Anda di halaman 1dari 26

MODEL PEMBELAJARAN

Small Group Discussion

A. Definisi
Small group discussion adalah diskusi kelompok kecil yang terdiri dari 10-11 mahasiswa dengan
didampingi oleh tutor. Dalam diskusi ini mahasiswa-mahasiswa tersebut diberi tugas untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang sudah diberikan dalam waktu tertentu. Pertanyaan-pertanyaan yang tidak
terjawab akan dibawa ke kuliah narasumber, tetapi apabila tidak ada pertanyaan dari mahasiswa maka
kuliah narasumber ditiadakan.

B. Manfaat
a. Tugas dapat diselesaikan dengan mudah karena dikerjakan secara bersama-sama.
b. Dengan adanya diskusi maka berbagai pendapat yang disampaikan oleh anggota kelompok dapat
menambah pengetahuan seluruh anggota kelompok.
c. Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah diberikan maka mahasiswa terbantu untuk lebih
memahami materi yang sedang dipelajari serta terbantu untuk membuat ringkasan sehingga
mempermudah belajar.
d. Membantu mahasiswa dapat mencapai learning objectives.

C. Tujuan
a. Melatih kemampuan berkomunikasi dengan orang lain.
b. Melatih mahasiswa untuk mencapai metode pembelajaran students centred learning.
c. Menambah pengetahuan/informasi.
d. Saling membantu sesama anggota kelompok.

D. Isi
Small group discussion merupakan diskusi antar anggota dalam kelompok untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan/tugas. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan tersebut merupakan pendalaman dari materi
yang diberikan dalam mini lecture. Tugas tersebut juga dilengkapi dengan daftar pustaka yang dapat
dijadikan literature (terdapat pada modul mata kuliah) untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
Diharapkan mahasiswa sudah menjawab pertanyaan pertanyaan tersebut sebelumnya sehingga saat
minilecture yang terjadi adalah diskusi antara mahasiswa dan dosen pengampu, kemudian hasilnya akan
disampaikan pada anggota kelompok lainnya dalam small group discussion. Pertanyaan-pertanyaan dalam
small group discussion akan dijadikan materi ujian Multiple Choice Questions.
E. Laporan
Laporan dalam small group discussion berisi jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan. Laporan tersebut ditulis dalam workbook,dan cukup 1 laporan untuk setiap kelompok. Daftar
pustaka/referensi disertakan dan bukti dari referensi tersebut dimasukkan dalam lampiran. Laporan dijilid
dengan cover berwarna hijau,dibuat 2 copy,salah satunya diberikan pada tim blok sebagai arsip,
sedangkan copy lainnya diberikan pada tutor untuk dinilai.
Format :
a. Halaman judul, logo UNSOED disertai nama-nama anggota kelompok beserta nomor induk mahasiswa
dan nama kelompoknya.
b. Bab 1 : Laporan Small Group Discussion I
Waktu,tanggal :
Nama tutor :
Pertanyaan-pertanyaan :
Jawaban-jawaban :
Daftar pustaka
Catatan : untuk daftar pustaka minimal harus ada : textbook,jurnal ilmiah,artikel ilmiah dan bukti-bukti
daftar pustaka tersebut dimasukkan dalam lampiran.
F. Penilaian
Komponen penilaian SGD adalah 15 %,terdiri dari diskusi yang dinilai dengan borang yang sama untuk
penilaian diskusi oleh blok-blok lainnya (10 %), sikap (2,5 %) dan laporan SGD (2,5 %). Baik diskusi
maupun laporan dinilai oleh tutor yang sama. Laporan SGD dikumpulkan maksimal 2 hari setelah SGD.
Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Metode pembelajaran discovery (penemuan) adalah metode mengajar yang mengatur


pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang sebelumnya belum
diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.
Dalam pembelajaran discovery(penemuan) kegiatan atau pembelajaran yang dirancang
sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui
proses mentalnya sendiri. Dalam menemukan konsep, siswa melakukan pengamatan,
menggolongkan, membuat dugaan, menjelaskan, menarik kesimpulan dan sebagainya untuk
menemukan beberapa konsep atau prinsip.

Metode discovery diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran


perseorang, memanipulasi objek sebelum sampai pada generalisasi. Sedangkan Bruner
menyatakan bahwa anak harus berperan aktif didalam belajar. Lebih lanjut dinyatakan, aktivitas
itu perlu dilaksanakan melalui suatu cara yang disebut discovery. Discovery yang dilaksanakan
siswa dalam proses belajarnya, diarahkan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip.

Discovery ialah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan suatu konsep atau
prinsip. Proses mental yang dimaksud antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-
golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya.
Dengan teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental sendiri,
guru hanya membimbing dan memberikan intruksi. Dengan demikian pembelajaran discovery
ialah suatu pembelajaran yang melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar
pendapat, dengan berdiskusi, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar
sendiri.

Metode pembelajaran discovery merupakan suatu metode pengajaran yang menitikberatkan pada
aktifitas siswa dalam belajar. Dalam proses pembelajaran dengan metode ini, guru hanya
bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan
konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya.

Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk
menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3)
kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada.

Blake et al. membahas tentang filsafat penemuan yang dipublikasikan oleh Whewell. Whewell
mengajukan model penemuan dengan tiga tahap, yaitu: (1) mengklarifikasi; (2) menarik
kesimpulan secara induksi; (3) pembuktian kebenaran (verifikasi).

