Anda di halaman 1dari 22

METODOLOGI PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Disusun Oleh:

Kelompok 6

Prima Novia Agustini (1810206026)


Silvia Rinjani (1810206028)
Syamsiah Rohmah (1820206053)
Yulianti Kartika Sari (1820206055)

Dosen Pengampuh: Tri Oktaria, M.Pd

Program Studi Pendidikan Matematika


Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt, yang memberikan nikmat-Nya sehingga


kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam kita
curahkan kepada Nabi Muhammad Saw, karena berkat beliaulah kita dapat
merasakan pendidikan seperti saat sekarang ini.
Dalam penulisan dan penyelesaian makalah ini penulis tidak terlepas dari
bantuan dan dorongan dari berbagai pihak terutama dosen pengampuh ibu Tri
Oktaria, M.Pd
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada beliau dan terima
kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang terlibat dalam penyelesaian
makalah ini.
Mudah-mudahan segala bantuan dan dorongan yang diberikan mendapat
imbalan dari Allah swt. Semoga Makalah ini bermanfaat bagi kita semua dan juga
bagi kami.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 3
A. Sejarah dan Landasan Filosofis Matematika Realistik ................................ 3
B. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik........................................... 4
C. Kompetensi yang dikembangkan ............................................................... 13
D. Strategi Pembelajaran................................................................................. 13
BAB III PENUTUP............................................................................................... 18
Kesimpulan ........................................................................................................ 18
Saran .................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa pengajaran matematika,


khususnya di sekolah dasar, belum menekankan pada pengembangan daya nalar
(reasoning), logika dan proses berpikir siswa. Pengajaran matematika umumnya
didominasi oleh pengenalan rumus-rumus serta konsep-konsep secara verbal, tanpa
ada perhatian yang cukup terhadap pemahaman siswa. Selain itu, proses belajar
mengajar hampir selalu berlangsung dengan metode ceramah yang mekanistik,
dengan guru menjadi pusat dari seluruh kegiatan di kelas. Siswa mendengarkan,
meniru atau mencontoh dengan persis sama cara yang diberikan guru tanpa inisiatif.
Siswa tidak dibiarkan atau didorong mengoptimalkan potensi dirinya,
mengembangkan penalaran maupun kreativitasnya. Pembelajaran matematika juga
seolah-olah dianggap lepas untuk mengembangkan kepribadian siswa.
Pembelajaran matematika dianggap hanya menekankan faktor kognitif saja,
padahal pengembangan kepribadian sebagai bagian dari kecakapan hidup
merupakan tugas semua mata pelajaran di sekolah.

Menghadapi kondisi itu, pembelajaran matematika harus mengubah citra dari


pembelajaran yang mekanistis menjadi humanistik yang
menyenangkan. Pembelajaran yang dulunya memasung kreativitas siswa menjadi
yang membuka kran kreativitas. Pembelajaran yang dulu berkutat pada
aspek kognitif menjadi yang berkubang pada semua aspek termasuk kepribadian
dan sosial. Salah satu inovasi pembelajaran matematika itu adalah
pembelajaran yang mendasarkan pada penerapan “Pendidikan Matematika
Realistik Indonesia” atau disingkat PMRI. PMRI mendasarkan pada teori
pendidikan matematika yang dikembangkan di Belanda yang dinamakan
“Realistics Mathematics Educations (RME)”. Kemudian dikembangkan dengan

1
situasi dan kondisi serta konteks di Indonesia, maka ditambahkan kata
“Indonesia” untuk memberi ciri yang berbeda. Prinsip dan karakteristik dasar dari
PMRI tetap sama mendasarkan pada PMRI.

Rumusan Masalah

1. Sejarah Matematika Realistik ?


2. Apa Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik ?
3. Bagaimana Kompetensi Yang Dikembangkan ?
4. Bagaimana Strategi Pembelajarannya ?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah dan Landasan Filosofis Matematika Realistik

Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics


Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau
kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna
bagi pelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan
Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada
sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977)
tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan
dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain
memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal
menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran
matematika harus memberikan kesempatan kepada pelajar untuk “dibimbing”
dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya. Artinya dalam
pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan
dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada
kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968).

