Anda di halaman 1dari 13

A.

KAJIAN TEORI
1. Belajar dan Pembelajaran
a. Pengertian Belajar
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang sebagai hasil dari pengalaman dan latihan.
(Saud dkk, 2016, hlm. 3)
Sedangkan Mulyasa dkk, (2016, hlm. 180) mengemukakan bahwa
belajar pada hakikatnya merupakan usaha sadar yang dilakukan individu
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Murfiah, Uum (2017, hlm. 1) mengemukakan bahwa
belajar merupakan proses pendewasaan yang dilakukan oleh seorang guru
dan peserta didik. Sebagai salah satu sumber ilmu, guru menyampaikan
materi yang bermakna bagi peserta didik.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa belajar
merupakan usaha yang dilakukan individu untuk memenuhi kebutuhan
dan guru memiliki peranan yang sangat penting dalam proses belajar.
b. Pengertian Pembelajaran
Sudjana (2004, hlm. 28) mengemukakan bahwa pembelajaran
dapat diartikan sebagai setiap upaya yang sistematik dan sengaja untuk
menciptakan agar terjadi kegiatan interaksi edukatif antara belah pihak,
yaitu antara peserta didik (warga belajar) dengan pendidik (sumber
belajar) yang melakukan kegiatan pembelajaran.
Sedangkan menurut Saud, dkk (2016, hlm. 3) mengemukakan
bahwa pembelajaran adalah reaksi terhadap semua situasi yang ada
disekitar individu.
Berdasarkan beberapa definisi pembelajaran diatas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan interaksi dan reaksi antara
pendidik dan peserta didik saat melakukan suatu kegiatan belajar.
2. Model Discovery Learning
a. Pengertian Discovery Learning
Model Discovery menurut Brunner (dalam Suherti, 2017, hlm. 53)
ialah pembelajaran yang bertujuan memperoleh pengetahuan dengan suatu
cara yang dapat melatih kemampuan intelektual pada siswa serta
merangsang keingintahuan mereka dan memotivasi kemampuan mereka.
Model Discovery Learning mengarahkan peserta didik untuk
memahami konsep, arti, dan hubungan melalui proses intuitif untuk
akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Penemuan konsep tidak
disajiakan dalam bentuk akhir, tetapi peserta didik didorong untuk
mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dan dilanjutkan dengan
mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasi atau mengontruksi
apa yang mereka ketahui dan pahami dalam suatu bentuk akhir. Hal
tersebut terjadi jika siswa terlibat, terutama dalam penggunaan proses
mentalnya untuk menemukan konsep beberapa konsep dan prinsip.
(Noerida dalam Suherti, 2017, hlm. 54)
Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri
dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipal pada ketiga
istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya
konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui, masalah yang
diperhadapkan kepada peserta didik semacam masalah yang direkayasa
oleh guru. Sedangkan inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga
peserta didik harus mengerahkan seluruh pikiran dan keterampilannya
untuk mendapatkan temuan-temuan didalam masalah itu melalui proses
penelitian, sedangkan Problem Solving lebih memberi tekanan pada
kemampuan menyelesaikan masalah. Pada Discovery Learning materi
tidak disampaikan dalam bentuk akhir akan tetapi peserta didik didorong
untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui, dilanjutkan dengan
mencari informasi sendiri kemudian mengorganisasikan atau membentuk
(kontruktif) apa yang mereka pahami dalam suatu bentuk akhir (Noeraida
dalam Suherti, 2017, hlm. 55 )
Dalam mengaplikasikan model Discovery Learning guru berperan
sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing
dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan (Sardiman,
2012 hlm. 145).
Penggunaan Discovery Learning ingin mengubah kondisi belajar
yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah pembelajaran yang
Teacher Oriented ke Student Oriented. Mengubah modus ekspositori
peserta didik hanya menerima informasi secara keseluruhan dari guru, ke
modus Discovery peserta didik pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini
dinamakan Discovery Learning Environment, yaitu lingkungan dimana
peserta didik dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru yang
belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar peserta didik dalam proses belajar
dapat berjalan dengan baik dan kreatif (Noeraida dalam Suherti, 2017, hlm
56).
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, peneliti menyimpulkan
bahwa model pembelajaran Discovery Learning adalah proses
pembelajaran yang menuntut siswa menemukan suatu konsep yang belum
diketahui sebelumnya dengan cara melakukan suatu pengamatan dan
penelitian dari masalah yang diberikan oleh guru yang bertujuan agar
siswa berperan sebagai subjek belajar dan terlibat secara aktif dalam
pembelajaran dikelas.

