DOSEN PENGAMPUH:
Drs. Abdul Wahab Abdullah, M.Pd
DI SUSUN OLEH:
JURUSAN MATEMATIKA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
i
KATA PENGANTAR
Saya hanturkan Puji dan Syukur Kehadirat Allah Yang Maha Esa, karena atas hidayah
dan rahmat-Nya, berupa kesehatan serta Ilmu Pengetahuan sehingga Makalah Strategi
Pembelajaran Matematika dapat saya wujudkan.
Saya menyadari bahwa makalah ini banyak kekurangannya, oleh karena itu saran dan
kritik yang bersifat konstruktif saya harapkan. Namun, saya berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.
Rizki Mahajani
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………….5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………...8
A. Pendekatan Konstruktivisme…………………………………………………………….8
2.9 Metakognisi…………………………………………………………………………………18
iii
2.12 Orientasi pendekatan open-ended dalam pembelajaran matematika………………………
25
3.1 KESIMPULAN……………………………………………………………………………34
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………35
LAMPIRAN…………………………………………………………………………………..36
iv
v
BAB I
PENDAHULUAN
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat penting, karena matematika
sebagai mata pelajaran yang memungkinkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir
dan merupakan sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Matematika
adalah salah satu bidang studi yang ada pada semua jenjang pendidikan, mulai dari tingkat
sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Bahkan matematika diajarkan di taman
kanak-kanak secara informal. Belajar matematika merupakan suatu syarat untuk melanjutkan
pendidikan kejenjang berikutnya. Dengan belajar matematika kita akan belajar bernalar
secara kritis, kreatif dan aktif. Alasan pentingnya matematika untuk dipelajari karena begitu
banyak kegunaannya. Di bawah ini akan diuraikan beberapa kegunaan matematika yang
praktis menurut Russfendi (2006:2008), yaitu: 1) Dengan belajar matematika kita mampu
berhitung dan mampu melakukan perhitungan-perhitungan yang lainnya 2) Matematika
merupakan prasyarat untuk beberapa mata pelajaran lainnya. 3) Dengan belajar matematika
perhitungan menjadi lebih sederhana dan praktis. 4) Dengan belajar matematika diharapkan
kita mampu menjadi manusia yang berpikir logis, kritis, tekun, bertanggung jawab dan
mampu menyelesaikan persoalan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa metematika itu sangat penting, tetapi banyak yang
beranggapan bahwa matematika itu adalah pelajaran yang sulit untuk diajarkan dan
dipelajari. Wahyudin (2001:2) mengemukakan beberapa alasan tentang sulitnya matematika
untuk dipelajari dan diajarkan yaitu: Matematika merupakan pelajaran yang sangat hierarkis,
karena hampir setiap materi yang diajarkan akan menjadi prasyarat bagi materi yang
selanjutnya, sehingga jika materi terdahulu tidak dipahami, akan sulit untuk memahami
materi berikutnya. Beragam kecepatan siswa dalam memahami materi atau konsep yang
diajarkan oleh guru, misalnya sejumlah siswa dapat memahami yang diajarkan oleh guru
setelah guru menyampaikan materi tersebut, sementara sejumlah siswa yang lainnya baru
memahami materi setelah satu minggu, satu bulan, bahkan mungkin saja sampai keluar
sekolahpun tidak memahaminya.
6
1.2 RUMUSAN MASALAH
A. Pendekatan Konstruktivisme
7
1.3 TUJUAN PENULISAN
9. Mengetahui metakognisi
8
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Konstruktivisme
9
pengalaman dan lingkungan berperan bagi siswa dalam belajar, dan bahwa bahasa
merupakan kunci akusisi pengetahuan.
Dengan berbicara dan berdiskusi dengan teman lain konten lebih cepat dipahami,
tidak terlalu abstrak dan terisolasi. Interaksi aktif siswa dengan siswa lain dalam
merencanakan presentasi sangat positif, mengindikasikan adanya team work dan
10
kerjasama. Siswa merasa nyaman memperoleh klarifikasi dari teman lain saat menemui
materi yang membingungkan.
Hakikat matematika yang merupakan ilmu yang akhirnya bersifat abstrak, bagi
kebanyakan siswa matematika masih merupakan momok. Bagi para guru tidak mudah
untuk memilih strategi, model, pendekatan, metode, teknik pembelajaran yang tepat
sehingga materi matematika mudah dipahami siswa, siswa bisa terampil serta siswa
tertarik untuk mempelajarinya..
11
suatu invetigasi sistematis ihwal nilai suatu tujuan. Termasuk didalam nya penilaian
yakni kumpulan bukti-bukti secara sistemtis untuk membantu menciptakan keputusan
tentang
“assesmen dalam matematika yakni proses penentuan apakah siswa tahu. Merupakan
suatu bab dari acara pengajaran matematika,yaitu pengecekan apakah siswa
memahami,mendapatkan umpan balik dari siswa,kemudian memakai warta ini untuk
membimbing pengembangan pengalaman belajarnya.”
1) Model eksposisi
2) Model behavioristik
3) Model kognitif
12
4) Model interaksional
5) Model transaksional
c) Menilai siswa melalui tes memakai kertas dan pensil tanpa perlu terlihat. Terkait:
Implementasi Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
ü Mengevaluasi
13
Kamii (1990) menambahkan bahwa “ kenyataan anak mengkonstruksi
pengetahuan logika matematikanya sendiri tidak lantas menjadikan bahwa peranan guru
hanya duduk dan tidak mengerjakan apa-apa,sebaliknya peranan guru menjadi tidak
pribadi dan lebih sulit dibandigkan dengan kelas tradisional. Memperhatikan uraian di
atas,maka pembelajaran matematika dengan memakai pendekatan konstruktivis
tujuannya sanggup dirumuskan sebagai berikut:
Masalah adalah hal yang tidak dapat kita hindari, karena kehidupan memang selalu
menawarkan problematika baru yang perlu kita hadapi dan selesaikan. Dikarenakan masalah
hadir untuk diselesaikan, maka munculah istilah yang dinamakan pemecahan masalah atau
problem solving. Pemecahan masalah adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
menyelesaikan suatu permasalahan dengan cara mendefinisikan masalah, menentukan
penyebab utama dari suatu permasalahan, mencari sebuah solusi dan alternatif untuk
pemecahan masalah, dan mengimplementasikan solusi tersebut sampai masalah benar-benar
dapat terselesaikan.
Tentunya, ada begitu banyak contoh pemecahan masalah dalam kehidupan sehari-hari
kita. Ketika kita memiliki permasalahan dengan rekan kerja, kita perlu mencari tahu langkah-
langkah pemecahan masalah apa yang cocok untuk diimplementasikan dalam permasalahan
kita.
Langkah-langkah pemecahan masalah yang tepat akan memberitahu kita tahapan
pemecahan masalah apa yang perlu diambil terlebih dahulu. Ketika kita membiarkan sebuah
permasalahan berlanjut secara berlarut-larut, ini menandakan bahwa kita tidak memiliki
14
keberanian untuk memecahkan masalah dengan baik dan tepat. Malahan, tindakan seperti ini
hanya akan menyusahkan kehidupan kita di masa depan.