Kemudian Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide


tersebut dalam 2 tipe matematisasi dalam konteks pendidikan,
yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa
diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan
memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.Matematisasi vertikal di
pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya
menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan
strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi

3
horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan
matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk
matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya
(Freudenthal, 1991). Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang
berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan
dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini
ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi
tidak selamanya harus melalui cara itu.

B. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik.

Karena PMRI merupakan adaptasi dari RME maka prinsip PMRI sama
dengan prinsip RME tetapi dalam beberapa hal berbeda dengan RME karena
konteks, budaya, sistem sosial dan alamnya berbeda. Gravemeijer (1994)
merumuskan tiga prinsip RME yaitu:

a) Reinvensi Terbimbing dan Matematisasi Berkelanjutan (Guided


Reinvention and Progressive Mathematization),
Peserta didik harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang
sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran
dimulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya
melalui aktifitas siswa diharapkan menemukan “kembali” sifat, definisi,
teorema atau prosedur-prosedur. Masalah kontekstual dipilih yang
mempunyai berbagai kemungkinan solusi. Perbedaan penyelesaian atau
prosedur peserta didik dalam memecahkan masalah dapat digunakan
sebagai langkah proses pematematikaan baik horisontal maupun vertikal.
Pada prinsip ini siswa diberikan kesempatan untuk menunjukkan
kemampuan berpikir kreatifnya untuk memecahkan masalah, sehingga
menghasilkan jawaban maupun cara atau strategi yang berbeda (divergen)
dan “baru” secara fasih dan fleksibel.

4
b) Fenomenologi Didaktis (Didactical Phenomenology)

Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika disajikan


atas dua pertimbangan, yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam
pengajaran dan sebagai titik tolak dalam proses pematematikaan. Tujuan
penyelidikan fenomena-fenomena tersebut adalah untuk menemukan
situasi-situasi masalah khusus yang dapat digeneralisasikan dan dapat
digunakan sebagai dasar pematematikaan vertikal. Pada prinsip ini
memberikan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan penalaran
(reasoning) dan kemampuan akademiknya untuk mencapai generalisasi
konsep matematika

c) Dari Informal Ke Formal

Sedangkan Van Den Heuvel-Panhuizen (1996) merumuskannya


sebagai berikut:

a. Prinsip Aktivitas, yaitu bahwa matematika adalah aktivitas manusia. Si


pelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran
matematika. Si pelajar bukan insan yang pasif menerima apa yang
disampaikan oleh guru, tetapi aktif baik secara fisik, teristimewa
secara mental mengolah dan menganalisis informasi, mengkonstruksi
pengetahuan matematika.
b. Prinsip Realitas, yaitu pembelajaran dimulai dengan masalah-masalah
yang realistic bagi siswa, yaitu dapat dibayangkan oleh siswa. Masalah
yang realistik lebih menarik bagi siswa dari masalah-masalah
matematis formal tanpa makna. Jika pembelajaran dimulai dengan
masalah yang bermakna bagi mereka, siswa akan tertarik untuk belajar.
Siswa kemudian dibimbing ke masalah-masalah matematis formal.
c. Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematia siswa melewati
berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi
suatu masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui
skematisasi memperoleh insight tentang hal-hal yang mendasar sampai

5
mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.
Model bertindak sebagai jembatan antara yang informal dan yang
formal. Model yang semula merupakan model suatu situasi berubah
melalui abtraksi dan generalisasi menjadi model untuk semua masalah
lain yang ekuivalen
d. Prinsip Jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika
jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang
terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat
hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik. Konsep matematika
adalah relasi-relasi. Secara psikologis, hal-hal yang berkaitan akan lebih
mudah dipahami dan dipanggil kembali dari ingatan jangka panjang
daripada hal-hal yang terpisah tanpa kaitan satu sama lain.
e. Prinsip Interaksi, yaitu matematika dipandang sebagi aktifitas sosial.
Kepada siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan
strateginya menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk
ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan
strateginya menemukan hal itu serta menanggapinya. Melalui diskusi,
pemahaman siswa tentang suatu masalah atau konsep menjadi lebih
mendalam dan siswa terdorong untuk melakukan refleksi yang
memungkinkan dia menemukan insight untuk memperbaiki strateginya
atau menemukan solusi suatu masalah.
f. Prinsip Bimbingan, yaitu siswa perlu diberikan kesempatan untuk
menemukan kembali (re-invent) pengetahuan matematika
‘terbimbing’. Guru menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan
siswa mengkonstruk pengetahuan matematika mereka.

