Anda di halaman 1dari 33

TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Dosen Pengampu: Hilman Habibiy, M.Pd

Di Susun Oleh: Kelompok 1

Mutiara Mardiah Nasution 0306181001

Rahmah Zahidah 0306181002

Diah Pratiwi Ramadhani 0306181003

Novita Sari 0306181008

Maratus Soleha Dian Buono 0306181012

PGMI-6

Semester V

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
marilah kita ucapkan puji dan syukur atas semua berkah dan rahmat-Nya sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah tentang "Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika” ini. Makalah
ini dibuat semata-mata untuk memenuhi tugas mata kuliah "Pembelajaran Matematika di
MI/SD" yang di ampu oleh Bapak Hilman Habibiy, M. Pd. Makalah ini dibuat berdasarkan
kutipan dari berbagai sumber, baik cetak maupun elektronik.

Makalah ini telah kami buat sebaik mungkin dan penyelesaiannya melibatkan banyak
pihak. Untuk itu kami selaku pemakalah mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Terlepas dari itu semua, kami
menyadari pasti masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kami dengan
berlapang dada menerima saran, kritik dan masukan untuk perbaikan kami kedepannya.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat meberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca.

Medan, 12 November 2020

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i

DAFTAR ISI ...................................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................................................................ 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 2

BAB II: PEMBAHASAN

A. Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Piaget................................. 3


B. Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Bruner................................ 6
C. Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Dienes................................ 10
D. Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Van Hiele.......................... 13
E. Pembelajaran Matematika Yang Kontruktivitis...................................................... 16
F. Peta Konsep Matematika SD dan Pengetahuan Persyarat....................................... 19

BAB III: PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................. 22
B. Saran ....................................................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Matematika merupakan salah satu komponen dari serangkaian mata pelajaran yang
mempunyai peranan penting dalam pendidikan. Matematika merupakan salah satu bidang
studi yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak mengherankan
jika pelajaran matematika dalam pelaksanaan pendidikan diberikan kepada semua jenjang
pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Selain itu dilihat dari porsi
jam pelajarannya, matematika diberikan lebih banyak dibanding pelajaran yang lain.
Matematika sebagai mata pelajaran adalah suatu sistem yang sangat teratur dan terstruktur
dengan teliti dan tersusun dari ide-ide yang saling berkaitan” Dengan demikian,
perkembangan suatu konsep matematika seringkali mengungkap fondasi subkonsep-
subkonsep yang bersifat hierarkis. Namun sampai saat ini masih banyak siswa yang merasa
matematika sebagai mata pelajaran yang sulit, tidak menyenangkan, bahkan momok yang
menakutkan. Hal ini dikarenakan masih banyak siswa yang mengalami kesulitan-
kesulitan dalam mengerjakan soal-soal matematika.
Orientasi pendidikan kita mempunyai ciri cenderung memperlakukan siswa berstatus
sebagai obyek, guru berfungsi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan dan
indoktriner, materi bersifat subject-oriented dan manajemen bersifat sentralis. Orientasi
pendidikan yang demikian menyebabkan praktik pendidikan kita mengisolir diri dari
kehidupan nyata yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara apa yang diajarkan di
sekolah dengan kebutuhan pekerjaan, terlalu terkonsentrasi pada pengembangan intelektual
yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan
berkepribadian. Dengan demikian, tidak berlebihan kiranya apabila pemecahan masalah
seyogyanya dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar di sekolah-sekolah. Sesuatu
yang menjadi masalah adalah bagaimana kemampuan pemecahan masalah itu dikembangkan
dalam kegiatan belajar mengajar matematika. Ketrampilan memecahkan masalah harus
dimiliki oleh siswa dan ketrampilan ini akan dimiliki siswa apabila guru mengajarkan
dan menstimulus kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan masalah dalam
pembelajaran matematika.

1
B. Rumusan Masalah

1. Seperti Apa Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Piaget?


2. Seperti Apa Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Bruner?
3. Seperti Apa Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Dienes?
4. Seperti Apa Teori Belajar dan Pembelajaran Matematika Menurut Van Hiele?
5. Seperti Apa Pembelajaran Matematika yang Kontruktivistik itu?
6. Seperti Apa Peta Konsep Matematika SD dan Pengetahuan Persyarat itu?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan Memahami Bagaimana Teori Belajar dan Pembelajaran
Matematika Menurut Piaget
2. Mengetahui dan Memahami Bagaimana Teori Belajar dan Pembelajaran
Matematika Menurut Bruner
3. Mengetahui dan Memahami Bagaimana Teori Belajar dan Pembelajaran
Matematika Menurut Dienes.
4. Mengetahui dan Memahami Bagaimana Teori Belajar dan Pembelajaran
Matematika Menurut Van Hiele
5. Mengetahui dan Memahami Bagaimana Pembelajaran Matematika yang
Kontruktivistik
6. Mengetahui dan Memahami Bagaimana Peta Konsep Matematika SD dan
Pengetahuan Persyarat.
BAB II
PEMBAHASAN

A. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT JEAN


PIAGET

Menurut Jean Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan  bahwa belajar
akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik.
Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik,
yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari
guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau
berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari
lingkungan.

Menurut Piaget (dalam Dr.Paul Suparno, 2001:49) metode pengajaran matematika dalam
bentuk ceramah memang baik bagi orang yang sudah dewasa tetapi banyak menyebabkan
hambatan bagi murid yang masih dalam tingkat pengajaran yang masih rendah. Kemudian
Piaget menekankan hal pokok dalam pengajaran matematika pada murid  bahwa Pengajaran
matematika tidak boleh melalaikan peran kegiatan – kegiatan, khususnya pada anak–anak
yang masih kecil. Pengalaman fisis dan pengalaman matematis-logis sangat penting dalam
mengembangkan pengetahuan, baik fisis maupun matematis.

Contoh: Andi yang berumur 4 tahun berada di sebuah taman dan mulai menyusun
kelereng dalam garis lurus. Ia menghitung dari kiri ke kanan satu sampai sepuluh. Ia
menghitung dari kanan ke kiri dengan hasil yang sama. Selanjutnya, ia meletakkan kelereng-
kelereng itu dalam suatu lingkaran dan menghitungnya lagi dengan hasil yang sama juga.
Dalam susunan bagaimana pun akhirnya ia menjadi sungguh yakin bahwa jumlahnya sama
dan tidak tergantung pada susunan atau bentuk. Matematika merupakan salah satu unsur dari
pendidikan. Mata pelajaran matematika ini diperkenalkan pada siswa sejak tingkat sekolah
dasar sampai jenjang yang lebih tinggi. 1

1
Durrotun Nasichah. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Games
Tournaments) Terhadap Motivasi Belajar Siswa Pada Materi Persegi Panjang Di Kelas Vii Smp Buana Waru.
(IAIN : Pendidikan Matematika. 2009)
Namun demikian, kegunaan belajar matematika tidak hanya memberikan kemampuan
dalam hal perhitungan kuantitatif saja, tetapi juga memperhatikan kemampuan kognitif dalam
hal memvisualisasikan konsep yang ada didalamnya.2 Ciri utama dalam matematika
merupakan sebuah penalaran yang deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep yang didapat dari
akibat logis kebenaran yang sebelumnya sehingga kaitan antara konsep atau pernyataan
dalam matematika bersifat konsisten. Matematika merupakan mata pelajaran yang objeknya
abstrak.

