Anda di halaman 1dari 10

Discovery Learning

Metode penemuan (discovery) diartikan sebagai prosedur mengajar yang mementingkan


pengajaran, perseorangan, manipulasi obyek dan percobaan, sebelum sampai kepada
generalisasi. Sehingga metode penemuan (discovery) merupakan komponen dari praktik
pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, berorientasi pada
proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri, dan reflektif (Suryosubroto 2009:178). Menurut
Hanafiah metode penemuan (discovery) merupakan suatu rangkaian kegiatan pembelajaran
yang melibatkan seluruh kemampuan siswa secara maksimal untuk mencari dan menyelidiki
secara sistematis, kritis, dan logis sehingga siswa dapat menemukan sendiri pengetahuan,
sikap, dan keterampilan sebagai wujud adanya perubahan tingkah laku (2009: 77).

Richard dan asistennya mencoba self-learning pada siswa (belajar sendiri), sehingga situasi


belajar mengajar berpindah dari situasi teacher dominate learning menjadi situasi student
dominated learning. Dengan menggunakan discovery learning, ialah suatu cara mengajar yang
melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi,
seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri. Agar anak dapat belajar sendiri (dalam
Suryosubroto 2009:179).

Model discovery learning bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam
belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan
yang dimilikinya. Proses perkembangan harus dipandang sebagai stimulus yang dapat
menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar.

Model discovery-inquiry atau discovery learning menurut Suryosubroto (2002) diartikan sebagai


suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan
lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi. Discovery adalah proses mental yang membuat
siswa mengasimilasi sesuatu konsep atau sesuatu prinsip. Proses mental tersebut misalnya
mengamati, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat
kesimpulan, dan sebagainya.

Model discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif
untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005: 43). Discoveryterjadi
apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan
beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran,
prediksi, penentuan. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund
dalam Malik 2001:219).

Sebagai strategi belajar, discovery learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri


(inquiry) dan problem solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada
discovery learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya
tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discoverymasalah yang
dihadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Sedangkan pada
inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran
dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses
penelitian, sedangkan problem solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan
masalah.

Menurut Sutrisno (2008) inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan


dasar-dasar berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih
banyak belajar sendiri, mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Menurut
Bruner (dalam Arends 2008:48) discovery learning merupakan sebuah model pengajaran yang
menekankan pentingnya membantu siswa untuk memahami struktur atau ide-ide kunci suatu
disiplin ilmu, kebutuhan akan keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar, dan keyakinan bahwa
pembelajaran sejati terjadi melalui personal discovery (penemuan pribadi).

Menurut Suprijono (2010:69) discovery learning merupakan pembelajaran beraksentuasi ada


masalah-masalah kontekstual. Proses belajar model ini meliputi proses informasi, transformasi,
dan evaluasi. Proses informasi, pada tahap ini siswa memperoleh informasi mengenai materi
yang sedang dipelajari. Pada tahap ini siswa melakukan penyandian atau encoding atas
informasi yang diterimanya. Berbagai respon diberikan siswa atas informasi yang diperolehnya.
Ada yang menganggap informasi yang diterimanya sebagai sesuatu yang baru. Ada pula yang
menyikapi informasi yang diperolehnya lebih mendalam dan luas dari pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya.

Tahap transformasi, pada tahap ini siswa melakukan identifikasi, analisis, mengubah,
mentransformasikan informasi yang telah diperolehnya menjadi bentuk yang abstrak atau
konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Dalam
tahap ini siswa mengembangkan inferensi logikannya. Tahap ini dirasakan sesuatu sulit dalam
belajar penemuan. Dalam keadaan seperti ini guru diharapkan kompeten dalam mentransfer
strategi kognitif yang tepat. Tahap evaluasi, pada tahap ini siswa menilai sendiri informasi yang
telah ditransformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan
masalah yang dihadapi. Menurut Kemendikbud (dalam materi pelatihan guru implementasi
kurikulum 2013: 31), discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi apabila siswa tidak disajikan materi pelajaran dalam bentuk final,
melainkan diharapkan mengorganisasi sendiri.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat peneliti simpulkan bahwa discovery learning
merupakan pembelajaran yang menitikberatkan pada proses pemecahan masalah, sehingga
siswa harus melakukan eksplorasi berbagai informasi agar dapat menentukan konsep mentalnya
sendiri dengan mengikuti petunjuk guru berupa pertanyaan yang mengarah pada pencapaian
tujuan pembelajaran.