Keterampilan untuk memecahkan masalah sangat perlu dimiliki semua orang. Oleh
karena itu, kami menyediakan artikel ini khusus untuk rekan-rekan Career Advice yang ingin
mengetahui dan memahami proses pemecahan masalah secara lebih dalam.
2.6 Cara mengajarkan pemecahan masalah
Agar dapat mengajarkan pemecahan masalah matematika pada jenjang sekolah dasar,
kita butuh untuk mengidentifikasi beberapa hal yang mungkin menjadi penghalang dalam
mengajarkan pemecahan masalah pada peserta didik. Phonapichat, dkk (2014)
mengidentifikasi beberapa hal yang menjadikan peserta didik di sekolah dasar memiliki
kemampuan yang lemah dalam pemecahan masalah. Pertama, peserta didik mengalami
kesulitan dalam memahami kata kunci dalam permasalahan dan tidak mampu
menerjemahkannya ke dalam bahasa matematika. Kedua, peserta didik tidak mampu
mengidentifikasi masalah mana yang harus diselesaikan dalam permasalahan yang diberikan.
Ketiga, ketika peserta didik tidak mampu memahami masalah, mereka cenderung untuk
menebak jawaban tanpa melibatkan proses berfikir. Keempat, peserta didik kurang bersabar
dan tidak suka membaca permasalahan matematika. Kelima, peserta didik tidak suka
membaca permasalahan matematika yang panjang.
Selain mengidentifikasi masalah yang terdapat pada peserta didik, Phonapichat, dkk
(2014) juga menemukan bahwa lemahnya kemampuan pemecahan masalah matematika pada
peserta didik juga dipengaruhi oleh cara guru mengajar. Pada umumnya, guru seringkali
tidak menyajikan permasalahan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (daily life
problems). Guru cenderung mengajarkan siswa untuk menghafal (memorize) kata kunci
dalam masalah dan menggunakannya dalam rumus. Guru cenderung mengikuti contoh yang
terdapat di dalam buku teks daripada menjelaskan prinsip-prinsip matematika di balik
permasalahan matematika yang disajikan. Selain itu, guru biasanya mengajar tanpa
memperhatikan tahapan proses berfikir peserta didik.
Dengan mengetahui berbagai kendala di atas, baik yang terdapat pada peserta didik
maupun guru, maka kita dapat merancang sebuah pembelajaran yang sesuai untuk
mengajarkan pemecahan masalah matematika di sekolah dasar. Pembelajaran dirancang
15
dengan tetap memperhatikan tingkat perkembangan proses berfikir peserta didik. Dengan
demikian, permasalahan matematika yang disajikan masih berada pada wilayah
perkembangan proses berfikir peserta didik (zone of proximal development).
16
permasalahan yang ada, ditambah pengetahuan dari pengalaman sebelumnya. Hasil tebakan tentu
saja harus diuji kebenarannya serta diikuti oleh sejumlah alasan yang logis.
7. Strategi kerja mundur
Strategi ini cocok untuk menjawab permasalahan yang menyajikan kondisi (hasil) akhir dan
menanyakan sesuatu yang terjadi sebelumnya.
8. Mengidentifikasi Informasi yang Diinginkan, Diberikan dan Diperlukan
Strategi ini membantu kita menyortir informasi dan memberi mereka pengalaman dalam
merumuskan pertanyaan. Dalam hal ini kita perlu menentukan pemasalahan yang akan dijawab,
menyortir informasi-informasi penting untuk menjawabnya, dan memilih langkah-langkah
penyelesaian yang sesuai dengan soal.
9. Menulis Kalimat terbuka
Strategi ini membantu kita melihat hubungan antara informasi yang diberikan dan yang dicari.
Untuk menyederhanakan permasalahan, kita dapat menggunakan variabel sebagai pengganti
kalimat dalam soal.
10. Menyelesaikan Masalah yang Lebih Sederhana atau Serupa
Strategi ini membantu kita untuk menyelesaikan suatu masalah yang rumit yang dapat
diselesaikan dengan cara menyelesaikan masalah yang serupa tetapi lebih sederhana.
11.Mengubah sudut pandang
Strategi ini seringkali digunakan setelah kita gagal untuk menyelesaikan masalah dengan
menggunakan strategi lainnya. Walau kita mencoba menyelesaikan masalah, sebenarnya kita
mulai dengan suatu sudut pandang tertentu atau mencoba menggunakan asumsi tertentu. Setelah
kita mencoba menggunakan suatu strategi tetapi gagal, kecendrungannya adalah kembali
memperhatikan soal dengan menggunakan sudut pandang yang sama, jika masih tetap gagal,
cobalah mengubah sudut pandang dengan memperbaiki asumsi atau memeriksa logika berfikir
yang digunakan sebelumnya.
Looking Back tidak hanya sekedar memeriksa kebenaran langkah solusi, tetapi termasuk
juga pertim-bangan solusi alternatif dan representasinya, menemukan strategi yang lebih efisien,
dan penggunaan proses atau cara penyelesaian untuk masalah terkait lainnya. Sehingga siswa
17
yang melakukan tahap looking back yang baik secara otomatis memiliki kemampuan yang baik
pula untuk mengkaji tiga tahap pemecahan masalah sebelumnya.
Dalam penelitian Sowder (2014) juga dikemukakan pentingnya looking back dalam
menyelesaikan suatu masalah matematika. Menurutnya upaya mengajar dengan baik diharapkan
benar-benar membahas beberapa cara menemukan yang mungkin membantu dalam memperbaiki
rencana pemecahan masalah. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menimbulkan pertanyaan:
Apa yang mungkin salah, cara menemukan hal itu dapat dilakukan dengan menggunakan looking
back. Looking back bahkan lebih banyak memberikan informasi yang tepat daripada sekadar
menemukan solusi yang lebih sederhana.
Dewey (1933: 107) memaparkan strategi pemecahana masalah yaitu: mengenali masalah,
mendefinisikan masalah, mengembangkan solusi yang mungkin, menguji beberapa ide, memilih
hipotesis yang terbaik. Dalam hal ini terdapat komponen dari looking back yang dijelaskan pada
uraian berikut:(a) Mengembangkan beberapa solusi yang mungkin (Occurrence of a suggested
explanation or possible solution) pada tahap ini siswa diharapkan dapat mengajukan beberapa
kemungkinan alternatif solusi penyelesaian masalah. (b) Menguji beberapa ide (The rational
elaboration of an idea). pada tahap ini siswa menjabarkan atau elaborasi dari setiap ide dan
pengujiannya. (c) Memilih hipotesis yang terbaik (Corrobo-ration of an idea and formation of a
concluding belief). pada tahap ini siswa diharapkan dapat menuliskan kesimpulan dari solusi atas
permasalahan yang dipaparkan sebelumnya.
Looking back mencakup lebih luas daripada memeriksa kebenaran langkah solusi, tetapi
termasuk pertimbangan solusi dan representasi alternatif, memeriksaan ulang solusi untuk
strategi yang lebih efisien, dan penggunaan dari solusi untuk masalah terkait lainnya, hal ini
18
bersesuaian dengan langkah pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Polya, Dewey, dan
Krulik & Rudnik. Sehingga dengan melakukan looking back akan mengkaji tiga tahap
pemecahan masalah sebelumnya. Pentingnya penerapan looking back didukung oleh teori belajar
bermakna Ausebel dan teori kognitif Dewey.
