Anda di halaman 1dari 117

8tunas8s Blog

Just another WordPress.com weblog

Beranda

TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER

keluarga berencana (KB) dalam pandangan Islam

ijarah

Hakikat Manusia dalam Pandangan Psikologi

TEORI-TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK SERTA PENERAPANNYA DALAM PAI

Search...

TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME


S. BRUNER
by: Tunas Fuaidah
Unduh file klik
TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER
1. A. Biografi J. S. Bruner

Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari
Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang
memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia,
bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan.
Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta
informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan
manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya.
1. B. Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner
Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata pelajaran
dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak
dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan sebagian besar atas
penelitian Jean Piaget tentang perkembangan intelektual anak. Berhubungan dengan hal itu,
antara lain:
1. Perkembangan intelektual anak
Menurut penelitian J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.
1. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan
dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas
antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum
dapat memahami dasar matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah
tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan
konsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.
2. 2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu internalized, artinya dalam
menghadapi suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan
perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf
operai kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya
secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata
atau kongkrit atau yang belum pernah dialami sebelumnya.
3. 3. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan
kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya
sebelumnya.[1]
4. Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu:
1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi)

Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai
materi yang sedang dipelajari.
1. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau ditransformasikan
menjadi bentuk yang abstrakatau konseptual.
1. Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah
ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
[2]
1. Kurikulum spiral
J. S. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatan dengan bentuk spiral.
Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah menanamkan konsep dan dimulai
dengan benda kongkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai
dengan kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yang abstrak dengan
menggunakan notasi yang lebih umum dipakai dalam matematika. Penggunaan konsep Bruner
dimulai dari cara intuitif keanalisis dari eksplorasi kepenguasaan. Misalnya, jika ingin
menunjukkan angka 3 (tiga) supaya menunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya.
Contoh himpunan tiga buah mangga. Untuk menanamkan pengertian 3 diberikan 3 contoh
himpunan mangga. Tiga mangga sama dengan 3 mangga.[3]
1. B. Alat-Alat Mengajar
Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurut fungsinya.
1. alat untuk menyampaikan pengalaman vicarious. Yaitu menyajikan bahan-bahan
kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman
langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll.
2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala,
misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi,
juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu prinsip atau
struktur pokok.
3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film
tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian
tentang suatu ide atau gejala.

4. Alat automatisasi seperti teaching machine atau pelajaran berprograma, yang


menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi ballikan atau feedback
tentang responds murid.[4]
1. C. Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk
contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh
adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan
pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini apakah nama bentuk ubin yang sering
digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat
digunakan?
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang
dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. (Anita
W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16)
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di
sekolah dasar.
1. Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang?
Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan
contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang,
trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a. Tahap Enaktif.
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam
memanipulasi (mengotak atik)objek.
(a)
Untuk gambar

ukurannya:

Panjang = 20 satuan , Lebar

ukurannya:

Panjang = 10 satuan , Lebar = 2 satuan

ukurannya:

Panjang = 5 satuan , Lebar

= 4 satuan

= 1 satuan

b. Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak,
berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
Penyajian pada tahap ini apat diberikan gambar-gambar dan Anda dapat berikan sebagai berikut.
c. Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu.
Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang.
Jika simbolis ukuran panjang p, ukuran lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang L
maka jawaban yang diharapkan

L = p x l satuan

Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan
intuisinya.Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan
yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
5. Tidak semua materi yang ada dalam matematika sekoah dasar dapat dilakukan dengan
metode penemuan.
BAB III
ANALISIS
Bruner menjadi sangat terkenal karena dia lebih peduli terhadap proses belajar daripada hasil
belajar,metode yang digunakannya adalah metode Penemuan (discovery learning).Discovery
learning dari Bruner merupakan model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan pada
pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivitas.

Dalam Teori Bruner dengan metode Penemuan (discovery learning), kekurangannya tidak bisa
digunakan pada semua materi dalam matematika hanya beberapa materi saja yang dapat
digunakan dengan metode penemuan.
Teori belajar matematika menurut J.S. Bruner tidak jauh berbeda dengan teori J. Piaget. Menurut
teori J.S. Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalah dengan melakukan
penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar konsep, pengertian akan lebih
melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi (model) konsep dilakukan oleh
siswa sendiri dan antara pelajaran yang lalu dengan yang dipelajari harus ada kaitannya
Menurut Bruner, agar proses mempelajari sesuatu pengetahuan atau kemampuan berlangsung
secara optimal, dalam arti pengetahuan taua kemampuan dapat diinternalisasi dalam struktur
kognitif orang yang bersangkutan.Kemampuan tersebut dibagi dalam 3 tahap yaitu, tahap
enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyati, Psikologi Belajar, Yogyakarta: C.V. Andi Offset. 2005
Nasution, S., Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.
2000
Simanjutak, Lisnawaty, Metode Mengajar Matematika, Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT
Rineka Cipta. 1998
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006

Teori Belajar Thorndike

Edwar L. Thorndike (1874 1949) mengemukakan bahwa belajar adalah potensi interaksi antara
stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar

seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon adalah
reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau
gerakan (tindakan). Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan atau
tingkah laku akibat kegiatan belajar itu dapat berwujud konkret yang dapat diamati.

Teori Belajar Pavlop

Pavlop terkenal dengan teori belajar klasiknya dan seorang penganut aliran tingkah laku
(Behaviorisme) yaitu aliran yang berpendapat, bahwa hasil belajar manusia itu didasarkan
kepada pengamatan tingkah laku manusia yang terlihat melalui stimulus respons dan belajar
bersyarat (Conditioning Learning). Menurut aliran ini tingkah laku manusia termasuk organisme
pasif yang bisa dikendalikan. Tingkah laku manusia bisa dikendalikan dengan cara memberi
ganjaran dan hukuman.

Teori Belajar Baruda

Albert Baruda merupakan tokoh aliran tingkah laku yang terkenal dengan belajar menirunya.
Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru hal-hal yang dilakukan oleh
orang lain, terutama guru.

Teori Belajar Skinner

Burrhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan mempunyai peranan yang
amat penting dalam proses belajar. Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan. Ganjaran
merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan tingkah laku yang sifatnya
subyektif, sedangkan penguatan merupakan suatu yang mengakibatkan meningkatnya
kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan
diukur. Teori Skinner menyatakan penguatan terdiri atas penguatan positif dan penguatan negatif.
Penguatan dapat dianggap sebagai stimulus positif, jika penguatan tersebut seiring dengan
meningkatnya perilaku siswa dalam melakukan pengulangan perilakunya itu. Dalam hal ini
penguatan yang diberikan kepada siswa memperkuat tindakan siswa, sehingga siswa semakin
sering melakukannya.
Penguatan negatif adalah bentuk stimulus yang lahir akibat dari respon siswa yang kurang atau
tidak diharapkan. Penguatan negatif diberikan agar respon yang tidak diharapkan atau tidak
menunjang pada pelajaran tidak diulangi siswa.

Teori Ausubel

Ausubel terkenal dengan teori belajar bermaknanya. Ausubel (Isjoni, 2011:35) mengemukakan
Bahan pelajaran yang dipelajari haruslah bermakna (meaning full). Pembelajaran bermakna
merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. David P. Ausubel (Ruseffendi, E.T., 2006:172) membedakan
dua jenis belajar yaitu belajar menerima dengan belajar menemukan. Pada belajar menerima
bentuk akhir dari yang diajarkan itu diberikan, sedangkan pada belajar menemukan bentuk akhir
harus dicari peserta didik. Selain itu Ausubel juga membedakan antara belajar menghafal dengan
bermakna. Pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya tetapi

pada belajar bermakna, materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain
sehingga belajarnya lebih bisa dimengerti.

Teori Gagne

Robert M. Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian mengenai
fase-fase belajar, tipe-tipe kegiatan belajar, dan hirarki belajar. Dalam penelitiannya ia banyak
menggunakan materi matematika sebagai medium untuk mengujipenerapan teorinya (Depdiknas,
2005:13).
Teori yang diperkenalkan Robert M.Gagne pada tahun 1960-an pembelajaran harus dikondisikan
untuk memunculkan respons yang diharapkan.Menurut Gagne (dalam Ismail 1998), belajar
matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak langsung.

Objek-objek langsung pembelajaran matematika terdiri atas :

a. Fakta-fakta matematika
b. Ketrampilan-ketrampilan matematika
c. Konsep-konsep matematika
d. Prinsip-prinsip matematika

Objek-objek tak langsung pembelajaran matematika adalah :

a. Kemampuan berfikir logis


b. Kemampuan memecahkan masalah
c. Sikap positif terhadap matematika
d. Ketekunan
e. Ketelitian

Teori Piaget

Teori belajar Piaget terkenal dengan teori perkembangan mental manusia, yang dimaksud
Mental pada teorinya adalah intelektual atau kognitifnya. Teorinya disebut teori belajar sebab
berkenan dengan kesiapan anak untuk mampu belajar. Piaget (Slavin, Robert E., 2009:37)
mengemukakan Pengetahuan tentang perangkat sosial bahasa, nilai-nilai, peraturan, moralitas,
dan sistem simbol (seperti membaca dan matematika) hanya dapat dipelajari dalam interaksi
dengan orang lain.

Teori Bruner

Menurut Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep dan strukturstruktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu,(dalam Hudoyo, 1990:48) Dalam setiap
kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang
sesuai dengan situasi (contextual problem).Dengan mengajukan masalah kontekstual,peserta
didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan tekhnologi informasi

dan komunikasi seperti komputer, alat peraga atau media lainnya. Bruner melalui teorinya
mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak baiknya diberi kesempatan memanipulasi
benda-benda atau alat peraga yang dirancang secara khusus dan dapat diotak atik oleh siswa
dalam memahami suatu konsep matematika.Melalui alat peraga yang ditelitinya anak akan
melihat langsung bagaiman keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang
diperhatikannya.

Teori Belajar William Brownell

Menurut William Brownell (1935) bahwa belajar itu pada hakekatnya merupakan suatu proses
yang bermakna. Ia mengemukakan bahwa belajar matematika itu harus merupakan belajar
bermakna dan pengertian.
Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Brownell mengemukakan apa yang
disebut Meaning Theory(Teori Makna) sebagai alternatif dari Drill theory (Teori Latihan
hafalUlangan).

Teori Gestalt

Psikologi Gestalt dikembangkan di Eropa (Jerman) pada sekitar tahun 1920-an . Psikologi
Gestalt memperkenalkan dan mempresentasikan suatu pendekatan belajar yang berbeda secara
mendasar dengan teori asosiasi atau teori tingkah laku (behaviorism) . Teori Gestalt dibuat dan
dibangun dari data-data , khususnya hasil eksperimen yang sebelumnya belum bisa dijelaskan
oleh para ahli psikologi . Meskipun pada awalnya psikologi Gestalt hanya berpusat kepada
fenomena yang dapat dirasa (yang bersifat khusus) , tetapi pada akhirnya difokuskan pada
fenomena yang lebih umum , yaitu hakekat belajar dan pemecahan masalah .

Teori Dienes

Menurut Dienes bahwa konsep-konsep matematika itu akan lebih berhasil dipelajari bila melalui
tahapan tertentu. Tahapan belajar menurut Dienes itu ada enam tahapan secara berurutan, yaitu
sebagai berikut.

Bermain bebas (Free Play)

Permainan (Games)

Penelaahan kesamaan sifat (searcing for Communities)

Representasi (Representation) Simbolisasi (Symbolization)

Formalisasi (Formalitation).

Teori Van Hiele

Menurut Van Hiele ada tiga unsur utama dalam pengajaran Geometri, yaitu waktu, materi
pengajaran, dan metode pengajaran yang diterapkan. Jika ketiga unsur utama tersebut dilalui
secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa kepada tahapan berpikir yng
lebih tinggi.
Adapun tahapan-tahapan anak belajar Geometri menurutnya ada lima tahapan, yaitu tahap
pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan akurasi.

Belajar Menurut Teori Bruner


REP | 17 September 2013 | 17:14 Dibaca: 704

Komentar: 0

Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) proses perolehan informasi
baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima dan (3) menguji relevansi dan
ketepatan pengetahuan. Ketiga tahapan itu dikenal dengan model tahap enaktif, model ikonik dan
model

tahap

simbolik.

Perolehan

informasi

baru

dapat

terjadi

melalui

kegiatan

membaca/mengamati, mendengarkan dan bertanya untuk mendapatkan penjelasan guru


mengenai materi yang diajarkan atau mengeksplorasi pengetahuannya dengan perangkat audio
visual, multimedia dan lain-lain. Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diasosiasi
menjadi suatu kesimpulan baru atau konsep yang lebih abstrak agar suatu saat dapat
dimanfaatkan.
Menurut Bruner (dalam Hudojo 1988:56) belajar matematika adalah belajar mengenai
konsep-konsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari,
serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika itu. Ini
menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola atau struktur tertentu akan lebih mudah
dipahami dan diingat peserta didik. Hal ini sejalan dengan nafas kurikulum 20013 yang baru
dilauching pemerintah yaitu pendidikan yang lebih berpusat pada peserta didik, meskipun dalam
pelaksanaannya masih memerlukan penyesuaian dengan paradigm pendidikan yang selama ini
telah berjalan yang lebih berpusat pada guru.

Pembelajaran semestinya dapat mengembangkan keterampilan intelektual peserta didik


dalam mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika), untuk itu materi
pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/pengetahuan
peserta didik agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) peserta
didik tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti proses
belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari dalam tiga model
tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap simbolik. Kontribusi Teori
Bruner dalam hal ini terutama terkait dengan teori keterhubungan antara satu konsep dengan
konsep yang lain sehingga mampu meningkatkan kompetensi kognitif peserta didik.
Teori Bruner adalah teori belajar matematika yang mengembangkan tahapan belajar matematika
anak SD berdasarkan fase perkembangan intelektual anak SD menurut Jean Piagget. Pada teori
Bruner, terdapat tiga tahapan belajar, yaitu tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik. Tahap
enaktif adalah tahap yang dilakukan anak untuk menggunakan atau memanipulasi objek-objek
secara langsung. Tahap ikonik adalah memanipulasi dengan memakai gambaran dari objekobjek. Tahap
simbolik adalah tahap yang mengajak anak untuk memanipulasi simbol-simbol secara langsung
dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek. Pembelajaran adalah kegiatan guru dan siswa
yang diatur secara terprogram yang bertujuan untuk
membuat siswa memiliki pengalaman baru dengan cara menggunakan media serta sumber
belajar yang sesuai dengan karakter siswa. Matematika adalah ilmu mengenai konsep-konsep
yang berhubungan dengan matematika yang dipelajari secara induktif.
Luas bangun datar adalah luas daerah suatu bangun datar yang dibatasi oleh garis. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk menerapkan teori Bruner dalam
pembelajaran matematika materi luas bangun datar di kelas IV SD Santo Andreas. Jenis
penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Subjek penelitian 31 orang yang terdiri
dari peneliti, guru observer, dan 29 siswa. Penelitian terdiri dari dua siklus. Setiap siklus yang
dilaksanakan terdiri dari dua pertemuan. Penerapan teori Bruner pada siklus pertama bertujuan
untuk menerapkan tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik dalam memahami materi luas
bangun datar, khususnya jajar genjang. Penerapan teori Bruner pada siklus kedua, bertujuan
untuk menerapkan tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik dalam memahami materi luas
bangun datar, khususnya segitiga. Setelah kedua siklus telah terlaksana, dilakukan tes yang
digunakan untuk melihat hasil pembelajaran dengan penerapan
teori Bruner pada luas jajar genjang dan segitiga. Hasil rata-rata siklus I adalah 81,891, hasil
rata-rata siklus II adalah 75,795, dan hasil rata-rata tes yang diperoleh adalah 80,482.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disarankan bahwa teori Bruner dapat diterapkan dalam
pembelajaran matematika materi luas bangun datar khusunya jajar genjang dan segitiga.

Opini AndaKlik untuk menuliskan opini Anda tentang koleksi ini!

Teori Belajar Matematika Menurut Bruner, Gagne, Thorndike, Skinner, Piaget

TEORI BELAJAR MATEMATIKA


1.

Teori Belajar Bruner


Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi
(1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi
kognitif yang memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada
pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan
mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, atau
memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran
teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta
informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang
memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang
diberikan kepada dirinya.

Ada tiga proses kognitif yang terjadi dalam belajar, yaitu (1) prose perolehan
informasi baru, (2) proses mentransformasikan informasi yang diterima dan (3)
menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan.Perolehan informasi baru dapat
terjadi melalui kegiatan membaca, mendengarkan penjelasan guru mengenai
materi yang diajarkan atau mendengarkan audiovisual dan lain-lain.Proses
transformasi
pengetahuan
merupakan
suatu
proses
bagaimana
kita
memperlakukan pengetahuan yang sudah diterima agar sesuai dengan
kebutuhan.Informasi yang diterima dianalisis, diproses atau diubah menjadi konsep
yang lebih abstrak agar suatu saat dapat dimanfaatkan.
Menurut Bruner belajar matematika adalah belajar mengenai konsep-konsep
dan struktur-struktur matematika yang terdapat didalam materi yang dipelajari
serta mencari hubungan antara konsep-konsep dan struktur-struktur matematika
itu,(dalam Hudoyo, 1990:48) Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika
hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi
(contextual problem).Dengan mengajukan masalah kontekstual,peserta didik secara
bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan

tekhnologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga atau media
lainnya.
Bruner melalui teorinya mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak
baiknya diberi kesempatan memanipulasi benda-benda atau alat peraga yang
dirancang secara khusus dan dapat diotak atik oleh siswa dalam memahami suatu
konsep matematika.Melalui alat peraga yang ditelitinya anak akan melihat langsung
bagaiman keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang
diperhatikannya.Peran guru adalah :
1. perlu memahami struktur pelajaran
2. pentingnya belajar aktif supaya seorang dapat menemukan sendiri konsepkonsep sebagai dasar untuk memahami dengan benar
3. pentingnya nilai berfikir induktif.
Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang berarti
proses belajar secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dalam 3 model
yaitu :
1. Model Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara
langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak atik)objek.
2. Model Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran
internal dimana pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau
grafik yang dilakukan anak, berhubungan dengan mental yang merupakan
gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
3. Model Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi
Simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu.
Selain mengembangkan teori perkembangan kognitif ,Bruner mengemukakan
teorema atau dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran matematika.Berdasarkan
hasil-hasil eksperimen dan observasi yang dilakukan oleh Bruner pada tahun 1963
mengemukakan empat teorema /dalil-dalil berkaitan dengan pengajaran
matematika yang masing-masing disebut teorema atau dalil .Keempat dalil
tersebut adalah :
a. Dalil Konstruksi / Penyusunan ( Contruction theorem)

Didalam teorema konstruksi dikatakan cara yang terbaik bagi seorang siswa
untuk mempelajari sesuatu atau prinsip dalam matematika adalah dengan
mengkontruksi atau melakukan penyusunan sebuah representasi dari konsep atau
prinsip tersebut.
b. Dalil Notasi (Notation Theorem)
Menurut teorema notasi representase dari suatu materi matematika akan
lebih mudah dipahami oleh siswa apabila didalam representase itu digunakan notasi
yang sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa.
c. Dalil Kekontrasan dan Variasi ( Contras and Variation Theorem)
Menurut teorema kekontrasan dan variasi dikemukakan bahwa suatu konsep
matematika akan lebih mudah dipahami oleh siswa apabila konsep itu dikontraskan
dengan konsep-konsep yang lain sehingga perbedaan antar konsep itu dengan
konsep-konsep yang lain menjadi jelas.
d. Dalil Konektivitas dan Pengaitan (Conectivity Theorem)
Didalam teorema konektivitas disebut bahwa setiap konsep, setiap prinsip,
dan setiap ketramplan dalam matematika berhubungan dengan konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan ketrampilan-ketrampilan lain.
Metode Penemuan
Satu hal yang membuat Bruner terkenal karena dia lebih peduli terhadap
proses belajar daripada hasil belajar, menurutnya belajar merupakan faktor yang
menentukan dalam pembelajaran dibandingkan dengan perolehan khusus, yaitu
metode penemuan (dicovery).Discovery learning dari Bruner merupakan model
pengajaran yang melambangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang
pembelajaran dalam prinsip konstruksitivis dan discovery learning siswa didorong
untuk belajar sendiri secara mandiri.
Adapun tahap-tahap penerapan belajar penemuan adalah :
1. Stimulus ( pemberian perangsang)
2. Problem Statement (mengidentifikasi masalah)
3. Data collection ( pengumpulan data)
4. Data Prosessing (pengolahan data)
5. Verifikasi
6. Generalisasi
2.

Teori Belajar Gagne

Teori yang diperkenalkan Robert M.Gagne pada tahun 1960-an pembelajaran


harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang diharapkan.Menurut Gagne
(dalam Ismail 1998), belajar matematika terdiri dari objek langsung dan objek tak
langsung.
1. Objek-objek langsung pembelajaran matematika terdiri atas :
a. Fakta-fakta matematika
b. Ketrampilan-ketrampilan matematika
c. Konsep-konsep matematika
d. Prinsip-prinsip matematika
2. Objek-objek tak langsung pembelajaran matematika adalah :
a. Kemampuan berfikir logis
b. Kemampuan memecahkan masalah
c. Sikap positif terhadap matematika
d. Ketekunan
e. Ketelitian
Taksonomi Gagne
Menurut Gagne tingkah laku manusia sangat bervariasi dan berbeda
dihasilkan dari belajar. Kita dapat mengklasifikasikan tingkah laku sedemikian rupa
sehingga dapat diambil implikasinya yang bermanfaat dalam proses belajar.Gagne
mengemukakan bahwa ketrampilan-ketrampilan yang dapat diamati sebagai hasilhasil belajar disebut kemampuan-kemampuan atau disebut juga kapabilitas.
Lima Macam Hasil Belajar Gagne
Gagne mengemukakan 5 macam hasil belajar atau kapabilitas tiga bersifat
kognitif, satu bersifat afektif dan satu bersifat psikomotor.Hasil belajar menjadi lima
kategori kapabilitas sebagai berikut :
1. Informasi verbal
Kapabilitas
informasi
verbal
merupakan
kemampuan
mengkomunikasikan secara lisan pengetahuannya tentang fakta-fakta.

untuk

2. Ketrampilan Intelektual
Kapabilitas ketrampilan intelektual merupakan kemampuan untuk dapat
membedakan, menguasai konsep aturan, dan memecahkan masalah.

Kapabilitas Ketrampilan Intelektual oleh Gagne dikelompokkan dalam 8 tipe belajar


yaitu :
a. Belajar Isyarat
b. Belajar stimulus Respon
c. Belajar Rangkaian Gerak
d. Belajar Rangkaian Verbal
e. Belajar membedakan
f. Belajar Pembentukan konsep
g. Belajar Pembentukan Aturan
h. Belajar Memecahkan Masalah
3. Strategi Kognitif
Kapabilitas Strategi Kognitif adalah Kemampuan untuk mengkoordinasikan
serta mengembangkan proses berfikir dengan cara merekam, membuat analisis dan
sintesis.
4. Sikap
Kapabilitas Sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat
terhadap stimulus atas dasar penilaian terhadap stimulus tersebut.
5. Ketrampilan motorik
Untuk dapat mengetahui seseorang memiliki kapabilitas ketrampilan motorik
dapat dilihat dari segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot serta
anggota badan yang diperlihatkan orang tersebut.
Fase-fase kegiatan Belajar menurut Gagne
Robert M.Gagne adalah seorang ahli psikologi yang banyak melakukan penelitian
diantaranya fase-fase kegiatan belajar yang dibagi dalam empat fase yaitu :
a. Fase Aprehensi
b. Fase Akuisisi
c. Fase Penyimpanan
d. Fase Pemanggilan
3.

Teori Belajar Thorndike

Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike disebut juga


dengan koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar
merupakan proses pembentukkan hubungan antara stimulus dan respon.
Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan
latihan(lawofexercise) dan hukum akibat(lawofeffect).
4.

(lawofreadiness),

hukum

Teori Belajar Skinner


Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran
mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar.

atau

penguatan

Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan


tingkah laku yang sifatnya subjektif.
Pengutan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan
suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan
diukur.
Dalam teori Skinner dinyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan positif
dan penguatan negatif.Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang
diberikan pada anak setelah berhasil menyelesaikan tugas dan sikap guru yang
bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan.
Skiner menambahkan bahwa jika respon siswa baik(menunjang efektivitas
pencapaian tujuan)harus segera diberi penguatan positif agar respon tersebut lebih
baik lagi,atau minimalnya perbuatan baik itu dipertahankan
5.

Teori Belajar Piaget


Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata(Schemas),
yaitu kumpulan dari skema- skema.Seorang individu dapat mengikat, memahami,
dan memberikan respon terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya schemata
ini.
Skemata ini berkembang secara kronologis,sebagai hasil interaksi individu
dengan lingkungannya,sehingga individu yang lebih dewasa memliki struktur
kognitif yang lebih lengkap dari pada ketika iamasih kecil.
Tahap perkembangan kognitif:
Tahap Sensori Motor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini,pengalaman diperoleh melalui
perbuatan fisik(gerakan anggota tubuh)dan sensori(koordinasi alat indra).
Tahap Pra Operasi(2 tahunsampaidengan7 tahun)

Ini
merupakan
tahap
persiapan
untuk
pengorganisasian
operasi
konkrit.Operasi konkrit adalahberupa tindakan- tindakan kognitif seperti
mengklasifikasikan sekelompok objek,menata letak benda berdasarkan urutan
tertentu,dan membilang.
Tahap Operasi Konkrit(7 tahunsampaidengan11 tahun)
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan,
kemampuan mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang
yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible.
Tahap Operasi Formal (11 tahundanseterusnya)
Tahap ini merupakantahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas.
Anak pada tahap ini sudah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan halhal yang abstrak. Anak mampu bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek
atau peristiwanya langsung, dengan hanya menggunakan simbol-simbol, ide-ide,
abstraksi dan generalisasi.

Beranda

TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER

keluarga berencana (KB) dalam pandangan Islam

ijarah

Hakikat Manusia dalam Pandangan Psikologi

TEORI-TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK SERTA PENERAPANNYA DALAM PAI

Search...

TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME


S. BRUNER
by: Tunas Fuaidah
Unduh file klik
TEORI BELAJAR MENGAJAR MENURUT JEROME S. BRUNER
1. A. Biografi J. S. Bruner
Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi (1915) dari
Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang
memberi dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan
berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia,
bagaimana manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan.
Dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta
informasi. Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan
manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang diberikan kepada dirinya.
1. B. Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner
Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata pelajaran
dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak
dalam setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan sebagian besar atas
penelitian Jean Piaget tentang perkembangan intelektual anak. Berhubungan dengan hal itu,
antara lain:
1. Perkembangan intelektual anak
Menurut penelitian J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.
1. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan
dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas
antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum
dapat memahami dasar matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah
tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan
konsep-konsep tertentu kepada anak sangat terbatas.
2. 2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu internalized, artinya dalam
menghadapi suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan
perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf
operai kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung dihadapinya
secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak dihadapinya secara nyata
atau kongkrit atau yang belum pernah dialami sebelumnya.

3. 3. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan
kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya
sebelumnya.[1]
4. Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar
Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu:
1. Tahap informasi (tahap penerimaan materi)
Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai
materi yang sedang dipelajari.
1. Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)
Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau ditransformasikan
menjadi bentuk yang abstrakatau konseptual.
1. Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah
ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi.
[2]
1. Kurikulum spiral
J. S. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatan dengan bentuk spiral.
Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah menanamkan konsep dan dimulai
dengan benda kongkrit secara intuitif, kemudian pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai
dengan kemampuan siswa) konsep ini diajarkan dalam bentuk yang abstrak dengan
menggunakan notasi yang lebih umum dipakai dalam matematika. Penggunaan konsep Bruner
dimulai dari cara intuitif keanalisis dari eksplorasi kepenguasaan. Misalnya, jika ingin
menunjukkan angka 3 (tiga) supaya menunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya.
Contoh himpunan tiga buah mangga. Untuk menanamkan pengertian 3 diberikan 3 contoh
himpunan mangga. Tiga mangga sama dengan 3 mangga.[3]
1. B. Alat-Alat Mengajar
Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam 4 macam menurut fungsinya.
1. alat untuk menyampaikan pengalaman vicarious. Yaitu menyajikan bahan-bahan
kepada murid-murid yang sedianya tidak dapat mereka peroleh dengan pengalaman
langsung yang lazim di sekolah. Ini dapat dilakukan melalui film, TV, rekaman suara dll.

2. Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau prinsip suatu gejala,
misalnya model molekul atau alat pernafasan, tetapi juga eksperimen atau demonstrasi,
juga program yang memberikan langkah-langkah untuk memahami suatu prinsip atau
struktur pokok.
3. Alat dramatisasi, yakni yang mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau tokoh, film
tentang alam yang memperlihatkan perjuangan untuk hidup, untuk memberi pengertian
tentang suatu ide atau gejala.
4. Alat automatisasi seperti teaching machine atau pelajaran berprograma, yang
menyajikan suatu masalah dalam urutan yang teratur dan memberi ballikan atau feedback
tentang responds murid.[4]
1. C. Aplikasi Teori Bruner Dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan. Misal : untuk
contoh mau mengajarkan bentuk bangun datar segiempat, sedangkan bukan contoh
adalah berikan bangun datar segitiga, segi lima atau lingkaran.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep. Misalnya berikan
pertanyaan kepada sibelajar seperti berikut ini apakah nama bentuk ubin yang sering
digunakan untuk menutupi lantai rumah? Berapa cm ukuran ubin-ubin yang dapat
digunakan?
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
Misalnya Jelaskan ciri-ciri/ sifat-sifat dari bangun Ubin tersebut?
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan intuisinya.
Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan yang
dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya. (Anita
W,1995 dalam Paulina panen, 2003 3.16)
Berikut ini disajikan contoh penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran matematika di
sekolah dasar.
1. Pembelajaran menemukan rumus luas daerah persegi panjang?
Untuk tahap contoh berikan bangun persegi dengan berbagai ukuran, sedangkan bukan
contohnya berikan bentuk-bentuk bangun datar lainnya seperti, persegipanjang, jajar genjang,
trapesium, segitiga, segi lima, segi enam, lingkaran.
a. Tahap Enaktif.

Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung terlihat dalam
memanipulasi (mengotak atik)objek.
(a)
Untuk gambar

ukurannya:

Panjang = 20 satuan , Lebar

ukurannya:

Panjang = 10 satuan , Lebar = 2 satuan

ukurannya:

Panjang = 5 satuan , Lebar

= 1 satuan

= 4 satuan

b. Tahap Ikonik
Dalam tahap ini kegiatan penyajian dilakukan berdasarkan pada pikiran internal dimana
pengetahuan disajikan melalui serangkaian gambar-gambar atau grafik yang dilakukan anak,
berhubungan dengan mental yang merupakan gambaran dari objek-objek yang dimanipulasinya.
Penyajian pada tahap ini apat diberikan gambar-gambar dan Anda dapat berikan sebagai berikut.
c. Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi Simbol-simbol atau
lambang-lambang objek tertentu.
Siswa diminta untuk mngeneralisasikan untuk menenukan rumus luas daerah persegi panjang.
Jika simbolis ukuran panjang p, ukuran lebarnya l , dan luas daerah persegi panjang L
maka jawaban yang diharapkan

L = p x l satuan

Jadi luas persegi panjang adalah ukuran panjang dikali dengan ukuran lebar.
Penerapan teori belajar Bruner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
1. Sajikan contoh dan bukan contoh dari konsep-konsep yang anda ajarkan.
2. Bantu si belajar untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep.
3. Berikan satu pertanyaan dan biarkan biarkan siswa untuk mencari jawabannya sendiri.
4. Ajak dan beri semangat si belajar untuk memberikan pendapat berdasarkan
intuisinya.Jangan dikomentari dahulu atas jawaban siswa, kemudian gunakan pertanyaan
yang dapat memandu si belajar untuk berpikir dan mencari jawaban yang sebenarnya.
5. Tidak semua materi yang ada dalam matematika sekoah dasar dapat dilakukan dengan
metode penemuan.

BAB III
ANALISIS
Bruner menjadi sangat terkenal karena dia lebih peduli terhadap proses belajar daripada hasil
belajar,metode yang digunakannya adalah metode Penemuan (discovery learning).Discovery
learning dari Bruner merupakan model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan pada
pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivitas.
Dalam Teori Bruner dengan metode Penemuan (discovery learning), kekurangannya tidak bisa
digunakan pada semua materi dalam matematika hanya beberapa materi saja yang dapat
digunakan dengan metode penemuan.
Teori belajar matematika menurut J.S. Bruner tidak jauh berbeda dengan teori J. Piaget. Menurut
teori J.S. Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalah dengan melakukan
penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar konsep, pengertian akan lebih
melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi (model) konsep dilakukan oleh
siswa sendiri dan antara pelajaran yang lalu dengan yang dipelajari harus ada kaitannya
Menurut Bruner, agar proses mempelajari sesuatu pengetahuan atau kemampuan berlangsung
secara optimal, dalam arti pengetahuan taua kemampuan dapat diinternalisasi dalam struktur
kognitif orang yang bersangkutan.Kemampuan tersebut dibagi dalam 3 tahap yaitu, tahap
enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyati, Psikologi Belajar, Yogyakarta: C.V. Andi Offset. 2005
Nasution, S., Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara.
2000
Simanjutak, Lisnawaty, Metode Mengajar Matematika, Jakarta: PT Rineka Cipta. 1993
Soemanto, Wasty, Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan, Jakarta: PT
Rineka Cipta. 1998
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2006

Hannypoeh's Blog
Pencarian:

IKHLAS BHAKTI BINA BANGSA BERBUDI BAWA


LAKSANA
METODE EKSPOSITORI
BILANGAN BULAT DI SD / MI SERTA RAGAM PERMASALAHANNYA
Des 18

TEORI PIAGET DAN PENERAPANNYA


oleh hannypoeh pada Desember 18, 2011

TEORI PIAGET DAN PENERAPANNYA


DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SD/MI
Makalah ini kami susun guna melengkapi tugas kelompok
mata kuliah Pembelajaan Matematika di MI
Dosen Pembimbing Drs. Triyono, M.Pd
Disusun Oleh :
Kelompok III
1. Hanifah Ganda Utami
2. Islahyatul Mahmudah
3. Nur Hidayah
KELAS : PGMI VI-A
TAHUN AKADEMIK 2010-2011
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA
( STAINU ) KEBUMEN
JL. TENTARA PELAJAR NO. 55 B KEBUMEN TELP/FAX. (0287) 385902
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr .wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah
Pembelajaran Matematika di MI yang kami beri judul Teori Piaget dan Penerapannya dalam
Pembelajaran Matematika di SD/MI .
Dalam penulisan karya tulis ini kami tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak. Untuk itu pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. Yriyono, M.Pd selaku pembimbing mata kuliah Pembelajaran Matematika di MI.
2. Kedua orang tua kami yang telah memberi motivasi kepada kami.
3. Teman-teman kami yang telah memberi semangat.
4. Serta semua pihak yang membantu tersusunnya makalah ini.
Tidak ada yang dapat kami perbuat untuk membalas budi semua pihak kecuali mendoakan

semoga amal baik yang telah diberikan kepada kami termasuk amal shaleh yang diterima di sisi
Allah SWT.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan kami. Semoga karya tulis ini dapat
bermanfaat bagi kami khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum wr. wb.
Kebumen, April 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
KATA PENGANTAR . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
DAFTAR ISI . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
BAB I PENDAHULUAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
A. Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
B. Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB II PEMBAHASAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
A. Pengertian Belajar Menurut Piaget . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
B. Teori Belajar menurut Piaget . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2
C. Tahap Perkembangan Mental . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
D. Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran Matematika di SD/MI . . . . . . . . . 5
BAB III PENUTUP . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
A. Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
B. Saran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
DAFTAR PUSTAKA . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pembelajaran, guru seringkali dihadapkan pada dinamika yang berkaitan dengan
perkembangan peserta didik. Perubahan-perubahan dan perkembangan yang terjadi pada peserta
didik ini harus mendapat perhatian dari guru, karena dengan ini guru dapat memilih strategi
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik yang terlibat dalam proses
pembelajaran.
Ada banyak teori teori belajar dan teori perkembangan moral serta implementasinya dalam
pembelajaran, salah satunya yaitu teori yang dikemukakan oleh Piaget. Piaget mempunyai nama
lengkap Jean Piaget lahir di Swiss tepatnya di Neuchatel pada tahun 1896. Dalam teorinya Piaget
mengemukakan bahwa secara umum semua anak berkembang melalui urutan yang sama, meski
jenis dan tingkat pengalaman mereka berbeda satu sama lainnya. Perkembangan mental anak
terjadi secara bertahap dari tahap yang satu ke tahap yang lebih tinggi. Semua perubahan yang
terjadi pada setiap tahap tersebut merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengubah atau
meningkatkan tahap perkembangan moral berikutnya.
Melihat dari masalah itu kami dari penulis mencoba untuk membahas tentang teori belajar

menurut Piaget. Tidak terlepas dari hal ini semoga makalah ini bisa membantu kesulitan temanteman dalam memahami tentang teori belajar menurut Piaget.
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini akan membahas mengenai beberapa
masalah, antara lain :
1. Bagaimana pengertian belajar menurut Piaget?
2. Bagaimana Pendapat Piaget mengenai proses belajar pada anak-anak?
3. Bagaimana Tahap perkembangan mental anak menurut Piaget?
4. Bagaimana penerapan teori Piaget dalam Pembelajaran Matematika di SD/MI?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Belajar menurut Piaget
Menurut Piaget, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap
perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya
dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan
kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan
Menurut Piaget pengetahuan (knowledge) adalah interaksi yang terus menerus antara individu
dengan lingkungan. Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami
fikiran pebelajar mulai anak-anak sampai dewasa. Konsepsi perkembangan kognitif Piaget,
duturunkan dari analisa perkembangan biologi organisme tertentu. Menurut Piaget, intelegen
(IQ=kecerdasan) adalah seperti sistem kehidupan lainnya, yaitu proses adaptasi.
B. Teori Belajar menurut Piaget
Pendapat Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah:
1. Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa. Mereka bukan
merupakan orang dewasa dalam bentuk anak kecil, mereka mempunyai cara yang khas ntuk
menyatakan kenyataan dan untuk menghayati dunia sekitarnya. Maka memerlukan pelayanan
tersendiri dalam belajar.
2. Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutan yang
sama bagi semua anak.
3. Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu tetapi
jangka waktu untuk berlatih dari satu tahap ke tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap
anak.
4. Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu:
a. Kemasakan
b. Pengalaman
c. Interaksi Sosial
d. Equilibration (proses dari ketiga faktor di atas bersama-sama untuk membangun dan
memperbaiki struktur mental)
5. Ada 4 tahap perkembangan yaitu:
a. Tahap Sensori motor (0-2,0 tahun)
b. Tahap Pre operasional (2,0-7,0 tahun)

c. Tahap konkret (7,0-11,0 tahun)


d. Tahap operasi formal (11,0-dewasa)
C. Tahap Perkembangan Mental
1. Tahap Sensori motor (0 2,0 tahun)
Pada periode ini tingkah laku anak bersifat motorik dan anak menggunakan system penginderaan
untuk mengenal lingkungannya untuk mengenal obyek.
Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta
mempelajari permanensi obyek.
Karakteristik anak yang berada pada tahap ini adalah sebagai berikut:
Berfikir melalui perbuatan (gerak).
Perkembangan fisik yang dapat diamati adalah gerak-gerak refleks sampai ia dapat berjalan
dan bicara.
Belajar mengkoordinasi akal dan geraknya.
Cenderung intuitif egosentris, tidak rasional dan tidak logis.
Contoh : Pengalaman awal bayi dengan payudara ibunya (Inisiasi) dan bayi yang pertama kali
memasukan jari-jarinya ke dalam mulut.
Kemampuan yang dicapai anak pada masa ini:
a) Kemampuan mengontrol secara internal, yaitu terbentuknya control dari dalam pikirannya
terhadap dunia nyata.
b) Perkembangan konsep kenyataan.
c) Perkembangan pengertian beberapa sebab akibat
2. Tahap Pre operasional (2,0 7,0 tahun)
Pada periode ini anak bisa melakukan sesuatu sebagai hasil meniru atau mengamati sesuatu
model tingkah laku dan mampu melakukan simbolisasi.
Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif.
Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:
Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan pengalaman
pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak rela bila barang miliknya dipegang oleh
orang lain.
Anak belum memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang membutuhkan
pemikiran yang dapat dibalik (reversible). Pikiran mereka masih bersifat irreversible.
Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus, dan belum
mampu bernalar (reasoning) secara individu dan deduktif.
Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum mampu
membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak seperti berbohong. Ini terjadi karena
anak belum mampu memisahkan kejadian sebenarnya dengan imajinasi mereka.
Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan isi).
Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa yang mereka percayai.
Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam kelompok yang hanya mempunyai satu sifat
tertentu dan telah mulai mengerti konsep yang konkrit.
Contoh : pandangan anak terhadap dua tanah liat sama besar yang dibulatkan, kemudian bulatan
yang satu dipipihkan dan yang satu tetap dalam keadaan bulat.

3. Tahap konkret (7,0 11,0 tahun)

Pada periode ini anak sudah mampu menggunakan operasi. Pemikiran anak tidak lagi didominasi
oleh persepsi, sebab anak mampu memecahkan masalah secara logis.
(Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret).
Contoh : Anak sudah dapat membedakan ukuran binatang, ataupun sudah dapat
mengelompokkannya.berdasarkan persamaan dan perbedaan ciri yang dimiliki.
4. Tahap formal (11,0 dewasa)
Periode operasi fomal merupakan tingkat puncak perkembangan struktur kognitif, anak remaja
mampu berpikir logis untuk semua jenis masalah hipotesis, masalah verbal, dan ia dapat
menggunakan penalaran ilmiah dan dapat menerima pandangan orang lain.
(Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis).
Contoh : Membuktikan benda-benda yang dapat larut dan yang tidak larut dalam air.
D. Penerapan Teori Piaget dalam Pembelajaran Matematika di SD/MI
Teori kognitif dan teori pengetahuan Piaget sangat banyak mempengaruhi bidang pendidikan,
terlebih pendidikan kognitif. Tahap-tahap pemikiran Piaget sudah cukup lama mempengaruhi
bagaimana para pendidik menyusun kurikulum, memilih metode pengajaran dan juga memilih
bahan ajar terutama di sekolah-sekolah.
Maka dari karya besar Piaget tersebut dapat diimplementasikan pada proses pembelajaran
disekolah sesuai dengan teori perkembangannya itu sendiri. Implementasi pada pembelajaran
matematika yang akan diterakan berikut hanya merupakan bentuk sebagian saja sebagai contoh
yang cocok untuk pengetahuan dan pengembangan terhadap materi pembelajaran itu sendiri.
Tentu yang terpenting adalah kesesuaian dengan pemilihan model, pendekatan serta metode
dalam pembelajaran terhadap materi ajar.
Berikut contoh pembelajaran berdasar pada teori Piaget sesuai tahap perkembangan kognitif
anak usia sekolah.
Pokok Bahasan : Bangun Ruang.
Sub Pokoh Bahasan : 1. Kubus.
1. Balok.
2. Tabung.
3. Prisma.
4. Limas.
5. Kerucut.
6. Bola.
Pembelajaran di tingkat Sekolah Dasar (SD).
Anak sudah mulai diperkenalkan dengan pendalaman bentuk bangun yang dia ketahui tersebut.
Pengelompokan bangun juga mulai hanya diperkenalkan, bahwa kubus, balok dan yang lainnya
termasuk bangun ruang.
Anak-anak juga berkontekstual dengan bangun-bangun tersebut sehingga ada pemahamannya
tentang apa-apa saja yang terdapat pada bangun itu. Seperti kubus, tentu memiliki panjang, lebar
dan juga tinggi.
Keterhubungan unsur yang dimiliki belum dijelaskan.
Melanjutkan pembelajaran di kelas-kelas berikutnya sampai pada operasi-operasi sederhana
yang terdapat pada bangun itu.
Contoh: Gambar & Bentuk Berbagai Bangun Ruang

Penjelasan;
Sesuai kurikulum pembelajaran tematik bangun ruang ini baru diperkenalkan dikelas II SD, itu
artinya pembelajaran-pembelajaran sebelumnya tentu masih mengacu pada pra operasional. Dan
pada pembelajaran selanjutnya di SD ini sudah memasuki tahap Operasi Konkret sesuai teori
perkembangan kognitif Piaget.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan kognitif adalah tahap-tahap perkembangan kognitif manusia mulai dari usia anakanak sampai dewasa; mulai dari proses-proses berpikir secara konkret sampai dengan yang lebih
tinggi yaitu konsep-konsep abstrak dan logis.
Jean Piaget seorang pakar yang banyak melakukan penelitian tentang perkembangan kemampuan
kognitif manusia, mengemukakan dalam teorinya bahwa kemampuan kognitif manusia terdiri
atas 4 tahap dari lahir hingga dewasa. Tahap dan urutan berlaku untuk semua usia tetapi usia
pada saat seseorang mulai memasuki tahap tertentu tidak sama untuk setiap orang. Keempat
tahap perkembangan itu digambarkan dalam teori Piaget sbb:
1. Tahap sensorimotor: umur 0 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya
serta mempelajari permanensi obyek).
2. Tahap pra-operasional: umur 2 7 tahun (Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan
symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif).
3. Tahap operasional konkret: umur 7 11/12 tahun (anak mulai berpikir secara logis tentang
kejadian-kejadian konkret).
4. Tahap operasional formal: umur 11/12 ke atas. (Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis,
abstrak, deduktif dan induktif serta logis dan probabilitas).
Bagi guru matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan teori ini,
guru dapat mengetahui adanya tahap-tahap perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir
anak di kelasnya.
Dengan demikian guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi siswanya, misalnya dalam
memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga dan sebagainya, sesuai
dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Guru
perlu mencermati apakah simbol-simbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar
cukup mudah dipahami siswa, dengan mengingat tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh
masing-masing siswa.
B. Saran
Kami selaku penyusun menyadari masih jauh dari sempurna dan tentunya banyak sekali
kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Hal ini disebabkan karena masih terbatasnya
kemampuan kami.
Oleh karena itu, kami selaku pembuat makalah ini sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun. Kami juga mengharapkan makalah ini sangat bermanfaat untuk kami
khususnya dan pembaca pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar Ratna Willis.Prof.Dr. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK.
_____________________. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:

JICA UPI.
Sardiman, AM. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rapgrapindo
Persada.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT, Rineka Cipta.
Paul Suparno. Prof. 2003. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius.
About these ads

1. TEORI BELAJAR MENURUTPIAGET, BRUNER, DAN GESTLAT D I S U S U N


KELOMPOK TIGA By:1. Yuli Fitriani Sinaga (8126171041)2. Minta Ito Harahap
(8126171023)3. Lilis Saputri (8126171018)

2. TEORI-TEORI BELAJAR1. TEORI BELAJAR MENURUT PIAGET Teori ini


mengatakan bahwa Jika kita akan memberikan pelajaran tentang sesuatu kepada anak
didik, maka kita harus memperhatikan tingkat perkembangan berfikir anak tersebut.
Dengan teori belajar yang disebut Teori Perkembangan Mental Anak (Mental atau
Intelektual dan Kognitif) atau ada pula yang menyebutnya Teori Tingkat Perkembangan
Berfikir Anak telah membagi tahapan kemampuan berfikir anak menjadi empat tahapan
yaitu : Tahap sensori motorik (dari lahir sampai usia 2 tahun) Tahap operasional
awal/pra operasi (usia 2 sampai 7 tahun) Tahap operasional/operasi konkrit (usia 7
sampai 11/12 tahun) Tahap operasional formal (usia 11 tahun ke atas).

3. A. Tahap Sensori Motor (Sensory Motoric Stage) Tahap ini diperoleh melalui
perbuatan fisik (gerakan anggotatubuh) dan sensori (koordinasi alat indra). Pada mulanya
pengalamanitu bersatu dengan dirinya, ini berarti bahwa suatu objek itu ada bilaada pada
penglihatannya. Perkembangan selanjutnya ia mulai berusahauntuk mencari objek yang
asalnya terlihat kemudian menghilang daripandangannya, asal perpindahan terlihat. Akhir
dari tahap ini ia mulaimencari objek yang hilang bila benda tersebut tidak
terlihatperpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaandengan itu
konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Iamulai mampu untuk
melambangkan objek fisik ke dalam simbolmisalnya mulai bisa berbicara meniru suara
kendaraan.

4. B. Tahap Pra Operasi (Pre Operational Stage) Tahap ini adalah tahap persiapan untuk
pengorganisasian operasikonkrit. Istilah operasi yang digunakan oleh Piaget di sini
adalahberupa tindakan-tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikansekelompok objek
(classifying), menata letak benda-benda menuruturutan tertentu (seriation), dan
membilang (counting). Pada tahap inipemikiran anak lebih banyak berdasarkan pada
pengalaman konkritdaripada pemikiran logis, sehingga jika ia melihat obyek-obyek
yangkelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya berbeda pula.a.b.

5. Dari contoh-contoh di atas, tampak bahwa anak masih berada padatahap pra
operasional belum memahami konsep kekekalan(conservation), yaitu kekekalan banyak,
kekekalan materi, kekekalanvolum, kekekalan panjang, dan kekekalan luas dan belum

memahamioperasi yang sifatnya reversible belum dapat memikirkan dua aspek ataulebih
secara bersamaan, belum memahami operasi transformasi (Piaget,1972 : 39).C. Tahap
Operasi Konkrit (Concrete OperationStage) Anak-anak yang berada pada tahap ini
umumnya sudah berada diSekolah Dasar, sehingga sudah semestinya guru-guru SD.
mengetahuibenar kondisi anak pada tahap ini dan kemampuan apa yang
belumdimilikinya. Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahamioperasi logis
dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan initerwujud dalam memahami konsep
kekekalan, kemampuan untukmengklasifikasi dan serasi, mampu memandang suatu objek
dari sudutpandang yang berbeda secara objektif, dan mampu berfikir reversible.

6. D. Tahap Operasi Formal (Formal Operation Stage) Pada tahap ini Anak sudah mulai
mampu berpikir secara abstrak,dia dapat menyusun hipotesis dari hal-hal yang abstrak
menjadi duniareal, dan tidak terlalu bergantung pada benda-benda kongkrit.
Piagetmenekankan bahwa proses belajar merupakan suatu proses asimilasidan akomodasi
informasi ke dalam struktur mental. Asimilasi adalahproses terpadunya informasi dan
pengalaman baru ke dalam strukturmental. Akomodasi adalah hasil perubahan pikiran
sebagai suatuakibat adanya informasi dan pengalaman baru.Contoh : Dalam operasi
penjumlahan, anak memahami 5 + 3 = 8 denganmemanipulasi benda-benda kongkret
yang telah dia kenal. Misalnyadia mempunyai 5 buah jeruk, kakaknya memberikan 3
buah jeruk lagikepada dia. Dia kumpulkan jeruk-jeruk tersebut kemudian
membilangbanyaknya buah jeruk yang dia miliki saat ini. Dengan pengetahuandan
pengalaman yang telah dimiliki, dia mampu menyatakan bahwasekarang jeruknya ada 8
buah.

7. Sekarang dia dapat memisahkan antara konsepbanyaknya jeruk, yaitu 8 buah, yang
terdapat pada suatukumpulan dengan cara-cara jeruk tadi ditata atau diatur,yaitu 5 buah
dan 3 buah. Oleh sebab itu, sekarang diadapat mengkonstruksikan bahwa 8 sama dengan
5 + 3.Dengan perkataan lain, anak pada tahap operasi kongkretsebagai dasar untuk
berpikir abstrak.

8. 2. TEORI BELAJAR MENURUT BRUNER Teori ini mengatakan bahwa Belajar


matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran di arahkan kepada konsep-konsep
dan stuktur yang termuat dalam pokok bahasan yang diajarkan dan dengan menggunakan
alat peraga serta diperlukannya keaktifan siswa tersebut. Brunner mengemukakan bahwa
dalam proses belajar siswa melewati 3 tahap yaitu : a. Tahap Enaktif Siswa secara
langsung terlibat dalam memanipulasi objek. Contoh : Budi mempunyai 2 pensil,
kemudian ibunya memberikannya lagi 3 pinsil. Berapa banyak pensil Budi sekarang ? b.
Tahap Ikonik Kegiatan dilakukan siswa berhubungan dengan mental, di mana siswa
mengubah, menandai, dan menyimpan peristiwa atau benda dalam bentuk bayangan
mental. Contoh : = + c. Tahap Simbolik Dalam tahap ini anak dapat mengutarakan
bayangan mental tersebut dalam bentuk simpul dan bahasa. Contoh : 2 pensil + 3 pensil =
pensil

9. Berdasarkan hasil pengamatannya, Brunner merumuskan 5 teoremadalam


pembelajaran matematika, yaitu : 1. Teorema PenyusunanMenerangkan bahwa cara yang
terbaik memulai belajar suatu konsepmatematika, dalil, defenisi, dan semacamnya adalah

dengan caramenyusun penyajiannya. 2. Teorema NotasiMenerangkan bahwa dalam


pengajaran suatu konsep, penggunaannotasi-notasi matematika harus diberikan secara
bertahap, dari yangsederhana ke yang lebih kompleks.3. Teorema Pengkontrasan dan
KeanekaragamanMenerangkan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangatpenting
dalam melakukan pengubahan konsep matematika dari yangkonkrit ke yang lebih
abstrak.4. Teorema PengaitanMenerangkan bahwa dalam matematika terdapat hubungan
yangberkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lain.

