Anda di halaman 1dari 23

REVISI

TUGAS KELOMPOK

HAKIKAT DAN KARAKTERISTIK FILSAFAT


MATEMATIKA SEKOLAH (I)

Untuk Memenuhi Tugas


Pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Matematika
Dosen Pengampu:
Dr. Nahor Murani Hutapea, M.Pd

Kelompok 11:

ANISA SONIA
2210246966

PROGRAM STUDI PASCASARJANA


PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Syukur al-hamdulillah yang setulusnya penulis aturkan kehadirat Allah Swt, atas
segala limpahan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan
makalah ini secara baik. Berikutnya shalawat dan salam semoga tetap tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad Saw, begitu juga kepada keluarga dan para
sahabatnya serta orang-orang yang konsisten menjalankan sunnahnya sampai akhir
zaman, amiin.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas penulis pada mata kuliah
Filsafat Pendidikan Matematika, dengan memilih judul: “Hakikat dan Karakteristik
Filsafat Matematika Sekolah (I)”. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.
Nahor Murani Hutapea, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah ini yang telah
banyak memberikan arahan dan bimbingan.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya dan belum
sempurna, untuk itu segala bentuk kritikan dan saran yang konstruktif demi
kesempurnaan tulisan ini, sangat penulis harapkan. Terimakasih.
Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi wabarakatuh,

Pekanbaru, 10 November
2022
Penulis,

ANISA SONIA
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
DAFTAR TABEL...............................................................................................iii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.....................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..................................................................................2
D. Manfaat Penulisan................................................................................2

BAB II. PEMBAHASAN


A. Faktor-faktor pendorong timbulnya filsafat matematika sekolah........3
B. Hakikat dan karakteristik filsafat matematika sekolah.........................5
C. Tujuan pendidikan matematika sekolah...............................................9
D. Pola berpikir deduktif dan induktif....................................................10

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan.........................................................................................13
B. Saran...................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................14
DAFTAR TABEL

1 Indikator Pola Berpikir Deduktif......................................................................11


2 Indikator Pola Berpikir Induktif.......................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat merupakan ilmu yang mempelajari semua yang ada di dunia ini
dengan cakupan yang sangat luas. Mempelajari filsafat adalah belajar tentang
hidup, bagaimana kehidupan seseorang bisa berguna untuk diri sendiri dan juga
orang lain. Kesadaran untuk mempelajari filsafat harus muncul dalam dunia
pendidikan yang didalamnya terdapat proses pengajaran dan pembelajaran. Salah
satu cabang ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan adalah matematika.
Matematika merupakan ilmu universal yang berguna bagi kehidupan manusia
dan juga mendasari perkembangan teknologi modern, serta mempunyai peran
penting dalam berbagai disiplin ilmu dan memajukan daya pikir manusia.
Matematika dengan hakikatnya sebagai suatu kegiatan manusia melalui proses
yang aktif, dinamis, dan generatif, serta sebagai pengetahuan yang terstruktur,
mengembangkan sikap berpikir kritis, objektif dan terbuka menjadi sangat penting
untuk dimiliki peserta didik dalam menghadapi perkembangan iptek yang terus
berkembang. Dengan demikian diperlukan penguasaan matematika yang kuat
untuk membekali peserta didik dengan kemampuan logis, analitis, sistematis,
kritis dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama (Kemendikbud, 2016).
Matematika yang diajarkan di jenjang persekolahan yaitu Sekolah Dasar
(SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA)
disebut matematika sekolah. Sering juga dikatakan bahwa matematika sekolah
merupakan unsur-unsur atau bagian dari matematika yang dipilih berdasarkan
atau berorientasi kepada kepentingan kependidikan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak peserta
didik temasuk guru yang kurang mengetahui peranan dan kegunaan matematika
dalam pengembangan iptek, bidang kehidupan dan dalam membentuk pola pikir
serta kepribadian, serta tidak atau kurang memahami tentang hakikat (apa,
mengapa dan bagaimana) matematika khususnya matematika sekolah.
Filsafat matematika sekolah dapat mempengaruhi pola pikir seorang guru
dalam memandang matematika sehingga mempengaruhi cara guru membelajarkan
matematika. Dalam melaksanakan pembelajaran matematika sekolah diharapkan
peserta didik dapat merasakan kegunaan belajar matematika. Pemahaman konsep
pada pembelajaran matematika sekolah sering diawali secara induktif melalui
pengamatan pola atau fenomena, pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses
induktif-deduktif dapat digunakan untuk mempelajari konsep matematika.
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa matematika sekolah
mempunyai peran penting bagi bagi peserta didik agar memiliki bekal
pengetahuan dan untuk pembentukan sikap serta pola pikirnya, maupun untuk
matematika itu sendiri dalam rangka melestarikan dan mengembangkannya.
Sehingga perlu bagi kita memahami dengan baik tentang hakikat dan
karakteristik filsafat matematika sekolah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah
pada makalah ini adalah:
1. Apa saja faktor-faktor pendorong timbulnya filsafat matematika sekolah?
2. Bagaimana hakikat dan karakteristik filsafat matematika sekolah?
3. Apa tujuan pendidikan matematika sekolah?
4. Apa yang dimaksud dengan pola berpikir deduktif dan induktif?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan pada makalah ini adalah:
1. Mengetahui faktor-faktor pendorong timbulnya filsafat matematika
sekolah
2. Memahami hakikat dan karakteristik filsafat matematika sekolah
3. Mengetahui tujuan pendidikan matematika sekolah
4. Memahami pola berpikir deduktif dan induktif