Discovery Learning merupakan pembelajaran berdasarkan penemuan (inquiry-based),


konstruktivis dan teori bagaimana belajar. Model pembelajaran yang diberikan kepada siswa
memiliki skenario pembelajaran untuk memecahkan masalah yang nyata dan mendorong
mereka untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Dalam memecahkan masalah mereka;
para siswa menggunakan pengalaman mereka terdahulu dalam memecahkan masalah.
Kegiatan mereka lakukan dengan berinteraksi untuk menggali, mempertanyakan selama
bereksperimen dengan teknik trial and error.

    Children love being in charge of their own learning it gives them the sense of self
worth. It makes the learning more desirable and attainable. Teachers give a problem
to their students and set their students free to solve it on their own, discovering as
they go. Often these classroom can look unorganized or chaotic but, a discovery
learning classroom in fact is organized. It is set up in away for learning to happen
with projects, real-life problems and the learner figuring out.

Pernyataan yang terdapat dalam kutipan di atas menyebutkan bahwa para siswa memiliki gairah
dalam belajar. Guru memberikan masalah kepada para siswa dan memfasilitasi siswa untuk
memecahkannya sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas agak gaduh karena seperti tidak
terkendali, namun sebenarnya mereka dalam kegiatan yang terorganisasi. Pembelajaran
diarahkan sedemikian rupa supaya siswa menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata
untuk dipecahkan oleh para siswa sendiri.

Model pembelajaran discovery learning menurut Alma dkk (2010:59) yang juga disebut sebagai
pendekatan inkuiri bertitik tolak pada suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid
secara independen. Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara ilmiah.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam
belajar di kelas seperti yang terdapat pada kutipan : Discovery Learning can be defined as the
learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form,
but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986: 103 dalam
Depdikbud 2014).
Menurut Alma, dkk (2010:61) Model Discovery Learning ini memiliki pola strategi dasar yang
dapat diklasifikasikan ke dalam empat strategi belajar, yaitu: (1) penentuan problem,
(2) perumusan hipotesa, (3) pengumpulan dan pengolahan data, dan (4) merumuskan
kesimpulan. Menurut Kemendikbud (dalam materi pelatihan guru implementasi kurikulum
2013:32), langkah-langkah model discovery learning ada tiga tahap yang terdiri atas persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi.

a.    Langkah Persiapan Model Discovery Learning


1)  Menentukan tujuan pembelajaran.
2) Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gaya belajar,
dan sebagainya).
3) Memilih materi pelajaran.
4) Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-
contoh generalisasi).
5) Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas
dan sebagainya untuk dipelajari siswa.
6) Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret
ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.
7) Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa.
b.    Prosedur Aplikasi Model Discovery Learning
1) Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)
   Pertama-tama pada tahap ini peserta didik dihadapkan pada sesuatu yang
menimbulkan tanda tanya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi,
agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Di samping itu guru dapat memulai
kegiatan poses belajar mengajar dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan kegiatan belajar lainnya yang mengarah pada persiapan
pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi
interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam
mengeksplorasi bahan.
2) Problem Statement (Pernyataan/Identifikasi Masalah)
  Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah
yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan
dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan masalah)
(Syah 2004: 244). Permasalahan yang dipilih itu selanjutnya harus dirumuskan
dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan sebagai jawaban
sementara atas pertanyaan yang diajukan. Memberikan kesempatan siswa untuk
mengidentifikasi dan menganalisa permasalahan yang mereka hadapi, merupakan
teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa untuk
menemukan suatu masalah.
3) Data Collection (Pengumpulan Data)
   Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada para siswa
untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk
membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004: 244). Tahap ini berfungsi
untuk menjawab pertanyaan atau membuktikan benar tidaknya hipotesis.
   Dengan demikian peserta didik diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai
informasi yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan
nara sumber, melakukan uji coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap
ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan sesuatu yang berhubungan
dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian secara tidak disengaja
siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.
  Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk menemukan
sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian
secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang
telah dimiliki.
4) Data Processing (Pengolahan Data)
   Semua informasi hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya
diolah, diacak, diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara
tertentu serta ditafsirkan pada tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002: 22).
   Data processing disebut juga dengan pengkodean atau kategorisasi yang berfungsi
sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa
akan mendapatkan pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang
perlu mendapat pembuktian secara logis.
5) Verification (Pembuktian)
  Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan
benar atau tidaknya hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif,
dihubungkan dengan hasil data processing (Syah, 2004:244). Verification menurut
Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika
guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori,
aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.
   Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran atau informasi yang ada, pernyataan atau
hipotesis yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau
tidak, apakah terbukti atau tidak.
6) Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)
   Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan
yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah
yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan
hasil verifikasi maka dirumuskan prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi.
Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan proses generalisasi yang
menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau prinsip-
prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses
pengaturan dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