Langkah-langkah pembelajaran discovery adalah sebagai berikut:

1. identifikasi kebutuhan siswa;


2. seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian konsep dan generalisasi pengetahuan;
3. seleksi bahan, problema/ tugas-tugas;
4. membantu dan memperjelas tugas/ problema yang dihadapi siswa serta peranan masing-
masing siswa;
5. mempersiapkan kelas dan alat-alat yang diperlukan;
6. mengecek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan;
7. memberi kesempatan pada siswa untuk melakukan penemuan;
8. membantu siswa dengan informasi/ data jika diperlukan oleh siswa;
9. memimpin analisis sendiri (self analysis) dengan pertanyaan yang mengarahkan dan
mengidentifikasi masalah;
10. merangsang terjadinya interaksi antara siswa dengan siswa;
11. membantu siswa merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

Salah satu metode belajar yang akhir-akhir ini banyak digunakan di sekolah-sekolah yang sudah
maju adalah metode discovery. Hal ini disebabkan karena metode ini: (1) merupakan suatu cara
untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif; (2) dengan menemukan dan menyelidiki sendiri
konsep yang dipelajari, maka hasil yang diperoleh akan tahan lama dalam ingatan dan tidak
mudah dilupakan siswa; (3) pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang
betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain; (4) dengan
menggunakan strategi discovery anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan
dapat dikembangkan sendiri; (5) siswa belajar berpikir analisis dan mencoba memecahkan
problema yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan nyata.

Beberapa keuntungan belajar discovery yaitu: (1) pengetahuan bertahan lama dan mudah diingat;
(2) hasil belajar discovery mempunyai efek transfer yang lebih baik dari pada hasil lainnya; (3)
secara menyeluruh belajar discovery meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk
berpikir bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif
siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain.

Beberapa keunggulan metode penemuan juga diungkapkan oleh Suherman, dkk (2001: 179)
sebagai berikut:

1. siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk
menemukan hasil akhir;
2. siswa memahami benar bahan pelajaran, sebab mengalami sendiri proses menemukannya.
Sesuatu yang diperoleh dengan cara ini lebih lama diingat;
3. menemukan sendiri menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorong ingin melakukan
penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat;
4. siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu
mentransfer pengetahuannya ke berbagai konteks;
5. metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.

Selain memiliki beberapa keuntungan, metode discovery (penemuan) juga memiliki beberapa
kelemahan, diantaranya membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dibandingkan dengan
belajar menerima. Untuk mengurangi kelemahan tersebut maka diperlukan bantuan guru.
Bantuan guru dapat dimulai dengan mengajukan beberapa pertanyaan dan dengan memberikan
informasi secara singkat. Pertanyaan dan informasi tersebut dapat dimuat dalam lembar kerja
siswa (LKS) yang telah dipersiapkan oleh guru sebelum pembelajaran dimulai.

Metode discovery (penemuan) yang mungkin dilaksanakan pada siswa SMP adalah metode
penemuan terbimbing. Hal ini dikarenakan siswa SMP masih memerlukan bantuan guru sebelum
menjadi penemu murni. Oleh sebab itu metode discovery (penemuan) yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah metode discovery (penemuan) terbimbing (guided discovery).
MODEL PEMBELAJARAN SIMULASI ( simulation )

Pengertian Model Pembelajaran Simulasi

Simulasi berasal dari kata simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Sebagai
metode mengajar, simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan
menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.

Model pembelajaran simulasi merupakan model pembelajaran yang membuat suatu peniruan
terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya (state of affaris) atau proses.
Model pembelajaran ini dirancang untuk membantu siswa mengalami bermacam-macam proses
dan kenyataan sosial dan untuk menguji reaksi mereka, serta untuk memperoleh konsep
keterampilan pembuatan keputusan.

Model pembelajaran ini diterapkan didalam dunia pendidikan dengan tujuan mengaktifkan
kemampuan yang dianalogikan dengan proses sibernetika. Pendekatan simulasi dirancang agar
mendekati kenyataan dimana gerakan yang dianggap kompleks sengaja dikontrol, misalnya,
dalam proses simulasi ini dilakukan dengan menggunakan simulator.

Model pembelajaran simulasi bertujuan untuk: (1) melatih keterampilan tertentu baik bersifat
profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari, (2) memperoleh pemahaman tentang suatu
konsep atau prinsip, (3) melatih memecahkan masalah, (4) meningkatkan keaktifan belajar, (5)
memberikan motivasi belajar kepada siswa, (6) melatih siswa untuk mengadakan kerjasama
dalam situasi kelompok, (7) menumbuhkan daya kreatif siswa, dan (8) melatih siswa untuk
mengembangkan sikap toleransi.

Karakter Model Pembelajaran Simulasi

Menurut Joyce dan Weil (1980) dalam Udin (2001:66), model ini memiliki tahap sebagai berikut
:

1. Sintakmatik

Tahap I. Orientasi

1. Menyediakan berbagai topik simulasi dan konsep-konsep yang akan diintegrasikan dalam
proses simulasi.

2. Menjelaskan prinsip Simulasi dan permainan.

3. Memberikan gambaran teknis secara umum tentang proses simulasi.

Tahap II. Latihan bagi peserta

1. Membuat skenario yang berisi aturan, peranan, langkah, pencatatan, bentuk keputusan yang
harus dibuat, dan tujuan yang akan dicapai.

2. Menugaskan para pemeran dalam simulasi


3. Mencoba secara singkat suatu episode

Tahap III. Proses simulasi

1. Melaksanakan aktivitas permainan dan pengaturan kegiatan tersebut.

2. Memperoleh umpan balik dan evaluasi dari hasil pengamatan terhadap performan si pemeran.

3. Menjernihkan hal-hal yang miskonsepsional

4. Melanjutkan permainan/simulasi

Tahap IV. Pemantapan dan debriefing

1. Memberikan ringkasan mengenai kejadian dan persepsi yang timbul selama simulasi.

2. Memberikan ringkasan mengenai kesulitan-kesulitan dan wawasan para peserta.

3. Menganalisis proses

4. Membandingkan aktivitas simulasi dengan dunia nyata.

5. Menghubungkan proses simulasi dengan isi pelajaran.

6. Menilai dan merancang kembali simulasi.

2. Sistem Sosial

Didalam simulasi, pengajar harus dengan sengaja memilih jenis kegiatan dan mengatur siswa
dengan merancang kegiatan yang utuh dan padat mengenai sesuatu proses. Karena itu, model ini
termasuk model yang terstruktur. Namun demikian, kerjasama antar peserta sangat
diperhatikan. Keberhasilan dari model ini tergantung pada kerjasama dan kemauan dari siswa
untuk secara bersungguh-sungguh melaksanakan aktivitas ini.