D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan penulis
maupun pembaca mengenai hakikat dan karakterstik matematika sekolah. Selain
itu penulisan makalah ini diharapkan dapat mendorong penulis atau pembaca
untuk dapat memahami cara bepikir seorang filsuf.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-faktor Pendorong Timbulnya Filsafat Matematika Sekolah


Berangkat dari pertanyaan sederhana, “apakah sebenarnya matematika itu?”,
para ahli telah menyampaikan ide dan pemikiran filsafat sejak abad-19 hingga
sekarang ini. Beberapa pemikiran tersebut dikenal dengan istilah aliran dalam
matematika yang secara umum terdapat tiga aliran besar yang mempengaruhi
jalan perkembangan matematika termasuk perkembangan matematika sekolah,
yaitu: (1) formalisme, (2) logikalisme atau logisisme, dan (3) intuisionisme.
Implikasi tiga aliran tersebut dalam pembelajaran matematika di sekolah secara
eksplisit memang tidak tampak, namun dapat mempengaruhi pola pikir seseorang
terutama guru dalam memandang matematika, sehingga mempengaruhi cara guru
membelajarkan matematika (Sumardyono, 2004).
Banyak orang yang salah paham terhadap matematika, tetapi banyak juga
orang yang kagum terhadap matematika. Perasaan kagum dan rasa ingin tahu
terhadap matematika memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat
matematika, ruang lingkup matematika, dan kegunaan matematika khususnya
matematika yang diajarkan pada jenjang pendidikan. Kebutuhan ini akan
terpenuhi apabila matematika dikaji secara filsafat (Hardi Suyitno, 2016).
Sesuai dengan kemajuan zaman, ilmu pengetahuan semakin berkembang.
Agar suatu negara bisa lebih maju, maka negara tersebut perlu memiliki manusia-
manusia yang melek teknologi. Untuk keperluan ini tentunya perlu belajar
matematika sekolah terlebih dahulu, karena matematika memegang peranan yang
sangat penting bagi perkembangan teknologi itu sendiri. Jika matematika tidak
diajarkan di sekolah maka sangat mungkin matematika akan punah. Selain itu,
sesuai dengan karakteristiknya yang bersifat hirarkis, untuk mempelajari
matematika lebih lanjut harus mempelajari matematika level sebelumnya atau
harus dimulai dari yang paling dasar. Jelas bahwa matematika sekolah mempunyai
peranan yang sangat penting bagi peserta didik agar mempunyai bekal
pengetahuan dan untuk pembentukan sikap serta pola pikirnya (Magdalena Barek,
2019).
Kamarullah (2017) menyatakan bahwa fakta dilapangan terdapat beberapa
miskonsepsi terhadap pembelajaran matematika sekolah, seperti kehadiran
matematika di dunia pendidikan menjadi momok yang menakutkan bagi sebagian
peserta didik yang mempelajarinya, padahal matematika hadir untuk menata nalar
para peserta didik agar memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri dalam
matematika khususnya, maupun dalam berbagai disiplin ilmu lainnya. Selain itu
persepsi masyarakat tentang matematika merupakan pelajaran yang sulit. Persepsi
negatif itu ikut dibentuk oleh anggapan matematika sebagai ilmu yang abstrak,
teoritis, penuh dengan lambang-lambang dan rumus-rumus yang sulit serta
membingungkan, yang muncul akibat pengalaman kurang menyenangkan ketika
belajar matematika di sekolah. Hal ini terjadi akibat kurangnya pemahaman
peserta didik terhadap hakikat dari matematika yang dipelajari di sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor pendorong timbulnya filsafat
matematika sekolah adalah sebagai berikut:
1. Aliran dalam filsafat matematika dapat mempengaruhi pola pikir seseorang
2. Perasaan kagum dan rasa ingin tahu terhadap matematika khususnya di
jenjang pendidikan
3. Peran penting matematika sekolah terhadap pembentukan pola pikir peserta
didik
4. Miskonsepsi terhadap pembelajaran matematika sekolah

