Anda di halaman 1dari 16

B. TEORI BELAJAR KOGNITIF DARI JEROME S.

BRUNER

Jerome S. Bruner lahir di New York tahun l915. Pada usia dua tahun ia menderita penyakit katarak
dan harus dioperasi. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 12 tahun yang menyebabkan ia harus
pindah ke rumah keluarganya dan kerap kali putus sekolah dan pindah-pindah sekolah.
Meskipun demikian prestasinya cukup baik ketika masuk Duke University Durham, New York
City. Ia memperoleh gelar B.A pada tahun 1937 dan memperoleh Ph.D dari Harvard University
tahun 1941. Bruner juga seorang profesor psikologi di Harvard University 1952-1972 dan di Oxford
University 1972-1980.
la menghabiskan waktunya di New York University School of Law dan New School For Social
Research di New York City. Lebih dari 45 tahun Bruner menekuni psikologi kognitif sebagai suatu
alternatif teori behavioristik dalam psikologi sejak pertengahan abad 20.
Pendekatan kognitif Bruner menjadikan reformasi pendidikan di Amerika Serikat dan juga di
Inggris. Selain sebagai psikolog, ia juga termasuk Dewan Penasehat Presiden bidang sains pada
masa Pesiden Jhon F. Kennedy dan Jhonson serta banyak menerima penghargaan dan kehormatan
termasuk International Baldan Prize, medali emas CIBA untuk riset dari Asosiasi Psikologi
Amerika.
1. Teori Belajar Dari Bruner
Bruner mengusulkan teorinya yang disebut free discovery learning. Menurut teori ini, proses
belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika dosen memberi kesempatan kepada mahasiswa
untuk menemukan suatu aturan (termasu konsep, teori, definisi, dan sebagainya) melalui contoh-
contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya (Suciati, 2001: 14).

Belajar penemuan (discovery learning) merupakan salah satu model pembelajaran belajar
kognitif yang dikembangkan oleh Bruner (1966). Belajar bermakna hanya dapat terjadi melalui
belajar penemuan (Panen, 2004: 3.14). Belajar bermakna adalah belajar yang disertai pengertian.
Belajar bermakna ini akan terjadi apabila informasi baru yang diterimanya mempunyai hubungan
dengan konsep yang sudah ada dan diterima oleh siswa dalam struktur kognitifnya (Panen, 2004:
3.23). Agar belajar bermakna siswa memiliki struktur informasi yang kuat, si pembelajar harus
aktif, dimana dia harus mengidentifikasi prinsip-prinsip kunci yang ditemukannya sendiri pada
penjelasan dari guru-guru (Panen, 2004: 3.14).

Saat ini model belajar penemuan menduduki peringkat tertinggi dalam dunia pendidikan modern.
Salah satu yang banyak diterapkan dalam pembelajaran di Indonesia adalah konsep belajar siswa
aktif atau Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Dalam menerapkan model Belajar penemuan ini,
seorang guru dianjurkan untuk tidak memberikan materi pelajaran secara utuh. Siswa cukup
diberikan konsep utama atau khusus, untuk selanjutnya dibimbing agar dapat menemukan sendiri
sampai akhirnya dapat mengorganisasikan konsep tersebut secara utuh. Untuk itu guru perlu
memberikan kesempatan seluas-luasnya pada siswa untuk mendapatkan konsep-konsep yang belum
disampaikan oleh guru dengan pendekatan belajar “problem solving” (Panen, 2004: 3.15).

2. Proses Belajar Mengajar


Bruner mengatakan bahwa belajar terjadi lebih ditentukan oleh cara seseorang mengatur pesan atau
informasi dan bukan ditentukan oleh umur. Asumsi teori ini adalah bahwa setiap orang telah
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang telah
dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau informasi baru
beradaptasi dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika
materi pelajaran atau informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif yang telah dimiliki dan
telah terbentuk didalam pikiran seseorang berdasarkan pemahaman dan pengalaman-pengalaman
sebelumnya (Budiningsih, 2005: 51).
Teori belajar kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Para penganut
aliran kognitif mengatakan bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan
respon. Namun lebih dari itu, belajar melibatkan proses berfikir yang sangat kompleks (Hamzah,
2006: 10).

3. Tahapan dalam Proses Belajar Mengajar

Dalam teori belajar, Jerome S. Bruner berpendapat bahwa kegiatan belajar akan berjalan baik
dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu (Tadjab,
1994: 78). Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan. Ketiga proses itu adalah (1) memperoleh informasi baru, (2) transformasi informasi dan
(3) mengevaluasi atau menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan:

1. Tahap Informasi (Tahap Penerimaan Materi)


Bahwa dalam tiap pelajaran kita memperoleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan
yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, adapula informasi itu yang
bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnyas.