10. Satu hal yang membuat Bruner terkenal karena dia lebih peduliterhadap proses
belajar daripada hasil belajar, menurutnya belajarmerupakan faktor yang menentukan
dalam pembelajaran dibandingkandengan perolehan khusus, yaitu metode penemuan
(dicovery).Discovery learning dari Bruner merupakan model pengajaran
yangmelambangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentangpembelajaran dalam
prinsip konstruksitivis dan discovery learningsiswa didorong untuk belajar sendiri secara
mandiri. Adapun tahap-tahap penerapan belajar penemuan adalah :1. Stimulus
(pemberian perangsang)2. Problem Statement (mengidentifikasi masalah)3. Data
collection ( pengumpulan data)4. Data Prosessing (pengolahan data)5. Verifikasi6.
Generalisasi

11. 3. TEORI BELAJAR MENURUT GESTLAT Teori ini mengatakan bahwa Bahwa
penguasaan akan diperoleh apabila ada prasyarat dan latihan hafal atau drill yang
diulang-ulang sehingga tidak mengherankan jika ada topik-topik di tata secara urut
seperti perkalian bilangan cacah kurang dari sepuluh. Dalam Kegiatan pembelajaran
yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini : a. Penyajian
konsep harus lebih mengutamakan pengertian b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
harus memperhatikan kesiapan intelektual siwa, dan c. Mengatur suasana kelas agar
siswa siap belajar. Dari ketiga hal di atas, guru harus lebih mementingkan pemahaman
terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal ini guru
bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan proses
melalui metode induktif.

12. Pendekatan dan metode ini haruslah disesuaikan pula dengankesiapan intelektual
siswa. Oleh karena itu dalam pelaksanaankegiatan pembelajaran mulailah dengan
menyajikan contoh-contohkongkret yang beraneka ragam, kemudian mengarah pada
konsepabstrak tersebut.

da postingan yang lalu telah dibahas empat tahap perkembangan intelektual


manusia. Dalam teorinya Piaget mengemukakan bahwa kemampuan kognitif
manusia berkembang menurut empat tahap, dari lahir sampai dewasa.Dan kempat
tahap itu berlaku untuk setiap orang, akan tetapi usia pada saat seseorang mulai
memasuki sesuatu tahap tertentu tidak selalu sama untuk setiap orang. Empat
tahap itu adalah; Tahap sensori-motor (sensory motor stage), Tahap preoperasional (pre-operational stage), Tahap operasi konkret (concrete-operational
stage),dan Tahap operasi formal (formal-operational srage).
Menurut Piaget, ada tiga aspek perkembangan intelektual yaitu struktur, isi, dan

fungsi.Struktur merupakan organisasi tingkat tinggi yang terbentuk pada individu


waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya.
Isi merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responnya terhadap
berbagai masalah dan situasi yang dihadapinya.
Fungsi adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan
intelektual.

EMPAT TAHAP
Untuk menyegarkan ingatan, penulis bahas secara singkat, adapun keempat tahap
tersebut adalah:
1.Tahap sensori-motor (sensory motor stage)
Tahap sensori motor berlangsung sejak manusia lahir sampai berusia 2 tahun.Pada
tahap ini pemahaman anak mengenai berbagai hal terutama bergantung pada
kegiatan (gerakan) tubuh beserta alat-alat indera.
2.Tahap pre-operasional (pre-operational stage)
Tahap pre-operasional berlangsung kira-kira usia 2 tahun sampai 7 tahun.Pada
tahap ini, anak sudah menggunakan pemikirannya dalam berbagai hal. Akan tetapi,
pada tahap ini pemikiran si anak masih bersifat egosentris, artinya pemahamannya
mengenai berbagai hal masih terpusat pada diri sendiri.Pada tahap ini anak berpikir
bahwa orang-orang lain mempunyai pemikiran dan perasaan seperti yang ia
alami.Dengan kata lain, pada tahap ini anak masih belum berpikir obyektif, lepas
dari dirinya sendiri.
3.Tahap operasi konkret (concrete-operational stage)
Tahap ini berlangsung kira-kira dari usia 7 tahun sampai 12 tahun.Pada tahap ini
tingkat egosentris anak mulai berkurang, dalam arti bahwa anak sudah dapat
memahami bahwa orang lain mungkin memiliki pikiran atau perasaan yang berbeda
dari dirinya.
4.Tahap operasi formal (formal-operational srage)
Tahap ini berlangsung kira-kira sejak usia 12 tahun ke atas.pada tahap ini anak atau
orang sudah mampu berpikir secara logis tanpa kehadiran benda-benda konkret,
dengan kata lain anak sudah mampu melakukan abstraksi.
Pemanfaatan Teori Piaget
Lalu bagaimana relevansi teori peaget ini terhadap pembelajaran matematika ?
Pemanfaatan Teori Piaget dalam pembelajaran dapat dilihat pada pernyataan
berikut ini.
1.Mumusatkan pada proses berpikir atau proses mental, dan bukan sekedar pada
hasilnya.
2.Mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam
kegiatan pembelajaran.

3.Memaklumi ada perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.


Teori Piaget mengamsusikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan
perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu pada kecepatan berbeda.
GURU MATEMATIKA
Bagi guru matematika, Teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan
menggunakan teori itu, guru akan bisa mengetahui adanya tahap-tahap
perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir anak-anak di sekolahnya.Dengan
demikian guru bisa memberikan perlakuan yanga tepat bagi para
siswanya.Sehinnga guru matematika di SMP khusunya perlu mencermati apakah
simbol-simbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah
dipahami siswa atau tidak, dengan mengingat tingkat kemampuan berpikir yang
dimiliki oleh masing-masih siswa.
Semoga tulisan ini bermanfaat, paling tidak menjadi referensi para guru, orang tua,
maupun pemerhati pendidkan.
Selamat belajar semoga sukses ..sukses anda sukses kita semua.
Sumber : materi pelatihan terintegrasi, bidang studi matematika, depdiknas, dirjen
psm, direktorat pendidkan lanjutan pertamaTeori Perkembangan Kognitif Piaget dan
Implikasi dalam Pembelajaran Matematika
PENDAHULUAN
Tinjauan Sejarah
Jean Piaget lahir pada tanggal 9 Agustus 1898 di Neuchatel, Swiss. Ayahnya adalah
seorang ahli sejarah dengan spesialisasi abad pertengahan. Ibunya adalah seorang yang
dinamis, inteligens, dan taqwa. Sewaktu mudahnya, ia tertarik pada alam dan senang
mengamati burung-burung, ikan, dan binatang lainnya di alam bebas, sehingga akhirnya
tertarik pada pelajaran biologi di sekolah. Sejak umur 10 tahun ia telah menerbitkan
karangan pertamanya tentang burung Pipit Albino pada majalah ilmu pengetahuan alam.
Pada umur 15 tahun ia menolak tawaran sebagai curator koleksi moluska di museum Ipa di
Geneva, karena ingin menyelesaikan sekolah menengahnya.
Pada tahun 1916, Piaget menyelesaikan pendidikan sarjana bidang biologi di Universitas
Neuchatel. Pada usia 21 tahun ia telah menyelesaikan disertasi tentang moluska dan
memperoleh

gelar

doctor

filsafat.

Setelah

menyelesaikan

pendidikan

formal,

Piaget

memutuskan untuk mendalami psikologi di Zurich. Pada tahun 1919, ia meninggalkan


Zurich dan pergi ke Paris. Selama dua tahun, ia tinggal di Universitas Sorbonne,
belajar

psikologi

klinis,logika,

serta

epistemology.

Pendalamnya

tentang

filsafat

meyakinkannya bahwa perlunya pemikiran spekulasi murni dilengkapi dengan pendekatan


ilmu pengetahuan yang faktual.
Pada tahun 1920, Piaget bekerja bersama Dr. Theophile Simon di laboratorium Binet di
Paris dengan tugas mengembangkan tes penalaran yang kemudian diujikan. Dari hasil uji

yang diperolehnya, ia menyimpulkan bahwa perbedaan jawaban yang ada disebabkan oleh
perbedaan intelegensi peserta. Berdasarkan pengalaman membuat tes tersebut, Piaget
mendapatkan

tiga

pemikiran

hari. Pertama, Piaget

penting

melihat

bahwa

yang
anak

mempengaruhi

yang

berbeda

berpikirnya
umurnya

dikemudian

menggunakan

cara

berpikir yang bebeda. Inilah yang mempengaruhi pandangan Piaget mengenai tahap-tahap
perkembangan kognitif anak. Kedua, metode klinik digunakannya untuk mengorek pemikiran
anak secara lebih mendalam. Metode inilah yang dikembangkan Piaget dalam studinya
tentang perkembangan kognitif anak. Ketiga, Piaget berpikir bahwa pemikiran logika
abstrak mungkin relevan untuk mememahami pemikiran anak. Menurutnya, operasi-operasi
logika yang ada dalam pemikiran deduksi berkaitan dengan struktur mental tertentu
dalam diri anak. Ia mencoba untuk menemukan bagaimana pemikiran sangat berkaitan
dengan logika. Ciri pemikiran

deduksi logis (abstrak dan hipotesis) ini menjadi salah

satu ukuran tertinggi Piaget dalam menentukan tahap-tahap perkembangan kognitif anak.
Pada tahun 1921, Piaget diangkat sebagai direktur penelitian di Institut Jean-Jacques
Rousseu di Geneva. Di situ ia memperole kesempatan untuk mempelajari pemikiran anak.
Hasil penelitiannya banyak dipublikasikan pada tahun 1923-1931.
Selama penelitian, Piaget semakin yakin akan adanya perbedaan antara proses pemikiran
anak dengan orang dewasa. Ia yakin bahwa anak bukan merupakan suatu tiruan (replika)
dari

orang

dewasa.

Anak

buka

hanya

berpikir

kurang

efisien

dari

orang

dewasa,

melainkan berpikir secara berbeda dengan orang dewasa. Itulah sebabnya mengapa Piaget
yakin bahwa ada tahap perkembangan kognitif yang berbeda dari anak sampai menjadi
dewasa. Piaget juga mencoba menemukan sebab-musabab perkembangan kognitif.
Pada

tahun

1920-1930,

Piaget

meneruskan

penelitiannya

dalam

bidang

perkembangan

kognitif anak. Bersama dengan istrinya, ia meneliti ketiga anaknya sendiri yang lahir
pada

tahun

1925,

1927,

dan

1931.

Hasil

pengamatan

terhadap

anak-anaknya

ini

dipublikasikan dalam The Original of Intelligence in Children danthe Consruction of


Reality tentang tahap sensorimotor. Studinya tentang masa kanak-kanak meykinkan Piaget
bahwa pengertian dibentuk dari tindakan anak dan bukan dari bahasa anak.
Pada

tahun

1940-an,

Piaget

tertarik

untuk

meneliti

persepsi

psikologi Gestalt. Ia

memperluas pengertian persepsi tidak hanya sebagai suatu proses tersendiri, tetapi
juga berhubungan dengan inteligensi. Sejak tahun 1943, Piaget dengan teman-temannya
menerbitkan
Mechanism
proses,

banyak

of

buku

dan

laporan

Perception pada

serta

relasi

antara

tahun

tentang
1961.

pesepsi

persepsi.

buku

dengan

ini

Puncaknya

menjelaskan

inteligensi

adalah

tentang

seseorang.

buku The
struktur,

Atas

anjuran

Einstein, pada tahun 1940 Piaget meneliti tentang pengertian anak tentang waktu,
kecepatan,

dan

gerak.

Sebagai

hasil

penelitian

tersebut,

ia

mempublikasikan

dua

buku, The Childs Conception of Timedan The Childs of Movement and Speed.
Sesudah perang dunia kedua, penghargaan akan karya Piaget mulai tersebar ke seluruh
dunia.

Ia

menerima

gelar

kehormatan

dari

banyak

Universitas,

seperti

Universitas

Harvard di Cambridge, Universitas Sorbonne di Paris, dan beberapa Universitas di


Belgia dan Brasilia.

Pada tahun 1950, Piaget banyak meneliti dan menulis tentang perkembangan inteligensi
manusia. Ia juga mangaplikasikan hasil penemuan psikologis tersebut dalam persoalan
epistemology. Ditahun yang sama, ia mempublikasikan seri epistemology genetic. Buku
ini

merupakan

sintesis

pemikirannya

akan

beberapa

aspek

pengetahuan,

termasuk

matematika, fisika, psikologi, sosiologi, biologi, dan logika. Di antara tahun 19501960

Piagat

kognitif.

banyak

Hingga

mempublikasikan

pada

tahun

1969,

bukunya
Piaget

terutama
menerbitkan

berisi
The

tentang

perkembngan

Psychology

of

the

Child yang diperuntukkan bagi kalangan umum yang ingin mengetahui pemikirannya. Ini
adalah semacam ringkasan teori Piaget tentang perkembangan intelektual dan persepsi.
Pada tahun yang sama, ia juga menerbitkan Mental Imaginary in the Child. Buku ini
menjelaskan

perkembangan

gambaran

mental

dan

hubungannya

dengan

perkembangan

inteligensi. Pada tahun 1967, ia mempublikasikan Biology and Knowledge,sebuah buku


yang berkaitan dengan hubungan antara faktor biologi dengan proses kognitif.
Piaget pensiun dari Institut Rousseau pada tahun 1971. meskipun demikian, ia tetap
aktif menulis dan menerbitkan banyak buku. Piaget meninggal pada tanggal 16 September
1980 di Geneva.
Tinjauan Karya, Manfaat dan Hasil.
Piaget mengembangkan teori perkembangan kognitif yang cukup dominan selama beberapa
dekade. Dalam teorinya Piaget membahas pandangannya tentang bagaimana anak belajar.
Menurut Jean Piaget, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi
dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Pertumbuhan anak merupakan suatu
proses

sosial.

Anak

tidak

berinteraksi

dengan

lingkungan

fisiknya

sebagai

suatu

individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelompok sosial. Akibatnya lingkungan
sosialnya berada diantara anak dengan lingkungan fisiknya. Interaksi anak dengan orang
lain memainkan peranan penting dalam mengembangkan pandangannya terhadap alam. Melalui
pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak yang tadinya memiliki pandangan
subyektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi obyektif.
Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegiatan mental yang disebut
skema atau pola tingkah laku.
Dalam perkembangan intelektual ada tiga hal penting yang menjadi perhatian Piaget
yaitu struktur, isi dan fungsi (Piaget , 1988: 61 ; Turner, 1984: 8).
1.
Struktur, Piaget memandang ada hubungan fungsional antara tindakan fisik,
tindakan mental dan perkembangan logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada
operasi-operasi dan operasi-operasi menuju pada perkembangan struktur-struktur.
2.
Isi, merupakan pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada respon yang
diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya.
3.
Fungsi, adalah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual.
Menurut
Piaget
perkembangan
intelektual
didasarkan
pada
dua
fungsi
yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan pada organisme kemampuan
untuk mengestimasikan atau mengorganisasi proses-proses fisik atau psikologis
menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi, terhadap lingkungan
dilakukan melalui dua proses yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep
ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.

Asimilasi

dipandang

sebagai

suatu

proses

kognitif

yang

menempatkan

dan

mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses
asimilasi ini berjalan terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah satu proses individu
dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian
orang itu berkembang.
Akomodasi. Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru seseorang tidak dapat
mengasimilasikan pengalaman yang baru dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman
yang baru itu bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada. Dalam
keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi. Akomodasi tejadi untuk membentuk
skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah
ada

sehingga

cocok

dengan

rangsangan

itu.

Bagi

Piaget

adaptasi

merupakan

suatu

kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang
tidak

dapat

mengadakan

ketidakseimbangan

adaptasi

(disequilibrium).

terhadap
Akibat

lingkungannya

ketidakseimbangan

itu

maka
maka

terjadilah
terjadilah

akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya
struktur yang baru. Pertumbuhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang
keadaan ketidakseimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-equilibrium). Tetapi
bila terjadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi
daripada sebelumnya.
PEMBAHASAN
Beberapa Konsep dalam Teori Piaget.
Ada beberapa konsep yang perlu dimengerti agar lebih mudah memahami teori perkembangan
kognitif atau teori perkembangan Piaget, yaitu;
1.
Intelegensi. Piaget mengartikan intelegensi secara lebih luas, juga tidak
mendefinisikan secara ketat. Ia memberikan definisi umum yang lebih mengungkap
orientasi biologis. Menurutnya, intelegensi adalah suatu bentuk ekuilibrium
kearah mana semua struktur yang menghasilkan persepsi, kebiasaan, dan mekanisme
sensiomotor diarahkan. (Piaget dalam DR. P. Suparno,2001:19).
2.
Organisasi. Organisasi adalah suatu tendensi yang umum untuk semua bentuk
kehidupan guna mengintegrasikan struktur, baik yang psikis ataupun fisiologis
dalam suatu sistem yang lebih tinggi.
3.
Skema. Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema akan beradaptasi dan berubah
selama perkembangan kognitif seseorang.
4.
Asimilasi. Asimilasi adalah proses kognitif dimana seseorang mengintegrasikan
persepsi, konsep atau pengalaman baru kedalam skema atau pola yang sudah ada
dalam pikirannya.
1.
Akomodasi.Akomodasi adalah pembentukan skema baru atau mengubah skema lama
sehingga cocok dengan rangsangan yang baru, atau memodifikasi skema yang ada
sehingga cocok dengan rangsangan yang ada.
2.
Ekuilibrasi. Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi
sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana tidak seimbangnya antara proses
asimilasi dan akomodasi, ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan
pengalaman luar dengan struktur dalamnya.
Tahap Perkembangan Kognitif

Menurut

Piaget,

tahap

perkembangan

inteluektual

anak

secara

kronologis

terjadi

tahap. Urutan tahap-tahap ini tetap bagi setiap orang, akan tetapi usia kronologis
memasuki setiap tahap bervariasi pada setiap anak. Keempat tahap dimaksud adalah
sebagai berikut:
# Tahap sensorimotor : umur 0 2 tahun.
(Ciri pokok perkembangannya anak mengalami dunianya melalui gerak dan inderanya serta
mempelajari permanensi obyek)
Tahap paling awal perkembangan kognitif terjadi pada waktu bayi lahir sampai sekitar
berumur

tahun.

Tahap

ini

disebut

tahap

sensorimotor

oleh

Piaget.

Pada

tahap

sensorimotor, intelegensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadapt
lingkungannya, seperti melihat, meraba, menjamak, mendengar, membau dan lain-lain.
Pada tahap sensorimotor, gagasan anak mengenai suatu benda berkembang dari periode
belum mempunyai gagasan menjadi sudah mempunyai gagasan. Gagasan mengenai benda
sangat

berkaitan

dengan

konsep

anak

tentang

ruang

dan

waktu

yang

juga

belum

terakomodasi dengan baik. Struktur ruang dan waktu belum jelas dan masih terpotongpotong, belum dapat disistematisir dan diurutkan dengan logis.
Menurut Piaget, mekanisme perkembangan sensorimotor ini menggunakan proses asimilasi
dan akomodasi. Tahap-tahap perkembangan kognitif anak dikembangkan dengan perlahanlahan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema-skema anak karena adanya
masukan, rangsangan, atau kontak dengan pengalaman dan situasi yang baru.
Piaget membagi tahap sensorimotor dalam enam periode, yaitu:
Periode 1 : Refleks (umur 0 1 bulan)
Periode paling awal tahap sensorimotor adalah periode refleks. Ini berkembang sejak
bayi

lahir

sampai

sekitar

berumur

bulan.

Pada

periode

ini,

tingkah

laku

bayi

kebanyak bersifat refleks, spontan, tidak disengaja, dan tidak terbedakan. Tindakan
seorang

bayi

didasarkan

pada

adanya

rangsangan

dari

luar

yang

ditanggapi

secara

refleks.
Periode 2 : Kebiasaan (umur 1 4 bulan)
Pada

periode

perkembangan

ini,

bayi

mulai

membentuk

kebiasan-kebiasaan

pertama.

Kebiasaan dibuat dengan mencoba-coba dan mengulang-ngulang suatu tindakan. Refleksrefleks

yang

dibuat

diasimilasikan

dengan

skema

yang

telah

dimiliki

dan

menjadi

semacam kebiasaan, terlebih dari refleks tersebut menghasilkan sesuatu. Pada periode
ini,

seorang

diferensiasi

bayi
akan

mulai

membedakan

macam-macam

benda-benda

benda

yang

di

dekatnya.

dipegangnya.

Pada

Ia

mulai

periode

mengaakan
ini

pula,

koordinasi tindakan bayi mulai berkembang dengan penggunaan mata dan telinga. Bayi
mulai mengikuti benda yang bergerak dengan matanya. Ia juga mulai menggerakkan kepala
kesumber suara yang ia dengar. Suara dan penglihatan bekerja bersama. Ini merupakan
suatu tahap penting untuk menumbuhkan

konsep benda.

Periode 3 : Reproduksi kejadian yang menarik (umur 4 8 bulan)


Pada periode ini, seorang bayi mulai menjamah dan memanipulasi objek apapun yang ada
di sekitarnya (Piaget dan Inhelder 1969). Tingkah laku bayi semakin berorientasi pada
objek

dan

kejadian

di

luar

tubuhnya

sendiri.

Ia

menunjukkan

koordinasi

antara

penglihatan dan rasa jamah. Pada periode ini, seorang bayi juga menciptakan kembali

kejadian-kejadian yang menarik baginya. Ia mencoba menghadirkan dan mengulang kembali


peristiwa yang menyenangkan diri (reaksi sirkuler sekunder). Piaget mengamati bahwa
bila

seorang

anak

dihadapkan

pada

sebuah

benda

yang

dikenal,

seringkali

hanya

menunjukkan reaksi singkat dan tidak mau memperhatikan agak lama. Oleh Piaget, ini
diartikan sebagai suatu pengiaan akan arti benda itu seakan ia mengetahuinya.
Periode 4 : Koordinasi Skemata (umur 8 12 bulan)
Pada periode ini, seorang bayi mulai membedakan antara sarana dan hasil tindakannya.
Ia sudah mulai menggunakan sarana untuk mencapai suatu hasil. Sarana-sarana yang
digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil diperoleh dari koordinasi skema-skema yang
telah ia ketahui. Bayi mulai mempunyai kemampuan untuk menyatukan tingkah laku yang
sebelumnya telah diperoleh untuk mencapai tujuan tertentu. Pada periode ini, seorang
bayi mulai membentuk konsep tentang tetapnya (permanensi) suatu benda. Dari kenyataan
bahwa dari seorang bayi dapat mencari benda yang tersembunyi, tampak bahwa ini mulai
mempunyaikonsep tentang ruang.
Periode 5 : Eksperimen (umur 12 18 bulan)
Unsur pokok pada perode ini adalah mulainya anak memperkembangkan cara-cara baru untuk
mencapai

tujuan

dengan

cara

mencoba-coba

(eksperimen)

bila

dihadapkan

pada

suatu

persoalan yang tidak dipecahkan dengan skema yang ada, anak akan mulai mecoba-coba
dengan Trial

and

Error untuk

menemukan

cara

yang

baru

guna

memecahkan

persoalan

tersebut atau dengan kata lain ia mencoba mengembangkan skema yang baru. Pada periode
ini, anak lebih mengamati benda-benda disekitarnya dan mengamati bagaimana benda-benda
di sekitarnya bertingkah laku dalam situasi yang baru. Menurut Piaget, tingkah anak
ini menjadi intelegensi sewaktu ia menemukan kemampuan untuk memecahkan persoalan yang
baru. Pada periode ini pula, konsep anak akan benda mulai maju dan lengkap. Tentang
keruangan

anak

mulai

mempertimbangkan

organisasi

perpindahan

benda-benda

secara

menyeluruh bila benda-benda itu dapat dilihat secara serentak.


Periode Refresentasi (umur 18 24 bulan)
Periode ini adalah periode terakhir pada tahap intelegensi sensorimotor. Seorang anak
sudah mulai dapat menemukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis
dan eksternal, tetap juga dengan koordinasi internal dalam gambarannya. Pada periode
ini,

anak

berpindah

dari

periode

intelegensi

sensori

motor

ke

intelegensi

refresentatif. Secara mental, seorang anak mulai dapat menggambarkan suatu benda dan
kejadian, dan dapat menyelesaikan suatu persoalan dengan gambaran tersebut. Konsep
benda pada tahap ini sudah maju, refresentasi ini membiarkan anak untuk mencari dan
menemukan objek-objek yang tersembunyi. Sedangkan konsep keruangan, anak mulai sadar
akan gerakan suatu benda sehingga dapat mencarinya secara masuk akal bila benda itu
tidak kelihatan lagi.
Karakteristik anak
a)
b)

yang berada pada tahap ini adalah sebagai berikut:

Berfikir melalui perbuatan (gerak)


Perkembangan fisik yang dapat diamati adalah gerak-gerak refleks sampai ia

dapat berjalan dan bicara.


c)
d)

Belajar mengkoordinasi akal dan geraknya.


Cenderung intuitif egosentris, tidak rasional dan tidak logis.

Tahap Pra operasional : umur 2 -7 tahun.


(Ciri pokok perkembangannya adalah penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif)
Istilah operasi di sini adalah suatu proses berfikir logik, dan merupakan aktivitas
sensorimotor. Dalam tahap ini anak sangat egosentris, mereka sulit menerima pendapat
orang lain. Anak percaya bahwa apa yang mereka pikirkan dan alami juga menjadi pikiran
dan pengalaman orang lain. Mereka percaya bahwa benda yang tidak bernyawa mempunyai
sifat bernyawa.
Tahap

pra

operasional

ini

dapat

dibedakan

atas

dua

bagian.

