Anda di halaman 1dari 36

TUGAS MAKALAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA SD

“PENERAPAN TEORI BELAJAR DALAM PELAJARAN MATEMATIKA


SD”

Dosen Pengampu: 1. Awal Nur Kholifatur Rosyida M. Pd

2. Radiusman M. Pd

Oleh:

Kelompok 1

Kelas 3F

1. Miftahurrahmah (E1E019207)
2. Morina Anas Tasya (E1E019209)
3. Mu’azzam (E1E019210)
4. Nani Fitriani (E1E019220)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

UNIVERSITAS MATARAM

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah kami panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha


Esa, karena berkat rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul PENERAPAN TEORI BELAJAR DALAM PELAJARAN
MATEMATIKA SD dengan tepat waktu.

Tidak lupa pula kami menyampaikan rasa terimakasih pada dosen


pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang
sangat bermanfaat dalam proses penyusunan makalah ini.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang


penyusunan makalah ini, namun kami menyadari di dalam makalah yang kami
susun ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami mengharapkan kritik,
saran serta masukan dari dosen, para pembaca, demi tersusunnya makalah yang
lebih baik lagi kedepannya. Akhir kata, kami berharap agar makalah ini bisa
memberikan manfaat dan menjadi referensi bagi pembaca.

Mataram, 31 agusus 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar...........................................................................................................2

Daftar Isi.....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................4

A. Latar Belakang.......................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................5
C. Tujuan....................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................6

1. Pengertian Teori Behaviorisme........................................................................6


2. Pandagan Tokoh-Tokoh Behaviorisme Terhadap Teori Belajar
Behaviorisme....................................................................................................7
3. Penerapan Teori Belajar Behaviorisme Terhadap Pembelajaran Matematika
SD..................................................................................................................... 10
4. Pengertian Teori Kognitif.................................................................................12
5. Pandagan Tokoh-Tokoh Kognitif Terhadap Teori Belajar Kognitif...............12
6. Penerapan Teori Belajar Kognitif Terhadap Pembelajaran Matematika SD....18
7. Pengertian Teori Humanisme...........................................................................19
8. Pandagan Tokoh-Tokoh Humanisme Terhadap Teori Belajar Humanisme.....19
9. Penerapan Teori Belajar Humanisme Terhadap Pembelajaran Matematika
SD.....................................................................................................................25
10. Pengertian Teori Konstruktivisme....................................................................26
11. Pandagan Tokoh-Tokoh Konstruktivisme Terhadap Teori Belajar
Konstruktivisme ...............................................................................................27
12. Penerapan Teori Belajar Konstruktivisme Terhadap Pembelajaran
Matematika SD.................................................................................................29
BAB III PENUTUP....................................................................................................32
A. Kesimpulan.....................................................................................................32
B. Saran...............................................................................................................33
DAFTAR PUSAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Matematika merupakan alat untuk memberikan cara berpikir, menyusun
pemikiran yang jelas dan tepat Hudojo (2005) menyatakan, matematika sebagai
suatu obyek abstrak, tentu saja sangat sulit dapat dicerna anak-anak sekolah
dasar (SD). Siswa SD belum mampuuntuk berpikir formal naka dalam
pembelajaran matematika sangat diharapkan bagi para pendidikan mengaitkan
proses belajar mengajar di SD dengan teori yang konkret.
salah satu ciri pembelajaran matematika masa kini adalah penyajian
didasarkan pada suatu teori psikologi belajar yang saat ini masih
dikembangkan oleh ahli pendidikan. Kemampuan memahami teori-teori belajar
ini merupakan salah satu kompetensi pedagogik guru, sehingga guru mampu
mengembangkan pembelajaran yang memuat tiga macam aktivitas yaitu,
ekplorasi, klarifikasi, dan refleksi.
Secara garis besar ada ada empat teori belajar, yaitu Behaviorisme,
Kognitif, Konstruktisme dan Humanisme. Empat aliran ini memiliki dua
pijakan berpikir yang sangat jelas perbedaannya. Cara pendang tentang proses
belajar tentunya akan mempengaruhi bagaimana cara guru mengajar. Dari
empat teori belajar tersebut lahirlah pendekatan belajar, model pembelajaran,
strategi pengajaran, hingga metodenya. Begitu pentingnya pengetahuan tentang
teori belajar ini bagi guru, sehingga guru mampu merancang pembelajarannya
sesuai dengan materi yang hendak dikembangkannya, level pengetahuan siswa,
dan teori belajar yang akan dirujuk.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari teori behavioristik?


2. Bagaimana pandangan tokoh-tokoh mengenai teori behavioristik
3. Bagaimana penerapan teori behavioristik terhadap pembelajaran matematika
sd
4. Apa pengertian dari teori kognitif?
5. Bagaimana pandangan tokoh-tokoh mengenai teori kognitif

4
6. Bagaimana penerapan teori kognitif terhadap pembelajaran matematika sd
7. Apa pengertian dari teori humanistik?
8. Bagaimana pandangan tokoh-tokoh mengenai teori humanistik
9. Bagaimana penerapan teori humanistik terhadap pembelajaran matematika
sd
10. Apa pengertian dari teori konstruktivisme?
11. Bagaimana pandangan tokoh-tokoh mengenai teori konstruktivisme?
12. Bagaimana penerapan teori konstruktivisme? terhadap pembelajaran
matematika sd

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa itu teori behavioristik, kognitif, humanisme, dan


konstruktivisme.
2. untuk mengetahui bagaimana pandangan tokoh-tokoh teori belajar terhadap
teori belajar behavioristik, kognitif, humanistik, dan konstruktivisme serta
bagaimana penerapannya ke dalam pembelajaran matematika SD.

5
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Teori Behaviorisme

Teori belajar behavioristik merupakan teori belajar klasik yang


beranggapan bahwa seseorang dianggap belajar jika mengalami perubahan
tingkah laku di dalam diri individu tersebut, sehingga teori belajar ini sering
disebut dengan teori belajar tingkah laku. Pengertian belajar menurut teori
Behavioristik adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya reaksi
antara stimulus dan respon. Seseorang dikatakan telah belajar sesuatu apabila
ia mampu menunjukan perubahan pada tingkah lakunya, apabila dia belum
menunjukkan perubahan tingkah laku maka belum dikatakan bahwa ia telah
melakukan proses belajar. Teori ini sangat mementingkan adanya input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respons. Dalam proses pembelajaran
input ini bisa berupa alat peraga, gambar-gambar, atau cara-cara tertentu untuk
membantu proses belajar (Budiningsih, 2003). Teori behavioristik dengan
model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai
individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan
metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin
kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman
(Dina dan Mujiran,2018)

Menurut Jordan,Stack & Carlile (2009) dalam Nahar (2016) inti dari
behaviorisme adalah (1) Behaviorisme berfokus pada peristiwa pembelajaran
yang diamati seperti yang ditunjukkan oleh hubungan stimulus dan respon, (2)
Belajar selalu melibatkan perubahan perilaku, (3) Proses mental harus
dikeluarkan dari studi ilmiah tentang belajar, (4) Hukum yang mengatur
pembelajaran berlaku untuk semua mahluk hidup, termasuk manusia, (5)
Mahluk hidup memulai hidup sebagai papan tulis kosong: tidak ada bawaan
perilaku, (6) Hasil Belajar dari peristiwa eksternal di lingkungan, (7)
Behaviorisme adalah teori deterministik: subjek tidak memiliki pilihan selain
untuk menanggapi rangsangan yang tepat.

6
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah.
Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan
pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer
of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran
adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses
berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari
proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan
tersebut. Pelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap
pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau
guru itulah yang harus dipahami oleh murid. Teori ini juga cocok diterapkan
untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang
dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

2. Pandangan Tokoh-Tokoh Teori Behaviorisme Terhadap Teori Belajar


Behaviorisme
A. Teori Belajar Thorndike
Salah satu tokoh pengusung teroi belajar behavioristik ini adalah Edward
Lee Thorndike (1874 – 1949). Menurut Thorndike, belajar merupakan
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut
stimulus (S) dengan respon (R). Stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk
bereaksi atau berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang (Burhanuddin, 2008). Thorndike
mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini
mengikuti hukum-hukum berikut:

(Moreno, 2010 hal 163)

1. Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme


memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku
tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.