Guru cenderung mengajarkan konsep abstrak tersebut kepada siswa-siswa tanpa


memperhatikan kemampuan kognitif siswa dalam memvisualkan konsep tersebut. 3Siswa-
siswa menjadi kesulitan dalam memahami konsep yang telah diberikan oleh guru. Hal itu
disebabkan pada masa kanak-kanak, siswa belum mempunyai konsepsi tentang objek yang
tetap. Ia hanya dapat mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan indranya. Siswa telah dapat
mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat menghadapi hal-hal yang abstrak
(tak berwujud). Untuk itu, seorang guru harus mengetahui kemampuan kognitif siswa
didiknya yang mana kemampuan tersebut terlihat dalam perkembangan kognitifnya. Secara
garis besar, Piaget mengelompokkan tahap-tahap perkembangan kognitif seorang siswa
menjadi empat tahap4, yaitu:

1) Tahap sensorimotor
2) Tahap praoperasi
3) Tahap operasi konkret dan
4) Tahap operasi formal.

Tahap tersebut saling berkaitan dan urutan-urutan tahap perkembangan kognitif tersebut
tidak dapat ditukar atau dibalik, karena tahap sesudahnya mulai terbentuk jika tahap
sebelumnya sudah terbentuk. Waktu terbentuknya tahap tersebut dapat berbeda menurut
situasi seseorang. Dari keempat tahapan tersebut pada tahap operasi konkret inilah seorang
siswa mulai dapat mengembangkan kemampuan untuk bernalar logis dan memahami
konservasi tetapi hanya dapat menggunakan kedua kemampuan ini dalam menghadapi situasi
yang sudah tidak asing lagi. Tahap operasi konkret ini terjadi pada usia 7 – 11 tahun.

2
http ://jurnal.upi.edu/file/7-Ety_Mukhlesi_Yeni.pdf, diakses pada tanggal 12 November 2020
3
http://repository.upi.edu/operator/upload/t_mtk_1007339_chapter2.pdf, diakses pada tanggal 12
november 2020
4
Paul Suparno, Teori Perkembangan Kognitif Piaget, (Yogyakarta : Kanisius.2001), h.24.
Siswa yang masuk pada awal tahap operasi konkret Piaget berusia 7-8 tahun dan
siswa yang masuk pada akhir tahap operasi konkret Piaget berusia sekitar 10-11 tahun.
Kemampuan kognitif siswa yang terkait dengan kemampuan matematika antara lain
kemampuan penalaran spasial dan kemampuan penalaran kuantitatif.

Menurut Tambunan kemampuan penalaran spasial merupakan salah satu aspek dari
kognisi. Kemampuan penalaran spasial merupakan konsep abstrak yang meliputi persepsi
spasial yang melibatkan hubungan spasial termasuk orientasi sampai pada kemampuan yang
rumit yang melibatkan manipulasi serta rotasi mental. Dalam kemampuan penalaran spasial
diperlukan adanya pemahaman kiri dan kanan (kemampuan untuk memahami perbedaan
antara kiri dan kanan), pemahaman perspektif (kemampuan untuk memahami kiri dan kanan
bila dilihat dari sudut pandang yang berbeda), bentuk-bentuk geometris (kemampuan untuk
mengetahui bentuk 2 atau 3 dimensi), menghubungkan konsep spasial dengan angka (dari
tugas-tugas spasial dapat membantu dalam memecahkan masalah matematika) dan
kemampuan dalam transformasi mental dari bayangan visual (kemampuan untuk mengubah
suatu gambar). Pemahaman tersebut juga diperlukan dalam belajar matematika. Pada siswa
usia sekolah kemampuan penalaran spasial sangat penting karena erat kaitannya dengan
kemampuan kognitif secara umum.

Dalam hal ini, pemahaman pengetahuan spasial dapat mempengaruhi kinerja yang
berhubungan dengan tugas-tugas akademik terutama matematika, membaca dan IPA.
Sedangkan kemampuan penalaran kuantitatif sendiri adalah kemampuan dalam penerapan
konsep-konsep matematika dan keterampilan untuk memecahkan masalah dunia nyata.

Seorang siswa pada usia 7-11 tahun mulai dapat mengurutkan atau menggolongkan
objek sesuai dengan kriteria atau dimensi tertentu. Dalam hal ini mereka dapat menyusun
suatu deret logis; misalnya menjejerkan tongkat dari yang terpendek hingga yang terpanjang
dan lain-lain. Oleh karena itu, agar proses pembelajaran matematika dapat berjalan dengan
lancar, seorang guru harus mengetahui tingkatan kemampuan penalaran spasial dan
kuantitatif siswa didiknya5.

5
Robert E. Slavin, Psikologi Pendidikan Teori Dan Praktik, (Jakarta: permata puri media, 2011), h 51.
B. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT
BRUNNER

Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari
Universitas Harvard, Amerika Serikat, yang telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang
memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berfikir. Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir
dan pencipta informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan
kepada dirinya. Bruner menjadi sangat terkenal karena dia lebih peduli terhadap proses
belajar daripada hasil belajar, metode yang digunakannya adalah metode Penemuan
(discovery learning). Discovery learning dari Bruner merupakan model pengajaran yang
dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-
prinsip konstruktivitas.

1. TEORI BELAJAR BRUNER

Teori belajar matematika menurut J.S. Bruner tidak jauh berbeda dengan teori J. Piaget.
Menurut teori J.S. Bruner langkah yang paling baik dalam belajar matematika adalah dengan
melakukan penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar konsep, pengertian
akan lebih melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi (model) konsep
dilakukan oleh siswa sendiri dan antara pelajaran yang lalu dengan yang dipelajari harus ada
kaitannya. Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu:

a. Proses perolehan informasi baru


Perolehan informasi baru dapat terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan
penjelasan guru mengenai materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual
dan lain-lain.
b. Proses mentransformasikan informasi yang diterima
Proses transformasi pengetahuan merupakan suatu proses bagaimana kita
memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan kebutuhan.
c. Menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan
Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep yang
lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan.
Menurut Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari serta mencari
hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu.6

Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan


pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan
masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep
matematika. Untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan
menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga atau media
lainnya. Bruner melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak baiknya
diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus
dan dapat diotak atik oleh siswa dalam memahami suatu konsep matematika. Melalui alat
peraga yang ditelitinya anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola struktur
yang terdapat dalam benda yang diperhatikannya.7

Menurut Bruner, agar proses mempelajari sesuatu pengetahuan atau kemampuan


berlangsung secara optimal, dalam arti pengetahuan tata kemampuan dapat diinternalisasi
dalam struktur kognitif orang yang bersangkutan. Kemampuan tersebut dibagi dalam 3 tahap
yaitu, tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.

1) Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung
terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik) objek.
2) Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal
dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang
dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-
objek yang dimanipulasinya.
3) Tahap Simbolik
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-
simbol atau lambang-lambang objek tertentu.

Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses
pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini
6
S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara.
2000), h.7-8
7
Lisnawaty Simanjutak, Metode Mengajar Matematika, (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993), h.70-71
telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan
menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan
dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus
representasi simbolik.

Sebagai contoh, dalam mempelajari penjumlahan dua bilangan cacah, pembelajaran akan
terjadi secara optimal jika mula-mula siswa mempelajari hal itu dengan menggunakan benda-
benda konkret (misalnya menggabungkan 3 kelereng dengan 2 kelereng, dan kemudian
menghitung banyaknya kelereng semuanya ini merupakan tahap enaktif). Kemudian,
kegiatan belajar dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau diagram yang mewakili 3
kelereng dan 2 kelereng yang digabungkan tersebut (dan kemudian dihitung banyaknya
kelereng semuanya, dengan menggunakan gambar atau diagram tersebut/ tahap yang kedua
ikonik, siswa bisa melakukan penjumlahan itu dengan menggunakan pembayangan visual
(visual imagenary) dari kelereng tersebut. Pada tahap berikutnya yaitu tahap simbolis, siswa
melakukan penjumlahan kedua bilangan itu dengan menggunakan lambang-lambang
bilangan, yaitu : 3 + 2 = 5.

Menurut Bruner belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui belajar penemuan.
Pengetahuan yang diperoleh melalui belajar penemuan bertahan lama, dan mempunyai efek
transfer yang lebih baik. Belajar penemuan meningkatkan penalaran dan kemampuan berfikir
secara bebas dan melatih keterampilan-keterampilan kognitif untuk menemukan dan
memecahkan masalah.8

2. TEORI PEMBELAJARAN BRUNER

Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata
pelajaran dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada
setiap anak dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan sebagian
besar atas penelitian Jean Piaget tentang perkembangan intelektual anak. Brunner
mengajukan bahwa dalam pembelajaran di sekolah hendaknya meliputi:

a. Pengalaman – pengalaman optimal untuk mau dan dapat belajar.


Pembelajaran dari segi siswa membantu siswa dalam hal mencari alternative
pemecahan masalah. Dalam mencari masalah melalui penyelidikan dan penemuan
serta cara pemecahannya dibutuhkan adanya aktivitas, pemeliharaan dan pengarahan.

8
Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 110.
Artinya bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat
menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu.

b. Penstrukturan Pengetahuan untuk Pemahaman optimal.


Pembelajaran hendaknya dapat memberikan struktur yang jelas dari suatu
pengetahuan yang dipelajari anak – anak. Dengan perkataan lain, anak dibimbing
dalam memahami sesuatu dari yang paling khusus (deduktif) menuju yang paling
kompleks (induktif), bukan konsep yang lebih dahulu diajarkan, tetapi contoh
kongkrit dari kejujuran itu sendiri.

c. Bentuk dan pemberian reinforsemen.


Beliau berpendapat bahwa seorang murid belajar dengan cara menemui
struktur konsep-konsep yang dipelajari. Anak-anak membentuk konsep dengan
mengasingkan benda-benda mengikut ciri-ciri persamaan dan perbedaan. Selain itu,
pengajaran didasarkan kepada perangsang murid terhadap konsep itu dengan
pengetahuan yang ada. Misalnya, anak-anak membentuk konsep segiempat dengan
mengenal segiempat mempunyai 4 sisi dan memasukkan semua bentuk bersisi empat
kedalam kategori segiempat,dan memasukkan bentuk-bentuk bersisi tiga kedalam
kategori segitiga.

Menurut Bruner, proses belajar akan berlangsung secara optimal jika proses
pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama ini
telah dirasa cukup, siswa beralih ke kegiatan belajar tahap kedua, yaitu tahap belajar dengan
menggunakan modus representasi ikonik, dan selanjutnya, kegiatan belajar itu diteruskan
dengan kegiatan belajar tahap ketiga yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus
representasi simbolik.9

Selain mengembangkan teori perkembangan kognitif, Bruner mengemukakan teorema


atau dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran matematika. Berdasarkan hasil-hasil eksperimen
dan observasi yang dilakukan oleh Bruner pada tahun 1963 mengemukakan empat teorema
/dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran matematika yang masing-masing disebut “teorema
atau dalil”. Keempat dalil tersebut adalah :

9
Ibid., h. 115.
1) Dalil Konstruksi / Penyusunan ( Contruction theorem)
Didalam teorema konstruksi dikatakan cara yang terbaik bagi seorang siswa
untuk mempelajari sesuatu atau prinsip dalam matematika adalah dengan
mengkontruksi atau melakukan penyusunan sebuah representasi dari konsep atau
prinsip tersebut.
2) Dalil Notasi (Notation Theorem)
Menurut teorema notasi representase dari suatu materi matematika akan lebih
mudah dipahami oleh siswa apabila didalam representase itu digunakan notasi yang
sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
3) Dalil Kekontrasan dan Variasi ( Contras and Variation Theorem)
Menurut teorema kekontrasan dan variasi dikemukakan bahwa suatu konsep
matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu dikontraskan
dengan konsep-konsep yang lain sehingga perbedaan antar konsep itu dengan konsep-
konsep yang lain menjadi jelas.
4) Dalil Konektivitas dan Pengaitan (Conectivity Theorem)
Didalam teorema konektivitas disebut bahwa setiap konsep, setiap prinsip, dan
setiap ketramplan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep, prinsip-
prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan lain.10

3. APLIKASI TEORI BRUNER DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI


SEKOLAH DASAR

Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:

a. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal: untuk
contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh
adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.

b. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya


berikan pertanyaan kepada siswa seperti berikut ini ” apakah nama bentuk ubin  yang
sering digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang
dapat digunakan?

c. Berikan satu pertanyaan dan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
10
Mulyati, Psikologi Belajar, (Yogyakarta: C.V. Andi Offset, 2005), h. 65.
d. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang
dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. 

Untuk tahap contoh guru memberikan bangun persegi dengan berbagai ukuran
dilingkungan sekitar, sedangkan bukan contohnya guru memberikan bentuk-bentuk bangun
datar lainnya seperti, persegi panjang, jajar genjang, trapesium, segitiga, segi lima, segi enam,
lingkaran.