2. Tahap Transformasi (Tahap Pengubahan Materi)


Kita menganalisa berbagai informasi yang kita pelajari itu dan mengubah atau
mentransformasikannya kedalam bentuk-bentuk informasi yang lebih abstrak atau konseptual, agar
dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas.
3. Tahap Evaluasi
Kita menilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan transformasikan itu dapat
digunakan untuk memahami gejala-gejala lain atau memecahkan permasalahan yang kita hadapi
(Tadjab, 1994: 78).

Di dalam belajar, Bruner hampir selalu memulai dengan memusatkan manipulasi material.
Peserta didik harus menemukan keteraturan dengan cara pertama-tama memanipulasi mateial yang
berhubungan dengan keteraturan intuisi yang sudah dimiliki peserta didik itu. Ini berarti peserta
didik dalam belajar haruslah terlihat aktif mentalnya dan dapat diperlihatkan keaktifan fisiknya
(Sunardi, 2012: 32).
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan tiga sistem keterampilan untuk menyatakan
kemampuannya secara sempurna. Seperti halnya dengan Piaget, bruner melukiskan anak-anak
berkembang melalui tiga tahap perkembangan mental. Ketiga sistem keterampilan itu adalah yang
disebut tiga cara penyajian (modes of presentation) oleh Bruner (1966). Ketiga cara itu ialah: cara
enaktif, cara ikonik dan cara simbolik.
a. Enaktif
Dalam tahap ini, anak-anak di dalam belajarnya menggunakan manipulasi obyek-obyek secara
langsung.
b. Ikonik
Tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan
gambaran dari obyek-obyek. Dalam tahap ini, anak tidak memanipulasi langsung obyek-obyek
seperti dalam tahap enaktif, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran
dar obyek.
c. Simbolik
Tahap terakhir ini, menurut Bruner merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung
dan tidak lagi ada kaitannya dengan obyek-obyek (Sunardi, 2012: 32).
4. Perkembangan Intelektual Anak
Pendirian yang terkenal yang dikemukakan oleh J. Bruner ialah, bahwa setiap mata pelajaran
dapat diajarkan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak dalam
setiap tingkat perkembangannya. Pendiriannya ini didasarkan sebagian besar atas penelitian Jean
Piaget tentang perkembangan intelektual anak. Menurut penelitian J. Piaget, perkembangan
intelektual anak dapat dibagi menjadi tiga taraf.

1. Fase pra-operasional, sampai usia 5-6 tahun, masa pra sekolah, jadi tidak berkenaan dengan
anak sekolah. Pada taraf ini ia belum dapat mengadakan perbedaan yang tegas antara perasaan dan
motif pribadinya dengan realitas dunia luar. Karena itu ia belum dapat memahami dasar
matematikan dan fisika yang fundamental, bahwa suatu jumlah tidak berubah bila bentuknya
berubah. Pada taraf ini kemungkinan untuk menyampaikan konsep-konsep tertentu kepada anak
sangat terbatas.
2. Fase operasi kongkrit, pada taraf ke-2 ini operasi itu “internalized”, artinya dalam menghadapi
suatu masalah ia tidak perlu memecahkannya dengan percobaan dan perbuatan yang nyata; ia telah
dapat melakukannya dalam pikirannya. Namun pada taraf operasi kongkrit ini ia hanya dapat
memecahkan masalah yang langsung dihadapinya secara nyata. Ia belum mampu memecahkan
masalah yang tidak dihadapinya secara nyata atau kongkrit atau yang belum pernah dialami
sebelumnya.
3. Fase operasi formal, pada taraf ini anak itu telah sanggup beroperasi berdasarkan kemungkinan
hipotesis dan tidak lagi dibatasi oleh apa yang berlangsung dihadapinya sebelumnya (Nasution,
2000: 7-8).
5. Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Bruner

A. Kelebihan dari Teori Belajar Bruner (Free Discovery Learning) adalah :

1. Belajar penemuan dapat digunakan untuk menguji apakah belajar sudah bermakna.

2. Pengetahuan yang diperoleh si belajar akan tertinggal lama dan mudah diingat.

3. Belajar penemuan sangat diperlukan dalam pemecahan masalah sebab yang diinginkan dalam
belajar agar si belajar dapat mendemonstrasikan pengetahuan yang diterima.

4. Transfer dapat ditingkatkan di mana generalisasi telah ditemukan sendiri oleh si belajar daripada
disajikan dalam bentuk jadi.

5. Penggunaan belajar penemuan mungkin mempunyai pengaruh dalam menciptakan motivasi


belajar.