7
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu semakin sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat.

3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung


diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika
akibatnya tidak memuaskan.
B. Teori Belajar Pavlov
Pavlov adalah seorang ilmuwan berkebangsaan Rusia. Ia terkenal dengan
teori belajar klasiknya dan seorang penganut aliran tingkah laku
(Behaviorisme) yaitu aliran yang berpendapat, bahwa hasil belajar manusia itu
didasarkan kepada pengamatan tingkah laku manusia yang terlihat melalui
stimulus respons dan belajar bersyarat (Conditioning Learning). Menurut aliran
ini tingkah laku manusia termasuk organisme pasif yang bisa dikendalikan.
Tingkah laku manusia bisa dikendalikan dengan cara memberi ganjaran dan
hukuman.

Pavlov mengadakan penelitian terhadap perilaku anjing yaitu


mempelajari proses pencernaan pada anjing, lalu mengamati anjing bila
melihat makanan maka akan keluar air liurnya. Dalam penelitiannya anjing
dikurung dalam suatu kandang selanjutnya setiap akan memberi makan, Pavlov
membunyikan bel. Ia memperhatikan bahwa setiap dibunyikan bel pada jangka
waktu tertentu anjing itu mengeluarkan air liurnya. Akhirnya dicoba
dibunyikan bel itu tetapi tanpa diberi makanan. Ternyata anjing itu tetap
mengeluarkan air liurnya. Dalam percobaan itu makanan atau bunyi bel jadi
perangsang atau stimulus bagi keluarnya air liur anjing atau yang menimbulkan
selera anjing untuk makan. Makanan disebut stimulus tak bersyarat, karena
terjadinya secara wajar, sedangkan bunyi bel disebut stimulus bersyarat.

Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan (conditioning) dalam


hubungannya dengan kegiatan belajar mengajar, misalnya agar siswa
mengerjakan soal PR dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya atau
memberi nilai terhadap hasil pekerjaannya.

8
C. Teori Belajar Menurut Skinner
Dalam bagian ini akan diuraikan teori belajar menurut Skinner. Burrhus
Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai
peranan yang amat penting dalam proses belajar.

Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran merupakan


respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang
sifatnya subyektif, sedangkan penguatan merupakan suatu yang mengakibatkan
meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal
yang sifatnya dapat diamati dan diukur.

Teori Skinner menyatakan penguatan terdiri atas penguatan positif dan


penguatan negatif. Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika
penguatan tersebut seiring dengan meningkatnya perilaku siswa dalam
melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini penguatan yang
diberikan kepada siswa memperkuat tindakan siswa, sehingga siswa semakin
sering melakukannya.Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang
diberikan kepada siswa, sikap guru yang menunjukkan rasa gembira pada saat
siswa bisa menjawab dengan benar.

Penguatan positif akan berbekas pada diri siswa. Mereka yang mendapat
pujian setelah berhasil menyeleaikan tugas atau menjawab pertanyaan dengan
benar biasanya akan berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh
semangat. Penguatan yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi
siswa untuk rajin belajar dan mempertahankan prestasinya. Penguatan yang
seperti ini sebaiknya segera diberikan dan jangan ditundatunda.

Penguatan negatif adalah bentuk stimulus yang lahir akibat dari fespon
sisw yang kurang atau tidak diharapkan. Penguatan negative diberikan agar
respon yang tidak diharapkan atau tidak menunjang pada pelajaran tidak
diulangi siswa. Penguatan negatif itu dapat berupa teguran, peringatan atau
sangsi. Namun untuk mengubah tingkah laku siswa dari negatif menjadi positif
guru perlu mengetahui psikologi yang dapat digunakan untuk memperkirakan
(memprediksi) dalam mengendalikan tingkah laku siswa.Di dalam kelas guru
mempunyai tugas untuk mengarahkan siswa dalam aktivitas belajar, karena

9
pada saat tersebut kontrol berada pada guru, yang berwenang memberikan
instruksi ataupun larangan pada siswanya.

3. Penerapan Teori Belajar Behaviourisme dalam Pembelajaran Matematika


SD
Penerapan Teori Belajar Behaviour dalam Pembelajaran Matematika,
sebagai berikut:
a. Pada bab ini pengetahuan awal atau materi prasyarat yang harus dikuasai
siswa adalah perkalian pada bilangan bulat yang sama serta arti dari
perkalian. Guru seyogyanya terlebih dahulu mengecek pemahaman siswa
tentang perkalian bilangan bulat tersebut. Agar pengecekan ini dapat
menyeluruh dan cepat, maka dapat dilakukan dengan berpasangan antar
teman seperti yang tersaji pada lembar tugas. Hasil pengecekan ini akan
digunakan guru sebagai deteksi awal faktor kesulitan belajar siswa
b. Setelah semua siswa dipastikan telah dapat menguasai materi prasyarat,
maka guru mulai menyiapkan diri siswa dengan memberikan motivasi dan
menjelaskan tujuan pembelajaran, kemudian guru memberikan gambar
apersepsi, agar dapat menarik minat siswa.
c. Guru menjelaskan sub bab tentang operasi pada bilangan cacah beserta
contoh latihan soal. Perlu diingat, pemberian materi ini dilakukan per unit
kecil dilanjutkan dengan banyak latihan soal.
d. Guru memberikan lembar kerja siswa yang berisi latihan soal operasi
bilangan cacah dan meminta siswa mengerjakannya.
e. Setelah selesai guru meminta siswa untuk menukar lembar jawab tersebut
dengan teman satu bangku
f. Guru meminta siswa mengkoreksi jawaban temannya. Hal ini dilakukan
agar siswa mengetahui dengan segera letak kesalahan sebagai umpan balik
dari respon yang dia berikan.
g. Setelah dikoreksi guru meminta siswa mengembalikan lembar jawab
tersebut, agar siswa dapat mengetahui letak kesalahan dalam
pengerjaannya dengan segera sebagai umpan balik dari respon yang dia
berikan.

10
h. Guru memberikan ucapan selamat dan reward kepada siswa yang
mempunyai kesalahan paling sedikit. Hal ini dilakukan asebagi penguatan,
agar siswa mau mengulang kembali prestasinya.
i. Guru bersama siswa membuat suatu kesimpulan dari kegiatan
pembelajaran
j. Guru melakukan evaluasi kegiatan pembelajaran dengan memberikan post
test, sebagai penguatan.
k. Guru memberikan umpan balik dari hasil post test siswa, dengan
memberikan pembetulan pada jawaban siswa yang salah serta memberikan
ucapan selamat dan reward kepada siswa yang mempunyai kesalahan
paling sedikit.
l. Guru memberikan pekerjaan rumah sebagai latihan penguatan.

Para penganut psikologi tingkah laku (behaviorism) memandang belajar


sebagai hasil dari pembentukan hubungan antara rangsangan dari luar
(stimulus) seperti „2 x 2‟ dan balasan dari siswa (response) seperti „4‟ yang
dapat diamati. Semakin sering hubungan antara rangsangan dan balasan terjadi,
maka akan semakin kuatlah hubungan keduanya (law of exercise). Hal ini
sejalan dengan peribahasa batu saja akan berlubang jika ditetesi air terus
menerus. Karena itu, para penganut teori belajar tingkah laku sering
menggunakan cara mengulang-ulang atau tubian (drill).
contoh soal

1. 8 x 7 =....

penyelesaian :

terkadang siswa kesusahan untuk menjawab pertanyaan tersebut. penyelesaian


masalahnya yaitu dengan cara membuat daftar perkalian 7 berikut dan
menjadikannya sebagai latihan soal untuk siswa.
1 × 7 = .... 2 × 7 = .... 3 × 7 = .... 4 × 7 = .... 5 × 7 = ....
6 × 7 = .... 7 × 7 = .... 8 × 7 = .... 9 × 7 = .... 10 × 7 = ....