3. Prinsip reaksi/pengelolaan

Dalam model ini, pengajar berperan sebagai pemberi kemudahan atau fasilitator. Dalam
keseluruhan proses simulasi, pengajar bertugas dan bertanggung jawab atas terpeliharanya
suasana belajar dengan cara menunjukkan sikap yang mendukung atau supportif dan tidak
bersifat menilai atau evaluatif. Dalam hal ini, pengajar bertugas untuk lebih dahulu mendorong
pengertian dan penafsiran para siswa terhadap isi dan makna dari simulasi tersebut.

4. Sistem Pendukung

Sarana yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan simulasi ini bervariasi, mulai dari yang
paling sederhana dan murah, ke yang paling kompleks dan mahal. Misalnya bila sarana yang
dipergunakan berupa simulator elektronik, tentu hal ini memerlukan biaya yang besar. Tapi bila
sarana yang diperlukan itu hanyalah berupa kartu ataupun kelereng, tentu sangat murah
5. Dampak Instruksional dan Pengiring

Dampak Instruksional dan Pengiring dari model ini sebagaimana dikemukakan oleh Joyce dan
Weil (1986) dalam Udin ( 2001: 69) dapat dilihat pada gambar :

Dampak Instruksional

Dampak Pengiring

Untuk kepentingan praktis, model tersebut dapat diadaptasi dalam bentuk kerangka operasional
sebagai berikut:

KEGIATAN LANGKAH KEGIATAN MAHASISWA


PENGAJAR POKOK
Sajikan Orientasi Kenali topik
berbagai topik
Pahami prinsip
Jelaskan prinsip
simulasi

Kemukakan Pahami prosedur


prosedur umum

Susunan Latihan Peran Pahami Skenario


skenario
Pilih satu peran
Atur para
pemeran

Coba peran Latihan peran


secara singkat

Pantau proses Proses simulasi Lakukan kegiatan


skenario
Simulasi
Kelola Proses Adakan diskusi umpan
balik
Refleksi Jernihkan hal yang
tidak jelas
Ulangi Diskusi

Beri komentar Pemantapan Adakan diskusi


balikan
o Beri penguatan

Kelola diskusi Sadari manfaatnya


balikan
Kelebihan Dan Kelemahan Model Pembelajaran Simulasi

Wina Sanjaya (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dengan
menggunakan simulasi sebagai metode mengajar.

Kelebihan Model pembelajaran ini di antaranya adalah:

1) Simulasi dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang
sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja.

2) Simulasi dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa diberi
kesempatan untuk memainkan peranan sesuai dengan topik yang disimulasikan.

3) Simulasi dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa.

4) Memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam menghadapi


berbagai situasi sosial yang problematis.

5) Simulasi dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses permbelajaran.

Kelemahan model pembelajaran ini, di antaranya adalah:

1) Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai dengan kenyataan
di lapangan.

2) Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat hiburan, sehingga
tujuan pembelajaran menjadi terabaikan.

3) Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering memengaruhi siswa dalam melakukan
simulasi.

Penerapan Model Pembelajaran Simulasi Pada Mata Pelajaran Bahasa Inggris

Satuan Pendidikan : SMK

Mata Pelajaran : Bahasa Inggris

Kelas/Semester : X/ I

Alokasi Waktu : 2 jam pelajaran (2 x 45 menit)

Standar Kompetensi : Berkomunikasi dengan bahasa inggris setara level novice

Kompetensi Dasar : Memahami ungkapan-ungkapan dasar pada interaksi sosial untuk


kepentingan kehidupan

Materi Pokok : Apologizing.


Indikator : Berbagai ungkapan penyesalan dan permintaan maaf serta responnya
diperagakan secara tepat.

Tujuan Pembelajaran :

Melalui model pembelajaran simulasi peserta didik :

1. Mengidentifikasikan ungkapan ungkapan tentang penyesalan dengan tepat.


2. Merespond ungkapan-ungkapan tentang penyesalan.
3. Mempraktekkan dialog yang berhubungan dengan ungkapan penyesalan dan permintaan
maaf serta responnya secara tepat.

Kegiatan Pembelajaran :

Kegiatan Pembelajaran
Waktu
Tahap Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
PENDAHULUAN Guru mengucapkan salam, Menjawab 10
Memeriksa kehadiran siswa, pertanyaan guru menit
Orientasi kebersihan dan kerapihan berdasarkan
kelas. pengalamannya
Apersepsi : Guru memberi
pertanyaan Apakah Peserta Memilih dan
didik pernah bermain drama mengenali topik
dalam bahasa inggris tentang yang disajikan oleh
dialog keseharian ? guru

Menyediakan berbagai topik dan


konsep untuk proses simulasi

Motivasi: Guru menyajikan


berbagai topik dan konsep
yang menarik bagi siswa
tentang permintaan maaf
(apologizing)
o Menjawab salam
guru dan siap untuk
mengikuti
pembelajaran.

KEGIATAN Menjelaskan prinsip simulasi Memahami prinsip 70


INTI melalui permainan drama simulasi/ permainan menit
drama tentang
Latihan bagi Menjelaskan tentang prinsip permintaan maaf (
peserta permainan drama tentang apologizing)
permintaan maaf
Proses Simulasi (apologizing) Memahami secara
umum
Mengemukakan gambaran teknis prosedur/langkah-
secara umum tentang proses / langkah simulasi/
prosedur simulasi/ permainan drama permainan drama

Menyampaikan Langkah- Memahami


langkah permainan drama Skenario Jalan
tentang permintaan maaf cerita dari naskah
drama permintaan
Menyusun skenario tentang aturan maaf
langkah dalam bentuk keputusan,
untuk mencapai tujuan Memilih tugas
peran yang sesuai
Susun skenario/ Jalan cerita
dari naskah drama Berlatih peran
permintaan maaf

