Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

“ TEORI – TEORI BELAJAR ”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 2

NAMA ANGGOTA : M. ANDHIKA NUR MAJID ( 4119004 )

ANGGUN ARI ADITIA UTAMI ( 4119005 )

PRODI : PENDIDIKAN FISIKA

DOSEN PENGAMPUH : RIA DWI JAYATI, M.Pd

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA

( STKIP-PGRI ) LUBUKLINGGAU

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita ucapkan kepada Allah SWT. karena berkat rahmat, hidayah,dan inayah-
Nya, laporan makalah Belajar dan Pembelajaran mengenai “ TEORI – TEORI

BELAJAR ’’ dapat penyusun selesaikan dengan benar. Laporan makalah Belajar dan
Pembelajaran ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
oleh Dosen , Ibu. Ria Dwi Jayati, M.Pd, Dengan harapan dapat memahami proses penulisan
makalah yang benar dan menambah wawasan mahasiswa.

Penyusun menyadari bahwa dalam penulisan makalah banyak mengalami kekurangan


dan kesalahan. Untuk itu penyusun menerima dengan senang hati kritik dan saran dari semua
pihak demi perbaikan untuk masa yang akan datang.

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................................................. 1

Kata Pengantar .......................................................................................................................... 2

Daftar Isi ..................................................................................................................................... 3

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 5


1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................... 6
1.3 Tujuan ........................................................................................................................ 6

Bab II Pembahasan

2.1 Pengertian Teori Belajar Sosial....................................................................................... 7


2.2 Tokoh – Tokoh Teori Belajar Sosial............................................................................... 7
2.3 Contoh Aplikasi Teori Belajar Sosial ............................................................................ 18
2.4 Konsep Teori Belajar Konstruktivisme Yang Sesuai Dengan Pendidikan Abad 21.. 20
2.5 Tujuan Teori Belajar Konstruktivisme......................................................................... 22
2.6 Karakteristik Teori Belajar Konstruktivisme.............................................................. 23
2.7 Prinsip Teori Belajar Konstruktivisme......................................................................... 23
2.8 Teori-teori belajar Konstruktivisme............................................................................ 23
2.9 Kelebihan dan Kekurangan teori Belajar Konstruktivisme......................................... 24

2.10 Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran Yang Sesuai Dengan
Pendidikan Abad 21........................................................................................................ 25

Bab III Penutup

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 27

3.2 Saran .......................................................................................................................... 27

Daftar Pustaka ....................................................................................................................... 28

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

4
Belajar merupakan tindakan dan perilaku siswa yang kompleks, sebagai
tindakan belajar yang dialami oleh siswa sendiri. Dimyati dan Mujiono (1996:7)
mengemukakan siswa adalah penentu terjadinya atau tidak terjadinya proses belajar. Tiap
ahli psikologi memberi batasan yang berbeda tentang belajar, atau terdapat keragaman
dalam cara menjelaskan dan mendefinisikan makna belajar.Belajar merupakan sesuatu yang
sangat penting sekali dalam rentang perkembangan pada diri seseorang, dengan belajar
seseorang telah mengalami suatu  proses menuju kearah yang lebih baik. Dalam kaitannya
dengan belajar ini sangat banyak teori- teori yang membahas tentang belajar. Dimana teori
belajar merupakan unsur penting dalam pendidikan. Tanpa teori pembelajaran tidak
akan ada suatu kerangka kerja konseptual yang digunakan sebagai dasar untuk
melaksanakan pembelajaran.

Teori belajar sosial merupakan perluasan dari teori belajar perilaku (behavioristik).
Teori belajar sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima
sebagian besar dari prinsip teori belajar perilaku, tetapi memberikan lebih banyak penekanan
pada kesan dan isyarat perubahan perilaku, dan pada proses mental internal. Jadi dalam teori
belajar sosial kita akan menggunakan penjelasan penguatan (reinforcement) eksternal dan
penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana belajar dari orang lain. Dalam
pandangan belajar sosial manusia itu tidak hanya didorong oleh kekuatan dari dalam saja,
tetapi juga dipengaruhi oleh stimulus lingkungan.

Dalam pandangan konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan


dibandingkan seberapa banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Teori
ini berkembang dari teori kerja Piaget, Vygotsky, teori pemrosesan informasi, dan
teori psikologi kognitif lainnya, Teori konstruktivisme terbangun karena adanya
penghubungan (networking learning) antara pengetahuan lama dengan yang baru, dalam hal
ini terdapat proses asimilasi yang menghubungkan teroi lama dan yang baru dengan adanya
refleksi yaitu hasil berfikir merenung sehingga dapat menemukan pengetahuan baru seperti
halnya pembelajaran di abad 21 harus dapat mempersiapkan generasi manusia Indonesia
menyongsong kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan
bermasyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan teori belajar sosial?
b. Siapakah tokoh-tokoh teori belajar sosial?
5
c. Bagaimana karakteristik teori belajar sosial ?
d. Apa yang dimaksud dengan teori belajar kontruktivisme ?
e. Bagaimana karakteristik teori belajar kontruktivisme yang sesuai dengan
pendidikan abad 21 ?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui maksud dari teori belajar sosial
b. Untuk mengetahui tokoh-tokoh teori belajar sosial
c. Untuk mengetahui karakteristik teori belajar sosial.
d. Untuk mengetahui maksud dari teori belajar kontruktivisme.
e. Untuk mengetahui karakteristik teori belajar kontruktivisme yang sesuai dengan
pendidikan abad 21.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Teori Belajar Sosial

Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori
belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Teori belajar
sosial merupakan perluasan teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori ini
dikembangkan oleh Albert Bandura (1969). Prinsip belajar menurut Bandura adalah usaha
menjelaskan belajar dalam situasi alami. Adapun pengertian dari teori pembelajaran sosial
(social learning theory) atau pembelajaran observasional (observational learning) yaitu :

a. Pembelajaran observasional merupakan pembelajaran yang dilakukan ketika


seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain (John W.Santrock : 2008). 