2.9 Metakognisi
Pengertian Metakognisi
Metakognisi (metacognition) adalah kesadaran, keyakinan dan pengetahuan seseorang
tentang proses dan cara berpikir pada hal-hal yang mereka lakukan sendiri sehingga
meningkatkan proses belajar dan memori.
Istilah metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell pada tahun 1976, yaitu
seorang psikolog dari Universitas Stanford. Menurutnya metakognisi merupakan pemikiran
tentang pemikiran (thinking about thinking) atau pengetahuan seseorang tentang proses
kognitifnya (One’s knowledge concerning one’s own cognitive processes). Kata metakognisi
terdiri dari dua kata, yaitu meta dan kognisi. Meta artinya setelah, melebihi,atau di atas.
Sedangkan kognisi adalah mencakup keterampilan yang berhubungan dengan proses berpikir.
Metakognisi adalah suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri, sehingga
apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Metakognisi merupakan aktivitas mental
yang menjadikan seseorang dapat mengatur, mengorganisasi dan memantau seluruh proses
berpikir yang dilakukan selama menyelesaikan masalah.
Berikut definisi dan pengertian metakognisi dari beberapa sumber buku:
Menurut Wilson dan Clarke (2004), metakognisi adalah suatu kesadaran peserta didik
(awarenes), pertimbangan (consideration) dan pengontrolan atau pemantauan terhadap
strategi serta proses kognitif diri mereka sendiri.
Menurut Zakariya (2015), metakognisi adalah pengetahuan seseorang tentang sistem
kognitifnya, berpikir seseorang tentang berpikirnya, dan keterampilan esensial seseorang
dalam belajar untuk belajar.
Menurut Herman dan Suryadi (2008), metakognisi merupakan kesadaran seseorang
tentang proses berpikirnya pada saat melakukan tugas tertentu kemudian menggunakan
kesadarannya untuk mengontrol apa yang dilakukannya.
19
Menurut Desmita (2009), metakognisi adalah pengetahuan eksplisit yang dimiliki
manusia tentang cara berpikir dan pada aturan yang mereka buat sendiri sehingga mereka
dapat menjalankannya ketika menerapkan pengetahuan tersebut.
Menurut Ormrod (2009), metakognisi merupakan pengetahuan dan keyakinan mengenai
proses-proses kognitif seseorang, serta usaha-usaha sadarnya untuk terlibat dalam proses
berperilaku dan berpikir sehingga meningkatkan proses belajar dan memori.
Komponen Metakognisi
Menurut Flavell (Desmita, 2010), komponen metakognisi ada dua, yaitu pengetahuan
metakognisi dan pengalaman metakognisi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan deklaratif yang mengacu kepada pengetahuan tentang fakta dan konsep-
konsep yang dimiliki seseorang atau faktor-faktor yang mempengaruhi pemikirannya dan
perhatiannya dalam memecahkan masalah.
2. Pengetahuan prosedural adalah pengetahuan bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana
melakukan langkah-langkah atau strategi-strategi dalam suatu proses pemecahan
masalah.
3. Pengetahuan kondisional yang mengacu pada kesadaran seseorang akan kondisi yang
mempengaruhi dirinya dalam memecahkan masalah, yaitu: kapan suatu strategi
seharusnya diterapkan, mengapa menerapkan suatu strategi dan kapan strategi tersebut
digunakan dalam memecahkan masalah.
20
b. Pengalaman metakognisi (metacognitive experimences)
Pengalaman atau regulasi metakognisi adalah pengaturan kognisi dan pengalaman belajar
seseorang yang mencakup serangkaian aktivitas yang dapat membantu dalam mengontrol
kegiatan belajarnya. Pengalaman-pengalaman metakognisi melibatkan strategi-strategi
metakognisi atau pengaturan metakognisi. Strategi-strategi metakognisi merupakan proses-
proses yang berurutan yang digunakan untuk mengontrol aktivitas-aktivitas kognitif dan
memastikan bahwa tujuan kognitif telah dicapai.
Pengalaman metakognisi terdiri dari tiga proses, yaitu:
Indikator Metakognisi
Kemampuan metakognisi berkaitan dengan proses berpikir siswa tentang berpikirnya agar
menemukan strategi yang tepat dalam memecahkan masalah. Setiap siswa memiliki kemampuan
yang berbeda-beda dalam menghadapi masalah. Kemampuan metakognisi sangat dibutuhkan
dalam pemecahan masalah agar dalam bekerja siswa lebih sistematis dan terarah serta
mendapatkan hasil yang baik.
Menurut Swartz dan Perkins (Mahromah, 2012), kemampuan metakognisi seseorang terdiri dari
beberapa tingkatan, yaitu:
1. Tacit use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tanpa
berpikir tentang keputusan tersebut. Dalam hal ini, siswa menerapkan strategi atau
21
keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal menjawab dalam
menyelesaikan masalah.
2. Aware use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan kesadaran siswa mengenai apa
dan mengapa siswa melakukan pemikiran tersebut. Dalam hal ini siswa menyadari bahwa
dirinya harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan
penjelasan mengenai alasan pemilihan langkah tersebut.
3. Strategic use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan individu dalam
proses berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategi-strategi khusus yang dapat
meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam hal ini, siswa sadar dan mampu menyeleksi
strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan masalah.
4. Reflective use, yaitu jenis pemikiran yang berkaitan dengan refleksi individu dalam
proses berpikirnya sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan
mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal ini, siswa
menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam langkah-langkah
penyelesaian masalah.
Kemampuan metakognisi seseorang dapat diketahui melalui tiga komponen atau elemen dasar,
yaitu: elemen perencanaan, elemen kontrol, dan elemen penilaian. Adapun indikator dari
komponen metakognisi tersebut adalah sebagai berikut:
a. Indikator Perencanaan
1. Menentukan informasi awal dan petunjuk awal yang berkaitan dengan permasalahan.
2. Menentukan/menyusun hal-hal yang harus dilakukan.
3. Memperhitungkan waktu yang dibutuhkan.
4. Memastikan kesesuaian informasi dengan permasalahan.
b. Indikator Pemantauan
22
4. Memutuskan langkah yang harus dilakukan jika menemui kendala.
c. Indikator Penilaian
23
mengawasi cara berpikirnya, tidak hanya memberikan jawaban benar ketika siswa membuat
kesalahan tetapi juga menuntun proses berpikirnya agar siswa menemukan jawaban yang benar.
3. Tahap Penyimpulan
Penyimpulan yang dilakukan oleh siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang telah dilakukan
dikelas. Pada tahap ini siswa menyimpulkan sendiri, dan guru membimbing dengan memberikan
pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa yang kamu pelajari hari ini?, Apa yang kamu pelajari tentang
diri kamu sendiri dalam menyelesaikan soal matematika yang diberikan?
