Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TREND PEMBELAJARAN MATEMATIKA

“PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (RME) ”

Dosen Pengampu:
Novferma, S.Pd., M. Pd.
Sri Winarni, S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh
Kelompok 5 :

Irani Saputri (A1C221020)


Tiara Fitriana (A1C221141)
Hendarji Suryantoro (A1C221045)
Niken Amalia (A1C221051)
Angelina Margareta Br Sitepu (A1C221057)
Anisah Nabilah Hazim (A1C221059)
Chaterina Osela Br Purba (A1C221082)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala Rahmat serta karunia-
Nya makalah dengan judul “PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK” ini dapat
terselesaikan dengan baik tanpa kurang suatu apapun. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Ibu Novferma, S.Pd., M. Pd. dan Ibu Sri Winarni, S.Pd., M. Pd.. selaku dosen pengampu mata
kuliah Trend Pembelajaran Matematika yang telah membimbing dalam proses penyusunan
makalah ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan memperluas
wawasan bagi penulis maupun para pembaca. Penulis juga berharap agar ilmu yang terkandung
dalam makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca dalam kehidupan sehari-hari. Dengan
disusunnya makalah ini, semoga dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.
Penulis yakin masih terdapat kekurangan dalam penyusunan makalah ini, baik dari segi
penulisan maupun dari segi isi informasi. Untuk itu, penulis memohon maaf yang sebesar-
besarnya atas kesalahan atau kekeliruan yang ada. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini.

Jambi, 20 Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
C. Tujuan .......................................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ......................................................................................................... 3
A. Pendidikan Matematika Realistik Sebagai Pendekatan Pembelajaran
Matematika ................................................................................................................... 3
1. Dasar Filosofis ............................................................................................................... 3
2. Matematisasi Horizontal dan Vertikal ............................................................................ 4
3. Pemodelan Matematika .................................................................................................. 5
4. Realistik ≠ Kontekstual .................................................................................................. 6
5. Realistik vs Mekanistik .................................................................................................. 7
6. Karakteristik PMR ......................................................................................................... 8
B. Desain Pembelajaran Matematika Berparadigma Pendidikan Matematika
Realistik ....................................................................................................................... 9
1. Apa itu Desain Pembelajaran ......................................................................................... 9
2. Kerangka Kerja Perancangan Pembelajaran Matematika Berparadigma PMR .............. 10
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 12
A. Kesimpulan ................................................................................................................ 12
B. Saran .......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 13