Langkah-langkah pembelajaran
a. Tahap Enaktif
1) Siswa diarahkan untuk mengukur atau menghitung panjang dan lebar
bangun persegipanjang yang tersusun dari petak-petak satuan seperti pada
contoh dibawah ini. (semakin banyak variasi bangun semakin baik).
2) Siswa mengisinya tabel yang tersedia sesuai dengan hasil perhitungan.
b. Tahap Ikonik
Siswa diajak menghitung banyaknya satuan persegi dengan cara
membilang dan kemudian dibimbing untuk menemukan hubungan antara
satuan panjang dan lebar untuk menentukan luas bangun.   

c. Tahap Simbolik
Siswa diminta untuk mengeneralisasikan untuk menenukan rumus
luas daerah persegi panjang. Jika simbolis ukuran panjang adalah p,
ukuran lebarnya adalah l , dan luas daerah persegi panjang adalah L, maka
rumus luas persegipanjang dapat digeneralisasikan menjadi

maka jawaban yang diharapkan L = p x l satuan. Jadi luas persegi panjang adalah
ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar. 11

11
Tu’nas Fuaidah, Teori Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner, 1 November 2014,
http://8tunas8.wordpress.com/teori-belajar-mengajar-menurut-jerome-s-bruner/, diakses pada tanggal 12
November 2020, pukul 15.07
C. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT
DIENES

Salah satu pelopor penting yang membentuk teori yang secara khusus diarahkan untuk
memahami pembelajaran matematika adalah Zoltan Dienes. Menurut Dienes “Prinsip-prinsip
pembelajaran matematika telah menjadi bagian integral dari literatur pendidikan matematika
dan diterapkan baik untuk pengajaran dan pembelajaran matematika maupun penelitian
tentang proses seperti abstraksi dan generelasisasi struktur matematika.” Dienes berpendapat
bahwa setiap konsep atau prinsip matematika dapat dimengerti secara sempurna jika pertama
disajikan dalam bentuk-bentuk konkrit. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau
prinsip dalam matematika yang didajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami
dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau obyek-obyek dalam bentuk
permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran
matematika.

Menurut Dienes, belajar matematika itu melibatkan suatu struktur hirarki dari konseo-
konsep tingkat yang lebih tinggi yang dibentuk atas dasar apa yang telah dibentuk
sebelumnya. Jadi bila satu materi yang menjadi persyaratan dari materi yang lebih lanjut
belum dipelajari ataupun belum dipahami dengan baik, maka tidak mungkin dapat dipahami
dengan baik atau dengan kata lain, materi persayaratan harus diajarkan mendahului materi
yang lebih tinggi. 12

a. Tahap pembelajaran matematika menurut Dienes


Teori Dienes lebih memberikan kesempatan untuk mengembangkan pemahaman
siswa tentang konsep matematika melalui manipulasi benda atau penggunaan alat
peraga. Menurut Dienes, tahap belajar matematika ada enam yaitu :
1) Permainan Bebas
Merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak
diarahkan.
2) Permainan Yang Menggunakan Aturan
Siswa memanipulasi sesuai dengan aturan yang ada. Tahap ini sudah masuk
pada permainan terstruktur.

Atiaturrahmania, dkk, Pengembangan Pendidikan Matematika SD, (Lombok : Universitas


12

Hamzanwadi Press, 2017), h. 16.


3) Permainan Kesamaan Sifat
Dalam mencari kesamaan sifat, siswa mulai diarahkan dan menyadari struktur
dari permainan yang telah dilakukan tadi, siswa belajar menemukan sifat-sifat
kesamaan dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini, guru perlu mengarahkan
mereka dengan mentranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan
lain. Dengan menunjukkan kepada siswa bagaimana masing-masing contoh
dapat diterjemahkan ke dalam setiap contoh lainnya tanpa mengubah sifat
abstrak yang umum untuk semua contoh. 13
4) Permainan Representasi
Adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa
menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Representasi konsep
biasanya lebih abstrak dari pada contoh dan akan membawa siswa lebih dekat
untuk memahami struktur matematika abstrak yang mendasari konse tersebut.
5) Permainan Dengan Simbolisasi
Termausk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan
representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol
matematika atau melalui perumusan verbal. Pada tahap ini, siswa
menggambarkan representasi konsepnya dengan menggunakan sistem simbol
verba dan matematis yang sesuai.
6) Permainan Dengan Formalisasi
Merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Dalam tahap ini, siswa
dituntun untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merupakan sifat-
sifat baru konsep tersebut. 14

b. Aplikasi Teori Belajar Dienes dalam Pembelajaran


Teori belajar Dienes erat kaitannya dengan bagaimana anak-anak belajar melalui
permainan. Permainan adalah sesuatu yang tidak bisa hilang dari dunia anak-anak.
Belajar dengan permainan bisa menjadikan pembelajaran matematika yang awalnya
sulit menjadi mudah dan menyenangkan. berikut dibahas beberapa permainan yang
bisa digunakan guru dalam pembelajaran matematika di sekolah dasar :

13
Ibid., h. 17.
14
Ibid., h. 18.
1) Permianan Kartu Bilangan
Untuk mengajar materi tentang penjumlahan dan pengurangan pada bilangan
bulat dapat menggunakan alat peraga manik-manik bilangan atau yang lebih
sederhana yaitu menggunakan kertas kecil berwarna yang telah dipotong. 15
2) Permainan Nama Bilangan Pecahan
Tujuan permainan nama bilangan pecahan adalah agar anak dapat mengerti
bilangan pembilang dan penyebut serta arti bilangan-bilangan tersebut. 16
3) Permainan Percik Angka
Tujuan permianan ini adalah aak dapat menggunakan tanda-tanda lebih besar,
sama dengan dan lebih kecil. Menyatakan adanya perbedaan jumlah dengan
menggunakan simbol lebih besar dan lebih kecil. 17
4) Permainan Teropong Pecahan
Merupakan alat bantu dalam proses pembelajaran matematika yang
dipergunakan untuk menjembatani siswa memperoleh pengetahuan baru
dalam penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pembelajaran bilangan
pecahan.18
5) Tangram
Adalah permainan puzzel yang berisi beberapa bentuk bangun datar. Tangram
dapat digunakan sebagai media pada pembelajaran matematika khususnya
materi yang terkait bangun datar.19

D. TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT VAN


HIELE

Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-
Geldof sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh
yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat adalah
contoh negara yang telah merubah kurikulum geometri berdasar pada teori van Hiele.

Tahap berpikir Van Hiele adalah kecepatan untuk berpindah dari satu tahap ke tahap
berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam pembelajaran. Dengan demikian,
pengorganisasian pembelajaran, isi, dan materi merupakan faktor penting dalam
15
Ibid., h. 19.
16
Ibid., h. 21.
17
Ibid., h. 22.
18
Ibid., h. 23.
19
Ibid., h. 26.
pembelajaran, selain guru juga memegang peran penting dalam mendorong kecepatan
berpikir siswa melalui suatu tahapan. Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya dapat dicapai
melalui latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah semata.