6
b. Pembelajaran observasional merupakan proses dimana informasi diperoleh
dengan memerhatikan kejadian-kejadian dalam lingkungan (B.R.Hergenhahn dan
Matthew HOlson : 2008.). 

2.2 Tokoh – Tokoh Teori Belajar Sosial

A. Biografi Albert Bandura

Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare, kota kecil di Alberta,
Canada. Dia mendapat gelar B.A. dari University of British Columbia, kemudian M.A. pada
1951, dan Ph.D. pada 1952 dari University of Iowa. Dia ikut magang pascadoktoral di
Wichita Guidance Center pada 1953 dan kemudian bergabung di Stanford University. Pada
1969-1970 dia sempat di Center for the Advanced Study in Behavioral Sciences. Bandura
kini menjabat sebagai David Starr Jordan Professor of Social Science di Fakultas Psikologi
Universitas Stanford.

Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran sosial (sosial learning
theory), salah satu konsep dalam aliran behaviorisme yang menekankan pada komponen
kognitif dari pemikiran, pemahaman dan evaluasi. Albert Bandura menjabat sebagai ketua
APA (American Psychological Association) pada tahun 1974 dan pernah dianugerahi
penghargaan Distinguished Scientist Award pada tahun 1975.Pada tahun berikutnya,
Bandura bertemu dengan Robert Sears dan belajar tentang pengaruh keluarga dengan
tingkah laku sosial dan proses identifikasi. Sejak itu Bandura sudah mulai meneliti
tentang agresi pembelajaran sosial dan mengambil Richard Walters, muridnya yang
pertama mendapat gelar doktor sebagai pekerja di makmalnya. Bagi Bandura, walaupun
prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip
itu harus memperhatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma
behaviorisme.

7
Studi Boneka Bobo Klasik

Dalam sebuah eksperimen yang dilakukan Bandura (1965) mengilustrasikan


bagaimana pembelajaran dapat dilakukan hanya dengan mengamati model yang bukan
sebagai penguat atau penghukum. Dalam eksperimen ini, anak –  anak meniru seperti
perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Eksperimen ini juga mengilustrasikan
perbedaan antara pembelajaran dan kinerja (performance). Sejumlah anak taman kanak-
kanak secara acak ditugaskan utuk melihat tiga film dimana ada seseorang (model) sedang
memukuli boneka plastik seukuran orang dewasa yang dinamakan boneka Bobo.

Dalam film pertama, penyerangnya diberi permen, minuman ringan dan dipuji
karena melakukan tindakan agresif. Dalam film kedua, si penyerang ditegur dan ditampar
karena bertindak agresif. Dalam film ketiga, tidak ada konsekuensi atas si
penyerang boneka.Kemudian masing-masing anak dibiarkan sendiri berada di ruangan
penuh mainan, termasuk boneka Bobo.Perilaku anak diamati melalui cermin satu
arah. Anak yang menonton film dimana perilaku penyerang diperkuat atau tidak
dihukum apapun lebih sering meniru tindakan model ketimbang anak yang
menyaksikan si penyerang dihukum. Seperti yang diduga, anak lelaki lebih agresif
ketimbang anak perempuan. Namun, poin penting dalam studi ini adalah bahwa
pembelajaran observasional terjadi sama ekstensifnya baik itu ketika  perilaku
agresif diperkuat maupun tidak diperkuat.

Poin penting kedua dalam studi ini difokuskan pada perbedaan antara
pembelajaran dan kinerja.Karena murid tidak melakukan respons bukan berarti
mereka tidak mempelajarinya. Dalam sudi Bandura, saat anak diberi insentif
(dengan stiker atau jus buah) untuk meniru model, perbedaan dalam perilaku
imitatif anak dalam tiga kondisi itu hilang. Bandura percaya bahwa ketika anak
mengamati perilaku tetapi tidak memberikan respons yang dapat diamati, anak itu
8
mungkin masih mendapatkan respons model dalam bentuk kognitif.
Studi ini menarik karena ia menunjukkan bahwa perilaku anak dipengaruhi
oleh pengalaman tak langsung atau pengalaman pengganti. Dengan kata lain, apa
yang mereka lihat dilakukan atau dialami orang lain akan mempengaruhi perilaku
mereka. Anak-anak di kelompok pertama mendapatkan penguatan dari pengamatan
(vicarious reinforcement) dan mereka difasilitasi untuk keagresifan mereka.
Sedangkan anak-anak di kelompok kedua mendapatkan ancaman pengamatan
(vicarious punishment), dan mereka dihalangi perilaku agresifnya. Meskipun anak-
anak tidak mendapatkan pengalaman penguatan maupun ancaman secara langsung,
mereka memodifikasi perilakunya secara sama (Hergenhahn dan Olson, 1997).

Deter minisme Resi prokal (Reciprocal Determinism)

Bandura mengembangkan model Determinisme Resiproka lyang terdiri dari


tiga faktor utama, yaitu perilaku, person / kognitif, dan lingkungan. Seperti dalam
gambar, faktor-faktor ini bisa saling berinteraksi untuk mempengaruhi
pembelajaran, yakni faktor lingkungan memengaruhi perilaku, perilaku
memengaruhi lingkungan, faktor person (orang/kognitif) memengaruhi perilaku dan
sebagainya.Bandura menggunakan istilah person, tapi memodifikasi menjadi person
(cognitive) karena banyak faktor orang yang dideskripsikannya adalah faktor
kognitif.

Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran


penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (1997,2001) pada
masa belakangan ini adalah self-efficiacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai
situasi dan menhasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa  self-efficiacy  berpengaruh
besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang murid yang  self-efficiacy-nya rendah mungkin
tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena dia tidak percaya bahwa belajar
akan bisa membantunya mengerjakan soal. Adapun konsep utama dari teori belajar Albert
Bandura adalah sebagai berikut :

1. Pemodelan

9
Pemodelan merupakan konsep dasar dari teori belajar sosial Albert Bandura.
Menurut Bandura sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif
dan mengingat tingkah laku orang lain. (Arends, 1997:67). Seseorang belajar menurut
teori ini dilakukan dengan mengamati tingkah laku orang lain (model), hasil
pengamatan itu kemudian dimantapkan dengan cara menghubungkan pengalaman baru
dengan pengalaman sebelumnya atau mengulang-mengulang kembali. Dengan jalan
ini memberi kesempatan kepada orang tersebut untuk mengekspresikan tingkah laku
yang dipelajari. Berdasarkan pola perilaku tersebut, selanjutnya Bandura
mengklasifikasi empat fase belajar dari pemodelan, yaitu :

a) Fase Atensi, Fase pertama dalam belajar pemodelan adalah memberikan

perhatian pada suatu model.Pada umumnya seseorang memberikan


perhatian pada model-model yang menarik, popular atau yang
dikagumi.Dalam pembelajaran guru yang bertindak sebagai model bagi
siswanya harus dapat menjamin agar siswa dapat memberikan perhatian
kepada bagan-bagian penting dari pelajaran. Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menyajikan materi pelajaran secara jelas dan menarik,
memberikan penekanan pada bagian-bagian penting, atau dengan
mendemonstrasikan suatu kegiatan. Di samping itu suatu model harus
memiliki daya tarikn (Woolfolk, 1993).Misalnya untuk menjelaskan
bagian-bagian bola mata guru seharusnya menggunakan gambar model
mata, dengan variasi warna yang bermacam-macam sehingga bagian-
bagian mata tersebut tampak jelas dan siswa termotivasi untuk
mempelajarinya.
b) Fase Retensional, Menurut Gredler, (dalam Sudibyo, E. 2001:5), fase ini
bertanggung jawab atas pengkodean tingkah laku model dan menyimpan
kode-kode itu di dalam ingatan (memori jangka panjang). Pengkodean adalah
proses pengubahan pengalaman yang diamati menjadi kode memori. Arti
penting dari fase ini adalah bahwa si pengamat tidak akan dapat memperoleh
manfaat dari tingkah laku yang diamati ketika model tidak hadir, kecuali
apabila tingkah laku itu dikode dan disimpan dalam ingatan untuk
digunakan pada waktu kemudian. Untuk memastikan terjadinya
retensi jangka panjang guru dapat menyediakan waktu pelatihan, yang
memungkinkan siswa mengulang keterampilan baru secara bergiliran, baik
10
secara fisik maupun secara mental.Misalnya mereka dapat menvisualisasikan
sendiri tahap-tahap yang telah didemonstrasikan dalam menggunakan busur,
atau penggaris sebelum benar-benar melakukannya.
c) Fase Reproduksi, Dalam fase ini kode-kode dalam memori membimbing
penampilan yang sebenarnya dari tingkah laku yang baru diamati. Derajat
ketelitian yang tertinggi dalam belajar mengamati adalah apabila
tindakan terbuka mengikuti pengulangan secara mental. Fase
reproduksi dipengaruhi oleh tingkat perkembangan individu. Fase
reproduksi mengizinkan model untuk melihat apakah komponen-komponen
urutan tingkah laku sudah dikuasai oleh si pengamat (pebelajar).Pada fase
ini juga si model hendaknya memberikan umpan balik terhadap aspek-aspek
yang sudah benar ataupun pada hal-hal yang masih salah dalam penampilan.
d) Fase Motivasional, Pada fase ini pengamat akan termotivasi untuk meniru
model, sebab mereka merasa bahwa dengan berbuat seperti model, mereka
akan memperoleh
2. Belajar Vicarious 

Sebagian besar belajar observasional termotivasi oleh harapan bahwa meniru


model dengan baik akan menuju pada pada reinforcement. Akan tetapi, akan ada orang
yang belajar dengan melihat orang diberi reinforcement atau dihukum waktu terlibat
dalam perilaku- perilaku tertentu. Inilah yang disebut belajar “vicarious”.  Guru-guru
dalam kelas selalu menggunakan prinsip belajar vicarious. Bila seorang murid
berkelakuan tidak baik, guru memperhatikan anak-anak yang bekerja dengan baik dan
memuji mereka karena pekerjaan mereka yang baik itu. Anak yang nakal itu
melihat bahwa bekerja memperoleh reinforcement sehingga ia pun kembali.

3. Perilaku Diatur-Sendiri (Self-Regulated Behavior ) 

Bandura mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan


perilaku yang diatur oleh dirinya sendiri ( self-regulated behavior ). Manusia
belajar suatu standar performa ( performance standards), yang menjadi dasar evaluasi
diri. Apabila tindakan seseorang bisa sesuai atau bahkan melebihi standar performa,
maka ia akan dinilai positif, tetapi sebaliknya, bila dia tidak mampu berperilaku
sesuai standar, dengan kata lain performanya dibawah standar, maka ia akan dinilai
negatif.
11
Bandura berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya sendiri,
mempertimbangkan perilaku terhadap kriteria yang disusunnya sendiri, kemudian
memberi reinforcement atau hukuman pada dirinya sendiri.Kita semua mengetahui
bila kita berbuat kurang daripada yang sebenarnya.Untuk dapat membuat
pertimbangan-pertimbangan ini, kita harus mempunyai harapan tentang penampilan
kita sendiri. Seorang siswa mungkin sudah merasa senang sekali memperoleh 90%
betul dalam suatu tes, tetapi anak yang lain mungkin masih kecewa.

