Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH LANDASAN PEBELAJARAN MATEMATIKA SD

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Pembelajaran Matematika SD”


DOSEN PENGAMPU : Dra. Nurul Saila, M.M., M.Pd.

1. KARIMA ALIYAHTUS IBTIHAL (204420036)


2. TRI UTAMI PRASTYANINGSIH (204420057)
3. AFRILIA NADIA PUTRI NASUTION (204420066)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENGETAHUAN
UNIVERSITAS PANCA MARGA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Pembelajaran Matematika SD” .
Kami ucapkan terimakasih kepada dosen pengampu kami, ibu Dra. Nurul
Saila, M.M., M.Pd. yang telah membantu kami baik secara moral maupun materi.
Terimakasih juga kepada anggota kelompok kami yang telah bekerja sama dalam
menyelesaikan makalah ini sehingga kami bisa menyelesaikan tugas ini tepat
waktu.
Kami menyadari, bahwa makalah tentang Pembelajaran Matematika SD
yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna baik segi penyusunan, bahasa,
maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis
bisa menjadi lebih baik lagi di masa mendatang.
Semoga makalah tentang Pembelajaran Matematika SD ini bisa
menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan
peningkatan ilmu pengetahuan.

Probolinggo, 16 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1 Latar Belakang..............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.........................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah.............................................................................................2
BAB ll PEMBAHASAN......................................................................................4
2.1 Landasan Pembelajaran Matematika di SD ................................................4
2.2 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Thorndike ....................5
2.3 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Ausubel ........................6
2.4 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Vygotsky ...............................7
2.5 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Jerome
Bruner ..........................................................................................................7
2.6 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Pemecahan Masalah (George
Polya) ..........................................................................................................9
2.7 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Van Hiele (Hierarkis
Belajar Geometri) ........................................................................................12
2.8 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan RME (Realistic Mathematics
Education) ...................................................................................................17
2.9 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Peta Konsep ...........................19
BAB lll PENUTUP...............................................................................................20
3.1 Kesimpulan..................................................................................................20
3.2 Saran............................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan
penting dalam bidang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan
Tinggi. Guru menyadari bahwa matematika sering dianggap sebagai pelajaran
yang membosankan, pelajaran yang tidak disenangi oleh sebagian besar siswa.
Selain itu guru masih menggunakan metode konvensional di mana guru bertindak
sebagai pemberi informasi dan siswa bertindak sebagai penerima informasi, pada
metode konvensional guru berperan aktif sedangkan siswa cenderung pasif.
Kenyataan di lapangan saat ini meskipun matematika merupakan pengetahuan
dasar yang erat hubunganya dengan kehidupan sehari-hari, namun pelajaran
matematika salah satu pelajaran yang paling tidak disenangi siswa. Matematika
dianggap sebagai pelajaran yang rumit dan sulit, sehingga kemampuan siswa
dalam pengetahuan dasar masih sangat kurang. Oleh karena itu ketidakmampuan
sering menimbulkan kejenuhan dan rasa malas terutama dalam menganalisis
secara benar untuk memecahkan soal. Di samping itu pemilihan metode mengajar
oleh guru yang tidak tepat sangat mempengaruhi pencapaian tujuan belajar.
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang rumit karena tidak sekedar menyerap
informasi dari guru, tetapi melibatkan berbagai kegiatan maupun tindakan yang
harus dilakukan terutama jika diinginkan hasil yang baik. Salah satu pembelajaran
yang menekankan berbagai tindakan adalah menggunakan metode tertentu dalam
pembelajaran. Pendekatan dalam pembelajaran merupakan suatu upaya dalam
mengembangkan keaktifan belajar.
Dalam pengajaran matematika siswa diharapkan lebih aktif sehingga akan
berdampak pada ingatan siswa tentang apa yang dipelajari akan lebih lama
diingat. Konsep akan lebih mudah diingat dan dipahami bila konsep tersebut
disajikan melalui prosedur dan langkah yang tepat. Keaktifan siswa dalam belajar
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam belajar.
Untuk mengatasi masalah yang berkelanjutan maka perlu diterapkan metode
pembelajaran yang tepat sehingga dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam

1
pembelajaran matematika. Para guru harus menyusun dan menerapkan berbagai
model pembelajaran yang bervariasi sehingga siswa tertarik dan semangat dalam
belajar matematika. Metode belajar yang menarik minat serta keaktifan siswa
adalah menempatkan siswa secara kelompok dan langsung pada objek.
Pembelajaran kelompok dapat meningkatkan siswa dalam berpikir kritis, kreatif,
dan menumbuhkan rasa sosial yang tinggi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Sebutkan dan jelaskan landasan pembelajaran matematika di SD!
2. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan Teori Thorndike?
3. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan Teori Ausubel?
4. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan Teori Vygotsky?
5. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan Teori Jerom
Bruner?
6. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan Pemecahan
Masalah (George Polya)?
7. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan Teori Van Hiele
(Hierarkis Belajar Geometri)?
8. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan RME (Realistic
Mathematics Education)?
9. Bagaimana pembelajaran matematika SD berdasarkan Peta Konsep?

