Anda di halaman 1dari 14

CRITICAL BOOK REPORT

Pendidikan Matematika Realistik


Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika
(Ariyadi Wijaya)

Disusun Oleh :

Nama : Gusti Arya Mirandanu

NIM : 1173311049

Mata Kuliah : Pendidikan Matematika Kelas Tinggi

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR 2017

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Maha Esa dengan rahmat dan karunianya,
penulis dapat menyelesaikan tugas Critical Book Report yang membahas tentang “Pendidikan
Matematika Realistik”. Sebagai bahan pembelajaran tambahan dengan harapan dapat diterima
dan di pahami secara bersama.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu dosen yang membimbing mata
kuliah ini dan memberi kesempatan untuk memaparkan hasil pemikiran (kritikan) penulis.
Critical Book Report ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan Critical Book Report ini.
Akhirnya penulis dengan kerendahan hati meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam
penulisan atau penguraian critical book report dengan harapan dapat di terima oleh bapak/teman-
teman sekalian dan dapat di jadikan sebagai acuan dalam proses pembelajaran.

Medan, 17 September 2019

PENULIS
BAB I

INDENTITAS BUKU

1. Judul : Pendidikan Matematika Realistik

2. Pengarang/editor : Ariyadi Wijaya

3. Penerbit : Graha Ilmu

4. Kota terbit :Yogyakarta

5. Tahun terbit : 2011

6. ISBN : 978-979-756-797-2
BAB II
RINGKASAN ISI BUKU

BAB 1 Pendidikan Matematika: Di Suatu Persimpangan

Empat macam pandangan tentang peran matematika, menurut Adams dan Hamm:
1. Matematika sebagai suatu cara untuk berpikir;
Pandangan ini berawal dari bagaimana karakter logis dan sistematis dari matematika
berperan dalam proses mengorganisasi gagasan, menganalisis informasi, dan menarik
kesimpulan antardata.
2. Matematika sebagai suatu pemahaman tentang pola dan hubungan (panttern and
relationship);
Dalam mempelajari matematika, siswa perlu menghubungkan suatu konsep matematika
dengan pengetahuan yang sudah mereka miliki.
3. Matematika sebagai suatu alat (mathematics as a tool);
4. Matematika sebagai bahasa atau alat untuk berkomunikasi.
Matematika merupakan bahasa yang paling universal karena simbol matematika
memiliki makna yang sama untuk berbagai istilah dari bahasa yang berbeda.
Empat macam tujuan pendidikan matematika dilihat dari posisi matematika dalam lingkungan
sosial, yaitu:
1. Tujuan praktis (parctical goal);
Berkaitan dengan pengembangan kemampuan siswa untuk menggunakan matematika
untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari.
2. Tujuan kemasyarakatan (Civic goal);
Berorientasi pada kemampuan siswa untuk berpartisipasi secara aktif dan cerdas dalam
hubungan kemasyarakatan ini ditunjukkan bahwa tujuan pendidikan matematika tidak
hanya mengembangkan kemampuan kognitif siswa, tetapi juga aspek afektif siswa
(kecerdasan intrapersonal).

3. Tujuan profesional (professional goal);


Pendidikan matematika harus bisa mempersiapkan siswa untuk terjun ke dunia kerja
dalam arti tujuan pendidikan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan masyarakat secara
umum yang menempatkan pendidikan sebagai alat untuk mencari pekerjaan.
4. Tujuan budaya (cultural goal).
Pendidikan matematika perlu menempatkan matematika sebagai hasil kebudayaan
manusia dan sekaligus sebagai suatu proses untuk mengembangkan suatu kebudayaan.