Karakteristik PMRI:

1) Murid Aktif, Guru Aktif ( Matematika Sebagai Aktivitas Manusia).

Aktif di sini berarti aktif berbuat (kegiatan tubuh) dan aktif berpikir
(kegiatan mental). Jadi konsep-konsep matematika ditemukan lewat sinergi

6
antara pikiran (fungsi otak abstrak) dan tubuh (jasmani, konkrit atau real).
Indera kita menerima informasi (dari lingkungan: luar diri atau dalam diri
kita sendiri), diteruskan ke otak, di sana diolah (refleksi) dan disimpan
dalam memori jangka panjang kita (internalisasi), pada suatu saat di ambil
lagi (dibawa ke ingatan jangka pendek, di recall) untuk diolah bersama
informasi baru yang masuk (transformasi), lalu disimpan lagi (retained)
dalam bentuk baru (retrukturisasi)

2) Pembelajaran Sedapat Mungkin Dimulai dengan Menyajikan Masalah


Kontekstual/ Realistik.

Siswa akan memiliki motivasi untuk mempelajari matematika bila dia


melihat dengan jelas bahwa matematika bermakna atau melihat manfaat
matematika bagi dirinya (dapat memenuhi kebutuhannya sekarang dan
kelak). Salah satu manfaat itu ialah dapat memecahkan masalah yang
dihadapi (khususnya masalah dalam kehidupan sehari-hari). Bermakna
dapat juga berarti dia melihat hubungan antara informasi baru yang dia
terima dengan pengetahuan/pengalaman yang sudah dia miliki. Jadi
masalah kontekstual atau realistic adalah masalah yang berkaitan dengan
situasi dunia nyata (real) atau dapat dibayangkan oleh siswa.

3) Guru Memberi Kesempatan Pada Siswa Menyelesaikan Masalah


dengan Cara Sendiri.

Tidak hanya satu cara menyelesaikan masalah. Ada banyak cara, itu
sangat tergantung pada struktur kognitif siswa (pengalamannya). Guru tidak
perlu mengajari siswa bagaimana cara menyelesaikan masalah. Mereka
harus berlatih menemukan cara sendiri untuk menyelesaikannya. Soal yang
diberikan pada siswa hendaknya tidak jauh dari skema yang sudah mereka
miliki dalam pikirannya. Dalam keadaan tertentu guru dapat membantu
siswa dengan memberikan sedikit informasi sebagai petunjuk arah yang
dapat dipilih siswa untuk dilalui. Itu dapat dilakukan dengan bertanya atau
memberi komentar. Itupun sedapat mungkin dilakukan jika semua siswa

7
tidak mempunyai ide bagaimana menyelesaikan masalah. Jika satu siswa
mempunyai ide, hendaklah guru mendorong siswa tadi mensharingkan
idenya kepada teman-temannya (interaksi). Soal-soal yang diberikan
kepada siswa berkaitan dengan dunia real atau bisa dibayangkan siswa,
merupakan soal terbuka atau soal yang cara menyelesaikannya tidak
tunggal.

4) Guru Menciptakan Suasana Pembelajaran Yang Menyenangkan.

Menurut hasil penelitian modern dalam bidang psikologi dan


neuroscience, bukan hanya tubuh kita yang mengikuti perintah dari otak
kita, tetapi otak kita juga akan bekerja sesuai keinginan/kemauan kita
sendiri. Itu berarti, otak kita dapat juga diperintah oleh kemauan kita.
Jadi, kemampuan manusia tidak hanya ditentukan oleh IQ nya tetapi juga
oleh kemauannya (sikap, motivasi, ketekunan). Orang yang selalu
menganggap dirinya bodoh atau merasa tidak bisa melakukan sesuatu
memang akan menjadi bodoh atau tidak bisa melakukan sesuatu,
sebaliknya orang yang mengatakan kepada dirinya bahwa dia bisa maka dia
akan bisa, artinya otaknya akan berusaha bekerja sesuai keinginan orang
tersebut. Intinya, ialah orang perlu berusaha untuk selalu berpikir
positif. Ada tiga kelompok manusia, yaitu Quitters, Campers dan Climbers.