6. Meningkatkan penalaran si belajar dan kemampuan untuk berfikir secara bebas.

B. Kekurangan dari Teori Belajar Bruner

1. Belajar Penemuan ini memerlukan kecerdasan anak yang tinggi. Bila kurang cerdas, hasilnya
kurang efektif.

2. Teori belajar seperti ini memakan waktu cukup lama dan kalau kurang terpimpin atau kurang
terarah dapat menyebabkan kekacauan dan kekaburan atas materi yang dipelajari.
C. TEORI BELAJAR KOGNITIF DARI DAVID PAUL AUSUBEL

David Paul Ausubel (25 Oktober 1918 - 9 Juli 2008) adalah seorang psikolog asal Amerika Serikat.
Kontribusinya yang paling signifikan adalah di bidang psikologi pendidikan, ilmu kognitif, dan
pembelajaran pendidikan sains pada pengembangan dan penelitian tentang "Advance Organizer"
sejak tahun 1960. Lahir 25 Oktober 1918, dibesarkan di Brooklyn, New York Amerika Serikat.
David Ausubel belajar di University of Pennsylvania, Amerika Serikat, dan lulus dengan pujian
(cumlaude) meraih gelar sarjana psikologi pada tahun 1939. Setelah itu, Ausubel lulus dari sekolah
kedokteran pada tahun 1943 di Universitas Middlesex tempat ia melanjutkan dan menyelesaikan
magang di Rumah Sakit Gouverneur, yang terletak di sisi timur bawah Manhattan, New York.
[1]
 Setelah berdinas militer di bagian Layanan Kesehatan Masyarakat AS, Ausubel mendapatkan
gelar MA dan Ph.D. dalam psikologi perkembangan dari Universitas Columbia pada tahun 1950.  Ia
menjadi guru besar (profesor) di beberapa sekolah pendidikan. Ausubel wafat pada 9 Juli 2008.
(Woolfolk, 2010: 45).

1. Teori Belajar Bermakna Ausubel


Menurut Ausubel dalam Budiningsih (2004 : 44) bahwa teori kognitif banyak memusatkan
perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan referensi pengetahuan baru merupakan fungsi dari
struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa. struktur kognitif merupakan struktur organisasional
yang ada dalam ingatan seseorang yang mengintregasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-
pisah ke dalam suatu unit konseptual.
Ausubelmenyatakan bahwa pada dasarnya orang memperoleh pengetahuan melalui penerimaan,
bukan melalui penemuan. Konsep – konsep, prinsip dan ide-ide yang disajikan pada pelajar akan
diterima oleh pelajar. Dapat juga konsep ini ditemukan sendiri oleh pelajar.Menurut Ausubel dalam
Dahar (2006: 94), belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi, yaitu :

1. Dimensi Pertama
Berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan pada pelajar melalui
penerimaan atau penemuan. Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan
dalam bentuk belajar penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam
bentuk belajar penemuan yang mengharuskan pelajar untuk menemukan sendiri sebagian atau
seluruh materi yang akan diajarkan.

2.   Dimensi Kedua
Menyangkut cara bagaimana pelajar dapat mengaitkan informasi pada struktur kognitif yang
telah ada. Dalam tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada
pengetahuan (berupa konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya, dalam hal ini terjadi belajar
bermakna.Akan tetapi, siswa itu dapat juga hanya mencoba-coba menghafalkan informasi baru itu
tanpa menghubungkannya pada konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya; dalam
hal ini terjadi belajar hafalan.

Inti dari teori belajar Ausubel adalah belajar bermakna. Bagi Ausubel, belajar bermakna
merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang
terdapat pada struktur kognitif seseorang (Dahar, 2006 : 95). Belajar bermakna akan terjadi apabila
informasi yang baru diterima pelajar mempunyai kaitan erat dengan konsep yang sudah ada /
diterima sebelumnya dan tersimpan dalam struktur kognitifnya (Andriyani, 2008, 3.20-3.21). Lebih
lanjut Andriyani menyatakan bahwa informasi baru ini juga dapat diterima atau dipelajari pelajar
tanpa menghubungkannya dengan konsep atau pengetahuan yang sudah ada.Cara belajar ini disebut
belajar menghapal.
Menurut Dahar (2006, 95), Ausubel menyatakan bahwa banyak ahli pendidikan menyamakan
belajar peneriman dengan belajar hafalan sebab mereka berpendapat bahwa belajar bermakna hanya
terjadi bila pelajar menemukan sendiri pengetahuan. Namun, bila memperhatikan gambar di atas,
dapat dilihat bahwa belajar penerimaan pun dapat dibuat bermakna, yaitu dengan cara menjelaskan
hubungan antara konsep-konsep. Sementara itu, belajar penemuan rendah kebermaknaanya dan
merupakan belajar hafalan bila memecahkan suatu masalah dilakukan hanya dengan coba-coba,
seperti menebak teka-teki.Belajar penemuan yang bermakna sekali hanyalah terjadi pada penelitian
yang bersifat ilmiah.