1.3 Tujuan Masalah


1. Mahasiswa mampu mengetahui landasan pembelajaran matematika di
SD.
2. Mahasiswa mampu memahami pembelajaran matematika SD
berdasarkan Teori Thorndike.
3. Mahasiswa mampu memahami pembelajaran matematika SD
berdasarkan Teori Ausubel.
4. Mahasiswa mampu memahami pembelajaran matematika SD
berdasarkan Teori Vygotsky.

2
5. Mahasiswa mampu memahami pembelajaran matematika SD
berdasarkan Teori Jerom Bruner.
6. Mahasiswa mampu memahami pembelajaran matematika SD
berdasarkan Pemecahan Masalah (George Polya).
7. Mahasiswa mampu memahami pembelajaran matematika SD
berdasarkan Teori Van Hiele (Hierarkis Belajar Geometri).
8. Mahasiswa mampu memahami pembelajaran matematika SD
berdasarkan RME (Realistic Mathematics Education).
9. Mahasiswa mampu mengetahui pembelajaran matematika SD
berdasarkan Peta Konsep.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Landasan Pembelajaran Matematika di SD


Gerakan atau reformasi untuk memperbaiki matematika di sekolah selalu
terjadi dan mengalir dari waktu ke waktu. Isi, metode pembelajaran, urutan
pembelajaran, dan cara evaluasi pembelajaran dimodifikasi, direformasi, dan
direstrukturisasi. Tiga faktor utama yang melandasi gerakan perubahan adalah
keberadaan dan perkembangan teori-teori belajar, psikologi belajar, dan filsafat
pendidikan. Ketiganya memberi warna dan arah perubahan terutama dalam
memandang dan melaksanakan pembelajaran, dan memposisikan guru dan peserta
didik. Teori Thorndike yang bersifat behavioristik (mekanistik) memberi warna
yang kuat perlunya latihan dan mengerjakan soal-soal matematika, sehingga
peserta didik diharapkan terampil dan cekatan dalam mengerjakan soal-soal
matematika yang beragam. Penerapan teori Thorndike ini ditengarai banyak
penyimpangan karena pada akhirnya target pencapaian materi pelajaran menjadi
sasaran utama, peserta didik menjadi terpaku pada keterampilan dan kurang dalam
kemampuan menjelaskan alasan atau kurang menguasai konsep. Peserta didik
mengalami kesulitan mengerjakan suatu soal yang fakta-faktanya diubah,
dikurangi atau ditambah. Akibat lain dari penerapan teori Thorndike adalah para
guru lebih berorientasi pada hasil (target), dan kurang memperhatikan pada
proses. Materi-materi dan keterampilan-keterampilan baru terus-menerus
ditambahkan, tetapi konsepkonsep matematika kurang dikaitkan dan kurang
diintegrasikan.
Landasan pembelajaran matematika itu berdasarkan pada:
 Keberadaan dan perkembangan teori-teori belajar.
 Psikologi belajar.
 Filsafat pendidikan.
Ketiga faktor tersebut memberikan warna dan perubahan terutama dalam
memandang dan melaksanakan pembelajaran, memposisikan guru dan peserta
didik. Perubahan pembelajaran Matematika, terdiri dari:
 Teori tentang pemahaman pada tahun 1960.
4
 Teori keterampilan berhitung pada tahun 1970.
 Teori problem solving pada tahun 1980.
 Teori aliran konstruktivis pada tahun 1990.
Pembelajaran matematika memiliki beberapa tujuan. Tujuan pembelajaran
matematika menurut Kemendikbud 2013 yaitu (1) meningkatkan kemampuan
intelektual, khususnya kemampuan tingkat tinggi siswa, (2) membentuk
kemampuan siswa dalam menyelesaikan suatu masalah secara sistematik, (3)
memperoleh hasil belajar yang tinggi, (4) melatih siswa dalam
mengkomunikasikan ide-ide, khususnya dalam menulis karya ilmiah, dan (5)
mengembangkan karakter siswa. Tujuan pembelajaran matematika tingkat SD/MI
adalah agar siswa mengenal angka-angka sederhana, operasi hitung sederhana,
pengukuran, dan bidang.
Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran matematika, pada saat ini
Sekolah-sekolah di Indonesia sebagian telah menerapkan Kurikulum 2013.
Penerapan kurikulum 2013 menggunakan pendekatan Saintifik. Menurut
Kemendikbud 2013 pendekatan saintifik memiliki karakteristik (1) berpusat
kepada siswa, (2) melibatkan keterampilan proses sains dan mengkontruksi
konsep, hukum atau prinsip dan (3) melibatkan proses kognitif yang potensial
dalam merangsang perkembangan intelek, khususnya keterampilan berfikir
tingkat tinggi siswa. Kegiatan pembelajaran yang menggunakan pendekatan
saintifik terdiri dari mengamati untuk mengidentifikasi hal-hal yang ingin
diketahui, menanya untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang
diamati, mencoba atau mengumpulkan data dari nara sumber, mengolah informasi
yang telah diperoleh dalam rangka menemukan suatu pola dan meyimpulkan,
mengkomunikasikan hasil pengamatan, dan mencipta produk berdasarkan
pengetahuan yang dipelajari. Pelaksanaan kurikulum 2013 tentunya berbeda
dengan kurikulum yang sebelumnya.