Kelompok pertama (Quitters) adalah kelompok orang yang mudah


menyerah terhadap tantangan, sangat takut terhadap risiko; kelompok kedua
(Campers) yang mudah merasa puas, jadi berhenti ditengah jalan
(memasang kemah dan menikmati hasil pekerjaannya yang setengah-
setengah jalan itu), sedangkan kelompok ketiga (Climbers, pendaki) adalah
kelompok orang yang pantang menyerah, melakukan sesuatu sampai tuntas,
berani mengambil risiko dan menikmati kebahagiaan sejati atas hasil
yang diperolehnya karena dia mencapai puncak ( Stoltz, 2000). Dengan
perkataan lain, kelompok pertama memiliki sikap dan motivasi yang kurang
kuat, sedangkan kelompok kedua memiliki sikap dan motivasi sedang dan
kelompok ketiga memiliki sikap dan motivasi tinggi. Sikap dan motivasi itu

8
menimbulkan dorongan-dorongan (drive) yang sesuai dalam diri setiap
orang. Ternyata, sikap dan motivasi ini dapat diubah. Inilah salah satu tugas
pendidikan yang sangat penting. Untuk itu, guru perlu belajar
menumbuhkan sikap dan motivasi siswa dalam belajar. Hal itu sukar
ditumbuhkan dengan menghukum. Dengan menciptakan suasana yang
menyenangkan dan menghargai anak-anak sebagai manusia (memanusiakan
manusia) maka perlahan-lahan sikap dan motivasi siswa dapat
dikembangkan dan hal ini akan memberikan dampak meningkatkan prestasi
belajar mereka. Kami menyebut pendekatan ini pendekatan SANI (santun,
terbuka dan komunikatif), yang pada dasarnya mempraktekkan
“memanusiakan manusia”. Cara-cara lain untuk menciptakan kondisi yang
menyenangkan perlu dipikirkan guru. Belajar sambil bermain, belajar
dengan duduk di lantai, belajar dalam kelompok, belajar di luar kelas atau
di luar sekolah, membuat ruangan menarik, dan sebagainya adalah beberapa
cara lain untuk membuat suasana belajar yang menyenangkan.

5) Siswa Dapat Menyelesaikan Masalah Dalam Kelompok (Kecil Atau


Besar).

Belajar dengan bekerja sama (sinergi) lebih efektif dari pada belajar
secara individual. Memang harus diakui bahwa ada banyak tipe belajar: ada
yang lebih senang belajar individual, ada yang lebih senang belajar dalam
kelompok; ada yang cenderung visual, ada yang auditif, ada yang kinestetik
(enaktif); Saling tukar informasi penting untuk memahami sesuatu.
Informasi yang bertentangan pun (konflik kognitif) dengan yang dimiliki
seseroang dapat membuat pemahaman orang itu terhadap suatu masalah
menjadi lebih baik. Informasi yang baru dapat menyebabkan infrormasi
lama ditransformasi (diperkuat/diperbaiki atau diperlemah/diperburuk atau
dirubah bentuk atau polanya). Tugas guru membantu siswa agar informasi
baru dapat memperkuat atau memperbaiki pengetahuan seseorang. Maka
interaksi dan negosiasi perlu sekali dalam pembelajaran matematika. Selain
itu interaksi dan negosiasi antara siswa dengan siswa atau siswa dengan guru

9
merupakan cara mendapatkan pengetahuan yang baik dan efektif. Siswa
lebih terbuka dan lebih berani berdiskusi dengan sesama dari pada dengan
orang yang lebih dewasa dari mereka.