B. Hakikat dan Karakteristik Filsafat Matematika Sekolah


1. Hakikat Filsafat Matematika Sekolah
Sekolah merupakan tempat seorang anak memperoleh pendidikan.
Adapun tingkatan pendidikan yang terdapat pada sekolah adalah Sekolah
Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas
(SMA). Salah satu mata pelajaran yang dipelajari adalah matematika. Mata
pelajaran matematika yang dipelajari di sekolah disebut matematika sekolah
(Suherman, 2003).
Menurut Hermanto (2014), matematika sekolah merupakan materi
matematika yang dipisah-pisah proses pembelajarannya berdasarkan tingkat
sekolah peserta didiknya. Materi matematika tersebut dipisah-pisah sebagai
salah satu upaya mengembangkan kemampuan berpikir matematis peserta
didik berdasarkan tahap perkembangan masing-masing. Sedangkan menurut
Susanah (2007), matematika sekolah adalah bagian dari matematika yang
dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan pendidikan dan
perkembangan IPTEK sehingga tidak terlepas dari karakteristik matematika.
Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
filsafat matematika sekolah merupakan cabang dari filsafat matematika yang
telah disesuaikan dan dikembangkan sesuai dengan tingkat kemampuan
peserta didik yang digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan
berpikir peserta didik pada tingkatan pendidikan yang terdapat di sekolah.

2. Karakteristik Filsafat Matematika Sekolah


Matematika sekolah jelas berkaitan dengan peserta didik yang yang
menjalani proses perkembangan kognitif dan emosional masing-masing.
Secara khusus, dapat dikatakan bahwa dalam matematika sekolah perlu
memperhatikan aspek teori psikologi khususnya teori psikologi
perkembangan. Mereka memerlukan tahapan belajar sesuai dengan
perkembangan jiwa dan kognitifnya. Potensi yang ada pada diri anak pun
berkembang dari tingkat rendah ke tingkat tinggi, dari sederhana ke kompleks.
Berdasarkan hal tersebut jelaslah karakteristik matematika sebagai ilmu yang
telah disebut sebelumnya tidak dapat begitu saja diterapkan tanpa
menyesuaikan dengan perkembangan peserta didik.
Karakteristik matematika sekolah dalam Kurikulum 2013 terdiri dari: (1)
objek yang dipelajari abstrak, (2) kebenarannya berdasarkan logika, (3)
pembelajarannya secara bertingkat dan kontinu, (4) ada keterkaitan antara
materi yang satu dengan yang lainnya, (5) menggunakan simbol, dan (6)
diaplikasikan dibidang ilmu lain (Kemendikbud, 2016).