Teori yang dikemukakan oleh Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut:

1. Tiga unsur yang utama pengajaran geometri yaitu, waktu materi pengajaran dan
metode penyusun. Apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan peningkatan
kemampuan berfikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya
2. Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain kemudian
saling bertukar pikiran, maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai
contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah
sudut-sudut dalm sebuah jajaran genjang adalah 3600, misalnya anak itu berada pada
tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap yang disebutkan,
pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudut- sudut 360.
Menurut Van Hiele, seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak
akan mungkin dapat mengerti/memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih
tinggi dari anak tersebut. Kalaupun dipaksakan maka anak tidak akan memahaminya
tapi nanti bisa dengan melalui hafalan.
3. Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan
pengertian, kegiatan belajar anak harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan
anak itu sendiri, atau disesuaikan dengan tahap berpikirnya. Dengan demikian anak
dapat memperkaya pengalaman dan cara berpikirnya, selain itu sebagai persiapan
untuk meningkatkan tahap berpikirnya ke tahap yang lebih dari tahap sebelumnya.20

Menurut teori Pierre dan Dina Van Hiele (dalam Muharti, 1993) tingka-tingkat
pemikiran geometrik dan fase pembelajaran siswa berkembang atau maju menurut tingkat-
tingkat sebagai berikut: dari tingkat visual Gestalt-like melalui tingkat-tingkat sophisticated
dari deskripsi, analisis, abstraksi dan bukti. Teori ini mempunyai karakteristik sebagai
berikut:

20
Fitriati dan Lisa Sopiana, 2015, Penerapan Teori Van Hiele Dalam Meningkatkan Kemampuan
Berpikir Siswa Sekolah Menengah Pertama Pada Materi Bangun Ruang Limas ,Jurnal Pendidikan
Matematika,Volume 2 No. Maret-Agustus 2015 1,hal 44-45
a. Belajar adalah suatu proses yang diskontinu, yaitu ada loncatan-loncatan dalam kurva
belajar yang menyatakan adanya tingkat-tingkat pemikiran yang diskrit dan berbeda
secara kualitatif.
b. Tingkat-tingkat itu berurutan dan berhirarki. Supaya siswa dapat berperan dengan
baik pada suatu tingkat yang lanjut dalam hirarki van Hiele, ia harus menguasai
sebagian besar dari tingkat yang lebih rendah. Kenaikan dari tingkat yang satu ke
tingkat yang berikutnya lebih banyak tergantung dari pembelajaran daripada umur
atau kedewasaan biologis. Seorang guru dapat mengurangi materi pelajaran ke tingkat
yang lebih rendah, dapat membimbing untuk mengingat-ingat hafalan, tetapi seorang
siswa tidak dapat mengambil jalan pintas ke tingkat tinggi dan berhasil mencapai
mencapai pengertian, sebab menghafal bukan ciri yang penting dari tingkat manapun.
Untuk mencapai pengertian dibutuhkan kegiatan tertentu dari fase-fase pembelajaran.
Konsep-konsep yang secara implisit dipahami pada suatu tingkat menjadi dipahami
secara eksplisit pada tingkat berikutnya.
c. sebelumnya. Pada tingkat dasar, gambar-gambar sebenarnya juga tertentu oleh sifat-
sifatnya, tetapi 4-8 Pengembangan Pembelajaran Matematika SD seseorang yang
berpikiran pada tingkat ini tidak sadar atau tidak tahu akan sifatsifat itu.
d. Setiap tingkat mempunyai bahasanya sendiri, mempunyai simbol linguistiknya sendiri
dan sistem relasinya sendiri yang menghubungkan simbol-simbol itu. Suatu relasi
yang benar pada suatu tingkat, ternyata akan tidak benar pada tingkat yang lain.
Misalnya pemikiran tentang persegi dan persegi panjang. Dua orang yang berpikir
pada tingkat yang berlainan tidak dapat saling mengerti, dan yang satu tidak dapat
mengikuti yang lain. (Van Hiele, 1959/1985/p:246). Struktur bahasa adalah suatu
faktor yang kritis dalam perpindahan tingkat-tingkat ini. (Clements, 1992).

Model Van Hiele tidak hanya memuat tingkat-tingkat pemikiran geometrik. Menurut
Van Hiele (dalam Ismail, 1998), kenaikan dari tingat yang satu ke tingkat berikutnya
tergantung sedikit pada kedewasaan biologis atau perkembangannya, dan tergantung lebih
banyak kepada akibat pembelajarannya. Guru memegang peran penting dan istimewa untuk
memperlancar kemajuan, terutama untuk memberi bimbingan mengenai pengharapan.

Walaupun demikian, teori Van Hiele tidak mendukung model teori absorbsi tentang
belajar mengajar. Van Hiele menuntut bahwa tingkat yang lebih tinggi tidak langsung
menurut pendapat guru, tetapi melalui pilihan-pilihan yang tepat. Lagi pula, anak-anak
sendiri akan menentukan kapan saatnya untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Meskipun
demikian, siswa tidak akan mencapai kemajuan tanpa bantuan guru. Oleh karena itu, maka
ditetapkan fase-fase pembelajaran yang menunjukkan tujuan belajar siswa dan peran guru
dalam pembelajaran dalam mencapai tujuan itu.

Fase-fase pembelajaran tersebut adalah:

1. fase informasi
2. fase orientasi
3. fase eksplisitasi
4. fase orientasi bebas
5. fase integrasi

Setelah selesai fase kelima ini, maka tingkat pemikiran yang baru tentang topik itu
dapat tercapai. Pada umumnya, hasil penelitian di Amerika Serikat dan negara lainnya
menetapkan bahwa tingkat-tingkat dari Van Hiele berguna untuk menggambarkan
perkembangan konsep geometrik siswa dari SD sampai Perguruan Tinggi.

 Fase 1. Informasi
Pada awal tingkat ini, guru dan siswa menggunakan tanya-jawab dan kegiatan
tentang objek-objek yang dipelajari pada tahap berpikir siswa. Dalam hal ini objek
yang dipelajari adalah sifat komponen dan hubungan antar komponen bangunbangun
segi empat. Guru mengajukan pertanyaan kepada siswa sambil melakukan observasi.
Tujuan dari kegiatan ini adalah: (1) guru mempelajari pengalaman awal yang dimiliki
siswa tentang topik yang dibahas. (2) guru mempelajari petunjuk yang muncul dalam
rangka menentukan pembelajaran selanjutnya yang akan diambil.
 Fase 2: Orientasi
Siswa menggali topik yang dipelajari melalui alat-alat yang dengan cermat telah
disiapkan guru. Aktivitas ini akan berangsur-angsur menampakkan kepada siswa
struktur yang memberi ciri-ciri sifat komponen dan hubungan antar komponen suatu
bangun segi empat. Alat atau pun bahan dirancang menjadi tugas pendek sehingga
dapat mendatangkan respon khusus.
 Fase 3: Eksplisitasi (Penjelasan)
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, siswa menyatakan pandangan yang muncul
mengenai struktur yang diobservasi. Di samping itu, untuk membantu siswa
menggunakan bahasa yang tepat dan akurat, guru memberi bantuan sesedikit
mungkin. Hal tersebut berlangsung sampai sistem hubungan pada tahap berpikir
mulai tampak nyata.
 Fase 4: Orientasi Bebas
Siswa menghadapi tugas-tugas yang lebih kompleks berupa tugas yang memerlukan
banyak langkah, tugas yang dilengkapi dengan banyak cara, dan tugas yang open-
ended. Mereka memperoleh pengalaman dalam menemukan cara mereka sendiri,
maupun dalam menyelesaikan tugas-tugas. Melalui orientasi di antara para siswa
dalam bidang investigasi, banyak hubungan antar objek menjadi jelas.
 Fase 5: Integrasi Siswa
Meninjau kembali dan meringkas apa yang telah dipelajari. Guru dapat membantu
siswa dalam membuat sintesis ini dengan melengkapi survey secara global terhadap
apa yang telah dipelajari. Hal ini penting, tetapi kesimpulan ini tidak menunjukkan
sesuatu yang baru. Pada akhir fase kelima ini siswa mencapai tahap berpikir yang
baru. Siswa siap untuk mengulangi fase-fase belajar pada tahap sebelumnya.