Pertama,

tahap

pra

konseptual (2-4 tahun), dimana representasi suatu objek dinyatakan dengan bahasa,
gambar dan permainan khayalan. Kedua, tahap intuitif (4-7 tahun). Pada tahap ini
representasi suatu objek didasarkan pada persepsi pengalaman sendiri, tidak kepada
penalaran.
Karakteristik anak pada tahap ini adalah sebagai berikut:
a)

Anak dapat mengaitkan pengalaman yang ada di lingkungan bermainnya dengan

pengalaman pribadinya, dan karenanya ia menjadi egois. Anak tidak rela bila barang
miliknya dipegang oleh orang lain.
b)

Anak

belum

memiliki

kemampuan

untuk

memecahkan

masalah-masalah

yang

membutuhkan pemikiran yang dapat dibalik (reversible). Pikiran mereka masih bersifat
irreversible.
c)

Anak belum mampu melihat dua aspek dari satu objek atau situasi sekaligus,

dan belum mampu bernalar (reasoning) secara individu dan deduktif.


d)

Anak bernalar secara transduktif (dari khusus ke khusus). Anak juga belum

mampu membedakan antara fakta dan fantasi. Kadang-kadang anak seperti berbohong. Ini
terjadi

karena

anak

belum

mampu

memisahkan

kejadian

sebenarnya

dengan

imajinasi

mereka.
e)

Anak belum memiliki konsep kekekalan (kuantitas, materi, luas, berat dan

isi).
f)

Menjelang akhir tahap ini, anak mampu memberi alasan mengenai apa yang

mereka percayai. Anak dapat mengklasifikasikan objek ke dalam kelompok yang hanya
mempunyai satu sifat tertentu dan telah mulai mengerti konsep yang konkrit.
Tahap operasi kongkret : umur 7 11/12 tahun.
(Ciri pokok perkembangannya anak mulai berpikir secara logis tentang kejadian-kejadian
konkret)
Tahap

operasi

pemikiran

yang

konkret

(concrete

didasarkan

pada

operations) dicirikan
aturan-aturan

dengan

tertentu

yang

perkembangan
logis.

Anak

sistem
sudah

memperkembangkan operasi-oprasi logis. Operasi itu bersifat reversible, artinya dapat


dimengerti dalam dua arah, yaitu suatu pemikiran yang dapat dikemblikan kepada awalnya
lagi. Tahap opersi konkret dapat ditandai dengan adanya sistem operasi berdasarkan
apa-apa yang kelihatan nyata/konkret.
Ciri-ciri operasi konkret yang lain, yaitu:
1.
Adaptasi dengan gambaran yang menyeluruh. Pada tahap ini, seorang anak mulai
dapat menggambarkan secara menyeluruh ingatan, pengalaman dan objek yang dialami.

2.

3.

4.

5.

6.

7.
8.

9.

Menurut Piaget, adaptasi dengan lingkungan disatukan dengan gambaran akan


lingkunganitu.
Melihat dari berbagai macam segi. Anak mpada tahap ini mulai mulai dapat melihat
suatu objek atau persoalan secara sediki menyeluruh dengan melihat apek-aspeknya.
Ia tidak hanya memusatkan pada titik tertentu, tetapi dapat bersam-sam mengamati
titik-titik yang lain dalam satu waktu yang bersamaan.
Seriasi Proses seriasi adalah proses mengatur unsur-unsur menurut semakin besar
atau semakin kecilnya unsur-unsur tersebut. Menurut Piaget , bila seorang anak
telah dapat membuat suatu seriasi maka ia tidak akan mengalami banyak kesulitaan
untuk membuat seriasi selanjutnuya.
Klasifikasi Menurut Piaget, bila anak yang berumur 3 tahun dan 12 tahun diberi
bermacam-maam objek dan disuruh membuat klasifikasi yang serupa menjadi satu, ada
beberapa kemungkinan yang terjadi.
Bilangan. Dalam percobaan Piaget, ternyata anak pada tahap praoperasi konkret
belum dapat mengerti soal korespondensi satu-satu dan kekekalan, namun pada tahap
tahap operasi konkret, anak sudah dapat mengerti soal karespondensi dan kekekalan
dengan baik. Dengan perkembangan ini berarti konsep tentang bilangan bagi anak
telah berkembang.
Ruang, waktu, dan kecepatan. Pada umur 7 atau 8 tahun seorang anak sudah
mengerti tentang urutan ruang dengan melihat intervaj jarak suatu benda. Pada
umur 8 tahun anak sudan sudah sapat mengerti relasi urutan waktu dan jug
akoordinasi dengamn waktu, dan pada umur 10 atau 11 tahun, anak sadar akan konsep
waktu dan kecepatan.
Probabilitas. Pada tahap ini, pengertian probabilitas sebagai suatu perbandingan
antara hal yang terjadi dengan kasus-kasus yang mulai terbentuk.
Penalaran. Dalam pembicaraan sehari-hari, anak pada tahap ini jarang berbicara
dengan suatu alasan,tetapi lebih mengatakan apa yang terjadi. Pada tahap ini,
menurut Piaget masih ada kesulitan dalam melihat persoalan secara menyeluruh.
Egosentrisme dan Sosialisme. Pada tahap ini, anak sudah tidak begitu egosentris
dalam pemikirannya. Ia sadar bahwa orang lain dapat mempunyai pikiran lain.

Tahap operasi formal: umur 11/12 ke atas.


(Ciri pokok perkembangannya adalah hipotesis, abstrak, dan logis)
Tahap operasi formal (formal operations) merupakan tahap terakhir dalam perkembangan
kognitif menurut Piaget. Pada
berpikir

dengan

tahap ini, seorang remaja sudah dapat berpikir logis,

pemikiran

teoritis

formal

berdasarkan

proposisi-proposisi

dan

hipotesis, dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang dapat diamati saat itu.
Cara berpikir yang abstrak mulai dimengerti.
Sifat

pokok

tahap

operasi

formal

adalah

pemikiran

deduktif

hipotesis,

induktif

sintifik, dan abstrak reflektif.


# Pemikiran Deduktif Hipotesis
Pemikiran deduktif adalah pemikiran yang menarik kesimpulan yang spesifik dari sesuatu
yang umum. Kesimpulan benar hanya jika premis-premis yang dipakai dalam pengambilan
keputusan benar. Alasan deduktif hipotesis adalah alasan/argumentasi yang berkaitan
dengan

kesimpulan

yang

ditarik

dari

premis-premis

yang

masih

hipotetis.

Jadi,

seseorang yang mengambil kesimpulan dari suatu proposisi yang diasumsikan, tidak perlu
berdasarkan dengan kenyataan yang real.

Dalam pemikiran remaja, Piaget dapat mendeteksi adaanya pemikiran yang logis, meskipun
para remaja sendiri pada kenyataannya tidak tahu atau belum menyadari bahwa cara
berpikir mereka itu logis. Dengan kata lain, model logis itu lebih merupakan hasil
kesimpulan Piaget dalam menafsirkan ungkapan remaja, terlepas dari apakah para remaja
sendiri tahu atau tidak.
# Pemikiran Induktif Sintifik
Pemikiran induktif adalah pengambilan kesimpulan yang lebih umum berdasarkan kejadiankejadian yang khusus. Pemikiran ini disebut juga dengan metode ilmiah. Pada tahap
pemikiran

ini,

anak

sudah

mulai

dapat

membuat

hipotesis,

menentukan

eksperimen,

menentukan variabel control, mencatat hasi, dan menarik kesimpulan. Disamping itu
mereka sudah dapat memikirkan sejumlah variabel yang berbeda pada waktu yang sama.
# Pemikiran Abstraksi Reflektif
Menurut

Piaget,

pemikiran

analogi

dapat

juga

diklasifikasikan

sebagai

abstraksi

reflektif karena pemikiran itu tidak dapat disimpulkan dari pengalaman.


Teori Pengetahuan
Berdasarkan pengalamannya sejak masa kanak-kanak, Piaget berkesimpulan bahwa setiap
makhluk hidup memang perlu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melestarikan
kehidupannya. Manusia adalah makhluk hidup, maka manusia juga harus beradaptasi dengan
lingkungannya. Berdasarkan hal ini, Piaget beranggapan bahwa perkembangan pemikiran
manusia

mirip

lingkungannya.

dengan
Piaget

perkembangan
sendiri

biologis,

menyatakan

bahwa

yaitu
teori

perlu

beradaptasi

pengetahuannya

adalah

dengan
teori

adaptasi pikiran ke dalam suatu realitas, seperti organisme yang beradaptasi dengan
lingkungannya.
Teori Adaptasi Piaget
Menurut Piaget, mengerti adalah suatu proses adaptasi intelektual dimana pengalaman
dan ide baru diinteraksikan dengan apa yang sudah diketahui untuk membentuk struktur
pengertian yang baru. Setiap orang mempunyai struktur pengetahuan awal (skema) yang
berperan sebagai suatu filter atau fasilitator terhadap berbagai ide dan pengalaman
yang baru. Melalui kontak dengan pengalaman baru,skema dapat dikembangkan dan diubah,
yaitu dengan proses asimilasi dan akomodasi. Skema seseorang selalu dikembangkan,
diperbaharui , bahkan diubah untuk dapat memahami tanyangan pemikiran dari luar.
Proses ini disebut adap[tasi pikiran.
Teori Pengetahuan Piaget
Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Dalam pembentukan pengetahuan
, Piaget membedakan tiga macam pengetahuan, yakni
1.
Pengetahuan fisis adalah pengetahuanakan sifat-sifat fisis suatu objek atau
kejadian, seperti bentuk, besar, berat, serta bagaimana objek itu berinteraksi
dengan yang lain.
2.
Pengetahuan matematis logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir
tentang pengalaman akan suatu objek atau kejadian tertentu.
3.
Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan
sosial yang menyetujui sesuatu secara bersama.
Teori Konstruktivisme

Teori konstruktivisme Piaget menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah bentukan


(bentukan)

orang

itu

sendiri.

Proses

pembentukan

pengetahuan

itu

terjadi

apabila

seseorang mengubah atau mengembangkan slkema yang tslah dimiliki dalam berhadapan
dengan tantangan, dengan rangsangan atau persoalan.
Teori Piaget seringkali disebut konstruktivisme personal karena lebih menekankan pada
keaktifan

pribadi

seseorang

dalam

mengkonstruksikan

pengetahuannya.

Terlebih

lagi

karena Piaget banyak mengadakan penelitian pada proses seorang anak dalam belajar dan
membangun pengetahuannya.
IMPLIKASI TEORI PIAGET DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA.
Teori

kognitif

dan

teori

pengetahuan

piaget

sangat

banyak

mempengaruhi

bidang

pendidikan, terlebih pendidikan kognitif. Tahap-tahap pemikiran Piaget sudah cukup


lama

mempengaruhi

bagaimana

para

pendidik

menyusun

kurikulum,

memilih

metode

pengajaran dan juga memilih bahan ajar terutama di sekolah-sekolah.


Maka dari karya besar Piaget tersebut dapat diimplementasikan pada proses pembelajaran
disekolah

sesuai

dengan

teori

perkembangannya

itu

sendiri.

Implementasi

pada

pembelajaran matematika yang akan diterakan berikut hanya merupakan bentuk sebagian
saja sebagai contoh yang cocok untuk pengetahuan dan pengembangan terhadap materi
pembelajaran itu sendiri. Tentu yang terpenting adalah kesesuaian dengan pemilihan
model, pendekatan serta metode dalam pembelajaran terhadap materi ajar.
Berikut

contoh

pembelajaran

berdasar

pada

teori

Piaget

sesuai

tahap

perkembangan

kognitif anak usia sekolah;


Pokok Bahasan
Sub Pokoh Bahasan
1.
Balok.
2.
Tabung.
3.
Prisma.
4.
Limas.
5.
Kerucut.
6.
Bola.

: Bangun Ruang.
:

1.

Kubus.

Pembelajaran di tingkat Taman Kanak-Kanak (TK).


-

Anak-anak baru hanya diperkenalkan dengan bentuk

Pembahasan hanya terbatas pada sub pokok bahasan yang terlihat kontekstual

Materi kubus cukup pada bentuknya, contoh aplikasi sekitar, serta warna

jika ada.
-

Demikian

untuk

balok,

bola

dan

yang

lainnya

dengan

konsekuensi

siswa

mengetahui nama dan bentuknya saja.


Penjelasan;
Anak usia Taman Kanak-Kanak masuk kategori pra operasional pada perkembangan teori
Piaget. Jadi anak-anak hanya mampu melihat gambar dan tidak berbentuk penalaran atas
pengalamannya sendiri.
Pembelajaran ditingkat Sekolah Dasar (SD).
-

Anak sudah mulai di perkenalkan dengan pendalaman bentuk bangun yang dia

ketahui tersebut.

Pengelompokan bangun juga mulai hanya diperkenalkan, bahwa kubus, balok dan

yang lainnya termasuk bangun ruang.


-

Anak-anak juga berkontekstual dengan bangun-bangun tersebut sehingga ada

pemahamannya tentang apa-apa saja yang terdapat pada bangun itu. Seperti kubus, tentu
memiliki panjang, lebar dan juga tinggi.
-

Keterhubungan unsur yang dimiliki belum dijelaskan

Melanjutkan

pembelajaran

dikelas-kelas

berikutnya

sampai

pada

operasi-

operasi sederhana yang terdapat pada bangun itu.


Penjelasan;
Sesuai kurikulum pembelajaran tematik bangun ruang ini baru diperkenalkan dikelas II
SD, itu artinya pembelajaran-pembelajaran sebelumnya tentu masih mengacu pada pra
operasional. Dan pada pembelajaran selanjutnya di SD ini sudah memasuki tahap Operasi
Kongkret sesuai teori perkembangan kognitif Piaget.
Pembelajaran ditingkat Sekolah Menengah (SMP dan SMU).
-

Anak diajarkan mengetahui bentuk, struktur, dan isi dari bangun-bangun

ruang yang ada.


luas

Tiap-tiap bangun ruang itu anak-anak diminta mengetahui cara menghitung


sisi,

volume

serta

bentuk

permukaan

dengan

mengetahui

bukaan

dari

bangun

tersebut.
-

Aplikasi dengan dunia nyata juga penting dilakukan sebanagi aplikasi materi

yang diajarkan.
-

Khusus dijenjang SMU hanya diperdalam dengan mengkaji unsur-unsur yang

terdapat pada bangun ruang, disamping mengulangnya kembali pembelajaran itu.


-

Pembelajaran di SMU sudah sampai pada tingkat penalaran oleh pengalaman

sendiri.
Penjelasan;
Materi bangun ruang di SMP diajarkan dikelas VII semester 2, itu artinya erat dengan
keterstrukturan materi sebelumnya yang menjadi pendukung dalam pembelajaran materi
ini.

Anak

diusia

ini

sudah

masuk

pada

tingkat

operasi

formal,

sesuai

tingkat

perkembangan kognitif Piaget.


Pembelajaran di Perguruan Tinggi.
-

Di perguruan tinggi bangun ruang sudah lebih didalami dalam satu mata

kuliah geometri
-

Pendalamannya lebih dikaji lagi dalam teori Van Hiele.

Penjelasan;
Materi ini siswa/mahasiswa sudah mengandalkan tahap deduktif, induktif, hipotesis dan
logis. Tetapi tahap perkembangannya tetap berada pada operasi formal sesuai tingkat
kognitif Piaget.
KESIMPULAN
Perkembangan kognitif

adalah tahap-tahap perkembangan kognitif manusia mulai dari

usia anak-anak sampai dewasa; mulai dari proses-proses berpikir secara konkret sampai
dengan yang lebih tinggi yaitu konsep-konsep anstrak dan logis.

Jean

Piaget

kemampuan

seorang

kognitif

pakar

manusia,

yang

banyak

melakukan

mengemukakan

dalam

penelitian

teorinya

tentang

bahwa

perkembangan

kemampuan

kognitif

manusia terdiri atas 4 tahap dari lahir hingga dewasa. Tahap dan urutan berlaku untuk
semua usia tetapi usia pada saat seseorang mulai memasuki tahap tertentu tidak sama
untuk setiap orang. Keempat tahap perkembangan itu digambarkan dalam teori Piaget
sebagai
1.
Tahap sensorimotor: umur 0 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak dan
inderanya serta mempelajari permanensi obyek)
2.
Tahap pra-operasional: umur 2 7 tahun (Ciri pokok perkembangannya adalah
penggunaan symbol/bahasa tanda dan konsep intuitif)
3.
Tahap operasional konkret: umur 7 11/12 tahun (anak mulai berpikir secara
logis tentang kejadian-kejadian konkret)
4.
Tahap operasional formal: umur 11/12 ke atas. (Ciri pokok perkembangannya adalah
hipotesis, abstrak, deduktif dan induktif serta logis dan probabilitas )
Bagi guru matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena dengan menggunakan
teori

ini,

guru

dapat

mengetahui

adanya

tahap-tahap

perkembangan

tertentu

pada

kemampuan berpikir anak di kelasnya. Dengan demikian guru bisa memberikan perlakuan
yang tepat bagi siswanya, misalnya dalam memilih cara penyampaian materi bagi siswa,
penyediaan alat-alat peraga dan sebagainya, sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan
berpikir yang dimiliki oleh siswa masing-masing. Guru perlu mencermati apakah symbolsimbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah dipahami siswa,
dengan mengingat tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Dahar Ratna Willis. Prof. Dr. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: P2LPTK.
_______________________. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontenporer.Bandung:
JICA UPI.
Sardiman, AM. 2003. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT. Rapgrapindo
Persada.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT, Rineka
Cipta.
Paul

Suparno.

Prof.

2003. Teori

Perkembangan

Kognitif

Jean

Piaget. Yogyakarta:

Kanisius.
***
(Source : Fitriani Nur, Mahasiswa PPs UNM Makassar | Prodi Pendidikan Matematika,
2008)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT TEORI VAN HIELE

Oleh : Ika Ratih Sulistiani


Abstrak :
Suatu karakteristik tahap berpikir Van Hiele adalah bahwa kecepatan untuk berpindah dari satu
tahap ke tahap berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam pembelajaran. Dengan
demikian, pengorganisasian pembelajaran, isi, dan materi merupakan faktor penting dalam
pembelajaran, selain guru juga memegang peran penting dalam mendorong kecepatan berpikir

siswa melalui suatu tahapan. Tahap berpikir yang lebih tinggi hanya dapat dicapai melalui
latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah semata. Dalam perkembangan berpikir, van
Hiele (dalam Clements dan Battista, 1992:436) menekankan pada peran siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Siswa tidak akan berhasil jika hanya belajar dengan
menghapal fakta-fakta, nama-nama atau aturan-aturan, melainkan siswa harus menentukan
sendiri hubungan-hubungan saling Keterkaitan antara konsep-konsep geometri daripada prosesproses geometri.
Pendahuluan
Di antara berbagai cabang matematika, geometri menempati posisi yang paling memprihatinkan.
Kesulitan-kesulitan siswa dalam belajar geometri terjadi mulai tingkat dasar sampai perguruan
tinggi. Kesulitan belajar ini menyebabkan pemahaman yang kurang sempurna terhadap konsepkonsep geometri yang pada akhirnya akan menghambat proses belajar geometri selanjutnya.
Teori van Hiele yang dikembangkan oleh Pierre Marie van Hiele dan Dina van Hiele-Geldof
sekitar tahun 1950-an telah diakui secara internasional (Martin dalam Abdussakir, 2003:34) dan
memberikan pengaruh yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika
Serikat adalah contoh negara yang telah merubah kurikulum geometri berdasar pada teori van
Hiele (Anne, 1999). Pada tahun 1960-an, Uni Soviet telah melakukan perubahan kurikulum
karena pengaruh teori van Hiele (Anne, 1999). Sedangkan di Amerika Serikat pengaruh teori van
Hiele mulai terasa sekitar permulaan tahun 1970-an (Burger & Shaughnessy, 1986:31 dan
Crowley, 1987:1). Sejak tahun 1980-an, penelitian yang memusatkan pada teori van Hiele terus
meningkat (Gutierrez, 1991:237 dan Anne, 1999).
Penerapan teori Van Hiele diyakini dapat mengatasi kesulitan belajar siswa dalam geometri. Hal
ini disebabkan karena teori Van Hiele lebih menekankan pada pembelajaran yang disesuaikan
dengan tahap berpikir siswa.
Geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika karena banyaknya konsepkonsep yang termuat di dalamnya. Dari sudut pandang psikologi, geometri merupakan penyajian
abstraksi pengalaman visual dan spasial, misalnya bidang, pola, pengukuran dan pemetaan.
Sedangkan dari sudut pandang matematik, geometri menyediakan pendekatan-pendekatan untuk
pemecahan masalah, misalnya gambar-gambar, diagram, sistem koordinat, vektor, dan
transformasi. Geometri juga merupakan sarana untuk mempelajari struktur matematika (Burger
& Culpepper, 1993:140).
Tujuan pembelajaran geometri adalah agar siswa memperoleh rasa percaya diri mengenai
kemampuan matematikanya, menjadi pemecah masalah yang baik, dapat berkomunikasi secara
matematik, dan dapat bernalar secara matematik (Bobango, 1992:148). Sedangkan Budiarto
(2000:439) menyatakan bahwa tujuan pembelajaran geometri adalah untuk mengembangkan
kemampuan berpikir logis, mengembangkan intuisi keruangan, menanamkan pengetahuan untuk
menunjang materi yang lain, dan dapat membaca serta menginterpretasikan argumen-argumen
matematik.
Tingkat kognitif menurut Van Hiele
Dua tokoh pendidikan matematika dari Belanda, yaitu Pierre Van Hiele dan isterinya, Dian Van
Hiele-Geldof, pada tahun-tahun 1957 sampai 1959 mengajukan suatu teori mengenai proses

perkembangan yang dilalui siswa dalam mempelajari geometri. Dalam teori yang mereka
kemukakan, mereka berpendapat bahwa dalam mempelajari geometri para siswa mengalami
perkembangan kemampuan berpikir melalui tahap-tahap tertentu.
Teori van Hiele mempunyai karakteristik, yaitu (1) tahap-tahap tersebut bersifat hirarki dan
sekuensial, (2) kecepatan berpindah dari tahap ke tahap berikutnya lebih bergantung pada
pembelajaran, dan (3) setiap tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri-sendiri (Anne,
1999). Burger dan Culpepper (1993:141) juga menyatakan bahwa setiap tahap memiliki
karakteristik bahasa, simbol dan metode penyimpulan sendiri-sendiri.
Clements & Battista (1992:426-427) menyatakan bawa teori van Hiele mempunyai karaketristik,
yaitu (1) belajar adalah proses yang tidak kontinu, terdapat lompatan dalam kurva belajar
seseorang, (2) tahap-tahap tersebut bersifat terurut dan hirarki, (3) konsep yang dipahami secara
implisit pada suatu tahap akan dipahami secara eksplisit pada tahap berikutnya, dan (4) setiap
tahap mempunyai kosakata sendiri-sendiri. Crowley (1987:4) menyatakan bahwa teori van Hiele
mempunyai sifat-sifat berikut (1) berurutan, yakni seseorang harus melalui tahap-tahap tersebut
sesuai urutannya; (2) kemajuan, yakni keberhasilan dari tahap ke tahap lebih banyak dipengaruhi
oleh isi dan metode pembelajaran daripada oleh usia; (3) instrinsik dan ekstrinsik, yakni obyek
yang masih kurang jelas akan menjadi obyek yang jelas pada tahap berikutnya; (4) kosakata,
yakni masing-masing tahap mempunyai kosakata dan sistem relasi sendiri; dan (5) mismacth,
yakni jika seseorang berada pada suatu tahap dan tahap pembelajaran berada pada tahap yang
berbeda. Secara khusus yakni jika guru, bahan pembelajaran, isi, kosakata dan lainnya berada
pada tahap yang lebih tinggi daripada tahap berpikir siswa.
Tahapan berpikir atau tingkat kognitif yang dilalui siswa dalam pembelajaran geometri, menurut
Van Hiele adalah sebagai berikut:
Level 0. Tingkat Visualisasi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengenalan. Pada tingkat ini, siswa memandang sesuatu bangun
geometri sebagai suatu keseluruhan (wholistic). Pada tingkat ini siswa belum memperhatikan
komponen-komponen dari masing-masing bangun. Dengan demikian, meskipun pada tingkat ini
siswa sudah mengenal nama sesuatu bangun, siswa belum mengamati ciri-ciri dari bangun itu.
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa tahu suatu bangun bernama persegipanjang, tetapi ia
belum menyadari ciri-ciri bangun persegipanjang tersebut.
Level 1. Tingkat Analisis
Tingkat ini dikenal sebagai tingkat deskriptif. Pada tingkat ini siswa sudah mengenal bangunbangun geometri berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing bangun. Dengan kata lain, pada
tingkat ini siswa sudah terbiasa menganalisis bagian-bagian yang ada pada suatu bangun dan
mengamati sifat-sifat yang dimiliki oleh unsur-unsur tersebut
Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa suatu bangun merupakan
persegipanjang karena bangun itu mempunyai empat sisi, sisi-sisi yang berhadapan sejajar, dan
semua sudutnya siku-siku
Level 2. Tingkat Abstraksi
Tingkat ini disebut juga tingkat pengurutan atau tingkat relasional. Pada tingkat ini, siswa sudah
bisa memahami hubungan antar ciri yang satu dengan ciri yang lain pada sesuatu bangun.

Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa sudah bisa mengatakan bahwa jika pada suatu segiempat
sisi-sisi yang berhadapan sejajar, maka sisi-sisi yang berhadapan itu sama panjang. Di samping
itu pada tingkat ini siswa sudah memahami perlunya definisi untuk tiap-tiap bangun. Pada tahap
ini, siswa juga sudah bisa memahami hubungan antara bangun yang satu dengan bangun yang
lain. Misalnya pada tingkat ini siswa sudah bisa memahami bahwa setiap persegi adalah juga
persegipanjang, karena persegi juga memiliki ciri-ciri persegipanjang.
Level 3. Tingkat Deduksi Formal
Pada tingkat ini siswa sudah memahami peranan pengertian-pengertian pangkal, definisi-definisi,
aksioma-aksioma, dan terorema-teorema dalam geometri. Pada tingkat ini siswa sudah mulai
mampu menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa sudah
memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu menggunakan proses
berpikir tersebut.
Level 4. Tingkat Rigor
Tingkat ini disebut juga tingkat metamatis. Pada tingkat ini, siswa mampu melakukan penalaran
secara formal tentang sistem-sistem matematika (termasuk sistem-sistem geometri), tanpa
membutuhkan model-model yang konkret sebagai acuan. Pada tingkat ini, siswa memahami
bahwa dimungkinkan adanya lebih dari satu geometri. Sebagai contoh, pada tingkat ini siswa
menyadari bahwa jika salah satu aksioma pada suatu sistem geometri diubah, maka seluruh
geometri tersebut juga akan berubah. Sehingga, pada tahap ini siswa sudah memahami adanya
geometri-geometri yang lain di samping geometri Euclides.
Menurut Van Hiele, semua anak mempelajari geometri dengan melalui tahap-tahap tersebut,
dengan urutan yang sama, dan tidak dimungkinkan adanya tingkat yang diloncati. Akan tetapi,
kapan seseorang siswa mulai memasuki suatu tingkat yang baru tidak selalu sama antara siswa
yang satu dengan siswa yang lain. Selain itu, menurut Van Hiele, proses perkembangan dari
tahap yang satu ke tahap berikutnya terutama tidak ditentukan oleh umur atau kematangan
biologis, tetapi lebih bergantung pada pengajaran dari guru dan proses belajar yang dilalui siswa.
Implementasi Teori Van Hiele Dalam Pembelajaran
Untuk meningkatkan suatu tahap berpikir ke tahap berpikir yang lebih tinggi Van Hiele
mengajukan pembelajaran yang melibatkan 5 fase (langkah), yaitu ; informasi (information),
orientasi langsung (directed orientation), penjelasan (explication), orientasi bebas (free
orientation), dan integrasi (integration).
Fase 1 (Inkuiri/Informasi)
Dengan tanya jawab antara guru dengan siswa, disampaikan konsep-konsep awal tentang materi
yang akan dipelajari. Guru mengajukan informasi baru dalam setiap pertanyaan yang dirancang
secermat mungkin agar siswa dapat menyatakan kaitan konsep-konsep awal dengan materi yang
akan dipelajari. Bentuk pertanyaan diarahkan pada konsep yang telah dimiliki siswa, misalnya
Apa itu garis yang sejajar? Apa itu garis yang sama panjang?Apa itu sudut yang sehadap,
sepihak, dan bersebrangan? Apa itu segiempat? dan seterusnya.
Informasi dari tanya jawab tersebut memberikan masukan bagi guru untuk menggali tentang
perbendaharaan bahasa dan interpretasi atas konsepsi-konsepsi awal siswa untuk memberikan
materi selanjutnya, dipihak siswa, siswa mempunyai gambaran tentang arah belajar selanjutnya.

Fase 2 (Orientasi Berarah)


Sebagai refleksi dari fase 1, siswa meneliti materi pelajaran melalui bahan ajar yang dirancang
guru. Guru mengarahkan siswa untuk meneliti objek-objek yang dipelajari. Kegiatan
mengarahkan merupakan rangkaian tugas singkat untuk memperoleh respon-respon khusus
siswa. Misalnya, guru meminta siswa mengamati gambar yang ditunjukkan berupa macammacam segiempat.
Siswa diminta mengelompokkan jenis segiempat, sesuai dengan jenisnya, setelah itu menjiplak
dan menggambarkan macam-macam segiempat dengan berbagai ukuran yang ditentukan sendiri
pada kertas dengan mengunakan media alat tulis. Kemudian menempelkan pada buku masingmasing. Aktivitas belajar ini bertujuan untuk memotivasi siswa agar aktif mengeksplorasi objekobjek (sifat-sifat bangun yang dipelajari) melalui kegiatan seperti mengukur sudut, melipat,
menentukan panjang sisi untuk menemukan hubungan sifat-sifat dari bentuk bangun-bangun
tersebut. Fase ini juga bertujuan untuk mengarahkan dan membimbing eksplorasi siswa sehingga
menemukan konsep-konsep khusus dari bangun-bangun geometri.
Fase 3 (Uraian)
Pada fase ini, siswa diberi motivasi untuk mengemukakan pengalamannya tentang struktur
bangun yang diamati dengan menggunakan bahasanya sendiri. Sejauh mana pengalamannya bisa
diungkapkan, mengekspresikan dan merubah atau menghapus pengetahuan intuitif siswa yang
tidak sesuai dengan struktur bangun yang diamati. Pada fase pembalajaran ini, guru membawa
objek-objek (ide-ide geometri, hubungan-hubungan, pola-pola dan sebagainya) ke tahap
pemahaman melalui diskusi antar siswa dalam menggunakan ketepatan bahasa dengan
menyatakan sifat-sifat yang dimiliki oleh bangun-bangun yang dipelajari.
Fase 4 (Orientasi Bebas)
Pada fase ini siswa dihadapkan dengan tugas-tugas yang lebih kompleks. Siswa ditantang dengan
situasi masalah kompleks. Siswa diarahkan untuk belajar memecahkan masalah dengan cara
siswa sendiri, sehingga siswa akan semakin jelas melihat hubungan-hubungan antar sifat-sifat
suatu bangun. Jadi siswa ditantang untuk mengelaborasi sintesis dari penggunaan konsep-konsep
dan relasi-relasi yang telah dipahami sebelumnya.
Fase pembelajaran ini bertujuan agar siswa memperoleh pengalaman menyelesaikan masalah dan
menggunakan strategi-strateginya sendiri. Peran guru adalah memilih materi dan masalahmasalah yang sesuai untuk mendapatkan pembelajaran yang meningkatkan perolehan berbagai
performansi siswa.
Fase 5 (Integrasi)
Pada fase ini, guru merancang pembelajaran agar siswa membuat ringkasan tentang kegiatan
yang sudah dipelajari (pengamatan-pengamatan, membuat sintesis dari konsep-konsep dan
hubungan-hubungan baru). Tujuan kegiata belajar fase ini adalah menginterpretasikan
pengetahuan dari apa yang telah diamati dan didiskusikan. Peran guru adalah membantu
pengiterpretasian pengetahuan siswa dengan meminta siswa membuat refleksi dan
mengklarifikasi pengetahuan geometri siswa, serta menguatkan tekanan pada penggunaan
struktur matematika.
C. Pengalaman Belajar Sesuai Tahap Berpikir van Hiele

Tingkat berpikir siswa dalam belajar geometri menurut teori van Hiele banyak bergantung pada
isi dan metode pembelajaran. Oleh sebab itu, perlu disediakan aktivitas-aktivitas yang sesuai
dengan tingkat berpikir siswa. Siswa SMP/MTs pada umumnya sudah sampai pada tahap
berpikir deduksi informal. Hal ini sesuai dengan pendapat van de Walle (1990:270) yang
menyatakan bahwa sebagian besar siswa SMP/MTs berada pada antara tahap 0 (visualisasi)
sampai tahap 2 (deduksi informal). Berikut ini dijelaskan aktivitas-aktivitas yang dapat
digunakan untuk tiga tahap pertama yaitu tahap 0 (visualisasi), tahap 1 (analisis), dan tahap 2
(deduksi informal) (Crowley, 1987:712).
1. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Pada tahap 0 (visualisasi) ini, siswa diharapkan dapat memperhatikan bangun-bangun geometri
berdasarkan penampilan fisik sebagai suatu keseluruhan. Aktivitas untuk tahap ini sebagai
berikut:
a. Memanipulasi, mewarna, melipat, dan mengkonstruk bangun-bangun geometri. b.
Mengidentifikasi bangun atau relasi geometri dalam suatu gambar sederhana, dalam kumpulan
potongan bangun, blok-blok pola atau alat peraga yang lain, dalam berbagai orientasi,
melibatkan objek-objek fisik lain dalam kelas, rumah, foto, tempat luar, dan dalam bangun yang
lain. c. Membuat bangun dengan menjiplak gambar pada kertas bergaris, menggambar bangun
dan mengkonstruk bangun. d. Mendeskripsikan bangun-bangun geometri dan mengkonstruk
secara verbal menggunakan bahasa baku atau tidak baku, misalnya kubus seperti kotak. e.
Mengerjakan masalah yang dapat dipecahkan dengan menyusun, mengukur dan menghitung.
2. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Pada tahap ini, siswa diharapkan dapat menyebutkan sifat-sifat bangun geometri. Aktivitas pada
tahap ini antara lain: a. Mengukur, mewarna, melipat, memotong, memodelkan dan menyusun
dalam urutan tertentu untuk mengidentifikasi sifat-sifat dan hubungan geometri lainnya. b.
Mendeskripsikan kelas suatu bangun sesuai dengan sifat-sifatnya. c. Membandingkan bangunbangun berdasarkan karakteristik sifat-sifatnya. d. Mengidentifikasi dan menggambar bangun
yang diberikan secara verbal atau diberikan sifat-sifatnya secara tertulis. e. Mengidentifikasi
bangun berdasarkan visual. f. Membuat suatu aturan dan generalisasi secara empirik
(berdasarkan beberapa contoh yang dipelajari). g. Mengidentifikasi sifat-sifat yang dapat
digunakan untuk mencirikan atau mengkontraskan kelas-kelas bangun yang berbeda. h.
Menemukan sifat-sifat objek yang tidak dikenal. i. Menemukan dan menggunakan kata-kata atau
simbol-simbol yang sesuai. j. Menyelesaikan masalah geometri yang dapat mengarahkan untuk
mengetahui dan menemukan sifat-sifat suatu gambar, relasi geometri atau pendekatan
berdasarkan wawasan.
3. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Pada tahap ini, siswa diharapkan mampu mempelajari keterkaitan antara sifat-sifat dari bangunbangun geometri yang dibentuk. Aktivitas siswa untuk tahap ini dijelaskan sebagai berikut: a.
Mempelajari hubungan yang telah dibuat pada tahap 1, membuat inklusi, dan membuat
implikasi. b. Mengidentifikasi sifat-sifat minimal yang menggambarkan suatu bangun. c.
Membuat dan menggunakan definisi. d. Mengikuti argumen-argumen informal. e. Mengajukan
argumen informal. f. Mengikuti argumen deduktif, mungkin dengan menyisipkan langkah-

langkah yang kurang. g. Memberikan lebih dari suatu pendekatan atau penjelasan. h. Melibatkan
kerjasama dan diskusi yang mengarah pada pernyataan dan konversi. i. Menyelesaikan masalah
yang menekankan pada pentingnya sifat-sifat gambar dan saling keterhubungannya.
Van de Walle (1990:270) membuat deskripsi aktivitas yang lebih sederhana dibandingkan dengan
deskripsi yang dibuat Crowley. Menurut Van de Walle aktivitas pembelajaran untuk masingmasing tiga tahap pertama adalah:
1. Aktivitas tahap 0 (visualisasi)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain: a. Melibatkan penggunaan model fisik yang dapat
digunakan untuk memanipulasi. b. Melibatkan berbagai contoh bangun-bangun yang bervariasi
dan berbeda sehingga sifat yang tidak relevan dapat diabaikan. c. Melibatkan kegiatan memilih,
mengidentifikasi dan mendeskripsikan berbagai bangun, dan d. Menyediakan kesempatan untuk
membentuk, membuat, menggambar, menyusun atau menggunting bangun.
2. Aktivitas tahap 1 (analisis)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain: a. Menggunakan model-model pada tahap 0, terutama
model-model yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan berbagai sifat bangun. b. Mulai lebih
menfokuskan pada sifat-sifat dari pada sekedar identifikasi. c. Mengklasifikasi bangun berdasar
sifat-sifatnya berdasarkan nama bangun tersebut. d. Menggunakan pemecahan masalah yang
melibatkan sifat-sifat bangun.
3. Aktivitas tahap 2 (deduksi informal)
Aktivitas siswa pada tahap ini antara lain: a. Melanjutkan pengklasifikasian model dengan fokus
pada pendefinisian sifat, membuat daftar sifat dan mendiskusikan sifat yang perlu dan cukup
untuk kondisi suatu bangun atau konsep. b. Memuat penggunaan bahasa yang bersifat deduktif
informal, misalnya semua, suatu, dan jika maka, serta mengamati validitas konversi suatu
relasi. c. Menggunakan model dan gambar sebagai sarana untuk berpikir dan mulai mencari
generalisasi atau kontra contoh.
RUJUKAN Anne. T.. 1999. The van Hiele Models of Geometric Thought. (Online)
Http://euler.slu.edu/teach_material/van_hiele_model_of_geometry.html, diakses 14 Oktober
2005).
Budiarto, M.T.. 2000. Pembelajaran Geometri dan Berpikir Geometri. Dalam prosiding Seminar
Nasional Matematika Peran Matematika Memasuki Millenium III. Jurusan Matematika FMIPA
ITS Surabaya. Surabaya, 2 Nopember.
Clements, D.H. & Battista, M.T.. 1992. Geometry and Spatial Reasoning. Dalam Grouws, D.A.
(Ed). Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: MacMillan
Publishing Company.
Clements, D.H. & Battista, M.T.. 2001. Geometry and Proof. (Online)
(Http://www.terc.edu/investigation/relevant/html/Geometry.html, diakses 14 Oktober 2005).
Purnomo, A.. 1999. Penguasaan Konsep Geometri dalam Hubungannya dengan Toeri
Perkembangan Berpikir van Hiele pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 6 Kodya Malang. Tesis
tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang.
Van de Walle, J.A.. 1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally.

KONSEP DASAR TEORI BELAJAR VAN HIELE


17.44

Tholee Sudarsono

4 comments

Van Hiele adalah seorang pengajar matematika di Belanda, dia telah mengadakan
penelitian di lapangan melalui observasi dan tanya jawab.Penelitian Van Hiele ditulis dalam
disertasinya pada tahun 1954 yang melahirkan beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap
perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.
A. Lima Tahap Pemahaman Geometri menurut Van Hiele
1. Tahap Pengenalan
Pada

tahap

ini

siswa

baru

mengenal

bangun-bangun

geometri

seperti

bola,kubus,segitiga,persegi dan bangun geometri lainnya.Pada tahap pengenalan anak belum


dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun geometri yang dikenalnya.Sehingga jika kita bertanya
Apakah sisi-sisi yang berhadapan pada bangun jajar genjang itu sama ?,maka anak tidak aklan
bisa menjawabnya.Untuk itu guru harus memahami betul karakter anak pada masa
pengenalan,sehingga anak tidak akan menerima konsep hanya dengan hafalan saja tetapi dengan
pengertian.
2. Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun
geometri.Misalnya,pada sebuah balok banyak sisinya ada 6 sedangkan banyak rusuknya ada
12.Dan ketika kita tanya, Apakah balok itu kubus?,maka anak tidak dapat menjawab.Karena
pada tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan keterkaitan antar bangun.
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini siswa sudah mampu mengetahui hubungan keterkaitan antar bangun
geometri.Misalnya, siswa sudah mengetahui kubus itu balok,belah ketupat itu laying-layang,dan
sebagainya.Pada tahap ini anak sudah dapat menarik kesimpulan secara deduktif.Tetapi belum
mampu memberi alasan secara rinci.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi,yaitu mengambil kesimpulan
secara deduktif.Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal
yang

bersifat

khusus

ke

umum.Misalnya,

Matematika

kesimpulan,pembuktian teorema,dan lain-lain dilakukan secara deduktif.

karena

pengambilan

Pada tahap ini anak telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak
didefinisikan,disamping

unsur-unsur

yang

didefinisikan,

aksioma

atau

problem,

dan

teorema.Anak pada tahap ini belum mengetahui kegunaan sistem deduktif.Sehingga Belum
mampu menjawab pertannyaan Mengapa sesuatu disajikan teorema ? .
5. Tahap Keakuratan
Merupakan tahap akhir perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri.Dalam
tahap ini anak sudah dapat memahami pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang
melandasi suatu penelitian.Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami
geometri.
Selain memgemukakan tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri,
Van Hiele juga mengemukakan beberapa teori yang berkaitan dengan pembelajaran
geometri,antara lain :
Tiga unsur utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran, dan metode
penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan
berfikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap sebelumnya.
Bila dua orang mempunyai tahap berfikir berlainan satu sama lain,kemudian saling
bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti.Menurut Van Hiele seorang anak
yang berada di tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti atau memahami materi
yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut.Kalaupun dipaksakan anak itu baru
bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.
Agar anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau taraf berfikirnya.Sehingga dapat digunakan
sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berfikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari
tahap sebelumnya.
Source: Nyimas Aisyah, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD.
Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas
Nurul Himmah (It's Me)

Menjadi apa adanya, belajar menerima, dan senantiasa berusaha. Never GIVE UP when I ever
try it yet
^^,

Asslamu'alaikum...
Jumat, 06 April 2012
TEORI PEMBELAJARAN THORNDIKE

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR......................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................... 1
1.1 Latar Belakang................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................. 2
1.3 Tujuan .................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN................................................................... 3
2.1 Teori Pembelajaran menurut Thorndike.................................. 3
2.2 Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran ................... 10

BAB III PENUTUP........................................................................... 12


3.1 Simpulan................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA

I.

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku pada diri manusia. Kegiatan
belajar sangat dipengaruhi bermacam-macam faktor.Metode dan strategi belajar
sangat menentukan keberhasilan pembelajaran.Keberhasilan siswa mencapai suatu
tahap hasil belajar memungkinkannya untuk belajar lebih lancar dalam mencapai
tahap selanjutnya.
Mengajar tidak secara otomatis menjadikan siswa belajar. Seorang guru sebaiknya
memiliki pola pembelajaran yang dapat menerangkan proses, menyebutkan dan
menghasilkan lingkungan belajar tertentu sehingga siswa dapat berinteraksi yang
selanjutnya berakibat terjadinya perubahan tigkah laku siswa secara khusus.
Melalui pemahaman berbagai model pembelajaran yang banyak dikembangkan di
kelas, seorang guru dapat mengembangkan strategi pembelajaran lewat pemikiran
di belakang meja sebelum yang bersangkutan menghadapi siswa.Model
pembelajaran dapat membantu guru dalam penguasaan kemampuan dan
keterampilan yang berkaitan dengan upaya mengubah tingkah laku siswa sejalan
dengan rencana yang telah ditetapkan.Hal ini berarti model pembelajaran
diharapkan dapat berperan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran, baik di
kelas maupun di luar kelas.

Strategi pembelajaran tidak terlepas dari teori belajar yang dihasilkan oleh pakarpakar pendidikan.Teori belajar yang bersumber dari pakar pendidikan atau pakar
psikologi pendidikan banyak macamnya. Misalnya teori belajar assosiasi, teori
belajar conditioning, teori belajar deduktif hipotesis, teori belajar sosial, teori belajar
eklektif, teori belajar medan kognitif, teori belajar kognitif, teori belajar pemrosesan
informasi dan sebagainya.
Disadari atau tidak, mungkin saja para guru atau pendidik di sekolah sudah
menerapkan sebagian dari teori-teori itu dalam melaksanakan tugasnya, mungkin

juga dengan tidak disadarinya guru telah menggunakan kombinasi delapan teori
belajar yang relevan untuk para siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Namun dalam pembahasan makalah ini, hanya akan dikhususkan pada bagaimana
teori pembelajaran menurut Thorndike.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah di dalam makalah ini adalah :


1. Bagaimanakah teori pembelajaran menurut Thorndike ?
2. Bagaimana penerapan teori pembelajaran Thorndike dalam matematika?

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN


1. Untuk mengetahui teori pembelajaran menurut Thorndike.
2. Untuk mengetahui penerapan teori pembelajaran Thorndike dalam matematika.

II.

PEMBAHASAN

2.1. Teori Pembelajaran Thorndike


Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang penganut paham psikologi
tingkah-laku. Berdasarkan hasil percobaannya di laboratorium yang menggunakan
beberapa jenis hewan, ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan
teori pengaitan (connectionism).
Bentuk belajar yang khas baik pada hewan maupun pada manusia oleh Thorndike
disifatkan sebagai trial and error learning atau learning by selecting and
connecting.Organisme dihadapkan kepada situasi yang mengandunhg problem
untuk dipecahkan; pelajar harus mencapai tujuan. Pelajar itu akan memilih respon
yang tepat diantara berbagai respon yang mungkin akan dilakukan. Eksperimeneksperimen Thorndike yang mula-mula modelnya adalah demikian ini, dan terutama
dilakukan dengan mempergunakan kucing sebagai subyek dalam eksperimen
itu.Eksperimennya yang khas ialah dengan kucing yang masih muda yang
kebiasaan-kebiasaannya belum kaku, dibiarkan lapar; lalu dimasukkan ke dalam
kurungan yang disebut problem box. Konstruksi pintu kurungan itu dibuat
sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan
akan terbuka dan kucing dapat keluar mencapai makanan yang ditempatkan di luar
kurungan sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada
usaha (trial) yang pertama kuycing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang
kurang relevan misalnya mencakar, menubruk dan sebagainya sampai kemudian
menyentuh tombol dan pintu terbuka.Waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang
pertama adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan berulang-ulang
pada usaha atau trial berikutnya ternyata waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan problem itu makin singkat. Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike
demikian: kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari
kurungan itu, tetpai dia belajar mencamkan (mempertahankan) respon-respon yang
benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah. Teori
tersebut menyatakan bahwa belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya
berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu, belajar merupakan peristiwa
terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S)
dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Stimulus adalah suatu

perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan


organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah sembarang
tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Asosiasi yang demikian
itu disebut bond atau connection. Dalam hal ini, akan akan menjadi lebih kuat
atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh
karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan
teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dengan adanya pandanganpandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia
pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam
psikologi pendidikan.
Iamengemukakan beberapa hukum belajar yang dikenal dengan sebutan law of
effect. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil jika respon sisw terhadap
suatu stimulus segera diikuti dengan rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau
kepuasan ini bisa timbul sebagai akaibat anak mendapatkan pujian atau ganjaran
lainnya.Stimulus ini termasukreinforcement.Setelah anak berhasil melaksanakan
tugasnya dengan tepat dan cepat, pada diri anak muncul kepuasan diri sebagai
akibat sukses yang diraihnya. Anak memperoleh suatu kesuksesan yang pada
pilihannya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga
koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnyabelajar merupakan
proses pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa
dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan
hukum akibat (law of effect).

Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini
mengikuti hukum-hukum berikut:
(1)

Hukum kesiapan(Law of readiness)

Hukum kesiapan adalah prinsip tambahan yang menggambarkan taraf fisiologis


bagi law of effect.Hukum ini menunjukkan keadaan-keadaan dimana pelajar
cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasaan, menerima atau
menolak sesuatu. Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu, yaitu:
1. Jika suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi dengan unit
tersebut akan memberi kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan lain untuk
2.

mengubah konduksi itu.


Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan
menimbulkan ketidak-puasan, dan akan menimbulkan respon-respon yang lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan, dan akan berakibat
dilakukannya tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-

3.

puasan itu.
Apabila unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksa untuk berkonduksi,
maka konduksi itu akan menimbulkan ketidak-puasan, dan berakibat dilakukannya
tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak-puasan itu.
Jadi, apabila kecenderungan bertindak itu timbul karena penyesuain diri atau
hubungan dengan sekitar, karena sikap dan sebagainya, maka memenuhi
kecendrungan itu di dalam tindakan akan memberikan kepuasan, dan dan tidak
memenuhi kecendrungan tersebut akan menimbulkan ketidak-puasan. Jadi
sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk bertindak, ready to act.
Seorang anak yang mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian
melakukan kegiatan, sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi
dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan yang melahirkan
ketidakpuasan itu.
Seorang anak yang tidak mempunyai kecenderungan untuk bertindak atau
melakukan kegiatan tertentu, sedangkan orang tersebut ternyata melakukan
tindakan, maka apa yang dilakukannya itu akan menimbulkan rasa tidak puas bagi
dirinya. Dia akan melakukan tindakan lain untuk menghilangkan ketidakpuasan
tersebut.
Dari ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa seorang anak akan lebih berhasil
belajarnya, jika ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.

(2)

Hukum latihan (law of exercise)

1.

Hukum ini mengandung dua hal yaitu:


Law of use: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah

2.

lemah atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.


Law of disuse: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah
lemah atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan yang telah
terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respondilatih (digunakan),
maka ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip
utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi
maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan
(memori).

(3)

Hukum akibat (law of effect)


Law of effectini menunjukkan kepada makin kuat atau makin lemahnya hubungan
sebagai akibat dari pada hasil respon yang dilakukan. Apabila suatu hubungan atau
koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang memuaskan, maka
kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat
dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan
hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu koneksi dibuat dan disertai
atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan, maka kekuatan hubungan itu
akan berkurang. Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta
untuk menyelesaikan suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata
jawabannya benar, maka ia merasa senang/puas dan akibatnya antara soal dan
jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini
dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka
tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu
tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut
cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain. Dalam hal ini, tampak bahwa
hukum akibat tersebut ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan
hukuman. Ganjaran yang diberikan guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian
guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik)
menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan
hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap
hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan siswa tidak lagi mengulangi
kesalahannya.Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan

guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan
membenci pelajaran matematika.
Perumusan mengenai law of effect banyak mendapat kritik. Pada pokoknya ada dua
1.

macam keberatan yang diajukan keadaan,


Kepuasan dan ketidak-puasan itu adalah istilah subyektif, jadi tidaklah tepat untuk
menggambarkan tingkah laku hewan. Tetapi sebenarnya yang dimaksud dengan
Thorndike sebagai keadaan yang memuaskan dan tidak memuaskan itu adalah
sebagai berikut: keadaan yang tidak memuaskan itu adalah keadaan dimana hewan
tidak berusaha untuk mempertahankannya, sering berusaha untuk mengakhiri
keadaan tersebut. Keadaan yang memuaskan adalah keadaan dimana hewan tidak
berusaha untuk menghindarinya sering mengulang-ulanginya, jadi, kalau dikatakan

2.

bahwa Thorndike kurang obyektif itu sebenarnya adalah kurang tepat.


Pengaruh (effect) daripada apa yang dialami atau terjadi di masa lampau yang
dirasakan kini tidak dapat diterima, sebab apa yang lampau adalah sudah lampau,
dan pengaruhnya tidak dapat dirasakan kini. Yang dimaksud oleh Thorndike
mengenai hal ini adalah demikian:
Pengaruh (effect) itu ternyata di dalam kemungkinan terjadinya respon apabila
situasi yang akan datang terjadi; tentang apakah pengaruh itu benar-benar terjadi
atau tidak, adalah masalah observasi, jadi bukanlah hal yang harus ditolak secara
apriori.
Memang perumusan-perumusan Thorndike banyak mengandung kelemahankelemahan. Kalau dikatakan dengan kata-kata yang sederhana apa yang dimaksud
oleh Thorndike itu adalah demikian : hadiah atau sukses akan berakibat
dilanjutkannya atau diulanginya perbuatan yang membawa hadiah atau sukses itu,
sedang hukuman atau kegagalan akan mengulangi tingkah laku yang membawa
hukuman atau kegagalan itu.
Ketiga hukum yang telah dikemukakan itu adalah hukum-hukum primer (primarylaws). Kecuali ketiga hukum-hukum pokok atau hukum-hukum primer itu Thorndike
mengemukakan pula lima macam hukum-hukum subside atau hukum-hukum minor
(subsidiary laws, minor laws). Kelima hukum subsider tersebut merupakan prinsipprinsip yang penting di dalam proses belajar, akan tetapi tidak sepenting hukumhukum primer. Hubungan antara hukum-hukum pokok/primer dan hukum-hukum
subsider itu tidak begitu jelas, dan dalam tulisan-tulisan Thorndike yang lebih

kemudian hukum-hukum subsider tersebut kadang-kadang dipakai lagi. Adapun ke


lima hukum subsider tersebut adalah:
1.