Sedangkan Susanah (2007) menjelaskan bahwa karakteristik dari


matematika sekolah terbagi menjadi 6, yaitu:
a. Memiliki objek kajian konkret dan abstrak
Seorang guru matematika harus berusaha untuk mengurangi sifat
keabstrakan objek matematika sehingga memudahkan peserta didik dalam
menangkap pelajaran matematika sekolah. Dengan demikian, seorang guru
matematika dalam menerangkan fakta, konsep, skill/ keterampilan, dan prinsip
harus menyesuaikan perkembangan penalaran peserta didik agar terlihat
konkret.
b. Pola pikirnya induktif dan deduktif
Dalam pembelajaran matematika pola pikir deduktif sangat penting,
namun dalam pembelajaran matematika sekolah terutama jenjang sekolah
dasar atau menengah pertama masih memerlukan pola pikir induktif.
c. Kebenaran konsistensi dan korelasional
Konsistensi berlaku dalam hal istilah atau nama objek matematika yang
digunakan dalam pembelajaran. Tidak dibenarkan adanya kontradiksi baik
dalam hal sifat, konsep, teorema atau istilah nama yang digunakan.
d. Bertumpu pada kesepakatan
Kesepakatan berlaku dalam hal istilah atau nama objek matematika yang
digunakan, dan juga dalam hal definisi dan sebagainya. Sama halnya dengan
matematika sebagai ilmu, dalam matematika sekolah kesepakatan juga harus
dipenuhi.
e. Memiliki simbol kosong arti dan juga berarti
Dalam pembelajaran matematika simbol matematika yang digunakan
telah dikenalkan sejak SD. Namun, penggunaan simbol itu disesuaikan dengan
tingkat kognitif peserta didik.
f. Taat kepada semesta
Sebagai akibat dipilihnya unsur atau elemen matematika untuk
matematika sekolah dengan memperhatikan aspek kependidikan, dapat terjadi
penyederhanaan dari konsep matematika yang kompleks. Semesta
pembicaraan dalam pembelajaran matematika tetap diperlukan, namun
mungkin dipersempit disesuaikan dengan tahap perkembangan peserta didik.
Menurut Sumardyono (2004) sehubungan dengan karakteristik umum
matematika, dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah harus
memperhatikan ruang lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan
antara matematika sebagai ilmu dengan matematika sekolah, perbedaan itu
dalam hal penyajian, pola pikir, semesta pembicaraan, dan tingkat
keabstrakan.
a. Penyajian
Penyajian matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun
definisi, tetapi haruslah disesuaikan dengan perkembangan intelektual peserta
didik. Penyajian topik perkalian pada jenjang SD, dimana pengertian perkalian
seharusnya tidak langsung menyajikan bentuk matematika, semisal 3 × 4=12.
Penyajiannya hendaknya didahului dengan melakukan penjumlahan berulang
dengan menggunakan peraga, misalnya kelereng. Dengan peragaan itu,
peserta didik mendapatkan pemahaman bahwa 3 × 4 dan 4 ×3 bernilai sama
yaitu 12, tetapi makna perkaliannya berbeda. Setelah peserta didik memahami
makna perkalian, barulah diminta menghafalkan fakta dasar perkalian.
Penyajian topik teori peluang jenjang SMP, ketika menyajikan topik
dalam teori peluang semisal sebuah kejadian, ruang sampel, kejadian bebas,
dan lain sebagainya, hendaknya tidak langsung kepada definisi dan teorema.
Agar lebih bermakna bagi peserta didik, pendekatan konkret atau induktif
dengan melakukan percobaan sederhana, misalnya melantunkan dadu dapat
dilakukan sebagai awal pembelajaran.
Sementara di jenjang SMA, pendekatan secara induktif atau konkret
sudah harus dikurangi, kecuali pada topik-topik yang memerlukan bantuan
yang konkret seperti teori peluang.
b. Pola pikir
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir
deduktif maupun maupun pola pikir induktif. Hal ini harus disesuaikan dengan
topik bahasan dan tingkat intelektual peserta didik. Sebagai kriteria umum,
biasanya di SD menggunakan pendekatan induktif lebih dulu karena hal ini
lebih memungkinkan peserta didik menangkap pengertian yang dimaksud.
Sementara untuk SMP dan SMA, pola pikir deduktif sudah semakin
ditekankan.
c. Semesta pembicaraan
Sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik, maka matematika
yang disajikan dalam jenjang pendidikan juga menyesuaikan dalam
kekomplekan semestanya. Semakin meningkat tahap perkembangan
intelektual peserta didik, maka semesta matematikanya semakin diperluas.
Keterbataasan semesta bilangan jenjang SD dibatasi pada bilangan bulat
dan bilangan pecahan. Jenjang SMP pada penyelesaian soal matematika
dibatasi pada himpunan bilangan real. Sedangkan SMA sudah mulai
membicarakan tentang semesta bilangan kompleks.
d. Tingkat keabstrakan
Seperti poin sebelumnya, tingkat keabstrakan matematika juga harus
menyesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual peserta didik. Di SD
dimungkinkan untuk “mengkonretkan” objek-objek matematika agar peserta
didik lebih memahami pelajaran. Namun, semakin tinggi jenjang sekolah,
tingkat keabstrakan objek semakin diperjelas.
Dalam pembelajaran fakta mengenai bilangan di SD, peserta didik tidak
langsung diperkenalkan simbol “2”, “3” beserta sifat urutannya, tetapi dimulai
dengan menggunakan benda-benda konkret dan menyuguhkan sifat urutan/
relasi sebagai sifat “lebih banyak” atau “lebih sedikit”.
Pembuktian teorema phytagoras di jenjang SMP, peserta didik tidak
langsung diarahkan pada bukti deduktif yang bersifat abstrak/ formal dengan
menggunakan lambang-lambang aljabar. Bukti secara geometris akan sangat
membantu peserta didik memahami teorema phytagoras dan kebenarannya.
Banyak sekali pembuktian secara geometris yang cukup menarik dan mudah
dimengerti peserta didik.