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran yang membuat siswa menguasai konsep
yang diajarkan. Ketika seorang pembelajar, atau bisa kita katakan seorang pelajar, menguasai
konsep yang diajarkan, pelajaran yang mereka terima berarti bagi mereka dan bahkan berdampak
pada orang lain.
Ada kekhasan dalam matematika dimana objek penelitian bersifat abstrak dan tidak dapat
ditebak secara langsung. Objek abstrak ini disebut juga dengan objek mental atau pikiran
(Sumaldyono, 2004). Keberadaan objek mental tersebut menjadi tantangan bagi guru atau
pendidik dalam pendidikan matematika. Kesulitan-kesulitan tersebut mempengaruhi
pembelajaran matematika yang hanya terpaku pada rumus-rumus dan penerapannya pada
masalah-masalah matematika yang sangat sedikit kaitannya dengan kenyataan.
Menanggapi fenomena tersebut tentunya membutuhkan pendekatan pembelajaran
matematika yang menghubungkan materi matematika dengan realita siswa. PMR
menggabungkan pandangan tentang apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika,
dan bagaimana seharusnya matematika diajarkan. Dengan demikian diharapkan bahwa makalah
ini dapat menguraikan lebih lanjut mengenai PMR ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Dasar Filosofis Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran Matematika?
2. Bagaimana Matematisasi Horizontal dan Vertikal Pendidikan Matematika Realistik sebagai
Pendekatan Pembelajaran Matematika?
3. Bagaimana Pemodelan Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan Pembelajaran
Matematika?
4. Bagaimana Realistik ≠ Kontekstual Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran Matematika?
5. Bagaimana Realistik vs Mekanistik Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran Matematika?
6. Bagaimana Karakteristik PMR Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran Matematika?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Dasar Filosofis Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran.
2. Untuk mengetahui Matematisasi Horizontal dan Vertikal Pendidikan Matematika Realistik
sebagai Pendekatan Pembelajaran Matematika.
3. Untuk mengetahui Pemodelan Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran Matematika.
4. Untuk mengetahui Realistik ≠ Kontekstual Pendidikan Matematika Realistik sebagai
Pendekatan Pembelajaran Matematika.
5. Untuk mengetahui Realistik vs Mekanistik Pendidikan Matematika Realistik sebagai
Pendekatan Pembelajaran Matematika.
6. Untuk mengetahui Karakteristik PMR Pendidikan Matematika Realistik sebagai Pendekatan
Pembelajaran Matematika.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Matematika Realistik Sebagai Pendekatan Pembelajaran Matematika
1. Dasar Filosofi
Pandangan tentang PMR dewasa ini sebagian besar dipengaruhi oleh pandangan
Freudenthal tentang matematika (Heuvel-Panhuizen, 1998). Menurut Freudenthal, pembelajaran
matematika harus dihubungkan dengan dunia nyata, dekat dengan siswa, dan berkaitan dengan
kehidupan masyarakat, agar melekat menjadi sistem nilai yang diakui pada diri manusia.
Oleh karena itu, Freudenthal memandang bahwa pembelajaran matematika sebagai suatu
aktifitas yang dilakukan oleh manusia. Pandangan matematika sebagai suatu aktifitas manusia
merujuk pada proses pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada peserta
didik untuk melakukan kegiatan eksplorasi terhadap penomena/kejadian yang dapat dibayangkan
oleh peserta didik guna mengembangkan dan membangun pengetahuan mereka, bukan
memandang pembelajaran matematika sebagai suatu ilmu yang pembelajarannya melalui
pemindahan (transfer) pengetahuan. Ide pembelajaran matematika melalui eksplorasi terhadap
penomena/kejadian yang dapat dibayangkan oleh siswa ini kemudian dikenal dalam PMR
dengan istilah Dedactical Phenomenology.
Lebih lanjut, dalam PMR pembelajaran matematika seharusnya memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk mengalami proses penemuan kembali konsep-konsep matematika
dengan cara melakukan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan mereka untuk menemukan
konsep-konsep tersebut melalui bimbingan orang yang lebih ahli, dalam hal ini adalah guru. Ide
ini kemudian dikenal dengan istilah Guided Reinvention (proses penemuan terbimbing).
Selain dua ide di atas (Dedactical Phenomenology dan Guided Reinvention),
pembelajaran matematika dala PMR memberikan ruang kreasi yang luas kepada siswa untuk
mengembangkan representasi atau model matematika terhadap masalah matematika yang
dihadapi nantinya digunakan model untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika yang mereka
yakini. Ide ini dalam PMR dikenal dengan istilah Self-Developed Model (pengembangan model
matematika secara mandiri). Melalui kegiatan pemodelan ini, maka dalam PMR dikenal dua
jenis proses pemodelan (matematisasi), yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal.