2.2 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Thorndike


Sebelum tahun lima-puluhan, kurikulum matematika sekolah dasar
dipengaruhi oleh teori Thorndike, ditandai terutama dengan pengembangan
keterampilan komputasional bilangan cacah, pecahan, dan desimal. Teori
5
Thorndike disebut teori penyerapan, yaitu teori yang memandang peserta didik
sebagai selembar kertas putih, penerima pengetahuan yang siap menerima
pengetahuan secara pasif. Menurut Thorndike (1924), belajar dikatakan sebagai
berikut: "learning in essentially the formation of connections or bonds between
situations and responses ... and that habit rules in the realm of thought as truly and
as fully in the realm of action". Pandangan belajar seperti ini mempunyai dampak
terhadap pandangan mengajar. Mengajar dipandang sebagai perencanaan dari
urutan bahan pelajaran yang disusun dengan cermat, mengkomunikasikan bahan
kepada peserta didik, dan membawa mereka untuk praktik menggunakan konsep
atau prosedur baru. Konsep dan prosedur baru itu akan semakin mantap jika
makin banyak praktik (latihan) dilakukan. Keterampilan dan konsep baru sekadar
ditambahkan terus-menerus, tidak dikait-kaitkan atau diintegrasikan satu sama
lain. Kekuatan hubungan stimulus dan respons mewarnai matematika di sekolah
dasar, misalnya stimulus 7 + 8 = yang mempunyai respons 15, yang banyak
digunakan untuk membawa peserta didik terampil komputasi. Pada prinsipnya
teori Thorndike menekankan banyak memberi praktik dan latihan (drill &
practice) kepada peserta didik agar konsep dan prosedur dapat mereka kuasai
dengan baik.

2.3 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Ausubel


Teori makna (meaning theory) dari Ausubel (Brownell dan Chazal)
mengemukakan pentingnya pembelajaran bermakna dalam mengajar matematika.
Kebermaknaan pembelajaran akan membuat kegiatan belajar lebih menarik, lebih
bermanfaat, dan lebih menantang, sehingga konsep dan prosedur matematika akan
lebih mudah dipahami dan lebih tahan lama diingat oleh peserta didik.
Kebermaknaan yang dimaksud dapat berupa struktur matematika yang lebih
ditonjolkan untuk memudahkan pemahaman (understanding). Wujud lain
kebermaknaan adalah pernyataan konsepkonsep dalam bentuk bagan, diagram
atau peta, yang mana tampak keterkaitan di antara konsep-konsep yang diberikan.
Teori ini juga disebut teori holistik karena mempunyai pandangan pentingnya
keseluruhan dalam mempelajari bagian-bagian. Bagan atau peta keterkaitan dapat

6
bersifat hierarkis atau bersifat menyebar (distributif), sebagai bentuk lain dari
rangkuman, ringkasan atau ikhtisar.

2.4 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Vygotsky


Contoh dalam pembelajaran, jika seseorang siswa membuat suatu
kesalahan dalam mengerjakan sebuah soal, sebaiknya guru tidak langsung
memberitahukan di mana letak kesalahan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang
siswa menyatakan bahwa untuk sebaran bilangan real x dan y berlaku (x-y) 2 = x2 -
y2. Guru tidak perlu langsung menyatakan bahwa itu salah. Lebih baik guru
memberi pernyataan yang sifatnya menuntun, misalnya: “apakah (3-2)2 = 32 - 22?”
Dengan menjawab pertanyaan, siswa akan bisa menemukan sendiri letak
kesalahannya yang ia buat pada pernyataan semula. Dari contoh ini kiranya jelas
bahwa guru bisa membantu siswa dengan cara memilih pendekatan pembelajaran
yang sesuai, agar proses konstruksi pengetahuan dalam pikiran siswa bisa
berlangsung secara optimal. Pertanyaan yang diajukan guru tersebut untuk
menuntun siswa supaya pada akhirnya siswa bisa menemukan sendiri letak
kesalahan yang ia buat, merupakan contoh scaffolding (tuntunan atau dukungan
yang dinamis) dari guru pada siswa.
Guru kiranya bisa memanfaatkan baik teori Piaget maupun teori Vygotsky
dalam upaya untuk melakukan proses pembelajaran yang efektif. Di satu pihak,
guru perlu mengupayakan supaya siswa berusaha agar bisa mengembangkan diri
masing-masing secara maksimal, yaitu mengembangkan kemampuan berpikir dan
bekerja secara independen (sesuai dengan teori Piaget), di lain pihak, guru perlu
juga mengupayakan supaya tiap-tiap siswa juga aktif berinteraksi dengan siswa-
siswa lain dan orangorang lain di lingkungan masing-masing (sesuai dengan teori
Vygotsky). Jika kedua hal itu dilakukan, perkembangan kognitif tiap-tiap siswa
akan bisa terjadi secara optimal.