Pembelajaran yang Dilaksanakan pada Setiap Fase Pembelajaran

1. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 1 (Informasi)


a. Dengan memakai gambar bermacam-macam bangun segiempat, siswa
diinstruksikan untuk memberi nama masing-masing bangun.
b. Guru mengenalkan kosa kata khusus, seperti: simetri lipat, simetri putar, sisi
berhadapan, sudut berhadapan, dan sisi sejajar.
c. Dengan metode tanya jawab, guru menggali kemampuan awal siswa.
2. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 2 (Orientasiasi)
Siswa disuruh membuat suatu model bangun segiempat dari kertas.
a. Dengan menggunakan model bangun tersebut serta kertas berpetak sikusiku,
siswa diinstruksikan untuk menyelidiki:
1) banyaknya sisi berhadapan yang sejajar sudut
2) suatu bangun siku-siku atau tidak
b. Dengan menggunakan suatu model bangun, siswa diminta untuk melipat
model bangun tersebut. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menemukan sumbu
simetri. Selanjutnya siswa diinstruksikan untuk menyelidiki banyaknya sumbu
simetri yang dimiliki oleh suatu bangun.
c. Melipat model tersebut pada diagonalnya, kemudian menempatkan yang satu
di atas yang lain. Siswa diminta untuk menyelidiki banyaknya pasangan sudut
berhadapan yang besarnya sama.
d. Memotong pojok yang berdekatan, kemudian menempatkan salah satu sisi
potongan pertama berimpit dengan salah satu sisi potongan yang kedua. Siswa
diminta untuk menyelidiki apakah sudut yang berdekatan membentuk sudut
lurus. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD 4-15
e. Memotong semua pojoknya dan menempatkan potongan-potongan tersebut
sedemikian sehingga menutup bidang rata. Selenjutnya siswa diminta untuk
menyelidiki apakah keempat sudut itu membentuk sudut putaran.
1) Siswa diinstruksikan untuk mengukur panjang sisi-sisi suatu
segiempat, apakah ada sisi yang sama panjang?
2) Siswa diinstruksikan untuk mengukur diagonal suatu segi empat,
apakah diagonalnya sama panjang?
3. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 3 (Penjelasan)
Siswa diberi bemacam-macam potongan segiempat. Mereka diminta untuk
mengelompokkan segiempat berdasarkan sifat-sifat tertentu, seperti:
a. segiempat yang mempunyai sisi sejajar
b. segiempat yang mempunyai sudut-sudut siku-siku
c. segiempat yang mempunyai sisi-sisi sama panjang
4. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 4 (Orientasi Bebas)
Dengan menggunakan potongan segitiga, siswa diminta untuk membentuk segiempat,
dan menyebutkan nama segiempat yang telah terbentuk.
5. Aktivitas yang dilaksanakan pada fase 5 (Integrasi)
Siswa dibimbing untuk menyimpulkan sifat-sifat segiempat tertentu, seperti:
a. sifat persegi adalah: ....
b. sifat perseg ipanjang adalah ....
c. sifat belah ketupat adalah ....
d. sifat layang-layang adalah ....
e. sifat trapesium adalah ... 21

E. PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG KONTRUKTIVISTIK


21
Herman. Hudoyo, Mengajar Belajar Matematika. 1988 Depdikbud P2LPTK
Pembelajaran matematika adalah upaya yang dilakukan untuk membuat siswa belajar
subjek matematika. Menurut Erman Suherman, pembelajaran matematika masa kini memiliki
salah satu ciri adalah penyajiaannya didasarkan pada teori psikologi pembelajaran. Karena
matematika berkenaan dengan ide atau konsep yang bersifat abstrak dan kemampuan
abstraksi sangat terpengauh oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor usia, maka
pengetahuan akan pengetahuan pembelajaran matematika menjadi penting, karena menurut
Erman Suherman, jika pembelajaran tidak memperhatikan tahap perkembangan mental siswa
besar kemungkinan akan mengakibatkan siswa mengalami kesulitan, karena apa yang
disajikan pada siswa tidak sesuai dengan kemampuan dalam menyerap materi yang diberikan.

Pendekatan Konstruktivisme, hakikat konstruktivisme Pandangan belajar dengan


perpektif konstruktivisme menurut beberapa tokoh adalah sebagai berikut.

1. Menurut Ernst Von Glasersfeld


Konstruktivisme berakar pada asumsi bahwa pengetahuan, tidak peduli bagaimana
pengetahuan itu didefinisikan, terbentuk di dalam otak manusia, dan subjek yang
berfikir tidak memiliki alternatif selain mengkonstruksikan apa yang diketahui
berdasarkan pengalamannya sendiri.
2. Menurut Andre Kukla
Konstruktivisme adalah semua konsep yang didapat oleh setiap organisme merupakan
suatu hasil dari proses konstruksi.
3. Menurut Jacqueline Grennon Brooks dan Martin G. Brooks
Konstruktivisme adalah suatu pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengarah
pada penemuan konsep yang lahir dari pandangan, dan gambaran serta inisiatif
peserta didik.
4. Menurut V. Richardson
Konstruktivisme merupakan sebuah keadaan di mana individu menciptakan
pemahaman mereka sendiri berdasarkan pada apa yang mereka ketahui dan percayai,
serta ide dan fenomena dimana mereka berhubungan.
5. Menurut Robert E. Slavin
Kontruktivisme merupakan teori yang mengkodisikan pembelajar harus menemukan
sendiri dan mengubah informasi komplek, memeriksa informasi baru terhadap
peraturan lama dan memperbaikinya jika keduannya bertentangan.
6. Menurut Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari
Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja
dari pikiran guru ke pikiran siswa, ini berarti siswa itu sendiri yang harus aktif secara
mental membangun struktur pengetahuan berdasarkan perkembangan tahap
berfikirnya.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
konstruktivisme merupakan teori yang mengkondisikan individu (siswa) untuk belajar
aktif secara mental membangun dan menghubungkan pengetahuanpengetahuan yang
didapatnya secara mandiri. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Pendekatan
Konstruktivisme Pembelajaran menurut pendekatan konstruktivisme secara umum
dapat dilihat dari hal-hal yang menjadi penekanan konstruktivisme dalam
pembelajaan, seperti yang dikemukakan Tasker (Martinis Yamin dan Bansu. Tiga
penekanan dalam teori belajar konstruktivisme yaitu :
a) Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan bermakna.
b) Pentingnya membuat koneksi antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna.
c) Mengkaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Informasi lain mengenai hal-hal yang perlu perhatikan dalam pembelajaran menurut
konstruktivisme dikemukakan oleh Robert E. Slavin, konstruktivisme menekankan pada
penemuan, eskperimen, dan masalah terbuka yang cocok diaplikasikan pada matematika,
ilmu pengetahuan alam, membaca, menulis dan pelajaran yang lain.