2. Tipe – Tipe Belajar


Menurut Ausubel dan Robinson dalam Slameto (2010, 24) ada empat macam tipe belajar :
a. Belajar menerima bermakna (Meaningful Reception Learning)
Belajar menerima bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan
kepada pelajar sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan
pengetahuan yang ia miliki.
b. Belajar menerima yang tidak bermakna (Reception learning)
Belajar menerima yang tidak bermakna yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada pelajar sampai bentuk akhir, kemudian pengetahuan yang baru itu dihafalkan
tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.
c. Belajar penemuan bermakna (Meaningful discovery learning)
Belajar dengan penemuan bermakna yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya
dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau pelajar menemukan pengetahuannya dari apa
yang ia pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
d. Belajar penemuan yang tidak bermakna (Discovery learning)
Belajar dengan penemuan tidak bermakna yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh
pelajar tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Variabel Yang Mempengaruhi Belajar Pembelajaran Bermakna


Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel dalam Dahar
(2006, 98) ialah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu
bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan
kejelasan arti-arti yang timbul saat informasi baru masuk ke dalam struktur kognitif itu, demikian
pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika struktur kognitif itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik,
arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak meragukan akan timbul dan cenderung bertahan.
Dahar (2006, 99) menyebutkan  prasyarat belajar bermakna adalah sebagai berikut:
a. Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial
b. Anak yang akan melaksanakan belajar bermakna sebaiknya mempunyai kesiapan dan niat untuk
belajar belajar.
Dahar melanjutkan kebermaknaan materi pelajaran secara potensial bergantung pada dua faktor
yaitu sebagai berikut:
a. Materi itu harus memiliki kebermaknaan logis
b. Gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif pelajar.
Oleh karena itu, agar terjadi belajar bermakna materi pelajaran harus bermakna secara
logis.Pelajar harus memasukkan materi itu ke dalam struktur kognitifnya dan dalam struktur
kognitif pelajar harus terdapat unsur-unsur yang cocok untuk mengaitkan materi baru secara non
arbitrer dan substantif (Dahar, 2006, 100).Selanjutnya Rosser dalam Dahar (2006, 100) menyatakan
bahwa jika salah satu komponen itu tidak ada, maka materi tersebut dipelajari secara hapalan.