3
2. Matematisasi Horizontal dan Vertikal
Pembelajaran matematika bukanlah suatu kegiatan transfer pengetahuan yang sifatnya
tertutup (dikotomi yaitu tidak memberikan ruang kepada ilmua diluar domain yang sedang
dibicarakan), akan tetapi suatu aktifitas penemuan kembali konsep-konsep matematika melalui
aktifitas-aktifitas yang sifatnya terbuka(holistik) melalui kegiatan pemodelan matematika
guna meningkatkan kemampuan matematika siswa ke tahap yang lebih abstrak dan formal. Ide
ini dalam PMR dikenal dengan istilah progressive mathematization (Freudenthal, 1968). Ide
progressive mathematization ini kemudian oleh Treffers (1978, 1987) dirumuskan dalam dua
tahapan proses, yaitu horizontal dan vertical mathematization. Kedua terminology ini secara
umum dapat dipahami sebagai berikut:
a. Horizontal Mathematization
Dalam tahapan horizontal mathematization, peserta didik merumuskan model matematika
dari masalah yang dikaji dengan menggunakan perangkat-prangkat matematika yang
diketahuinya guna membantu mereka dalam mengorganisir informasi yang ada dalam masalah
tersebut. Sederhananya, Horizontal mathematization merujuk pada kegiatan pemodelan masalah
secara matematis dari masalah matematika yang diberikan.
b. Vertical Mathematization
Tahapan selanjutnya setelah horizontal mathematization adalah vertical mathematization.
Vertical mathematization adalah proses analisis atau pengorganisasian kembali model-model
matematis yang didapatkan pada tahapan horizontal mathematization di atas guna
menyelesaikan masalah matematika yang diberikan dan juga guna mencapai pada pemahaman
matematika yang lebih abstrak dan formal. Hal-hal yang termasuk dalam tahapan ini adalah
penemuan hubungan, konsep, keterkaitan antar konsep, dan sebagainya berdasarkan analisis
model matematika yang telah ditemukan sebelumnya menggunakan sejumlah perangkat
matematika yang telah diketahui.
Untuk lebih jelasnya, matematisasi horizontal melibatkan kegiatan perpindahan dari
dunia penomena/kejadian ke dunia simbol yang merepresentasikan kejadian tersebut,
sedangkan matematisasi vertikal dimaknai sebagai proses pengotak- atikan dunia simbol
tersebut guna menemukan pola, aturan, hubungan, dan sebagainya guna menyelesaikan masalah
yang ada dan juga sebagai wahana untuk mencapai pemahaman matematika yang lebih abstrak
dan formal.

4
Untuk mengilustasikan ide matematisasi ini, perhatikan contoh masalah matematika
berikut ini yang tujuannya untuk mengembangkan pemahaman siswa sekolah dasar mengenai
penjumlahan dan pengurangan. “Sebuah Bis berangkat dari Stasiun A dan berakhir di Stasiun
B. Dari stasiun A, Bis tersebut mengangkut 12 penumoang. Dalam perjalanannya, Bis tersebut
berhenti sebanyak 3 kali. Pada Halte pertama ada 2 orang turun dan 3 orang naik ke kendaraan.
Halte selanjutnyan tidak ada yang turun akan tetapi ada penambahan 5 orang penumpang. Pada
Halte ketiga, ada 7 orang penumpang yang turun. Lalu, berapakah jumlah penumpang yang
sampai di Stasiun B?
Dalam menyelesaikan masalah tersebut, siswa awalnya akan mencoba merepresentasikan
masalah tersebut ke bentuk yang lebih mudah dipahami. Misalnya mengilustrasikan masalah
tersebut dalam gambar seperti terlihat pada gambar 5.1, atau yang lebih abstrak lagi seperti
pada gambar 5.2. Proses pemodelan masalah seperti ini disebut sebagai proses matematisasi
horizontal karena siswa tersebut sedang berusaha memodelkan masalah yang dikaji dengan
menggunakan perangkat-prangkat matematika yang diketahuinya guna membantu mereka
dalam mengorganisir informasi yang ada dalam masalah tersebut.
3. Pemodelan Matematika
Ketika menyelesaikan masalah matematika yang diberikan, siswa tidak hanya
mengembangkan pemahaman mereka, akan tetapi juga secara bersamaan mengembangkan
kemampuan mereka dalam mengembangkan model dan prangkat matematis. Proses
pengembangan yang dialami siswa dalam hal ini secara umum melalui tahap-tahap berikut ini:
a. Model dari masalah yang diberikan (Model of)
Ketika menyelesaikan masalah matematika, siswa mula-mula mengembangkan suatu
strategi dan model penyelesaian masalah yang sangat terkait dengan konteks masalah yang
diberikan, yaitu model solusi dari masalah tersebut.
Dari kasus Bis di atas, maka gambar 5.1 dan 5.2 dapat dikatagorikan sebagai proses
pemodelan pada level model dari masalah yang diberikan (Model of).
b. Model untuk masalah yang memiliki karakteristik yang sama (Model for)
Pada perkembangan selanjutnya, siswa mulai mengenal karakteristik yang bersifat umum
dari masalah tersebut yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan masalah lainnya yang
memiliki karakteristik yang sama dengan masalah tersebut. Akhirnya, model penyelesaian dari
masalah-masalah yang memiliki karakter yang sama ini membantu siswa untuk mengembangkan