Law of multiple respon,


Merupakan langkah permulaan dalam proses belajar. Melalui proses trial and error
seseorang akan melakukan bermacam macam respons sebelum memperoleh
respons

2.

yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi.


Law of attitude (law of set, law of disposition),
Merupakan situasi di dalam diri individu yang menentukanapakah sesuatu itu
menyenangkan atau tidak bagi individu tersebut. Proses belajar individu dapat
berlangsung dengan baik, lancar, bila situasi menyenangkan dan terganggu bila

3.

situasi tidak menyenangkan.


Law of partial activity (law of prepotency element),
Merupakan prinsip yang menyatakan bahwa manusia memberikan respons hanya
pada aspek tertentu sesuai dengan presepsinya dari keseluruhan situasi ( respons
selektif ), dengan demikiaian orang dapat memberi respons yang berbeda pada

stimulus yang sama.


4.
Law of respon by analog (law of assimilation), dan
Menurut thorndike, manusia dapat melakukan respon pada situasi yang belum
dialami karena mereka dapat menghubungkan situasi yang baru yang belum
pernah
dialami dengan situasi lama yang pernah mereka alami, selanjutnya terjadi
5.

perpindahan ( transfer ) unsur unsur yang telah mereka kenal kepada situasi baru.
Law of associative shifting.
Perpindahan Asosiasi adalah proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke
situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara ditambahkanya
sedikit demi sedikit unsur unsur ( elemen ) baru dan membuang unsur unsur
lama sedikit demi sedikit, yang menyebabkan suatu respons dipindahkan dari suatu
situasi yang sudah dikenal ke situasi lain yang baru sama sekali.
Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer
belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah
penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu
masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu
yang identik dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur
yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi
dapat diselesaikan.Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan

sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan


harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain. Misalnya,
kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan
soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik.Dengan demikian kemampuan
mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa.Jadi,
dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering melakukan
latihan.
Eksperimen eksperimen yang dilakukan oleh Thorndike banyak mengalami
perkembangan sehingga
timbulah revisi revisi pada teorinya, antara lain:
a.

Hukum latihan ditinggalkan, karena ditemukan bila pengulangan saja tidak cukup
untuk memperkuat hubungan stimulus dengan respons, demikian pula tanpa

ulangan belum tentu melemahkan hubungan stimulus respons.


b.
Hukum akibat direvisi, karena dalam penelitianya lebih lanjut ditemukan bahwa
hanya sebagian saja dari hukum ini yang benar. Dengan ini maka untuk hukum
akibat dijelaskan, bila hadiah akan meningkatkan hubungan stimulus respons,
tetapi hukuman ( punisment ) tidak mengakibatkan efek apa apa. Dengan revisi
c.

ini berarti Thorndike tidak menghendaki adannya hukuman dalam belajar.


Belongingness, yang intinya, syarat utama bagi terjadinya hubungan stimulus
respons bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal

d.

tersebut. Dengan demikian situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar.


Spread of Effeck, yang intinya dinyatakan, akibat dari suatu perbuatan yang dapat
menular.

2.2. Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika


Aplikasi teori Thorndike sebagai slaah satu aliran psikologi tingkah laku dalam
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik telah
terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada

siswa.Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adlah


sebagai berikut:
a.

Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya


siap mengikluti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat
menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.

b.

Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu, hal


ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.

c.

Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika


denagn cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat
kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa
mampiu menyerap materi yang diberikan.

d.

Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa


mengingat materi terkait lebih lama.

e.

Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses hars bertahap
dari yang sederhana hingga yang kompleks.

f.

Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang
belum baik harus segera diperbaiki.

g.

Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik
terutama ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic
motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap
stimulus.

h.

Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk
kehidupan anak kelak setelah dari sekolah

i.

Thorndike berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan


murid tahu bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang
hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan,
respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan
respons yang salah.

j.

Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan
harus terbagi dalam unit unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan
menurut bermacam macam situasi.
III.

SIMPULAN

Teori belajar Thorndike di sebut Connectionism karena belajar merupakan proses


pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga
disebut Trial and error dalam rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus
tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap
tingkah laku beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan
orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan
membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu,
dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan
keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh horndike ini disebut juga
koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan
proses pembentukkan hubungan anatara stimulus dan respon. Terdapat beberapa
dalil atau hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of exercise) dan
hukum akibat (law of effect).
Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of
training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah
dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap
masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan unsur-unsur
pengetahuan yang telah dimiliki.

DAFTAR PUSTAKA

Suryabrata, S.. 1995. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Gredler, M. E.. 1994. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Suherman, dkk. 2003. Strategi pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung:
Jica.

ndefined

Teori Thorndike
1.
Sejarah Teori
Edward Lee Thorndike adalah seorang pendidik dan psikolog yang
berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2
dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898.
Studinya yang paling banyak dibahas orang melibatkan seekor kucing
yang diletakkan di dalam kotak masalah. Kucing yang lapar dikurung dalam
sebuah kandang dengan sepotong daging atau ikan terpampang diluarnya.
Si kucing bisa membuka pintu kandang dengan menarik sebiah simpul tali
yang tergantung di dalam kandang. Biasanya kucing melakukan proses yang
lama dengan respon lainnya sebelum akhirnya ia menarik simpul tali dan
mampu meninggalkan kandang. Pada test-test berikutnya, kucing-kucing
tersebut memerlukan waktu yang semakin singkat untuk menarik tali
tersebut. Semua ini menuntun Thorndike pada kesimpulan bahwa dalam
kegiatan kucing belajar menarik tali tidak ada pemahaman yang cerdas
mengenai hubungan antara menarik tali dan membuka pintu melainkan
hanya suatu penempaan (stamping in) koneksi stimulus-respon secara

bertahap antara melibat tali dan menariknya. Kucing ini mempelajari respon
yang benar secara bertahap.
Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle
box) diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan
respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta
melalui usaha usaha atau percobaan-percobaan (trial) dan kegagalankegagalan (error) terlebih dahulu. Menurut Thorndike, belajar merupakan
peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang
disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah suatu perubahan
dari

lingkungan

eksternal

yang

menjadi

tanda

untuk

mengaktifkan

organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah


sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Oleh
karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut
dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Karakteristik belajar trial & error adalah sebagai berikut:
a.
Adanya motif pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan
sesuatu.
b.
Seseorang berusaha melakukan berbagai macam respon dalam rangka
c.

memenuhi motif-motifnya.
Respon-respon yang dirasakan tidak bersesuaian dengan motifnya
dihilangkan. Akhirnya seseorang mendapatkan jenis respon yang paling
tepat.
2.
Hukum-Hukum Belajar Menurut Thorndike
Berdasarkan percobaan yang dilakukan Thorndike dengan kucing, maka
ia menyimpulkan hukum-hukum dalam belajar. Hukum-hukum tersebut

a.

adalah:
Hukum Kesiapan (Law of Readiness)
Hukum ini menyatakan bahwa semakin

siap

suatu

organisme

memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku


tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung
diperkuat.
Prinsip ini menyatakan bahwa belajar adalah suatu kegiatan membentuk
asosiasi (connection) antara kesan panca indera dengan kecenderungan

bertindak. Misalnya, jika anak merasa senang atau tertarik pada suatu
materi pembelajaran, maka ia akan cenderung memperhatikannya.
b.

Hukum Latihan (Law of Exercise)


Hukum yang kedua menyatakan bahwa semakin sering tingkah laku
diulang/ digunakan, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Hukum ini
dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan,
maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain.
Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan,
maka tindakan tersebut cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain.
Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut ada hubungannya
dengan pengaruh ganjaran dan hukuman.
Ganjaran yang diberikan guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian
guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan
baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa.
Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya
celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan siswa
tidak lagi mengulangi kesalahannya. Namun perlu diingat, sering terjadi,
bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat
siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya
trasfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan
yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di
dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik
dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang
identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang
dihadapi dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu
membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan.
Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan
dengan kemampuan lain.

c.

Hukum akibat (Law of Effect)

Dalam hukum ini, hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila


akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak
memuaskan. Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya
koneksi sebagai hasil perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat
menyenangkan cenderung dipertahankan dan lain kali akan diulangi.
Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan
cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.
d.

Hukum Reaksi Bervariasi (Multiple Response)


Hukum ini mengatakan bahwa pada individu diawali oleh proses trial dan
error

yang

menunjukkan

adanya

bermacam-macam

respon

sebelum

memperoleh respon yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.


e.

Hukum Sikap (Set/Attitude)


Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya
ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga
ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif, emosi ,
sosial , maupun psikomotornya.

f.

Hukum Respon by Analogy


Hukum ini mengatakan bahwa individu dalam melakukan respon pada
situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat
menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama
yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur
yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka
transfer akan makin mudah.

g.

Hukum Perpindahan Asosiasi (Associative Shifting)


Hukum ini mengatakan bahwa proses peralihan dari situasi yang dikenal
ke situasi yang belum dikenal dilakukan secara bertahap dengan cara
menambahkan sedikit demi sedikit unsur baru dan membuang sedikit demi
sedikit unsur lama.
3.
Ciri-Ciri Teori Behavioristik Thorndike
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioristik
adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya, yaitu:

a.

Mementingkan pengaruh lingkungan

b.

Mementingkan bagian-bagian

c.

Mementingkan peranan reaksi

d.

Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur


stimulus respon

e.

Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya

f.

Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan

g.

Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.


Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan paradigma
behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan
secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi
singkat yng diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui
simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana
samapi pada yang kompleks.
Tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan
pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil
yang dapat diukur dan diamati. Kesalahan harus segera diperbaiki.
Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat
menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik
ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Perilaku yang
diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai
mendapat penghargaan negatif. Evaluasi atau penilaian didasari atas
perilaku yang tampak.
4.

Penerapan

Teori

Thorndike

dalam

Pembelajaran

Matematika Kelas 3 SD
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasiasosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon
(R ). Para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun

bahan

pelajaran

dalam

bentuk

yang

sudah

siap,

sehingga

tujuan

pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru.
Berikut

ini

ilustrasi

proses

belajar

dengan

umpan

balik

dalam

pembelajaran matematika pada siswa kelas 3 SD.


KD

SK
: 1.Melakukan operasi hitung bilangan sampai tiga angka.
: 1.3. Melakukan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka dan
pembagian bilangan tiga angka
Proses Pembelajaran:
a.
Siswa dibagi dalam beberapa

kelompok.

Setiap

kelompok

beranggotakan 5 orang.
b. Setiap kelompok diberi satu amplop yang berbeda warna antar satu
kelompok

dengan

kelompok

lainnya.

Di

dalam

amplop

tersebut

terdapat soal-soal yang harus siswa kerjakan.


c. Siswa diminta untuk mengerjakan soal-soal tersebut pada kertas yang
telah disediakan tanpa bertanya pada guru dan tanpa diberikan
bimbingan. Sehingga hasil yang diperoleh adalah kemampuan dasar
siswa.
d.
Siswa bersama-sama mencocokkan jawaban dari soal yang telah
dikerjakan.
e. Siswa diberikan amplop ke 2 yang kali ini berisi soal yang sama antar
satu kelompok dengan kelompok lainnya. Setiap selesai mengerjakan
satu soal, siswa diberitahu jawabannya sampai seluruh soal selesai
dikerjakan dan dicocokkan jawabannya. Hasil yang diperoleh adalah
kemampuan selama latihan.Siswa diberikan amplop ke 3 yang juga
berisikan soal-soal, kemudian diminta untuk mengerjakannya tanpa
diberikan .
Apabila hasil belajar selama training lebih baik dari kemampuan dasar,
maka telah

terjadi proses belajar.. Hal ini seperti yang dilakukan

Thorndike pada kucing percobaannya. Siswa diberikan beberapa soal


latihan dan pada akhirnya siswa pun mampu mengerjakan soal latihan
yang diberikan.
Selain itu, latihan selama latihan juga disertai umpan balik. Umpan balik
menginformasikan bahwa hasil perkalian yang dilakukan adalah benar

atau salah. Dengan mengetahui efek dari tindakan yang dilakukan


dapat

mendorong

perubahan

tindakan.imbingan

lagi.

Hasil

yang

diperoleh adalah kemampuan setelah latihan.


Matematika Kelas B UNISMUH 2009

Mari kita satukan sebuah asa untuk mencapai sebuah pengharapan yang tinggi

Beranda

Rabu, 29 Desember 2010


Teori Belajar Matematika : Teori Belajar Thorndike
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu.
Dengan perkembangannya psikologi dalam pendidikan, maka berbarengan dengan
itu bermunculan pula berbagai teori tentang belajar, justru dapat dikatakan bahwa
dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar. Maka psikologi dalam pendidikan
menjadi berkembang sangat pesat. Didalam masa perkembangan psikologi
pendidikan dijaman mutakhir ini muncullah secara beruntun beberapa aliran
psikologi pendidikan, masing-masing yaitu :
- Psikologi Behavioristik
- Psikologi Kognitif, dan
- Psikologi Humanistic.
B. Permasalahan
Dari ketiga aliran psikologi tersebut, behavioristik adalah merupakan salah satu
aliran yang dimiliki oleh Edward Lee Thorndike sehingga dalam makalah ini penulis
akan mengangkat tentang :
1. Biografi Edward Lee Thorndike
2. Bagaimana teori-teori Edward L.T. ?, dan
3. Apa saja hukum-hukum yang digunakan Edward L.T. ?
C. Batasan Masalah
Dalam pembahasan masalah, penulis membatasi ruang lingkup hanya pada ketiga

aspek tersebut diatas.


D. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk menambah wawasan pengetahuan
mahasiswa/mahasiswi pada muta kuliah Teori Belajar Matematika terutama tentang
pemikiran dan teori-teori Edward Lee Thorndike sesuai dengan makalah yang
penulis susun.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Edward Lee Thorndike
Edward lee thorndike meski secara teknis seorang fungsionalis, namun ia telah
membentuk tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (18741949) mendapat gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada
tahun 1895, dan master dari Hardvard pada tahun 1897. ketika disana, dia
mengikuti kelasnya Williyams James dan merekapun cepat menjadi akrab.dia
menerima bea siswa di Colombia, dan mendapatkan gelar PhD-nya tahun 1898.
kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombiasampai pension pada tahun 1940.
[1]
Dan dia menerbitkan suatu buku yang berjudul Animal intelligence, An
experimental study of associationprocess in Animal. Buku ini yang merupakan hasil
penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing, anjing,
dan burung.yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang dianut oleh
Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak laian sebenaranya adalah
asosiasi, suatu stimulum akan menimbulkan suatu respon tertentu.
Teori ini disebutdengan teori S-R. dalam teori S-R dikatakan bahwa dalam proses
belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara coba salah
(Trial end error). Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung
masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari
kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu.
Berdasarkan pengalaman itulah , maka pada saat menghadai masalah yang serupa,
organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus di keleluarkannya untuk
memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu
tingkah laku tertentu. Seekor kucing misalnya, yang di masukkan dalam kandang
yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar dan sebagainya sampai
suatu saat secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga
kandang itu terbuka. Sejak itu, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia
dimasukkan dalam kandang yang sama.

B. Teori Belajar yang di Kemukakan Edward Leer Thorndike


Pada mulanya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh
pengaruh dari Thorndike (1874-1949) teori belajar Thorndike di sebut

Connectionism karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi


antara stimulus dan respon. Teori ini sering juga disebut Trial and error dalam
rangkan menilai respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike
mendasarkan teorinya atas hasil-hasil penelitiannya terhadap tingkah laku
beberapa binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak-anak dan orang
dewasa.
Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang belum dikenal dan
membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk merespon situasi itu,
dalam hal ini objek mencoba berbagai cara bereaksi sehingga menemukan
keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri belajar dengan trial and error :
- Ada motif pendorong aktivitas
- Ada berbagai respon terhadap situasi
- Ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
- Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
C. Hukum-Hukum yang digunakan Edward Lee Thorndike
1. Hukum latihan :
Hukum ini pada dasarnya sama dengan hukum frekuensinya Aristoteles, jika
asosiasi (atau koneksi neural) lebih sering digunanakan, maka koneksinya akan
lebih kuat, sedangkan yang paling kurang penggunaannya, maka paling lemahlah
koneksinya, dua hal inilah yang berturut-turut disebut dengan hukum kegunaan dan
ketidak bergunaan.
2. Hukum epek
Ketika sebuah asosiasi kemudian di ikuti dengan keadaan yang memuaskan, maka
hasilnya menguat begitu juga sebaliknya ketika sebua asosiasi di ikuti dengan
keadaanyang memuaskan, maka koneksinya melemah, kecuali untuk bahasa
mentalistik (kepuasan bukanlah perilaku), karena hal itu sama dengan
pengondisian operasi coperant Conditioning-nya Skiner.
Pada tahun 1929, penelitiannya telah membawanya keluar dari semua dal diatas
kecuali apa yang yang kita sebut sekarang dengan penguatan (reinforcement).
Thorndike yang dikenal karena kajiannya tentang Transfer pelatihan (Transfer or
Training), kemudian ia percaya (dan masih sering percaya) bahwa mengkaji subjeksubjek sulit meskipun anda tidak akan pernah menggunakannya. Adalah bagus buat
anda karena hal itu memperkuat pikiran anda. Hal ini adalah sejenis latihan yang
bias memperkuat otot-otot anda. Hal itu kemudian di gunakan kembali untuk
membenarkan cara anak belajar bahasa latin, seperti halnya yang digunakan saat
ini. untuk membenarkan cara anak belajar kalkulus. Namun dia menyatakan bahwa
hanya keserupaan objek kedua dengan yang pertama sama saja yang bias
mengarah pada pembelajaran yang meningkat hasilnya dalam subjek kedua. Jadi
bahasa latin mungkin membantu anda belajar bahasa Italia, atau belajar aljabar
mungkin membantu anda belajar kalkulus, tetapi bahasa latin tidak akan pernah
membantu anda belajar kalkulus atau hal-hal lain yang berbeda.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan :
Dari uraian diatas maka dapat diambil berapa kesimpulan :
1. Teori belajar yang dekemukakan Edward Lee Thorndike disebut dengan teori
Connectionism atau dapat juga di sebut Trial and Error Learning.
2. Ciri-ciri Belajar dengan Trial and error adalah :
- Ada motif pendorong aktivitas
- Ada berbagai respon terhadap situasi
- Ada eliminasi respon-respon yang gagal atau salah
- Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan
3. Hukum-hukum yang digunakan Edward Leet adalah hukum latihan dan hukum
efek.

DAFTAR PUSTAKA

Boeree,George, 2005, Sejarah Psikologi, Jakatra: Prima Shopie


http://rumahrizal.multiply.com/journal/item/7
Soemanto, Wasty, 1998, Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta
Wirawan, Sartito, 2006, Berkenalan dengan Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi,

EORI PEMBELAJARAN MATEMATIKA MENURUT


ALIRAN PSIKOLOGI BEHAVIORISTIK (TINGKAH LAKU)
Jakarta: Bulan Bintang.

A. Teori Hirarki Belajar dari Robert M.Gagne

Menurut kamus ilmiah populer (2006:179) hirarki berarti berurutan-urutan, peringkat, tingkat.
Hirarki belajar merupakan struktur belajar yang terdiri dari tingkatan-tingkatan belajar. Teori
yang diperkenalkan Robert M.Gagne pada tahun 1960-an pembela-jaran harus dikondisikan
untuk memunculkan respons yang diharapkan,Menurut Gagne (dalam Ismail 1998), Gagne
memberikan pemecahan dan pengurutan materi pembelajaran dengan selalu menanyakan
pertanyaan ini: Pengetahuan apa yang lebih dahulu harus dikuasai siswa agar ia berhasil
mempelajari suatu pengetahuan tertentu?. Setelah mendapat jawabannya, ia harus bertanya
lagi seperti pertanyaan yang di atas tadi untuk mendapat-kan prasyarat yang harus dikuasai
dan dipelajari siswa sebelum ia mempelajari pengetahuan tersebut. Begitu seterusnya sampai
didapatkan urut-urutan pengetahuan dari yang paling sederhana sampai yang paling kompleks.
Hirarki belajar dari Gagne memungkinkan juga prasyarat yang berbeda untuk kemampuan yang
berbeda pula. Sebagai contoh, pemecahan masalah membutuhkan aturan, prinsip dan konsep
konsep terdefinisi sebagai prasyaratnya, yang membutuhkan konsep konkret sebagai prasyarat
berikutnya,

Menurut Gagne belajar dapat dikategorikan sebagai berikut :


1. Verbal information (informasi verbal)
Belajar informasi verbal merupakan kemampuan yang dinyatakan , seperti membuat label,
menyusun fakta-fakta, dan menjelaskan. Kemampuan / unjuk kerja dari hasil belajar, seperti
membuat pernyataan, penyusunan frase, atau melaporkan informasi
2. Intellectual Skill (skil Intelektual)
Kemampuan skil intelektual adalah kemampuan pembelajar yang dapat menunjukkan
kompetensinya sebagai anggota masyarakat seperti; menganalisa berita-berita. Membuat
keseimbangan keuangan, menggunakan bahasa untuk mengungkapkan konsep, menggunakan
rumus-rumus matematika. Dengan kata lain ia tahu Knowing how
3. Attitude (perilaku)
Attitude (perilaku) merupakan kemampuan yang mempengaruhi pilihan pembelajar (peserta
didik) untuk melakukan suatu tindakan. Belajar mealui model ini diperoleh melalui pemodelan
atau orang yang ditokohkan, atau orang yang diidolakan.
4. Cognitive strategi (strategi kognitif)

Strategi kognitif adalah kemampuan yang mengontrol manajemen belajar si pembelajar


mengingat dan berpikir. Cara yang terbaik untuk mengembangkan kemampuan tersebut adalah
dengan melatih pembelajar memecahkan masalah, penelitian dan menerapkan teori-teori untuk
memecahkan masalah ril dilapangan. Melalui pendidikan formal diharapkan pembelajar menjadi
self learner dan independent tinker.
Menurut Gagne tingkah laku manusia sangat bervariasi dan berbeda dihasilkan dari belajar.
Kita dapat mengklasifikasikan tingkah laku sedemikian rupa sehingga dapat diambil
implikasinya yang bermanfaat dalam proses belajar. Gagne mengemukakan bahwa
ketrampilan-ketrampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kemampuankemampuan atau disebut juga kapabilitas.

Hasil Belajar Gagne


Gagne mengemukakan 5 macam hasil belajar atau kapabilitas tiga bersifat kognitif, satu bersifat
afektif dan satu bersifat psikomotor.Hasil belajar menjadi lima kategori kapabilitas sebagai
berikut :
1. Informasi verbal
Kapabilitas informasi verbal merupakan kemampuan untuk mengkomunikasikan secara lisan
pengetahuannya tentang fakta-fakta.
2. Ketrampilan Intelektual
Kapabilitas ketrampilan intelektual merupakan kemampuan untuk dapat membedakan,
menguasai konsep aturan, dan memecahkan masalah.
3. Strategi Kognitif
Kapabilitas Strategi Kognitif adalah Kemampuan untuk mengkoordinasikan
mengembangkan proses berfikir dengan cara merekam, membuat analisis dan sintesis.

serta

4. Sikap
Kapabilitas Sikap adalah kecenderungan untuk merespon secara tepat terhadap stimulus atas
dasar penilaian terhadap stimulus tersebut.
5. Ketrampilan motorik

Untuk dapat mengetahui seseorang memiliki kapabilitas ketrampilan motorik dapat dilihat dari
segi kecepatan, ketepatan, dan kelancaran gerakan otot-otot serta anggota badan yang
diperlihatkan orang tersebut.

B. Teori Belajar Bermakna Menurut David P. Ausubel

David P. Ausubel

Menurut Ausubel dalam (Dahar, 1988: 134) belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi.
-

Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi disajikan pada siswa, melalui
penemuan atau penerimaan. Belajar penerimaan menyajikan materi dalam bentuk final, dan
belajar penemuan mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh
materi yang diajarkan.

Dimensi kedua berkaitan dengan bagaimana cara siswa dapat mengaitkan informasi atau
materi pelajaran pada struktur kognitif yang telah dimilikinya, ini berarti belajar bermakna. Akan
tetapi jika siswa hanya mencoba-coba menghapal informasi baru tanpa menghubungkan
dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka dalam hal ini terjadi
belajar hafalan.

Menurut Ausubel, seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam


sekema yang telah ia punya. Dalam proses itu seseorang dapat memperkembangkan sekema

yang ada atau dapat mengubahnya. Dalam proses belajar ini siswa mengonstruksi apa yang ia
pelajari sendiri.