2.5 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Jerome Bruner


Jerome Bruner membagi proses belajar menjadi 3, yaitu tahap enaktifatau
tahap kegiatan (enactive), tahap ikonik atau tahap gambarbayangan (iconic), dan

7
tahap simbolik (symbolic). Aplikasi teori belajar Bruner secara umum adalah
sebagai berikut:
 Tahap 1 (Enactive)
Setiap kita hendak melakukan pembelajaran tentang konsep, fakta,
atau prosedur dalam matematika yang sifatnya abstrak,harus diawali
dari persoalan sehari-hari yang sederhana(peristiwa di lingkungan
sekitar). Atau dapat juga menggunakanbenda-benda riil atau nyata
atau benda fisik. Kita mengenalnyasebagai benda konkret.
 Tahap 2 (Iconic)
Setelah memanipulasikan benda konkret melalui persoalan sehari-hari
dari lingkungan sekitar peserta didik, pembelajaran dilanjutkan
dengan membentuk modelnya sebagai bayangan mental dari benda
atau peristiwa keseharian tersebut. Model matematika di sini adalah
berupa gambaran dari bayangan. Kita mengenalnya dengan sebutan
mode semi konkret atau model semi abstrak.
 Tahap 3 (Symbolic)
Pada tahap ketiga, pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
simbol-simbol yang bersifat abstrak sebagai wujud dari bahasa
matematika. Kita mengenalnya dengan model abstrak.
Contoh penggunan teori Bruner pada operasi hitung
penjumlahan peserta didik kelas 1 SD :
 Tahap 1
Pembelajaran dimulai dari model konkret, yaitu menggunakanbenda-
benda nyata. Dalam hal ini dapat menggunakan buku.Kita sampaikan
dengan kata-kata "Ifah memiliki 3 buku, diberi 2 lagi oleh ibunya,
berapa buah buku yang dimiliki Ifah sekarang?".
 Tahap 2
Langkah berikutnya kita buatkan modelnya, yaitu model semikonkret
yang tidak menggunakan benda-benda nyata sepertibuku sebenarnya.
Model cukup dengan gambar buku ataudiagram. Digaram yang
dimaksud dapat berupa tAnda-tanda tertentu sebagai turus (tally) atau
bundaran, dan sebagainya. Perhatikan ilustrasi berikut:
8
 Tahap 3
Langkah ini dapat ditempuh dengan menggunakan simbolsecara
abstrak. Peserta didik dapat mengerti arti dari "tiga"maupun arti dari
"dua" tanpa bantuan apa-apa. Tahap inimerupakan wujud dari
pembelajaran Matematika sebagaibahasa simbol yang padat arti dan
bersifat abstrak. Perhatikanilustrasi berikut.
3 buku + 2 buku = ... buku.
3+2=n

2.6 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Pemecahan Masalah


(George Polya)
Langkah-langkah penerapan strategi penyelesaian masalah menurut
Polya
Menurut polya dalam pemecahan masalah. Ada empat langkah
yangharus dilakukan, Keempat tahapan ini lebih dikenal dengan See
(memahami problem), Plan (menyusun rencana), Do (melaksanakan rencana)
dan Check (mengujijawaban), sudah menjadi jargon sehari-hari dalam
penyelesaian problem sehingga Polya layak disebut dengan “Bapak problem
solving.” Gambaran umum dari kerangka kerja Polya:
Pemahaman pada masalah (Identifikasi dari tujuan)
Langkah pertama adalah membaca soalnya dan meyakinkan diri
bahwa Anda memahaminya secara benar. Tanyalah diri Anda dengan

9
pertanyaan: 1) Apa yang tidak diketahui?; 2) Kuantitas apa yang diberikan
pada soal?;3) Kondisinya bagaimana?; dsn Apakah ada pengecualian?
Untuk beberapa masalah akan sangat berguna untukmembuat
diagranmnya dan mengidentifikasi kuantitas-kuantitas yang diketahui dan
dibutuhkan pada diagram tersebut. Biasanya dibutuhkan membuat beberapa
notasi (x, a, b, c, V = volume, m = massa).
Membuat Rencana Pemecahan Masalah
Kedua: Carilah hubungan antara informasi yang diberikan dengan
yangtidak diketahui yang memungkinkanAnda untuk memghitung variabel
yang tidak diketahui. Akan sangat berguna untuk membuat pertanyaan:
“Bagaimana saya akan menghubungkan hal yang diketahui untuk mencari hal
yang tidak diketahui? “Jika Anda tak melihat hubungan secara langsung,
gagasan berikut ini mungkin akan menolong dalam membagi masalah ke sub
masalah: 1) Membuat sub masalah; 2) Pada masalah yang komplek, akan
sangat berguna untuk membantu jika Anda membaginyakedalam beberapa
sub masalah, sehingga Anda dapat membangunya untukmenyelesaikan
masalah; 3) Cobalah untuk mengenali sesuatu yang sudahdikenali; 4)
Hubungkan masalah tersebut dengan hal yang sebelumnya sudah dikenali.
Lihatlah pada hal yang tidak diketahui dan cobalah untukmengingat masalah
yang mirip atau memiliki prinsip yang sama; 5) Cobalah untuk mengenali
polanya; 6) Beberapa masalah dapat dipecahkandengan cara mengenali
polanya. Pola tersebut dapat berupa pola geometriatau pola aljabar. Jika Anda
melihat keteraturan atau pengulangan dalamsoal, Anda dapat menduga apa
yang selanjutnya akan terjadi dari pola tersbut dan membuktikannya; 7)
Gunakan analogi; 8) Cobalah untukmemikirkan analogi dari masalah tersebut,
yaitu, masalah yang mirip, masalah yang berhubungan, yang lebih sederhana
sehingga memberikan Andapetunjuk yang dibutuhkan dalam memecahkan
masalah yang lebih sulit. Contoh, jika masalahnya ada pada ruang tiga
dimensi, cobalah untukmelihat masalah sejenis dalam bidang dua dimensi.
Atau jika masalah terlalu umum, Anda dapat mencobanya pada kasus khusus;
9) Masukan sesuatu yang baru; 10) Mungkin suatu saat perlu untuk
memasukan sesuatuyang baru, peralatan tambahan, untuk membuat