Adapun tujuan pendidikan matematika dilihat dari posisi matematika dalam pembelajaran,
yaitu:
1. Matematika : antara pelatihan dan pendidikan
Menurut Robert H. Essenhigh (2000), kata "dilatih" menekankan pada "know how"
yang berarti belajar untuk mengetahui bagaimana melakukan suatu hal, sedangkan pada
sisi lain kata "dididik" menekankan pada "know why" yang berkaitan dengan usaha untuk
mengetahui kenapa suatu hal ada ataupun bisa terjadi. Pada beberapa konteks, misal
teknik, mungkin antara "dilatih" dan "dididik" tidak bersifat hirarkis maupun dituntut
memiliki keterikatan satu sama lain. Hal ini yang berbeda terjadi pada pembelajaran
matematika karena dalam pembelajaran matematika proses "melatih" dan "mendidik"
merupakan dua hal yang seharusnya kita pada padukan. Dalam pelajaran matematika,
seorang siswa tidak cukup hanya memiliki satu kemampuan untuk menyelesaikan suatu
soal matematika. Tuntutan yang terbatas pada penyelesaian soal matematika cenderung
mengarahkan siswa untuk berpikir prosedural, menggunakan rumus tanpa memahami
makna suatu rumus.
Pembelajaran matematika yang lebih menekankan pada pemahaman konseptual
daripada penguasan prosedural akan membangun aktivitas dan kreativitas siswa. Siswa
tidak akan terbatas pada suatu prosedur saja ketika mereka dihadapkan pada suatu
permasalahan. Pemahaman tentang konsep di balik suatu masalah itu mampu mendukung
penemuan strategi atau prosedur penyelesaian masalah yang variatif. Menurut Adams dan
Hamm, pengembangan individu yang mampu berpikir kritis dalam menguasai dan
menerapkan pengetahuan merupakan suatu bentuk pendidikan (dalam) berpikir. Oleh
karena itu, pergeseran paradigma melatih menjadi mendidik harus dimulai dengan
mengembangkan kemampuan siswa kita untuk berpikir secara kritis dan logis
(matematis).
2. Kemampuan berpikir matematis sebagai tujuan yang terabaikan
Hal yang lain yang perlu kita cermati dari pernyataan Noyes adalah bahwa dalam
pembelajaran matematika terdapat perbedaan antara “ melakukan matematika” dengan “
berpikir matematis”. Pada penyataan Noyes tersirat bahwa proses latihan lebih cenderung
akan mengarahkan pada matematika sedangkan proses mendidik sebaiknya
diarahakanpada berpikir secara matematis. Untuk memahami perbedaan dari kedua nya
tersebut kita melihat matematika dari sudut pandang yaitu; 1). Posisi matematika, 2).
Aspek matematika, 3). Jenis pengetahuan matematika

BAB 2 Pendidikan Matematika Realistik

A. Mengenal Pendidikan Matematika Realistik

Pendidikan matematika realistik merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran


matematika di Belanda. Kata "realistik" sering disalahartikan sebagai "real-world" yaitu
dunia nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa Pendidikan Matematika realistik adalah
suatu pendekatan pembelajaran matematika yang harus selalu menggunakan masalah sehari-
hari. Penggunaan kata "realistic" sebenarnya berasal dari bahasa Belanda "zich realizeren"
yang berarti "untuk dibayangkan" atau "to Imagine". Penggunaan kata realistik tersebut tidak
sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata, tetapi lebih mengacu pada
pada fokus pendidikan matematika realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan
suatu situasi yang bisa dibayangkan (imaginable) oleh siswa.

Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari pendidikan matematika


realistik. Dalam pendidikan matematika realistik, permasalahan realistik digunakan sebagai
pondasi dalam membangun konsep matematika atau disebut juga sebagai sumber untuk
pembelajaran (a source for learning). Adapun 5 karakteristik Pendidikan Matematika
Realistik yaitu, penggunaan konteks, penggunaan model untuk matematisasi progresif,
pemanfaatan hasil konstruksi siswa, interaktivitas, dan keterkaitan.

B. Benang Merah Pendidikan Matematika Realistik dan Kurikulum Indonesia

Kesamaan karakteristik antara kurikulum Indonesia dengan pendekatan pendidikan


matematika realistik memiliki potensi tidak hanya untuk pengembangan kemampuan
matematika melainkan juga untuk pengembangan kompetensi siswa yang lebih umum yaitu,
pengembangan kreativitas Melalui penggunaan konteks dan kegiatan eksploratif dan
kemampuan berkomunikasi.

BAB 3 Konteks : Langkah Awal Membangun Matematika

A. Konteks sebagai suatu perkenalan

Konteks dalam pendidikan matematika realistik bisa dipandang secara sempit maupun
luas. Dalam arti sempit merujuk pada suatu situasi spesifik yang dimaksud. Sebagai ilustrasi
arti sempit konteks adalah seperti dalam kalimat "arti suatu kata keadaan tergantung dari
konteks pembicaraan", sedangkan dalam arti yang luas konteks merujuk pada fenomena
kehidupan sehari-hari, cerita rekaan atau fantasi, atau bisa juga masalah matematika secara
langsung.