Maka tugas guru dalam rangka menciptakan kondisi belajar yang


memberi pengalaman belajar yang baik untuk siswa harus kreatif mengatur
kelas yang diajarnya sehingga interaksi dan negosiasi antara siswa dan
siswa, antara siswa dan guru dapat terjadi. Ini memerlukan kesabaran,
kemampuan menguasai emosi, dan keyakinan diri. Salah satu bentuk
interaksi ialah, siswa-siswa diminta menceritakan pengalamannya
dihadapan kawan-kawannya di kelas atau siswa-siswa menjelaskan cara
mereka menyelesaikan masalah. Untuk itu guru perlu melakukan
observasi/pengamatan atau pendekatan pada siswa untuk mengetahui
strategi atau cara-cara siswa menyelesaikan masalah. Siswa-siswa yang
menggunakan strategi yang berbeda dipilih untuk maju menjelaskan ide
mereka kepada kawan-kawannya. Siswa memerlukan waktu untuk
melakukan refleksi. Jadi, guru perlu memberi waktu pada dan mendorong
siswa melakukannya. Kemampuan mendengarkan orang, berbicara dengan
orang lain secara empatik tidak muncul dengan sendirinya tetapi perlu
dilatih dan dikembangkan. Diharapkan guru mampu melakukan hal ini sejak
dini sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Guru jangan
bersikap a priori. Guru perlu memupuk sikap bahwa semua orang
(khususnya anak-anak) pada dasarnya baik

6) Pembelajaran Tidak Selalu Di Kelas (Bisa Di Luar Kelas, Duduk Di


Lantai, Pergi Ke Luar Sekolah Untuk Mengamati Atau
Mengumpulkan Data).

Rasa bosan mengurangi ketertarikan untuk mendengarkan atau


berbuat sesuatu, termasuk untuk berpikir. Orang memerlukan variasi untuk
merangsang organ-organ tubuh melakukan fungsinya dengan baik. Variasi
ini juga dapat membuat suasana yang menyenangkan dalam belajar.
Susunan tempat duduk yang sama terus menerus, suasana ruang yang sama

10
terus menerus, cara belajar di kelas yang sama terus menerus dan
penampilan guru yang sama terus menerus menimbulkan rasa bosan pada
siswa. Oleh karena itu guru perlu berpikir untuk selalu melakukan variasi
pembelajaran: variasi susunan tempat duduk, variasi dekorasi kelas, variasi
penampilan guru, variasi metode pembelajaran, dsb.nya. Ini tidak berarti
bahwa setiap jam pertemuan harus berbeda situasinya. Perlu ada
perencanaan yang dilakukan oleh guru, kalau perlu dengan meminta usul
dan saran dari siswa. Guru perlu menanamkan dalam diri sendiri sikap
positip terhadap perubahan, terhadap variasi. Mulailah dengan melatih diri
Anda untuk berkata (dalam hati) ‘’inilah saatnya saya harus berubah” dan
lakukanlah. Mengajar adalah belajar. Kita harus terus menerus belajar dari
cara mengajar kita. Jangan pernah bersikap “sudah baik tak perlu diperbaiki
lagi”, tetapi bersikaplah ”sudah baik tetapi masih bisa ditingkatkan”.

7) Guru Mendorong Terjadinya Interaksi dan Negosiasi, Baik Antara


Siswa dan Siswa, Juga Antara Siswa dan Guru.

Salah satu ciri penting PMRI ialah interaksi dan negosiasi. Siswa
perlu belajar untuk mengemukakan idenya kepada orang lain (kawan-
kawannya atau gurunya), supaya mendapat masukan berupa informasi yang
melalui refleksi dapat dipakai memperbaiki atau meningkatkan kualitas
pemahamannya. Untuk itu perlu diciptakan suasana yang mendukung.
Misalnya, jangan menghukum siswa jika membuat kesalahan dalam
menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah, jangan mentertawakan,
tetapi menghargai pendapatnya. Berbagai model pembelajaran perlu
diciptakan guru (misalnya belajar dalam kelompok, diskusi kelas,
menceritakan pengalaman, menjelaskan caranya menyelesaikan
masalah). Murid diberi tugas atau proyek (kelompok atau individu),
penyelesaiannya dipamerkan atau didiskusikan dalam ruang kelas.

11
8) Siswa Bebas Memilih Modus Representasi Yang Sesuai Dengan
Struktur Kognitifnya Sewaktu Menyelesaikan Suatu Masalah
(Menggunakan Model).