10
hubunganantara data dengan hal yang tidak diketahui.Contoh, diagram sangat
bermanfaat dalammembuat suatu garis bantu; 11) Buatlah kasus, Kadang-
kadang kita harusmemecah sebuah masalah kedalam beberapa kasus dan
pecahkan setiapkasus terbut; dan 12) Mulailah dari akhir (Asumsikan
Jawabannya). Sangat berguna jika kita membuat pemisalan solusi masalah,
tahap demi tahapmulai dari jawaban masalah sampai ke data yang diberikan
Malaksanakan Rencana
Ketiga. Menyelesaikan rencana Anda: Dalam melaksanakan rencana
yangtertuang pada langkah kedua, kita harus memeriksa tiap langkah dalam
rencana dan menuliskannya secara detail untuk memastikan bahwa tiap
langkah sudah benar. Sebuah persamaan tidaklah cukup!
Lihatlah kembali
Keempat. Ujilah solusi yang telah didapatkan. Kritisi hasilnya.
Lihatlahkelemahan dari solusi yang didapatkan (seperti: ketidak konsistenan
atauambiguitas atau langkah yang tidak benar )
Pada saat guru menggunakan strategi ini, sebaiknya ditekankan bahwa
penggunaan objek yang dicontohkan dapat diganti dengan satu model yang
lebih sederhana, misalnya: 1) Membuat gambar atau diagram: Penekanan ini
perludilakukan bahwa gambar atau diagram yang dibuat tidak perlu
sempurna, terlalubagus atau terlalu aktual, yang penting bagian-bagian
terpenting dari gambar itudapat memperjelas masalah; 2) Menemukan pola:
Kegiatan matematika yangberkaitan dengan proses menemukan suatu
poladari sejumlah data yang diberikan,dapat mulai dilakukan melalui
sekumpulan gambar atau bilangan. Kegiatan yangmungkin dilakukan antara
lain dengan mengobservasi sifat-sifat yang dimilikibersama oleh kumpulan
gambar atau bilangan yang tersedia. Sebagai suatustrategi untuk pemecahan
masalah, pencarian pola yang pada awalnya hanyadilakukan secara pasif
melalui permasalahan yang dikeluarkan oleh guru, padasuatu saat
keterampilan itu akan terbentuk dengan sendirinya sehingga pada
saatmenghadapi permasalahan tertentu, salah satu pertanyaan yang mungkin
munculpada benak seseorang antara lain adalah: ”Adakah pola atau
keteraturan tertentuyang mengaitkan tiap data yang diberikan?”. Tanpa

11
melalui latihan sangat sulitbagi seseorang untuk menyadari bahwa dalam
permasalahan yang dihadapinyaterdapat pola yang bisa diungkap; 3)
Membuat tabel: Mengorganisasi data kedalam sebuah tabel dapat membantu
kita dalam mengungkapkan suatu polatertentu serta dalam mengidentifikasi
informasi yang tidak lengkap. Penggunaantabel merupakan langkah yang
sangat efisien untuk melakukan klasifikasi sertamenyusun sejumlah besar
data sehingga apabila muncul pertanyaan baruberkenaan dengan data
tersebut, maka kita akan dengan mudah menggunakan datatersebut, sehingga
jawaban pertanyaan tadi dapat diselesaikan dengan baik; 4)Memperhatikan
semua kemungkinan secara sistematik: Strategi ini biasanyadigunakan
bersamaan dengan strategi mencari pola dan menggambar tabel.Dalam
menggunakan strategi ini, kita tidak perlu memperhatikan
keseluruhankemungkinan yang bisa terjadi.Yang kita perhatikan adalah
semua kemungkinan yang diperoleh dengan cara sistematik. Yang dimaksud
sistematik disini misalnya dengan mengorganisasikan data berdasarkan
kategori tertentu. Namun demikian, untuk masalah-masalah tertentu, mungkin
kita harus memperhatikan semua kemungkinan yang bisa terjadi; dan 5)
Tebak dan periksa (Guess and Check): Strategi menebak yang dimaksudkan
disini adalah menebak yang didasarkan pada alasan tertentu serta kehati-
hatian. Selain itu, untuk dapat melakukan tebakan dengan baik seseorang
perlu memiliki pengalaman cukup yang berkaitan dengan permasalahan yang
dihadapi.