b. Langkah-Langkah Discovery Learning


Langkah-langkah penerapan model Discovery Learning dikelas
adalah sebagai berikut (Noeraida dalam Suherti, 2017, hlm. 57):
1) Pemberian Rangsangan (Stimulation)
Pertama-tama pada tahap ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan kebingungannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak
memberi generalisasi, agar timbul leinginan untuk menyelidiki sendiri.
Disamping itu guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan
mengajukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan aktivitas belajar
lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Simulasi pada
tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang
dapat mengembangkan dan membantu siswa untuk melakukan eksplorasi,
dalam hal memberikan stimulasi dapat menggunakan Teknik bertanya
yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang dapat menghadapkan siswa
pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan demikian guru
harus menguasai Teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar
tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.
2) Identifikasi Masalah (Problem Statement)
Setelah melakukan stimulasi langkah selanjutnya adalah guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak
mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian masalah tersebut dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban
sementara atas pertanyaan masalah). Memberikan kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi dan menganalisis permasalahan yang mereka hadapi,
merupakan Teknik yang berguna dalam membangun pemahaman siswa
agar terbiasa untuk menemukan masalah.

3) Pengumpulan Data (Data Collection)


Tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau menguji
diterima atau tidaknya hipotesis, dengan memberi kesempatan siswa
mengumpulkan berbagai informasi yang relevan, membaca literature,
mengamati objek, wawancara dengan narasumber, melakukan uji coba
sendiri dan sebagainya. Konsekuensi pada tahap ini adalah siswa belajar
secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan
permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja
siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
4) Pengolahan Data (Data Processing)
Pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi
yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan
sebagainya, lalu ditafsirkan. Semua informasi hasil bacaan, wawancara,
observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak, diklasifikasikan,
ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serat
ditafsirakan pada tingkat kepercayaan tertentu. Data Processing disebut
juga dengan pengkodean kategorisasi yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa
akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban yang perlu
mendapat pembuktian.
5) Pembuktian (Verification)
Pada tahap ini siswa memeriksa secara cermat untuk menguji
diterima atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan temuan alternatif,
dihubungkan dengan hasil data yang telah diperoleh. Verification
bertujuan agar proses belajar berjalan dengan baik dan kreatif jika guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,
teori, aturan atau pemahaman melalui contoh yang ia jumpai dalam
kehidupannya.

6) Menarik Kesimpulan (Generalization)


Tahap generalisasi adalah proses menarik kesimpulan yang dapat
dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah
yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi.

c. Kelebihan Model Discovery Learning


Kelebihan Discovery menurut Brunner (dalam Suherti, 2017, hlm. 59)
yaitu :
1) Pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat;
2) Hasil belajar Discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari
pada hasil lainnya;
3) Secara menyeluruh belajar Discovery meningkatkan penalaran siswa
dan kemampuan untuk berpikir bebas. Secara khusus belajar
Discovery melatih keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan
memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.
Pendapat ahli lain tentang kelebihan dari model Discovery
Learning (Suherman dalam Suherti, 2017, hlm. 59) yaitu :
1) Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan
menggunakan kemampuan untuk menemukan hasil belajar
2) Siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri
proses menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih
mudah diingat;
3) Menemukan sendiri menemukan rasa puas. Kepuasan batin ini
mendorong ingin melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya
meningkat;
4) Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan pembelajaran Discovery
akan lebih mampu mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks;
5) Pembelajaran ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.