5
model umum penyelesain masalah yang memungkinkan siswa untuk sampai pada bentuk
matematika yang lebih formal. Model penyelesaian dari masalah ini kemudian disebut sebagai
model untuk masalah dengan karakteristik tertentu.
kasus Bis di atas, maka gambar 5.3 dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah
yang serupa mengilustarikan proses pemodelan pada level Model for.
Ide mengenai proses model of dan mode for untuk mencapai pemahaman pada tingkat
formal diilustrasikan Model Ice Berg pada gambar di bawah ini:

Gambar 54. Ice Berg: Masalah -> Model of –> Model for -> matematika formal

4. Realistik ≠ Kontekstual
Kata ‘realistik’ pada Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) sering kali
disalahmaknai oleh orang yang baru mengenal PMR. Mereka menganggap bahwa PMR adalah
pembelajaran matematika mengenai dunia nyata dan oleh karena itu harus dimulai dari dunia
nyata. Padahal tidak selalu demikian. Alasan penggunaan kata ‘realistik’ pada PMR tidak
hanya dimaksudkan untuk menghubungkan dengan dunia nyata, akan tetapi dimaknai sebagai
penekanan pada proses pembelajaran yang menghadirkan masalah matematika yang dapat
dibayangkan oleh siswa’. Hal ini dikarenakan kata‘realistik’ dalam bahasa Belanda (bahasa yang
merupakan asal dari kata realistik pada PMR) di artikan sebagai "to imagine" yaitu usaha untuk
membayangkan sesuatu di secara nyata di alam fikiran. Ini artinya bahwa masalah pembelajaran
yang diberikan kepada siswa tidak harus berasal dari konteks nyata, akan tetapi dapat juga dari
masalah yang sifatnya fantasi, fiktif, dibuat-buat, bahkan bentuk matematika formal dan abstrak
dapat menjadi masalah matematika yang cocok asalkan saja dapat dibayangkan oleh siswa, yaitu
realistis bagi siswa.

6
5. Realistik vs Mekanistik
Penggunaan masalah-masalah dalam konteks sangat besar peranannya dalam PMR,
karena hal tersebut membantu siswa dalam membayangkan masalah matematika yang
dihadapinya. Hal ini sangat jauh berbeda dengan Pendekatan Matematika Mekanistik (PMM)
dalam pembelajaran matematika yang sebagian besar isinya adalah masalah matematika yang
hampa dan kurang bermakna bagi siswa.
Jika masalah kontekstual digunakan dalam PMM, maka masalah kontekstual tersebut
dijadikan sebagai media untuk menyimpulkan suatu proses pembelajaran dimana masalah
kontekstual dijadikan sebagai media untuk mengaplikasi pengetahuan yang sudah didapatkan
sebelumnya, yaitu melalui aktifitas pembelajaran yang non kontekstual. Dalam PMR, hal ini jauh
berbeda. Masalah kontekstual difungsikan sebagai salah satu sumber dalam proses pembelajaran.
Dalam bahasa lainnya, masalah kontekstual dalam RME digunakan. baik untuk mengangkat
(menghadirkan) ataupun mengaplikasikan konsep matematika yang dipelajari siswa.
Perbedaan lainnya antara PMR dan PMM juga terletak pada proses dan penyajian topik
pembelajaran. PMM dalam pelaksanaannya menerapkan proses pembelajaran yang sifatnya
mekanistik, yaitu terfokus pada suatu prosedur pengajaran dimana topik-topik pembelajaran
dibagi-bagi dalam bagian-bagian kecil yang tak bermakna; dan siswa diajarkan suatu prosedur
baku penyelesaian masalah melalui latihan-latihan yang pada umumnya dilakukan secara
individu.
PMR, di sisi lain, mengedepankan proses pembelajaran yang lebih kompleks guna
membangun pemamahaman konsep yang lebih bermakna. Daripada menjadi penerima
matematika yang sudah jadi (ready-made mathematics), siswa pada PMR dipandang sebagai
pembelajar yang aktif dalam proses pembelajaran, dimana mereka mengembangkan prangkat,
model, dan pemahaman mereka tentang matematika. Dalam hal ini, PMR memiliki kesamaan
dengan pendekatan pembelajaran matematika berbasis Socio-Constructivist. Persamaan lainnya
antara PMR dan Socio-Constructivist dalam pembelajaran matematika adalah pentingnya proses
pembelajaran yang memberikan ruang kepada siswa untuk berbagi pengalaman belajara kepada
siswa lainnya (pembelajaran kooperatif/kerjasama).