11
dengan memberikan latihan secara rutin ini maka siswa bisa mudah untuk
menjawab soal yang berkaitan dengan perkalian 7. (drill and exercise).

4. Pengertian Teori Kognitif

Berbeda dengan teori-teori belajar dalam paradigma behavioristik yang


menjelaskan belajar sebagai perubahan prilaku yang dapat diamati yang timbul
sebagai hasil pengalaman, teori belajar kognitif menjelaskan belajar dengan
berfokus pada perubahan-perubahan proses mental internal yang digunakan
dalam upaya memahami dunia eksternal. Proses tersebut digunakan mulai dari
mempelajari tugas-tugas sederhana hingga yang kompleks.

Dalam perspektif kognitif, belajar adalah perubahan dalam struktur


mental seseorang yang memberikan kapasitas untuk menunjukkan perubahan
prilaku. Struktur mental ini meliputi pengetahuan, keyakinan, keterampilan,
harapan dan mekanisme lain dalam kepala pembelajar. Fokus teori kognitif
adalah potensi untuk berprilaku dan bukan pada prilakunya sendiri.( Khodijah,
2014) Saam (2010 : 59) menyatakan bahwa Teori kognitif menekankan bahwa
peristiwa belajar merupakan proses internal atau mental manusia. Teori
kognitif menyatakan bahwa tingkah laku manusia yang tampak tidak bisa
diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental yang lain seperti
motivasi, sikap, minat, dan kemauan.

Gredler dalam Uno (2006 : 10) menyatakan bahwa Teori belajar kognitif
merupakan suatu teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar
daripada hasil belajar itu sendiri. Bagi penganut aliran ini, belajar tidak
sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons. Namun lebih erat
dari itu, belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Dalyono
(2007 : 34) bahwa Dalam teori belajar kognitif dinyatakan bahwa tingkah laku
seseorang tidak hanya dikontrol oleh “reward” dan “reinforcement”. Mereka
ini adalah para ahli jiwa aliran kognitifis. Menurut pendapat mereka, tingkah
laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal
atau memikirkan situasi di mana tingkah laku itu terjadi.

5. Pandangan Tokoh-tokoh Kognitif Terhadap Teori Belajar Kognitif

12
A. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget

Gredler (2011:324) menyatakan bahwa Fokus dari teori Jean Piaget


adalah menemukan asal muasal logika alamiah dan transformasinya dari satu
bentuk penalaran ke penalaran lain. Tujuan ini mengharuskan dilakukannya
penelitian atas akar dari pemikiran logis pada bayi, jenis penalaran yang
dilakukan anak kecil, dan proses penalaran remaja dan dewasa.

Aunurrahman (2009:58) menyatakan bahwa dalam teorinya, Piaget


mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang melalui urutan
yang sama, meskipun jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama
lainnya. Perkembangan mental anak terjadi secara bertahap dari tahap
perkembangan moral berikutnya. Berikut ini akan dijelaskan tentang teori
perkembangan Kognitif menurut Jean Piaget sebagai berikut: a. Proses
Kognitif Santrock (2008:43) menyatakan dalam memahami dunia anak-anak
secara aktif, mereka menggunakan skema (kerangka kognitif atau kerangka
referensi). Sebuah skema adalah konsep atau kerangka eksis di dalam pikiran
individu yang dipakai untuk mengorganisasikan dan mengin terpretasikan
informasi. Piaget menya takan bahwa ada dua proses yang bertanggung jawab
atas cara anak menggunakan dan mengadaptasi skema mereka yaitu: asimilasi
dan akomodasi. Kemudian lebih lanjut Santrock (2008:46) menyatakan bahwa
Piaget juga menyatakan bahwa untuk memahami dunianya, anak-anak secara
kognitif mengorganisasikan pengalaman mereka. Organisasi adalah konsep
Piaget yang berarti usaha mengelompokkan perilaku yang terpisah-pisah ke
dalam urutan yang lebih teratur, ke dalam sistem fungsi kognitif. Selanjutnya
Santrock (2008:47) menyatakan bahwa ekuilibrasi adalah suatu mekanisme
yang dikemukakan Piaget untuk menjelaskan bagaimana anak bergerak dari
satu tahap pemikiran ke tahap pemikiran selanjutnya. Pergeseran ini terjadi
pada saat anak mengalami konflik kognitif atau disekuilibrium dalam usahanya
memahami dunia.

Pada akhirnya anak memecahkan konflik ini dan mendapatkan


keseimbangan atau ekuilibrium pemikiran. Piaget percaya bahwa ada gerakan
yang kuat antara keadaan ekuilibrium kognitif dan disekuilibrium saat asimilasi

13
dan akomodasi bekerja sama dalam menghasilkan perubahan kognitif b.
Tahap-Tahap Piagetian Santrock (2008:47-60) menyatakan bahwa melalui
observasinya, Piaget juga menyakini bahwa perkembangan kognitif terjadi
dalam empat tahapan. Masing-masing tahap berhubungan dengan usia dan
tersusun dari jalan pikiran yang berbedabeda. Menurut Piaget, semakin banyak
informasi tidak membuat pikiran anak lebih maju. Kualitas kemajuannya
berbeda-beda. Tahapan Piaget itu adalah fase sensorimotor, pra operasional,
operasional konkret, dan operasional formal. Berikut ini penjelasannya

a) Tahap sensorimotor
Tahap ini, yang berlangsung sejak kelahiran sampai sekitar usia dua
tahun, adalah tahap Piagetian pertama. Dalam tahap ini, bayi menyusun
pemahaman dunia dengan mengoordinasikan pengalaman indra (sensory)
mereka (seperti melihat dan mendengar) dengan gerakan motor (otot)
mereka (menggapai, menyentuh) dan karenanya diistilahkan sebagai
sensorimotor. Pada awal tahap ini, bayi memperlihatkan tidak lebih dari
pola reflektif untuk beradaptasi dengan dunia. Menjelang akhir tahap ini,
bayi menunjukkan pola sensorimotor yang lebih kompleks. Piaget percaya
bahwa pencapaian kognitif penting di usia bayi adalah object permanence.
Ini berarti pemahaman bahwa objek dan kejadian terus eksis bahkan ketika
objek dan kejadian itu tidak dapat dilihat, didengar, atau disentuh.
Pencapaian kedua adalah realiasasi bertahap bahwa ada perbedaan atau
batas antara diri Anda dengan lingkungan Anda. Pemikiran ini akan kacau,
tak beraturan, dan tak bisa diprediksi. Menurut Piaget seperti inilah
kehidupan mental dalam bayi yang baru saja lahir. Jabang bayi tidak dapat
membedakan antara dirinya dan dunianya dan tidak punya pemahaman
tentang kepermanenan objek. Menjelang akhir periode sensorimotor, anak
bisa membedakan antara dirinya dan dunia sekitarnya dan menyadari bahwa
objek tetap ada dari waktu ke waktu.
b) Tahap pra-operasional
Tahap ini adalah tahap Plagetian yang kedua. Tahap ini berlangsung
kurang lebih mulai dari usia dua tahun sampai tujuh tahun. Ini adalah tahap
pemikiran yang lebih simbolis ketimbang pada tahap sensorimotor tetapi