2.7 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Teori Van Hiele (Hierarki


Belajar Geometri)
 Tahapan Pemahaman Geometri Teori Van Hiele
Berikut ini tahapan belajar anak dalam belajar Geometri menurut Van
Hiele :
1. Tahap Pengenalan (Visualisasi)
Pada tahap pengenalan ini siswa baru mengenal bangun-bangun
geometri dapat mengidentifikasi bentuk secara keseluruhan dan
menentukan secara lisan sesuai dengan kenampakannya. Siswa mampu

12
membangun, menggambar dan menyalin bentuk serta menyebutkan bentuk
geometri dengan nama standar atau bukan nama standar. Seperti persegi,
persegi panjang, jajargenjang, trapesium, segitiga, belah ketupat, layang-
layang, kubus, balok dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya
kita hadapkan pada sejumlah bangun-bangun geometri, maka anak akan
menunjukkan bentuk persegi. Pada tahap ini, anak belum mengenal sifat-
sifat bangun geometri sehingga guru diharapkan untuk tidak memberikan
pertanyaan seperti “apakah pada persegi, kedua diagonalnya sama?”, jika
guru tetap memberikan pertanyaan tersebut maka siswa akan menerimanya
melalui hafalan bukan pengertian.
2. Tahap Analisis (Analysis)
Pada tahap ini siswa sudah dapat memahami sifat-sifat bangun
geometri seperti jika diberikan kubus, maka siswa akan menyatakan jika
kubus mempunyai 6 sisi dan 12 rusuk. Pada tahap ini siswa belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan
bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan (Abstraction)
Pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan yang
terkait dengan antara suatu bangun geometri yang satu dengan yang
lainnya. Siswa pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-
bangun geometri dan dapat mengikuti langkah pembuktian tetapi belum
dapat melakukannya sendiri. Misalnya siswa sudah mengetahui
jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu
adalah balok. Tahap ini anak sudah mampu untuk melakukan penarikan
kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum
berkembang baik. Pada tahap ini siswa belum mampu memberikan alasan
yang rinci ketika ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu
sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.
4. Tahap Deduksi (Deduction)
Matematika dikatakan sebagai ilmu deduktif karena seperti
pengambilan kesimpulan dan membuktikan teorema-teorema dilakukan
dengan cara deduktif. Pada tahap ini siswa sudah mampu memahami

13
secara deduksi yang artinya siswa mampu mengambil keputusan secara
deduktif atau penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus.
Siswa pada tahap ini dapat menggunakan teorema, aksioma dan definisi
dalam pembuktian geometri. Sebagai contoh pembuktian deduktif untuk
menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang 360 secara
deduktif dibuktikan menggunakan prinsip kesejajaran. Sedangkan pada
pembuktian induktif siswa harus memotong-motong sudut-sudut benda
jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya
membentuk sudut satu putaran penuh atau 360 belum tuntas dan belum
tentu tepat. Pembuktian induksi kurang tepat untuk sebuah pengukuran
sehingga pembuktian deduktif lebih tepat digunakan. Pada tahap ini siswa
telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan,
disamping unsur yang didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema.
Siswa pada tahap ini belum bisa menjawab “mengapa sesuatu itu disajikan
teorema atau dalil?”.
5. Tahap keakuratan (Rigor)
Tahap ini merupakan tahap terakhir dari perkembangan kognitif
siswa dalam memahami geometri. Tahap ini siswa sudah memahami
betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi
suatu pembuktian. Siswa pada tahap ini sudah memahami mengapa
sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Siswa dapat menafsirkan dan
menerapkan teorema dan definisi geometri Euclidean dalam non geometri
Euclidean. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami
geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang kompleks dan
rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai
pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat
SMA.
 Fase-Fase Pembelajaran Geometri Teori Van Hiele
Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran
geometrik. Menurut Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang
satu ke tingkat berikutnya tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau
perkembangannya, dan tergantung lebih banyak kepada akibat pembelajarannya.

14
Guru memegang peran penting dan istimewa untuk memperlancar kemajuan,
terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan. Walaupun demikian,
teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi tentang belajar mengajar.
Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung menurut
pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak
sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi.
Meskipun demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan
guru. Oleh karena itu, maka ditetapkan fase-fase pembelajaran yang menunjukkan
tujuan belajar siswa dan peran guru dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan
itu. Fase-fase pembelajaran tersebut adalah:
1. Fase informasi.
2. Fase orientasi.
3. Fase eksplisitasi.
4. Fase orientasi bebas.
5. Fase integrasi.
Setelah selesai fase kelima ini, maka tingkat pemikiran yang baru tentang
topik itu dapat tercapai. Pada umumnya, hasil penelitian di Amerika Serikat dan
negara lainnya menetapkan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berguna untuk
menggambarkan perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai
Perguruan Tinggi.
a) Fase 1: Informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab
dan kegiatan tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir
siswa. Dalam hal ini objek yang dipelajari adalah sifat komponen dan
hubungan antar komponen bangunbangun segi empat. Guru mengajukan
pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi. Tujuan dari
kegiatan ini adalah: (1) guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki
siswa tentang topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang
muncul dalam rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan
diambil.