Pembelajaran topik irisan bangun ruang semisal kubus atau piramida


pada jenjang SMA, penggunaan benda konkret yang berbentuk kubus atau
piramida akan sangat membantu peserta didik memahami bagaimana
terjadinya sutu irisan dan sifat-sifat spasial keruangannya.

C. Tujuan Pendidikan Matematika Sekolah


Tujuan pendidikan matematika sekolah yang dimaksudkan adalah tujuan
pembelajaran matematika yang secara umum diajarkan di sekolah. Selain itu
dikemukakan kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat
tercapai dalam belajar matematika mulai dari sekolah dasar sampai dengan
sekolah menengah. Tujuan pendidikan matematika di sekolah mengacu kepada
tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Kurikulum 2013, yaitu
agar peserta didik dapat:
1. Memahami konsep matematik, yaitu mampu menjelaskan keterkaitan
antarkonsep dan menggunakan konsep maupun algoritma secara luwes,
akurat, efisien serta tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan pola sebagai dugaan dalam penyelesaian masalah, dan mampu
membuat generalisasi berdasarkan fenomena atau data yang ada.
3. Menggunakan penalaran pada sifat, melakukan manipulasi matematika baik
dalam penyederhanaan, maupun menganalisa komponen yang ada dalam
pemecahan masalah dalam konteks matematika maupun di luar matematika
(kehidupan nyata, ilmu, dan teknologi) yang meliputi kemampuan memahami
masalah, membangun model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh termasuk dalam rangka memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari (dunia nyata).
4. Mengkomunikasikan gagasan, penalaran serta mampu menyusun bukti
matematika dengan menggunakan kalimat lengkap, simbol, tabel, diagram,
atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
6. Memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai dalam matematika
dan pembelajarannya, seperti taat azas, konsisten, menjunjung tinggi
kesepakatan, toleran, menghargai pendapat orang lain, santun, demokrasi,
ulet, tangguh, kreatif, menghargai kemestaan (konteks, lingkungan), kejasama,
adil, jujur, teliti, cermat, dan sebagainya.
7. Melakukan kegiatan-kegiatan motorik yang menggunakan pengetahuan
matematika
8. Menggunakan alat peraga sederhana maupun hasil teknologi untuk melakukan
kegiatan-kegiatan matematik.

Kecakapan atau kemampuan-kemampuan tersebut saling berkaitan erat, yang


satu dapat memperkuat sekaligus membutuhkan yang lain. Sekalipun tidak
dikemukakan secara eksplisit, kemampuan berkomunikasi muncul dan diperlukan
di berbagai kecakapan, misalnya untuk menjelaskan gagasan pada pemahaman
konseptual, menyajikan rumusan dan penyelesaian masalah, atau mengemukakan
argumen pada penalaran (Kemendikbud, 2016).
Jika diperhatikan secara cermat terlihat bahwa tujuan pendidikan matematika
sekolah yang dikemukakan di atas memuat nilai-nilai tertentu. Susanah (2007)
mengklasifikasikan tujuan pendidikan matematika sekolah menjadi dua, yaitu: (1)
tujuan yang bersifat formal, yaitu menekankan kepada menata penalaran dan
membentuk kepribadian, dan (2) tujuan yang bersifat material, yaitu lebih
menekankan kepada kemampuan menerapkan dan keterampilan matematika.