14
tidak melibatkan pemikiran operasional. Namun tahap ini bersifat egosentris
dan intuitif ketimbang logis. Pemikiran pra-operasional bisa dibagi lagi
menjadi dua subtahap: fungsi simbolis dan pemikiran intuitif.
c) Tahap Operasional Konkret
Tahap Opersional Konkret adalah tahap perkembanga kognitif Piagetian
ketiga, dimulai dari sekitar umur tujuh tahun sampai sekitar sebelas tahun.
Pemikiran operasional konkret mencakup pengguna operasi. Penalaran
logika menggantikan penalaran intuitif, tetapi hanya dalam situasi konkret.
Kemampuan untuk menggolong-golongkan sudah ada. Tetapi belum bisa
memecahkan problem-problem abstrak. Operasi konkret adalah tindakan
mental yang bisa dibalikkan yang berkaitan dengan objek konkret nyata.
Operasi konkret membuat anak bisa mengoordinasikan beberapa
karakteristik, jadi bukan hanya fokus pada satu kualitas dari satu objek.
Pada level operasional konkret, anak-anak secara mental bisa melakukan
sesuatu yang sebelumnya hanya bisa mereka lakukan secara fisik, dan
mereka bisa membalikkan operasi konkret ini. Beberapa percobaan
Piagetian meminta anak untuk memahami hubungan antarkelas. Salah satu
tugas itu disebut seriation, yakni operasi konkret yang melibatkan stimuli
pengurutan di sepanjang dimensi kuantitatif (seperti panjang). Untuk
mengetahui apakah murid dapat mengurutkan, seorang guru bisa meletakan
delapan batang lidi dengan panjang yang berbeda-beda secara acak di atas
meja. Guru kemudian meminta murid untuk mengurutkan batang itu
berdasarkan panjangnya. Banyak anak kecil mengurutkannya dalam
kelompok batang “besar” atau “kecil” bukan berdasarkan urutan panjangnya
dengan benar. Aspek lain dari penalaran tentang hubungan antarkelas
adalah transivity. Ini adalah kemampuan untuk mengombinasikan hubungan
secara logis untuk memahami kesimpulan tertentu. Dalam kasus batang lidi,
misalkan tiga batang (A,B, dan C) berbeda panjangnya. A adalah yang
paling panjang, B panjangnya menengah, dan C adalah yang paling pendek.
Apakah anak memahami bahwa jika A>B, B>C, dan A>C? Menurut teori
Piaget, pemikiran konkret operasional bisa memahaminya, tetapi pemikiran
praoperasional tidak.

15
d) Tahap operasional Formal
Tahap ini, yang muncul pada usia tujuh sampai lima belas tahun, adalah
tahap keempat menurut teori Piaget dan kognitif terakhir. Pada tahap ini,
individu sudah mulai memikirkan pengalaman di luar pengalaman konkret,
dan memikirkannya secara lebih abstrak, idealis, dan logis. Kualitas
abstrak dari pemikiran operasional formal tampak jelas dalam pemecahan
problem verbal. Pemikir operasional konkret perlu melihat elemen konkret
A, B, dan C untuk menarik kesimpulan logis bahwa jika A = B dan B = C,
maka A = C. Sebaliknya, pemikir operasional formal dapat memecahkan
persoalan ini walau problem ini hanya disajikan secara verbal. Selain
memiliki kemampuan abstraksi, pemikir operasional formal punya
kemampuan untuk melakukan idealisasi dan membayangkan kemungkinan-
kemungkinan. Pada tahap ini, remaja mulai melakukan pemikiran spekulasi
tentang kualitas ideal yang mereka inginkan dalam diri mereka dan diri
orang lain.

B. Teori Kognitif menurut Jerome Bruner

Menurut Jerome Brunner, pembelajaran hendaknya dapat menciptakan


situasi agar siswa dapat belajar dari diri sendiri melalui pengalaman dan
eksperimen untuk menemukan pengetahuan dan kemampuan baru yang khas
baginya. Dari sudut pandang psikologi kognitif, bahwa cara yang dipandang
efektif untuk meningkatkan kualitas output pendidikan adalah pengembangan
program-program pembelajaran yang dapat mengoptimalkan keterlibatan
mental intelektual pembelajar pada setiap jenjang belajar. Sebagaimana
direkomendasikan Merril, bahwa jenjang belajar bergerak dari tahapan
mengingat, dilanjutkan ke menerapkan, sampai pada tahap penemuan konsep,
prosedur atau prinsip baru di bidang disiplin keilmuan atau keahlian yang
sedang dipelajari. Dalam teori belajar, Jerome Bruner berpendapat bahwa
kegiatan belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan
sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner
membedakan menjadi tiga tahap, yaitu :

16
a. Tahap informasi, yaitu tahap awal untuk memperoleh pengetahuan atau
pengalaman baru,

b. Tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis


pengetahuan baru serta mentransformasikan dalam bentuk baru yang
mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan

c. Tahap evaluasi, yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap
kedua tadi benar atau tidak. (Syah, 2009)

Jerome Bruner juga memandang belajar sebagai “instrumental


conceptualisme” yang mengandung makna adanya alam semesta sebagai
realita, hanya dalam pikiran manusia. Oleh karena itu, pikiran manusia dapat
membangun gambaran mental yang sesuai dengan pikiran umum pada konsep
yang bersifat khusus. Semakin bertambah dewasa kemampuan kognitif
seseorang, maka semakin bebas seseorang memberikan respon terhadap
stimulus yang dihadapi.

Menurut Bruner dalam Suciati dan Irawan (2005:34) “dalam proses


pembelajarannya teori Bruner memiliki beberapa tahap yaitu tahap enaktif,
tahap ikonik dan tahap simbolik”.

a) Tahap enaktif, yaitu tahap dimana seseorang melakukan observasi dengan


cara mengalami secara langsung suatu realitas. Pada tahap ini anak belajar
sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif,
dengan menggunakan benda-benda konkret atau menggunakan situasi
yang nyata, pada penyajian ini anak tanpa menggunakan imajinasinya atau
kata-kata. Ia akan memahami sesuatu dari berbuat atau melakukan sesuatu.
b) Tahap ikonik, tahap ikonik adalah tahap dimana peserta didik melakukan
suatu observasi terhadap suatu realitas, tetapi tidak dengan secara langsung
mengalami, ia cukup melakukannya melalui sumber-sumber sekunder
seperti tulisan atau gambar-gambar. Atau tahap ikonik dapat diartikan
sebagai tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana pengetahuan itu
direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual
imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan

17
kongkret atau situasi kongkret yang terdapat pada tahap enaktif tersebut di
atas (tahap pertama).
c) Tahap simbolik, tahap simbolik adalah tahap dimana peserta didik
membuat abstraksi berupa teori-teori, penafsiran, analisis dan sebagainya,
terhadap realitas yang telah diamati dan dialami. Pada tahap simbolik ini,
pembelajaran direpresentasikan dalam bentuk simbolsimbol abstrak
(abstract symbols'), yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan, baik simbol-
simbol verbal

6. Penerapan Teori Belajar Kognitif Ke Dalam Pembelajaran Matematika


SD

Sebelum memulai pelajaran bilangan cacah, guru bertanya terlebih


dahulu kepada siswa tentang jumlah angka yang sudah dipelajari sebelumnya.
Misalnya guru menuliskan angka 1, 2, 3, 4, 5,...dst di papan tulis, kemudian
bertanya kepada siswa angka berapa saja yang ditulis di papan tersebut. Jika
siswa sudah bisa menjawab, guru bisa melanjutkan memberi materi kepada
siswa yaitu penjumlahan bilangan cacah. Seperti yang diketahui bilangan cacah
adalah bilangan yang dimulai dari 0. Misalnya 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, ... dst.
Karena siswa sudah mengenal angka-angka tersebut guru jadilebih mudah
mengajarkan penjumlahan bilangan cacah pada siswa. Untuk menjumlahkan
angka-angka yang diketahui siswa, guru meminta siswa menggunakan alat-alat,
misalnya seperti lidi, sedotan, da buah kancing agar siswa itu bisa dengan
mudah menjumlahkan angka-angka tersebut.

Contoh soal:

Meli memiliki 15 macam boneka di kamarnya, karena sedang berulang tahun


meli diberikan hadiah berupa 5 macam boneka oleh ibunya. Jadi berapakah
jumlah boneka meli sekarang.?

Penyelesaian

15+5 = 20

18
Disini siswa bisa menghitung menggunkaan alat hitung yang sudah dibawa,
misalnya seperti lidi, sedotan, dan buah kancing. Misalnya jika menggunakan
lidi, siswa bisa menjumlahkan dengan cara menyisihkan 15 lidi dan di tambah
lagi menyisihkan 5 lidi kemudian lidi-lidi tersebut digabungkan dan dihitung
jumlahnya sehingga siswa bisa menyelesaikan penjumlahan tersebut.

