Disusun Oleh :
NIM : 1173311049
2019
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Maha Esa dengan rahmat dan karunianya,
penulis dapat menyelesaikan tugas Critical Book Report yang membahas tentang “Pendidikan
Matematika Realistik”. Sebagai bahan pembelajaran tambahan dengan harapan dapat diterima
dan di pahami secara bersama.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu dosen yang membimbing mata
kuliah ini dan memberi kesempatan untuk memaparkan hasil pemikiran (kritikan) penulis.
Critical Book Report ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Critical Book Report ini.
Akhirnya penulis dengan kerendahan hati meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam
penulisan atau penguraian critical book report dengan harapan dapat di terima oleh bapak/teman-
teman sekalian dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam proses pembelajaran.
PENULIS
BAB I
INDENTITAS BUKU
6. ISBN : 978-979-756-797-2
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU
Empat macam pandangan tentang peran matematika, menurut Adams dan Hamm:
1. Matematika sebagai suatu cara untuk berpikir;
Pandangan ini berawal dari bagaimana karakter logis dan sistematis dari matematika
berperan dalam proses mengorganisasi gagasan, menganalisis informasi, dan menarik
kesimpulan antardata.
2. Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan (panttern and
relationship);
Dalam mempelajari matematika, siswa perlu menghubungkan suatu konsep matematika
dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki.
3. Matematika sebagai suatu alat (mathematics as a tool);
4. Matematika sebagai bahasa atau alat untuk berkomunikasi.
Matematika merupakan bahasa yang paling universal karena simbol matematika
memiliki makna yang sama untuk berbagai istilah dari bahasa yang berbeda.
Empat macam tujuan pendidikan matematika dilihat dari posisi matematika dalam lingkungan
sosial, yaitu:
1. Tujuan praktis (parctical goal);
Berkaitan dengan pengembangan kemampuan siswa untuk menggunakan matematika
untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.
2. Tujuan kemasyarakatan (Civic goal);
Berorientasi pada kemampuan siswa untuk berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam
hubungan kemasyarakatan ini ditunjukkan bahwa tujuan pendidikan matematika tidak
hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga aspek afektif siswa
(kecerdasan intrapersonal).
Adapun tujuan pendidikan matematika dilihat dari posisi matematika dalam pembelajaran,
yaitu:
1. Matematika : antara pelatihan dan pendidikan
Menurut Robert H. Essenhigh (2000), kata "dilatih" menekankan pada "know how"
yang berarti belajar untuk mengetahui bagaimana melakukan suatu hal, sedangkan pada
sisi lain kata "dididik" menekankan pada "know why" yang berkaitan dengan usaha untuk
mengetahui kenapa suatu hal ada ataupun bisa terjadi. Pada beberapa konteks, misal
teknik, mungkin antara "dilatih" dan "dididik" tidak bersifat hirarkis maupun dituntut
memiliki keterikatan satu sama lain. Hal ini yang berbeda terjadi pada pembelajaran
matematika karena dalam pembelajaran matematika proses "melatih" dan "mendidik"
merupakan dua hal yang seharusnya kita pada padukan. Dalam pelajaran matematika,
seorang siswa tidak cukup hanya memiliki satu kemampuan untuk menyelesaikan suatu
soal matematika. Tuntutan yang terbatas pada penyelesaian soal matematika cenderung
mengarahkan siswa untuk berpikir prosedural, menggunakan rumus tanpa memahami
makna suatu rumus.
Pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada pemahaman konseptual
daripada penguasan prosedural akan membangun aktivitas dan kreativitas siswa. Siswa
tidak akan terbatas pada suatu prosedur saja ketika mereka dihadapkan pada suatu
permasalahan. Pemahaman tentang konsep di balik suatu masalah itu mampu mendukung
penemuan strategi atau prosedur penyelesaian masalah yang variatif. Menurut Adams dan
Hamm, pengembangan individu yang mampu berpikir kritis dalam menguasai dan
menerapkan pengetahuan merupakan suatu bentuk pendidikan (dalam) berpikir. Oleh
karena itu, pergeseran paradigma melatih menjadi mendidik harus dimulai dengan
mengembangkan kemampuan siswa kita untuk berpikir secara kritis dan logis
(matematis).
