Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Inovatif

DOSEN PENGAMPU :

Dr. Dra. Susanah, M. Pd.


Dr. Pradnyo Wijayanti, M. Pd.

DISUSUN OLEH KELOMPOK 8 :


1. Muhammad Avicenna Wahyu Wijaya 20030174052
2. Silvia Kumala Dewi 20030174060
3. Kayla Manoppo 20030174073
4. Halwa Annisa Romadhona 20030174077

Kelas : Pendidikan Matematika 2020 C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2022
1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................................2

1. Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning ..............................................3

2. Landasan Teori Model Pembelajaran Discovery Learning ......................................3

3. Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning...........................................7

4. Langkah-Langkah Model Pembelajaran Discovery Learning ..................................7

5. Evaluasi dan Penilaian Model Pembelajaran Discovery Learning .........................11

6. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Discovery Learning..................12

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................14

2
1. Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning

Model pembelajaran penemuan adalah model pengajaran yang menekankan


pentingnya membantu peserta didik memahami struktur atau ide-ide kunci dari suatu
disiplin, perlunya keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses pembelajaran, dan
keyakinan bahwa pembelajaran sejati datang melalui penemuan pribadi. (Arends, 2015,
hlm. 402).
Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang
digunakan dalam pendekatan kontruktivis modern (Slavin, 2018). Penemuan adalah
terjemahan dari discovery. Menurut Sund ”discovery adalah proses mental dimana peserta
didik mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip”. Proses mental tersebut ialah
mengamati, mencerna, mengerti, mengolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan,
mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya (Roestiyah, 2001:20), sedangkan
menurut Bruner, “penemuan adalah suatu proses, suatu jalan/cara dalam mendekati
permasalahan bukannya suatu produk atau item pengetahuan tertentu”. Dengan demikian
di dalam pandangan Bruner, belajar dengan penemuan adalah belajar untuk menemukan,
dimana seorang peserta didik dihadapkan dengan suatu masalah atau situasi yang
tampaknya ganjil sehingga peserta didik dapat mencari jalan pemecahan (Markaban,
2006:9).
Dari pengertian yang telah dijabarkan tersebut dapat disimpulkan bahwa Discovery
Learning merupakan model pembelajaran yang mengarahkan peserta didik untuk
menemukan secara mandiri pemahaman yang harus dicapai dengan bimbingan dan
pengawasan guru.

2. Landasan Teori Model Pembelajaran Discovery Learning


Discovery Learning adalah gaya belajar aktif dan langsung, yang dicetuskan oleh
Jerome Bruner pada tahun 1960-an. Dengan teori Brunner yang disebut Free Discovery
Learning, Brunner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif
jika guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan suatu konsep,
teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya
dan mengenal dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Dasar ide Bruner ialah
pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam belajar di
kelas. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi,
penentuan dan inferi. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu

3
sendiri adalah the mental process of assimilating conceps and principles in the mind
(Sund, 2001:219).
Belajar penemuan dari Bruner adalah model pengajaran yang dikembangkan
berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivis, artinya didasarkan pada gagasan bahwa peserta
didik membangun pemahaman dan pengetahuan mereka sendiri tentang dunia melalui dan
mengalami hal-hal serta merefleksikan pengalaman tersebut. Di dalam discovery learning
peserta didik didorong untuk belajar sendiri secara mandiri. Peserta didik terlibat aktif
dalam penemuan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalaui pemecahan masalah atau
hasil abstraksi sebagai objek budaya (Takaya, 2008).
Guru akan memberikan peserta didik suatu masalah dan beberapa sumber untuk
menyelesaikannya. Guru mendorong dan memotivasi peserta didik untuk mendapatkan
pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka untuk menemukan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika untuk mereka sendiri. Pembelajaran ini
dapat membangkitkan rasa keingintahuan peserta didik (Mulyasa, 2006)
Discovery Learning mungkin memiliki hasil akhir yang spesifik, tetapi fokusnya
adalah pada langkah-langkah dan pemikiran kritis yang terlibat untuk mencapainya. Guru
harus mengamati prosesnya, tidak hanya menilai kertas tertulis di akhir pengalaman.
Psikolog Pendidikan, Jean Piaget memandang anak-anak sebagai filsuf dan ilmuwan kecil
yang membangun teori pengetahuan mereka sendiri. Buku Hands-On Science Teaching
merangkum “Penelitian Piaget dengan jelas mengamanatkan bahwa lingkungan belajar
harus kaya akan pengalaman fisik. Ia menyatakan keterlibatan adalah kunci
perkembangan intelektual, dan untuk anak sekolah dasar ini termasuk manipulasi fisik
langsung terhadap objek.”
Dengan model ini, peserta didik secara aktif berpartisipasi bukan pasif menerima
pengetahuan. Peserta didik berinteraksi dengan lingkungannya dengan mengeksplorasi
dan memanipulasi objek, bergulat dengan pertanyaan dan kontroversi atau melakukan
eksperimen. Mereka didorong untuk berpikir, bertanya, berhipotesis, berspekulasi, bekerja
sama dan berkolaborasi dengan orang lain. Mereka mengembangkan kepercayaan diri
dalam pemecahan masalah dan merasa nyaman menggunakan pengetahuan yang sudah
mereka miliki. Discovery Learning mempertimbangkan bahwa semua peserta didik
memiliki beberapa latar belakang pengetahuan yang mungkin dapat mereka terapkan pada
mata pelajaran saat ini.

4
Menurut Brunner belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan, yakni: (1) Memperoleh informasi baru. Informasi baru merupakan perluasan
dari informasi sebelumnya yang dimiliki seseorang. Atau informasi tersebut dapat bersifat
sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki
seseorang. (2) Transformasi informasi. Transformasi informasi/pengetahuan menyangkut
cara kita memperlakukan pengetahuan. Informasi yang diperoleh, kemudian dianalisis,
diubah atau ditransformasikan ke dalam yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat
digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. (3) Evaluasi. Evaluasi merupakan proses menguji
relevansi dan ketepatan pengetahuan. Proses ini dilakukan dengan menilai apakah cara kita
memperlakukan pengetahuan tersebut cocok atau sesuai dengan prosedur yang ada. Juga
sejauh manakah pengetahuan tersebut dapat digunakan untuk memahami gejala-gejala
lainnya.
Hampir semua orang dewasa melalui penggunaan ketiga sistem ketrampilan
tersebut untuk menyatakan kemampuan-kemampuannya secara sempurna. Ketiga sistem
keterampilan itu ialah yang disebut tiga cara penyajian (models of presentation) oleh
Bruner. Bruner membagi perkembangan kognitif anak menjadi 3 tahap, yaitu:
a. Enaktif (Enactive)
Tahap ini merupakan tahap representasi pengetahuan dalam melakukan tindakan.
Pada tahap ini anak dalam belajarnya menggunakan atau memanipulasi obyek-obyek
secara langsung. Dengan cara ini anak mengetahui suatu aspek dari kenyataan tanpa
menggunakan pikiran atau kata-kata.
b. Ikonik (Iconic)
Tahap ini merupakan tahap perangkuman bayangan secara visual. Pada tahap ini anak
melihat dunia melalui gambargambar atau visulisasi. Dalam belajarnya, anak tidak
memanipulasi obyek-obyek secara langsung, tetapi sudah dapat memanipulasi dengan
menggunakan gambaran atau obyek. Pengetahuan yang dipelajari anak disajikan
dalam bentuk gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, tetapi tidak
mendefinisikan konsep itu sepenuhnya.
c. Simbolik (Symbolic)
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-simbol secara langsung dan tidak
lagi menggunakan obyek-obyek atau gambaran obyek. Pada tahap ini anak memiliki
gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.

5
Sesuai dengan perkembangan, ketiga tahapan diperluas dengan membagi enaktif
menjadi dua sub kelompok, yaitu real dan manipulatif, sedangkan yang simbolik
diklasifikasi lagi menjadi dua kelompok, yaitu tertulis dan lisan. Penggambaran hubungan
tahap-tahap di atas satu sama lain secara ruang dan mempraktekkannya dalam
pembelajaran matematika untuk mengembangkan pemahaman peserta didik tentang
konsep matematika.

Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan yang memfasilitasi rasa ingin
tahu peserta didik pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning
Environment, yaitu lingkungan dimana peserta didik dapat melakukan eksplorasi,
penemuan-penemuan baru yang belum dikenal. Lingkungan seperti ini bertujuan
agar peserta didik dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih aktif.
Discovery Learning diharapkan agar peserta didik mengorganisasi sendiri dalam proses
belajarnya. Sebagaimana pendapat Bruner bahwa: “Discovery learning can be defined
as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter
in the final form, but rather is required to organize it him self” (Emetembun,
1986:103).
Penggunaan Discovery learning, dapat merubah kondisi belajar yang pasif
menjadi aktif dan kreatif. Dari pembelajaran yang berorientasi pada guru menjadi
pembelajaran yang berorientasi pada peserta didik. Mengubah modus ekspositori peserta
didik hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus discovery
peserta didik menemukan informasi sendiri. Belajar penemuan sesuai dengan pencarian
pengetahuan secara aktif oleh manusia dan dengan sendirinya memberikan hasil yang
paling baik. Peserta didik hendaknya belajar melalui berpartisipasi secara aktif dengan
konsep-konsep dan prinsip-prinsip agar mereka memperoleh pengalaman, dan melakukan
eksperimen-eksperimen yang mengizinkan mereka untuk menemukan prinsip-prinsip itu
sendiri.
Menurut Dahar (Syah, 2004), pengetahuan yang diperoleh dengan belajar
penemuan mempunyai beberapa kebaikan, yakni: a. Pengetahuan itu bertahan lama atau
lama dapat diingat atau lebih mudah diingat, bila dibandingkan dengan pengetahuan yang
dipelajari dengan cara-cara lain. b. Hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang
lebih baik dari pada hasil belajar lainnya. Dengan perkataan lain, konsep-konsep dan
prinsip-prinsip yang dijadikan milik kognitif seseorang lebih mudah diterapkan pada
situasi baru. c. Secara menyeluruh belajar penemuan meningkatkan penalaran peserta

6
didik dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan
melatih keterampilanketerampilan kognitif peserta didik untuk menemukan dan
memecahakan masalah tanpa pertolongan orang lain.

3. Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning


Karakteristik pembelajaran penemuan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan
masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasikan pengetahuan; (2)
berpusat pada peserta didik; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan
pengetahuan yang sudah ada (Hammer, 1997). Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran
yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme yang dijadikan landasan pada
pembelajaran penemuan, yaitu:
a. Menekankan pada proses belajar, bukan hasil belajar saja
b. Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajar pada peserta didik.
c. Memandang peserta didik sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai.
d. Mendorong peserta didik untuk mampu melakukan penyelidikan.
e. Menghargai peranan pengalaman kritis dalam belajar.
f. Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada peserta didik.
g. Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman peserta didik.
h. Proses belajar berdasarkan prinsip-prinsip kognitif.
i. Menekankan pentingnya bagaimana peserta didik belajar serta konteks peserta didik
belajar.
j. Mendorong peserta didik untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan
peserta didik lain dan guru.
k. Memperhatikan keyakinan dan sikap peserta didik dalam belajar.
l. Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif.
m. Memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan dan
pemahaman baru yang didasari pada pengalaman nyata (Svinicki, 1998).

4. Langkah - Langkah Model Pembelajaran Problem Based Learning


Dalam discovery learning memiliki langkah-langkah (sintaks) yang berbeda
dengan model pembelajaran yang lain. Berikut langkah-langkah pembelajaran yang
dilakukan pada discovery learning :