d. Kelemahan Model Dicovery Learning


Layaknya model pembelajaran yang lain yang memliki kelemahan,
model ini juga memiki kelemahan (Suryosubroto dalam Suherti, 2017,
hlm. 60) yaitu :
1. Dipersyaratkan keharusan adanya persiapan mental untuk cara belajar
ini. misalnya siswa yang lamban, mungkin bingung dalam hal usaha
mengembangkan pemikirannya jika berhadapan dengan hal-hal yang
abstrak, atau menemukan saling ketergantungan antara pengertian
dalam suatu subjek atau dalam usahanya menyusun suatu hasil
penemuan dalam bentuk tertulis;
2. Pembelajaran Discovery kurang berhasil untuk digunakan dikelas
besar. Misalnya sebagian besar waktu dapat hilang karena membantu
seseorang siswa yang menemukan teori-teori, atau menemukan
bagaimana ejaan dari bentuk kata-kata tertentu;
3. Harapan yang ditumpahkan pada model ini mungkin mengecewakan
guru dan siswa yang sudah biasa dengan perencanaan dan pengajaran
secara internasional;
4. Mengajar dengan model ini mungkin akan dipandang sebagai terlalu
mementingkan memperoleh pengertian dan kurang memperhatikan
diperolehnya sikap dan keterampilan. Sedangkan sikap dan
keterampilan diperlukan untuk memperoleh pengertian atau sebagai
perkembangan emosional sosial secara berlebihan;
5. Dicovery Learning mungkin tidak akan memberi kesempatan untuk
berpikir kreatif, karena pengertian-pengertian yang akan ditemukan
telah diseleksi terlebih dahulu oleh guru, demikian pula proses
dibawah pembinaanya. Tidak semua pemecahan masalah menjamin
penemuan penuh arti.
Pendapat lain menurut Hossan (dalam Suherti, 2017, hlm. 60)
mengemukakan beberapa kekurangan dari model Dicovery Learning,
yaitu :
1) Biasa terjadi kegagalan mendeteksi masalah dan adanya
kesalahapahaman antara guru dengan peserta didik;
2) Tidak semua siswa mempu melakukan penemuan;
3) Tidak berlaku untuk semua topik pelajaran;
4) Kemampuan berpikir rasional siswa ada yang masih terbatas;
5) Berkenaan dengan waktu, model Dicovery Learning membutuhkan
waktu lebih lama dari pada ekspositori.
3. Hasil Belajar
a. Pengertian hasil belajar
Oemar Hamalik dalam Tampubolon (2014, hlm. 140) mengemukakan
bahwa hasil belajar sebagai terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa
yang dapat diamati dan dapat diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan ,
sikap, serta keterampilan. Sedangkan Dimyati dan Mudjiono dalam
Tampubolon (2014, hlm. 140) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah
hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar, dan biasanya
ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru.
Menurut Suharsimi Arikunto (2003, hlm. 114) hasil belajar
merupakan “segala upaya yang menyangkut aktivitas otak (proses berfikir)
terutama dalam ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik”.
Senada dengan Suharsimi Arikunto, Bloom dalam Rusmono (2012,
hlm. 8) mengatakan bahwa hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga
ranah yaitu; ranah kognitif, psikomotor dan afektif. Secara eksplisit ketiga
ranah ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
a. Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak).
Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam
ranah kognitif.  Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan
berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana,
yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang
menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa
ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan
masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi
yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari
tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
b. Ranah Afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah
afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi,
dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat
diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan
kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada
peserta didik dalam berbagai tingkah laku.
c. Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan
(skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman
belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan
kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil
belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-
kecenderungan berperilaku). Ranah psikomotor adalah berhubungan
dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari,
memukul, dan sebagainya.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah
perubahan tingkah laku individu yang meliputi ranah kognitif (pengetahuan),
afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan). Perubahan perilaku tersebut
diperoleh setelah siswa menyelesaikan program pembelajarannya melalui
interaksi dengan berbagai sumber belajar dan lingkungan belajar.

b. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar


Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar Menurut Munadi
dalam (Rusman, 2012, hlm. 124) antara  lain meliputi faktor internal dan
faktor eksternal:
1) Faktor Internal
a) Faktor Fisiologis. Secara umum kondisi fisiologis, seperti kesehatan
yang prima, tidak dalam keadaan lelah dan capek, tidak dalam keadaan
cacat jasmani dan sebagainya. Hal tersebut dapat mempengaruhi
peserta didik dalam menerima materi pelajaran. 
b) Faktor Psikologis. Setiap indivudu dalam hal ini peserta didik pada
dasarnya memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda, tentunya hal
ini turut mempengaruhi hasil belajarnya. Beberapa faktor psikologis
meliputi intelegensi (IQ), perhatian, minat, bakat, motif, motivasi,
kognitif dan daya nalar peserta didik.
2) Faktor Eksternal
a) Faktor Lingkungan. Faktor lingkungan dapat mempengurhi hasil
belajar. Faktor lingkungan ini meliputi lingkungan fisik dan
lingkungan sosial. Lingkungan alam misalnya suhu, kelembaban dan
lain-lain. Belajar pada tengah hari di ruangan yang kurang akan
sirkulasi udara akan sangat berpengaruh dan akan sangat berbeda pada
pembelajaran pada pagi hari yang kondisinya masih segar dan dengan
ruangan yang cukup untuk bernafas lega.