Selaras dengan dua pendapat di atas, Sukardjo dan Ukim Komarudin mengungkapkan
mengenai konsep pembelajaran menurut konstruktivisme, bahwa Konsep pembelajaran
menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan siswa
untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, pengertian baru, dan pengetahuan
baru berdasarkan data. Oleh karena itu proses pembelajaran dirancang dan dikelola
sedemikian rupa sehingga mampu mendorong siswa mengorganisasi pengalamannya sendiri
menjadi pengetahuan yang 19 bermakna. Jadi dalam pandangan kontruktivisme sangat
penting peran siswa memiliki kebiasaan berfikir, maka dibutuhkan kebebasan dan sikap
belajar.

Secara khusus Hanburg Martinis Yamin dan Bansu, mengemukakan pembelajaran


matematika yang sesuai dengan teori konstruktivisme, yaitu :
1) Siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintergrasikan ide yang
mereka miliki
2) Belajar matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti
3) Strategi siswa lebih bermanfaat
4) Siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar
pengalaman dengan temannya. Pembelajaran matematika dengan pendekatan
konstruktivisme dalam bagiannya memerlukan penyediaan pembelajaran yang
mengkondisikan siswa untuk mengalami berbagai pengalaman belajar dan
mampu menemukan sesuatu secara alami serta dapat merefleksikan gagasan
yang baru bagian.22

Matematika SD merupakan salah satu mata pelajaran yang menyajikan konsep –


konsep dasar matematika yang kelak sangat dibutuhkan untuk mempelajari konsep – konsep
matematika pada jenjang pendidikan berikutnya. Apabila peserta didik lemah pemahaman
konsep matematikanya pada jenjang pendidikan sebelumnya, maka kemungkinan peserta
didik akan mengalami kesulitan untuk memahami konsep – konsep matematika yang sedang
dipelajarinya. Sehingga perlu adanya perubahan yang dilakukan agar peserta didik tidak
mengalami kesulitan dalam memahami konsep matematika. Perkembangan model
pembelajaran matematika tidak selalu sejalan dengan perkembangan berpikir anak terutama
pada tingkat sekolah dasar. Hal ini yang selalu menarik untuk diadakan penelitian. Tahap
perkembangan peserta didik yang masih konkret ataupun pra konkret dengan pembelajaran
matematika yang bersifat abstrak perlu diperhatikan agar proses pembelajaran dapat
dikatakan berhasil. Menurut Sumardyono definisi matematika dapat dideskripsikan sebagai
berikut:

1) Matematika sebagai struktur yang terorganisasi


2) Matematika sebagai alat
3) Matematika sebagai pola pikir deduktif
4) Matematika sebagai cara bernalar
5) Matematika sebagai bahasa artifisial
6) Matematika sebagai seni yang kreatif

Karakter metematika menurut Mega diantaranya:

22
Azhar Arsyad, Media Pembelajaran,(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 121.
1) Matematika memiliki dua sifat penting, yaitu aplikatif (nyata) dan nonaplikatif
(abstrak)
2) Matematika merupakan ilmu pasti
3) Matematika memerlukan kontinuitas dalam berlatih Hasil observasi
menunjukkan bahwa hasil belajar peserta didik masih dibawah rata – rata.

Sebanyak 48% peserta didik belum paham mengenai konsep bangun ruang dilihat dari
masih banyaknya peserta didik yang mendapatkan nilai dibawah nilai Kriteria Ketuntasan
Minimal (KKM) yang ditetapkan oleh sekolah dan hanya 52% peserta didik yang sudah
mencapai KKM. Hal tersebut dikarenakan selama proses pembelajaran belum sesuai dengan
harapan, pembelajaran matematika masih menekankan pada aspek kognitif saja tanpa
memperhatikan aspek afektif dan psikomotornya. Dampaknya membuat peserta didik kurang
termotivasi untuk mengikuti pembelajaran matematika. Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan keberhasilan peserta didik dalam memahami pembelajaran matematika
tentang bangun ruang. Salah satunya melalui pembelajaran matematika yang dapat
meningkatkan pemahaman. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pemahaman peserta
didik adalah apa yang diketahui oleh peserta didik itu sendiri. Guru hendaknya berusaha
untuk mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah ada dalam pikiran peserta
didik sebelum mereka mempelajari suatu konsep atau pengalaman baru. Hal ini sejalan
dengan pandangan konstruktivisme bahwa guru perlu memberi kesempatan kepada peserta
didik untuk membangun sendiri pengetahuannya secara aktif dengan memperhatikan
pengetahuan awal peserta didik.

Pembelajaran menurut Jihad dan Haris, merupakan suatu proses yang terdiri dar
kombinasi dua aspek, yaitu belajar dan mengajar. Belajar merujuk pada apa yang harus
dilakukan peserta didik, sedangkan mengajar merujuk pada apa yang dilakukan oleh guru.
Menurut Ruseffendi (dalam Dadan, 2016, hlm. 3) mengemukakakan bahwa model
pembelajaran adalah suatu jalan, cara atau kebijaksanaan yang ditempuh oleh guru atau
peserta didik dalam pencapaian tujuan pengajaran dilihat dari sudut bagaimana proses
pengajaran atau materi pengajaran itu, umum atau khusus dikelola. Model pembelajaran
merupakan cara atau jalan yang ditempuh oleh guru atau peserta didik untuk mencapai suatu
tujuan. Seorang guru dalam mengajarkan materi pelajaran harus memilih model atau yang
seseuai dengan materi yang disampaikan, supaya materi tersebut bisa dipahami peserta didik.
Model pembelajaran konstruktivisme menganggap bahwa belajar merupakan proses
aktif untuk peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Proses aktif dapat
terjalin dengan baik jika didukung dengan terciptanya interaksi antara peserta didik dan guru,
dan interaksi antar peserta didik. Karakteristik konstruktivisme menurut Driver dan Bell
adalah sebagai berikut :

1) Peserta didik tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan.
2) Belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
peserta didik
3) Pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, melainkan dikonstruksi
secara personal
4) Pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan
pengaturan situasi lingkungan belajar
5) Kurikulum bukanlah sekedar hal dipelajari, melainkan seperangkat
pembelajaran, materi dan sumber.

Masnur Muslich, pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan


terbangunnya pemahaman sendiri secara aktif, kreaktif dan produktif berdasarkan
pengetahuan terdahulu dan pengalaman belajar yang bermakna. Manusia harus
mengkonstruksi terlebih dahulu pengetahuan tersebut dan memberikan makna melalui
pengalaman nyata. Pembelajaran konstruktivisme dapat menjadikan peserta didik lebih
mudah memahami konsep, dalam pembelajaran bangun ruang diharapkan peserta didik akan
memahami konsep bangun ruang secara utuh dari pengetahuan riil menuju pengetahuan
secara abstrak. Langkah – langkah penerapan model konstruktivisme menurut Chujaemah :

1) Fase start
2) Fase eksplorasi
3) Fase refleksi, dan
4) Fase aplikasi dan diskusi.