4. Penerapan Teori Ausubel dalam Pembelajaran

Dahar (2006, 100) mengatakan bahwa untuk dapat menerapkan teori Ausubel dalam mengajar,
sebaiknya kita perhatikan apa yang dikemukakan oleh Ausubel dalam bukunya yang
berjudul Educational Psychology: A Cognitive View, pernyataan itu berbunyi : “The most important
single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this and teach him
accordingly." Ausubel mengatakan faktor terpenting yang mempengaruhi belajar ialah apa yang
telah diketahui pelajar. Yakinilah hal ini dan ajarlah ia demikian."
Untuk menerapkan konsep belajar Ausubel dalam mengajar, selain konsep-konsep yang telah
dibahas terdahulu ada beberapa konsep lain yang perlu diperhatikan yaitu konsep pengaturan awal,
diferensiasi progresif, penyesuaian integratif, dan belajar superordinat (Dahar, 2006, 100)
Menurut Dahar (2006, 100-104) Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan untuk menerapkan teori
Ausubel :
1) Pengaturan awal
Ausubel (2006, 11) mengatakan bahwa Pengaturan Awal adalah perangkat pedagogik yang
membantu menerapkan prinsip-prinsip dengan  menghubungkan kesenjangan antara apa yang
pelajar sudah ketahui dan apa yang perlu ia ketahui. Pengaturan awal mengarahkan para pelajar ke
materi yang akan merekapelajari dan menolong mereka untuk mengingat kembali informasi yang
berhubungan dengan materi itu, sehingga dapat digunakan dalam menanamkan pengetahuan
baru. Pengaturanan awal ini berisi konsep-konsep atau ide-ide yang diberikan kepada pelajar jauh
sebelum materi pelajaran yang sesungguhnya diberikan (Andriyani, 2008, 3.23).
Ada tiga hal yang dapat dicapai dengan menggunakan pengaturan awal (Andrayani, 2008, 3.23) :
a. Pengaturanan awal memberikan kerangka konseptual untuk belajar yang bakal terjadi berikutnya
b.Dapat menjadi penghubung antara informasi yang sudah dimiliki  pelajar saat ini dengan
informasi baru yang akan diterima/ dipelajari.
c. Berfungsi sebagai jembatan penghubung sehingga memperlancar proses pengkodean pada
pelajar.
2). Diferensiasi Progresif
Diferensiasi progresif artinya proses penyusunan konsep yang akan diajarkan. Menurut Ausubel
dalam Dahar (2011, 101), pengembangan konsep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang
paling umum atau paling inklusif diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian baru diberikan hal-hal
yang lebih mendetail dan lebih khusus dari konsep itu.  Dengan perkataan lain, model belajar
menurut Ausubel pada umumnya berlangsung dari umum  ke khusus.
3). Belajar Superordinat
Dahar (2006, 103) menyebutkan belajar superordinat terjadi bila konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur suatu konsep yang lebih luas, lebih
inklusif. Sedangkan menurut Andriyani (2008, 3.23) untuk menerapkan strategi mengajar seperti ini
perlu dilakukan analisis konsep.Lanjutnya Andriyani mengatakan analisis konsep dilakukan untuk
menemukan kemudian menghubungkan konsep-konsep utama dari suatu mata pelajaran sehingga
dapat diketahui mana konsep yang paling utama dan superordinat dan mana konsep yang lebih
khusus dan subordinat.
4). Penyesuaian Integratif
Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa
hingga kita menggerakkan hierarki konseptual dari atas hingga ke bawah selama informasi
disajikan.Menurut Ausubel dalam Dahar (2006, 103), dalam mengajar bukan hanya urutan menurut
diferensiasi progresif yang diperhatikan, melainkan juga harus diperlihatkan bagaimana konsep-
konsep baru dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Andriyani (2008, 3.24) tahap ini guru
menjelaskan dan menunjukkan secara jelas perbedaan dan persamaan materi yang baru dengan
materi yang telah dijelaskan terlebih dahulu yang telah dikuasai pelajar. Dengan demikian pelajar
akan mengetahui alasan dan manfaat materi yang akan dijelaskan tersebut.

Dalam perkembangannya, belajar bermakna dapat diterapkan melalui berbagai cara pengajaran,
misalnya pengajaran dengan menggunakan peta konsep (Andriyani, 2008, 3.24).
Adapun cara pembelajarannya menurut Andriyani (2008, 3.24) adalah sebagai berikut:
1. Pilih suatu bacaan atau salah satu bab dari sebuah buku pelajaran.
2. Tentukan konsep-konsep yang relevan dari topik yang akan atau sudah  diajarkan.
3. Urutkan konsep-konsep tersebut dari yang paling inklusif ke yang paling  tidak inklusif berikut
contoh-contohnya.
4. Susun konsep-konsep tersebut di atas kertas dari konsep yang paling inklusif ke konsep yang
tidak inklusif secara berurutan dari atas ke bawah.
5. Hubungkan konsep-konsep ini dengan kata-kata sehingga menjadi sebuah peta konsep
Menurut Ausubel dan Novak (Dahar, 2006,  98) ada tiga kebaikan belajar bermakna, yaitu :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat
2. Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat
meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar
mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang pernah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya, meninggalkan bekas
sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun
telah lupa.
Kelebihan teori belajar Ausubel antara lain :
1. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat. Hal ini disebabkan karena
pembelajaran yang bermakna tersebut. Jika kita mempelajari sesuatu dan dapat mengambil
maknanya, sama artinya dengan kita telah mengetahui konsep dasar dari pelajaran yang diajarkan
tersebut. Jadi jika kita dapat mengingatnya lebih lama.
2. Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep relevan sebelumnya dapat
meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar
mengajar berikutnya untuk memberi pelajaran yang mirip.
3. Informasi yang telah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan bekas,
sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah
lupa.

Adapun Kekurangan Belajar Bermakna menurut Ausubel :


1. Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat
2. Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu
dengan hal yang lain yang sudah diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya
dapat dinyatakan sebagai hafalan.
D. TEORI BELAJAR KOGNITIF DARI BENJAMIN SAMUEL BLOOM DAN DAVID
KRATHWOHL

a. (Benjamin Samuel Bloom) ; b. (David Krathwohl)