D. Pola Berpikir Deduktif dan Induktif


1. Pola Berpikir Deduktif
Ross (dalam Lithner, 2000) menyatakan bahwa salah satu tujuan
terpenting dalam pembelajaran matematika adalah mengajarkan kepada
peserta didik penalaran logika. Penalaran logika merupakan aspek dasar dalam
mempelajari matematika. Apabila kemampuan bernalar tidak dikembangkan
pada diri peserta didik, maka bagi mereka matematika hanya akan menjadi
materi yang mengikuti serangkaian prosedur dan meniru contoh-contoh tanpa
mengetahui maknanya.
NCTM (2000) menyatakan bahwa program pembelajaran matematika dari
prasekolah sampai kelas XII harus memberi kesempatan kepada semua peserta
didik mengenal penalaran dan pembuktian sebagai aspek dasar matematika,
menggali dan mengembangkan argumen-argumen matematika kemudian
memilih serta menggunakan berbagai tipe penalaran dan metode pembuktian.
Sehingga peserta didik harus belajar membuat argumen-argumen deduktif
yang efektif berdasar kebenaran matematika yang ditetapkan di kelas.
W.J.S.Poerwadarminta (2006) dikatakan bahwa deduktif berasal dari
bahasa Inggris deduction yang berarti penarikan kesimpulan dari keadaan-
keadaan yang umum, menemukan yang khusus dari yang umum, lawannya
induktif. Sedangkan S.Suriasumantri (2005) mengatakan bahwa deduktif
adalah cara berpikir dimana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pola berpikir
deduktif adalah proses berpikir yang bermula dari hal yang bersifat umum
untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat khusus berdasarkan fakta-fakta
atau pembuktian yang ada. Adapun indikator pola berpikir deduktif dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.1 Indikator Pola Berpikir Deduktif
Aspek Pola Berpikir Deduktif Indikator
Merumuskan berbagai kemungkinan
Membuat dugaan pemecahan masalah sesuai dengan
pengetahuan yang dimilikinya
Menuliskan dan menuntaskan suatu
Memanipulasi persoalan sesuai aturan atau kaidah yang
ada
Menyusun arguman dan fakta Menyusun dan memberikan alasan atau
bukti terhadap kebenaran solusi
Menyelidiki tentang kebenaran dari suatu
Memeriksa kesahihan (kebenaran)
pernyataan yang ada
Menarik kesimpulan Menyimpulkan solusi dari masalah
(Diadopsi dari Manurung dan Kartono, 2016)

2. Pola Berpikir Induktif


Menurut piaget (Lithner, 2000), siswa belajar memahami objek-objek di
lingkungan kehidupannya dengan cara mengklasifikasikan menjadi suatu
kategori tertentu yang berbeda dengan objek lainnya, berbasis karakteristik
tertentu atau sifatnya. Misalnya disajikan beberapa gambar berbagai binatang,
siswa mengklasifikasikan gambar-gambar tersebut kedalam kelompok burung,
ayam, dan hewan berkaki empat. Dengan cara seperti ini peserta didik belajar
konsep himpunan dan keanggotaan suatu himpunan.
W.J.S.Poerwadarminta (2006) dikatakan bahwa induktif adalah cara
mempelajari sesuatu yang bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk
menentukan hukum yang umum. Sedangkan Suriasumantri (2005)
mengatakan bahwa penalaran secara induktif dimulai dengan mengemukakan
pernyataan-pernyataan yang mempunyai ruang lingkup yang khas dan terbatas
dalam menyusun argumentasi yang diakhiri dengan pernyataan yang bersifat
umum.
Pendapat lain menurut Copi (Sumartini, 2016) penalaran induktif
merupakan proses penalaran yang kesimpulannya diturunkan dari premis-
premisnya dengan suatu probabilitas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pola
berpikir induktif adalah proses berpikir yang bermula dari fakta-fakta yang
bersifat khusus, kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum sehingga
menjadi sebuah pengetahuan baru. Adapun indikator pola berpikir induktif
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Indikator Pola Berpikir Induktif
Aspek Pola Berpikir Induktif Indikator
Analogi Mengamati pola yang terjadi
Membuat dugaan Membuat dugaan tentang pola umum
Generalisasi Membuat generalisasi
Pembuktian generalisai Membuktikan generalisasi secara
dedukif
(Diadopsi dari Manurung dan Kartono, 2016)

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Filsafat matematika sekolah merupakan cabang dari filsafat matematika yang
telah disesuaikan dan dikembangkan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta
didik yang digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir
peserta didik pada tingkatan pendidikan yang terdapat di sekolah.
Matematika sekolah jelas berkaitan dengan peserta didik yang yang menjalani
proses perkembangan kognitif dan emosional masing-masing. Secara khusus,
dapat dikatakan bahwa dalam matematika sekolah perlu memperhatikan aspek
teori psikologi khususnya teori psikologi perkembangan. Mereka memerlukan
tahapan belajar sesuai dengan perkembangan jiwa dan kognitifnya. Potensi yang
ada pada diri anak pun berkembang dari tingkat rendah ke tingkat tinggi, dari
sederhana ke kompleks
Tujuan pendidikan matematika sekolah yang dimaksudkan adalah tujuan
pembelajaran matematika yang secara umum diajarkan di sekolah. selain itu
dikemukakan kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dapat
tercapai dalam belajar matematika mulai dari sekolah dasar sampai dengan
sekolah menengah. Selain itu dalam matematika sekolah memerlukan pola
berpikir deduktif (umum ke khusus) dan pola berpikir infuktif (khusus ke umum).

