungkinkan dia menemukan
insight untuk memperbaiki strateginya atau menemukan solusi
suatu masalah.
f. Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan untuk
“menemukan kembali (re-invent) ” pengetahuan
matematika‘terbimbing’. Guru menciptakan kondisi belajar yang

9
memungkinkan siswa mengkonstruk pengetahuan matematika
mereka.

Karakteristik PMRI:

a. Murid aktif, guru aktif  ( Matematika sebagai aktivitas manusia).


Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif berpikir
(kegiatan mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan
lewat sinergi antara pikiran (fungsi otak abstrak) dan tubuh
(jasmani, konkrit atau real). Indera kita menerima informasi
(dari  lingkungan: luar diri atau dalam diri kita sendiri), diteruskan
ke otak, di sana diolah (refleksi)  dan disimpan dalam memori
jangka panjang kita (internalisasi), pada suatu saat di ambil lagi
(dibawa ke ingatan jangka pendek, di recall) untuk diolah bersama
informasi baru yang masuk (transformasi) , lalu disimpan lagi
(retained) dalam bentuk baru (retrukturisasi)
b. Pembelajaran sedapat mungkin dimulai dengan menyajikan
masalah kontekstual/ realistik.
Siswa akan memiliki motivasi untuk mempelajari matematika bila
dia melihat dengan jelas bahwa matematika bermakna atau
melihat  manfaat matematika bagi dirinya (dapat memenuhi
kebutuhannya sekarang dan kelak).  Salah satu manfaat itu ialah
dapat me-mecahkan masalah yang dihadapi (khususnya masalah
dalam kehidupan sehari-hari). Bermakna dapat juga berarti dia
melihat hubungan antara informasi baru yang dia terima dengan
pengetahuan /pengalaman yang sudah dia miliki. Jadi masalah
kontekstual atau realistic adalah masalah yang berkaitan dengan
situasi dunia nyata (real) atau dapat dibayangkan oleh siswa.
c. Guru memberi kesempatan pada siswa menyelesaikan masalah
dengan cara sendiri.
Tidak hanya satu cara menyelesaikan masalah. Ada banyak cara,
itu sangat tergantung pada struktur kognitif siswa

10
(pengalamannya). Guru tidak perlu mengajari siswa bagaimana
cara menyelesaikan masalah. Mereka harus berlatih menemukan
cara sendiri untuk menyelesaikannya. Soal yang diberikan pada
siswa hendaknya tidak jauh dari skema yang sudah mereka miliki
dalam pikirannya. Dalam keadaan tertentu guru dapat membantu
siswa dengan memberikan sedikit informasi sebagai petunjuk arah
yang dapat dipilih siswa untuk dilalui. Itu dapat dilakukan dengan
bertanya atau memberi komentar. Itupun sedapat mungkin
dilakukan jika semua siswa tidak mempunyai ide bagaimana
menyelesaikan masalah. Jika satu siswa mempunyai ide, hendaklah
guru mendorong siswa tadi mensharingkan idenya kepada teman-
temannya (interaksi).  Soal-soal yang diberikan kepada siswa
berkaitan dengan dunia real atau bisa dibayangkan siswa,
merupakan soal terbuka atau soal yang cara menyelesaikannya
tidak tunggal.
d. Guru menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Menurut hasil penelitian modern dalam bidang psikologi dan
neuroscience,  bukan hanya  tubuh kita yang mengikuti perintah
dari otak kita, tetapi otak kita juga akan bekerja sesuai keinginan/
kemauan kita sendiri. . Itu berarti, otak kita dapat juga diperintah
oleh kemauan kita. Jadi, kemampuan manusia tidak hanya
ditentukan oleh IQ nya tetapi juga oleh kemauannya
(sikap, motivasi, ketekunan).  Orang yang selalu menganggap
dirinya bodoh atau merasa tidak bias melakukan sesuatu memang
akan menjadi bodoh atau tidak bisa melakukan sesuatu,
sebaliknya orang yang mengatakan kepada dirinya bahwa dia bisa
maka dia akan bisa, artinya otaknya akan berusaha bekerja sesuai
keinginan orang tersebut. Intinya, ialah orang perlu berusaha untuk
selalu berpikir positip.  Ada tiga kelompok manusia, yaitu Quitters,
Campers dan Climbers. Kelompok pertama (Quitters) adalah
kelompok orang yang mudah menyerah terhadap tantangan, sangat
takut terhadap risiko; kelompok kedua (Campers) yang mudah