Menugaskan para peserta dalam


simulasi

Aturlah para
pemeran/pemain drama
tentang permintaan maaf

Mencoba latihan secara singkat


satu episode naskah drama

Coba tampilkan drama


tentang permintaan maaf
secara singkat

Kegiatan Pembelajaran Waktu


Tahap Kegiatan Guru Kegiatan Siswa
Melaksanakan aktivitas permainan Melakukan kegiatan 10
drama skenario drama menit
Pemantapan atau tentang permohonan
debriefing Memantau Proses simulasi/ maaf
permainan drama tentang
PENUTUP permintaan maaf Mengikut diskusi
umpan balik dan
Kesimpulan Memperoleh umpanbalik dan evaluasi tentang
evaluasi dari hasil pengamatan penampilan
Tindak lanjut terhadap penampilan sipemeran. pemeran

Kelola proses simulasi Jernihkan dan


dengan umpanbalik dan jelaskan hal yang
evaluasi pada penampilan tidak jelas/ tidak
pemeran sesuai
konsep/prinsip
Menjernihkan hal-hal yang permainan drama
miskonsepsional tentang permohonan
maaf
Refleksi terhadap hal-hal
yang tidak sesuai konsep/ Melanjutkan
prinsip permainan drama permainan drama
tentang permohonan maaf tentang permohonan
maaf
Melanjutkan permainan/simulasi
Menyimak dan
Mengamati kelanjutan menyampaikan
simulasi / permainan drama informasi tentang
tentang permohonan maaf kejadian
Mengungkapkan
Memberikan Komentar tentang kesulitan yang
simulasi/ permainan drama dan dialami sendiri oleh
menganalisis proses pemeran tentang
naskah permohonan
Mengenai kejadian atau maaf
persepsi yang timbul selama
simulasi/ permainan drama Pemeran/ Peserta
tentang permohonan maaf didik menyadari
Mengenai kesulitan dan manfaatnya
wawasan para pemeran
tentang naskah permohonan Mengevaluasi diri
maaf sendiri

Membandingkan aktivitas simulasi Membalas salam.


dengan dunia nyata dan
mengkaitkan dengan isi pelajaran

Memberi penguatan atas


manfaat bersimulasi

Menilai dan merancang kembali


simulasi/ permainan drama

Menutup pertemuan dan


mengucapkan salam.
Analisis Kritis Penerapan Model Pembelajaran Simulasi

Metode simulasi sebagai metode mengajar merupakan kegiatan untuk menirukan suatu perbuatan
atau kegiatan. Peniruan tersebut hanyalah bersifat pura-pura, namun dapat memperjelas materi
pelajaran yang besangkutan. Bentuk simulasi dapat berupa role playing (bermain
peran),sosiodrama,atau permainan.

Agar simulasi terlaksana dengan lancar,maka kepada para siswa perlu diberi petunjuk tentang
bagaimana prosedur yang akan dilakukan,dan bagaimana gambaran situasi yang di inginkan.
Topik hendaknya disesuakan dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan siswa. Penentuan
topik dirundingkan oleh guru dan siswa. Simulasi dilakukan oleh kelompok siswa.
1. B. PENUTUP

Kesimpulan :

1. Model pembelajaran simulasi sengaja dirancang oleh pendidik untuk membantu siswa
mengalami bermacam-macam proses dan kenyataan sosial dan untuk menguji reaksi
mereka. Simulasi sebagai model pembelajaran merupkan penerapan dari prinsip
cybernetics dalam dunia pendidikan.
2. Model pembelajaran simulasi memiliki 4 tahapan, yaitu: (a) Orientasi b). Latihan Bagi
peserta c). Proses simulasi d). Pemantapan atau debriefing.

Saran

Banyak model pembelajaran yang dapat dipergunakan guru untuk melakukan proses
pembelajaran, namun untuk kegiatan pembelajaran yang dengan pokok bahasan lebih banyak
kearah psikomotor, akan lebih baik menggunakan model pembelajaran simulasi ini.
Self Directed Learning (SDL)
Self Directed Learning (SDL) adalah suatu model di mana antara proses dan kontrol siswa
memiliki kaitan dan interaksi yang sangat erat satu sama lainnya. SDL digambarkan sebagai
suatu proses di mana individu mengambil inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain dalam
mendiagnosis apa yang diperlukan dalam pembelajarannya, merumuskan target belajar,
mengidentifikasi manusia dan sumber daya material untuk belajar, memilih dan
mengimplemetasikan sesuai dengan strategi pembelajaran, dan mengevaluasi hasil belajar.
Menurut Knowles (dalam Zulharman, 2008), SDL didefinisikan sebagai sesuatu proses di mana
seseorang memiliki inisiatif, dengan atau tanpa bantuan orang lain, untuk menganalisis
kebutuhan belajarnya sendiri, merumuskan tujuan belajarnya sendiri, mengidentifikasi sumber
sumber belajar, memilih dan melaksanakan strategi belajar yang sesuai serta mengevaluasi hasil
belajarnya sendiri. Ricard (2007) mendefinisikan SDL adalah proses di mana siswa dilibatkan
dalam mengidentifikasi apa yang perlu untuk dipelajari dan menjadi pemegang kendali dalam
menemukan dan mengorganisir jawaban. Hal ini berbeda dengan belajar sendiri di mana guru
masih boleh menyediakan dan mengorganisir material pendidikan, tetapi siswa belajar sendiri
atau berkelompok tanpa kehadiran guru. Selain itu Merriam dan Caffarela (dalam Zulharman,
2008) menyatakan SDL sebagai suatu metode belajar di mana pelajar mempunyai tanggung
jawab yang utama dalam perencanaan, pelaksanakan dan penilaian hasil belajar.

Beberapa kerangka kerja menggambarkan SDL sebagai proses memusatkan pada otonomi siswa
dalam proses pembelajaran. Sedangkan pada kerangka kerja yang lain menekankan pada atribut
pribadi, memusatkan pada kemampuan siswa dalam mengatur proses pembelajaran. Tingkatan
yang dibutuhkan dalam self-direction dapat berubah dalam konteks yang berbeda (Song & Hill,
2007).