b) Faktor Instrumental. Faktor-faktor instrumental adalah faktor yang


keberadaan dan penggunaannya dirancang sesuai dengan hasil belajar
yang diharapkan. Faktor-faktor ini diharapkan dapat berfungsi sebagai
sarana untuk tercapainya tujuan-tujuan belajar yang direncanakan.
Faktor-faktor instrumental ini berupa kurikulum, sarana dan guru

B. HASIL PENELITIAN TERDAHULU


Maesanti, Yulia (2018) dengan judul “Penggunaan Model Discovery
Learning Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Subtema
Perkembangbiakan Dan Daur Hidup Hewan”. Hasil penelitian yang telah
dilaksanakan menunjukkan bahwa penerapan model discovery learning mampu
untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan
hasil belajar dalam bentuk persentase nilai siklus I adalah 39% dilanjutkan
kembali pada siklus II menjadi 61% dan dilanjutkan kembali pada siklus III
menjadi 87%. Hasil penilaian sikap santun siklus I mencapai 29%, siklus II terjadi
peningkatan mencapai nilai 61% dan siklus III terjadi peningkatan 84%. Hasil
penilaian sikap peduli I yaitu 32%, siklus II terjadi peningkatan mencapai nilai
52%, siklus III terjadi peningkatan mencapai nilai 84%. Hasil penilaian sikap
tanggung jawab siklus I mencapai nilai 29%. Siklus II terjadi peningkatan
mencapai nilai 58%, dan siklus III terjadi peningkatan 87%.
Adi Setia, Mukti (2017) dengan judul “Penerapan Model Discovery
Learning Untuk Meningkatkan Kerjasama Dan Hasil Belajar Siswa Pada Mata
Pelajaran IPS”. Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan dengan
menerapkan model discovery learning, diperoleh peningkatan hasil belajar mata
pelajaran IPS pada siswa SDN Jeruk Mipis di Kelas IV. Hasil penelitian
menunjukkan adanya peningkatan nilai rata-rata dari penilaian kerjasama dan
hasil tes belajar. Pada penilaian kerjasama nilai rata-rata siklus 1 yaitu 63,88
sedangkan siklus 2 mencapai nilai rata-rata 77,43. Hasil belajar siklus 1 nilai rata-
rata yaitu 67,5, dan hasil belajar siklus 2 rata-rata nilai mencapai 70,63. Hal ini
menunjukkan bahwa penerapan model discovery learning dapat meningkatkan
kerjasama dan hasil belajar siswa pada pelajaran IPS pokok bahasan
keanekaragaman kenampakan alam di kelas IV SDN Jeruk Mipis. Dengan
demikian, penggunaan model discovery learning dapat dijadikan salah satu model
pembelajaran untuk diterapkan pada pelajaran IPS dengan pokok bahasan yang
lainnya.
C. KERANGKA PEMIKIRAN

Kondisi
Tindakan Kondisi
Awal
Akhir
1. Hasil belajar
rendah

2. Rendahnya Pembelajaran dengan


model discovery learning
kemampuan
pada siklus 1, 2 dan 3
siswa terhadap subtema
berpartisipasi kebersamaan dalam
keberagaman
aktif dalam
proses
pembelajaran.
Peningkatan
1. Meningkatnya hasil belajar hasil belajar
peserta didik. peserta didik
2. Penggunaan model pembelajaran
yang tepat dapat membuat
pembelajaran menjadi aktif dan
menyenangkan

Gambar 1 Kerangka Berpikir Peneliti

D. ASUMSI DAN HIPOTESIS PENELITIAN


1. Asumsi
Menurut Arikunto (2009, hlm. 61) Asumsi atau anggapan dasar adalah
suatu hal yang diyakini kebenarannya oleh penulis yang dirumuskan secara
jelas.
Peneliti berasumsi bahwa dengan penggunaan model discovery
learning dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan alasan sebagai
berikut bahwa model discovery learning adalah dapat melatih kemampuan
bernalar siswa, serta melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran
untuk menemukan sendiri dan memecahkan masalah yang dihadapi tanpa
bantuan orang lain
2. Hipotesis
Menurut Arikunto (2009, hlm. 55) mengemukakan bahwa hipotesis
adalah alternatif dengan jawaban yang dibuat oleh peneliti.
Berdasarkan kajian teori, kerangka pemikiran dan asumsi diatas dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut yaitu Dengan penerapan model
discovery learning pada subtema Kebersamaan dalam Keberagaman dapat
meningkatkan hasil belajar peserta didik di kelas IV SD Negeri Cangri.

Anda mungkin juga menyukai