11
merasa puas, jadi berhenti ditengah jalan (memasang kemah dan
menikmati hasil pekerjaannya yang setengah-setengah jalan itu),
sedangkan kelompok ketiga (Climbers, pendaki) adalah kelompok
orang yang pantang menyerah, melakukan sesuatu sampai tuntas,
berani mengambil risiko dan menikmati kebahagiaan sejati atas
hasil yang diperolehnya karena dia mencapai puncak ( Stoltz,
2000). Dengan perkataan lain, kelompok pertama memiliki sikap
dan motivasi yang kurang kuat, sedangkan kelompok kedua
memiliki sikap dan motivasi sedang dan kelompok ketiga memiliki
sikap dan motivasi tinggi. Sikap dan motivasi itu menimbulkan
dorongan-dorongan (drive) yang sesuai dalam diri setiap orang.
Ternyata, sikap dan motivasi ini dapat diubah.  Inilah salah satu
tugas pendidikan yang sangat penting. Untuk itu, guru perlu belajar
menumbuhkan sikap dan motivasi siswa dalam belajar. Hal itu
sukar ditumbuhkan dengan menghukum. Dengan menciptakan
suasana yang menyenangkan dan menghargai anak-anak sebagai
manusia (nguwongke wong) maka perlahan-lahan sikap dan
motivasi siswa dapat dikembangkan dan hal ini akan memberikan
dampak meningkatkan prestasi belajar mereka. Kami menyebut
pendekatan ini pendekatan SANI (santun, terbuka dan
komunikatif), yang pada dasarnya mempraktekkan “nguwongke
wong”. Cara-cara lain untuk menciptakan kondisi yang
menyenangkan perlu dipikirkan guru. Belajar sambil
bermain,  belajar dengan duduk di lantai, belajar dalam kelompok,
belajar di  luar kelas atau di luar sekolah, membuat ruangan
menarik, dan sebagainya adalah beberapa cara lain untuk membuat
suasana belajar yang menyenangkan.
e. Siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kelompok (kecil atau
besar). Belajar dengan bekerja sama (sinergi) lebih efektif dari pada
belajar secara individual. Memang harus diakui bahwa ada banyak
tipe belajar: ada yang lebih senang belajar individual, ada yang
lebih senang belajar dalam kelompok; ada yang  cenderung visual,

12
ada yang auditif, ada yang kinestetik (enaktif);  Saling tukar
informasi penting untuk memahami sesuatu. Informasi yang
bertentangan pun (konflik kognitif) dengan yang dimiliki seseroang
dapat membuat pemahaman orang itu terhadap suatu masalah
menjadi lebih baik. Informasi yang baru dapat menyebabkan
infrormasi lama ditransformasi (diperkuat/diperbaiki atau
diperlemah/diperburuk atau dirubah bentuk atau polanya). Tugas
guru membantu siswa agar informasi baru dapat memperkuat atau
memperbaiki pengetahuan seseorang. Maka interaksi dan negosiasi
perlu sekali dalam pembelajaran matematika. Selain itu interaksi
dan negosiasi antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru
merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang baik dan efektif.
Siswa lebih terbuka dan lebihberani berdiskusi dengan sesama dari
pada dengan orang yang lebih dewasa dari mereka. Maka tugas
guru dalam rangka menciptakan kondisi belajar yang memberi
pengalaman belajar yang baik untuk siswa harus kreatif memenij
kelas yang diajarnya sehingga interaksi dan negosiasi antara
siswa dan siswa, antara siswa dan guru dapat terjadi. Ini
memerlukan kesabaran, kemampuan menguasai emosi, dan
keyakinan diri. Salah satu bentuk interaksi ialah, siswa-siswa
diminta menceritakan pengalamannya dihadapan kawan-kawannya
di kelas atau siswa-siswa menjelaskan cara mereka menyelesaikan
masalah. Untuk itu guru perlu melakukan observasi/pengamatan
atau pendekatan pada siswa untuk mengetahui strategi atau cara-
cara siswa menyelesaikan masalah. Siswa-siswa yang
menggunakan strategi yang berbeda dipilih untuk maju
menjelaskan ide mereka kepada kawan-kawannya. Siswa
memerlukan waktu untuk melakukan refleksi. Jadi, guru perlu
memberi waktu pada dan mendorong
siswa  melakukannya.  Kemampuan mendengarkan orang,
berbicara dengan orang lain secara empatik tidak muncul dengan
sendirinya tetapi perlu dilatih dan dikembangkan. Diharapkan guru