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui
proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan Gagne, Ausubel beranggapan bahwa
aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar- akan
bermanfaat kalau mereka banyak dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada
tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk
mereka, menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.
Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau
bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya
dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
Empat type belajar menurut Ausubel , yaitu:

1.
Belajar dengan penemuan yang bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah
dimilikinya dengan materi pelajaran yang dipelajari itu. Atau sebaliknya, siswa terlebih dahulu
menmukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru tersebut ia
kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2.
Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari
ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian
dia hafalkan.
3.
Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna yaitu materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan
yang baru ia peroleh itu dikaitkan dengan pengetahuan lain yang telah dimiliki.
4.
Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah
tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir , kemudian pengetahuan
yang baru ia peroleh itu dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan lain yang telah
ia miliki.
Prasyarat agar belajar menerima menjadi bermakna menurut Ausubel, yaitu:

1.
Belajar menerima yang bermakna hanya akan terjadi apabila siswa memilki strategi
belajar bermakna.

2.
Tugas-tugas belajar yang diberikan kepada siswa harus disesuaikan dengan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa
3.
Tugas-tugas belajar yang diberikan harus sesuai dengan tahap perkembangan
intelektual siswa

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa
yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat
ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku
akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang
tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3)
hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat
memperkuat respon
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif.
Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan
lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang
dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak
sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar
stimulus itu akan memengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensikonsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya memengaruhi munculnya perilaku (Slavin,
2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami
hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin
dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk
menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan
perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)


van Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia. Ia mengemukakan bahwa
dengan menerapkan strategi ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara stimulus
alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang
diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang
berasal dari luar dirinya.
Pavlov mengadakan percobaan laboratories terhadap anjing. Dalam percobaan ini anjing di
beri stimulus bersarat sehingga terjadi reaksi bersarat pada anjing. Contoh situasi
percobaan tersebut pada manusia adalah bunyi bel di kelas untuk penanda waktu tanpa
disadari menyebabkan proses penandaan sesuatu terhadap bunyi-bunyian yang berbeda
dari pedagang makan, bel masuk, dan antri di bank. Dari contoh tersebut diterapkan
strategi Pavlo ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami
dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan.
Sementara individu tidak sadar dikendalikan oleh stimulus dari luar. Belajar menurut teori ini
adalah suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat yang
menimbulkan reaksi.Yang terpenting dalam belajar menurut teori ini adalah adanya latihan
dan pengulangan. Kelemahan teori ini adalah belajar hanyalah terjadi secara otomatis
keaktifan dan penentuan pribadi dihiraukan.

b. Thorndike (1874-1949)
Menurut Thorndike belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara
peristiwa yang disebut stimulus dan respon. Thorndike menggambarkan proses belajar
sebagai proses pemecahan masalah. Dalam penyelidikannya tentang proses belajar,
pelajar harus diberi persoalan, dalam hal ini Thorndike melakukan eksperimen dengan
sebuah puzzlebox. Eksperimen yang dilakukan adalah dengan kucing yang dimasukkan
pada sangkar tertutup yang apabila pintunya dapat dibuka secara otomatis bila knop di
dalam sangkar disentuh. Percobaan tersebut menghasilkan teori Trial dan Error. Ciri-ciri
belajar dengan Trial dan Error Yaitu : adanya aktivitas, ada berbagai respon terhadap
berbagai situasi, ada eliminasai terhadap berbagai respon yang salah, ada kemajuan
reaksi-reaksi mencapai tujuan.
Atas dasar percobaan di atas, Thorndike menemukan hukum-hukum belajar :
1. Hukum kesiapan (Law of Readiness)
Jika suatu organisme didukung oleh kesiapan yang kuat untuk memperoleh stimulus maka
pelaksanaan tingkah laku akan menimbulkan kepuasan individu sehingga asosaiasi
cenderung diperkuat.
2. Hukum latihan

Hukum latihan akan menyebabkan makin kuat atau makin lemah hubungan S-R. Semakin
sering suatu tingkah laku dilatih atau digunakan maka asosiasi tersebut semakin kuat.
Hukum ini sebenarnya tercermin dalam perkataan repetioest mater studiorum atau practice
makes perfect.
3. Hukum akibat ( Efek )
Hubungan stimulus dan respon cenderung diperkuat bila akibat menyenangkan dan
cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Rumusan tingkat hukum akibat
adalah, bahwa suatu tindakan yang disertai hasil menyenangkan cenderung untuk
dipertahankan dan pada waktu lain akan diulangi. Jadi hokum akibat menunjukkan
bagaimana pengaruh hasil suatu tindakan bagi perbuatan serupa.
c. Skinner (1904-1990)
Skinner menganggap reward dan reinforcement merupakan faktor penting dalam belajar.
Skinner berpendapat bahwa tujuan psikologi adalah meramal, mengontrol tingkah laku.
Pada teori ini guru memberi penghargaan hadiah atau nilai tinggi sehingga anak akan lebih
rajin. Teori ini juga disebut dengan operant conditioning. Operant conditioning adalah suatu
proses penguatan perilaku operant yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat
diulang kembali atau menghilang sesuai keinginan.
Operant conditing menjamin respon terhadap stimuli. Bila tidak menunjukkan stimuli maka
guru tidak dapat membimbing siswa untuk mengarahkan tingkah lakunya. Guru memiliki
peran dalam mengontrol dan mengarahkan siswa dalam proses belajar sehingga tercapai
tujuan yang diinginkan.
Prinsip belajar Skinners adalah :
1.Hasil belajar harus segera diberitahukan pada siswa jika salah dibetulkan jika benar diberi
penguat.
2.Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar. Materi pelajaran digunakan
sebagai sistem modul.
3.Dalam proses pembelajaran lebih dipentingkan aktivitas sendiri, tidak digunakan
hukuman. Untuk itu lingkungan perlu diubah untuk menghindari hukuman.
4.Tingkah laku yang diinginkan pendidik diberi hadiah dan sebaiknya hadiah diberikan
dengan digunakannya jadwal variable ratio reinforcer.
5.dalam pembela
Belajar menurut Ausubel adalah proses internal yang tidak dapat diamatisecara langsung. Perubahan terjadi dalam
kemampuan seseorang untuk bertingkahlaku dan berbuat dalam situasi tertentu, perubahan dalam tingkah laku
hanyalahsuatu reflek dari perubahan internal (berbeda dengan aliran behaviorisme, alirankognitif mempelajari aspekaspek yang tidak dapat diamati secara langsungseperti, pengetahuan, arti, perasaan, keinginan, kreativitas, harapan
dan pikiran).38Bermakna menurut Ausubel merupakan suatu proses dikaitkannya informasi barupada konsepkonsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorangfaktor yang paling penting yang mempengaruhi
belajar adalah apa yang telahdiketahui siswa.Pandangan Ausubel agak berlawanan dengan Burner yang
beranggapanbahwa belajar dengan menemukan sendiri (discovery learning) adalah sesuaidengan hakikat manusia
sebagai seorang yang mencari-cari secara aktif danmenghasilkan pengetahuan serta pemahaman yang sungguhsungguh bermakna Sedang menurut Ausubel kebanyakan orang belajar terutama dengan menerimadari orang lain
(reception learning).39Kedua pandangan tersebut sangat mirip yakni sebuah konstruksipengetahuan baru yang
sesungguhnya bergantung pada sistem pembelajaran yangbermakna. Hanya saja discovery learning Burner
menonjolkan corak berpikirinduktif sedangkan reception learning Ausubel menonjolkan corak berpikirdeduktif.
Sebagai konsekuensinya, Ausubel mencanangkan mengajar yangdisebutkan mengajar dengan menguraikan

(expository teaching).Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah b e k e r j a u n t u k m e n c a r i h u


k u m b e l a j a r y a n g b e rmakna, berikut ini konsep belajar bermaknaDavid Ausubel.
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2184189-teori-belajar-bermakna-davidausubel/#ixzz2PxKEJpjA
2.

Teori Belajar Gagne


Teori belajar Gagne didasarkan pada pembelajaran yang merupakan faktor sangat penting dalam
perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam
pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam
bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisikondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari
lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Hal ini memunculkan pemikiran Gagne bahwa
pembelajaran harus dikondisikan untuk memunculkan respons yang diharapkan.
Ahli belajar (learning theorist) Gagne telah membagi objek-objek matematika yang diperoleh siswa menjadi
objek langsung dan objek tak langsung (Bell, 1978). Objek langsung adalah fakta (fact), konsep (concept), prinsip
(principle), dan keterampilan (skill). Sedangkan contoh objek tak langsungnya adalah berpikir logis, kemampuan
memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan dan ketelitian. (Fadjar Shodiq dan Nur Amini
Mustajab, 2011: 13). Jadi, objek tak langsung adalah kemampuan yang secara tak langsung akan dipelajari siswa
ketika mereka mempelajari objek langsung matematika.
Menurut Gagne penampilan-penampilan yang dapat diamati sebagai hasil-hasil belajar disebut kapabilitas.
Gagne mengemukakan 5 macam kapabilitas, yaitu informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap
dan keterampilan motorik. Keterampilan intelektual menurut Gagne dikelompokkan ke dalam delapan tipe, yaitu:
belajar isyarat, belajar stimulus respon, belajar rangkaian gerak, belajar rangkaian verbal, belajar memperbedakan,
belajar pembentukan aturan, dan belajar pemecahan masalah. Menurut Gagne sasaran pembelajaran adalah
kemampuan. Kemampuan yang dimaksudkan di sini adalah hasil perilaku yang bisa dianalisis. Gagne berpendapat
bahwa rangkaian belajar dimulai dari prasyarat yang sederhana yang kemudian meningkat pada kemempuan
kompleks.
Didasarkan atas model pemrosesan informasi Gagnemengemukakan bahwa satu tindakan belajar meliputi
delapan fase belajar yang merupakan kejadian-kejadian eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru,
dan setiap fase ini dipasangkan dengan suatu proses internal yang terjadi dalam pikiran siswa. Didasarkan atas
analisis kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan agar guru memperhatikan delapan kejadian instruksi waktu
menyajikan suatu pelajaran pada sekelompok siswa.
Kejadian-kejadian belajar
Berdasarkan analisisnya tentang kejadian-kejadian belajar, Gagne menyarankan kejadian-kejadian instruksi.
Menurut Gagne, bukan hanya guru yang dapat memberikan instruksi; kejadian-kejadian belajarnya dapat juga
diterapkan baik pada belajar penemuan, atau belajar di luar kelas, maupun belajar dalam kelas. Tetapi kejadiankejadian instruksi yang dikemukakan Gagne ditunjukkan pada guru yang menyajikan suatu pelajaran pada
sekelompok siswa-siswa (Fadjar Shodiq dan Nur Amini Mustajab, 2011: 3).

3.

Teori Belajar Baruda

Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu melalui meniru. Pengertian meniru di sini bukan berarti
menyontek, tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika tulisan guru baik, guru
berbicara sopan santun dengan menggunakan hahasa yang baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan
dengan jelas dan sistematik, maka siswa akan menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik ia pun
menirunya. Dengan demikian guru harus menjadi manusia model yang profesional. Teori social learning (belajar
sosial), anak belajar dari meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian, lingkungan adalah faktor
penting yang mempengaruhi perilaku, meskipun proses kognitif juga tidak kalah pentingnya manusia memiliki
kemampuan untuk mengendalikan polanya sendiri
Tipe belajar menurut Robert M. Gagne
Manusia memilki beragam potensi, karakter, dan kebutuhan dalam belajar. Karena itu banyak tipe-tipe belajar yang
dilakukan manusia.
Gagne mencatat ada delapan tipe belajar :
1. Belajar isyarat (signal learning)
Menurut Gagne, ternyata tidak semua reaksi sepontan manusia terhadap stimulus sebenarnya tidak menimbulkan
respon.dalam konteks inilah signal learning terjadi. Contohnya yaitu seorang guru yang memberikan isyarat kepada
muridnya yang gaduh dengan bahasa tubuh tangan diangkat kemudian diturunkan.
2. Belajar stimulus respon
Belajar tipe ini memberikan respon yang tepat terhadap stimulus yang diberikan. Reaksi yang tepat diberikan
penguatan (reinforcement) sehingga terbentuk perilaku tertentu (shaping). Contohnya yaitu seorang guru
memberikan suatu bentuk pertanyaan atau gambaran tentang sesuatu yang kemudian ditanggapi oleh muridnya.
Guru member pertanyaan kemudian murid menjawab.
3. Belajar merantaikan (chaining)
Tipe ini merupakan belajar dengan membuat gerakan-gerakan motorik sehingga akhirnya membentuk rangkaian
gerak dalam urutan tertentu. Contohnya yaitu pengajaran tari atau senam yang dari awal membutuhkan prosesproses dan tahapan untuk mencapai tujuannya.
4. Belajar asosiasi verbal (verbal Association)
Tipe ini merupakan belajar menghubungkan suatu kata dengan suatu obyek yang berupa benda, orang atau kejadian
dan merangkaikan sejumlah kata dalam urutan yang tepat. Contohnya yaitu Membuat langkah kerja dari suatu
praktek dengan bntuan alat atau objek tertentu. Membuat prosedur dari praktek kayu.
5. Belajar membedakan (discrimination)
Tipe belajar ini memberikan reaksi yang berbedabeda pada stimulus yang mempunyai kesamaan. Contohnya yaitu
seorang guru memberikan sebuah bentuk pertanyaan dalam berupa kata-kata atau benda yang mempunyai jawaban
yang mempunyai banyak versi tetapi masih dalam satu bagian dalam jawaban yang benar. Guru memberikan
sebuah bentuk (kubus) siswa menerka ada yang bilang berbentuk kotak, seperti kotak kardus, kubus, dsb.
6. Belajar konsep (concept learning)
Belajar mengklsifikasikan stimulus, atau menempatkan obyek-obyek dalam kelompok tertentu yang membentuk
suatu konsep. (konsep : satuan arti yang mewakili kesamaan ciri). Contohnya yaitu memahami sebuah prosedur
dalam suatu praktek atau juga teori. Memahami prosedur praktek uji bahan sebelum praktek, atau konsep dalam
kuliah mekanika teknik.
7. Belajar dalil (rule learning)
Tipe ini meruoakan tipe belajar untuk menghasilkan aturan atau kaidah yang terdiri dari penggabungan beberapa
konsep. Hubungan antara konsep biasanya dituangkan dalam bentuk kalimat. Contohnya yaitu seorang guru
memberikan hukuman kepada siswa yang tidak mengerjakan tugas yang merupakan kewajiban siswa, dalam hal itu
hukuman diberikan supaya siswa tidak mengulangi kesalahannya.
8. Belajar memecahkan masalah (problem solving)
Tipe ini merupakan tipe belajar yang menggabungkan beberapa kaidah untuk memecahkan masalah, sehingga
terbentuk kaedah yang lebih tinggi (higher order rule). Contohnya yaitu seorang guru memberikan kasus atau
permasalahan kepada siswa-siswanya untuk memancing otak mereka mencari jawaban atau penyelesaian dari
masalah tersebut.

Selain delapan jenis belajar, Gagne juga membuat semacam sistematika jenis belajar.
Menurutnyasistematika tersebut mengelompokkan hasil-hasil belajar yang mempunyai ciri-ciri sama dalam satu
katagori. Kelima hal tersebut adalah :
1. keterampilan intelektual : kemampuan seseorang untuk berinteraksi dengan lingkungannya dengan
menggunakan symbol huruf, angka, kata atau gambar.
2. informasi verbal : seseorang belajar menyatakan atau menceritakan suatu fakta atau suatu peristiwa secara lisan
atau tertulis, termasuk dengan cara menggambar.
3. strategi kognitif : kemampuan seseorang untuk mengatur proses belajarnya sendiri, mengingat dan berfikir.
4. keterampilan motorik : seseorang belajar melakukan gerakan secara teratur dalam urutan tertentu (organized
motor act). Ciri khasnya adalah otomatisme yaitu gerakan berlangsung secara teratur dan berjalan dengan lancar
dan luwes.
5. sikap keadaan mental yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan pilihan-pilihan dalam bertindak.
Behaviorisme adalah sebuah aliran dalam psikologi yang didirikan oleh John B. Watson pada tahun
1913 yang berpendapat bahwa perilaku harus merupakan unsur subyek tunggal
psikologi.Behaviorisme merupakan aliran revolusioner, kuat dan berpengaruh, serta memiliki akar
sejarah yang cukup dalam.Behaviorisme lahir sebagai reaksi terhadap introspeksionisme (yang
menganalisis jiwa manusia berdasarkan laporan-laporan subjektif) dan juga psikoanalisis (yang
berbicara tentang alam bawah sadar yang tidak tampak).
Behaviorisme secara keras menolak unsur-unsur kesadaran yang tidak nyata sebagai obyek studi dari
psikologi, dan membatasi diri pada studi tentang perilaku yang nyata. Dengan demikian, Behaviorisme
tidak setuju dengan penguraian jiwa ke dalam elemen seperti yang dipercayai oleh strukturalism.
Berarti juga behaviorisme sudah melangkah lebih jauh dari fungsionalisme yang masih mengakui
adanya jiwa dan masih memfokuskan diri pada proses-proses mental.
Behaviorisme ingin menganalisis bahwa perilaku yang tampak saja yang dapat diukur, dilukiskan, dan
diramalkan. Behaviorisme memandang pula bahwa ketika dilahirkan, pada dasarnya manusia tidak
membawa bakat apa-apa. Manusia akan berkembang berdasarkan stimulus yang diterimanya dari
lingkungan sekitarnya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia buruk, lingkungan yang
baik akan menghasilkan manusia baik. Kaum behavioris memusatkan dirinya pada pendekatan ilmiah
yang sungguh-sungguh objektif. Kaum behavioris mencoret dari kamus ilmiah mereka, semua
peristilahan yang bersifat subjektif, seperti sensasi, persepsi, hasrat, tujuan, bahkan termasuk berpikir
dan emosi, sejauh kedua pengertian tersebut dirumuskan secara subjektif.

Menurut teori tingkah laku, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Atau lebih tepat perubahan yang dialami siswa dalam hal
kemampuan untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus
dan respon. Meskipun semua penganut aliran ini setuju dengan premis dasar ini, namun mereka
berbeda dalam beberapa hal penting.
Berikut ini kita kaji hasil karya dari beberapa penganut aliran ini yang paling penting, yaitu
Thorndike, Hull, Guthrie, dan Skinner.
Thorndike

Konstruktivisme Menurut J. Piaget


Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan
orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir
sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan
operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari
pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan
lingkungan (Slavin, 2000)

A.

Biografi J. S. Bruner
Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S.Bruner seorang ahli psikologi
(1915) dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi
kognitif yang memberi dorongan
pentingnya

pengembangan

agar pendidikan memberikan perhatian pada

berfikir.

Bruner

banyak

memberikan

pandangan

mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana manusia belajar, atau


memperoleh pengetahuan dan mentransformasi pengetahuan. Dasar pemikiran
teorinya memandang bahwa manusia sebagai pemproses, pemikir dan pencipta
informasi.

Bruner

menyatakan

belajar

merupakan

suatu

proses

aktif

yang

memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasi yang


diberikan kepada dirinya.

B.

Proses Belajar Mengajar Menurut Jerome S. Bruner


Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap
mata pelajaran dapat diajarakan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara
intelektual

kepada

setiap

anak

dalam

setiap

tingkat

perkembangannya.

Pendiriannya ini didasarkan sebagian besar atas penelitian Jean Piaget tentang
perkembangan intelektual anak. Berhubungan dengan hal itu, antara lain:
a.

Perkembangan intelektual anak


Menurut penelitian J. Piaget, perkembangan intelektual anak dapat dibagi
menjadi tiga taraf.

1.

Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak
berkenaan dengan anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan
perbedaan yang tegas antara perasaan dan motif pribadinya dengan realitas dunia

luar. Karena itu ia belum dapat memahami dasar matematikan dan fisika yang
fundamental, bahwa suatu jumlah tidak berunah bila bentuknya berubah. Pada taraf
ini kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak sangat
terbatas.
2.

Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu internalized, artinya dalam
menghadapi suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan
perbuatan yang nyata; ia telah dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada
taraf operai kongkrit ini ia hanya dapat memecahkan masalah yang langsung
dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu memecahkan masalah yang tidak
dihadapinya secara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialami
sebelumnya.

3.

Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan
kemungkinan hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung
dihadapinya sebelumnya.[1]

b.

Tahap-tahap dalam proses belajar mengajar


Menurut Bruner, dalam prosses belajar siswa menempuh tiga tahap, yaitu:

1.

Tahap informasi (tahap penerimaan materi)


Dalam tahap ini, seorang siswa yang sedang belajar memperoleh sejumlah
keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari.

2.

Tahap transformasi (tahap pengubahan materi)


Dalam tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah atau
ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrakatau konseptual.

3.

Tahap evaluasi
Dalam tahap evaluasi, seorang siswa menilai sendiri sampai sejauh mana informasi
yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau
masalah yang dihadapi.[2]

c.

Kurikulum spiral

J. S. Bruner dalam belajar matematika menekankan pendekatan dengan


bentuk spiral. Pendekatan spiral dalam belajar mengajar matematika adalah
menanamkan konsep dan dimulai dengan benda kongkrit secara intuitif, kemudian
pada tahap-tahap yang lebih tinggi (sesuai dengan kemampuan siswa) konsep ini
diajarkan dalam bentuk yang abstrak dengan menggunakan notasi yang lebih
umum dipakai dalam matematika. Penggunaan konsep Bruner dimulai dari cara
intuitif keanalisis dari eksplorasi kepenguasaan. Misalnya, jika ingin menunjukkan
angka 3 (tiga) supaya menunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya.
Contoh himpunan tiga buah mangga. Untuk menanamkan pengertian 3
diberikan 3 contoh himpunan mangga. Tiga mangga sama dengan 3 mangga.[3]
Teori belajar Zoltan P.Dienes
Zalton P. Dienes meyakini bahwa dengan menggunakan berbagai sajian
(representasi)tentang suatu konsep matematika, anak-anak akan dapat
memahami secara penuh konseptersebut jika di bandingkan dengan hanya
menggunakan satu macam sajian saja.
Sebagaic o n t o h , j i k a g u r u i n g i n m e n g a j a r k a n k o n s e p p e r s e g i , m a k a g
u r u d i s a r a n k a n u n t u k menyajikan beberapa gambar persegi dengan
ukuran sisi berlainan. Contoh lain, pada s a a t g u r u a k a n
m e n ge n al kan ko n s ep b il an g an t i g a kep ad a s i s w a, gu r u d i s ar an kan
menggunakan tiga mangga, tiga kelereng, tiga bola, tiga pensil, dan tiga benda
kongkretlain.
Te
Teori belajar William Brownell
Teori belajar William Brownell didasarkan atas keyakinan bahwa anak-anak
memahamiapa yang sedang mereka pelajari jika belajar secara permanen atau
secara terus
menerusu n t u k w a k t u y a n g l a m a . S a l a h s a t u c a r a b a g i a n a k a n a k u n t u k m e n g e m b a n g k a n pemahaman tentang matematika
adalah dengan menggunakan benda-benda tentu
ketikam e r e k a m e m p e l a j a r i k o n s e p m a t e m a t i k a . S e b a g a i c o n t o h , p a
d a s aa t an ak - an ak b ar u pe r t am a kal i d i pe r ke n alkan d e ng an
k o n s e p m e m b i l a n g , m e r e k a a k a n l e b i h m u d a h memahami konsep itu
jika mereka menggunakan benda kongkrit yang mereka kenal ;seperti
mangga, kelereng, bola atau sedotan. Dengan kata lain, teori belajar
William b r o w n e l i n i m e n d u k u n g p e n g g u n a a n b e n d a - b e n d a k o n g r e t
u n t u k d i m a n i p u l a s i k a n sehingga anak-anak dapat memahami makna dari

konsep dan keterampilan baru yang mereka pelajari. Teori belajar William
Brownell ini dengan nama meaning theory.
Suatu karakteristik tahap berpikir Van Hiele adalah bahwa kecepatan untuk
berpindah dari satu tahap ke tahap berikutnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktifitas dalam
pembelajaran. Dengan

demikian,

pengorganisasian

pembelajaran,

isi,

dan

materi

merupakan faktor penting dalam pembelajaran, selain guru juga memegang peran penting
dalam mendorong kecepatan berpikir siswa melalui suatu tahapan. Tahap berpikir yang lebih
tinggi hanya dapat dicapai melalui latihan-latihan yang tepat bukan melalui ceramah
semata. Dalam perkembangan berpikir, van Hiele (dalam Clements dan Battista, 1992:436)
menekankan pada peran siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara aktif. Siswa tidak
akan berhasil jika hanya belajar dengan menghapal fakta-fakta, nama-nama atau aturanaturan, melainkan siswa harus menentukan sendiri hubungan-hubungan saling Keterkaitan
antara konsep-konsep geometri daripada proses-proses geometri.

Gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William Brownell pada
awal pertengahan abad 20 merupakan ide dasar teori konstruktivisme. Menurut
Brownell, matematika dapat dipandang suatu sistem yang terdiri atas ide, prinsip
dan proses sehingga keterkaitan antar aspek-aspek tersebut harus dibangun
dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan melainkan pada aspek
penalaran atau intelegensi anak.

Reys mengemukakan bahwa matematika haruslah make sense. Jika matematika


disajikan kepada anak dengan cara yang demikian, maka konsep yang dipelajari
menjadi punya arti, dipahami sebagi suatu disiplin, terstruktur dan memiliki
keterkaitan satu dengan yang lainnya.

Dalam NCTM Standar (1989) belajar bermakna merupakan landasan utama untuk
terbentuknya matematika connection.Pembelajaran matematika haruslah di
arahkan 1. menggunakan koneksi matematika antar ide matematik 2. memahami
keterkaitan materi yang satu dengan yang lain sehingga terbangun pemahaman
yang menyeluruh dan 3. memperhatikan serta menggunakan matematika dalam
konteks di luar maatematika.

Piaget berpendapat bahwa matematika tidak diterima secara pasif matematika


dibentuk dan ditemukan oleh anak secara aktif.Sebaiknya matematika dikonstruksi
oleh anak bukan diterima dalam bentuk jadi.

Dienes mempunyai pendapat anak mengkontruksi pengetahuan baru matematika


melalui refleksi terhadap aksi-aksi baik yang dilakukan bersifat fisik maupun
mental.Mereka melakukan observasi untuk menemukan keterkaitan dan pola serta
membentuk generalisasi dan abstraksi.

Brunner berpandangan bahwa belajar merefleksikansesuatu proses sosial yang


didalamnya anak terlibat dalam dialog dan diskusi baik dengan diri mereka sendiri
maupun orang lain termasuk guru sehingga mereka berkembang secara intelektual.

Pendapat dari ketiga ahli tersebut memberi indikasi bahwa konstruksivisme


merupakan suatu proses yang memerlukan waktu serta merefleksikan sejumlah
tahapan perkembangan dalam memahami konsep-konsep matematika.

Vygotsky (dalam John dan Thorton, 1993), proses peningkatan pemahaman pada
diri siswa terjadi sebagai akibat adanya pembelajaran. Diskusi yang dilakukan
antara guru dan siswa dalam pembelajaran, mengilustrasikan bahwa interaksi sosial
yang berupa diskusi ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa untuk
mengoptimalkan proses belajarnya. Interkasi seperti itu memungkinkan guru dan
siswa untuk berbagi dan memodifikasi cara berfikir masing-masing. Selain itu
terdapat juga kemungkinan bagi sebagian siswa untuk menampilkan argumentasi
mereka sendiri serta bagi siswa lainnya memperoleh kesempatan untuk mencoba
menangkap pola fikir siswa lainnya. Rangkaian di atas diyakini akan membimbing
siswa untuk berpikir menuju ke tahapan yang lebih tinggi. Proses ini menurut
Vygotsky disebut zone of proximal development (ZPD).

Menurut Vygotsky belajar dapat membangkitkan berbagai proses mental


tersimpan yang hanya bisa dioperasikan manakala orang berinteraksi dengan orang
dewasa

atau

berkolaboras

sesama

teman.Pengembangan

kemampuan

yang

diperoleh melalui proses belajar sendiri pada saat melakukan pemecahan disebut
actual development, sedangkan perkembangan yang terjadi sebagai akibat adanya
interaksi dengan guru atau siswa lain yang mempunyai kesempatan lebih tinggi
disebut potential development

Arief

Beranda

kontak

Rabu, 12 Februari 2014


psikologi pembelajaran Matematika menurut : Thorndike, Skinner, Ausubel. Gagne.