Benjamin S. Bloom lahir pada 21 februari 1913 di Lansford Pennsylvania, dan meninggal pada
tanggal 13 September 1999. Dia mendapatkan gelar sarjana dan gelar master dari Pennsylvania
State University pada tahun 1935 dan Ph.D. Pendidikan dari University of Chicago Maret 1942. Ia
menjadi anggota staff Board of Examinations di University of Chicago pada tahun 1940 dan
bertugas hingga 1959. Ia juga yakni seorang guru, penasihat pendidikan dan psikologi pendidikan.
Sedangkan Krathwohl lahir di Chicago pada 14 Mei 1921. Krathwohl adalah putra dari William
Charles dan Marie Krathwohl. Setelah lulus gelar sarjana di Universitas Chicago, ia bertugas di
Angkatan Darat AS selama Perang Dunia II dan kemudian kembali ke Universitas Chicago di mana
ia menerima gelar M.S. dan gelar Ph.D. Saat belajar dengan Benjamin Bloom, ia ikut menulis
Taksonomi Tujuan Pendidikan, (juga dikenal sebagai Taksonomi Bloom) sebuah publikasi kritis
tentang pendidikan dan juga telah menulis bersama beberapa buku tentang pendidikan. Dia adalah
Profesor Pendidikan di Universitas Syracuse.

TEORI BELAJAR KOGNITIF MENURUT BLOOM DAN KRATHWOHL

Benjamin Bloom (February 21, 1913 - September 13, 1999) adalah seorang ahli psikologi
pendidikan  Amerika yang memberikan sumbangan pemikiran yang cukup berarti, yaitu
mengklasifikasikan tujuan pembelajaran (classification of educational objectives) dan teori belajar
tuntas (the theory of mastery learning).  Dari hasil penelitiannya, Bloom membangun taksonomi
tujuan pembelajaran atau "taxonomy of educational objectives" yang mengklasifikasikan tujuan
pembelajaran yang berbeda-beda.

Bloom dan Krathwohl telah memberikan banyak inspirasi kepada banyak orang yang
melahirkan taksonomi lain. Prinsip-prinsip dasar yang digunakan oleh 2 orang ini ada 4 buah,yaitu:

1. Prinsip metodologis
Perbedaan-perbedaan yang besar telah merefleksi kepada cara-cara guru dalam mengajar.
2. Prinsip Psikologis
Taksonomi hendaknya konsisten dengan fenomena kejiwaan yang ada sekarang. 
3. Prinsip Logis
Taksonomi hendaknya dikembangkan secara logis dan konsisten.
4. Prinsip Tujuan
Tingkatan-tingkatan tujuan tidak selaras dengan tingkatan-tingkatan nilai-nilai.tiap-tiap jenis tujuan
pendidikan hendaknya menggambarkan corak yang netral.

Atas dasar prinsip ini maka taksonomi disusun menjadi suatu tingkatan yang menunjukkan
tingkat kesulitan. Sebagai contoh: mengingat fakta lebih mudah daripada memberikan
pertimbangan. Tingkatan kesulitan ini juga merefleksi kepada kesulitan dalam proses belajar
mengajar. Sudah banyak diketahui bahwa mula-mula taksonomi Bloom terdiri dari dua bagian yaitu
kognitif domain dan afektif domain. Pencipta dari kedua taksonomi ini merasa tidak tertarik pada
psikomotor domain karena mereka melihat hanya ada sedikit kegunaanya di sekolah menengah dan
Universitas (Bloom 1956). Akhirnya Simpson melengkapi dua domain yang ada dengan psikomotor
domain (1966). Namun sebenarnya pemisahan antara ketiga domain ini merupakan pemisahan yang
dibuat-buat, karena manusia merupakan suatu kebulatan yang tidak dapat dipecah-pecah sehingga
egala tindakannya merupakan suatu kebulatan.

Saat ini sudah banyak diketahui oleh umum bahwa apa yang dikenal sebagai taksonomi
Bloom (1956) sebenarnya merupakan hasil kelompok penilai di Universitas yang terdiri dari B.S
Bloom Editor M.D.Engelhart, E.Furst, W.H. Hill dan D.R Krathwol, yang kemudian didukung pula
oleh Ralp Wtyler.

Secara garis besar, Bloom bersama kawan-kawan merumuskan tujuan-tujuan pendidikan


pada 3 tingktan :

1. kategori tingkah laku yang masih verbal

2. perluasan kategori menjadi sederhana

3. Tingkah laku konkret yang terdiri dari tugas-tugas (task) dalam pertanyaan-pertanyaan sebagai
ujian dan butir-butir soal.