Sebagai model pembelajaran, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri


(inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah
ini. Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui. Perbedaan inkuiri dan problem solving dengan Discovery
Learning ialah bahwa pada discovery learning masalah yang diperhadapkan kepada siswa
semacam masalah yang direkayasa oleh guru

3.   Tujuan Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery)

Menurut Trianto (2010: 53) fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang
pengajar dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih model ini sangat
dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh tujuan yang
akan dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu
pula, setiap model pembelajaran juga mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang dapat dilakukan
siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga
mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini, di antaranya pembukaan dan penutupan
pembelajaran yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, guru perlu
menguasai dan dapat menerapkan berbagai keterampilan mengajar, agar dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang beraneka ragam dan lingkungan belajar yang menjadi ciri sekolah
pada dewasa ini.

Metode pembelajaran penemuan (discovery) dalam proses belajar mengajar mempunyai


beberapa tujuan antara lain :

a. Meningkatkan keterlibatan peserta didik secara aktif dalam memperoleh dan


memproses perolehan belajar.
b.  Mengarahkan para siswa sebagai pelajar seumur hidup.
c. Mengurangi ketergantungan kepada guru sebagai satu-satunya sumber informasi
yang diperlukan oleh para siswa.
d. Melatih peserta didik untuk mengeksplorasi atau memanfaatkan lingkungan sebagai
informasi yang tidak akan pernah tuntas digali (Moedjiono, 1993:83).

Adapun tujuan lain dari metode penemuan (discovery) dalam proses belajar mengajar adalah
sebagai berikut :

a. Mengembangkan sikap, keterampilan, kepercayaan peserta didik dalam


memutuskan sesuatu secara tepat dan objektif.
b. Mengembangkan kemampuan berfikir peserta didik agar lebih tanggap, cermat dan
melatih daya nalar (kritis, analis dan logis).
c.  Membina dan mengembangkan sikap rasa ingin tahu.
d. Menggunakan aspek kognitif, afektif dan psikomotor dalam belajar (Azhar, 1993:99).

4.   Kelebihan dan Kekurangan Penerapan Discovery Learning

Setiap model pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh
karena itu, guru harus kreatif dalam memilih model pembelajaran yang akan digunakan.
Model discovery learning memudahkan siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep
pembelajaran yang tidak diperoleh siswa dengan cara mendengarkan penjelasan dari guru.

Menurut Kemendikbud (dalam buku pelatihan guru Implementasi Kuriulum 2013:31),


mengatakan mengenai kelebihan dari discovery learning adalah sebagai berikut.

a. Membantu peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-


keterampilan dan proses-proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam
proses ini, seseorang tergantung bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui strategi ini sangat pribadi dan ampuh karena
menguatkan pengertian, ingatan dan transfer.
c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki dan
berhasil.
d. Strategi ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan
kecepatannya sendiri.
e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkan
akalnya dan motivasi sendiri.
f. Strategi ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, karena memperoleh
kepercayaan bekerja sama dengan yang lainnya.
g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-
gagasan. Bahkan gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di
dalam situasi diskusi.
h. Membantu peserta didik menghilangkan skeptisme (keragu-raguan) karena
mengarah pada kebenaran yang final dan tertentu atau pasti.
i.   Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.
j.  Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajar
yang baru.
k.  Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatif sendiri.
l.   Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.
m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsik.
n.  Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.
o. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia
seutuhnya.
p.  Meningkatkan tingkat penghargaan pada siswa.
q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.
r.  Dapat mengembangkan bakat dan kecakapan individu.