13
mampu melakukan hal ini sejak dini sesuai dengan tingkat
perkembangan kognitif siswa. Guru jangan bersikap a priori. Guru
perlu memupuk sikap bahwa semua orang (khususnya anak-anak)
pada dasarnya baik.

f. Pembelajaran tidak selalu di kelas (bisa di luar kelas, duduk di


lantai, pergi ke luar sekolah untuk mengamati atau mengumpulkan
data).
Rasa bosan mengurangi ketertarikan untuk mendengarkan atau
berbuat sesuatu, termasuk untuk berpikir. Orang memerlukan
variasi untuk merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya
dengan baik.  Variasi ini juga dapat membuat suasana yang
menyenangkan dalam belajar. Susunan tempat duduk yang sama
terus menerus, suasana ruang yang sama terus menerus, cara
belajar di kelas yang sama terus menerus dan penampilan guru
yang sama terus menerus menimbulkan rasa bosan pada siswa.
Oleh karena itu guru perlu berpikir untuk selalu melakukan variasi
pembelajaran:  variasi susunan tempat duduk, variasi dekorasi
kelas, variasi penampilan guru, variasi metode pembelajaran,
dsb.nya. Ini tidak berarti bahwa setiap jam pertemuan harus
berbeda situasinya. Perlu ada perencanaan yang dilakukan
oleh  guru, kalau perlu dengan meminta usul dan saran dari
siswa.  Guru perlu menanamkan dalam diri sendiri sikap positip
terhadap perubahan, terhadap variasi. Mulailah dengan melatih diri
Anda untuk berkata (dalam hati) ‘’inilah saatnya saya harus
berubah” dan lakukanlah. Mengajar adalah belajar.  Kita harus
terus menerus belajar dari cara mengajar kita. Jangan pernah
bersikap “sudah baik tak perlu diperbaiki lagi”, tetapi bersikaplah
”sudah baik tetapi masih bisa ditingkatkan”. 
g. Guru mendorong terjadinya interaksi dan negosiasi, baik antara
siswa dan siswa, juga antara siswa dan guru.
Salah satu ciri penting PMRI ialah interaksi dan negosiasi.  Siswa
perlu belajar untuk mengemukakan idenya kepada orang lain

14
(kawan-kawannya atau gurunya), supaya mendapat masukan
berupa informasi yang melalui refleksi dapat dipakai memperbaiki
atau meningkatkan kualitas pemahamannya. Untuk itu perlu
diciptakan suasana yang mendukung. Misalnya, jangan
menghukum siswa jika membuat kesalahan dalam menjawab
pertanyaan atau memecahkan masalah, jangan mentertawakan,
tetapi menghargai pendapatnya. Berbagai model pembelajaran
perlu diciptakan guru (misalnya belajar dalam kelompok, diskusi
kelas, menceritakan pengalaman, menjelaskan caranya
menyelesaikan masalah). Murid diberi tugas atau proyek
(kelompok atau individu), penyelesaiannya dipamerkan atau
didiskusikan dalam ruang kelas.
h. Siswa bebas memilih modus representasi yang sesuai dengan
struktur kognitifnya sewaktu menyelesaikan suatu masalah
(Menggunakan model). Pemahaman siswa dapat diamati dari
kemampuannya menggunakan berbagai modus reperesentasi
(enaktif, ikonik atau simbolik) untuk membantunya  menyelesaikan
suatu masalah. Dalam pembelajaran matematika di SD hendaknya
siswa tidak cepat-cepat dibawa ke level formal, tetapi diberi banyak
waktu bermain atau berbuat dengan menggunakan benda-benda
konkrit , manipulatif atau model-model.
i. Guru bertindak sebagai fasilitator (Tutwuri Handayani).
Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari
siswa atau mengantarkannya ketujuan, tetapi memfasilitasi siswa
dalam belajar.  Guru  dapat membimbing siswa jika mereka
melakukan kesalahan atau tidak mempunyai ide dengan memberi
motivasi atau sedikit arahan agar mereka dapat melanjutkan bekerja
mencari strateginya menyelesaikan masalah. Pembelajaran
hendaknya dimulai dengan menyodorkan masalah kontekstual atau
realistic yang tidak jauh dari skema kognitif siswa.  Siswa diberi
waktu menyelesaikannya dengan cara masingmasing, kemudian
guru member siswa waktu menjelaskan strateginya kepada kawan-