Dalam memilih konteks dalam pendidikan materialistik, ada hal penting yang harus
diperhatikan yaitu fungsi konteks tersebut tidak sebagai ilustrasi ataupun sebagai suatu
bentuk aplikasi setelah konsep matematika dipelajari siswa. Konteks dalam pendidikan
matematika realistik ditujukan untuk membangun ataupun menemukan kembali suatu
konsep matematika melalui proses matematisasi. Adapun fungsi dan peran penting dalam
konteks, yaitu: pembentukan konsep (concept forming), pengembangan model (model
forming), penerapan (applicability), dan melatih kemampuan khusus (specific abilities)
dalam suatu situasi terapan.

B. Pengembangan Konteks

Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengembangkan konteks dalam pembelajaran
suatu konsep matematika, yaitu: konteks menarik perhatian siswa dan mampu
membangkitkan motivasi siswa untuk belajar matematika; penggunaan konteks dalam
pendidikan matematika realistik bukan sebagai bentuk aplikasi suatu konsep, melainkan
sebagai titik awal pembangunan suatu konsep; konteks tidak melibatkan suatu "emosi";
memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa; serta konteks tidak memihak
gender.
BAB 4 Matematisasi Progresif: Membangun Matematika Melalui Model

A. Matematisasi: jembatan menuju (dunia) matematika

Secara bahasa, kata matematisasi berasal dari mathematisation. Kata mathematisation


merupakan kata benda dari kata kerja mathematise yang artinya adalah mematematikakan. Jadi,
arti sederhana dari matematisasi adalah suatu proses untuk matematikakan suatu fenomena.

Matematisasi bukan sekedar suatu kesatuan proses utuh dalam mencari maupun
membangun matematika yang relevan dari suatu fenomena atau konteks. Dalam pandangan
Freudenthal, yang lebih penting dari matematisasi dalam pembelajaran matematika adalah
sebagai suatu proses peningkatan dan pengembangan ide matematika secara bertahap, yang
disebut level-raising. Suatu aktivitas pada suatu tahap akan menjadi objek analisis pada tahap
selanjutnya; suatu kegiatan operasional (operasional matter) pada suatu level akan berkembang
menjadi bidang kajian (subject matter) pada level yang lebih tinggi. Level-racing berkembang
jika pembelajaran matematika memuat aktivitas yang berkaitan dengan karakter matematika
yaitu:

 Generalitas (generality)
Dapat dikembangkan dengan pembelajaran matematika yang menekankan pada analogi,
klasifikasi, dan struktur.
 Kepastian (certainty)
Berkaitan dengan kegiatan refleksi (reflection), justifikasi (justification), dan
pembuktian (proving).
 Ketepatan (exactness)
Berkaitan dengan pemodelan (modelling), simbolisasi (symbolizing), dan pendefinisian
(defining)
 Ringkas (brevity)
Matematika kemeja diringkas melalui simbolisasi (symbolizing), dan skematisasi
(schematizing).

B. Pengembangan Model
Beberapa alasan pentingnya pengembangan kemampuan pemodelan dalam pembelajaran
matematika, yaitu:

1. Pemodelan memiliki peran dalam mengembangkan kepekaan siswa tentang manfaat


matematika sehingga mereka bisa menerapkan konsep matematika dalam kehidupan;
2. Pemodelan merupakan suatu aktivitas yang dapat menjembatani dunia matematika
dengan dunia nyata;
3. Pemodelan membantu siswa memahami dan juga menguasai konsep matematika dengan
lebih mudah;
4. Pemodelan dapat mengembangkan sikap positif siswa terhadap matematika.

Penggunaan model atau pemodelan juga merupakan salah satu aspek yang diperhatikan
dalam pendidikan matematika realistik. Karakteristik pendidikan matematika realistik yang ke
dua menempatkan penggunaan model untuk matematika progresif sebagai hal yang penting
dalam penemuan dan pembangunan konsep matematika oleh siswa. Ada empat level dalam
pengembangan model yaitu, level situasional, level referensial, level general, dan level formal.