Hal yang menjadi pertanyaan ialah dimana kita memperoleh kriteria yang kita
gunakan untuk mempertimbangkan penampilan kita?Kadang-kadang
pertimbangan-pertimbangan ini kelihatannya timbul sendiri, seperti seorang pelukis,
seorang penulis, atau seorang guru, bekerja berulang kali untuk memperoleh sebuah
lukisan, suatu karangan, atau suatu pelajaran yang baik.Namun, teori belajar
sosial mengemukakan bahwa sebagian besar dari kriteria yang kita miliki untuk
penampilan kita, kita pelajari, seperti banyak hal-hal yang lain, dari model-model
dalam dunia sosial kita.

Kelebihan Teori Belajar Sosial Albert Bandura 

Teori Albert Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya , karena
itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui system
kognitif orang tersebut. Bandura memandang tingkah laku manusia bukan
semata –  matareflex atas stimulus ( S-R bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul
akibat interaksi antara lingkungan dengan kognitif manusia itu sendiri. Pendekatan teori
belajar social lebih ditekankan pada perlunya conditioning ( pembiasan merespon ) dan
imitation ( peniruan ). Selain itu pendekatan belajar social menekankan pentingnya
penelitian empiris dalam mempelajari perkembangan anak –  anak. Penelitian ini
berfokus pada proses yang menjelaskan perkembangan anak  –  anak, faktor social dan
kognitif.

Kelemahan Teori Belajar Sosial Albert Bandura 

Teori pembelajaran Sosial Bandura sangat sesuai jika diklasifikasikan dalam teori
behavioristik. Ini karena, teknik pemodelan Albert Bandura adalah mengenai peniruan
tingkah laku dan adakalanya cara peniruan tersebut memerlukan  pengulangan
dalam mendalami sesuatu yang ditiru. Selain itu juga, jika manusia belajar atau membentuk
12
tingkah lakunya dengan hanya melalui peniruan ( modeling ), sudah pasti terdapat sebagian
individu yang menggunakan teknik peniruan ini juga akan meniru tingkah laku yang
negative , termasuk perlakuan yang tidak diterima dalam masyarakat.

B. Lev Semenovich Vygotsky

Lev Semyonovich Vygotsky lahir pada tahun 1896 di Tsarist Russia, di suatu kota
Orscha, Belorussia dari keluarga kelas menengah Keturunan Yahudi. Dia tumbuh dan besar
di Gomel, suatu kota sekitar 400 mil bagian barat Moscow. Sewaktu dia masih muda, dia
tertarik pada studi-studi kesusastraan dan analisis sastra, dan menjadi seorang penyair dan
Filosof.

Vygotsky mengajar kesusatraan di suatu sekolah Propinsi sebelum memberi kuliah


psikologi pada suatu sekolah keguruan. Dia dipercaya membawakan kuliah  psikologi
walaupun secara formal tidak pernah mengambil studi psikologi. Dari sinilah dia semakin
tertarik dengan kajian psikologi sehingga menulis disertasi Ph.D. mengenai ”Psychology of
Art” di Moscow Institute of Psychology pada tahun 1925. Vygotsky bekerja kolaboratif
bersama Alexander Luria and Alexei Leontiev dalam membuat dan menyusun proposal
penelitian yang sekarang ini dikenal dengan pendekatan Vygotsky. Selama hidupnya
Vygotsky mendapat tekanan yang begitu besar dari pemegang kekuasaan dan para
penganut idelogi politik di Rusia untuk mengadaptasi dan mengembangkan teorinya. Setelah
dia meninggal pada usia yang masih dibilang sangat muda (38 tahun), pada tahun 1934
akibat menderita penyakit tuberculosis (TBC), barulah seluruh ide dan teorinya diterima
oleh pemerintah dan tetap dianut dan dipelajari oleh mahasiswanya. Kepeloporannya
dalam meletakkan dasar tentang psikologi.

Sezaman dengan Piaget, Vygotsky menulis di Uni Soviet selama sepuluh tahun dari
tahun 1920-1930. Namun karyanya baru dipublikasikan di duia barat pada tahun 1960an.
Sejak saat itulah, tulisan-tulasannya menjadi sangat berpengaruh didunia. Vygotsky juga
mengagumi Piaget , Vigotsky setuju dengan teori Piaget bahwa perkembangan kognitiv

13
terjadi secara bertahap dan dicirikan dengan gaya berpikir yang berbeda-beda, akan
tetapi Vygotsky tidak setuju dengan pandangan Piaget bahwa anak menjelajahi dunianya
sendirian dan membentuk gambara realitasya sendirian, karena menurut Vygotsky suatu
pengetahuan tidak hanya didapat oleh anak itu sendiri melainkan mendapat bantuan dari
lingkungannya juga.

Pemikiran Tokoh

Berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua


ide; Pertama, bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks
budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000),
Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan intelektual bergantung pada sistem
tanda (sign system) setiap individu selalu berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43).
Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu
seseorang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa,
system tulisan, dan sistem perhitungan..

C. Ivan Pavlov

Pada dasarnya teori pembelajaran sosial merupakan perluasan dari teori belajar
behaviourisme. Teori pembelajaran sosial juga di dasarkan pada pengakuan penting
pembelajaran pengamatan dan pembelajaran pengaturan diri. Hal tersebut sangat berkaitan
erat dengan teori belajar behaviouristik (behavioral learning theorities) yang terpusat pada
cara yang dengan cara itu konsekuensi prilaku yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan mengubah prilaku seseorang lama-kelamaan dan cara ketika seseorang
mencontohkan prilakunya kepada orang lain. Teori behavioristic ini tentnya akan
berpengaruh terhadap teori pembelajaran social yang lebih menekankan kepada teori
pengkondisian yang pertama kali sangat terkenla yaitu teori pengkondisian klasik yang di
perkenalkan oleh ilmuan Rusia Ivan Pavlov pada akhir tahun 1800-an dan awal 1900-an.