Model pembelajaran discovery learning lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman,


sedangkan mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang
mendapat perhatian. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur
gagasan yang dikemukakan para siswa. Model pembelajaran discovery learning tidak
menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan oleh siswa karena
telah dipilih terlebih dahulu oleh guru. Ahli lain mengatakan bahwa metode penemuan
(discovery) ini mempunyai keuntungan yaitu sebagai berikut.

a. Teknik ini mampu membantu siswa untuk mengembangkan, memperbanyak


kesiapan, serta penguasaan keterampilan dalam proses kognitif/pengenalan siswa.
b. Siswa memperoleh pengetahuan yang bersifat sangat pribadi individual sehingga
dapat kokoh/mendalam tertinggal dalam jiwa siswa tersebut.
c.  Dapat membangkitkan kegairahan belajar mengajar para siswa.
d. Teknik ini mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkembang dan
maju sesuai dengankemampuannya masing-masing.
e. Mampu mengarahkan cara siswa belajar, sehingga lebih memiliki motivasi yang kuat
untuk belajar lebih giat.
f.  Membantu siswa untuk memperkuat dan menambah kepercayaan pada diri sendiri
dengan proses penemuan sendiri (Djamarah, 2002: 82).

Model pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang
banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
Beberapa kelebihan yang lain pada metode penemuan (discovery) ini antara lain:

a. Membantu siswa dalam mengembangkan atau memperbanyak penguasaan


ketrampilan dan proses kognitif siswa
b. Membangkitkan gairah belajar bagi siswa
c. Memberi kesempatan pada siswa untuk bergerak lebih maju sesuai dengan
kemampuannya sendiri
d. Siswa mengarahkan sendiri cara belajarnya, sehingga ia lebih merasa terlibat dan
termotivasi sendiri untuk belajar
e. Membantu memperkuat pribadi siswa dengan bertambahnya kepecayaan pada diri
sendiri melalui proses-proses penemuan (Suryosubroto, 2009: 185).

Metode itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja,
membantu bila diperlukan. Metode penemuan (discovery) ini mempunyai kelemahan yaitu
sebagai berikut:

a. Siswa harus memiliki kesiapan dan kematangan mental


b. Siswa harus berani dan berkeinginan untuk mengetahui keadaan sekitarnya dengan
baik
c.  Metode ini kurang berhasil digunakan di kelas besar
d. Bagi guru dan siswa yang sudah terbiasa dengan perencanaan dan pengajaran
tradisional mungkin akan sangat kecewa bila di ganti dengan metode penemuan
(discovery)
e. Dengan menggunakan metode penemuan (discovery) ini proses mental terlalu
mementingkan proses pengertian saja atau pembentukan sikap dan keterampilan
siswa (Djamarah, 2002: 83).

Dalam Discovery Learning, hendaknya guru harus memberikan kesempatan muridnya untuk


menjadi seorang problem solver, seorang scientis, historis, atau ahli matematika. Bahan ajar
tidak disajikan dalam bentuk akhir, tetapi siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan
menghimpun informasi, membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan,
mereorganisasikan bahan serta membuat kesimpulan-kesimpulan.

Model pembelajaran discovery learning ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran


untuk belajar. Bagi siswa yang kurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir
atau mengungkapkan hubungan antara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada
gilirannya akan menimbulkan frustasi. Pada intinya tidak ada model pembelajaran yang
sempurna. setiap model pembelajaran memiliki ke;ebihan dan kekurangannya. Tinggal
kemampuan para guru untuk dapat memilah dan memilih model pembelajaran yang mana yang
paling cocok dengan materi pembelajaran.