Dalam penelitian ini, peneliti akan mengadaptasi fase atau langkah – langkah model
pembelajaran konstruktivisme yang dikemukakan oleh Karli (dalam Utami, 2015, hlm. 16-
17) meliputi empat fase yaitu fase apersepsi, fase eksplorasi, fase diskusi dan penjelasan
konsep, dan fase pengembangan dan aplikasi. Pemahaman menurut Bloom (dalam
Dewiatmini, 2010, hlm. 28) mencakup kemampuan untuk menangkap makna dalam arti yang
dipelajari. Seorang peserta didik dikatakan telah mempunyai kemampuan memahami apabila
peserta didik tersebut dapat menjelaskan suatu konsep tertentu dengan kata – kata sendiri,
dapat membandingkan, dapat memberdakan, dan dapat mempertentangkan konsep tersebut
dengan konsep lain. Pemahaman konsep pada peserta didik adalah suatu keadaan dimana
peserta didik mampu menyelesaikan soal – soal dari materi yang telah diberikan. Peserta
didik dapat merumuskan informasi yang didapatnya dengan menggunakan kata – kata sendiri
dan dapat mengerjakan soal dengan tepat. Dengan pemahaman konsep diharapkan peserta
didik mampu mengembangkan pemahamannya sendiri tentang suatu konsep.23

F. F. PETA KONSEP MATEMATIKA SD DAN PENGETAHUAN PRASYARAT

Peta konsep matematika adalah untuk meningkatkan efektivitas pembelalaran matematika


di SD, dengan kriteria dapat mewujudkan pembelajaran yang bermakna dan meningkatkan
hasil belajar siswa.

Menurut Novak (Dahar, 1989) peta konsep dapat membantu guru untuk mengetahui
konsep - konsep yang telah dimiliki oleh siswa, sehingga dengan menggunakan peta konsep
guru dan siswa dapat menentukan titik awal untuk memulai mengembangkan pengetahuan
siswa. Dengan demikian siswa telah siap untuk melaksanakan pembelajaran. Peta konsep
dapat dipandang sebagai alat yang membuat informasi abstrak menjadi konkret. Dengan
demikian pembelajaran dengan peta konsep juga sEsuai dengan Teori Perkembangan Mental
dari Piaget. Menurut Piaget , siswa sd yang pada umumnya berada pada usia 7 – 14 tahun
berada pada tahap operasi konkret. pada tahap ini anak dapat memahami konsep - konsep
abstrak dengan bantuan objek - objek konkret vang relevan.

Siswa yang berada pada tahap operasi konkret dapat memahami hukum kekekalan,
tetapi belum capat berpikir secara deduktif, sehingga pembuktian dalil - dalil matematika
belum dapat dimengerti oleh mereka Agar siswa dapat memahami dengan baik pelajaran
matematika yang diberikan, pengajaran suatu bahasan perlu diberikan pada siswa yang telatr
siap, sehingga pembelaj aran bermakn a dan dapat terl aksana. Manfaat lain bagi siswa adalah
bahwa dengan menggunakan atau membuat peta konsep siswa dapat mempelajan cara belala.
matematika sendiri, sebab dengan membuat peta konsep siswa, membangun sendiri
konstruksi konsep - konsep yang telah dimiliki dengan konsep - konsep yang sedang
dipelajari. ini sesuai dengan ide pokok teori konstruktivisme yang airyatakan dalam Slavin

23
Gunawan. (2014). Peningkatan Pemahaman Konsep Matematika dengan Penerapan Pembelajaran
Matematika Berbasis Konstruktivisme. (skripsi). FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
(1994) yaitu bahwa sebagian besai dari apa yang dipelajari dan dipahami seseorang
ditentukan oleh dirinya sendiri. Diharapkan dengan menggunakan atau membuat peta konsep
siswa lebih memahami konsep konsep matematika yang sedang dipelajari.

Pengetahuan prasyarat adalah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mempelajari suatu
bahan ajar baru. Misalnya, untuk mempelajari perkalian siswa harus sudah mempelajari penjumlahan.
Untuk mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan prasyarat, guru harus mengadakan tes
prasyarat (prequisite test). Jika berdasar tes tersebut siswa belum memiliki pengetahuan prasyarat,
maka siswa tersebut harus diberi materi atau bahan pembekalan. Bahan pembekelan (matrikulasi)
dapat diambil dari materi atau modul di bawahnya.24

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, terdapat beberapa
kesamaan dasar teori. Seperti, pembelajaran yang dikehendaki adalah pembelajaran yang
memungkinkan peserta didik menjadi aktif dalam pembelajaran. guru bidang study juga harus
memahami tingkatan berfikir siswanya agar siswa dapat menyelesaikan masalah dalam
pelajaran matematika.

B. Saran

24
Fadjar Shadiq, Pentingnya Pengetahuan Prasyarat dalam Memecahkan Masalah,
https://docplayer.info/40369181-Pentingnya-pengetahuan-prasyarat-dalam-memecahkan-masalah.html, diakses
pada tanggal 14 November 2020, pukul 23.55
Bagi para pembaca atau guru sekolah dasar pada khususnya, ciptakanlah
pembelajaran yang menyenangkan. mari bersama kita hapus anggapan siswa bahwa belajar
matematika itu membosankan dengan cara konkrit dalam proses pembembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Nasichah, Durrotun. 2009. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT
(Teams Games Tournaments) Terhadap Motivasi Belajar Siswa Pada Materi
Persegi Panjang Di Kelas Vii Smp Buana Waru. IAIN : Pendidikan Matematika.

http ://jurnal.upi.edu/file/7-Ety_Mukhlesi_Yeni.pdf. (diakses pada tanggal 12 November


2020)
http://repository.upi.edu/operator/upload/t_mtk_1007339_chapter2.pdf (diakses pada tanggal
12 november 2020)

Suparno, Paul. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Piaget. Yogyakarta : Kanisius.

Slavin. Robert E. 2011. Psikologi Pendidikan Teori Dan Praktik. Jakarta: permata puri
media.

Nasution, S. 2000. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: Bumi
Aksara.

Simanjutak, Lisnawaty. 1993. Metode Mengajar Matematika. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Syah, Muhibbin. 2006. Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mulyati. 2005. Psikologi Belajar. Yogyakarta: C.V. Andi Offset.

Fuaidah,Tu’nas. 2014. Teori Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner.


http://8tunas8.wordpress.com/teori-belajar-mengajar-menurut-jerome-s-bruner/
(diakses pada tanggal 12 November 2020)

Atiaturrahmania, dkk. 2017. Pengembangan Pendidikan Matematika SD. Lombok :


Universitas Hamzanwadi Press.

http ://jurnal.upi.edu/file/7-Ety_Mukhlesi_Yeni.pdf. (diakses pada tanggal 12 November


2020)

http://repository.upi.edu/operator/upload/t_mtk_1007339_chapter2.pdf (diakses pada tanggal


12 november)

Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Shadiq, Fadjar. Pentingnya Pengetahuan Prasyarat dalam Memecahkan Masalah,


https://docplayer.info/40369181-Pentingnya-pengetahuan-prasyarat-dalam-
memecahkan-masalah.html(diakses pada tanggal 14 November 2020)
Fitriati dan Lisa Sopiana, 2015, Penerapan Teori Van Hiele Dalam Meningkatkan
Kemampuan Berpikir Siswa Sekolah Menengah Pertama Pada Materi Bangun
Ruang Limas ,Jurnal Pendidikan Matematika,Volume 2 No.1,hal 44-45

Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Depdikbud P2LPTK

Anda mungkin juga menyukai