15
b) Fase 2: Orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan
cermat telah disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur
menampakkan kepada siswa struktur yang memberi ciri-ciri sifat
komponen dan hubungan antar komponen suatu bangun segi empat. Alat
atau pun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga dapat
mendatangkan respon khusus.
c) Fase 3: Penjelasan
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan
pandangan yang muncul mengenai struktur yang diobservasi. Di samping
itu, untuk membantu siswa menggunakan bahasa yang tepat dan akurat,
guru memberi bantuan sesedikit mungkin. Hal tersebut berlangsung
sampai sistem hubungan pada tahap berpikir mulai tampak nyata. Seperti
Siswa diberi bemacam-macam potongan segiempat. Mereka diminta untuk
mengelompokkan segiempat berdasarkan sifat-sifat tertentu
d) Fase 4: Orientasi
Bebas Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa
tugas yang memerlukan banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan
banyak cara, dan tugas yang open-ended. Mereka memperoleh
pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri, maupun dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa dalam
bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi jelas. Misalnya,
dengan menggunakan potongan segitiga, siswa diminta untuk membentuk
segiempat, dan menyebutkan nama segiempat yang telah terbentuk.
e) Fase 5: Integrasi
Siswa meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari.
Guru dapat membantu siswa dalam membuat sintesis ini dengan
melengkapi survey secara global terhadap apa yang telah dipelajari. Hal ini
penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan sesuatu yang baru. Pada
akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang baru. Siswa siap
untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya.

16
2.8 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan RME (Realistic Mathematics
Education)
Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dilandasi oleh teori
belajar konstruktivisme dengan mengutamakan enam prinsip dalam tahapan
pembelajarannya, yaitu:
1. Fase Aktivitas
Pada fase ini, siswa mempelajari matematika melalui aktivitas
doing, yaitu dengan mengerjakan masalah-masalah yang didesain secara
khusus. Siswa diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam keseluruhan
proses pendidikan sehingga mereka mampu mengembangkan sejumlah
mathematical tools yang kedalaman serta liku-likunya betul-betul dihayati.
2. Fase Realitas
Tujuan utama fase ini adalah agar siswa mampu mengaplikasikan
matematika untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Pada tahap ini,
pembelajaran dipandang suatu sumber untuk belajar matematika yang
dikaitkan dengan realitas kehidupan sehari-hari melalui proses
matematisasi. Matematisasi dapat dilakukan secara horizontal dan vertikal.
Matematisasi horizontal memuat suatu proses yang diawali dari dunia
nyata menuju dunia simbol, sedangkan matematisasi vertikal mengandung
makna suatu proses perpindahan dalam dunia simbol itu sendiri. 
3. Fase Pemahaman
Pada fase ini, proses belajar matematika mencakup berbagai
tahapan pemahaman mulai dari pengembangan kemampuan menemukan
solusi informal yang berkaitan dengan konteks, menemukan rumus dan
skema, sampai dengan menemukan prinsip-prinsip keterkaitan. 
4. Fase Intertwinement
Pada tahap ini, siswa memiliki kesempatan untuk menyelesaikan
masalah matematika yang kaya akan konteks dengan menerapkan berbagai
konsep, rumus, prinsip, serta pemahaman secara terpadu dan saling
berkaitan. 
5. Fase Interaksi

17
Proses belajar matematika dipandang sebagai suatu aktivitas sosial.
Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk melakukan sharing
pengalaman, strategi penyelesaian, atau temuan lainnya. Interaksi
memungkinkan siswa untuk melakukan refleksi yang pada akhirnya akan
mendorong mereka mendapatkan pemahaman yang lebih tinggi dari
sebelumnya. 
6. Fase Bimbingan
Bimbingan dilakukan melalui kegiatan guided reinvention, yaitu
dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk
mencoba menemukan sendiri prinsip, konsep, atau rumus-rumus
matematika melalui kegiatan pembelajaran yang secara spesifik dirancang
oleh guru.
Sedangkan langkah-langkah penerapan pembelajaran Realistic
Mathematics Education (RME) adalah sebagai berikut :
1. Langkah 1: Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah
kontekstual dan siswa memahami permasalahan tersebut. 
2. Langkah 2: Menjelaskan masalah kontekstual Guru menjelaskan situasi
dan kondisi soal dengan memberikan petunjuk/saran seperlunya (terbatas)
terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami siswa. Penjelasan
ini hanya sampai siswa mengerti maksud soal. 
3. Langkah 3: Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa secara individu
menyelesaikan masalah kontekstual dengan cara mereka sendiri. Guru
memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka
dengan memberikan pertanyaan/petunjuk/saran. 
4. Langkah 4: Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru
menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk membandingkan
dan mendiskusikan jawaban dari soal secara berkelompok. Untuk
selanjutnya dibandingkan dan didiskusikan pada diskusi kelas. 
5. Langkah 5: Menyimpulkan Dari diskusi, guru mengarahkan siswa
menarik kesimpulan suatu prosedur atau konsep, dengan guru bertindak
sebagai pembimbin