George Polya membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menunjukkan kepada guru
bagaimana cara memberikan bantuan dan petunjuk khusus, sehingga siswa terbimbing untuk
mengetahui tentang pemecahan masalah matematika. Saran-saran yang diberikan berupa
seperangkat pertanyaan atau langkah-langkah untuk menyelesaikan suatu masalah.
Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai satu usaha mencari jalan keluar
dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai.
Menurut Polya (1973: 5), ada empat tahap pemecahan masalah yaitu memahami masalah,
merencanakan penyelesaian masalah, melakukan perencanaan masalah, dan melihat kembali
hasil yang diperoleh. 4 tahapan Polya adalah sebagai berikut:
1. Memahami masalah (understand the problem) Tahap pertama pada penyelesaian masalah
adalah memahami soal. Siswa perlu mengidentifikasi apa yang diketahui, apa saja yang ada,
jumlah, hubungan dan nilai-nilai yang terkait serta apa yang sedang mereka cari. Beberapa saran
yang dapat membantu siswa dalam memahami masalah yang kompleks: memberikan pertanyaan
mengenai apa yang diketahui dan dicari, menjelaskan masalah sesuai dengan kalimat sendiri,
menghubungkannya dengan masalah lain yang serupa, fokus pada bagian yang penting dari
masalah tersebut, mengembangkan model, dan menggambar diagram.
2. Membuat rencana (devise a plan) Siswa perlu mengidentifikasi operasi yang terlibat serta
strategi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini bisa dilakukan
siswa dengan cara seperti: menebak, mengembangkan sebuah model, mensketsa diagram,
menyederhanakan masalah, mengidentifikasi pola, membuat tabel, eksperimen dan simulasi,
24
bekerja terbalik, menguji semua kemungkinan, mengidentifikasi sub-tujuan, membuat analogi,
dan mengurutkan data/informasi.
3. Melaksanakan rencana (carry out the plan) Apa yang diterapkan jelaslah tergantung pada apa
yang telah direncanakan sebelumnya dan juga termasuk hal-hal berikut: mengartikan informasi
yang diberikan ke dalam bentuk matematika dan melaksanakan strategi selama proses dan
penghitungan yang berlangsung. Secara umum pada tahap ini siswa perlu mempertahankan
rencana yang sudah dipilih. Jika semisal rencana tersebut tidak bisa terlaksana, maka siswa dapat
memilih cara atau rencana lain.
4. Melihat kembali (looking back) Aspek-aspek berikut perlu diperhatikan ketika mengecek
kembali langkah-langkah yang sebelumnya terlibat dalam menyelesaikan masalah, yaitu:
mengecek kembali semua informasi yang penting yang telah teridentifikasi, mengecek semua
penghitungan yang sudah terlibat, mempertimbangkan apakah solusinya logis, melihat alternatif
penyelesaian yang lain dan membaca pertanyaan kembali dan bertanya kepada diri sendiri
apakah pertanyaannya sudah benar-benar terjawab.
25
Sawada, Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda, 2000). Munculnya pendekatan ini
sebagai reaksi atas pendidikan matematika sekolah saat itu yang aktifitas kelasnya disebut
dengan “issei jugyow” (frontal teaching); widyaiswara menjelaskan konsep baru di depan kelas
kepada para siswa kemudian memberikan contoh untuk penyelesaian beberapa soal.
Banyak kegiatan berpikir yang sulit terlepas dari matematika, seperti memahami suatu
konsep matematika, memecahkan permasalahan matematika, mengkonstruksi suatu teori, atau
menyelesaikan permasalahan dengan menerapkan matematika. Kegiatan berpikir seperti ini
dapat disebut kegiatan matematika.
Walaupun demikian, berdasarkan hasil penelitaian Sawada (1997) di Jepang yang telah
dilakukan dengan waktu yang panjang, ditemukan beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai
bahan acuan dalam mengkonstruksi masalah tersebut, antara lain :
1. Sajikan permasalahan melalui situasi fisik yang nyata dimana konsep-konsep matematika
yang diamati dan dikaji oleh siswa.
26
2. Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan
hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam persoalan itu.
4. Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan matematika.
5. Berikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa bisa
mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum.
a) Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan idenya.
c) Siswa dengan kemapuan matematika rendah dapat merespon permasalahan dengan cara
mereka sendiri.
27
a) Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa
bukanlahpekerjaan mudah.
b) Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga
banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.
c) Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka.
Inovasi pembelajaran adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif dari hal yang
sudah ada sebelumnya, serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna
mencapai tujuan tertentu dalam pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu sistem, maka inovasi
pembelajaran harus mencakup al-hal yang berhubungan dengan komponen sistem tersebut, baik
dalam artian kurikulum, media, metode, kebijakan, maupun hal lain yang berhubungan dengan
pembelajaran (Muzid, 2011).
28
2.16 Pendekatan realistic dalam pembelajaran matematika
Gravemeijer (1994: 90) mengemukakan bahwa ada tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu:
(a) guided reinvention/progressive mathematizing, (b) didactical phenomenology dan (c) self-
developed models. Ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
1) Guided reinvention/progressive mathematizing
Guided reinvention artinya penemuan kembali dengan bimbingan sedangkan
progressive mathematizing berarti proses matematisasi secara progresif. Prinsip ini menghendaki
bahwa dalam PMR, melalui penyelesaian masalah kontekstual yang diberikan guru di awal
pembelajaran, dengan bimbingan dan petunjuk guru yang diberikan secara terbatas, siswa
diarahkan secara konstruktif oleh guru sehingga seakan-akan siswa mengalami proses
menemukan kembali konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika, sebagaimana
29
ketika konsep, prinsip, sifat-sifat dan rumus-rumus matematika itu ditemukan.
Sebagai sumber inspirasi untuk merancang pembelajaran dengan pendekatan PMR
yang menekankan prinsip penemuan kembali (re-invention) ini antara lain dapat digunakan
sejarah penemuan konsep/prinsip/ rumus matematika dan oleh prosedur atau cara penyelesaian
siswa secara informal. Strategi penyelesaian informal sering dapat ditafsirkan oleh siswa, ketika
ia menghadapi prosedur yang lebih formal. Dalam kasus tertentu kedua hal itu dapat
dipertimbangkan untuk menunjukkan bahwa pembelajaran telah berjalan melalui suatu proses
matematisasi secara progresif.
Dalam prinsip penemuan kembali secara terbimbing, para siswa harus diberi kesempatan
untuk mengalami proses yang sama dengan proses dimana suatu konsep matematika yang
ditemukan (Gravemeijer, 1994: 90). Untuk mewujudkan hal tersebut, Gravemeijer (1994) seperti
dikutip Fauzan (2002: 36) menyatakan ada dua hal yang dapat digunakan untuk mewujudkan
prinsip reinvention. Pertama, dari pengetahuan tentang sejarah matematika kita bisa belajar
bagaimana pengetahuan tertentu dikembangkan. Ini dapat membantu pengembang/desainer
instruksional menguraikan berbagai langkah-langkah perantara, dimana konsep matematika bisa
diciptakan kembali. Ini berarti bahwa siswa dapat belajar dari apa yang telah dikerjakan para
matematikawan. Kedua, dengan memberikan masalah kontekstual yang memiliki berbagai
prosedur solusi informal dilanjutkan dengan proses matematisasi akan menciptakan kesempatan
untuk proses reinvention. Untuk melakukannya pengembang/desainer instruksional perlu
menemukan masalah kontekstual yang memungkinkan dilakukannya berbagai prosedur untuk
menemukan solusi yang sama.