Ada tiga ranah atau domain besar, yang terletak pada tingkatan ke-2 yang selanjutnya disebut
taksonomi yaitu :

1. Ranah Kognitif (Cognitif Domain)

2. Ranah Afektif ( Afektive domain)

3. Ranah Psikomotor (Psychomotor domain)


Ranah kognitif

Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Menurut Bloom, segala
upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Dalam ranah kognitif
itu terdapat enam aspek atau jenjang proses berfikir, mulai dari jenjang terendah sampai dengan
jenjang yang paling tinggi. Keenam jenjang atau aspek yang dimaksud adalah:

a. Pengetahuan/hafalan/ingatan (Knowledge)
Istilah pengetahuan dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata knowledge dalam taksonomi Bloom.
Pengetahuan atau ingatan adalah merupakan proses berfikir yang paling rendah. Maknanya tidak
sepenuhnya tepat sebab dalam istilah tesebut termasuk pula pengetahuan faktual disamping
pengetahuan hafalan atau untuk diingat seperti rumus, batasan, definisi, pasal dalam undang-
undang, nama tokoh, nama-nama kota. Dilihat dari segi proses belajar, isyilah-istilah tersbut
memang perlu dihafal dan diningat agar dapat dikuasai sebagai dasar bagi pengetahuan atau
pemahaman konsep-konsep lainnya. Dalam jenjang kemampuan ini seseorang dituntut untuk dapat
mengenali atau mengetahui adanya konsep, fakta atau istilah-istilah dan lain sebagainya tanpa harus
mengerti atau dapat menggunakannya. Kata kerja operasional sebagai berikut: menyebutkan,
menunujukkan, mengenal, mengingat kembali, menyebutkan definisi, memilih dan menyatakan.
b. Pemahaman (comprehension)
Pemahaman adalah kemampuan seseorang untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu
itu diketahui dan diingat. Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan
dapat melihatnya dari berbagai segi.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi adalah kesanggupan seseorang untuk menerapkan atau menggunakan ide-ide umum, tata
cara ataupun metode-metode, prinsip-prinsip, rumus-rumus, teori-teori dan sebagainya, dalam
situasi yang baru dan kongkret.
d. Analisis (analysis)
Dalam analisis, siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang kompleks atas
konsep-konsep dasar.
e. Sintesis (syntesis)
Sintesis merupakan suatu proses yang meminta siswa agar bias menyusun kembali hal-hal yang
spesifik agar dapat mengembangkan struktur baru. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dengan
soal sintesis ini siswa diminta untuk melakukan generalisasi.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi (evaluation) adalah merupakan jenjang berpikir paling tinggi dalam ranah kognitif
menurut taksonomi bloom.Evaluasi disini merupakan kemampuan seseorang untuk membuat
pertimbangan terhadap suatu situasi, nilai atau ide,atau kemampuan mengambil keputusan.

Ranah Afektif

Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup
watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai.
1. Pandangan atau pendapat (opinion)
Apabila mau mengukur aspek afektif yang berhubungan dengan pandangan siswa maka
pertanyaan yang disusun menghendaki respon yang melibatkan ekspresi, perasaan, atau pendapat
pribadi siswa terhadap hal-hal yang relatif sederhana tetapi bukan fakta.
2. Sikap atau Nilai (attitude, value)
Dalam penilaian afektif tentang sikap ini, siswa ditanya mengenai responnya yang melibakan
sikap atau nilai telah mendalam di sanubarinya, dan guru meminta dia untuk mempertahankan
pendapatnya. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah
laku. Seperti: perhatiannnya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinannya
dalam mengikuti mata pelajaran agama disekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak
mengenai pelajaran agama Islam yang di terimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap
guru pendidikan agama Islam dan sebagainya. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima
jenjang, yaitu: (1) receiving (2) responding (3) valuing (4) organization (5) characterization by
evalue or value complex.

Ranah Psikomotor
Perkataan Psikomotor berhubungan dengan kata “motor”, sensory motor atau perceptual-
motor”. Jadi, ranah psikomotor berhubungan erat dengan kerja otot sehingga menyebabkan
geraknya tubuh atau bagiannya. Yang termasuk dalam klasifikasi gerak disini mulai dari gerak yang
paling sederhana, yaitu melipat kertas sampai dengan merakit suku cadang televisi serta komputer.
Secara mendasar perlu dibedakan antara dua hal, yaitu keterampilan (skills) dan kemampuan
(abilities). Contoh : “seberapa terampil para siswa dalam menyiapkan alat-alat”, seberapa terampil
siswa menggunakan alat-alat.
Rincian dalam domain ini tidak dibuat oleh Bloom, tapi oleh ahli lain berdasarkan domain yang
dibuat Bloom.

a. Persepsi (Perception)
Penggunaan alat indera untuk menjadi pegangan dalam membantu gerakan.
b. Kesiapan (Set)
Kesiapan fisik, mental, dan emosional untuk melakukan gerakan.
c. Respon Terpimpin (Guided Response)
Tahap awal dalam mempelajari keterampilan yang kompleks, termasuk di dalamnya imitasi dan
gerakan coba-coba.

d. Mekanisme (Mechanism)

Membiasakan gerakan-gerakan yang telah dipelajari sehingga tampil dengan meyakinkan dan
cakap.

d. Respon Tampak yang Kompleks (Complex Overt Response)


Gerakan motoris yang terampil yang di dalamnya terdiri dari pola-pola gerakan yang kompleks.
e. Penyesuaian (Adaptation)
Keterampilan yang sudah berkembang sehingga dapat disesuaikan dalam berbagai situasi.
f. Penciptaan (Origination)
Membuat pola gerakan baru yang disesuaikan dengan situasi atau permasalahan tertentu.