7. Pengertian Teori Humanisme

Secara luas definisi teori belajar humanisitk ialah sebagai aktivitas


jasmani dan rohani guna memaksimalkan proses perkembangan. Sedangkan
secara sempit pembelajaran diartikan sebagai upaya menguasai khazanah ilmu
pengetahuan sebagai rangkaian pembentukan kepribadian secara menyeluruh.
Pertumbuhan yang bersifat jasmaniyah tidak memberikan perkembangan
tingkah laku. Humanisme meyakini pusat belajar ada pada peserta didik dan
pendidik berperan hanya sebagai fasilitator. Sikap serta pengetahuan
merupakan syarat untuk mencapai tujuan pengaktualisasian diri dalam
lingkungan yang mendukung. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
spesial, mereka mempunyai potensi dan motivasi dalam pengembangan diri
maupun perilaku, oleh karenanya setiap individu.

Pembelajaran dalam pendekatan humanistik, dipahami sebagai


pembelajaran yang mengarah pada proses memanusiakan manusia
sebagaimana yang digagas oleh Paulo Freire. Menurut Baharuddin dan Moh.
Makin (2007:114), sebagaimana dikutip Ende Supriyadi menegaskan bahwa
pendidikan yang memanusiakan manusia adalah proses membimbing,
mengembangkan dan mengarahkan potensi dasar manusia baik jasmani,
maupun rohani secara seimbang dengan menghormati nilai humanistik yang
lain” Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of
knowledge) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai
(transfer of value).

8. Pandangan Tokoh-tokoh Dalam Humanisme Terhadap Teori Humanisme

A. Abraham Maslow

19
Terkenal sebagai bapak aliran psikologi humanistic, ia yakin bahwa
manusia berperilaku guna mengenal dan mengapresiasi dirinya sebaik-baiknya.
Teori yang termasyhur hingga saat ini yaitu teori hirarki kebutuhan.
Menurutnya manusia terdorong guna mencukupi kebutuhannya. Kebutuhan-
kebutuhan itu mempunyai level, dari yang paling dasar hingga level tertinggi.
Dalam teori psikologinya yaitu semakin besar kebutuhan maka pencapaian
yang dipunyai oleh individu semakin sungguh-sungguh menggeluti sesuatu.
Perspektif ini diasosiasikan secara dekat dengan keyakinan Abraham Maslow
(1954, 1971) bahwa kebutuhan dasar tertentu harus dipenuhi sebelum
kebutuhan yang lebih tinggi dapat dipuaskan. Menurut hierarki kebutuhan
Maslow, pemuasan kebutuhan seseorang dimulai dari yang terendah yaitu: 1)
fisiologis, 2) rasa aman, 3) cinta dan rasa memiliki, 4) harga diri, 5) aktualisasi
diri.

1. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)

Kebutuhan fisiologis terdiri dari kebutuhan pokok, yang bersifat mendasar.


Kadang kala disebut kebutuhan biologis di tempat kerja serta kebutuhan
untuk menerima gaji, cuti, dana pensiunan, masa-masa libur, tempat kerja
yang nyaman, pencahayaan yang cukup suhu ruangan yang baik. Kebutuhan
tersebut biasanya paling kuat dan memaksa sehingga harus dicukupi terlebih
dahulu untuk beraktifitas sehari-hari. Ini menandakan bahwasanya dalam
pribadi seseorang yang merasa serba kekurangan dalam kesehariannya,
besar kemungkinan bahwa dorongan terkuat adalah kebutuhan fisiologis.

20
Dalam artian, manusia yang katakanlah melarat, bisa jadi selalu terdorong
akan kebutuhan tersebut.

2. Kebutuhan Akan Rasa Aman (Safety Needs)

Sesudah kebutuhan fisiologis tercukupi, maka timbul kebutuhan akan rasa


aman. Manusia yang beranggapan tidak berada dalam keamanan
membutuhkan keseimbangan dan aturan yang baik serta berupaya menjauhi
hal-hal yang tidak dikenal dan tidak diinginkan. Kebutuhan rasa aman
menggambarkan kemauan mendapatkan keamanan akan upah-upah yang ia
peroleh dan guna menjauhkan dirinya dari ancaman, kecelakaan,
kebangkrutan, sakit serta marabahaya. Pada pengorganisasian kebutuhan
semacam ini Nampak pada minat akan profesi dan kepastian profesi, budaya
senioritas, persatuan pekerja atau karyawan, keamanan lingkungan kerja,
bonus upah, dana pensiun, investasi dan sebagainya.

3. Kebutuhan Untuk Diterima (Social Needs)

Sesudah kebutuhan fisiologikal dan rasa aman tercukupi, maka fokus


individu mengarah pada kemauan akan mempunyai teman, rasa cinta dan
rasa diterima. Sebagai makhluk social, seseorang bahagia bila mereka
disukai serta berupaya mencukupi kebutuhan bersosialisasi saat di
lingkungan kerja, dengan cara meringankan beban kelompok formal atau
kelompok non formal, dan mereka bergotong royong bersama teman setu
tim mereka di tempat kerja serta mereka berpartisipasi dalam aktifitas yang
dilaksanakan oleh perusahaan dimana mereka bekerja.

4. Kebutuhan Untuk Dihargai (Self Esteem Needs)

Pada tingkat selanjutnya dalam teori hierarki kebutuhan, Nampak kebutuhan


untuk dihargai, disebut juga kebutuhan “ego”. Kebutuhan tersebut berkaitan
dengan keinginan guna mempunyai kesan positif serta mendapat rasa
diperhatikan, diakui serta penghargaan dari sesama manusia. Pada
pengorganisasian kebutuhan akan penghargaan memperlihatkan dorongan
akan pengakuan, responsibilitas tinggi, status tinggi dan rasa akan diakui
atas sumbangsih terhadap kelompok.

21
5. Kebutuhan Aktualisasi-Diri (Self Actualization)

Kebutuhan kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan akan pemenuhan diri


pribadi, termasuk level kebutuhan teratas. Kebutuhan tersebut diantaranya
yaitu kebutuhan akan perkembangan bakat dan potensi yang ada pada diri
sendiri, memaksimalkan kecakapan diri serta menjadi insan yang unggul.
Kebutuhan akan pengaktualisasian diri pribadi oleh kelompok mampu
dicukupi dengan memberikan peluang untuk berkembang, tumbuh,
berkreasi serta memperoleh pelatihan guna memperoleh tugas yang sesuai
dan mendapat keberhasilan. Menurut Abraham Maslow “Self-actualization,
namely, to the tendency for him to become actualized. This tendency might
be hrase as the desire to become more and more what one idiosyncratically
is, to become everything that one is capable of becoming. Artinya bahwa
kebutuhan aktualisasi diri adalah kecenderungan seseorang untuk
mengerahkan semua kemampuan atau keinginannya secara terus menerus
dalam menjadi pribadi yang lebih baik. Meskipun seseorang individu telah
memenuhi kebutuhan-kebutuhan diatas, baik kebutuhan fisiologis,
kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan percintaan dan rasa mempunyai,
meliputi kebutuhan akan rasa penghargaan, ia masih akan diliputi oleh
emosi yang tidak puas. Ketidak puasan ini berasal dari dorongan dirinya
yang terdalam, karena merasa ada kualitas atau potensi dirinya yang belum
teraktualisasikan. Pada intinya seseorang individu akan dituntut untuk jujur
terhadap semua potensi dan sifat yang ada pada dirinya

B. Carl Rogers

Menurut Rogers dalam Jamil Suprihatiningrum, ada dua tipe belajar, yaitu
kognitif (kebermaknaan) dan eksperimental (pengalaman). Guru memberikan
makna (kognitif) bahwa tidak membuang sampah sembarangan dapat
mencegah terjadinya banjir. Jadi, guru perlu menghubungkan pengetahuam
akademik ke dalam pengetahuan bermakna. Sementara experimental learning
melibatkan peserta didik secara personal, berinisiatif, termasuk penilaian
terhadap diri sendiri (self assesment). Carl Rogers menyatakan bahwa peserta
didik yang belajar hendaknya tidak ditekan, melainkan dibiarkan belajar bebas,

22
peserta didik diharapkan bisa mengambil sebuah langkah sendiri dan berani
bertanggung jawab atas langkah-langkah yang diambilnya sendiri. Dalam
konteks tersebut, Rogers menyatakan ada lima hal yang penting dalam proses
belajar humanistic, yaitu sebagai berikut. .