Secara sederhana, proses dalam SDL dinyatakan sebagai kumpulan tindakan yang sistematis
dengan tujuan tertentu. Proses dari SDL mencakup apa yang diinginkan dari pembelajaran
(individual learning needs), karakteristik belajar (individual learning characteristics), dan
aktivitas belajar mandiri (self-directed learning activities) untuk mencapai learning satisfaction
(Read, 2000). Dalam kajian SDL, pelajar harus mengerti proses dalam istilah antara lain: a)
proses ditemukan oleh dirinya, baik dalam lingkup formal maupun informal serta di bawah
kendalinya, b) proses pendidikan secara keseluruhan tidak semata-mata di bawah kendalinya, c)
hubungan antara dirinya sebagai pelajar dengan seting dan sumber belajar selama proses belajar
bersifat kompleks (Ricard, 2007). Brockett dan Hiemstra (dalam Ricard, 2007) menunjukkan
self-direction pada remaja adalah proses belajar dengan fase yang spesifik dan dibagi menjadi
dua dimensi yang saling berhubungan. Pertama, suatu proses di mana pelajar diasumsikan
memiliki kewenangan utama dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi
proses belajar. Kedua, proses pembelajaran yang mengarah ke pelajar yang mandiri (learner self-
direction).
Salah satu elemen dalam proses pembelajaran yang dapat menggambarkan dengan baik
perkembangan pembelajaran adalah aktifitas belajar (Ricard, 2007). Keterlibatan perkembangan
merupakan suatu bentuk keterlibatan individu terutama pelajar dan fasilitatornya. Perkembangan
ini dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, dan kemampuan partisipan dalam memperoleh
pengalaman belajar. Pengetahuan mencakup apa yang harus dilakukan dalam pembelajaran,
informasi yang dibutuhkan serta pembelajaran yang lain yang terkait dengan pembelajaran yang
dilakukan. Sikap yang ditunjukkan oleh seseorang dalam proses SDL sangat penting di mana
dimasukkan ke dalam bagian komponen proses pembelajaran. Sikap yang baik ataupun buruk
akan memberikan hasil yang sesuai bagi kelangsungan proses pendidikan. Kesuksesan partisipan
tidak hanya dilihat dari perspektif apa yang dipercaya, dirasakan dan diketahui tetapi juga apa
yang dapat mereka lakukan atau dengan kata lain kesuksesan dalam pembelajaran juga
ditentukan oleh kemampuan atau skill yang dimiliki oleh partisipan baik pelajar dan
fasilitatornya.

Secara garis besar, proses pembelajaran dalam SDL dibagi menjadi tiga yaitu planning,
monitoring, dan evaluating (Song & Hill, 2007). Pada tahap perencanaan (planning), siswa
merencanakan aktivitas pada tempat dan waktu di mana siswa merasa nyaman untuk belajar.
Siswa juga merencanakan komponen belajar yang diinginkan serta menentukan target belajar
yang ingin dicapai. Pada tahap monitoring, siswa mengamati dan mengobservasi pembelajaran
mereka. Banyak tantangan belajar yang dapat ditemukan oleh siswa ketika siswa memonitor
pelajaran mereka sehingga akan menjadikan proses belajar yang lebih bermakna. Dalam tahap
evaluasi, siswa mengevaluasi pelajaran dan pengetahuan yang dimiliki kemudian guru
memberikan umpan balik serta mengkolaborasikan pengetahuan siswa yang satu dengan yang
lainnya untuk mencapai suatu pemahaman yang benar. Guru tidak dapat mengevaluasi siswa
secara langsung karena keragaman dari proses belajar masing-masing siswa. Guru membutuhkan
waktu untuk menyiapkan evaluasi dan umpan balik bagi masing-masing siswa. Di samping juga
karena ketidakpastian siswa dalam mengevaluasi pelajaran mereka sendiri dan pengetahuan yang
dianut. Oleh karena itu dalam SDL, proses pembelajaran bersifat fleksibel namun tetap
berorientasi pada planning, monitoring, dan evaluating bergantung pada kemampuan siswa
dalam mengelola pembelajaran sesuai otonomi yang dimilikinya.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Mok dan Lung (Mok, 2005) ditemukan tiga fenomena utama
dalam pembelajaran mandiri (self-directed) yaitu manajemen sumber, melihat perlunya bantuan,
dan kontrol pelajar. SDL menuntut pelajar untuk dapat memanajemen sumber-sumber belajar
yang ada sesuai dengan kebutuhan dan konteks pembelajaran. Dengan SDL maka pelajar akan
berusaha keras memecahkan masalahnya, jika dapat proses ini terjadi kebuntuan maka pelajar
dapat bertanya kepada teman sebaya atau pengajar kemudian mengekplorasi dan menginvestigasi
solusi dan perspektif lain yang diterima.

Menurut Hiemstra (dalam Sunarto, 2008), langkah-langkah pembelajaran SDL terbagi menjadi 6
langkah yaitu:

(1) preplanning (aktivitas awal proses pembelajaran)


(2) menciptakan lingkungan belajar yang positif

(3) mengembangkan rencana pembelajaran

(4) mengidentifikasi aktivitas pembelajaran yang sesuai

(5) melaksanakan kegiatan pembelajaran dan monitoring (6) mengevaluasi hasil belajar individu.
Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa


pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, guru harus memahami hakikat materi pelajaran
yang diajarkannya dan memahami berbagai model pembelajaran yang dapat merangsang
kemampuan siswa untuk belajar dengan perencanaan pengajaran yang matang oleh guru.

Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang mendukung
pembelajaran kontekstual. Sistem pembelajaran kooperatif dapat didefinisikan sebagai sistem
kerja/ belajar kelompok yang terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsur
pokok (Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung jawab
individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses kelompok.

Falsafah yang mendasari pembelajaran kooperatif (pembelajaran gotong royong) dalam


pendidikan adalah homo homini socius yang menekankan bahwa manusia adalah makhluk
sosial.

Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi belajar mengajar yang menekankan pada sikap
atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama
yang teratur dalam kelompok, yang terdiri dari dua orang atau lebih.

Pembelajaran kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham
konstruktivis. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan sejumlah siswa
sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan
tugas kelompoknya, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling
membantu untuk memahami materi pelajaran. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan
belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

Menurut Anita Lie dalam bukunya Cooperative Learning, bahwa model pembelajaran
kooperatif tidak sama dengan sekedar belajar kelompok, tetapi ada unsur-unsur dasar yang
membedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Roger dan David
Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif,
untuk itu harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong yaitu :

1.Saling ketergantungan positif.

Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap anggotanya. Untuk menciptakan
kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap
anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang lain dapat mencapai tujuan
mereka.

2.Tanggung jawab perseorangan.

Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran kooperatif, setiap
siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. Pengajar yang efektif
dalam model pembelajaran kooperatif membuat persiapan dan menyusun tugas sedemikian rupa
sehingga masing-masing anggota kelompok harus melaksanakan tanggung jawabnya sendiri agar
tugas selanjutnya dalam kelompok bisa dilaksanakan.
3.Tatap muka.

Dalam pembelajaran kooperatif setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertatap
muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk
sinergi yang menguntungkan semua anggota. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan,
memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan.

4. Komunikasi antar anggota.

Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan
berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga bergantung pada kesediaan para
anggotanya untuk saling mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat
mereka. Keterampilan berkomunikasi dalam kelompok juga merupakan proses panjang. Namun,
proses ini merupakan proses yang sangat bermanfaat dan perlu ditempuh untuk memperkaya
pengalaman belajar dan pembinaan perkembangan mental dan emosional para siswa.

5. Evaluasi proses kelompok.

Pengajar perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja
kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.

Urutan langkah-langkah perilaku guru menurut model pembelajaran kooperatif yang diuraikan
oleh Arends (1997) adalah sebagaimana terlihat pada table berikut ini

Tabel Sintaks Pembelajaran Kooperatif

=======

B. Tujuan Pembelajaran Kooperatif


Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok konvensional yang menerapkan
sistem kompetisi, di mana keberhasilan individu diorientasikan pada kegagalan orang lain.
Sedangkan tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan
individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan


pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim, et al. (2000), yaitu:

1. Hasil belajar akademik

Dalam belajar kooperatif meskipun mencakup beragam tujuan sosial, juga memperbaiki prestasi
siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini
unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep sulit. Para pengembang model ini
telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan nilai
siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Di
samping mengubah norma yang berhubungan dengan hasil belajar, pembelajaran kooperatif
dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang
bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.

2. Penerimaan terhadap perbedaan individu

Tujuan lain model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan secara luas dari orang-orang yang
berbeda berdasarkan ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, dan ketidakmampuannya.
Pembelajaran kooperatif memberi peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi
untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur
penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain.

3. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting ketiga pembelajaran kooperatif adalah, mengajarkan kepada siswa keterampilan
bekerja sama dan kolaborasi. Keterampilan-keterampilan sosial, penting dimiliki oleh siswa
sebab saat ini banyak anak muda masih kurang dalam keterampilan sosial.

=======

C. Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Teknik Jigsaw

Jigsaw pertama kali dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aronson dan teman-teman di
Universitas Texas, dan kemudian diadaptasi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John
Hopkins (Arends, 2001).

Teknik mengajar Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et. al. sebagai metode pembelajaran
kooperatif (Cooperative Learning). Teknik ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca,
menulis, mendengarkan, ataupun berbicara.

Dalam teknik ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan
membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain
itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai
banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif teknik Jigsaw adalah suatu teknik pembelajaran kooperatif yang
terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang bertanggung jawab atas penguasaan
bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi tersebut kepada anggota lain dalam
kelompoknya (Arends, 1997).

Model pembelajaran kooperatif teknik Jigsaw merupakan model pembelajaran kooperatif


dimana siswa belajar dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4 6 orang secara heterogen dan
bekerja sama saling ketergantungan yang positif dan bertanggung jawab atas ketuntasan bagian
materi pelajaran yang harus dipelajari dan menyampaikan materi tersebut kepada anggota
kelompok yang lain (Arends, 1997).

Jigsaw didesain untuk meningkatkan rasa tanggung jawab siswa terhadap pembelajarannya
sendiri dan juga pembelajaran orang lain. Siswa tidak hanya mempelajari materi yang diberikan,
tetapi mereka juga harus siap memberikan dan mengajarkan materi tersebut pada anggota
kelompoknya yang lain. Dengan demikian, siswa saling tergantung satu dengan yang lain dan
harus bekerja sama secara kooperatif untuk mempelajari materi yang ditugaskan (Lie, A.,
1994).

Para anggota dari tim-tim yang berbeda dengan topik yang sama bertemu untuk diskusi (tim ahli)
saling membantu satu sama lain tentang topic pembelajaran yang ditugaskan kepada mereka.
Kemudian siswa-siswa itu kembali pada tim / kelompok asal untuk menjelaskan kepada anggota
kelompok yang lain tentang apa yang telah mereka pelajari sebelumnya pada pertemuan tim ahli.

Pada model pembelajaran kooperatif teknik Jigsaw, terdapat kelompok asal dan kelompok ahli.
Kelompok asal yaitu kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal,
dan latar belakang keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa
ahli. Kelompok ahli yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda
yang ditugaskan untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas
yang berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.

Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan sebagai berikut (Arends, 1997)
:

Kelompok Asal
Kelompok Ahli

Gambar. Ilustrasi Kelompok Jigsaw

Langkah-langkah dalam penerapan teknik Jigsaw adalah sebagai berikut :

Guru membagi suatu kelas menjadi beberapa kelompok, dengan setiap kelompok terdiri
dari 4 6 siswa dengan kemampuan yang berbeda. Kelompok ini disebut kelompok asal.
Jumlah anggota dalam kelompok asal menyesuaikan dengan jumlah bagian materi
pelajaran yang akan dipelajari siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan
dicapai. Dalam teknik Jigsaw ini, setiap siswa diberi tugas mempelajari salah satu bagian
materi pembelajaran tersebut. Semua siswa dengan materi pembelajaran yang sama
belajar bersama dalam kelompok yang disebut kelompok ahli (Counterpart Group/CG).
Dalam kelompok ahli, siswa mendiskusikan bagian materi pembelajaran yang sama, serta
menyusun rencana bagaimana menyampaikan kepada temannya jika kembali ke
kelompok asal. Kelompok asal ini oleh Aronson disebut kelompok Jigsaw (gigi gergaji).
Misal suatu kelas dengan jumlah 40 siswa dan materi pembelajaran yang akan dicapai
sesuai dengan tujuan pembelajarannya terdiri dari 5 bagian materi pembelajaran, maka
dari 40 siswa akan terdapat 5 kelompok ahli yang beranggotakan 8 siswa dan 8 kelompok
asal yang terdiri dari 5 siswa. Setiap anggota kelompok ahli akan kembali ke kelompok
asal memberikan informasi yang telah diperoleh atau dipelajari dalam kelompok ahli.
Guru memfasilitasi diskusi kelompok baik yang ada pada kelompok ahli maupun
kelompok asal.
Gambar Contoh Pembentukan Kelompok Jigsaw

Setelah siswa berdiskusi dalam kelompok ahli maupun kelompok asal, selanjutnya
dilakukan presentasi masing-masing kelompok atau dilakukan pengundian salah satu
kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompok yang telah dilakukan agar guru dapat
menyamakan persepsi pada materi pembelajaran yang telah didiskusikan.

Guru memberikan kuis untuk siswa secara individual.


Guru memberikan penghargaan pada kelompok melalui skor penghargaan berdasarkan
perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis
berikutnya.
Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi
pembelajaran.
Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru maka perlu
dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai.

Dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah tidaklah selalu berjalan dengan mulus meskipun
rencana telah dirancang sedemikian rupa. Hal-hal yang dapat menghambat proses pembelajaran
terutama dalam penerapan model pembelajaran kooperatif diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Kurangnya pemahaman guru mengenai penerapan pembelajaran kooperatif.


2. Jumlah siswa yang terlalu banyak yang mengakibatkan perhatian guru terhadap proses
pembelajaran relatif kecil sehingga yang hanya segelintir orang yang menguasai arena
kelas, yang lain hanya sebagai penonton.
3. Kurangnya sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran kooperatif.
4. Kurangnya buku sumber sebagai media pembelajaran.
5. Terbatasnya pengetahuan siswa akan sistem teknologi dan informasi yang dapat
mendukung proses pembelajaran.

Agar pelaksanaan pembelajaran kooperatif dapat berjalan dengan baik, maka upaya yang harus
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Guru senantiasa mempelajari teknik-teknik penerapan model pembelajaran kooperatif di
kelas dan menyesuaikan dengan materi yang akan diajarkan.
2. Pembagian jumlah siswa yang merata, dalam artian tiap kelas merupakan kelas
heterogen.
3. Diadakan sosialisasi dari pihak terkait tentang teknik pembelajaran kooperatif.
4. Meningkatkan sarana pendukung pembelajaran terutama buku sumber.
5. Mensosialisasikan kepada siswa akan pentingnya sistem teknologi dan informasi yang
dapat mendukung proses pembelajaran.
Collaborative learning-work

Collaborative learning atau pembelajaran kolaboratif adalah situasi dimana terdapat


dua atau lebih orang belajar atau berusaha untuk belajar sesuatu secara bersama-sama. Tidak
seperti belajar sendirian, orang yang terlibat dalam collaborative learning memanfaatkan sumber
daya dan keterampilan satu sama lain (meminta informasi satu sama lain, mengevaluasi ide-ide
satu sama lain, memantau pekerjaan satu sama lain, dll). Lebih khusus, collaborative learning
didasarkan pada model di mana pengetahuan dapat dibuat dalam suatu populasi di mana
anggotanya secara aktif berinteraksi dengan berbagi pengalaman dan mengambil peran asimetri
(berbeda). Dengan kata lain, collaborative learning mengacu pada lingkungan dan metodologi
kegiatan peserta didik melakukan tugas umum di mana setiap individu tergantung dan
bertanggung jawab satu sama lain. Hl ini juga termasuk percakapan dengan tatap muka dan
diskusi dengan komputer (forum online, chat rooms, dll.).Metode untuk memeriksa proses
collaborative learning meliputi analisis percakapan dan analisis wacana statistik.

Collaborative learning ini sangat berakar dalam pandangan Vygotsky bahwa ada sebuah sifat
sosial yang melekat pada pembelajaran, yang tercermin melalui teorinya tentang zona
pengembangan proksimal. Sering kali, pembelajaran kolaboratif digunakan sebagai istilah umum
untuk berbagai pendekatan dalam pendidikan itu. melibatkan upaya intelektual bersama oleh
siswa atau siswa dan guru. Dengan demikian, pembelajaran kolaboratif umumnya berlangsung
ketika kelompok siswa bekerja sama untuk mencari pengertian, makna, atau solusi untuk
membuat sebuah artefak atau produk pembelajaran mereka. Lebih jauh, pembelajaran kolaboratif
yang mengubah hubungan tradisional murid-guru di kelas ini, menghasilkan kontroversi
mengenai apakah paradigma ini lebih bermanfaat daripada merugikan. Kegiatan belajar secara
kolaboratif dapat mencakup penulisan kolaboratif, proyek kelompok, pemecahan masalah secara
bersama, debat, studi tim, dan kegiatan lainnya. Pendekatan ini terkait erat dengan pembelajaran
kooperatif.
Contoh Pembelajaran Kolaboratif