BAB 5 Membangun Generasi Kreatif melalui Pendidikan Matematika Realistik

A. Kreativitas: suatu keterampilan yang dapat dipelajari

Kemampuan yang perlu di perhatikan dalam mengembangkan kreativitas siswa melalui


pembelajaran di kelas yaitu:

1. Kemampuan untuk (berpikir) fokus (Focussing Skills);


Berkaitan dengan kemampuan untuk mengidentifikasi konsep, mengenal permasalahan,
dan menetapkan tujuan.
2. Kemampuan mengumpulkan informasi (Information-Gathering Skills);
Setelah suatu konsep kunci ditemukan maka hal yang perlu dilakukan selanjutnya
adalah mengumpulkan informasi yang terkait dengan konsep kunci tersebut.
Kemampuan pengamatan, perumusan pertanyaan, serta klarifikasi melalui inkuiri
merupakan keterampilan pokok yang dibutuhkan dalam pengumpulan informasi.
3. Kemampuan mengorganisasi (Organizing Skills);
Berkaitan dengan penyusunan informasi sehingga mudah dipahami dan bisa
disampaikan secara efektif. Kemampuan pengorganisasian terdiri dari keterampilan
dalam membandingkan, pengkategorian, pengurutan, serta penyajian informasi.
4. Kemampuan menganalisis (Analyzing Skills);
Analisis merupakan inti dari kemampuan berpikir kritis yang melibatkan proses
klasifikasi isi dan pemeriksaan komponen dan hubungan informasi. Kemampuan
mengidentifikasi pola dan hubungan dan menemukan kesalahan merupakan elemen
utama dari analisis.
5. Kemampuan generalisasi;
Mencakup kemampuan untuk menggunakan pengetahuan awal dan mengembangkannya
dengan informasi tambahan. Kemampuan menghubungkan ide-ide baru,
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan, memperkirakan, dan mengelaborasi ide
perlu diperhatikan dalam mengembangkan kemampuan generalisasi. Kemampuan
generalisasi melibatkan pemikiran tingkat tinggi yang mencakup membuat
perbandingan, membangun metamorfosis atau pemisalan, membuat analogi,
menyiapkan penjelasan, dan membuat model abstrak.
6. Keterampilan mengintegrasi;
Mencakup kemampuan meringkas, mengombinasikan informasi, memilih dan memilah
informasi yang tidak dibutuhkan, mengorganisasi informasi secara grafis, dan
mengonstruksi informasi.
7. Keterampilan mengevaluasi
Mencakup kemampuan untuk menetapkan kriteria dan pembuktian atau verifikasi data.

B. Membangun Kreativitas melalui Problem Solving

Kegiatan matematika cenderung merupakan aktivitas berpikir, oleh karena itu penggunaan
kegiatan otak atau mind on activity diperlukan untuk mengembangkan kreativitas siswa dalam
matematika. Salah satu mind on activity yang bisa digunakan untuk mengembangkan kreativitas
siswa adalah melalui kegiatan pemecahan masalah (problem solving). Pemecahan masalah
proses interpretasi situasi melalui pemodelan matematika serta perlu menghubungkan berbagai
konsep matematika. Pemecahan masalah dipandang sebagai suatu keterampilan tingkat tinggi
(High-Level skill) yang merupakan jantung dari matematika.

Adapun dua jenis pemecahan masalah yaitu masalah rutin dan masalah tidak rutin.
Masalah rutin adalah masalah yang cenderung melibatkan hafalan serta pemahaman algoritma
dan prosedur sehingga masalah rutin sering dianggap sebagai soal level rendah. Masalah rutin ini
biasanya merujuk pada soal satu atau dua tahap (one or two-step problem) yang hanya
membutuhkan proses reproduksi dan menerapkan and1 konsep dan prosedur yang sudah pasti.
Sedangkan, masalah tidak rutin dikategorikan sebagai soal level tinggi karena membutuhkan
penguasaan ide konseptual yang rumit dan tidak menitikberatkan pada algoritma. Pada masalah
tidak rutin pemikiran kreatif dan produktif serta cara penyelesaian yang kompleks.

C. Membangun Kreativitas melalui Open-Ended Problem

Tujuan dari pendekatan yang open-ended adalah untuk mengembangkan aktivitas kreatif
dan kemampuan berpikir matematis secara simultan Ketika suatu soal diberikan dalam bentuk
Open ended maka Siswa memiliki kesempatan untuk melakukan eksplorasi kemungkinan solusi
dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan matematika yang mereka miliki.
Keberhasilan pendekatan Open ended dalam pembelajaran sangat dipengaruhi oleh pemilihan
soal atau masalah yang digunakan. Soal Open-ended tidak harus berupa soal matematika yang
rumit karena yang diutamakan dari soal Open ended adalah peluang yang diberikan kepada siswa
untuk melakukan eksplorasi masalah.