7
6. Karakteristik PMR
Berdasarkan penjelasan di atas, suatu proses pembelajaran dikatakan menerapkan PMR
jika dalam proses pembelajaran tersebut menghadirkan 5 karakteristik dari PMR (Treffers,
1987), yaitu:
a. Penggunaan konteks, yaitu eksplorasi masalah matematika dalam suatu konteks yang dapat
dibayangkan oleh siswa sebagai titik awal pembelajaran.
b. Penggunaan Model, yaitu pengembangan model dan prangkat matematika yang dilakukan
oleh siswa atas masalah matematika yang diberikan (model of dan model for).
c. Pemanfaatan hasil kerja dan konsetruksi siswa, yaitu penggunaan model solusi dan
kontribusi siswa sebagai dasar pengembangan pengetahuan matematika siswa ke yang lebih
tinggi atau lebih formal (progressive mathematization).
d. Proses pembelajaran berbasis interaktifitas, yaitu proses pembelajaran yang membuka
ruang diskusi dan interaksi antara siswa dan siswa; dan siswa dan guru (kooperatif).
e. Pengkaitan dengan berbagai pengetahuan lainnya, yatiu proses pembelajaran yang
bersifat terbuka dan holistik dimana pengetahuan-pengetahuan baik dalam ataupun luar
matematika dapat berkontribusi dalam proses pembelajaran.

Pembelajaran yang ideal adalah pembelajaran yang menjadikan para pembelajarnya


memperoleh penguasaan konsep tentang apa yang diajarkan. Ketika para pembelajar atau
katakanlah peserta didik tersebut menguasai konsep yang diajarkan, maka pelajaran yang
diperolehnya akan bermakna baginya dan bahkan berefek bagi orang lain. Semua pembelajaran
di setiap jenjang pendidikan formal mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi
berorientasi pada hal tersebut, termasuk pembelajaran matematika.

Mengajarkan materi matematika berbeda dengan mengajarkan materi dari ilmu-ilmu lain.
Matematika memiliki karakteristik khusus dimana objek kajiannya bersifat abstrak dan tidak
dapat diindera secara langsung. Objek abstrak tersebut biasa disebut juga objek mental atau
pikiran (Sumaldyono, 2004). Keberadaan objek mental tersebut menjadi tantangan bagi para
pengajar atau guru dalam mengajarkan matematika. Sudah tentu, mengajarkan sesuatu yang
tidak dapat diindera akan lebih sulit daripada mengajarkan sesuatu yang dapat diindera.
Kesulitan tersebut berdampak pada pengajaran matematika yang hanya terpaku pada rumus-
rumus dan penggunaannya pada soal matematika yang sedikit sekali keterkaitannya dengan

8
realitas. Kurangnya keterkaitan antara materi matematika dengan realitis peserta didik yang
kemudian membuat kebanyakan peserta didik/siswa memiliki minat yang rendah untuk
mempelajari matematika.

Menyikapi fenomena tersebut, tentu dipedukan suatu pendekatan pembelajaran


matematika yang mengaitkan materi-materi matematika dengan realitas yang dihadapi peserta
didik. Salah satunya adalah Realistic Mathematics Education (RME) yang dipopulerkan Oleh
Prof. Hans Freudenthal. Beliau berpandangan bahwa matematika adalah aktivitas manusia Oleh
karena itu matematika harus dikaitkan dengan realitas. RME menggabungkan pandangan tentang
apa itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana seharusnya
mengajarkan matematika. Pembahasan lebih lanjut mengenai RME akan diuraikan dalam
makalah ini.