Berkenaan dengan prinsip ini, rute atau trayektori belajar (learning trajectory) harus
dipetakan yang memungkinkan siswa untuk menemukan konsep matematika sendiri
(Gravemeijer, 2004: 114). Gravemeijer (Fauzan, 2002: 36) mengatakan bahwa hipotesis
trayektori belajar (hypothetical learning trajectories/HLT) harus menekankan pada sifat dari
proses belajar daripada hasil belajar. Pengembangan hipotesis trayektori pembelajaran
merupakan suatu cara untuk menjabarkan aspek-aspek pedagogik dalam pembelajaran
matematika yang berorientasi pada pemahamaman konsep (Ayunika, 2011). Simon (1995)
menyatakan bahwa hipotesis trayektori pembelajaran terdiri dari tujuan pembelajaran, masalah-
masalah matematika yang akan digunakan untuk mendukung pemahaman siswa dan hipotesis
mengenai proses belajar siswa (Simon & Tzur, 2004: 93). Menurut Bakker (2004: 39), hipotesis
30
trayektori pembelajaran merupakan jembatan antara teori instruksional pembelajaran dan proses
pembelajaran di kelas sesungguhnya. Berdasarkan teori instruksional pembelajaran, dirumuskan
berbagai ide matematis yang menjadi fokus dalam tahap pembelajaran. Masalah-masalah
kontekstual yang bersesuaian dengan ide-ide matematis tersebut kemudian dikembangkan untuk
pembelajaran di kelas.
Gravemeijer (1994: 94), menggambarkan proses penemuan kembali (re-invention)
yang dilalui siswa. Siswa dapat belajar matematika melalui penyelesaian masalah-masalah
kontekstual. Pada mulanya siswa melaksanakan proses matematisasi horisontal dengan
memecahkan masalah kontekstual itu secara informal menggunakan bahasa atau kata-kata
mereka sendiri. Kemudian setelah beberapa waktu dengan proses pemecahan masalah
kontekstual yang serupa, melalui proses penyederhanaan dan formalisasi, siswa akan
menggunakan bahasa yang lebih formal dan akhirnya siswa akan menemukan suatu
algoritma. Proses yang dilalui siswa sampai menemukan algoritma itu disebut proses
matematisasi vertikal. Dengan digunakannya bahasa matematika dan ditemukannya
algoritma itu, berarti siswa telah menemukan pengetahuan matematika formal.
2)Didactical phenomenology (fenomena didaktik)
Prinsip ini terkait dengan suatu gagasan fenomena didaktik, yang menghendaki
bahwa di dalam menentukan suatu topik matematika untuk diajarkan dengan pendekatan
PMR, didasarkan atas dua alasan, yaitu: (1) untuk mengungkapkan berbagai macam aplikasi
suatu topik yang harus diantisipasi dalam pembelajaran dan (2) untuk dipertimbangkan
pantas tidaknya suatu topik digunakan sebagai poin-poin untuk suatu proses matematisasi
secara progresif (Gravemeijer, 1994: 90). Fenomena yang baik adalah yang konkrit dan
dikenal baik oleh anak yang dapat memotivasi, menantang, menyenangkan dan dapat
dieksplorasi untuk memfasilitasi anak menuju konsep yang abstrak. Dari uraian di atas
menunjukkan bahwa prinsip yang kedua dari PMR ini menekankan pada pentingnya masalah
kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal itu dilakukan
dengan mempertimbangkan aspek kecocokan masalah kontekstual yang disajikan dengan: (1)
topik-topik matematika yang diajarkan dan (2) konsep, prinsip, rumus dan prosedur
matematika yang akan ditemukan kembali oleh siswa dalam pembelajaran. Dalam
pembelajaran penjumlahan dan pengurangan pecahan misalnya, dapat dipilih konteks
membagi makanan ringan atau aktivitas menaikan dan menurunkan penumpang. Pemilihan
31
konteks ini dengan pertimbangan bahwa fenomena ini telah dikenal dan sering dialami siswa
dalam kehidupan keseharian mereka dan sangat relevan dengan konsep penjumlahan dan
pengurangan pecahan yang akan diajarkan.
3) Self - developed models (model-model dibangun sendiri oleh siswa)
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri oleh siswa. Prinsip ini
berfungsi untuk menjembatani jarak antara pengetahuan informal dengan pengetahuan
formal (Gravemeijer, 1994: 91). Berdasarkan prinsip ini siswa hendaknya diberi kesempatan
untuk mengembangkan caranya sendiri saat memecahkan masalah yang diberikan.
Gravemeijer (1994: 101) menyebutkan, pada awalnya siswa mengembangkan model atau
cara yang sesuai dengan pemahamannya. Model ini masih bersifat kontekstual dan khusus
dari (model of) situasi masalah yang diberikan. Model inilah yang menjadi dasar untuk
mengembangkan pengetahuan matematika formal. Setelah proses generalisasi dan
formalisasi model tersebut secara bertahap diarahkan untuk menuju model untuk (model for)
pemikiran matematika pada tingkat yang formal.
Gravemeijer (1994: 101) menguraikan perbedaan model of dan model for dalam
empat tingkatan aktivitas yaitu : situasional, referensial, general dan formal. Level situasional
merupakan yang paling dasar dari pemodelan dimana pengetahuan dan model masih
berkembang dalam konteks situasi masalah yang digunakan. Pada level referensional, strategi
dan model yang dikembangkan tidak berada dalam konteks situasi, melainkan sudah merujuk
pada konteks dimana siswa membuat model untuk menggambarkan situasi konteks sehingga
hasil pemodelan pada model ini disebut model dari (model of) situasi. Model yang
dikembangkan siswa pada level general sudah mengarah pada pencarian solusi secara
matematis yang disebut model untuk (model for) penyelesaian masalah. Pada level formal
yang merupakan tahapan perumusan dan penegasan konsep matematika yang dibangun
siswa, siswa sudah bekerja dengan menggunakan simbol dan representasi matematis.
Terdapat lima prinsip utama dalam ‘ kurikulum’ matematika realistik:
1. Didominasi oleh masalah- masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai sumber dan
sebagi terapan konsep matematika.
2. Perhatian diberikan pada pengembangan model –model, situasi, sikema,dan simbol –simbol.
32
3. Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi konstruktif
dan produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkonstruksi sendiri ( yang mungkin
berupa algoritma, rule atau aturan), sehingga dapat membimbing para siswa dari level
matematika informal menuju matematika formal.