Saat itu Pavlov mengadakan riset mempelajari proses pencernaan anjing. Pavlov
memperhatikan perubahan waktu dan kadar pengeluaran air liru hewan ini. Dia mengamati
bahwa, jika tepung daging di letakan didalam atau dekat mulut anjing yang lapar, hewan
tersebut akan mengeluarkan air liur. Karena tepung daging membangkitkan tanggapan ini
dengan otomatis, tanpa satupun pelatihan atau pengkondisian sebelumnya, maka tepung
daging tersebut disebut rangsangan tanpa pengkondisian. Sama halnya, karena pengeluaran
14
air liru terjadi otomatis dengan kehadiran daging, yang juga tanpa memerlukan sedikitpun
pelatihan atau pengalaman, tanggapan pengeluaran air liur ini disebut tanggapan tanpa
pengkondisian.

Sementara daging tersebut akan menghasilkan air liur tanpa sedikitpun pengalaman
atau pelatihan sebelumnya, seperti lonceng, tidak akan menghasilkan air liur. Karena tidak
mempunyai dampak pada tanggapan tersebut, rangsangan ini disebut rangsangan netral.
Eksperimen Pavlov memperlihatkan bahwa apabila rangsangan netral sebelumnya
dipasangkan dengan rangsangan tanpa pengkondisian, rangsangan netral tersebut menjadi
rangsangan pengkondisian dan memperoleh kekuatan untuk mendorong tanggapan yang
mirip dengan apa yang dihasilkan rangsangan tanpa pengkondisian tadi. Dengan kata lain
setelah lonceng dan anjing mengeluarkan air liur. Proses ini disebut pengkondisian klasik.

Dengan kata lain proses yang dilakukan secara berulang-ulang akan menhubungkan
rangsangan netral sebelumnya dengan rangsangan tanpa pengkondisian guna
membangkitkan tanggapan pengkondisian. Hal ini berkaitan dengan proses belajar siswa,
apabila siswa berasa dalam lingkungan yang mendukung baik itu lingkungan sekolah,
keluarga bahkan masyarakat yang mendukung siswa itu untuk belajar salah satu halnya
dengan pemberian motivasi dan rangsangan yang positif dalam membantu atau memberikan
yang positif pula dalam dirinya, namun hal ini harus dilakukan secra berulang agar proses
tersebut tertanam dalam dirinya sehingga menjadi suatu kebiasaan pada siswa tersebut.

Prinsip Utama dalam Eksperimen Ivan Pavlov

Ada empat prinsip utama dalam eksperimen Ivan Pavlov, antara lain:

1. Fase Akuisisi, merupakan fase belajar permulaan dari respons kondisi. Sebagai contoh,
anjing ‘belajar’ mengeluarkan air liur karena pengkondisian suara lonceng.
Beberapa faktor dapat mempengaruhi kecepatan conditioning selama fase akuisisi. Faktor
yang paling penting adalah urutan dan waktu stimuli. Conditioning terjadi paling cepat
ketika stimulus kondisi (suara lonceng) mendahului stimulus utama (makanan) dengan
selang waktu setengah detik. Conditioning memerlukan waktu lebih lama dan respons
yang terjadi lebih lemah bila dilakukan penundaan yang lama antara pemberian stimulus
15
kondisi dengan stimulus utama. Jika stimulus kondisi mengikuti stimulus utama, sebagai
contoh, jika anjing menerima makanan sebelum lonceng berbunyi maka conditioning jarang
terjadi.

2. Fase Eliminasi (Extintion), Dalam ekperimen ini bagaimana cara untuk membentuk perilaku
anjing agar ketika bunyi bel di berikan ia akan merespon dengan mengeluarkan air liur
walapun tanpa diberikan makanan. Karena pada awalnya, anjing tidak merespon apapun
ketika mendengar bunyi bel. Jika anjing secara terus menerus diberikan stimulus berupa
bunyi bel dan kemudian mengeluarkan air liur tanpa diberikan sebuah hadiah berupa
makanan. Maka kemampuan stimulus terkondisi (bunyi bel) untuk menimbulkan respons
(air liur) akan hilang. Hal ini disebut dengan extinction atau penghapusan.

3. Fase Generalisasi, Setelah seekor hewan telah ‘belajar’ respons kondisi dengan satu
stimulus, ada kemungkinan juga ia merespons stimuli yang sama tanpa latihan lanjutan.
Jika seorang anak digigit oleh seekor anjing hitam besar, anak tersebut bukan hanya
takut kepada anjing tersebut, namun juga takut kepada anjing yang lebih besar. Fenomena
ini disebut generalisasi. Stimuli yang kurang intens biasanya menyebabkan generalisasi
yang kurang intens. Sebagai contoh, anak tersebut ketakutannya menjadi berkurang
terhadap anjing yang lebih kecil.

4. Fase Diskriminasi, Kebalikan dari generalisasi adalah diskriminasi. Kalau generalisasi


merujuk pada tendensi untuk merespons sejumlah stimuli yang terkait dengan respons yang
dipakai selama training. Diskriminasi mengacu pada tendensi untuk merespons sederetan
stimuli yang amat terbatas atau hanya pada stimuli yang digunakan selama training saja.
Ketika seorang individu belajar menghasilkan respons kondisi pada satu stimulus dan tidak
dari stimulus yang sama namun kondisinya berbeda. Sebagai contoh, seorang anak
memperlihatkan respons takut pada anjing galak yang bebas, namun mungkin
memperlihatkan rasa tidak takut ketika seekor anjing galak diikat atau terkurung dalam
kandang.