5.   Pengajaran dan Pembelajaran Bahasa Inggris

Di dalam makalah ini penulis menekankan pada hakikat pembelajaran Bahasa Inggris pada
siswa SMP. Seperti diketahui bahwa pembelajaran Bahasa dan pembelajaran mata pelajaran
lain ada perbedaan-perbedaan. Penerapan Discovery Learning pada kelas Bahasa haruslah
tetap mengingat esensi pembelajaran Bahasa itu sendiri. Sering terjadi kesalah pahaman, pada
saat guru mengadopsi salah satu strategi atau model pembelajaran yang biasa dilakukan pada
mata pelajaran lain, pembelajaran Bahasa Inggris menjadi melenceng. Manakala para siswa
melakukan diskusi atau kegiatan kolaboratif, mereka asyik dengan kegiatan off task tanpa ada
kegiatan yang membawa mereka pada language acquisition. Hal ini tidak diharapkan pada
penerapan Discovery Learning yang disodorkan penulis pada makalah ini.

Brown (2000:14) menyatakan bahwa saat ini, communicative language teachingdiharapkan


bergeser dari pembelajaran aturan-aturan, pola-pola, definisi-definisi tentang terminologi
kebahasaan, melainkan proses pembelajaran yang mengarahkan siswa didik untuk
berkomunikasi secara murni, spontan, dan bermakna dalam bahasa target.

    Today the term ‘communicative language teaching’ is a byword for language


teachers. Indeed, the single greatest challenge in the profession is to move
significantly beyond the teaching of rules, patterns, definitions, and other knowledge
‘about’ language to the point that we are teaching our students to communicate
genuinly, spontaneously, and meaningfully in the target language.

Dari kutipan tersebut penulis menaruh perhatian pada proses pembelajaran Discovery Learning
dalam pembelajaran Bahasa bukan untuk membahas tentang bahasa melainkan menekankan
pemberian kegiatan kepada para siswa sehingga sebanyak-banyaknya siswa didik
menggunakan bahasa target dalam kegiatan pembelajaran.

Namun, penulis juga melihat bahwa Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bahasa asing,
sehingga seperti disampaikan oleh Brown (2000:194) bahwa kita dalam membelajarkan bahasa
tersebut seperti layaknya membelajarkan bahasa Alien. Untuk alasan tersebut, Brown
menyarankan untuk tidak serta merta menghilangkan bahasa ibu ataupun kebiasaan yang sudah
mengakar pada bahasa ibu. Yang erat kaitannya dengan hal tersebut adalah pada saat guru
memberikan tugas ataupun mengarahkan kegiatan kepada para siswa didik, bisa saja guru
menggunakan bahasa yang jelas dan dapat dimengerti, supaya kegiatan yang akan
dilaksanakan tidak melenceng dari rencana.

Selanjutnya, pada saat berlangsungnya kegiatan dalam proses Discovery Learning, siswa harus
diarahkan untuk menggunakan Bahasa Inggris secara maksimal, sedangkan hasil discovery-nya
bukan merupakan hal yang utama. Yang diutamakan dalam pembelajaran dengan Discovery
Learning lebih pada proses siswa menggunakan Bahasa Inggris selama proses pembelajaran.

C.   Penutup

Bagi guru pelajaran bahasa Indonesia hendaknya menggunakan model discovery learning
dengan media puzzle sebagai alternatif dalam pembelajaran menyusun teks laporan hasil
observasi. Dengan menggunakan model discovery learning dengan media puzzle dapat
memudahkan siswa dalam menyusun teks laporan hasil observasi secara tertulis.
Bagi kepala sekolah yang memegang kebijakan tertinggi dalam jabatan struktural sekolah
hendaknya memiliki kemampuan untuk terus mengontrol dan meningkatkan jalannya proses
pembelajaran di kelas dengan memberikan fasilitas dan pelatihan mengenai model dan media
pembelajaran yang baru yang digunakan dalam pembelajaran serta dapat mengembangkan
potensi sekolah baik keilmuan, sarana, maupun prasarana yang dapat mendukung
pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai