Anda di halaman 1dari 7

MODEL PEMBELAJARAN

1. PENYINGKAPAN (DISCOVERY LEARNING)

Metode pembelajaran discovery (penemuan) adalah metode mengajar yang mengatur


pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum
diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.
Dalam pembelajaran discovery(penemuan) kegiatan atau pembelajaran yang dirancang
sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui
proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan,
menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk
menemukan beberapa konsep atau prinsip.

Metode discovery diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran


perseorang, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi. Sedangkan Bruner 
menyatakan bahwa anak harus berperan aktif didalam belajar. Lebih lanjut dinyatakan, aktivitas
itu perlu dilaksanakan melalui suatu cara yang disebut discovery. Discovery yang dilaksanakan
siswa dalam proses belajarnya, diarahkan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip.

Discovery ialah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau
prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti,
menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan
sebagainya. Dengan teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses
mental sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan intruksi. Dengan demikian
pembelajaran discovery ialah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan
mental melalui tukar pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar
anak dapat belajar sendiri.

Metode pembelajaran discovery merupakan suatu metode pengajaran yang menitikberatkan


pada aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan metode ini, guru hanya
bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan
konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.

Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah
untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada
siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

Blake et al. membahas tentang filsafat penemuan yang dipublikasikan oleh Whewell.
Whewell mengajukan model penemuan dengan tiga tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi; (2)
menarik kesimpulan secara induksi; (3) pembuktian kebenaran (verifikasi).

21
Langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut:

1. identifikasi kebutuhan siswa;


2. seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi
pengetahuan;
3. seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
4. membantu dan memperjelas tugas/ problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-
masing siswa;
5. mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;
6. mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;
7. memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;
8. membantu siswa dengan informasi/ data jika diperlukan oleh siswa;
9. memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan
mengidentifikasi masalah;
10. merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;
11. membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

Salah satu metode belajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang
sudah maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode ini: (1) merupakan
suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; (2) dengan menemukan dan
menyelidiki sendiri konsep yang dipelajari, maka hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam
ingatan dan tidak mudah dilupakan siswa; (3) pengertian yang ditemukan sendiri merupakan
pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain; (4)
dengan menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang
akan dapat dikembangkan sendiri; (5) siswa belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan
problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan nyata.

Beberapa keuntungan belajar discovery yaitu: (1) pengetahuan bertahan lama dan mudah
diingat; (2) hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil
lainnya; (3) secara menyeluruh belajar discovery meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan
untuk berpikir bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan
kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.

Beberapa keunggulan metode penemuan juga diungkapkan oleh Suherman, dkk (2001: 179)
sebagai berikut:

1. siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan
untuk menemukan hasil akhir;
2. siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses
menemukannya. Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat;
3. menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin
melakukan penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat;
4. siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu
mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks;
5. metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.

Selain memiliki beberapa keuntungan, metode discovery (penemuan) juga memiliki


beberapa kelemahan, diantaranya membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dibandingkan
dengan belajar menerima. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka diperlukan bantuan guru.
Bantuan guru dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan dan dengan memberikan
informasi secara singkat. Pertanyaan dan informasi tersebut dapat dimuat dalam lembar kerja
siswa (LKS) yang telah dipersiapkan oleh guru sebelum pembelajaran dimulai.

Metode discovery (penemuan) yang mungkin dilaksanakan pada siswa SMP adalah metode
penemuan terbimbing. Hal ini dikarenakan siswa SMP masih memerlukan bantuan guru sebelum

22
menjadi penemu murni. Oleh sebab itu metode discovery (penemuan) yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah metode discovery (penemuan) terbimbing (guided discovery).

2. PENEMUAN (INQUIRY EARNING)

Metode inquiry adalah metode yang mampu menggiring peserta didik untuk menyadari apa
yang telah didapatkan selama belajar. Inquiry menempatkan peserta didik sebagai subyek belajar
yang aktif (Mulyasa , 2003:234). 

Kendatipun metode ini berpusat pada kegiatan peserta didik, namun guru tetap memegang
peranan penting sebagai pembuat desain pengalaman belajar. Guru berkewajiban menggiring
peserta didik untuk melakukan kegiatan. Kadang kala guru perlu memberikan penjelasan,
melontarkan pertanyaan, memberikan komentar, dan saran kepada peserta didik. Guru
berkewajiban memberikan kemudahan belajar melalui penciptaan iklim yang kondusif, dengan
menggunakan fasilitas media dan materi pembelajaran yang bervariasi.

Inquiry pada dasarnya adalah cara menyadari apa yang telah dialami. Karena itu inquiry
menuntut peserta didik berfikir. Metode ini melibatkan mereka dalam kegiatan intelektual.
Metode ini menuntut peserta didik memproses pengalaman belajar menjadi suatu yang
bermakna dalam kehidupan nyata. Dengan demikian , melalui metode ini peserta didik
dibiasakan untuk produktif, analitis , dan kritis.

Langkah-langkah dalam proses inquiry adalah menyadarkan keingintahuan terhadap sesuatu,


mempradugakan suatu jawaban, serta menarik kesimpulan dan membuat keputusan yang valid
untuk menjawab permasalahan yang didukung oleh bukti-bukti. Berikutnya adalah
menggunakan kesimpulan untuk menganalisis data yang baru (Mulyasa, 2005:235).

Strategi pelaksanaan inquiry adalah:


a. Guru memberikan penjelasan, instruksi atau pertanyaan terhadap materi yang akan
diajarkan.
b. Memberikan tugas kepada peserta didik untuk menjawab pertanyaan, yang jawabannya
bisa didapatkan pada proses pembelajaran yang dialami siswa.
c. Guru memberikan penjelasan terhadap persoalan-persoalan yang mungkin
membingungkan peserta didik.
d. Resitasi untuk menanamkan fakta-fakta yang telah dipelajari sebelumnya.
e. Siswa merangkum dalam bentuk rumusan sebagai kesimpulan yang dapat
dipertanggungjawabkan (Mulyasa, 2005:236).

Metode inquiry menurut Roestiyah (2001:75) merupakan suatu teknik atau cara yang
dipergunakan guru untuk mengajar di depan kelas, dimana guru membagi tugas meneliti
suatu masalah ke kelas. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dan masing-masing
kelompok mendapat tugas tertentu yang harus dikerjakan, kemudian mereka mempelajari,
meneliti, atau membahas tugasnya di dalam kelompok. Setelah hasil kerja mereka di dalam
kelompok didiskusikan, kemudian dibuat laporan yang tersusun dengan baik. Akhirnya hasil
laporan dilaporkan ke sidang pleno, dan terjadilah diskusi secara luas. Dari sidang pleno
kesimpulan akan dirumuskan sebagai kelanjutan hasil kerja kelompok. Dan kesimpulan yang
terakhir bila masih ada tindak lanjut yang harus dilaksanakan, hal itu perlu diperhatikan.

Guru menggunakan teknik bila mempunyai tujuan agar siswa terangsang oleh tugas, dan
aktif mencari serta meneliti sendiri pemecahan masalah itu. Mencari sumber sendiri, dan
mereka belajar bersama dalam kelompoknya. Diharapkan siswa juga mampu mengemukakan
pendapatnya dan merumuskan kesimpulan nantinya. Juga mereka diharapkan dapat berdebat,
menyanggah dan mempertahankan pendapatnya. Inquiry mengandung proses mental yang
lebih tinggi tingkatannya, seperti merumuskan masalah, merencanakan eksperimen,
melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan. Pada

23
metode inquiry dapat ditumbuhkan sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu, terbuka, dan
sebagainya. Akhirnya dapat mencapai kesimpulan yang disetujui bersama. Bila siswa
melakukan semua kegiatan di atas berarti siswa sedang melakukan inquiry.

Teknik inquiry ini memiliki keunggulan yaitu : (a) Dapat membentuk dan
mengembangkan konsep dasar kepada siswa, sehingga siswa dapat mengerti tentang konsep
dasar ide-ide dengan lebih baik. (b) Membantu dalam menggunakan ingatan dan transfer
pada situasi proses belajar yang baru. (c) mendorong siswa untuk berfikir dan bekerja atas
inisiatifnya sendiri, bersifat jujur, obyektif, dan terbuka. (d) Mendorong siswa untuk berpikir
intuitif dan merumuskan hipotesanya sendiri. (e) Memberi kepuasan yang bersifat intrinsik.
(f) Situasi pembelajaran lebih menggairahkan. (g) Dapat mengembangkan bakat atau
kecakapan individu. (h) Memberi kebebasan siswa untuk belajar sendiri. (i) Menghindarkan
diri dari cara belajar tradisional. (j) Dapat memberikan waktu kepada siswa secukupnya
sehingga mereka dapat mengasimilasi dan mengakomodasi informasi.

Metode inquiry menurut Suryosubroto (2002:192) adalah perluasan proses discovery


yang digunakan lebih mendalam. Artinya proses inqury mengandung proses-proses mental
yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya merumuskan problema, merancang eksperimen,
melakukan eksperimen, mengumpulkan dan menganalisa data, menarik kesimpulan, dan
sebagainya.

3. BERBASIS MASALAH (PROBLEM BASED LEARNING)

Menurut Kamdi (2007: 77), “Problem Based Learning (PBL) merupakan model kurikulum
yang berhubugan dengan masalah dunia nyata siswa. Masalah yang diseleksi mempunyai dua
karakteristik penting, pertama masalah harus autentik yang berhubungan dengan kontek sosial
siswa, kedua masalah harus berakar pada materi subjek dari kurikulum”. Terdapat tiga ciri
utama dari model Problem Based Learning (PBL).

Pertama, problem based learning merupakan rangkaian aktivitas pembelajaran, artinya dalam
implementasi PBL ada sejumlah kegiatan yang harus dilakukan siswa, siswa tidak hanya
mendengar, mencatat, kemudian menghafal materi pelajaran, tetapi melalui model problem
based learning (PBL) siswa menjadi aktif berpikir, berkomunikasi, mencari dan mengolah data,
dan akhirnya membuat kesimpulan. Kedua, aktivitas pembelajaran diarahkan untuk
menyelesaikan masalah. Problem based learning ini menempatkan masalah sebagai kata kunci
dari proses pembelajaran. Artinya tanpa masalah pembelajaran tidak akan mungkin bisa
berlangsung. Ketiga, pemecahan masalah menggunakan pendekatan berpikir secara ilmiah.

Menurut Nurhadi (2004: 65) “Problem based learning adalah kegiatan interaksi antara
stimulus dan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan”.
Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem
saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga yang dihadapi dapat
diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. PBL merupakan sebuah
pendekatan pembelajaran yang menyajikan masalah konstektual sehingga merangsang siswa
untuk belajar. PBL merupakan suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk belajar,
bekerja secara berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah ini
digunakan untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud.

Berdasarkan uraian mengenai PBL di atas, dapat disimpulkan bahwa PBL merupakan
pembelajaran yang menghadapkan siswa pada masalah dunia nyata (real world) untuk memulai
pembelajran. Masalah diberikan kepada siswa, sebelum siswa mempelajari konsep atau materi
yang berkenaan dengan masalah yang harus dipecahkan. Dengan demikian untuk memeahkan
masalah tersebut siswa akan mengetahui bahwa mereka membutuhkan pengetahuan baru yang
harus dipelajari untuk memecahkan masalah yang diberikan.

24
Langkah-langkah model Problem Based Learning (PBL)

Fase 1: Orientasi siswa pada masalah, Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan
perlengkapan penting yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan
masalah yang dipilihnya.

Fase 2. Mengorganisasi siswa untuk belajar, Guru membantu siswa mendefinisikan dan
mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

Tujuan Model Problem Based Learning

Menurut Rohman (2011: 189) mengemukakan bahwa terdapat beberapa tujuan dari
pembelajaran problem based learning, yaitu:

a. Untuk mendorong kerjasama penyelesaian tugas antar siswa


b. Memiliki elemen-elemen belajar mengajar sehingga mendorong tingkah laku
pengamatan siswa dan dialog dengan lainnya.
c. Melibatkan siswa dan menyelidiki pilihan sendiri yang memungkinkan mereka
memahami dan menjelaskan fenomena dunia nyata.
d. Melibatkan ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik) pada siswa secara seimbang
sehingga hasilnya bisa lebih lama diingat oleh siswa.
e. Dapat membangun optimisme siswa bahwa masalah adalah sesuatu yang menarik untuk
dipecahkan bukan suatu yang harus dihindari.

Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran dilingkungan


sekolah pada dasarnya memiliki tujuan yang sama dengan yang lainnya yakni mendorong
peningkatan hasil belajar pada siswa menjadi lebih baik. Oleh sebab itu sangat diperlukan guru
pembimbing dalam memecahkan masalah yang dihadapi baik masalah yang sedang terjadi
maupun yang belum terjadi untuk dipecahkan alternatif dan solusinya.

Kelebihan dan Kekurangan dari Model Problem Based Learning (PBL)

Sudrajat (2011) mengemukakan beberapa keunggulan dari model problem based learning ini,
yaitu:

a. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang menemukan
konsep tersebut.
b. Melibatkan secara aktif memecahkan masalah dan menuntut keterampilan berpikir siswa
yang lebih tinggi.
c. Pengetahuan tertanam berdasarkan skemata yang dimiliki oleh siswa sehingga
pembelajaran lebih bermakna.
d. Siswa dapat merasakan manfaat dari pembelajaran sebab masalah-masalah yang
diselesaikan langsung dikaitkan dengan kehidupan nyata, hal ini dapat meningkatkan
motivasi dan ketertarikan siswa terhadap bahan yang dipelajari.
e. Menjadikan siswa lebih mandiri dan dewasa, mampu memberi aspirasi dan menerima
pendapat dari orang lain, menanamkan sikap sosial yang positif diantara siswa.

Pengkondisian siswa dalam belajar kelompok yang saling berinteraksi terhadap pembelajar
dan temannya sehingga pencapaian ketuntasan siswa dapat diharapkan. Selain itu, problem
based learning (PBL) diyakini pula dapat menumbuh kembangkan kemampuan kreativitas
siswa, baik secara individual maupun secara berkelompok.

25
Kekurangan model Problem Based Learning (PBL)

Selain memiliki kelebihan, problem based learning (PBL) juga memiliki kekurangan
diantaranya persiapan pembelajaran (alat, problem, dan konsep) yang kompleks, sulitnya
mencari permasalahan yang relevan, sering terjadi mis konsepsi, dan memerlukan waktu yang
cukup panjang (Endriani, 2011).

4. METODE JIGSAW

Tipe pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Elliot Aronson’s. Model


pembelajaran ini didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap
pembelajarannya sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari
materi yang diberikan, tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi
tersebut kepada kelompoknya.Pada  model pembelajaran jigsaw  ini keaktifan siswa (student
centered)  sangan dibutuhkan, dengan dibentuknya kelompok-kelompok kecil yang
beranggotakan 3-5 orang yang terdiri dari kelompok asal dan kelompok ahli.

Dalam Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw, siswa dibagi dalam beberapa kelompok
belajar yang heterogen yang beranggotakan 3-5 orang dengan menggunakan pola kelompok asal
dan kelompok ahli.

Kelompok asal adalah kelompok awal siswa terdiri dari berapa anggota kelompok ahli yang
dibentuk dengan memperhatikan keragaman dan latar belakang. Guru harus trampil dan
mengetahui latar belakang siswa agar terciptanya suasana yang baik bagi setiap angota
kelompok. Sedangkan kelompok ahli, yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok
lain (kelompok asal) yang ditugaskan untuk mendalami topik tertentu untuk kemudian
dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam
kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing
anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut.
Disini, peran guru adalah mefasilitasi dan memotivasi para anggota kelompok ahli agar mudah
untuk memahami materi yang diberikan. Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok
kemudian kembali pada kelompok asal dan mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang
telah mereka dapatkan pada saat pertemuan di kelompok ahli.Para kelompok ahli harus mampu
untuk membagi pengetahuan yang di dapatkan saat melakuakn diskusi di kelompok ahli,
sehingga pengetahuan tersebut diterima oleh setiap anggota pada kelompok asal.  Kunci tipe
Jigsaw ini adalah interdependence setiap siswa terhadap anggota tim yang memberikan
informasi yang diperlukan. Artinya para siswa harus memiliki tanggunga jawab dan kerja sama
yang positif dan saling ketergantungan untuk mendapatkan informasi dan memecahkan masalah
yang biberikan.

Langkah-langkah Pembelajaran Jigsaw

Sesuai dengan namanya, teknis penerapan tipe pembelajaran ini maju mundur seperti
gergaji. Menurut Arends (1997), langkah-langkah penerapan model pembelajaran Jigsaw, yaitu:

Awal Kegiatan Pembelajaran

1. Persiapan Pembelajaran
 Melakukan Pembelajaran Pendahuluan
Guru dapat menjabarkan isi topik secara umum, memotivasi siswa dan menjelaskan
tujuan dipelajarinya topik tersebut.
 Materi
Materi pembelajaran kooperatif model jigsaw dibagi menjadi beberapa bagian
pembelajaran tergantung pada banyak anggota dalam setiap kelompok serta banyaknya
konsep materi pembelajaran yang ingin dicapai dan yang akan dipelajari oleh siswa.

26
 Membagi Siswa Ke Dalam Kelompok Asal Dan Ahli
Kelompok dalam pembelajarn kooperatif model jigsaw beranggotakan 3-5 orang yang
heterogen baik dari kemampuan akademis, jenis kelamin, maupun latar belakang
sosialnya
 Menentukan Skor Awal
Skor awal merupakan skor rata-rata siswa secara individu pada kuis sebelumnya atau
nilai akhir siswa secara individual pada semester sebelumnya.

2. Rencana Kegiatan Pembelajaran
o Setiap kelompok membaca dan mendiskusikan sub topik masing-masing dan
menetapkan anggota ahli yang akan bergabung dalam kelompok ahli.
o Anggota ahli dari masing-masing kelompok berkumpul dan mengintegrasikan semua sub
topik yang telah dibagikan sesuai dengan banyaknya kelompok.
o Siswa ahli kembali ke kelompok masing-masing untuk menjelaskan topik yang
didiskusikannya.
o Siswa mengerjakan tes individual atau kelompok yang mencakup semua topik.
o Pemberian penghargaan kelompok berupa skor individu dan skor kelompok atau
menghargai prestasi kelompok.

3. Sistem Evaluasi Pembelajaran
Dalam evaluasi ada tiga cara yang dapat dilakukan:
1. Mengerjakan kuis individual yang mencaukup semua topik.
2. Membuat laporan mandiri atau kelompok.
3. Presentasi

Materi Evaluasi
1. Pengetahuan (materi ajar) yang difahami dan dikuasai oleh mahasiswa.
2. Proses belajar yang dilakukan oleh mahasiswa.

27

Anda mungkin juga menyukai