5. ‘intertwinning’ ( membuat jalinan ) antar topik atau antar pokok atau antar standar
Dikaitkan dengan prinsip- prinsip pembelajran dalam pendekatan matematika realistik. Berikut
ini merupakan rambu- rambu penerapannya:
3. Bagaiman “ guru “ memberi atau mengarahkan kelas, kelompok, maupun individu untuk
menciptakan free production, menciptakan caranya sendiri dalam menyelesaikan soal atau
33
menginterpretasikan problem kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam pendekatan, atau
metode penyelesaian, atau algoritma
4. Bagaiaman “ guru “ membuata kelas bekerja secara interaktif sehingga terjadi interaksi
diantara mereka antara siswa dengan siswa dalam kelompok kecil dan antrata anggota- anggota
kelompok dalam prestasi umum, serta antara siswa dan guru
5. Bagaimana guru membuat jalinan antara topik dengan topik lain, antara konsep dengan konsep
lain, dan antara satu simbol denngan simbol yang lain didalam rangkain topik matematika.
34
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan di atas dapat dibedakan antara pendekatan, model dan
strategi dan teknik. Pendekatan merupakan suatu asumsi kita kepada proses pembelajaran
di mana asumsi tersebut masih sangat umum sehingga kita perlu menemukan suatu cara
untuk mem-back up masalah dalam kondisi apapun yang munculpada proses
pembelajaran. Sesuatu yang harus mem-back up-nya itu adalah metode. Jadi metode
merupakan seperangkat penjelas dari suatu pendekatan. Sedangkan kalau strategi adalah
cara untuk mencapai tujuan pembelajaran. Semua pendekatan intinya sama yaitu
pendekatan dapat membantu seorang guru dalam menyampaikan materi kepada siswa
sehingga siswa lebih cepat memahami materi yang disampaikan.
35
DAFTAR PUSTAKA
Refika Aditama
https://annissayudhakusuma.wordpress.com/2014/06/03/pendekatan-realistik/
http://duniainformasisemasa334.blogspot.com/2018/12/evaluasi-pembelajaran-matematika-
secara.html
https://media.neliti.com/media/publications/293548-mengajarkan-pemecahan-masalah-
matematika-e642ecbb.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/317654-efektivitas-penerapan-pembelajaran-konst-
c261109c.pdf
http://repository.ut.ac.id/4908/1/2014-dn-034.pdf
http://shiltimawiska.blogspot.com/2014/02/makalah-pendekatan-open-ended-dalam.html
Polya, George, ((1985), How To Solve It 2nd ed. New Jersey : Princeton University Press
36
Sowder, Larry. 2014. The Looking-back Step in Problem Solving. Northern Illinois University.
Suryadi, D., dan Herman, T. 2008. Pembelajaran Pemecahan Masalah. Jakarta: Karya Duta
Wahana.
LAMPIRAN:
A. Pendekatan Konstruktivisme
Jawab:
Jawab:
Jawab:
37
Jawab:
Jawab:
Hakikat matematika yang merupakan ilmu yang akhirnya bersifat abstrak, bagi
kebanyakan siswa matematika masih merupakan momok. Bagi para guru tidak mudah
untuk memilih strategi, model, pendekatan, metode, teknik pembelajaran yang tepat
sehingga materi matematika mudah dipahami siswa, siswa bisa terampil serta siswa
tertarik untuk mempelajarinya
6. Jelaskan strategi pembelajaran aplikatif yang secara langsung dan tidak laangsung?
Jawab:
Strategi mana yang digunakan sehingga pelaksanaan pembelajaran dapat tepat sasaran
sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai sangat tergantung pada keahlian guru. Agar
siswa lebih cepat memahami materi biasanya digunakan strategi langsung.
Sedangkan strategi tidak langsung jenis kegiatannya tidak langsung menyentuh materi
pembelajaran
Jawab::
38
kualitatif dan kesannya hingga kepada pengujian keterampilan kognitif dengan teknik
paper-pencil untuk sejumlah orang.”
Jawab:
Jawab:
c) Menilai siswa melalui tes memakai kertas dan pensil tanpa perlu terlihat. Terkait:
Implementasi Pendekatan Konstruktivisme dalam Pembelajaran Matematika
Jawab:
Mengevaluasi
Jawab:
Masalah adalah hal yang tidak dapat kita hindari, karena kehidupan memang selalu menawarkan
problematika baru yang perlu kita hadapi dan selesaikan
39
2. Mengapa adapemecahan masalah? Dan jelaskan apa itu pemecahan masalah?
Jawab:
Jawab:
Jawab:
Pertama, peserta didik mengalami kesulitan dalam memahami kata kunci dalam permasalahan
dan tidak mampu menerjemahkannya ke dalam bahasa matematika. Kedua, peserta didik tidak
mampu mengidentifikasi masalah mana yang harus diselesaikan dalam permasalahan yang
diberikan. Ketiga, ketika peserta didik tidak mampu memahami masalah, mereka cenderung
untuk menebak jawaban tanpa melibatkan proses berfikir. Keempat, peserta didik kurang
bersabar dan tidak suka membaca permasalahan matematika. Kelima, peserta didik tidak suka
membaca permasalahan matematika yang panjang.
Jawab:
40
a. Strategi Act It Out
Strategi ini menuntut kita melihat apa yang ada dalam masalah dan membuat hubungan antar
komponen dalam masalah menjadi jelas melalui serangkaian aksi fisik atau manipulasi objek.
b. Membuat gambar dan diagram
Strategi ini dapat membantu siswa untuk mengungkapkan informasi yang terkandung dalam
masalah sehingga hubungan antar komponen dalam masalah tersebut dapat terlihat dengan lebih
jelas. Pada saat guru mencoba mengajar strategi ini, penekanan perlu dilakukan bahwa gambar
atau diagram yang dibuat tidak perlu sempurna, terlalu bagus atau terlalu detail.
c. Menemukan Pola
Hal ini dapat dilakukan dengan sekumpulan gambar atau bilangan kegiatan ini mungkin
dilakukan antara laian dengan mengobservasi sifat-sifat yang dimiliki bersama oleh kumpulan
gambar atau bilangan yang tersedia.
d. Membuat tabel
Strategi ini membantu mempermudah siswa untuk melihat pola dan memperjelas informasi yang
hilang. Dengan kata lain, strategi ini sangat membantu dalam mengklasifikasi dan menyusun
informasi atau data dalam jumlah besar.
e. Menghitung Semua Kemungkinan secara Sistematis
Strategi ini sering digunakan bersamaan dengan strategi “mencari pola” dan “membuat tabel”,
karena kadangkala tidak mungkin bagi kita untuk mengidentifikasi seluruh kemungkinan
himpunan penyelesaian.
f. Menebak dan Menguji
Strategi Menebak yang “terdidik” ini didasarkan pada aspek-aspek yang relevan dengan
permasalahan yang ada, ditambah pengetahuan dari pengalaman sebelumnya. Hasil tebakan tentu
saja harus diuji kebenarannya serta diikuti oleh sejumlah alasan yang logis.
g. Strategi kerja mundur
Strategi ini cocok untuk menjawab permasalahan yang menyajikan kondisi (hasil) akhir dan
menanyakan sesuatu yang terjadi sebelumnya.
h. Mengidentifikasi Informasi yang Diinginkan, Diberikan dan Diperlukan
Strategi ini membantu kita menyortir informasi dan memberi mereka pengalaman dalam
merumuskan pertanyaan. Dalam hal ini kita perlu menentukan pemasalahan yang akan dijawab,
41
menyortir informasi-informasi penting untuk menjawabnya, dan memilih langkah-langkah
penyelesaian yang sesuai dengan soal.
i. Menulis Kalimat terbuka
Strategi ini membantu kita melihat hubungan antara informasi yang diberikan dan yang dicari.