B. Desain Pembelajaran Matematika Berparadigma Pendidikan Matematika Realistik


1. Apa itu Desain Pembelajaran

Perancangan pembelajaran atau dikenal dengan istilah desain pembelajaran adalah


seperangkat kegiatan merancang kegiatan pembelajaran beserta hal-hal yang diperlukan dalam
pembelajaran tersebut untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dicanangkan. Kegiatan ini
meliputi: kegiatan perumusan tujuan pembelajaran (ending point), pengkajian keadaan siswa
sasaran (starting point), perumusan hipotesis lintasan belajar untuk mencapai tujuan pembelajran
dengan memperhatikan keadaan siswa sasaran, dan penentuan durasi waktu pelaksanaan
kegiatan pembelajaran, serta perumusan mekanisme evaluasi untuk mengkaji keberhasilan
rancangan pembelajaran dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Dalam merancang pembelajaran Desain pembelajaran yang baik idealnya dirumuskan


dan disusun berdasarkan dan atau memperhatikan teori-teori atau kajian-kajian pembelajaran
yang relevan dan sudah diakui keabsahannya. Teori mengenai metode pengembangan perangkat
pembelajaran, misalnya, memegang peranan penting dalam mengembangkan suatu desain
pembelajaran. Pemahaman mengenai teori perkembangan peserta didik, seperti yang
diungkapkan oleh Piaget dan Vygotsky, akan sangat membantu dalam menentukan kegiatan dan
materi pembelajaran yang cocok bagi siswa sasaran berdasarkan tingkat kognitifnya. Di sisi lain,
teori perkembangan personal dan social, seperti yang dirumuskan oleh Erikson, akan sangat

9
membantu dalam menentukan norma, atmosfir, atau kultur belajar yang sesuai bagi siswa
sasaran.

Selain itu, kajian tentang sasaran pendidikan memiliki peranan yang penting dalam agar
proses pembelajaran yang dirancang mencapai tujuan pembelajaran seutuhnya. Sasaran
pembelajaran menurut Bloom, misalnya, akan membantu perancang dalam merancang
pembelajaran yang dapat menyentuh tiga ranah kompetensi dasar manusia, yaitu kognitif
(pengetahuan dan pemahaman), psikomotorik (keahlian), dan afektif (sikap dan prilaku). Selain
itu, kajiankajian mengenai hasil penelitian terkait dengan konten/isi pembelajaran, baik yang
bersifat didaktik (pengajaran) ataupun keilmuan, penting untuk dilakukan agar rumusan kegiatan
dan isi desain pembelajaran yang dirancang sesuai dengan perkembangan keilmuan yang
sebenarnya.

Secara umum pemahaman perancang desain pembelajaran mengenai teori-teori terkait


dengan metode perancangan pembelajaran, psikologi, pedagogy, didaktik dan domain keilmuan
yang dirancang akan sangat membantudalam merancang desain pembelajaran yang ideal guna
mewujdukan guru yang profesional.

2. Kerangka Kerja Perancangan Pembelajaran Matematika Berparadigma PMR

Salah satu persoalan dunia pendidikan dewasa ini adalah bagaimana menghadirkan suatu
kegiatan pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik melalui keterlibatan aktif peserta didik
dalam membangun pemahamannya sendiri dalam suasana pembelajaran yang koopertif. Lebih
khsusus lagi dalam pendidikan matematika, tawaran kegiatan pembelajaran yang efektif dalam
mengembangkan pengetahuan peserta didik dari satu konsep ke konsep lainnya yang lebih
abstrak dan lebih formal adalah masalah yang esensi dan mendasar dalam pendidikan
matematika sekarang ini.

Atas dasar permasalahan tersebut, Simon memperkenalkan suatu mekanisme


pengembangkan perangkat pembelajaran (kegiatan, tugas, media, dll) yang didasarkan pada
pandangan kuatnya hubungan antara bentuk kegiatan pembelajaran dengan efek pemahaman
yang dibangun dari kegiatan tersebut. Misalnya, jika seorang siswa belajar suatu konsep
matematika melalui konteks tertentu,maka kontek tersebut akan membentuk pemahaman siswa
terhadap konsep tersebut.Mekanisme pengembangan perangkat pembelajaran yang

10
diperkenalkan oleh Simon (1995) ini dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah
Hyphothetical Learning Trajectory (HLT) atau Hipotesis Lintasan Belajar (HLB).