B. Saran
Demikianlah dalam hal ini penulis mengakhiri makalah ini, tak lupa mohon
maaf kepada semua pihak, kritik dan saran penulis harapkan demi perbaikan
penulisan makalah ini selanjutnya

C. Pertanyaan dan Solusi


1. Bagaimana implikasi aliran filsafat matematika terhadap pembelajaran
matematika sekolah?
Jawab: Secara umum terdapat tiga aliran besar yang mempengaruhi jalan
perkembangan matematika termasuk perkembangan matematika sekolah,
yaitu: (1) formalisme, (2) logikalisme atau logisisme, dan (3) intuisionisme.
Implikasi tiga aliran tersebut dalam pembelajaran matematika di sekolah
secara eksplisit memang tidak tampak, namun dapat mempengaruhi pola pikir
seseorang terutama guru dalam memandang matematika, sehingga
mempengaruhi cara guru membelajarkan matematika.
2. Jelaskan hakikat dan karakteristik filsafat matematika sekolah!
Jawab: Filsafat matematika sekolah merupakan cabang dari filsafat
matematika yang telah disesuaikan dan dikembangkan sesuai dengan tingkat
kemampuan peserta didik yang digunakan sebagai upaya untuk meningkatkan
kemampuan berpikir peserta didik pada tingkatan pendidikan yang terdapat di
sekolah. Karakteristik matematika sekolah dalam Kurikulum 2013 terdiri dari:
(1) objek yang dipelajari abstrak, (2) kebenarannya berdasarkan logika, (3)
pembelajarannya secara bertingkat dan kontinu, (4) ada keterkaitan antara
materi yang satu dengan yang lainnya, (5) menggunakan simbol, dan (6)
diaplikasikan dibidang ilmu lain
3. Jelaskan perbedaan antara karakteristik matematika sebagai ilmu dengan
matematika sekolah!
Jawab: Sehubungan dengan karakteristik umum matematika sebagai ilmu,
dalam pelaksanaan pembelajaran matematika di sekolah harus memperhatikan
ruang lingkup matematika sekolah. Ada sedikit perbedaan antara matematika
sebagai ilmu dengan matematika sekolah, perbedaan itu dalam hal penyajian,
pola pikir, semesta pembicaraan, dan tingkat keabstrakan. (1) Penyajian
matematika tidak harus diawali dengan teorema maupun definisi, tetapi
haruslah disesuaikan dengan perkembangan intelektual peserta didik, (2)
Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir deduktif
maupun maupun pola pikir induktif, (3) Matematika yang disajikan dalam
jenjang pendidikan juga menyesuaikan dalam kekomplekan semestanya, dan
(4) Tingkat keabstrakan matematika juga harus menyesuaikan dengan tingkat
perkembangan intelektual peserta didik.

D. Berita Acara Diskusi


Pada tanggal 11 November 2022 telah dilaksanakan presentasi dan
diskusi pada mata kuliah Filsafat Pendidikan Matematika, dengan rincian:
Pemakalah : Anisa Sonia
NIM : 2210246966
Judul Makalah : Hakikat dan Karakteristik Filsafat Matematika Sekolah I
Dosen Pengampu : Dr. Nahor Murani Hutapea, M.Pd.