Pemahaman siswa dapat diamati dari kemampuannya menggunakan


berbagai modus reperesentasi (enaktif, ikonik atau simbolik) untuk
membantunya menyelesaikan suatu masalah. Dalam pembelajaran
matematika di SD hendaknya siswa tidak cepat-cepat dibawa ke level
formal, tetapi diberi banyak waktu bermain atau berbuat dengan
menggunakan benda-benda konkrit, manipulatif atau model-model.

9) Guru Bertindak Sebagai Fasilitator (Tutwuri Handayani).

Dalam pembelajaran matematika, guru hendaknya tidak mengajari


siswa atau mengantarkannya ke tujuan, tetapi memfasilitasi siswa dalam
belajar. Guru dapat membimbing siswa jika mereka melakukan kesalahan
atau tidak mempunyai ide dengan memberi motivasi atau sedikit arahan agar
mereka dapat melanjutkan bekerja mencari strateginya menyelesaikan
masalah. Pembelajaran hendaknya dimulai dengan menyodorkan masalah
kontekstual atau realistic yang tidak jauh dari skema kognitif siswa. Siswa
diberi waktu menyelesaikannya dengan cara masingmasing, kemudian guru
member siswa waktu menjelaskan strateginya kepada kawan-kawannya dan
Secara gradual membimbing siswa mencapai tujuan pembelajaran.

10) Kalau Siswa Membuat Kesalahan Dalam Menyelesaikan Masalah


Jangan Dimarahi Tetapi Dibantu Melalui Pertanyaan-Pertanyaan Dan
Usaha Mereka Hendaknya Dihargai.

Hukuman hanya menimbulkan efek negatif dalam diri siswa, tetapi


motivasi, khususnya motivasi internal dan sikap siswa yang positif dapat
membantu siswa belajar efektif. Perasaan senang dalam melakukan sesuatu
membuat otak bekerja optimal untuk memenuhi keinginan sipebelajar.
Perasaan senang jelas tidak dapat dikembangkan lewat ancaman atau
hukuman, tetapi dapat lewat sikap empatik, penghargaan atau pujian.

12
Mendidik anak bersikap santun adalah dengan memperlakukannya secara
santun, mendidik anak bersikap terbuka adalah dengan menunjukkan
kepadanya sikap keterbukaan dan mengajak anak berkomunikasi dengan
cara yang komunikatif atau dengan bahasa yang dapat dimengertinya.

C. Kompetensi yang dikembangkan

Kompetensi yang dimiliki pelajar melalui matematika realistik, selain


dari kompetensi disiplin ilmu, juga kompetensi memproduksi, merefleksikan
dan berinteraksi. Hal ini sesuai dengan tiga pilar pendidikan matematika
yaitu refleksi, konstruksi dan narasi. Melalui bidang ilmunya kompetensi yang
dibangun pembelajar matematika realistik adalah berpikir formal, sedangkan
melalui proses belajarnya kompetensi yang dicapai adalah memproduksi,
merefleksi dan berinteraksi. Melalui pemecahan masalah dalam konteks
kehidupan sehari-hari pebelajar diberi kesempatan untuk memproduksi sendiri
pemahaman dan perkakas matematisnya. Selanjutnya melalui presentasi
temuannya di antara pelajar dalam dan antar kelompok, semua pelajar dapat
berbagi pengalaman. Setiap orang yang berdiskusi dalam kelompok tersebut
dapat merefleksikan temuannya sendiri. Sekaligus dalam diskusi juga
dikembangkan kemampuan berinteraksi di antara sesama pelajar, sehingga
kemampuan-kemampuan sosial dapat dikembangkan.

D. Strategi Pembelajaran

1. Strategi Umum

Sesuai dengan sifat matematika realistik yang berbasis masalah nyata,


maka strategi umum pembelajaran meliputi pemberian masalah untuk
dipecahkan pelajar, pemberian kesempatan kepada pelajar untuk
mengkonstruksi sendiri pemecahan masalah, dan presentasi hasil

13
pemecahan masalah yang disusul dengan diskusi. Sebagai contoh masalah:
berapa bus terdapat dalam terminal dan setiap saat masuk dan keluar bila
ada sejumlah data sebagai berikut:

Jam Ke Masuk Keluar

1 15 7

2 9 1

3 8 0

4 13 15

5 1 1

6 2 0

7 9

8 10

Konteks bus ini merupakan contoh dalam kehidupan sehari-hari dapat


berkembang menuju tahap yang lebih umum dan formal. Mula-mula suatu
ilustrasi digunakan untuk menggambarkan perubahan pada tempat
pemberhentian bus (terminal). Kemudian konteks bus dapat menjadi
“model” untuk pemahaman segala macam kalimat bilangan, sehingga
pelajar dapat mencapai makna dibalik konteks bus tersebut. Mereka
diharapkan dapat pula menggunakan model tersebut untuk menelusuri
penalaran sebelumnya. Perlunya sampai pada “model” yang berakar pada
situasi nyata maupun yang cukup fleksibel bermanfaat dalam kegiatan
matematis pada tahap-tahap yang lebih tinggi. Artinya “model” dapat
memberikan pijakan selama proses matematisasi vertikal tanpa
menghalangi jalan pemikiran balik kepada sumber semula.

14
Bertolak dari pandangan itu maka konstruksi pemecahan masalah
dapat melalui langkah-langkah berikut:

1. Pelajar menggunakan butiran kelereng yang diumpamakan sebagai bus


yang masuk-keluar terminal dan satu kotak sebagai terminalnya
2. Pelajar menggambar sketsa terminal dan bus yang keluar-masuk setiap
saat
3. Berdasarkan data 4 jam pertama pelajar dapat mengisi kotak kosong pada
jam ke 5, 6, 7, dan 8.
4. Berdasarkan jawaban yang diisikannya pada kotak kosong yang
menunjukkan ke 4 waktu tersebut, diharapkan pelajar dapat
mengkonstruksi pemahamannya tentang perjumlahan dan pengurangan,
sehingga dapat menyimpulkan jumlah bus yang selalu terdapat dalam
terminal setiap jam. Pemecahan masalah ini dapat dikerjakan secara
individual dulu untuk beberapa saat, kemudian dilakukan secara
berkelompok.

Pada proses pemecahan masalah ini prinsip-prinsip manakah dari


matematika realistik yang diterapkan? Hasil konstruksi pemecahan
masalah yang telah dilakukan dalam kelompok dipresentasikan oleh
perwakilan kelompok, agar mendapat kesempatan menjelaskan
temuannya kepada kelompok lain. Selanjutnya dalam diskusi antar
kelompok setiap pelajar dapat melakukan refleksi terhadap temuannya
masing-masing berdasarkan temuan orang lain, sehingga terjadi
rekonstruksi ide menjadi lebih mendalam atau meluas. Misalnya akan
muncul pertanyaan-pertanyaan: apakah perhitungan tersebut masih
berlaku bila bus diganti dengan benda lain? Atau kejadian lain? Seberapa
jauh kejadian tersebut dapat diubah? Jadi seberapa umum perhitungan
tersebut dapat diterapkan? Proses pembelajaran ini menunjukkan
terjadinya matematisasi horisontal. Biasanya proses pembelajaran ini
sangat efektif untuk pebelajar awal matematika atau metematika untuk
sekolah dasar.

15
2. Metode

Dalam pembelajaran matematika realistik metode yang terutama


digunakan adalah pemecahan masalah, yang diikuti dengan kerja kelompok,
diskusi, dan presentasi.

3. Media

Untuk kelas-kelas pemula biasanya digunakan benda-benda langsung,


seperti manik-manik, kelereng, mobil-mobilan, batang korek api dan masih
banyak contoh lain. Untuk kelas-kelas lanjutan digunakan media yang lebih
formal seperti bagan, garis bilangan dan simbol-simbol lainnya.

4. Evaluasi

Evaluasi yang digunakan juga disesuaikan dengan tingkat berpikir


pelajar. Suatu contoh yang dapat menunjukkan tingkat berpikir pelajar
secara longitudinal adalah “model garis bilangan”. Misalnya untuk
mengevaluasi kemampuan pelajar menjumlahkan 36 dan 19 dapat dipilih
beberapa cara berdasarkan kemajuan bertahap tingkat berpikir pelajar dari
yang rendah menuju tahap yang lebih tinggi dapat dilakukan:

1. Menggunakan butiran manik-manik berwarna misalnya 36 butir putih


dan 19 butir hitam dirangkaikan menjadi kalung. Pelajar yang masih
dalam tahap berpikir kongkret diberi kesempatan menghitung jumlah
seluruh manik-manik tersebut.