Collaborative Networked Learning adalah suatu bentuk pembelajaran kolaboratif untuk


para pembelajar dewasa mandiri. Menurut Findley (1987) " Collaborative Networked
Learning (CNL) pembelajaran yang terjadi melalui dialog elektronik antara co-learner,
leaner (peserta didik), dan para pakar yang masing-masing memegang kendali atas
dirinya sendiri. Peserta didik memiliki sebuah tujuan bersama, tergantung pada satu sama
lain dan bertanggung jawab kepada satu sama lain untuk keberhasilan mereka. CNL
terjadi dalam kelompok interaktif di mana peserta secara aktif berkomunikasi dan
bernegosiasi makna satu sama lain dalam kerangka kontekstual, dapat difasilitasi oleh
seorang mentor, pelatih online atau pemimpin kelompok. " Pada 1980-an Charles
almarhum Dr A. Findley memimpin proyek Collaborative Networked Learning di Digital
Equipment Corporation di Pantai Timur Amerika Serikat. Pada proyek Findley,
dilakukan analisis kecenderungan dan dikembangkan prototipe dari lingkungan belajar
kolaboratif, yang menjadi dasar untuk mereka lebih lanjut penelitian dan pengembangan
apa yang mereka sebut Collaborative Networked Learning (CNL),

Computer-supported collaborative learning (CSCL) merupakan paradigma pendidikan


yang relatif baru dalam pembelajaran kolaboratif yang menggunakan teknologi dalam
lingkungan pembelajaran untuk membantu menengahi dan mendukung interaksi
kelompok dalam konteks pembelajaran kolaboratif. Sistem CSCL menggunakan
teknologi untuk mengontrol dan memonitor interaksi, untuk mengatur tugas, aturan,
peran, dan untuk menengahi perolehan pengetahuan baru. Baru-baru ini, ada sebuah studi
yang menunjukkan bahwa penggunaan robot di dalam kelas untuk meningkatkan
pembelajaran kolaboratif menyebabkan peningkatan efektivitas belajar dari kegiatan dan
peningkatan motivasi siswa. Para peneliti dan praktisi di beberapa bidang, termasuk ilmu
kognitif, sosiologi, teknik komputer telah mulai menyelidiki CSCL. Dengan demikian,
bahkan CSCL dapat menjadi bidang trans-disiplin yang baru.

Learning Management Systems adalah konteks yang memberikan makna pembelajaran


kolaboratif tertentu. Dalam konteks ini, pembelajaran kolaboratif mengacu pada
kumpulan alat yang peserta didik dapat digunakan untuk membantu, atau dibantu oleh
orang lain. Alat tersebut termasuk ruang kelas virtual (yaitu ruang kelas yang
didistribusikan secara geografis dan dihubungkan oleh koneksi jaringan secara audio-
visual), chatting, thread diskusi, application sharing (misalnya seorang rekan proyek
spreadsheet pada layar rekan lain di seluruh link jaringan untuk tujuan kolaborasi), dan
lain sebagainya.

Collaborative Learning Development memungkinkan pengembang sistem pembelajaran


untuk bekerja sebagai sebuah jaringan. Secara khusus hal ini relevan dengan e-learning di
mana pengembang dapat berbagi dan membangun pengetahuan di program studi dalam
lingkungan kolaboratif. Pengetahuan tentang subjek tunggal dapat ditarik bersama-sama
dari lokasi yang berbeda secara geografis menggunakan sistem perangkat lunak. Contoh
sistem ini adalah Content Point dari Atlantic Link.

Collaborative Learning in Virtual Worlds adalah Virtual Worlds yang menurut sifatnya
diharapkan memberikan kesempatan yang sangat baik untuk pembelajaran kolaboratif.
Pertama-tama pembelajaran di dunia virtual terbatas pada pertemuan kelas dan kuliah,
mirip dengan rekan-rekan mereka dalam kehidupan nyata. Sekarang pembelajaran
kolaboratif berkembang sebagai perusahaan yang mulai memanfaatkan fitur unik yang
ditawarkan oleh ruang dunia maya - seperti kemampuan untuk merekam dan memetakan
aliran ide, menggunakan model 3D dan virtual worlds mind mapping tool.

Pembelajaran kolaboratif di lingkaran tesisdalam pendidikan tinggi adalah contoh lain


dari orang-orang yang belajar bersama. Dalam lingkaran tesis, sejumlah mahasiswa
bekerja sama dengan setidaknya satu profesor atau dosen, untuk bersama-sama melatih
dan mengawasi pekerjaan individu pada akhir proyek (sarjana atau magister misalnya).
Siswa sering beralih antara peran mereka sebagai co-supervisor dari siswa lain dan tesis
mereka sendiri (termasuk menerima pendapat dari siswa lain).

Collaborative Scripts

Collaborative scripts adalah pembuat struktur dari collaborative learning dengan membuat peran
dan menengahi interaksi demi fleksibilitas dalam dialog dan aktivitas. Collaborative scripts
digunakan pada semua kasus collaborative learning yang beberapa diantaranya lebih cocok untuk
face-to-face collaborative learning (biasanya lebih fleksibel) dan beberapa yang lain ditujukan
untuk computer-supported collaborative learning (biasanya lebih banyak batasannya). Sebagai
tambahan, terdapat dua tipe dari script: macro-script dan micro-script. Macro-script ditujukan
pada pembuatan situasi dimana interaksi yang diharapkan akan terjadi. Micro-script
dititikberatkan pada aktivitas pembelajar individual.

Conceptual Components of Scripts

Tujuan: membantu peserta (peserta didik dan guru yaitu) bekerja sama untuk terlibat
dalam proses kolaborasi yang efisien untuk mencapai tujuan tertentu.
Aktivitas: Identifikasi kegiatan, dan kendala yang mungkin, untuk menyelesaikan
kegiatan. Kegiatan dapat mencakup meringkas, mempertanyakan, memberikan argumen,
mengajukan sebuah klaim, dll
Sequencing: Menjelaskan harapan dari para peserta dengan menetapkan kegiatan yang
harus dilakukan dan dalam rangka apa.
Pendistribusian Peran: Memperjelas peran individu diasumsikan akan membuat pada
seluruh aktivitas, peserta terdorong untuk mengadopsi dan mempertimbangkan berbagai
perspektif.
Tipe Representasi: representasi tekstual, grafis, atau instruksi oral secara eksplisit
disajikan kepada para peserta.

Anda mungkin juga menyukai