Hasil Diskusi:
1. Endang Sri Sartika
Manakah yang lebih penting pola berpikir induktif atau deduktif jika
pembelajaran dalam bentuk pemecahan masalah? Berikan contoh
penerapannya!
Penjelasan:
Menurut Susanah (2007), meskipun pola pikir deduktif sangat penting dalam
pembelajaran matematika guna memberi tekanan kepada penataan nalar,
namun dalam pembelajaran matematika sekolah masih memerlukan pola pikir
induktif dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan pengalaman
anak sehari-hari. Sebagai contoh untuk membuktikan jumlah ukuran semua
sudut dalam segitiga adalah 180 ° , siswa diminta menggunting segitiga dari
kertas dan menggunting daerah sudut-sudutnya, kemudian ketiga sudut
ditempelkan sedemikian sehingga membentuk sudut lurus.
2. Masrianti Fadhillah
Bagaimana cara seorang guru mengaplikasikan tujuan pendidikan matematika
sekolah dalam pembelajaran? Apakah tujuan tersebut selalu terdapat di semua
pembelajaran matematika?
Penjelasan:
Menurut Susanah (2007), hal yang harus diperhatikan dalam praktek
pembelajaran di kelas adalah guru lebih menekankan pada tujuan yang bersifat
material sepeti tujuan pembelajaran yang telah disusun oleh satuan pendidikan
yang domainnya kognitif saja. Sedangkan tujuan yang bersifat formal
dianggap akan dicapai dengan sendirinya. Jadi tujuan yang selalu terdapat di
semua pembelajaran matematika adalah tujuan material.
3. Atika Farhana
Bagaimana implementasi dari pola berpikir deduktif tiap tingkatan sekolah?
berikan contohnya!
Penjelasan:
Menurut Sumardyono (2004), implementasi dari pola berpikir deduktif tiap
tingkatan sekolah diantaranya:
a. Tingkat SD: seorang siswa telah memahami konsep dari lingkaran. Ketika
berada di dapur, ia dapat menggolongkan mana peralatan dapur yang
berbentuk lingkaran dan mana yang bukan.
b. Tingkat SMP: banyak teorema dalam matematika yang ditemukan melalui
pengamatan atau percobaan, seperti Teorema Phytagoras.
c. Tingkat SMA: pola jumlah bilangan-bilangan ganjil
4. Annisa Hasna
Apakah tujuan pembelajaran matematika menurut Kurikulum 2013 disusun
secara umum atau berdasarkan tingkatan? Bagaimana contoh kegiatan motorik
dalam matematika?
Penjelasan:
Menurut Kemendikbud (2016), tujuan pembelajaran matematika tersebut
disusun secara umum untuk semua tingkatan sekolah, baik SD, SMP maupun
SMA. Kegiatan motorik yang dilakukan siswa melibatkan anggota badan
mereka secara tidak langsung terdapat proses pembelajaran matematika
didalamnya, seperti permainan rubrik, puzzle, sempoa dan alat belajar
matematika lainnya.
5. Cici Ayu Chintya
Apakah yang dimaksud dengan korelasional? Bagaimana perbedaan
karakteristik matematika sebagai ilmu dengan matematika sekolah?
Penjelasan:
Menurut Susanah (2007), korelasional adalah hubungan atau keterkaitan antar
materi setiap tingkatan sekolah, karena pada matematika sekolah materi yang
diajarkan mulai dari dasar terlebih dahulu hingga kompleks sesuai tingkat
kemampuan siswa yang saling berlanjut tiap tingkatan sekolah. sedangkan
perbedaan karakteristik matematika sebagai ilmu dengan matematika sekolah
menurut Sumardyono (2004) adalah terletak dalam hal penyajian, pola pikir,
semesta pembicaraan, dan tingkat keabstrakan.
DAFTAR PUSTAKA

Barek, Magdalena. 2019. “Pengaruh Model Pembelajaran Problem Posing


Terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau Dari Kemampuan Awal
Siswa”. Tesis, Universitas Katolik Widya Mandira.
Erman, Suherman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: UPI JICA.
Hermanto. 2014. “Modul matematika sekolah 1”. STKIP PGRI. Bangkalan.
Kamarullah. 2017. “Pendidikan Matematika di Sekolah Kita”. Al-Khawarizmi:
Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Matematika 1(1): 21-32.
Kemendikbud. 2016. Kurikulum Matematika dan Pemanfaatan Media
Pembelajaran. Jakarta: Kemendikbud.
Lithner. 2000. “Mathematical Reasoning in Task Solving”. Educational Studies in
Matehematics 41: 165-190.
Manurung dan Kartono. 2016. “Keterampilan Penalaran Induktif Deduktif dan
Kemampuan Representasi Matematis Siswa Pada Pembelajaran CTL
Berbasis Hands On Activity”. Unnes Journal of Mathematics Education
Research 5(12): 155-165.
NCTM. 2000. Principle and Standard for School Mathematics. Reston: The
National Council of Teacher Mathematic.
Poerwadarminta, W.J.S. 2006. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta:
Balai Pustaka.
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Pusat Pengembangan Penataran
Guru matematika.
Sumartini, T.S. 2016. “Peningkatan Kemampuan Pemecahan Masalag Matematis
Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”. Jurnal Pendidikan
Matematika STKIP Garut 5(2): 148-158.
Suriasumantri. 2005. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar
Harapan.

Susanah. 2007. Strategi Pembelajaran Matematika (Modul 1). Jakarta:


Universitas Terbuka.
Suyitno, Hardi. 2016. Pengantar Filsafat Matematika. Semarang: Magnum
Pustaka Umum.

Anda mungkin juga menyukai