Sasaran psikomotor digolongkan sebagai :

1. Kemampuan otot lurik


Sasaran kemampuan otot lurik menuntut siswa untuk menggunakan tubuhnya melakukan kerja fisik
dalam parameter terinci tertentu (misalnya waktu, berat, dan jarak)
2. Kemampuan melakukan keterampilan khusus
Sasaran kemampuan melakukan keterampilan khusus menuntut siswa untuk memanfaatkan
kemampuan otot lurik untuk melaksanakan proses fisik tertentu.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN TEORI TAKSONOMI BLOOM
A. KELEBIHAN

1. Pendidikan berdasarkan taksonomi Bloom lebih fokus pada kemampuan (skill) dari pada konten
(hafalan materi) sehingga pembelajaran di kelas terkesan lebih relevan dengan apa yang dibutuhkan
di dunia luar.
2. Dengan taksonomi Bloom, pengajar bisa mengendalikan dan menyesuaikan tujuan belajar,
aktivitas belajar dan proses evaluasi dengan mudah karena sudah diberikan kata kerja operasional
untuk tiap proses berfikirnya. Misal, jika tujuan belajarnya mengharuskan siswa
untuk mengingat dan mendefinisikan istilah, maka pengajar akan memilih kata kerja operasional
pada taksonomi sesuai dengan proses mengingat dan memahami dalam aktivitas kelas dan ujian
nanti.
3. Taksonomi Bloom bisa digunakan di berbagai mata pelajaran atau lintas disiplin ilmu.
B. KEKURANGAN

1. Dengan adanya tingkatan proses berfikir, pengajar cenderung mengabaikan proses berfikir
tingkat rendah dan berlomba-lomba mengejar tingkat atas. Padahal kegiatan pada proses berfikir
tingkat rendah adalah prasyarat menuju proses kegiatan berfikir tingkat tinggi.
2. Penjelasan dari taksonomi Bloom menunjukan bahwa semakin ke atas maka proses berfikir
semakin kompleks serta terlihat tiap prosesnya berdiri sendiri-sendiri tapi kenyataannya kegiatan
proses berfikir di tingkat atas saling tindih dengan yang di bawahnya. Contoh,
proses mengevaluasi tercermin oleh kegiatan menyimpulkan yang mana memiliki kemiripan
dengan merumuskan di proses memahami.

3. Tidak konsistennya sifat hirarki taksonomi. Tiga kemampuan paling bawah seperti hierarki,
semakin ke atas semakin kompleks, tetapi tiga kemampaun teratas memiliki sifat paralel dimana
satu proses saling berkaitan dengan proses lain. Contoh ketika seseorang dalam proses mencipta,
dia pasti akan melewati proses evaluasi dan analisis untuk membentuk karyanya. Begitu pula ketika
dalam mengkritik (bagian dari evaluasi) ketika dia menyampaikan kritikannya otomatis dia juga
berada dalam proses mencipta (menciptakan kritikan).
4. Karena ketidakkonsistenan pada sifat hirarki dan juga adanya tumpang tindih di antara kategori
proses kegiatan berfikir, kata kerja operasional yang menggambarkan proses berfikir tadi pun
mengalami perbedaan pada setiap institusi, tergantung bagaimana mereka melihat setiap tingkatan
proses berfikirnya.
DAFTAR RUJUKAN

Andriyani, Dewi. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Padang : Pustaka STKIP PGRI Sumatera.
Arikunto, Suharsimi. 2012.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara.
Budiningsih, Asri. 2004. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : Rineka Cipta.
Dahar, Ratna.2006. Teori – teori Belajar & Pembelajaran.Jakarta : Erlangga.
Slameto. 2010. Belajar & Faktor – factor yang Mempengaruhi. Jakarta : Rineka.
Taxonomy for Learning, Teaching and Assessing: A revision of Bloom’s Taxonomy of
educational Objectives. A Bridged Edition. Addison Wesley Longman, Inc.2001.

Prihantoro, Agung. 2010. Pembelajaran, Pengajaran dan Asesmen, Revisi Taksonomi. Yogyakarta:
Pustaka Pengajar.

Anda mungkin juga menyukai