1. Hasrat untuk belajar: keinginan untuk belajar dikarenakan adanya dorongan


rasa ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia sekelilingnya.
Dalam proses memecahkan jawabannya, seorang individu mengalami
kegiatan-kegiatan belajar.
2. Belajar bermakna: seseorang yang beraktivitas akan selalu
mempertimbangkan apakah aktivitas tersebut mempunyai makna bagi
dirinya. Jika tidak, tentu tidak akan dilakukannya.
3. Belajar tanpa hukuman merupakan belajar yang terlepas dari hukuman atau
ancaman menghasilkan anak bebas untuk melakukan apa saja, dan
mengadakan percobaan hingga menemukan sendiri suatu hal yang baru.
4. Belajar dengan daya usaha atau inisiatif sendiri: menunjukkan tingginya
motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak inisiatif, akan mampu
untuk memandu dirinya sendiri, menentukan pilihannya sendiri dan
berusaha mempertimbangkan sendiri hal yang baik bagi dirinya.
5. Belajar dan perubahan: keadaan dunia terus berubah, karena itu peserta
didik harus belajar untuk dapat menghadapi serta menyesuaikan kondisi dan
situasi yang terus berubah. Dengan begitu belajar yang hanya mengingat
fenomena atau menghafal kejadian dianggap tak cukup.

Para ahli psikologi humanistic berupaya menggambarkan keterampilan


dan informasi kognitif dengan segi-segi afektif, nilai-nilai, dan perilaku antar
pribadi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka menurut Rogers dalam Sri
Rumini dkk, membagi dua macam program, yaitu:

1. Confluent Education
Confluent education adalah proses pendidikan yang memadukan antara
pengalaman afektif dan belajar kognitif (pengetahuan) di dalam kelas. Hal
ini adalah cara yang sangat bagus untuk melibatkan peserta didik secara
pribadi dalam bahan pelajaran. Dalam pembelajaran ini siswa tidak hanya

23
memperhatikan atau membaca, tetapi siswa juga dapat merasakan,
menuliskan, menghayati, berdebat yang positif, dan menyampaikan
pendapat mereka.
2. Cooperative Learning
Pembelajaran cooperative learning mengacu pada metode pembelajaran,
yang mana peserta didik bekerja sama dengan kelompok kecil dan saling
membantu dalam belajar. Menurut pernyataan Salvin, anggota-anggota
kelompok bertanggung jawab atas ketuntasan tugas-tugas kelompok dan
mempelajari materi sendiri.

Berdasar pandangan-pandangan di atas, maka dapat dijabarkan beberapa


ciri umum dari pembelajaran matematika humanistis, seperti disebutkan oleh
Haglund (tanpa tahun) yaitu:

1. Menempatkan siswa sebagai penemu (inquirer) bukan hanya penerima


fakta-fakta dan prosedur-prosedur;
2. Memberi kesempatan siswa untuk saling membantu dalam memahami
masalah dan pemecahannya yang lebih mendalam;
3. Belajar berbagai macam cara untuk menyelesaikan masalah, tidak hanya
dengan pendekatan aljabar;
4. Menunjukkan latar belakang sejarah bahwa matematika sebagai suatu
penemuan atau usaha keras (endeavor) dari seorang manusia;
5. Menggunakan masalah-masalah yang menarik dan pertanyaan terbuka
(open-ended) tidak hanya latihan-latihan;
6. Menggunakan berbagai teknik penilaian tidak hanya menilai siswa berdasar
pada kemampuan mengingat prosedur-prosedur saja;
7. Mengembangkan suatu pemahaman dan apresiasi terhadap ide-ide besar
matematika yang membentuk sejarah dan budaya;
8. Membantu siswa melihat matematika sebagai studi terhadap pola-pola,
termasuk aspek keindahan dan kreativitas;
9. Membantu siswa mengembangkan sikap-sikap percaya diri, mandiri, dan
penasaran (curiosity);
10. Mengajarkan materi-materi yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-
hari, seperti dalam sains, bisnis, ekonomi, atau teknik.

24
Beberapa ciri yang diungkapkan Haglund tersebut sebenarnya mengarah
pada ciri-ciri pembelajaran yang menekankan pada aspek berpikir kreatif
atau kreativitas siswa. Berpikir kreatif sebagai proses mental dan
kreativitas sebagai sebuah produk dari berpikir kreatif diindikasikan
dengan beberapa aspek yang akan dijelaskan berikut.

9. Penerapan Teori Belajar Humanisme Dalam Pembelajaran Matematika


SD

A. Memahami konsep bilanganan cacah


Guru menjelaskan kepada siswa tentang macam-macam bilangan.
Ketika menerangkan bilangan cacah guru memeberikan definisi , Bilangan
cacah adalah bilangan yang dimulai dari nol (0,1,2,3...) yang jika kita amati
dalam kehidupan, bilangan cacah digunakan untuk menyatakan jumlah
objek atau barang. Dalam hal ini tentu siswa akan beranggapan atau
bertanya bahwa “adakah objek yang berjumlah nol?” maka guru harus
mencoba untuk memberikan pemahaman kepada siswa salah satunya
melalui hal-hal yang ada disekitar, misalnya objek yakni motor. Guru akan
membawa siswa-siswa ke tempat parkir, lalu bertanya “berapa sepeda yang
diparkir di halaman sekolah?” murid menjawab dengan serentak “6 bu”,
selanjutnya guru bertanya “berapa jumlah mobil yang diparkir di halaman
sekolah?” siswa menjawab “tidak ada bu”. Dari sinilah guru menjelaskan
bahwa ada objek yang berjumlah nol, dalam hal ini jumlah mobil yang
diparkir di halaman sekolah. Nol adalah bilangan cacah yang dapat
digunakan untuk menyatakan jumlah objek kosong, atau tidak ada.
B. Siswa dapat menggunakan satuan pengukuran panjang tidak baku untuk
mengukur tinggi menara (SD kelas I).
Guru memberikan tugas kepada siswa untuk “membuat menara”.
Sebelumnya siswa mulai mengerjakan, guru meminta siswa untuk
menyebutkan menara yang pernah mereka lihat. Guru menjelaskan bahwa
menara yang akan dibuat berguna untuk berlindung dari tsunami. Oleh
karena itu siswa diminta membuat menara setinggi mungkin. Guru membagi
siswa ke dalam beberapa kelompok. Sebelumnya guru mempersiapkan
berbagai kotak bekas atau benda-benda ruang yang bekas, yang akan

25
dibagikan pada setiap kelompok. Dalam tahap pelaksanaannya, siswa akan
membuat menara setinggi mungkin dengan menyusun beberapa benda yang
sudah dipersiapkan guru. Kemudian mengidentifikasi benda-benda ruang
yang digunakan. Setelah itu, siswa mengukur tinggi menara dengan: manik-
manik, buku, atau jengkal. Siswa juga diberi kesempatan untuk
menggambarkan menara yang mereka buat

Pada pembelajaran ini terlihat bahwa siswa menyelesaikan masalah yang


bermakna, karena dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa (mudah
dibayangkan siswa), pembelajaran juga berlangsung interaktif, adanya
kebebasan berfikir dan berpendapat, dan menemukan suatu konsep tentang
tinggi benda, sehingga pembelajaran matematika berlangsung secara
humanistik dan realistik.

Contoh Soal

1. Ibu memberi uang pada Roma sebanyak Rp 65.000 untuk dibelikan gula 4
kg. Harga gula perkilonya adalah Rp 15.000, berapa sisa uang Roma
setelah membeli gula?