Kelebihan dan Kelemahan Teori Belajar Pavlov

Kelebihan dari teori Ivan Pavlov ini adalah individu tidak menyadari bahwa ia
dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. Hal ini sangat membantu dan
memudahkan pendidik dalam dunia pendidikan untuk melakukan pembelajaran terhadap
peserta didiknya.
16
Kelemahan dari teori Ivan Pavlov ini ialah, teori ini menganggap bahwa belajar itu
hanyalah terjadi secara otomatis, keaktifan dan penentuan pribadi dalam tidak
dihiraukannya. Peranan latihan/kebiasaan terlalu ditonjolkan. Sedangkan kita tahu bahwa
dalam bertindak dan berbuat sesuatu, manusia tidak semata-mata tergantung kepada
pengaruh dari luar. Aku atau pribadinya sendiri memegang peranan dalam memilih dan
menentukan perbuatan dan reaksi apa yang akan dilakukannya. Teori Conditioning ini
memang tepat kalau kita hubungkan dengan kehidupan binatang. Pada manusia, teori ini
hanya dapat kita terima dalam hal-hal belajar tertentu saja. Umpamanya dalam belajar yang
mengenai skills (kecekatan-kecekatan) tertentu dan mengenai pembiasaan pada anak-anak
kecil.

2.3 Contoh Aplikasi Teori Belajar Sosial

Bandura menyatakan bahwa seseorang dapat belajar dari pengalaman tak langsung
atau pengalaman pengganti dan belajar dengan mengamati konsekuensi dari perilakunya
sendiri.Bandura mendefenisikan model sebagai segala sesuatu yang menyampaikan
informasi. Jadi koran, majalah, televisi, dan sebagainya merupakan model. Dan tentu saja
informasi berita yang disampaikan dapat membawa pengaruh positif maupun dapat
memunculkan proses kognitif yang salah pada individu. Bandura menyatakan bahwa anak-
anak dan orang dewasa mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru melalui
modeling.

Contoh aplikasi teori belajar Bandura adalah ketika seorang anak belajar untuk
mengendarai sepeda. Ditahap perhatian, si anak akan tertarik mengamati para pengendara
sepeda dibanding dengan orang yang melakukan aktifitas lain yang dia anggap kurang
menarik. Oleh karena itu, ia akan mengamati bagaimana seseorang mengayuh sepeda.

Selanjutnya pada tahap penyimpanan dalam ingatan si anak akan tersimpan bahwa
bersepeda itu menyenangkan dan suatu saat jika waktunya tepat ia akan meminta ayahnya
(semisal) untuk mengajarinya mengendarai sepeda. Semuanya itu kemudian dilaksanakan
pada tahap reproduksi di mana si anak kemudian benar-benar belajar mengendarai sepeda
bersama sang ayah. Ketika anak itu sudah berhasil, di sinilah tugas sang ayah untuk
memberi reward sebagai bentuk apresiasi atas keberhasilan sang anak sekaligus merupakan
tahap motivasi.Beberapa contoh lain dijelaskan dalam poin-poin berikut:

17
a. Iklan mie instan, di iklan tersebut diperlihatkan seseorang yang sedang melihat orang
lain makan mie instan dengan nikmatnya, membuatnya pada akhirnya makan mie
instan yang sama.
b. Iklan sebuah pasta gigi memperlihatkan seorang anak yang meniru kebiasaan
ayahnya makan, ribut sendiri karena menonton bola, dan cara ayahnya menggosok
gigi.
c. Sosialisasi penggunaan helm dan mengendarai motor yang baik menggunakan suatu
film pendek yang mengilustrasikan seorang pemuda yang naik motor ugal-ugalan
dan tidak memakai helm, berakibat fatal; kaum muda yang melihatnya menggunakan
helm dan berkendara aman tak hanya untuk menghindari ditilang polisi, tetapi untuk
mengamankan dirinya.
d. Seorang anak melihat ibunya makan bakso, dia juga ingin memakannya dan meminta
pada ibunya. Namun, sang ibu menunjukkan ekspresi kepedasan dan akhirnya si
anak tidak mau memakan bakso tersebut.

2.4 Konsep Teori Belajar Konstruktivisme Yang Sesuai Dengan Pendidikan Abad 21

Pembelajaran merupakan proses memfasilitasi agar individu dapat belajar. Antara


belajar dan pembelajaran merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan [1]. Sedangkan
[2] menyatakan bahwa pembelajaran secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah usaha
mempengaruhi emosi, intelektual, dan spiritual seseorang agar mau belajar dengan
kehendaknya sendiri. Secara khusus dapat diutarakan bahwa pembelajaran merupakan suatu
proses belajar yang dibangun guru untuk meningkatkan moral, intelektual, serta
mengembangkan berbagai kemampuan yang dimiliki oleh siswa, baik itu kemampuan
berpikir, kemampuan kreativitas, kemampuan mengkonstruksi pengetahuan, kemampuan
pemecahan masalah, hingga kemampuan penguasaan materi pembelajaran dengan baik.
Kemampuan-kemampuan yang dikemukakan di atas merupakan kemampuan yang perlu
dikembangkan pada abad 21. Abad 21 dicirikan oleh berkembangnya informasi secara
digital. Masyarakat secara masif terkoneksi satu dengan lainnya. Hal inilah yang dikatakan
oleh banyak orang dengan revolusi industri, terutama industri informasi. Era digital telah
mewarnai kehidupan manusia di abad 21.