15
kawannya dan Secara gradual membimbing siswa mencapai tujuan
pembelajaran.
j. Kalau siswa membuat kesalahan dalam menyelesaikan masalah
jangan dimarahi tetapi dibantu melalui pertanyaan-pertanyaan dan
usaha mereka hendaknya dihargai.
Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, tetapi
motivasi, khususnya motivasi internal dan sikap siswa yang positif
dapat membantu siswa belajar efektif.  Perasaan senang dalam
melakukan sesuatu membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi
keinginan sipebelajar. Perasaan senang jelas tidak dapat
dikembangkan lewat ancaman atau hukuman, tetapi dapat  lewat
sikap empatik, penghargaan atau pujian. Mendidik anak bersikap
santun adalah dengan memperlakukannya secara santun, mendidik
anak bersikap terbuka adalah dengan menunjukkan kepadanya
sikap keterbukaan dan  mengajak anak berkomunikasi dengan cara
yang komunikatif atau dengan bahasa yang dapat dimengertinya. 

3. Kompetensi yang dikembangkan


Kompetensi yang dimiliki pebelajar melalui matematika realistik,
selain dari kompetensi disiplin ilmu, juga kompetensi memproduksi,
merefleksikan dan berinteraksi. Hal ini sesuai dengan tiga
pilar pendidikan matematika yaitu refleksi, konstruksi dan
narasi. Melalui bidang ilmunya kompetensi yang dibangun pelajar
matematika realistik adalah berpikir formal, sedangkan melalui proses
belajarnya kompetensi yang dicapai adalah memproduksi, merefleksi
dan berinteraksi. Melalui pemecahan masalah dalam konteks
kehidupan sehari-hari pebelajar diberi kesempatan untuk memproduksi
sendiri pemahaman dan perkakas matematisnya. Selanjutnya melalui
presentasi temuannya di antara pelajar dalam dan antar kelompok,
semua pelajar dapat berbagi pengalaman. Setiap orang yang berdiskusi
dalam kelompok tersebut dapat merefleksikan temuannya sendiri.
Sekaligus dalam diskusi juga dikembangkan kemampuan berinteraksi

16
di antara sesama pelajar, sehingga kemampuan-kemampuan sosial
dapat dikembangkan.

4. Strategi Pembelajaran
a. Strategi umum
Sesuai dengan sifat matematika realistik yang berbasis
masalah nyata, maka strategi umum pembelajaran meliputi
pemberian masalah untuk dipecahkan pebelajar, pemberian
kesempatan kepada pebelajar untuk mengkonstruksi sendiri
pemecahan masalah, dan presentasi hasil pemecahan masalah
yang disusul dengan diskusi. Sebagai contoh masalah: berapa
bus terdapat dalam terminal dan setiap saat masuk dan keluar
bila ada sejumlah data sebagai berikut:

Jam Ke Masuk Keluar


1 15 7
2 9 1
3 8 0
4 13 15
5 1 1
6 2 0
7 9
8 10

Konteks bus ini merupakan contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat


berkembang menuju tahap yang lebih umum dan formal. Mula-mula suatu
ilustrasi digunakan untuk menggambarkan perubahan pada tempat pemberhentian
bus (terminal). Kemudian konteks bus dapat menjadi “model” untuk pemahaman
segala macam kalimat bilangan, sehingga pebelajar dapat mencapai makna dibalik
konteks bus tersebut. Mereka diharapkan dapat pula menggunakan model tersebut
untuk menelusuri penalaran sebelumnya. Perlunya sampai pada “model” yang
berakar pada situasi nyata maupun yang cukup fleksibel bermanfaat dalam
kegiatan matematis pada tahap-tahap yang lebih tinggi. Artinya “model” dapat
memberikan pijakan selama proses matematisasi vertikal tanpa menghalangi jalan
pemikiran balik kepada sumber semula.