7
1. Langkah Persiapan
a. Menentukan tujuan pembelajaran
b. Melakukan identifikasi karakteristik peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya
belajar, dan sebagainya)
c. Memilih materi pelajaran
d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari peserta didik secara induktif (dari
contoh-contoh generalisasi)
e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh–contoh, ilustrasi,
tugas dan sebagainya untuk dipelajari peserta didik
f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang
konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik
g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar peserta didik
2. Pelaksanaan
Berikut merupakan fase untuk model pembelajaran penemuan:
a. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
Pemberian rangsangan pada peserta didik di awal pertemuan dengan
menggunakan model discovery learning haruslah dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan pertanyaan, ketertarikan, keingintahuan, maupun kebingungan,
kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan
untuk menyelidiki sendiri.
Di samping itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya
yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini
berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu peserta didik dalam mengeksplorasi
bahan/masalah yang diberikan (Kemendikbud, 2014).
b. Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
Setelah dilakukan stimulasi, langkah selanjutya adalah guru memberi
kesempatan kepada peserta didik untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah
satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah) (Kemendikbud, 2014).

8
c. Data Collection (Pengumpulan Data)
Ketika eksplorasi berlangsung, guru juga memberi kesempatan kepada para
peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan
untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis. Pada tahap ini berfungsi untuk
menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis, dengan
demikian anak didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection)
berbagai informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek,
wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya
(Kemendikbud, 2014).
d. Data Processing (Pengolahan Data)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang
telah diperoleh para peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara,
observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan, bahkan bila
perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan
tertentu (Kemendikbud, 2014).
e. Verification (Pembuktian)
Pada tahap ini, peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis yang telah ditetapkan dengan temuan
alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing (Kemendikbud, 2014).
Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan
dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-
contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
f. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah
kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua
kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi
(Kemendikbud, 2014). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-
prinsip yang mendasari generalisasi.

9
Adapun kegiatan/aktivitas guru yang dapat dilakukan dengan menggunakan model
pembelajaran penemuan sebagai berikut.

Fase Aktivitas/Kegiatan Guru

Stimulation (Stimulasi/ Memberikan masalah-masalah yang menarik untuk peserta


Pemberian Rangsangan) didik, terutama masalah yang sedang hangat saat ini (up-to-
date) dan sesuai dengan topik/materi matematika.

Problem statement Memancing peserta didik untuk mengungkapkan pernyataan


(Pernyataan/Identifikasi / pertanyaan sebagai langkah mengidentifikasi masalah
Masalah sehingga dapat memunculkan hipotesis (dugaan sementara)

Data Collection Membimbing peserta didik untuk mengumpulkan data dari


(Pengumpulan Data) permasalahan yang diberikan. Pengumpulan data ini dapat
dilakukan dari berbagai sumber. Memberikan kesempatan
seluas-luasnya untuk peserta didik menggali informasi.
Mengarahkan peserta didik agar tetap fokus terhadap
pencarian data dari permasalahan yang diberikan.

Data Processing Memfasilitasi peserta didik dalam mengolah data yang


(Pengolahan Data) sudah didapat dengan cara mengingatkan materi matematika
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi

Verification Mengingatkan peserta didik untuk membuktikan akan


(Pembuktian) temuan yang didapat dengan cara memberikan pertanyaan-
pertanyaan kepada peserta didik sehingga peserta didik
dapat berfikir kembali serta mengecek hasil temuannya,
apakah yang ditemukan sudah sesuai dengan penyelesaian
masalah yang diberikan.

Generalization (Menarik Meminta peserta didik melakukan kesimpulan dari apa yang
Kesimpulan / telah ditemukan, dengan cara menuliskan hasil
Generalisasi) kesimpulannya pada kertas/ papan tulis sehingga nantinya
mendapat tanggapan dari peserta didik yang lain.

10
5. Asesmen dan Evaluasi
Dalam model discovery learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan tes
maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif,
proses, sikap, atau penilaian hasil kerja peserta didik. Jika bentuk penilaiannya berupa
penilaian kognitif, maka dalam model discovery learning dapat menggunakan tes tertulis.
Jika bentuk penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap atau penilaian hasil kerja
peserta didik, maka pelaksanaan penilaian dapat dilakukan dengan pengamatan. Berikut
merupakan contoh penilaian yang dapat digunakan dalam model discovery learning.
1) Penilaian tertulis Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang
diberikan kepada peserta didik dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal,
peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk menulis jawaban tetapi dapat
juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai, dan menggambar.
Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal
berikut:
a. Materi, misalnya kesesuaian soal dengan indikator pada kurikulum.
b. Konstruksi, misalnya rumusan soal atau pertanyaan harus jelas dan tegas.
c. Bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata/kalimat yang
menimbulkan penafsiran ganda.