Pembelajaran di abad 21 harus dapat mempersiapkan generasi manusia Indonesia


menyongsong kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam kehidupan
bermasyarakat. Pembelajaran abad 21 sebenarnya adalah implikasi dari perkembangan
18
masyarakat dari masa ke masa. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat berkembang dari
masyarakat primitif ke masyarakat agraris, selanjutnya ke masyarakat industri, dan sekarang
bergeser ke arah masyarakat informatif. Masyarakat informatif ditandai dengan
berkembangnya digitalisasi. Dari tahun 1960 sampai sekarang telah berkembang dengan
pesat penggunaan komputer, internet dan handpone. Masyarakat telah berubah dari
masyarakat offline menjadi masyarakat on line. Sebagai catatan pengguna internet di
Indonesia pada tahun 2015 sebanyak 88,1 juta orang telah meningkat menjadi sebanyak
132,5 juta orang. Oleh karena perkembangan digitalisasi yang semakin pesat di masyrakat,
mau tidak mau pembelajaran di sekolah di Indonesia harus mengikuti perkembangan
tersebut.

Teori belajar Kontruktivisme berasal dari kata “to construct” artinya membangun
atau menyusun. Menurut Von Glasersfeld konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) dari
kita sendiri dan Pengetahuan itu dibentuk oleh struktur konsepsi seseorang sewaktu
berinteraksi dengan lingkungannya. Esensi dari teori konstruktivisme bahwa siswa
harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain,
dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini
pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima
pengetahuan. Landasan berpikir konstruktivisme agak berbeda dengan pandangan kaum
objektivitas yang lebih enekankan pada hasil pembelajaran. Dalam pandangan
konstruktivisme, strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa banyak
siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan. Teori ini berkembang dari teori kerja
Piaget, Vygotsky, teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif lainnya,
Teori konstruktivisme terbangun karena adanya penghubungan (networking learning) antara
pengetahuan lama dengan yang baru, dalam hal ini terdapat proses asimilasi yang
menghubungkan teroi lama dan yang baru dengan adanya refleksi yaitu hasil berfikir
merenung sehingga dapat menemukan pengetahuan baru. Terdapat Klasifikasi belajar yang
serumpun dengan Teori Konstruktivisme, antara lain :

a. Reception Learning (Belajar untuk menerima); Pada klasifikasi ini pelajar bersikap
Pasif dan hanya menerima pembelajaran dari guru.
b. Construktivisme sendiri; Bebeda dengan reception Learning pada klasifikasi ini
pelajar lebih bersikap aktif dengan mencari bahan-bahan pembelajaran.

19
c. Rote Learning (Belajar dengan menghapal); Pada klasifikasi ini pengetahuan yang
diterima oleh siswa terus di tumpuk dengan cara menghapal.
d. Gestalt learning; Pada klasifikasi ini pelajar menghubungkan pengetahuan yang
lama dengan yang baru.

2.5 Tujuan Teori Belajar Konstruktivisme

Tujuan Teori Belajar Konstruktivisme antara lain :

a. Menumbuhkan motivasi siswa bahwa belajar merupakan tanggung jawabnya sendiri.


b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari
sendiri pertanyaannya.
c. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
2.6 Karakteristik Teori Belajar Konstruktivisme
a. Memberi peluang kepada murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan
dalam dunia sebenarnya.
b. Menyokong pembelajaran secara koperatif mengambil kira sikap dan pembawaan
murid.
c. Menggalakkan murid bertanya dan berdialog dengan murid dan guru.
d. Menganggap pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil
pembelajaran.
e. Menggalakkan proses inkuiri murid melalui kajian dan eksperimen.
2.7 Prinsip Teori Belajar Konstruktivisme
a. Pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri.
b. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan
keaktifan murid sendiri untuk menalar.
c. Guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi
berjalan lancar.
d. Mencari dan menilai pendapat siswa.

20
2.8 Teori-teori belajar Konstruktivisme
A. Teori Belajar Konstruktivisme Piaget

Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak
dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Proses
tersebut meliputi:

a. Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi


dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan
lingkungan. Skema juga berfungsi sebagai kategori-kategori untuk
mengidentifikasikan rangsangan yang datang, dan terus berkembang.
Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi dengan lingkungan
disebut dengan skemata.
b. Asimilasi adalah proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan
konsep awalnya, hanya menambah atau merinci. Asimilasi adalah proses kognitif
dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru
ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
c. Akomodasi adalah proses pembentukan skema atau karena konsep awal sudah
tidak cocok lagi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru
seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata
yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok
dengan skema yang telah ada.
d. Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga
seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamnya
(skemata).
B. Teori belajar Konstyruktivisme Vygotsky

Vygotsky menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu


memperhatikan lingkungan social yang disebut konstruktivisme social. Ada dua konsep
penting dalam teori Vygotsky yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.

a. Zone of Proximal Development (ZPD), merupakan kemampuan pemecahan


masalah secara mandiri dan kemampuan pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang
lebih mampu.

21
b. Scaffolding, merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama
tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
2.9 Kelebihan dan Kekurangan teori Belajar Konstruktivisme
A. Kelebihan :
a. Dalam proses membina pengetahuan baru, siswa berpikir untuk menyelesaikan
masalah, merancang ide, dan membuat keputusan.
b. Siswa akan lebih faham terhadap materi yang disampaikan oleh gurunya karena
ia aktif bertanya. Karena dalam konstruktivisme ini, siswa dituntut untuk
menggunakan pengetahuannya dan aktif bertanya.
c. Siswa akan lebih mudah untuk mengingat suatu materi yang disampaikan, yang
dipelajarinya, karena dalam konstruktivisme ini, pembelajaran adalah mempunya
makna yang lebih dalam.
d. Siswa akan mahir dalam bersosialisasi, karena dalam konstruktivisme ini, siswa
dituntut untuk dapat berinteraksi dengan baik dengan sesama temannya dan
bekerjasama, serta berinteraksi dengan baik pula dengan guru karena aktif
bertanya demi mendapatkan suatu pengetahuan baru.
e. Siswa akan termotivasi lebih untuk belajar demi mendaptlan ilmu pengetahuan
yang baru.
f. Menyenangkan, belajar bagi siswa akan terasa menyenangkan karena dengan
siswa berusaha untuk aktif ketika proses pembelajaran itu terjadi.

