Anda di halaman 1dari 4

Pembelajaran Inquiry dan Discovery

Posted by ridwan yahya Monday, February 27, 2012 0 Comment/s

A.    PEMBELAJARAN INQUIRY


David L. Haury dalam artikelnya, Teaching Science Through Inquiry (1993)
mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred Novak: inquiry merupakan tingkah
laku yang terlibat dalam usaha manusia untuk menjelaskan secara rasional
fenomena-fenomena yang memancing rasa ingin tahu. Dengan kata lain, inquiry
berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan aktif yang fokus pada pencarian
pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu (Haury, 1993).

Salah satu metode pembelajaran dalam bidang Sains, yang sampai sekarang masih
tetap dianggap sebagai metode yang cukup efektif adalah metode inquiry. Alasan
rasional penggunaan metode inquiry adalah bahwa siswa akan mendapatkan
pemahaman yang lebih baik mengenai Sains dan akan lebih tertarik terhadap Sains
jika mereka dilibatkan secara aktif dalam “melakukan” Sains. Investigasi yang
dilakukan oleh siswa merupakan tulang punggung metode inquiry. Investigasi ini
difokuskan untuk memahami konsep-konsep Sains dan meningkatkan keterampilan
proses berpikir ilmiah siswa. Diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil
dari proses berfikir ilmiah tersebut (Blosser, 1990).

Metode inquiry yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa terbukti dapat


meningkatkan prestasi belajar dan sikap anak terhadap Sains (Haury, 1993). Dalam
makalahnya Haury menyatakan bahwa metode inquiry membantu perkembangan
antara lain scientific literacy dan pemahaman proses-proses ilmiah, pengetahuan
vocabulary dan pemahaman konsep, berpikir kritis, dan bersikap positif. Dapat
disebutkan bahwa metode inquiry tidak saja meningkatkan pemahaman siswa
terhadap konsep-konsep dalam Sains saja, melainkan juga membentuk sikap
keilmiahan dalam diri siswa.

Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry sangat beragam,


tergantung pada situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa
1
pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umum yaitu
Question, Student Engangement, Cooperative Interaction, Performance Evaluation,
dan Variety of Resources (Garton, 2005).
a.    Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka
yang memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu
fenomena. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai
pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh siswa.
b.     Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa
merupakan suatu keharusan sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator.
c.    Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja
berpasangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan.
d.    Performance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa
diminta untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan
pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan.
e.     Variety of Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber
belajar, misalnya buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan
ahli, dan lain sebagainya.

Tingkatan Inquiry
Ada tiga tingkatan inkuiri berdasarkan variasi bentuk keterlibatannya dan
intensitas keterlibatan siswa, yaitu:
a. Inkuiri tingkat pertama
Inkuiri tingkat pertama merupakan kegiatan inkuiri di mana masalah dikemukakan
oleh guru atau bersumber dari buku teks kemudian siswa bekerja untuk
menemukan jawaban terhadap masalah tersebut di bawah bimbingan yang intensif
dari guru. Inkuiri tipe ini, tergolong kategori inkuiri terbimbing (guided inquiry)
menurut kriteria Bonnstetter, (2000); Marten-Hansen, (2002), dan Oliver-Hoyo
(2004). Sedangkan Orlich (1998) menyebutnya sebagai pembelajaran penemuan
(discovery learning) karena siswa dibimbing secara hati-hati untuk menemukan
jawaban terhadap masalah yang dihadapkan kepadanya.

b. Inkuiri Bebas
Inkuiri tingkat kedua dan ketiga menurut Callahan (1992) dan Bonnstetter (2000)
dapat dikategorikan sebagai inkuiri bebas (unguided Inquiry) menurut definisi
Orlich (1998). Dalam inkuiri bebas, siswa difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi
masalah dan merancang proses penyelidikan. Siswa dimotivasi untuk
mengemukakan gagasannya dan merancang cara untuk menguji gagasan tersebut.
Untuk itu siswa diberi motivasi untuk melatih keterampilan berpikir kritis seperti
mencari informasi, menganalisis argumen dan data, membangun dan mensintesis
ide-ide baru, memanfaatkan ide-ide awalnya untuk memecahkan masalah serta
menggeneralisasikan data.
Guru berperan dalam mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan tentatif yang
menjadikan kegiatan belajar lebih menyerupai kegiatan penelitian seperti yang
biasa dilakukan oleh para ahli. alam kelas.