Penyelesaian :
Uang Roma 65.000
1 kg gula = : 15.000

45×15.000 = 60.000
65.000-60.000 = 5.000
Jadi sisa uang Roma setelah membeli gula adalah Rp 5.000

10. Pengertian Teori Konstruktivisme


Model pembelajaran konstruktivisme menganggap bahwa belajar
merupakan proses aktif untuk peserta didik dalam mengkonstruksi
pengetahuannya sendiri. Proses aktif dapat terjalin dengan baik jika
didukung dengan terciptanya interaksi antara peserta didik dan guru, dan
interaksi antar peserta didik. Karakteristik konstruktivisme menurut Driver
dan Bell (dalam Gunawan, 2014, hlm. 3) adalah sebagai berikut, (1) peserta

26
didik tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki
tujuan, (2) belajar harus mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan peserta didik, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang dating dari
luar, melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah
transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi lingkungan
belajar, dan (5) kurikulum bukanlah sekedar hal dipelajari, melainkan
seperangkat pembelajaran, materi dan sumber.
Masnur Muslich (dalam Supriono, 2015, hlm. 2) pembelajaran yang
berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya pemahaman sendiri
secara aktif, kreaktif dan produktif berdasarkan pengetahuan terdahulu dan
pengalaman belajar yang bermakna. Manusia harus mengkonstruksi terlebih
dahulu pengetahuan tersebut dan memberikan makna melalui pengalaman
nyata. Pembelajaran konstruktivisme dapat menjadikan peserta didik lebih
mudah memahami konsep, dalam pembelajaran bangun ruang diharapkan
peserta didik akan memahami konsep bangun ruang secara utuh dari
pengetahuan riil menuju pengetahuan secara abstrak.
11. Pandagan Tokoh-tokoh Konstruktivisme Terhadap Teori Belajar
Konstruktivisme
A. John Dewey
Dewey dan Pembelajaran Demokratis Pembelajaran berbasis masalah
menemukan akar intelektualnya pada penelitian John Dewey (Ibrahim &
Nur, 2004). Dalam demokrasi dan pendidikan Dewey menyampaikan
pandangan bahwa sekolah seharusnya mencerminkan masyarakat yang
lebih besar dan kelas merupakan laboratorium untuk memecahkan masalah
kehidupan nyata. Ilmu mendidik Dewey menganjurkan pembelajar untuk
mendorong pebelajar terlibat dalam proyek atau tugas berorientasi masalah
dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah intelektual dan
social. Dewey juga menyatakan bahwa pembelajaran disekolah seharusnya
lebih memiliki manfaat dari pada abstrak dan pembelajaran yang memiliki
manfaat terbaik dapat dilakukan oleh pebelajar dalam kelompok-kelompok
kecil untuk menyelesaikan proyek yang menarik dan pilihan mereka
sendiri.

27
B. Jean Piaget
Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan diatas pandangan
konstruktivis kognitif (Ibrahim dan Nur, 2004). Pandangan ini banyak
didasarkan teori Piaget. Piaget mengemukakan bahwa pebelajar dalam
segala usia secara aktif terlibat dalam proses perolehan informasi dan
membangun pengetahuan mereka sendiri. Bagi Piaget pengetahuan adalah
konstruksi (bentukan) dari kegiatan/tindakan seseorang (Suparno, 1997).
Pengetahuan tidak bersifat statis tetapi terus berevolusi. Seperti halnya
Piaget, Vygotsky juga percaya bahwa perkembangan intelektual terjadi
pada saat individu berhadapan dengan pengalaman baru dan menantang
dan ketika mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang dimunculkan
oleh pengalaman ini (Ibrahim & Nur, 2004). Untuk memperoleh
pemahaman individu mengaitkan pengetahuan baru dengan pengetahuan
awal yang telah dimiliki.
C. Vygotsky
Piaget memandang bahwa tahap-tahap perkembangan intelektual
individu dilalui tanpa memandang latar konteks sosial dan budaya individu.
Sementara itu, Vygotsky memberi tempat lebih pada aspek sosial
pembelajaran. Ia percaya bahwa interaksi sosial dengan orang lain
mendorong terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan
intelektual pembelajar. Implikasi dari pandangan Vygotsky dalam
pendidikan adalah bahwa pembelajaran terjadi melalui interaksi sosial
dengan pembelajar dan teman sejawat. Melalui tantangan dan bantuan dari
pembelajar atau teman sejawat yang lebih mampu, pebelajar bergerak ke
dalam zona perkembangan terdekat mereka dimana pembelajaran baru
terjadi
D. Jerome Bruner
Bruner adalah adalah seorang ahli psikologi perkembangan dan
psikologi belajar kognitif. Ia telah mengembangkan suatu model
instruksional kognitif yang sangat berpengaruh yang disebut dengan belajar
penemuan. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya

28
memberikan hasil yang lebih baik. Berusaha sendiri untuk pemecahan
masalah dan pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan
yang benar-benar bermakna (Dahar, 1998).Bruner menyarankan agar
pebelajar hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep-
konsep dan prinsip-prinsip agar mereka dianjurkan untuk memperopleh
pengetahuan. Perlunya pembelajar penemuan didasarkan pada keyakinan
bahwa pembelajaran sebenarnya melalui penemuan pribadi

12. Penerapan Teori Belajar Konstruktivisme Terhadap Pembelajaran


Matematika SD

Berdasarkan teori pembelajaran konstruktivisme, belajar hanya terjadi


jika peserta didik memproses pengalaman, informasi atau pengetahuan baru
sedemikian rupa, sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka
berpikir yang dimilikinya (Depdiknas, 2002,hlm. 7). Dalam pembelajaran
konstruktivisme untuk tema permasalahan sebaiknya diambil dari kejadian
sehari-hari yang lebih dekat dengan kehidupan peserta didik atau diperkirakan
dapat menarik perhatian peserta didik. Selanjutnya peserta didik dapat
memanfaatkan kembali pemahaman pengetahuan dan kemampuannya itu
dalam berbagai konteks di luar sekolah untuk menyelesaikan permasalahan
dunia nyata yang kompleks, baik secar mandiri
maupun kelompok.
Pada umumnya dalam soal cerita diajarkan pada peserta didik setelah
peserta didik mempelajari konsep dasar, rumus, dan teknik-teknik
penyelesaian. Dengan berbekalnya pengetahuan pada pemahaman dan
penanaman konsep peserta didik dilatih untuk mengingat dan menerapkan
konsep yang sudah dipelajarinya. Ini berarti peserta didik harus dapat
melakukan tugasnya secara tepat, cepat, dan memberikan hasil yang benar.
Untuk menyelesaikan soal cerita ditekankan pada pemahaman soal, yaitu
peserta didik dengan bimbingan guru mampu mengenal “apa yang diketahui”,
“apa yang ditanyakan”, “pengerjaan apa yang diperlukan”, “dan”, “bagaiman
kalimat matematikanya”, sampai dengan penyelesaiannya. Dalam menjawab
setiap pertanyaan peserta didik dibiarkan menemukan sendiri jawabannya dan
guru hanya membimbing peserta didik yang merasa kesulitan dalam

29
menyelesaikan soal sehingga peserta didik dapat menjawab dengan benar.
Contoh desain dan implementasi pembelajaran matematika melalui pendekatan
konstruktivisme.
Rubiana mempunyai sejumlah permen, kemudian ayah memberi permen lagi
kepada Chandra sebanyak 5 kantong, disetiap kantongnya berisi 50 buah
permen. Rubiana sekarang mempunyai 300 buah permen. Berapa banyak
permen Rubiana semula?

Jawab:
Langkah penyelesaiainnya adalah sebagai berikut:

Diketahui: n adalah permen Rubiana semula. Ayah memberi lagi Rubiana 5


kantong permen, ang setiap kantongnya berisi 50 buah. Permen Dodi 500
buah.

Ditanyakan: Berapa jumlah permen Rubiana semula?

