Anda di halaman 1dari 5

1.

Teori Bruner
Jerome S. Bruner (1915) adalah seorang ahli Psikologi perkembangan dan
ahli psikologi belajar kognitif. Pendekatannya tentang psikologi adalah
eklektik. Penelitiannya yang demikian banyak itu meliputi persepsi
manusia, motivasi, belajar, dan berpikir.  Dalam mempelajari manusia ia
menganggap manusia sebagai proses pemikir dan pencipta informasi
(dalam Wilis Dahar,1988;118).

Dalam teorinya (dalam Suherman E., 2003;43) menyatakan bahwa belajar


matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan struktur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan
yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep
dan struktur-struktur. Dengan mengenal konsep dan struktur yang tercakup
dalam bahan yang sedang dibicarakan anak akan memahami materi yang
harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai
suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah dipahami dan diingat
anak.

Bruner melalui teorinya itu  (dalam Suherman E., 2003) mengungkapkan


bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya diberi kesempatan untuk
memanipulasi benda-benda (alat peraga). Melalui alat peraga yang
ditelitinya itu anak akan melihat langsung bagaimana keteraturan dan pola
struktur yang terdapat dalam benda yang sedang diperhatikan itu.
Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan keterangan
intuitif yang telah melekat pada dirinya. 

Dengan memanipulasi alat-alat peraga siswa dapat belajar melalui


keaktifannya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruner (dalam
Suwarsono 2002;25) belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar (melebihi)
informasi yang diberikan pada dirinya. Sebagai contoh, seorang siswa
yang mempelajari bilangan prima akan bisa menemukan berbagai hal yang
penting dan menarik tentang bilangan prima, sekalipun pada awal mula
guru hanya memberikan sedikit informasi tentang bilangan prima kepada
siswa tersebut. Teori Bruner tentang kegiatan manusia tidak terkait dengan
umur atau tahap perkembangan.  

Menurut Bruner jika seseorang mempelajari suatu pengetahuan (Misalnya


mempelajari suatu konsep matematika), pengetahuan itu perlu dipelajari
dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi
dalam pikiran struktur kognitif orang tersebut.  Proses internalisasi akan
terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses belajar terjadi secara
optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga tahap
yang macamnya dan urutannya adalah sebagai berikut (dalam Suwarsono
2002;26) :
1. Tahap enaktif yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan
dimana pengetahuan itu dipelajari secara aktif dengan menggunakan
benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata.
2. Tahap ikonik yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan
dimana pengetahuan itu direpresentasikan atau diwujudkan dalam
bentuk bayangan visual atau visual imagery gambar atau diagram yang
menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat
pada tahap enaktif tersebut di atas.
3. Tahap simbolik yaitu suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan
itu direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak abstrak
simbol yaitu simbol-simbol arbiter yang dipakai Berdasarkan
kesepakatan orang-orang dalam bidang yang bersangkutan baik simbol
simbol verbal misalnya huruf-huruf kata-kata kalimat-kalimat
lambang-lambang matematika maupun lambang-lambang abstrak
lainnya

2. Teori van Hiele


Menurut van Hiele ada tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu
waktu, materi pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika
ketiga unsur ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan
berpikir anak kepada tahapan berpikir yang lebih tinggi.

Teori van Hiele yang dikembangkan oleh dua pendidik berkebangsaan


Belanda, Ppierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof. menjelaskan
perkembangan berpikir siswa dalam belajar geometri
Mayb,1983:58). Menurut Teori van Hiele seseorang akan melalui lima
tahap perkembangan berpikir dalam belajar geometri
(Crowley,1987:1). Kelima tahap perkembangan berpikir van Hiele adalah
tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), tahap 2 (dedukasi informal), tahap
3 (dedukasi), dan tahap 4 (Rigor).

Tahap berpikir Van hiele dapat dijelaskan sebagai berikut

1. Tahap 0 (Visualisasi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap dasar, tahap rekognisi, tahap
holistic, dan tahap visual. Pada tahap ini siswa mengenal bentuk-
bentuk geometri hanya sekedar berdasarkan karakteristik visual dan
penampakannya.  Siswa secara eksplisit tidak terfokus pada sifat-sifat
objek yang diamati, tetapi memandang objek sebagai keseluruhan.
Oleh karena itu, pada tahap ini siswa tidak dapat memahami dan
menentukan sifat geometri dan karakteristik bangun yang ditunjukkan.

2. Tahap 1 (Analisis)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deskriptif. Pada tahap ini sudah
tampak adanya analisis terhadap konsep dan sifat-sifatnya. Siswa dapat
menentukan sifat-sifat suatu bangun dengan melakukan pengamatan,
pengukuran, eksperimen, menggambar, dan membuat model, misalnya
di saat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa
terdapat dua pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi
tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan
benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa
bujur sangkar adalah persegi panjang atau bujur sangkar adalah belah
ketupat dan sebagainya.

3. Tahap 2 (Dedukasi Informal)


Tahap ini juga dikenal dengan tahap abstrak, tahap abstrak/relasional,
tahap teoritik, dan tahap pengurutan. Hoffer (dalam Orton,1992:72)
menyebut tahap ini dengan tahap ordering. Pada tahap ini siswa sudah
dapat melihat hubungan sifat-sifat pada suatu bangun geometri dan
sifat-sifat antara beberapa bangun geometri. Siswa dapat membuat
definisi abstrak menemukan sifat-sifat dari berbagai bangun dengan
menggunakan edukasi informal dan dapat mengklasifikasikan bangun-
bangun secara hierarki. Namun kemampuan ini belum berkembang
secara penuh satu hal yang perlu diketahui adalah anak pada tahap ini
sudah mulai mampu mengurutkan misalnya ia sudah mengenali bahwa
bujur sangkar adalah jajargenjang bahwa belah ketupat adalah layang-
layang.

4. Tahap 3 (Dedukasi)
Tahap ini juga dikenal dengan tahap deduksi formal. Dalam tahap ini
siswa sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni
penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal
yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa
pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, disamping
unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai
memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu
menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam
pembuktian. 

5. Tahap 4 (Akurasi)
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya
ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian.
Misalnya ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat
postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir
yang tinggi rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan
Jika beberapa anak meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan
atas masih belum sampai pada tahap berpikir ini.

Setiap tahap dalam teori Van hiele akan dilalui siswa secara berurutan
Keyes, 1997 dan Anne, 1999). Dengan demikian siswa harus melewati
suatu tahap dengan matang sebelum menuju tahap berikutnya. Kecepatan
berpindah dari suatu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak bergantung
pada isi dan metode pembelajaran daripada umur dan kematangan
(Crowly,1987:4; Schoen dan Hallas 1993:108 dan Keyes, 1997). Dengan
demikian guru harus menyediakan pengalaman belajar yang cocok dengan
tahap berpikir siswa.

Anda mungkin juga menyukai