2. Kemampuan berpikir matematis sebagai tujuan yang terabaikan
Hal yang lain yang perlu kita cermati dari pernyataan Noyes adalah bahwa dalam
pembelajaran matematika terdapat perbedaan antara “ melakukan matematika” dengan “
berpikir matematis”. Pada penyataan Noyes tersirat bahwa proses latihan lebih cenderung
akan mengarahkan pada matematika sedangkan proses mendidik sebaiknya
diarahakanpada berpikir secara matematis. Untuk memahami perbedaan dari kedua nya
tersebut kita melihat matematika dari sudut pandang yaitu; 1). Posisi matematika, 2).
Aspek matematika, 3). Jenis pengetahuan matematika
Konteks dalam pendidikan matematika realistik bisa dipandang secara sempit maupun
luas. Dalam arti sempit merujuk pada suatu situasi spesifik yang dimaksud. Sebagai ilustrasi
arti sempit konteks adalah seperti dalam kalimat "arti suatu kata keadaan tergantung dari
konteks pembicaraan", sedangkan dalam arti yang luas konteks merujuk pada fenomena
kehidupan sehari-hari, cerita rekaan atau fantasi, atau bisa juga masalah matematika secara
langsung.
Dalam memilih konteks dalam pendidikan materialistik, ada hal penting yang harus
diperhatikan yaitu fungsi konteks tersebut tidak sebagai ilustrasi ataupun sebagai suatu
bentuk aplikasi setelah konsep matematika dipelajari siswa. Konteks dalam pendidikan
matematika realistik ditujukan untuk membangun ataupun menemukan kembali suatu
konsep matematika melalui proses matematisasi. Adapun fungsi dan peran penting dalam
konteks, yaitu: pembentukan konsep (concept forming), pengembangan model (model
forming), penerapan (applicability), dan melatih kemampuan khusus (specific abilities)
dalam suatu situasi terapan.
B. Pengembangan Konteks
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan konteks dalam pembelajaran
suatu konsep matematika, yaitu: konteks menarik perhatian siswa dan mampu
membangkitkan motivasi siswa untuk belajar matematika; penggunaan konteks dalam
pendidikan matematika realistik bukan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep, melainkan
sebagai titik awal pembangunan suatu konsep; konteks tidak melibatkan suatu "emosi";
memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa; serta konteks tidak memihak
gender.
BAB 4 Matematisasi Progresif: Membangun Matematika Melalui Model
Matematisasi bukan sekedar suatu kesatuan proses utuh dalam mencari maupun
membangun matematika yang relevan dari suatu fenomena atau konteks. Dalam pandangan
Freudenthal, yang lebih penting dari matematisasi dalam pembelajaran matematika adalah
sebagai suatu proses peningkatan dan pengembangan ide matematika secara bertahap, yang
disebut level-raising. Suatu aktivitas pada suatu tahap akan menjadi objek analisis pada tahap
selanjutnya; suatu kegiatan operasional (operasional matter) pada suatu level akan berkembang
menjadi bidang kajian (subject matter) pada level yang lebih tinggi. Level-racing berkembang
jika pembelajaran matematika memuat aktivitas yang berkaitan dengan karakter matematika
yaitu:
Generalitas (generality)
Dapat dikembangkan dengan pembelajaran matematika yang menekankan pada analogi,
klasifikasi, dan struktur.
Kepastian (certainty)
Berkaitan dengan kegiatan refleksi (reflection), justifikasi (justification), dan
pembuktian (proving).
Ketepatan (exactness)
Berkaitan dengan pemodelan (modelling), simbolisasi (symbolizing), dan pendefinisian
(defining)
Ringkas (brevity)
Matematika kemeja diringkas melalui simbolisasi (symbolizing), dan skematisasi
(schematizing).