2. Untuk pelajar yang telah mampu berpikir pada taraf yang lebih tinggi,
digunakan garis bilangan yang kosong untuk melakukan penambahan
dan pengurangan, sebagai berikut:

3. Pada taraf berpikir yang lebih tinggi lagi, digunakan garis bilangan
berganda untuk memecahkan masalah perbandingan sebagai berikut:

Modifikasi lain terhadap garis bilangan dapat digunakan untuk


membekali pengerjaan pembagian dan persentase sebagai perluasan dari

16
garis bilangan dibuat gambar empat persegi panjang yang dibagi menjadi 2
bagian dengan luas area yang sama dan ditandai dengan bilangan yang
menyatakan luas tiap bagian tersebut. Di bagian bawah tiap bilangan
dicantumkan persentase luasnya. Selanjutnya pelajar ditugaskan untuk
menaksir berapa persen luas yang ditunjukkan pada tanda yang diberikan
dan digambarkan sebagai berikut: Dengan demikian maka bentuk evaluasi
dapat disusun sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai melalui
pembelajaran berdasarkan tahap pencapaian tingkat berpikir yang tepat
untuk tingkat kelas pebelajar. Evaluasi perlu dilakukan bukan saja melalui
tes untuk mengukur hasil pembelajaran, melainkan dilakukan pula selama
proses pembelajaran. Hal ini dilakukan terhadap aktivitas pebelajar
berinteraksi selama proses pemecahan masalah, juga terhadap presentasi
yang dilakukan pelajar dalam memaparkan temuan pemecahan masalahnya.
Selama diskusi baik dalam rangka pemecahan masalah, maupun tanggapan
pada presentasi, pelajar juga dievaluasi kemampuannya melakukan refleksi
hal ini sangat penting.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) adalah adaptasi dari


RME dalam Konteks Indonesia: Budaya, Alam, Sistem Sosial, dll. PMRI bukan
suatu proyek tetapi suatu gerakan. PMRI mengembangkan suatu teori pembelajaran
matematika yang santun, terbuka dan komunikatif. RME adalah teori pembelajaran
matematika yang dikembangkan di Belanda sejak sekitar 35- 40 tahun yang lalu
sampai sekarang. RME singkatan dari Realistic Mathematics Education. RME
diadaptasisi di banyak negara: AS, Afrika Selatan, Beberapa Negara Eropa, Asia
dan Amerika Latin.

Saran

Untuk meningkatkan prestasi belajar siswa perlu dikembangkan pendekatan


pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa, mengkondisikan siswa sehingga
dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan menggunakan model-
model yang dikembangkan sendiri oleh siswa. Salah satu pendekatan
yang digunakan adalah PMRI. Namun demikian dalam implementasinya di
sekolah tidaklah mudah, sehingga perlu kerja keras para guru dan siswa.
Keberhasilan implementasi PMRI tergantung pada kemampuan guru untuk
membuat suatu iklim dimana siswa mau mencoba berpikir dengan cara baru
dan mengkomunikasikannya dengan orang lain. Selain itu dukungan kepala
sekolah juga sangat dibutuhkan untuk kesuksessan implementasi PMRI di sekolah.
Oleh karena itu kerjasama yang baik antara kepala sekolah, guru dan siswa
serta komponen sekolah yang lain akan sangat membantu kelancaran
impelementasi PMRI di sekolah.

18
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Standar Kompetensi SMP


dan MTs. Jakarta : Depdiknas.
Marpaung, Y. 2006. Sintaks Pembelajaran dan Soal PMRI. (Penggalan makalah
yang disampaikan pada seminar dan lokakarya pembelajaran matematika).
Yogyakarta : PPPG Matematika.
Supinah. 2007. Pembelajaran Matematika dengan Model PMRI. Yogyakarta:
PPPG Matematika.
Suryanto & Sugiman. 2003. Pembelajaran Matematika Realistik (Disampaikan
pada seminar)

iii

Anda mungkin juga menyukai