Untuk menyederhanakan permasalahan, kita dapat menggunakan variabel sebagai pengganti
kalimat dalam soal.
j. Menyelesaikan Masalah yang Lebih Sederhana atau Serupa
Strategi ini membantu kita untuk menyelesaikan suatu masalah yang rumit yang dapat
diselesaikan dengan cara menyelesaikan masalah yang serupa tetapi lebih sederhana.
k. Mengubah sudut pandang
Strategi ini seringkali digunakan setelah kita gagal untuk menyelesaikan masalah dengan
menggunakan strategi lainnya. Walau kita mencoba menyelesaikan masalah, sebenarnya kita
mulai dengan suatu sudut pandang tertentu atau mencoba menggunakan asumsi tertentu.
Jawab:
Looking Back tidak hanya sekedar memeriksa kebenaran langkah solusi, tetapi termasuk juga
pertim-bangan solusi alternatif dan representasinya, menemukan strategi yang lebih efisien, dan
penggunaan proses atau cara penyelesaian untuk masalah terkait lainnya. Sehingga siswa yang
melakukan tahap looking back yang baik secara otomatis memiliki kemampuan yang baik pula
untuk mengkaji tiga tahap pemecahan masalah sebelumnya.
42
7. Jelaskan Pengertian Metakognisi?
Jawab:
Metakognisi (metacognition) adalah kesadaran, keyakinan dan pengetahuan seseorang tentang
proses dan cara berpikir pada hal-hal yang mereka lakukan sendiri sehingga meningkatkan
proses belajar dan memori.
8. Jelaskan Pengetahuan metakognisi?
Jawab:
Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan yang diperoleh tentang proses-proses kognitif
yaitu pengetahuan yang dapat digunakan untuk mengontrol proses kognitif. Pengetahuan
metakognisi juga diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki seseorang dan tersimpan di dalam
memori jangka panjang yang dapat diaktifkan atau dipanggil kembali sebagai hasil dari suatu
pencarian memori yang dilakukan secara sadar dan disengaja, atau diaktifkan tanpa disengaja
atau secara otomatis muncul ketika seseorang dihadapkan pada permasalahan tertentu.
9. Jelaskan proses dari pengalaman metakognisi?
Pengalaman metakognisi terdiri dari tiga proses, yaitu:
Jawab:
43
a. Memahami masalah (understand the problem) Tahap pertama pada penyelesaian masalah
adalah memahami soal. Siswa perlu mengidentifikasi apa yang diketahui, apa saja yang ada,
jumlah, hubungan dan nilai-nilai yang terkait serta apa yang sedang mereka cari. Beberapa saran
yang dapat membantu siswa dalam memahami masalah yang kompleks: memberikan pertanyaan
mengenai apa yang diketahui dan dicari, menjelaskan masalah sesuai dengan kalimat sendiri,
menghubungkannya dengan masalah lain yang serupa, fokus pada bagian yang penting dari
masalah tersebut, mengembangkan model, dan menggambar diagram.
b. Membuat rencana (devise a plan) Siswa perlu mengidentifikasi operasi yang terlibat serta
strategi yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini bisa dilakukan
siswa dengan cara seperti: menebak, mengembangkan sebuah model, mensketsa diagram,
menyederhanakan masalah, mengidentifikasi pola, membuat tabel, eksperimen dan simulasi,
bekerja terbalik, menguji semua kemungkinan, mengidentifikasi sub-tujuan, membuat analogi,
dan mengurutkan data/informasi.
c. Melaksanakan rencana (carry out the plan) Apa yang diterapkan jelaslah tergantung pada apa
yang telah direncanakan sebelumnya dan juga termasuk hal-hal berikut: mengartikan informasi
yang diberikan ke dalam bentuk matematika dan melaksanakan strategi selama proses dan
penghitungan yang berlangsung. Secara umum pada tahap ini siswa perlu mempertahankan
rencana yang sudah dipilih. Jika semisal rencana tersebut tidak bisa terlaksana, maka siswa dapat
memilih cara atau rencana lain.
d. Melihat kembali (looking back) Aspek-aspek berikut perlu diperhatikan ketika mengecek
kembali langkah-langkah yang sebelumnya terlibat dalam menyelesaikan masalah, yaitu:
mengecek kembali semua informasi yang penting yang telah teridentifikasi, mengecek semua
penghitungan yang sudah terlibat, mempertimbangkan apakah solusinya logis, melihat alternatif
penyelesaian yang lain dan membaca pertanyaan kembali dan bertanya kepada diri sendiri
apakah pertanyaannya sudah benar-benar terjawab.
Jawab:
44
pendekatan open-ended adalah Pendekatan yang memberikan pengalaman kepada siswa untuk
menemukan sendiri pengetahuan matematika yang baru dengan mengkombinasikan pengetahuan
yang dimiliki siswa, keterampilan, atau cara berpikir siswa yang telah dipelajari sebelumnya.
Jawab:
Pendekatan Open-ended merupakan salah satu upaya inovasi pendidikan matematika yang
pertama kali dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika Jepang. Pendekatan ini lahir sekitar
duapuluh tahun yang lalu dari hasil penelitian yang dilakukan Shigeru Shimada, Toshio Sawada,
Yoshiko Yashimoto, dan Kenichi Shibuya (Nohda, 2000). Munculnya pendekatan ini sebagai
reaksi atas pendidikan matematika sekolah saat itu yang aktifitas kelasnya disebut dengan “issei
jugyow” (frontal teaching); widyaiswara menjelaskan konsep baru di depan kelas kepada para
siswa kemudian memberikan contoh untuk penyelesaian beberapa soal.
Jawab:
Banyak kegiatan berpikir yang sulit terlepas dari matematika, seperti memahami suatu konsep
matematika, memecahkan permasalahan matematika, mengkonstruksi suatu teori, atau
menyelesaikan permasalahan dengan menerapkan matematika. Kegiatan berpikir seperti ini
dapat disebut kegiatan matematika.
Jawab:
Secara konseptual masalah terbuka dalam pembelajaran Matematika adalah masalah atau soal-
soal Matematika yang dirumuskan sedimikian rupa, sehingga memiliki beberapa atau bahkan
banyak solusi yang benar, dan terdapat banyak cara untuk mencapai solusi itu. Pendekatan ini
memberikan kesempatan pada siwa untuk "experience in finding something new in the process"
45
Jawab:
a. Sajikan permasalahan melalui situasi fisik yang nyata dimana konsep-konsep matematika
yang diamati dan dikaji oleh siswa.
b. Soal-soal pembuktian dapat diubah sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan
hubungan dan sifat-sifat dari variabel dalam persoalan itu.
d. Sajikan urutan bilangan atau tabel sehingga siswa dapat menemukan aturan matematika.
e. Berikan beberapa contoh konkrit dalam beberapa kategori sehingga siswa bisa
mengelaborasi sifat-sifat dari contoh itu untuk menemukan sifat-sifat yang umum.