B.    PEMBELAJARAN DISCOVERY


DR. J. Richard Suchman (dalam Widdiharto: 2004) mencoba mengalihkan kegiatan
belajar-mengajar dari situasi yang didominasi guru ke situasi yang melibatkan
siswa dalam proses mental melalui tukar pendapat yang berwujud diskusi, seminar,

2
dan sebagainya. Salah satu bentuknya disebut Guided Discovery Lesson (pelajaran
dengan penemuan terpimpin).

Sebagai model pembelajaran dari sekian banyak model pembelajaran yang ada,
penemuan terbimbing menempatkan guru sebagai fasilitator, guru membimbing
siswa di mana ia diperlukan. Dalam model ini siswa didorong untuk berfikir sendiri,
sehingga dapat menemukan´ prinsip umum berdasarkan bahan atau data yang
telah disediakan oleh guru. Sampai seberapa jauh siswa dibimbing, tergantung
pada kemampuannya dan materi yang sedang dipelajari.

Dengan metode ini, siswa dihadapkan kepada situasi di mana ia bebas menyelidiki
dan menarik kesimpulan. Terkaan, intuisi dan mencoba-coba (trial and error)
hendaknya dianjurkan. Guru bertindak sebagai penunjuk jalan, ia membantu siswa
agar mempergunakan ide, konsep, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari
sebelumnya untuk mendapatkan pengetahuan yang baru. Pengajuan pertanyaan
yang tepat oleh guru akan merangsang kreativitas siswa dan membantu mereka
dalam menemukan pengetahuan baru tersebut.

Model ini membutuhkan waktu yang relatif banyak dalam pelaksanaannya, akan
tetapi hasil belajar yang dicapai sebanding dengan waktu yang digunakan.
Pengetahuan yang baru akan melekat lebih lama apabila siswa dilibatkan secara
langsung dalam proses pemahaman dan mengkonstruksi sendiri konsep atau
pengetahuan tersebut.

Model ini bisa dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok. Agar
pelaksanaan penemuan terbimbing berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang
mesti ditempuh oleh guru adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data
secukupnya, yang dinyatakan dengan pernyataan atau pertanyaan. Perumusan
harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir sehingga arah yang
ditempuh siswa tidak salah. Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa
melalui kegiatan tersebut perlu ditulis dengan jelas.
2. Diskusi sebagai pengarahan sebelum siswa melakukan kegiatan. Alat/bahan
perlu disediakan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan kegiatan.
3. Dari data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan
menganalisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh
yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk melangkah
kearah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan, atau LKS.
4. Kegiatan metode penemuan oleh siswa berupa penyelidikan/percobaan untuk
menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
5. Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
6. Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut di atas
diperiksa oleh guru. Hal ini penting di lakukan untuk meyakinkan kebenaran
prakiraan siswa, sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
7. Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya mental
operasional siswa, yang diharapkan dalam kegiatan. Apabila telah diperoleh
kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut, maka verbalisasi konjektur
sebaiknya diserahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Disamping itu perlu
diiingat pulabahwa induksi tidak menjamin 100 % kebenaran konjektur.
8. Setelah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal
3
latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
9. Perlu dikembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat terbuka, yang
mengarah pada kegiatan yang dilakukan siswa.
10. Ada catatan guru yang meliputi penjelasan tentang hal-hal yang sulit dan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil, terutama kalau penyelidikan
mengalami kegagalan atau tak berjalan sebagaimana mestinya.

KESIMPULAN
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pendekatan inquiry dan
discovery adalah untuk melatih kemampuan siswa dalam meneliti, menjelaskan
fenomena, dan memecahkan masalah secara ilmiah. Karena pada dasarnya secara
intuitif setiap individu cenderung melakukan kegiatan ilmiah (mencari
tahu/memecahkan masalah). Kemampuan tersebut dapat dilatih sehingga setiap
individu kelak dapat melakukan kegiatan ilmiahnya secara sadar (tidak intuitif lagi)
dan dengan prosedur yang benar.

DAFTAR PUSTAKA

Hamalik. 1991. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Sinar Baru.


Prasojo, Budi, dkk. 2005. Seri Sains Teori dan Aplikasi Fisika untuk kelas 1 SMP.
Bogor: PT. Ghalia Indonesia Printing.
Suparno, Paul. 2007. Metodologi Pembelajaran Fisika Konstruktivistik dan
Menyenangkan. Yogyakarta: Universitas Sanata Drama.
Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
http://bangkititahermawati.wordpress.com/ipa-kelas-vii/pembelajaran-inquiry-
dan-discovery/
- See more at: http://suratanmakna.blogspot.com/2012/02/pembelajaran-inquiry-dan-
discovery.html#sthash.mqCTF0PQ.dpuf

Anda mungkin juga menyukai