17
Bertolak dari pandangan itu maka konstruksi pemecahan masalah dapat melalui
langkah-langkah berikut:
1. Pembelajaran menggunakan butiran kelereng yang
diumpamakan sebagai bus yang masuk-keluar terminal dan satu
kotak sebagai terminalnya
2. Pelajar menggambar sketsa terminal dan bus yang keluar-masuk
setiap saat
3. Berdasarkan data 4 jam pertama pebelajar dapat mengisi kotak
kosong pada jam ke 5, 6, 7, dan 8.
4. Berdasarkan jawaban yang diisikannya pada kotak kosong yang
menunjukkan ke 4 waktu tersebut, diharapkan pebelajar dapat
mengkonstruksi pemahamannya tentang perjumlahan dan
pengurangan, sehingga dapat menyimpulkan jumlah bus yang
selalu terdapat dalam terminal setiap jam. Pemecahan masalah
ini dapat dikerjakan secara individual dulu untuk beberapa saat,
kemudian dilakukan secara berkelompok.
Pada proses pemecahan masalah ini prinsip-prinsip manakah
dari matematika realistik yang diterapkan? Hasil konstruksi
pemecahan masalah yang telah dilakukan dalam kelompok
dipresentasikan oleh perwakilan kelompok, agar mendapat
kesempatan menjelaskan temuaannya kepada kelompok lain.
Selanjutnya dalam diskusi antar kelompok setiap pebelajar dapat
melakukan refleksi terhadap temuannya masing-masing
berdasarkan temuan orang lain, sehingga terjadi rekonstruksi ide
menjadi lebih mendalam atau meluas. Misalnya akan muncul
pertanyaan-pertanyaan: apakah perhitungan tersebut masih
berlaku bila bus diganti dengan benda lain? Atau kejadian lain?
Seberapa jauh kejadian tersebut dapat diubah? Jadi seberapa
umum perhitungan tersebut dapat diterapkan? Proses
pembelajaran ini menunjukkan terjadinya matematisasi
horisontal. Biasanya proses pembelajaran ini sangat efektif

18
untuk pebelajar awal matematika atau metematika untuk sekolah
dasar.

 Metode

Dalam pembelajaran matematika realistik metode yang


terutama digunakan adalah pemecahan masalah, yang
diikuti dengan kerja kelompok, diskusi, dan presentasi.

 Media

Untuk kelas-kelas pemula biasanya digunakan benda-benda


langsung, seperti manik-manik, kelereng, mobil-mobilan,
batang korek api dan masih banyak contoh lain. Untuk
kelas-kelas lanjutan digunakan media yang lebih formal
seperti bagan, garis bilangan dan simbol-simbol lainnya.

 Evaluasi

Evaluasi yang digunakan juga disesuaikan dengan tingkat


berpikir pelajar. Suatu contoh yang dapat menunjukkan
tingkat berpikir pelajar secara longitudinal adalah “model
garis bilangan”. Misalnya untuk mengevaluasi kemampuan
pelajar menjumlahkan 36 dan 19 dapat dipilih beberapa cara
berdasarkan kemajuan bertahap tingkat berpikir pelajar dari
yang rendah menuju tahap yang lebih tinggi dapat
dilakukan:
1. Menggunakan butiran manik-manik berwarna misalnya
36 butir putih dan 19 butir hitam dirangkaikan menjadi
kalung. Pebelajar yang masih dalam tahap berpikir
kongkret diberi kesempatan menghitung jumlah seluruh
manik-manik tersebut.
2. Untuk pelajar yang telah mampu berpikir pada taraf
yang lebih tinggi, digunakan garis bilangan yang