1) Misalkan yang ditanyakan adalah n (n adalah banyak permen


Rubiana semula)
2) Menulis kalimat matematikanya. Semua hal yang dinyatakan dalam
soal harus di masukan dalam kalimat matematika. n + ( 5 x 50 ) =
300

Kalimat ini berarti bahwa banyaknya permen Rubiana semula ditambah


permen pemberia ayah semuanya menjadi 300 buah permen.

3. Mencari bilangan yang membuat kalimat itu menjadi benar ( n )

n + ( 5 x 50 ) = 300

n + 250 = 300

n = 300 – 250

n = 50

4. Jadi banyak permen Rubiana semula adalah 50 buah


Dalam langkah-langkah penyelesaian soal cerita, agar peserta didik
memperoleh

30
pengertian yang lebih mendalam, maka diperlukan bimbingan guru. Yang
diutamakan adalah menuliskan kalimat matematikanya dengan benar,
kemudian dilanjutkan dengan ketelitian menghitungnya. Untuk mencari
jawaban tersebut peserta didik diharapkan dapat memahami masalah, dan
mampu merencanakan penyelesaian, serta dapat menemukan pengerjaan
hitung yang diperlukan, dan akhirnya dapat menyelesaikan sesuai dengan
apa yang ditanyakan dalam soal.

Prinsip yang paling penting dalam pembelajaran konstruktivisme adalah


tidak hanya dalam memeberikan pengetahuan, namun guru harus
memberikan kemudahan kepada peserta didik dalam proses menemukan
atau menerapkan ide-ide para peserta didik agar mereka mampu memahami
dan memaknai pembelajaran dengan lebih cepat sesuai dengan
kemampuannya.

31
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Behaviorisme memandang belajar sebagai perubahan tingkah laku,


sehingga belajar merupakan rangkaian aktivitas mengelola stimulus untuk
mendapatkan respon yang diinginkan. Dengan kata lain, behavioristik lebih
mementingkan hasil daripada proses. Pada pembahasan diatas menjelaskan
tentang tokoh-tokoh penganut teori behaviorisme, penerapan teori behaviorisme
dalam matematika sd serta contoh soal matematika sd yang berkaitan dengan teori
behaviorisme.

Teori kognitifisme yakni teori yang menyatakan bahwa belajar adalah


perubahan dalam struktur mental seseorang yang memberikan kapasitas untuk
menunjukkan perubahan prilaku. Struktur mental ini meliputi pengetahuan,
keyakinan, keterampilan, harapan dan mekanisme lain dalam kepala pembelajar.
kognitif leih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Pada
pembahasan diatas menjelaskan tentang tokoh-tokoh penganut teori kognitif,
penerapan teori kognitif dalam matematika sd serta contoh soal matematika sd
yang berkaitan dengan teori kognitif.

Teori humanisme dipahami sebagai pembelajaran yang mengarah pada


proses memanusiakan manusia sebagaimana yang digagas oleh Paulo Freire.
Menurut Baharuddin dan Moh. Makin (2007:114), sebagaimana dikutip Ende
Supriyadi menegaskan bahwa pendidikan yang memanusiakan manusia adalah
proses membimbing, mengembangkan dan mengarahkan potensi dasar manusia
baik jasmani, maupun rohani secara seimbang. Pada pembahasan diatas
menjelaskan tentang tokoh-tokoh penganut teori humanisme, penerapan teori
humanisme dalam matematika sd serta contoh soal matematika sd yang berkaitan
dengan teori humanisme.

Teri kontruktivisme Masnur Muslich (dalam Supriono, 2015, hlm. 2)


pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya
pemahaman sendiri secara aktif, kreaktif dan produktif berdasarkan pengetahuan
terdahulu dan pengalaman belajar yang bermakna

32
B. Saran

Dalam penulisan makalah “penerapan teori belajar ke dalam pembelajaran


matematika sd” kami menyadari masih jauh dari kata sempurna. Sehingga kami
membutuhkan kritik da saran yang bersifat membangun untuk bisa membuat
makalah yang lebih baik da bermanfaat kepada para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

33
Abraham, Maslow. (1954-1971). Teori Belajar Humanistik. Yogyakarta. Jurnal
pendidikan
Amsari, Dina & Mudjiran. 2018. Implikasi teori belajar e.thorndike
(behavioristik) dalam pembelajaran matematika. Jurnal Basicedu. Vol
2(2) : 52-60.

Anidar, Jum. 2017. Teori Belajar Menurut Aliran Kognitif Serta Implikasinya
Dalam Pembelajaran. Vol 3 no 2. 29 Agustus 2020.

Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta

Budiningsih, C. Asri. 2003. Belajar dan Pembelajaran. Penerbit Rineka Cipta.


Jakarta

Burhanuddin, dkk. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran, Yogyakarta An-Ruzz


Media

Dalyono, M. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta.


Gredler, Margaret E. 2011. Learning and Instruction: Teori dan Aplikasi: Edisi

Keenam. Alih Bahasa oleh Tri Bowo B.S. Jakarta: Kencana.

Khodijah, Nyayu, 2014, Psikologi Pendidikan. Jakarta : Raja Grafindo Persada

Kolin, Monica. 2015. Ringkasan Behvioristik.


https://www.kompasiana.com/monikakolin/ringkasan-
behaviorisme_552bede76ea834ce6c8b456d. (Diakses tanggal 30 Agustus
2020)

Moreno, Roxane. 2010. Educational Psychology. University Of New Mexico

Nahar, Novi Irwan. 2016. Penerapan Teori Belajar Behavioristik dalam Proses
Pembelajaran. (Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial). Volume 1 Desember 2016

Qodir, Abd. 2017. Teori Belajar Humanistik Dalam Meningkatkan Prestasi


Belajar Siswa. Jurnal Pedagogik. Vol. 04(2) : 188-202.
Rahmasari, Dewi Nuur. 2019. Penerapan Teori Belajar Behaviour Dalam
Pembelajaran Matematika Keuangan.
https://www.google.com/url?
sa=

34
t

&

source=we
b

&

rct=
j

&

url=https://osf.io/r2z8d/downloa
d

&

ved=2ahUKEwjDyK63xsTrAhWNbisKHYE9A5MQFjACegQIDBA
I&usg=AOvVaw0IZxW7XgxCUoNcWIeueVFx
Santrock, John W. 2008. Psikologi Pendidikan: Edisi Kedua. Jakarta: Kencana.

Sanusi, Uci. 2013. Pembelajaran Dengan Pendekatan Humanistik (Penelitian


Pada Mts Negeri Model Cigugur Kuningan). Jurnal Pendidikan Agama Islam
- Ta'lim. Vol 11(2) : 123-142
Siswono, Tatag Yuli Eko. 2017. Pembelajaran Matematika Yang Realistik -
Humanis. Edu-Mat Jurnal Pendidikan Matematika. Vol.5(1) : 1 - 13
Suciati dan Irawan, P (2005). Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta : PAU-PPAI-
UT

Sumantri, Budi Agus dan Nurul Ahmad. 2019. Teori Belajar Humanistik dan
Implikasinya Terhadap Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jurnal
Pendidikan Dasar. Vol 3( 2) : 1-18
Suwaningsih, Erna. Bahan Belajar Mandiri: Pendekatan Dalam Dunia
Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo. 2011
Syah, Muhibbin, 2009, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung:
Remaja Rosda Karya
Uno, Hamzah B. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta:
PT Bumi Aksara.

35
Wiradinanta, rochanda. 2018. Revoluiss Kognitif Melalui Penerapan
Pembelajaran Teori Brunner Dalam Menyempurnakan Pendidikan Perilaku.
Jurnal kajian pendidikan ekonomi dan ilmu ekonomi. Vol 2 no 1. 29 agustus
2020

Yuliandri, Miki. 2017. Pembelajaran Inovatif Di Sekolah Dasar Berdasarkan


Paradigma Teori Belajar Humanistik. Journal Of Moral And Civic
Education. Vol. 1 (2) : 101-115

36

Anda mungkin juga menyukai