BAB 6 Interaktivitas : Antara Matematika dan Pembangunan Karakter

A. Norma Sosiomatematik : Norma dalam belajar matematika

Norma sosiomatematik merupakan suatu aturan eksplisit maupun implisit yang


mempengaruhi partisipasi siswa dalam aktivitas matematika. Norma ini berkaitan dengan
bagaimana siswa menyakini dan memahami pengetahuan matematika, menempatkan diri dalam
suatu interaksi sosial dalam membangun pengetahuan matematika. Ada dua hal yang dapat
dilihat dari norma sosiomatematik, yaitu:

a) Norma sosiomatematik terkait dengan proses pemecahan masalah;


Norma ini berfokus pada ekspektasi bagaimana pemecahan masalah harus dilakukan.
Contohnya yaitu mencoba berbagai macam strategi pemecahan masalah dan verifikasi
hasil penyelesaian.
b) Norma sosiomatematik terkait dengan partisipasi dalam aktivitas bersama untuk
pemecahan masalah.
Berfokus pada bentuk ideal interaksi sosial yang diharapkan dapat mendukung aktivitas
penyelesaian masalah secara produktif.

Sebagai contoh untuk menggambarkan bagaimana norma sosiomatematik berkembang


dalam diskusi tentang pengukuran panjang (topik matematika kelas 2 SD), yaitu pembelajaran
topik pada pengukuran panjang tersebut menggunakan permainan kelereng atau gundu dan
permainan tradisional "Patil lele" sehingga diskusi yang terjadi masih merujuk pada aktivitas
tersebut.

B. Interaksi Sosial dalam Pembelajaran Matematika : Pembentukan Matematikawan


yang Berkarakter

Pengembangan interaksi sosial di antara siswa dalam proses pembelajaran sejalan dengan
program Pemerintah Republik Indonesia, melalui kementerian Pendidikan Nasional, yang
menempatkan pembangunan karakter sebagai salah satu tujuan sekaligus bagian dari pendidikan
kita. Karakter didefinisikan sebagai "watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang
terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak". Karakter dapat
dikembangkan melalui interaksi sosial yang berlandasan kebajikan yang terdiri atas sejumlah
nilai, moral, dan norma.

BAB 7 Jaring Laba-Laba Konsep Matematika

A. Gesalt Matematika

Menurut pandangan penganut psikologi gestalt, persepsi manusia tidak hanya sebagai
kumpulan stimulus yang berpengaruh langsung terhadap pikiran. Pikiran mansusia
menginterprestasikan semua informasi. Informasi yang masuk dalam pikiran selalu dipandang
memiliki prinsip pengorganisasian tertentu, artinya pengenalan terhadap suatu sensasi tidak
secara langsung menghasilkan suatu pengetahuan, tetapi terlebih dahulu menghasilkan
pemahaman terhadap struktur sensasi tersebut. Pemahaman terhadap struktur sensasi atau
masalah itu akan memunculkan pengorganisasian kembali struktur sensasi itu ke dalam konteks
yang baru dan lebih sederhana lebih mudah dipahami atau dipecahkan. Kemudian akan
terbentuk suatu pengetahuan baru.

Misal, seorang guru meminta siswanya untuk menentukan jumlah n suku bilangan asli yang
pertama yaitu 1 + 2 + 3 +…+ n. Untuk mengarahkan siswa pada pengenalan struktur, maka guru
dapat membantunya dengan memberikan masalah yang lebih sederhana yaitu jumlah 10 suku
bilangan asli yang pertama 1 + 2 + 3 + … + 10. Dengan demikian, diharapkan siswa dengan
mudah dapat melihat strukturnya yaitu 10 + 1 = 9 + 2 = 8 + 3 = 7 + 4 = 6 + 5. Sehingga 1+2+3+
…+10 = (10 + 1 ) + (9 + 2) + (8 + 3) + (7 + 4) + (6 + 5)= 11 + 11 + 11 + 11 + 11 = 5 x 11 = 10/2
x (10 + 1). Akhirnya siswa akan menemukan bahwa 1 + 2 + 3 + … + n = (n + 1) + (n -1 + 2) + (n
– 2 + 3) + …+ ((n – n + 1) + n) = n (n + 1).

DAFTAR PUSTAKA

Wijaya, Ariadi. (2011). Pendidikan Matematika Realistik : Suatu Alternatif Pendekatan


Pembelajaran Matematika.Yogyakarta:Graha Ilmu

Anda mungkin juga menyukai