HLB adalah sebuah rumusan hipotesis/perkiraan lintasan belajar yang seharusnya dilalui
oleh siswa untuk sampai pada tujuan pembelajaran yang dinginkan. Perkiraan ini tentu bukan
perkiraan yang mengada-ada, akan tetapi perkiraan yang didasarkan pada pemahaman,
pengalaman, dan intuisi perumus HLB mengenai langkah-langkah pembelajaran yang sesui
untuk mencapai tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

HLB terdiri atas tiga komponen dasar, yaitu tujuan kegiatan pembelajaran, bentuk
kegiatan pembelajaran, dan hipotesis/perkiraan respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran
tersebut. Rumusan tujuan, bentuk, perkiraan respon siswa tersebut tentu harus padu (coherence),
sesuai (relevance), dan efektif (effective) untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ketiga
komponen tersebut saling berkaitan, yaitu bentuk kegiatan pembelajaran akan sangat tergantung
pada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai yang kemungkinan ketercapaiannya tersebut dapat
ditinjau dari perkiraan/hipotesis respon siswa atas kegiatan tersebut. Misalnya, kegiatan
pembelajaran dalam situasi diskusi akan sesuai jika orientasi pembelajaran yang dicanangkan
adalah membangun kompetensi siswa dalam menyampaikan ide dan pendapat. Kegiatan
pembelajaran pengelompokan bendabenda dalam kumpulan sepuluhan akan cocok jika tujuan
pembelajarannya adalah untuk membangun pemahaman siswa mengenai sistem nilai tempat
dalam sistem bilangan desimal.

Tidak hanya tujuan pembelajaran yang akan menginspirasi bentuk kegiatan pembelajaran
atau sebaliknya, perkiraan/hipotesis respon yang diharapkan juga dapat menginspirasi tujuan dan
bentuk kegiatan pembelajaran. Jadi ketiga komponen tersebut saling berkaitan untuk mencapai
tujuan akhir dari serangkaian kegiatan pembelajaran yang dicanangkan.

Hubungan Tujuan, Kegiatan, dan Hipotesis Respon pada HLB

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Perancangan pembelajaran atau dikenal dengan istilah desain pembelajaran adalah
seperangkat kegiatan merancang kegiatan pembelajaran beserta hal-hal yang diperlukan
dalam pembelajaran tersebut untuk mencapai tujuan pembelajaran yang dicanangkan.
2. Salah satu persoalan dunia pendidikan dewasa ini adalah bagaimana menghadirkan suatu
kegiatan pembelajaran yang bermakna bagi peserta didik melalui keterlibatan aktif peserta
didik dalam membangun pemahamannya sendiri dalam suasana pembelajaran yang
koopertif.
3. Ketika menyelesaikan masalah matematika yang diberikan, siswa tidak hanya
mengembangkan pemahaman mereka, akan tetapi juga secara bersamaan mengembangkan
kemampuan mereka dalam mengembangkan model dan prangkat matematis.
4. Kata ‘realistik’ pada Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) sering kali disalahmaknai
oleh orang yang baru mengenal PMR.
5. PMR, di sisi lain, mengedepankan proses pembelajaran yang lebih kompleks guna
membangun pemamahaman konsep yang lebih bermakna.
6. matematika harus dikaitkan dengan realitas. RME menggabungkan pandangan tentang apa
itu matematika, bagaimana siswa belajar matematika, dan bagaimana sehamsnya
mengajarkan matematika.

B. Saran

Kami sebagai penyusun masih merasa banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini.
Oleh karena itu kami mohon saran yang bersifat membangun dari seorang pembaca. Dan semoga
makalah ini ini dapat bermanfaat dan pembaca dapat memahami isi dari makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

(Putrawangsa, November 2017).Desain Pembelajaran Matematika Realistik/ Susilahudin Putrawangsa.


—Ed. 1. —Cet. 1. —Mataram: CV. Reka Karya Amerta, 2017

13

Anda mungkin juga menyukai