DAFTAR ISI
Kata pengantar .......................................................................................
Daftar isi .................................................................................................
Bab 1 : Pendahuluan ...............................................................................
A. Latar Belakang Masalah .........................................................................
B. Rumusan Masalah ..................................................................................
C. Tujuan Masalah ......................................................................................

Bab 2 : Pembahasan ...............................................................................


a.
b.
c.
d.

Psikologi pembelajaran menurut Thorndike..........................................


Psikologi pembelajaran menurut Skinner
Psikologi pembelajaran menurut Ausubel
Psikologi pembelajaran menurut Gagne
Bab 3 : Penutup .......................................................................................

Kesimpulan ...........................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Pada umumnya persepsi siswa terhadap pelajaran matematika dirasakan


sukar dan tidak tampak kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Namun juga
terdapat beberapa siswa yang sangat menikmati keasyikan bermain dengan
matematika, mengagumi keindahan matematika dan tertantang ingin memecahkan
setiap soal matematika. Kedua persepsi ini pasti ada dalam pendidikan
matematika di mana-mana. Yang menjadi masalah adalah persepsi negatif
terhadap pelajaran matematika sangat banyak terdengar. Persepsi negatif ini,
mungkin saja berasal dari porsi materi matematikanya terlalu banyak dan

tidak

sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual siswa; bahkan mungkin


berasal dari strategi pembelajarannya yang kurang menarik bagi siswa. Namun
kita harus selalu berusaha membangun persepsi positif terhadap pelajaran
matematika. ( dikutip dari buku Pokok-pokok Pengajaran Matematika di Sekolah
oleh Muhamad Sholeh)
Untuk membangun porsi persepsi positif agar lebih banyak daripada persepsi
negative tentunya bukan perkara yang mudah dan bukan perkara yang tidak
mungkin. Diperlukan strategi khusus bagi guru atau pengajar matematika tentang
bagaimana menyajikan matematika secara menarik bagi murid, diantaranya

dengan meminimalisir kesulitan belajar siswa dalam matematika. (Sabri : 1995)


mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah kesukaran siswa dalam menerima
atau menyerap pelajaran disekolah, kesulitan belajar yang dihadapi oleh siswa
terjadi pada waktu mengikuti pelajaran yang disampaikan atau ditugaskan oleh
guru. Diperkuat oleh pemaparan Herman Hudojo (1983:200) dalam salah satu jurnal
milik Edi Prajitno dkk (2002:68), menyatakan bahwa kesulitan belajar merupakan
gejala yang Nampak dalam berbagai jenis manifestasi.
Maka bukan suatu hal yang aneh jika banyak ilmuan yang telah menemukan
teori belajar diantaranya adalah teori belajar dari Thorndike, Skinner, Ausubel.
Gagne, yang akan kami bahas dalam maklah ini.

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakng tersebut, rumusan masalah yang kami buat
adalah:

1.
2.
3.
4.

Bagaiman
Bagaiman
Bagaiman
Bagaiman

teori
teori
teori
teori

belajar
belajar
belajar
belajar

C.

Tujuan Masalah

yang
yang
yang
yang

dikemukakan
dikemukakan
dikemukakan
dikemukakan

oleh
oleh
oleh
oleh

Thorndike ?
Skinner ?
Ausubel ?
Gagne ?

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:


1.
2.
3.
4.

Untuk
Untuk
Untuk
Untuk

mengetahui
mengetahui
mengetahui
mengetahui

dan
dan
dan
dan

memahami
memahami
memahami
memahami

teori
teori
teori
teori

belajar
belajar
belajar
belajar

yang
yang
yang
yang

dikemukakan
dikemukakan
dikemukakan
dikemukakan

oleh
oleh
oleh
oleh

Thorndike
Skinner
Ausubel
Gagne

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Psikologi pembelajaran menurut Thorndike


Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respon (Muhibbin : 2007). Stimulus yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya
kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat diterapkan
melalui alat indera, sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik
ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan.
Stimulus dan respon merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan
siswa secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan).
Salah satu indikadasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang
dilakukan siswa terhadap stimulus yang diterima dari guru.
Belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa
yang disebut stimulus dan respon. Teori belajar ini disebut teori conectionisme.

Atau dengan kata lain, belajar adalah pembentukan atau penguatan hubungan
antara S (stimulus) dan R (respon, sambutan). Hubungan S-R ( Stimilus-Respon )
atau antara kesan indera (sense impression) dan impuls (dorongan spontan) untuk
bertindak (impuls to action) disebut bond atau connection atau association.
Karena itulah maka teori ini disebut connectionis atau bond psikologi. Menurut
Thorndike, asosiasi itu membentuk sebagian besar, meskipun bukan seluruhnya,
apa yang di pelajari dan diingat oleh manusia .Teori ini disebut juga dengan trial
and error learning (belajar dengan cara coba salah) atau learning by selecting
and connecting (belajar dengan menyaring dan menghubungkan). Menurut teori
ini, belajar dilakukan dengan cara menyaring atau memilih respons yang tepat
terhadap stimulus tertentu ( Muhammad : 2004 ).

Hukum-hukum Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike


Adapun hukum hukun teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike yang

ditulis oleh Stephen Tomlinson (Edward Lee Thorndike and John Dewey on the
Science of Education, 1997) adalah :
1. Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan
bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap
untuk belajar. Dengan perkataan lain, apabila suatu materi pelajaran
diajarkan kepada anak yang belum siap untuk mempelajari materi tersebut
maka tidak akan ada hasilnya.
2. Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan
respon lebih sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat.
Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan dan
pengalaman yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus
dan respon yang terus-terus dilatihkan, maka ikatan tersebut akan semakin
kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan.
Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran
tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori).
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara
stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin

meningkat. Hal ini berarti, jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang
terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan
akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.

Aplikasi Teori Koneksionisme Edward Lee Thorndike dalam


Pembelajaran Matematika
Implikasi Teori Throndike pada pembelajarn dikelas yang dikutip dari buku

Psichology of Learning adalah :


1)

Guru harus tahu, bahwa siswa lebih minat belajar ketika mereka merasa

berkebutuhan dan berkepentingan pada pelajaran tersebut. maka guru harus


memastikan bahwa kegiatan belajar tersebut penting bagi siswa.
2)

Kesiapan merupakan prasyarat untuk belajar, karena itu guru disarankan

untuk mempertimbangkan kemampuan mental atau kognitif peserta didik ketika


merencanakan kurikulum atau isi instruksional.
3)

Guru harus menyadari fakta bahwa siswa ingin mengulangi tindakan yang

mereka terima sebagai hal positif. Oleh karena itu, guru harus selalu menggunakan
berbagai strategi motivasi untuk mempertahankan minat belajar siswa di kelas.
4)

Guru harus selalu meghadirkan bahan secara logis dan cara yang lebih

koheren. Ini adalah cara utama menangkap dan mempertahankan kepentingan


peserta didik dalam kegiatan pedagogis.

B.

Psikologi pembelajaran menurut Skinner


Menurut pandangan B. F. Skinner (1958), belajar merupakan suatu proses
atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progressif. Pengertian
belajar ialah suatu perubahan dalam kemungkinan atau peluang terjadinya respons.
Skiner berpendapat bahwa ganjaran (reward) yang bersifat mendidik merupakan
salah satu unsur yang penting dalam proses belajar, hanya istilahnya perlu diganti
dengan penguatan. Ganjaran adalah sesuatu yang menggembirakan, sedangkan
penguatan adalah sesuatu yang mengakibatkan meningkatkatnya suatu respon
tertentu. Penguatan tidak selalu hal yang menggembirakan, tetapi bisa juga
sebaliknya.

Teori skinner

Teori pengkondisian operan


Untuk memahami pengkondisian operan, kita perlu membedakan apa yang
disebut Skinner dengan perilaku respon dan perilaku operan. Perilaku respon
adalah respon langsung pada stimulus, seperti akomodasi biji mata sebagai respon
pada kilatan cahaya, hentakan kaki sebagai respon pada pukulan di tempurung
lutut. Sebaliknya, perilaku operan dikendalikan oleh akibat dari perilaku respon. Bila
akibat dari perilaku respon tersebut positif, maka kita cenderung mengulangi
perilaku tersebut, sebaliknya bila akibat dari perilaku respon tersebut negatif, maka
kita cenderung tidak mengulanginya. Jadi proses belajar dengan pengkondisian
operan adalah proses pengontrolan tingkah laku organisme melalui pemberian
reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas.

Aplikasi Teori Skinner Terhadap Pembelajaran Matematika

Seorang siswa diberi soal matematika sederhana dan siswa dapat


menyelesaikannya sendiri. Guru memuji siswa karena telah berhasil menyelesaikan
soal tersebut. Dengan peristiwa ini siswa merasa yakin atas kemampuannya,
sehingga timbul respon mempelajari pelajaran berikutnya yang sesuai atau lanjutan
apa yang dapat dia selesaikan tadi. Selanjutnya dikatakan bahwa pada umumnya
stimulus yang demikian pada umumnya mendahului respon yang ditimbulkan.
Belajar dengan respondent conditioning ini hanya efektif jika suatu respon timbul
karena kehadiran stimulus tertentu.

C. Psikologi pembelajaran menurut Ausubel


David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang terkenal dengan
teori belajar bermakna (meaningfull). Ausubel (Tim MKPBM, 2001 : 35)
membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar
menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada
belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran
begitu saja.

Menurut Ausubel (Dahar, 1996 : 112) pembelajaran bermakna merupakan


suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Struktur kognitif meliputi fakta-fakta, konsepkonsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa.
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Pembelajaran bermakna
terjadi apabila seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam
struktur pengetahuan mereka. Dalam proses belajar seseorang mengkonstruksi apa
yang telah ia pelajari dan mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta
baru ke dalam struktur pengetahuan mereka

Teori Ausubel

Teori Belajar Bermakna


Teori Belajar Bermakna Ausubel sangat dekat dengan Konstruktivisme.
Keduanya menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman,
fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dipunyai.
Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru kedalam konsep
atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandaikan bahwa dalam
proses belajar itu siswa aktif.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi
kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Sama seperti Bruner dan
Gagne, Ausubel beranggapan bahwa aktivitas belajar siswa, terutama mereka yang
berada di tingkat pendidikan dasar, akan bermanfaat kalau mereka banyak
dilibatkan dalam kegiatan langsung. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan
lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka,
menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram, dan ilustrasi.

Aplikasi Teori Ausubel Terhadap Pembelajaran Matematika


Dalam pembelajaran matematika siswa akan lebih baik jika siswa tersebut

dilibatkan langsung dalam pembelajaran, terutama mereka yang berada di tingkat

pendidikan dasar. Namun untuk siswa pada tingkat pendidikan lebih tinggi, maka
kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka, menurut Ausubel,
lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi,
diagram, dan ilustrasi.

D. Psikologi pembelajaran menurut Gagne


Menurut Gagne (dalam Hudojo, 1988: 19), belajar merupakan proses yang
memungkinkan manusia memodifikasi tingkah lakunya secara permanen,
sedemikian hingga modifikasi yang sama tidak akan terjadi lagi pada situasi baru.
Pengamat akan mengetahui tentang terjadinya proses belajar pada diri orang yang
diamati bila pengamat itu memperhatikan terjadinya perubahan tingkah laku.
Gagne berpendapat bahwa kematangan bukanlah belajar, sebab perubahan tingkah
laku yang terjadi, dihasilkan dari pertumbuhan struktur dalam diri manusia itu.
Dengan demikian, belajar terjadi bila individu merespon terhadap stimulus yang
datangnya dari luar, sedang kematangan datangnya memang dari dalam diri orang
itu. Perubahan tingkah laku yang tetap sebagai hasil belajar harus terjadi bila orang
itu berinteraksi dengan lingkungan.

Teori Belajar Menurut Robert M. Gagne


Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne

berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun


yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan
indiviu seseorang meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai
lingkungan sosial. Berbagai lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang
akan dipelajari oleh seseorang dan selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa
ia nantinya.

Aplikasi Teori Gagne terhadap Pembelajaran Matematika

Karakteristikmaterimatematikayangberjenjang(hirarkis)memerlukancarabelajaryangberjenjang
pula.Untukmemahamisuatukonsepdan/ataurumusmatematikayanglebihtinggi,diperlukan
pemahamanyangmemadaiterhadapkonsepdan/ataurumusyangadadibawahnya,dalamhaliniguru
sangatberperandalamprosespembelajaran.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Teori Thorndike
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike disebut juga dengan
koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan
proses pembentukkan hubungan antara stimulus dan respon.
Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (lawofreadiness), hukum
latihan(lawofexercise) dan hukum akibat(lawofeffect).
2. Teori Skinner

Teori pengkondisian operan


Pengkondisian operan adalah proses pengontrolan tingkah laku organisme melalui
pemberian reinforcement yang bijaksana dalam lingkungan yang relatif bebas.
3. Teori Ausubel

Teori Belajar Bermakna


Belajar bermakna lebih dilakukan dengan metode penemuan (discovery). Namun
demikian, metode ceramah (ekspositori) bisa juga menjadi belajar bermakna jika
berlajarnya dikaitkan dengan permasalahan kehidupan sehari-hari, tidak hanya
sampai pada tahap hapalan; bahan pelajaran harus cocok dengan kemampuan
siswa dan sesuai dengan struktur kognitif siswa

4. Teori Gagne
Gagne berpendapat bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan,
namun yang paling besar pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang.

Daftar pustaka
http://saidangsaid.blogspot.com/2013/03/teori-belajar-gagne.html
http://dinaoctaria.wordpress.com/2012/10/15/teori-belajar-bermakna-dari-david-pausubel/
http://satulagi.com/pendidikan/teori-belajar-gagne/
http://darus-sunnah-belajarblog.blogspot.com/2012/04/teori-belajar-skinner.html
http://sainsmatika.blogspot.com/2012/04/teori-kognitif-dari-bruner-dan-teori.html
http://elbasya29.wordpress.com/2012/12/30/teori-koneksionisme-e-l-thorndikedalam-pembelajaran-matematika/

Berbagi Ilmu
Sekelumit pengalaman yang semoga bermanfaat untuk ditularkan

Bank soal

Buku Tamu

Daftar isi

Galeri

Try out sandi

Download

Oleh: kang Ja'far | 13 Maret 2012

TEORI BELAJAR MATEMATIKA MENURUT 23 AHLI

1. Teori Thorndike
Teori belajar stimulus-respon yang dikemukakan oleh Thorndike disebut juga dengan
koneksionisme. Teori ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses
pembentukkan hubungan antara stimulus dan respon.
Terdapat beberapa dalil atau hukum kesiapan (lawofreadiness), hukum latihan(lawofexercise)
dan hukum akibat(lawofeffect).

2. Teori Skinner

Burhus Frederic Skinner menyatakan bahwa ganjaran atau penguatan


mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses belajar.

Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan


merupakan tingkah laku yang sifatnya subjektif.

Pengutan merupakan sesuatu yang mengakibatkan meningkatnya


kemungkinan suatu respon dan lebih mengarah kepada hal-hal yang sifatnya
dapat diamati dan diukur.

Dalam teori Skinner dinyatakan bahwa penguatan terdiri atas penguatan


positif dan penguatan negatif.Contoh penguatan positif diantaranya adalah
pujian yang diberikan pada anak setelah berhasil menyelesaikan tugas dan
sikap guru yang bergembira pada saat anak menjawab pertanyaan.

Skiner menambahkan bahwa jika respon siswa baik(menunjang efektivitas


pencapaian tujuan)harus segera diberi penguatan positif agar respon
tersebut lebih baik lagi,atau minimalnya perbuatan baik itu dipertahankan

3. Teori Ausubel

Teori ini terkenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan


sebelum belajar dimulai.

Bahan pelajaran akan lebih mudah dipahami jika bahan itu dirasakan
bermakna bagi siswa

Kebermaknaan: sesuai dengan struktur kognitif, sesuai struktur keilmuan,


memuat keterkaitan

Seluruh bahan (ihtisar/resume/rangkuman/ringkasan/bahan/peta)

Peta konsep adalah bagan / struktur tentang keterkaitan seluruh konsep


secara terpadu / terorganisir (herarkhis, distributive/menyebar)

Ausubel membedakan antara belajar menemukan dan belajar


menerima.Dalam belajar menerima siswa hanya menerima dan tinggal
meghapalkan materi.Sedangkan pada belajar menemukan,siswa tidak
menerima pelajaran begitu saja,tetapi konsep ditemukan oleh siswa.

Belajar bermakna lebih dilakukan dengan metode penemuan (discovery).


Namun demikian, metode ceramah (ekspositori) bisa juga menjadi belajar
bermakna jika berlajarnya dikaitkan dengan permasalahan kehidupan seharihari, tidak hanya sampai pada tahap hapalan; bahan pelajaran harus cocok
dengan kemampuan siswa dan sesuai dengan struktur kognitif siswa.

4. Teori Gagne

Menurut Gagne ada dua objek belajar matematika, yaitu:


a. Objek langsung (fakta, keterampilan, konsep, dan aturan-aturan
(principle)
b. Objek tak langsung (kemampuan menyelidiki dan memecahkan masalah, mandiri, bersikap
positif terhadap matematika, tahu
bagaimana semestinya belajar)

Delapan tipe belajar Gagne:


a. Isyarat
b. Stimulus respon
c. Rangkaian gerak
d. Rangkaian verbal
e. Belajar membedakan
f. Pembentukan konsep
g. Pembentukan aturan
h. Pemecahan masalah

5. Teori Pavlov
Pavlov mengemukakan konsep pembiasaan(conditioning). Dalam kegiatan belajar, agar siswa
belajar dengan baik maka harus dibiasakan. Misalnya, agar siswa mengerjakan Pekerjaan Rumah
dengan baik, biasakanlah dengan memeriksanya, menjelaskannya, atau member nilai terhadap
hasil pekerjaannya.

6.

Teori baruda (Belajar dengan Meniru)

Baruda melihat juga adanya kelemahan dalam teori Skinner, yaitu bahwa respon yang diberikan
siswa yang kemudian diberi penguatan tidaklah esensial, menurutnya yang eseinsial adalah
bahwa seseorang akan belajar dengan baik melalui peniruan, melalui apa yang dilihatnya dari
seseorng, tayangan, dll yang menjadi model untuk ditiru. Pengertian meniru ini bukan berarti
mencontek,tetapi meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain,terutama guru.
Jika tulisan guru baik, guru berbicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang baik dan
benar,tingkah laku yang terpuji,menerangkan dengan jelas dan sistematik,maka siswa akan

menirunya. Jika contoh-contoh yang dilihatnya kurang baik iapun menirunya.Dengan demikian
guru harus menjadi manusia model yang professional.

7. Teori Piaget
Jean Piaget menyebutkan bahwa struktur kognitif sebagai Skemata(Schemas), yaitu kumpulan
dari skema- skema.Seorang individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon
terhadap stimulus disebabkan karena bekerjanya schemata ini.
Skemata ini berkembang secara kronologis,sebagai hasil interaksi individu dengan
lingkungannya,sehingga individu yang lebih dewasa memliki struktur kognitif yang lebih
lengkap dari pada ketika iamasih kecil.

Tahap perkembangan kognitif:


Tahap Sensori Motor (sejak lahir sampai dengan 2 tahun)
Bagi anak yang berada pada tahap ini,pengalaman diperoleh melalui perbuatan fisik(gerakan
anggota tubuh)dan sensori(koordinasi alat indra).
Tahap Pra Operasi(2 tahunsampaidengan7 tahun)
Ini merupakan tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit.Operasi konkrit
adalahberupa tindakan- tindakan kognitif seperti mengklasifikasikan sekelompok objek,menata
letak benda berdasarkan urutan tertentu,dan membilang.
Tahap Operasi Konkrit(7 tahunsampaidengan11 tahun)
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami konsep kekekalan, kemampuan
mengklasifikasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara
objektif, dan mampu berfikir reversible.

Tahap Operasi Formal (11 tahundanseterusnya)

Tahap ini merupakantahap akhir dari perkembangan kognitif secara kualitas. Anak pada tahap ini
sudah mampu malakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak. Anak mampu
bernalar tanpa harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung, dengan hanya
menggunakan simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi.

8. Teori Bruner
Jerome Brunner menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses
pengajaran anak diarahkan pada konsep-konsep dan struktur- struktur yang termuat dalam pokok
bahasan yang diajarkan,disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan strukturstruktur tersebut.
Bruner menyarankan keaktifan anak dalam proses belajar secara penuh agar anak dapat
mengenal konsep dan struktur yang tercakup dalam bahan yang sedang
dibicarakan,sehinggaanakan memahami materi yang harus dikuasai.
Dalam proses pembelajaran hendaknya siswa diberi kesempatan untuk memanipulasi bendabenda dengan menggunakan media pembelajaran matematika.Melalui penggunaan media
pembelajaran matematika yang ada,siswa akan melihat langsung keteraturan dan pola strukur
yang terdapat dalam penggunaan media pembelajaran matematika yang diperhatikannya.

Tahapan belajar menurut Brunner


1. Tahap enaktif
Dalam tahap ini siswa secara langsung terlibat dalam memanipulasi objek.
2. Tahap ikonik
Tahapan dimana kegiatan siswa berhubungan dengan mental, merupakan gambaran dari objek
yang dimanipulasinya.
3. Tahap simbolik
Tahapan dimana anak-anak memanipulasi simbol-simbol atau objek tertentu.

9. Teori Gestalt
Gestalt menyatakan bahwa penguasaan akan diperoleh apabila ada prasyaratndan latihan hafal
atau drill yang diulang-ulang sehingga tidak mengherankan jika ada topic-topik di tata secara
urut seperti perkalian bilangan cacah kurang dari sepuluh ( Rosseffendi,19993:115-116).

Tokoh aliran ini adalah John Dewey.Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini:
a. Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian
b. Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa.
c. Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.

10. Teori belajar W. Brownell


Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika merupakan belajar bermakna dan
pengertian hal ini sesuai dengan teori Gestalt yang menyatakan bahwa latihan hafal atau drill
sangat penting dalam kegiatan pembelajaran yang diterapkan setelah tertanamnya pengertian
(Ruseffendi, 1993: 117).

11. Teori Dienes (Joyfull Learning)


Zoltan P.Dienes adalah seorang matematikawan yang memfokuskan perhatiannya pada cara
pengajaran.Dienes menekankan bahwa dalam pembelajaran sebaiknya dikembangkan suatu
proses pembelajaran yang menarik sehingga bisa meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran
matematika.

12. Teori Polya


Pemecahan masalah merupakan aktivitas intelektual yang paling tinggi. Pemecahan masalah
harus didasarkan atas adanya kesesuaian dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa, supaya
tidak terjadi stagnasi.
Tahapan pemecahan masalah:
1) Memahami masalah
2) membuat rencana/cara penyelesaian masalah
3) menjalankan rencana/menyelesaikan masalah
4) melihat kembali/recek.

13. Freudenthal dan Treffers (RME: Realistic Mathematics Education)

pematematikaan: horizontal (H), diteruskan Vertikal (V);

realistic (H+,V+)

mekanistik (drill & practice: (H- dan V-); empiris (H+, V-);

strukturilistik (H-, V+)

14. Teori Van Hiele


Tahap perkembangan siswa dalam memahami geometri:
1) Pengenalan
2) analisis
3) pengurutan
4) deduksi

5) keakuratan (rigor)

Menurut Van Hiele ada tiga unsure dalam pengajaran matematika yaitu waktu,materi pengajaran
danmetode pengajaran,jika ketiganya ditata secara terpadu maka akan terjadi peningkatan
kemampuan berfikir anak kepada tingkatan berfikir lebih tinggi

15. John Dewey (CTL)

mengkaitkan bahan pelajaran dengan situasi dunia nyata

mendorong siswa menghubungkan yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari,


pengalaman sesungguhnya dan penerapannya / manfaatnya

strategi: authentic, inkuiri, praktek kerja, pemecahan masalah

16. Aliran latihan mental


Otak diibaratkan seperti otot, jika ingin kuat harus sering dilatih, makin keras dan sulit
latihannya akan lebih baik hasilnya.

17. Teori Tollman


Sesungguhnya, pada tahun 1930 pakar psikologi AS Edward C. Tolman sudah meneliti proses
kognitif dalam belajar dengan penelitian eksperimen bagaimana tikus belajar mencari jalan
melintasi maze (teka-teki berupa jalan yang ruwet). Ia menemukan bukti bahwa tikus-tikus
percobaannya membentuk peta kognitif (atau peta mental) bahkan pada awal eksperimen,
namun tidak menampakakan hasil belajarnya sampai mereka menerima penguatan untuk
menyelesaikan jalannya melintasi mazesuatu fenomena yang disebutnya latent learning atau
belajar latent. Eksperimen Tolman
menunjukkan bahwa belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respons melalui penguatan.

18. Teori Clark Hull


Clark Hull mengemukaan konsep pokok teorinya yang sangat dipengaruhi oleh teori evolusi.
Menurutnya tingkah laku seseorang berfungsi untuk menjaga kelangsungan hidup.

19. Teori Bloom dan Krathwohl


Teori Bloom dan Krathwohl mengemukakan tiga hal yang bisa dikuasai oleh siswa, meliputi:
ranah kognitif, ranah psikomotor dan ranah Afektif. Tiga ranah itu tercakup dalam teori yang
lebih dikenal sebagai Taksonomi Bloom.

20. Teori Kolb


Kolb membagi tahapan belajar ke dalam empat tahapan, yaitu:
a. pengalaman konkret
b. pengamatan aktif dan reflektif
c. konseptualisasi
d. eksperimentasi aktif

21. Teori Habermas


Habermas berpendapat bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan
maupun dengan sesama manusia. Lebih lanjut ia mengelompokkan tipe belajar menjadi tiga
bagian, yaitu:
a. belajar teknis
b. belajar praktis
c. belajar emansipatoris

22. Teori Landa


Menurut Landa ada dua proses berpikir. Pertama disebut proses berpikir algoritmik, yaitu proses
berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu sasaran. Jenis kedua adalah cara berpikir
heuristik, yakni cara berpikir divergen menuju ke beberapa sasaran sekaligus.

23. Teori Pask dan Scott


Pask dan Scott juga membagi proses berpikir manjadi dua macam. Pertama pendekatan serialis
yang menyerupai pendekatan algoritmik yang dikemukakan Landa. Jenis kedua adalah cara
berpikir menyeluruh yaitu berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran
lengkap sebuah sistem informasi.
About these ads

Anda mungkin juga menyukai