2) Penilaian diri (self assessment) adalah suatu tehnik penilaian, subyek yang ingin
dinilai diminta untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan status, proses dan
tingkat pencapaian kompetensi yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.
Tehnik penilaian ini dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang
berkaitan dengan kompetensi kognitif, misalnya peserta didik dapat diminta untuk
menilai penguasaan pengetahuan dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar
dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria atau acuan yang telah
disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat
diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu
obyek sikap tertentu. Berkaitan dengan kompetensi psikomotorik, peserta didik
dapat diminta untuk menilai kecakapan atau keterampilan yang telah dikuasainya
sebagai hasil belajar berdasarkan kriteria atau acuan yang telah disiapkan.
Keuntungan penggunaan tehnik ini dalam penilaian di kelas sebagai berikut.
a. Dapat menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik karena peserta didik diberi
kepercayaan untuk menilai dirinya sendiri.

11
b. Peserta didik menyadari kekuatan dan kelemahan dirinya karena ketika mereka
melakukan penilaian harus melakukan introspeksi terhadap kekuatan dan
kelemahan yang dimilikinya.
c. Dapat mendorong, membiasakan, dan melatih peserta didik untuk berbuat jujur
karena peserta didik dituntut untuk jujur dan obyektif dalam melakukan
penilaian.

6. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Discovery Learning


Kelebihan discovery learning yakni:
1) Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan
keterampilanketerampilan dan proses-proses kognitif.
2) Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karena
menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
3) Menimbulkan rasa senang pada peserta didik, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan
berhasil.
4) Metode ini memungkinkan peserta didik berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
5) Menyebabkan peserta didik mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan
melibatkan akalnya dan motivasi sendiri.
6) Metode ini dapat membantu peserta didik memperkuat konsep dirinya, karena
memperoleh kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
7) Berpusat pada peserta didik dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-
gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai peserta didik, dan sebagai peneliti di
dalam situasi diskusi.
8) Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena mengarah
pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
9) Peserta didik akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
10) Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar yang
baru.

Kekurangan discovery learning yakni:

1) Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi
peserta didik yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau

12
mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga
pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.
2) Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah peserta didik yang banyak, karena
membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya.
3) Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan
peserta didik dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
4) Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan
mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang
mendapat perhatian.
5) Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan
yang dikemukakan oleh para peserta didik.
6) Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan oleh
peserta didik karena telah dipilih terlebih dahulu oleh guru

13
DAFTAR PUSTAKA

Arends, R. I. (2012). Learning to teach. McGraw-Hill Companies


Yanuarto, WN. (2019). De Fermat : Jurnal Pendidikan Matematika. DISCOVERY LEARNING
DALAM MATA KULIAH TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN UNTUK
MENUMBUHKAN KEMAMPUANPENEMUAN DIRI (SELF INVENTION)
MAHASISWA, 2(1),8-9. Diakses 21 Maret 2022, dari Universitas Muhammadiyah
Purwokerto pada https://jurnal.pmat.uniba-
bpn.ac.id/index.php/DEFERMAT/article/view/30/22
Invantionland Education. DISCOVERY LEARNING METHOD. Diakses pada 21 Maret 2022,
dari https://inventionlandeducation.com/discovery-learning-method
Puji Sukma Lungguh Buana, 135060116 (2017) PENGGUNAAN MODEL DISCOVERY
LEARNING UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR DAN PERCAYA DIRI
PESERTA DIDIK PADA SUBTEMA WUJUD BENDA DAN CIRINYA (Penelitian
Tindakan Kelas di Kelas V SDN Gentra Masekdas Bandung Tahun Pelajaran
2017/2018)v. Skripsi(S1) thesis, FKIP UNPAS.
Wijayanti, Pradnyo dkk. 2021. Model Pembelajaran Matematika Berpusat pada Peserta Didik.
Surabaya: Unesa University Press.

14

Anda mungkin juga menyukai