18
2.9 Pembelajaran Matematika SD Berdasarkan Peta Konsep
Peta konsep merupakan implementasi pembelajaran bermakna dari
Ausabel, yaitu kebermaknaan yang ditunjukkan dengan bagan atau peta, sehingga
hubungan antarkonsep menjadi jelas dan keseluruhan konsep teridentifikasi. Jenis
peta konsep dapat menyebar atau tegak, dengan susunan dari konsep umum ke
konsep khusus, dan setiap perincian dihubungkan dengan kata kerja. Pembuatan
peta konsep terhadap suatu materi matematika dapat dibuat oleh siswa sebagai
tugas individu atau kelompok pada akhir pembelajaran.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Landasan pembelajaran matematika itu berdasarkan pada keberadaan dan
perkembangan teori-teori belajar, psikologi belajar dan filsafat
pendidikan.
2. Pada prinsipnya teori Thorndike menekankan banyak memberi praktik
dan latihan (drill & practice) kepada peserta didik agar konsep dan
prosedur dapat mereka kuasai dengan baik.
3. Pada pembelajaran geometri teori Van Hiele terdapat lima fase, antara
lain fase informasi, fase orientasi, fase eksplisitasi, fase orientasi bebas
dan fase integrasi.

3.2 Saran
1. Terus meningkatkan wawasan dan pengetahuan yang akan memantapkan
keprofesionalan guru di Sekolah Dasar yang dapat dijadikan bahan atau
alat untuk penambahan pengajaran yang akurat, praktis atau pengajaran
yang aktif, relevan dan dapat dipertanggung jawabkan.
2. Agar dapat meningkatkan kemampuan mengajar dengan
mengoptimalkan pembelajaran di dalam dan di luar kelas untuk
memotivasi siswa serta melakukan pembelajaran yang lebih aktif, kreatif,
efektif dan menyenangkan.

20
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2017. “Teori Belajar Van Hiele”,


https://matematikasaepulwatan.blogspot.com/2017/03/teori-belajar-
van-hiele.html?m=1, diakses pada tanggal 16 Maret 2023 pukul
22.43 WIB.

Bekti, Susilo. 1999. Kegiatan Mengajar Belajar Berpandu pada Model Van Hiele
untuk Meningkatkan Tahap Berpikir Siswa dari Tahap 0
(Visualisasi) ke Tahap 1 (Analitik). Makalah tidak dipublikasikan.
PPs IKIP Surabaya.

Fujiarso. 2014. Resume Landasan Pendidikan dan Pembelajaran Matematika.


Malang: Universitas Negeri Malang.

Maulida. 2017. “Teori Belajar Matematika Menurut Thorndike”,


https://id.scribd.com/document/359107178/Teori-Belajar-
Matematika-Menurut-Thorndike#, diakses pada tanggal 16 Maret
2023 pukul 23.15 WIB.

Nurjamah, Amalia. 2013. “Pembelajaran Matematika Berdasarkan Teori


Konstruktivisme Sosial (Vygotsky)”,
https://amalianurjannah.files.wordpress.com/2013/05/10-
pembelajaran-matematika-berdasarkan-teori-konstruktivisme-sosial-
1.pdf, diakses pada tanggal 16 Maret 2023 pukul 06.05 WIB.

Riadi,  Muchlisin. 2017. ”Pembelajaran Realistic Mathematics Education


(RME)”, https://www.kajianpustaka.com/2017/10/pembelajaran-
realistic-mathematics-education.html, diakses pada tanggal 16 Maret
2023 pukul 22.37 WIB.

21
Saedi, Muhammad dkk. 2011. “Teori Pemecahan Masalah Polya Dalam
Pembelajaran Matematika” dalam Sigma (Suara Intelektual Gaya
Matematika Vol. 3 Ed. 1). Rantauprapat. Universitas Labuhan Batu.

Salamia. 2021. "Penerapan Teori Belajar Dalam Pembelajaran Matematika",


https://matematikakuyess.wordpress.com/2021/04/04/penerapanteori
-belajar-dalam-pembelajaran-matematika-salamia/, diakses pada
tanggal 16 Maret 2023 pukul 23.03 WIB.

Tampubolon, Yesina U. 2020. “Penerapan Teori Ausubel”.


http://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/495/Yenisa
%20U.%20Tampubolon.pdf?sequence=1&isAllowed=y, diakses
padda tanggal 16 Maret 2023 pukul 23.40 WIB.

Thoifah, Munasifatut. 2021. “Teori Belajar Bruner dalam Matematika SD”,


https://www.gurnulis.id/2021/04/teori-belajar-bruner-matematika-
SD.html, diakses pada tanggal 16 Maret 2023 pukul 06.30 WIB.

22

Anda mungkin juga menyukai