Jawab:
a) Siswa berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering mengekspresikan idenya.
c) Siswa dengan kemapuan matematika rendah dapat merespon permasalahan dengan cara
mereka sendiri.
46
Jawab:
b) Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit sehingga
banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon permasalahan yang diberikan.
c) Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban mereka.
Jawab:
Menghadapkan siswa pada problem terbuka dengan menekankan pada bagaimana siswa
sampai pada sebuah solusi
Membimbing siswa untuk menemukan pola dalam mengkontruksi permasalahannya
sendiri
Membiarkan siswa memecahkan masalah dengan berbagai penyelsaian dan jawaban yang
beragam
Meminta siswa untuk menyajikan temuannya
9. Jelaskan tujuan pendekatan open-ended?
Jawab:
Jawab:
47
1) menyajikan Masalah; 2) Mendesain Pembelajaran; 3) memperhatikan dan mencatat respons
siswa; 4) membimbing dan mengarahkan siswa; dan 5) membuat kesimpulan
Jawab:
Inovasi pembelajaran adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif dari hal yang sudah ada
sebelumnya, serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan
tertentu dalam pembelajaran. Pembelajaran adalah suatu sistem, maka inovasi pembelajaran
harus mencakup al-hal yang berhubungan dengan komponen sistem tersebut, baik dalam artian
kurikulum, media, metode, kebijakan, maupun hal lain yang berhubungan dengan pembelajaran
Jawab:
Ada empat tahap utama dalam pengembangan ini yaitu : desain hasil, kreasi hasil, im[plementasi
hasil, dan penggunaan hasil.
Jawab:
Jawab:
48
ngaplikasikan konsep-konsep tersebut atau bisa dikatakan suatu pembelajaran matematika yang
berdasarkan pada hal-hal nyata atau real bagi siswa dan mengacu pada konstruktivis sosial
Jawab:
Jawab:
a. Didominasi oleh masalah- masalah dalam konteks, melayani dua hal yaitu sebagai
sumber dan sebagi terapan konsep matematika.
49
b. Perhatian diberikan pada pengembangan model –model, situasi, sikema,dan simbol –
simbol.
c. Sumbangan dari para siswa, sehingga siswa dapat membuat pembelajaran menjadi
konstruktif dan produktif, artinya siswa memproduksi sendiri dan mengkonstruksi sendiri
( yang mungkin berupa algoritma, rule atau aturan), sehingga dapat membimbing para
siswa dari level matematika informal menuju matematika formal.
d. Interaksi sebagai karakteristik dari proses pembelajaran matematika
e. ‘intertwinning’ ( membuat jalinan ) antar topik atau antar pokok atau antar standar
Jawab:
Pada dasarnya pendekatan realistik membimbing siswa untuk “ menemukan kembali” konsep –
konsep matematika yang pernah ditemukan oleh paera ahli matematika atau bila memungkinkan
siswa dapat menemukan sama sekali hala yang belum pernah di temukan. Pendekatan realistik
perlu dipertimbangkan untuk dijadikan alternatif dalam pembelajarn matematika. Namun perlu
diingta bhawa masalah kontekstual yang diungkapkan tidak selamanya berasala dari aktivitas
sehari – hari, melainkan juga bis dari konteks yang dapat di- imajinasika dalam pikiran siswa.
Jawab:
50
atau menginterpretasikan problem kontekstual, sehingga tercipta berbagai macam
pendekatan, atau metode penyelesaian, atau algoritma
d. Bagaiaman “ guru “ membuata kelas bekerja secara interaktif sehingga terjadi interaksi
diantara mereka antara siswa dengan siswa dalam kelompok kecil dan antrata anggota-
anggota kelompok dalam prestasi umum, serta antara siswa dan guru
e. Bagaimana guru membuat jalinan antara topik dengan topik lain, antara konsep dengan
konsep lain, dan antara satu simbol denngan simbol yang lain didalam rangkain topik
matematika.
Jawab:
a. Menggunakan dunia nyata. Pembelajaran matematika tidak dimulai dari sistem formal,
tetapi diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata). Dimana dalam hal ini siswa
menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
b. Menggunakan model-model. Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model
matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self
developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi konkret ke situasi abstrak
atau dari situasi informal ke situasi formal.
c. Menggunakan produksi dan konstruksi siswa. Siswa memiliki kesempatan untuk
mengembangkan strategi-strategi informal dalam memecahkan masalah yang dapat
mengarahkan pada pengkonstruksian prosedur-prosedur pemecahan. Dengan produksi
dan konstruksi, siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang siswa anggap
penting dalam proses belajar. Dengan bimbingan guru, siswa diharapkan dapat
menemukan kembali konsep matematika dalam bentuk formal.
d. Menggunakan Interaktif. Interaksi antar siswa dan dengan guru merupakan hal yang
sangat mendasar dalam proses pembelajaran matematika realistis.
e. Keterkaitan (intertwinment) unit belajar. Dalam pembelajaran matematika realistis, unit-
unit matematika berupa fenomena-fenomena belajar saling berkaitan dan sangat
diperlukan sekali. Dengan keterkaitan ini akan memudahkan siswa dalam proses
pemecahan masalah.
51
10. Jelaskan Fase realistic matematika education?
Jawab:
a. Fase Aktivitas. Pada fase ini, siswa mempelajari matematika melalui aktivitas doing,
yaitu dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain secara khusus. Siswa
diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam keseluruhan proses pendidikan sehingga
mereka mampu mengembangkan sejumlah mathematical tools yang kedalaman serta
liku-likunya betul-betul dihayati.
b. Fase Realitas. Tujuan utama fase ini adalah agar siswa mampu mengaplikasikan
matematika untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini, pembelajaran
dipandang suatu sumber untuk belajar matematika yang dikaitkan dengan realitas
kehidupan sehari-hari melalui proses matematisasi. Matematisasi dapat dilakukan secara
horizontal dan vertikal. Matematisasi horizontal memuat suatu proses yang diawali dari
dunia nyata menuju dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung makna
suatu proses perpindahan dalam dunia simbol itu sendiri.
c. Fase Pemahaman. Pada fase ini, proses belajar matematika mencakup berbagai tahapan
pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan solusi informal yang
berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan skema, sampai dengan menemukan
prinsip-prinsip keterkaitan.
d. Fase Intertwinement. Pada tahap ini, siswa memiliki kesempatan untuk menyelesaikan
masalah matematika yang kaya akan konteks dengan menerapkan berbagai konsep,
rumus, prinsip, serta pemahaman secara terpadu dan saling berkaitan.
e. Fase Interaksi. Proses belajar matematika dipandang sebagai suatu aktivitas sosial.
Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk melakukan sharing pengalaman,
strategi penyelesaian, atau temuan lainnya. Interaksi memungkinkan siswa untuk
melakukan refleksi yang pada akhirnya akan mendorong mereka mendapatkan
pemahaman yang lebih tinggi dari sebelumnya.
f. Fase Bimbingan. Bimbingan dilakukan melalui kegiatan guided reinvention, yaitu dengan
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mencoba menemukan
52
sendiri prinsip, konsep, atau rumus-rumus matematika melalui kegiatan pembelajaran
yang secara spesifik dirancang oleh guru.
53