B. Pengembangan Model
Beberapa alasan pentingnya pengembangan kemampuan pemodelan dalam pembelajaran
matematika, yaitu:
Penggunaan model atau pemodelan juga merupakan salah satu aspek yang diperhatikan
dalam pendidikan matematika realistik. Karakteristik pendidikan matematika realistik yang ke
dua menempatkan penggunaan model untuk matematika progresif sebagai hal yang penting
dalam penemuan dan pembangunan konsep matematika oleh siswa. Ada empat level dalam
pengembangan model yaitu, level situasional, level referensial, level general, dan level formal.
Kegiatan matematika cenderung merupakan aktivitas berpikir, oleh karena itu penggunaan
kegiatan otak atau mind on activity diperlukan untuk mengembangkan kreativitas siswa dalam
matematika. Salah satu mind on activity yang bisa digunakan untuk mengembangkan kreativitas
siswa adalah melalui kegiatan pemecahan masalah (problem solving). Pemecahan masalah
proses interpretasi situasi melalui pemodelan matematika serta perlu menghubungkan berbagai
konsep matematika. Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu keterampilan tingkat tinggi
(High-Level skill) yang merupakan jantung dari matematika.
Adapun dua jenis pemecahan masalah yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin.
Masalah rutin adalah masalah yang cenderung melibatkan hafalan serta pemahaman algoritma
dan prosedur sehingga masalah rutin sering dianggap sebagai soal level rendah. Masalah rutin ini
biasanya merujuk pada soal satu atau dua tahap (one or two-step problem) yang hanya
membutuhkan proses reproduksi dan menerapkan and1 konsep dan prosedur yang sudah pasti.
Sedangkan, masalah tidak rutin dikategorikan sebagai soal level tinggi karena membutuhkan
penguasaan ide konseptual yang rumit dan tidak menitikberatkan pada algoritma. Pada masalah
tidak rutin pemikiran kreatif dan produktif serta cara penyelesaian yang kompleks.
Tujuan dari pendekatan yang open-ended adalah untuk mengembangkan aktivitas kreatif
dan kemampuan berpikir matematis secara simultan Ketika suatu soal diberikan dalam bentuk
Open ended maka Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan solusi
dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika yang mereka miliki.
Keberhasilan pendekatan Open ended dalam pembelajaran sangat dipengaruhi oleh pemilihan
soal atau masalah yang digunakan. Soal Open-ended tidak harus berupa soal matematika yang
rumit karena yang diutamakan dari soal Open ended adalah peluang yang diberikan kepada siswa
untuk melakukan eksplorasi masalah.
Pengembangan interaksi sosial di antara siswa dalam proses pembelajaran sejalan dengan
program Pemerintah Republik Indonesia, melalui kementerian Pendidikan Nasional, yang
menempatkan pembangunan karakter sebagai salah satu tujuan sekaligus bagian dari pendidikan
kita. Karakter didefinisikan sebagai "watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak". Karakter dapat
dikembangkan melalui interaksi sosial yang berlandasan kebajikan yang terdiri atas sejumlah
nilai, moral, dan norma.
A. Gesalt Matematika
Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai
kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran mansusia
menginterprestasikan semua informasi. Informasi yang masuk dalam pikiran selalu dipandang
memiliki prinsip pengorganisasian tertentu, artinya pengenalan terhadap suatu sensasi tidak
secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan
pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau
masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks
yang baru dan lebih sederhana lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian akan
terbentuk suatu pengetahuan baru.
Misal, seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang
pertama yaitu 1 + 2 + 3 +…+ n. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur, maka guru
dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku
bilangan asli yang pertama 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan
mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 + 4 = 6 + 5. Sehingga 1+2+3+
…+10 = (10 + 1 ) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 + 5)= 11 + 11 + 11 + 11 + 11 = 5 x 11 = 10/2
x (10 + 1). Akhirnya siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n -1 + 2) + (n
– 2 + 3) + …+ ((n – n + 1) + n) = n (n + 1).
DAFTAR PUSTAKA