19
kosong untuk melakukan penambahan dan
pengurangan, sebagai berikut:
3. Pada taraf berpikir yang lebih tinggi lagi, digunakan
garis bilangan berganda untuk memecahkan masalah
perbandingan sebagai berikut:
Modifikasi lain terhadap garis bilangan dapat
digunakan untuk membekali pengerjaan pembagian dan
persentase sebagai perluasan dari garis bilangan dibuat
gambar empat persegi panjang yang dibagi menjadi 2
bagian dengan luas area yang sama dan ditandai dengan
bilangan yang menyatakan luas tiap bagian tersebut. Di
bagian bawah tiap bilangan dicantumkan persentase
luasnya. Selanjutnya pebelajar ditugaskan untuk
menaksir berapa persen luas yang ditunjukkan pada
tanda yang diberikan dan digambarkan sebagai berikut:
Dengan demikian maka bentuk evaluasi dapat disusun
sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai melalui
pembelajaran berdasarkan tahap pencapaian tingkat
berpikir yang tepat untuk tingkat kelas pebelajar.
Evaluasi perlu dilakukan bukan saja melalui tes untuk
mengukur hasil pembelajaran, melainkan dilakukan
pula selama proses pembelajaran. Hal ini dilakukan
terhadap aktivitas pembelajaran berinteraksi selama
proses pemecahan masalah, juga terhadap presentasi
yang dilakukan pelajar dalam memaparkan temuan
pemecahan masalahnya. Selama diskusi baik dalam
rangka pemecahan masalah, maupun tanggapan pada
presentasi, pebelajar juga dievaluasi kemampuannya
melakukan refleksi. Hal ini sangat penting.

20
b. Penerapan untuk Lingkup Sekolah

Model pembelajaran ini dapat diterapkan untuk semua


jenjang persekolahan, mulai dari sekolah dasar, sekolah
menengah, maupun perguruan tinggi khususnya pada
pembelajaran calon guru, dengan penyesuaian dalam tingkat
keabstrakan materi. Pada jenjang-jenjang sekolah yang lebih
rendah penekanannya pada matematisasi horisontal yang
bertolak dari fakta dalam kehidupan nyata, sedangkan makin
tinggi jenjang sekolahnya maka sifatnya akan lebih
menitikberatkan pada matematisasi vertikal yang bergerak
pada ranah simbol.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

21
PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) adalah
adaptasi dari RME dalam Konteks Indonesia: Budaya, Alam, Sistem
Sosial, dll. PMRI bukan suatu proyek tetapi suatu gerakan. PMRI
mengembangkan suatu teori pembelajaran matematika yang santun,
terbuka dan komunikatif. RME adalah teori pembelajaran matematika
yang dikembangkan di Belanda sejak sekitar 35- 40 tahun yang lalu
sampai sekarang. RME singkatan dari Realistic Mathematics
Education. RME diadaptasisi di banyak negara: AS, Afrika Selatan,
Beberapa Negara Eropa, Asia dan Amerika Latin.

B. Saran
Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa perlu dikembangkan
pendekatan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa,
mengkondisikan siswa sehingga dapat mengkonstruksi sendiri
pengetahuannya dan menggunakan model-model yang dikembangkan
sendiri oleh siswa. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah PMRI.
Namun demikian dalam implementasinya di sekolah tidaklah mudah,
sehingga perlu kerja keras para guru dan siswa.
Keberhasilan implementasi PMRI tergantung pada kemampuan guru
untuk membuat suatu iklim dimana siswa mau mencoba berpikir dengan
cara baru dan mengkomunikasikannya dengan orang lain. Selain itu
dukungan kepala sekolah juga sangat dibutuhkan untuk kesuksessan
implementasi PMRI di sekolah. Oleh karena itu kerjasama yang baik
antara kepala sekolah, guru dan siswa serta komponen sekolah yang lain
akan sangat membantu kelancaran impelementasi PMRI di sekolah.   

DAFTAR PUSTAKA

Soviati Evi. 2011. Upaya Peningkatan Hasil Belajar Dengan PMRI, (Bogor:


Makmal Pendidikan dompet Dhuafa).

22
Kusaeri dkk. 2009. Pembelajaran Matematika MI, (Surabaya: LAPIS-PGMI).
Suyoto. 2007. Pendidikan Realistik, (Gresik: Lembaga penelitian dan Pengabdian
Masyarakat).

23

Anda mungkin juga menyukai