B. Kekurangan

a. Peran guru hanya sebagai mediator dan fasilitator bagi pembelajaran siswa
b. Karakteristik setiap siswa berbeda-beda, tidak semua siswa dapat aktif dalam
belajar, apalagi ketika proses pembelajaran berlangsung, ada saja siswa yang
tidak berani untuk dapat aktif.

22
c. Penekanan terhadap relativisme, yaitu pandangan bahwa semua bentuk
pengetahuan dapat dibenarkan karena dibangun oleh para siswa terutama jika
pengetahuan-pengetahuan tersebut mencerminkan konsesus masyarakat.

2.10 Implikasi Teori Belajar Konstruktivisme dalam Pembelajaran Yang Sesuai


Dengan Pendidikan Abad 21

Implikasi pada pembelajaran kontruktivisme yang sesuai dengan pendidikan abad 21


di sekolah-sekolah di Indonesia mengharuskan semua pendidikan harus menguasai ICT
literacy Skill. Guru, siswa, bahkan orangtua siswa harus melek teknologi dan media
komunikasi, dapat melakukan komunikasi yang efektif, berpikir kritis, dapat memecahkan
masalah dan bisa berkolaborasi. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya
konstruktivisme memandang belajar sebagai suatu proses mengkonstruksi pengetahuan
melalui keterlibatan fisik dan mental secara aktif. Belajar juga merupakan suatu proses
asimilasi dan menghubungkan bahan yang dipelajari dengan pengalaman-pengalaman
yang dimiliki seseorang sehingga pengetahuan yang dimilikinya menjadi semakin kuat.
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut:

a. Tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan


individu atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap
persoalan yang dihadapi.
b. Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari
c. Peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai
bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
d. Jika kita cermati bahwa peran aktif siswa yang sangat penting di dalam
pembelajaran konstruktivisme, ada baiknya kita bandingkan dengan pandangan
behaviorisme yang memandang bahwa belajar merupakan aktivitas pengumpulan
informasi yang diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan konstruktivisme
mengemukakan bahwa pengetahuan itu adalah kegiatan aktif siswa meneliti
23
lingkungannya (Bettercourt dalam Aunurahman: 2009). Karena siswa aktif berperan
membangun pengetahuan dan pemahamannya sendiri, maka setiap siswa harus
mengetahui kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya.Siswa hendaknya memahami
karakteristik gaya belajarnya. Sebagai contoh terdapat sebagian siswa yang merasa
sangat terbantu mengingat suatu informasi atau konsep tertentu jika yang dia
pelajari dibuat dalam bentuk skema, gambar atau symbol tertentu, sedangkan siswa
yang lain sangat terbantu memahami suatu konsep jika mereka diberi kesempatan
membuat kesimpulan yang mereka susun sendiri. Untuk itu Menurut Stephen Walker
Fungsi dari seorang guru modern adalah sebagai seorang Fasilitator yaitu seseorang
yang membantu siswa untuk belajar untuk mereka sendiri.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Teori belajar sosial adalah pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengamati
dan meniru perilaku orang lain. Dengan kata lain, informasi diperoleh dengan memerhatikan
kejadian-kejadian dalam lingkungan. Dalam percobaan boneka Bobo, Bandura
mengilustrasikan bagaimana pembelajaran sosial dapat terjadi bahkan dengan menyaksikan
seorang model yang tidak diperkuat atau dihukum. Dalam eksperimen tersebut, anak  –  
anak meniru seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya. Eksperimen tersebut
juga menunjukkan perbedaan pembelajaran dan kinerja.

Pada dasarnya Teori konstruktivisme diartikan sebagai suatu pendekatan di mana


siswa harus secara individual menemukan dan menstransformasikan informasi yang

24
kompleks, memeriksa informasi dengan aturan yang ada dan merevisinya bila perlu. Konsep
dasar konstruktivisme merupakan suatu unsur dimana seseorang dapat membina
pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada. Peranan (Implementasi) Teori Konstruktivisme bila
diterapkan di kelas akan terbentuk: a) Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam
belajar. b) Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa
waktu kepada siswa untuk merespon. c) Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi. d) Siswa
terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya.

3.2 Saran

Sebagai seorang pendidik tentunya kita harus bisa mengenal karakteristik pesera
didik kita agar dapat dengan mudah kita mengetahui tipe pembelajaran yang seperti apa
yang sebaiknya digunakan oleh peserta didik kita. Selain itu berdasarkan teori pembelajar
social, tentunya seorang pendidik harus bisa mengkolaborasikan berbagai teori belajar yang
ada.

DAFTAR PUSTAKA

Santrock, John. W. 2008. Psikologi Pendidikan, Edisi Kedua .Jakarta : Kencana Trianto.


2010. Model Pembelajaran Terpadu. Jakarta : PT Bumi Aksara

Dahar, Ratna Wilis. 2006. Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Erlangga

Dalyono, Psokologi pendidikan, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.

Jeanne, Ormrod, Edisi Ke 6 Psikologi Pendidikan Membantu Siswa Tumbuh dan


Berkembang, Jakarta: Erlangga, 2008.

Rusman, Model-Model Pada Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru Edisi 2,


Jakarta: Rajawali Press, 2012.

Suyono, Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar, PT Remaja Rosdakarya:
Bandung, 2011.

25
26

Anda mungkin juga menyukai