Model discovery learning bertolak dari pandangan bahwa siswa sebagai subjek dan objek dalam
belajar, mempunyai kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai kemampuan
yang dimilikinya. Proses perkembangan harus dipandang sebagai stimulus yang dapat
menantang siswa untuk melakukan kegiatan belajar.
Model discovery learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif
untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005: 43). Discoveryterjadi
apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan
beberapa konsep dan prinsip. Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran,
prediksi, penentuan. Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri
adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund
dalam Malik 2001:219).
Tahap transformasi, pada tahap ini siswa melakukan identifikasi, analisis, mengubah,
mentransformasikan informasi yang telah diperolehnya menjadi bentuk yang abstrak atau
konseptual supaya kelak pada gilirannya dapat dimanfaatkan bagi hal-hal yang lebih luas. Dalam
tahap ini siswa mengembangkan inferensi logikannya. Tahap ini dirasakan sesuatu sulit dalam
belajar penemuan. Dalam keadaan seperti ini guru diharapkan kompeten dalam mentransfer
strategi kognitif yang tepat. Tahap evaluasi, pada tahap ini siswa menilai sendiri informasi yang
telah ditransformasikan itu dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau memecahkan
masalah yang dihadapi. Menurut Kemendikbud (dalam materi pelatihan guru implementasi
kurikulum 2013: 31), discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses
pembelajaran yang terjadi apabila siswa tidak disajikan materi pelajaran dalam bentuk final,
melainkan diharapkan mengorganisasi sendiri.
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat peneliti simpulkan bahwa discovery learning
merupakan pembelajaran yang menitikberatkan pada proses pemecahan masalah, sehingga
siswa harus melakukan eksplorasi berbagai informasi agar dapat menentukan konsep mentalnya
sendiri dengan mengikuti petunjuk guru berupa pertanyaan yang mengarah pada pencapaian
tujuan pembelajaran.
Children love being in charge of their own learning it gives them the sense of self
worth. It makes the learning more desirable and attainable. Teachers give a problem
to their students and set their students free to solve it on their own, discovering as
they go. Often these classroom can look unorganized or chaotic but, a discovery
learning classroom in fact is organized. It is set up in away for learning to happen
with projects, real-life problems and the learner figuring out.
Pernyataan yang terdapat dalam kutipan di atas menyebutkan bahwa para siswa memiliki gairah
dalam belajar. Guru memberikan masalah kepada para siswa dan memfasilitasi siswa untuk
memecahkannya sendiri. Memang bisa terjadi suasana kelas agak gaduh karena seperti tidak
terkendali, namun sebenarnya mereka dalam kegiatan yang terorganisasi. Pembelajaran
diarahkan sedemikian rupa supaya siswa menyelesaikan suatu proyek tentang masalah nyata
untuk dipecahkan oleh para siswa sendiri.
Model pembelajaran discovery learning menurut Alma dkk (2010:59) yang juga disebut sebagai
pendekatan inkuiri bertitik tolak pada suatu keyakinan dalam rangka perkembangan murid
secara independen. Model ini membutuhkan partisipasi aktif dalam penyelidikan secara ilmiah.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif dalam
belajar di kelas seperti yang terdapat pada kutipan : Discovery Learning can be defined as the
learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final form,
but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986: 103 dalam
Depdikbud 2014).
Menurut Alma, dkk (2010:61) Model Discovery Learning ini memiliki pola strategi dasar yang
dapat diklasifikasikan ke dalam empat strategi belajar, yaitu: (1) penentuan problem,
(2) perumusan hipotesa, (3) pengumpulan dan pengolahan data, dan (4) merumuskan
kesimpulan. Menurut Kemendikbud (dalam materi pelatihan guru implementasi kurikulum
2013:32), langkah-langkah model discovery learning ada tiga tahap yang terdiri atas persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi.
Menurut Trianto (2010: 53) fungsi model pembelajaran adalah sebagai pedoman bagi perancang
pengajar dan para guru dalam melaksanakan pembelajaran. Untuk memilih model ini sangat
dipengaruhi oleh sifat dari materi yang akan diajarkan, dan juga dipengaruhi oleh tujuan yang
akan dicapai dalam pengajaran tersebut serta tingkat kemampuan peserta didik. Di samping itu
pula, setiap model pembelajaran juga mempunyai tahap-tahap (sintaks) yang dapat dilakukan
siswa dengan bimbingan guru. Antara sintaks yang satu dengan sintaks yang lain juga
mempunyai perbedaan. Perbedaan-perbedaan ini, di antaranya pembukaan dan penutupan
pembelajaran yang berbeda antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu, guru perlu
menguasai dan dapat menerapkan berbagai keterampilan mengajar, agar dapat mencapai
tujuan pembelajaran yang beraneka ragam dan lingkungan belajar yang menjadi ciri sekolah
pada dewasa ini.
Adapun tujuan lain dari metode penemuan (discovery) dalam proses belajar mengajar adalah
sebagai berikut :
Setiap model pembelajaran tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh
karena itu, guru harus kreatif dalam memilih model pembelajaran yang akan digunakan.
Model discovery learning memudahkan siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep
pembelajaran yang tidak diperoleh siswa dengan cara mendengarkan penjelasan dari guru.
Model pembelajaran discovery learning ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang
banyak, karena membutuhkan waktu yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau
pemecahan masalah lainnya. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar
berhadapan dengan siswa dan guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.
Beberapa kelebihan yang lain pada metode penemuan (discovery) ini antara lain:
Metode itu berpusat pada siswa tidak pada guru. Guru hanya sebagai teman belajar saja,
membantu bila diperlukan. Metode penemuan (discovery) ini mempunyai kelemahan yaitu
sebagai berikut:
Di dalam makalah ini penulis menekankan pada hakikat pembelajaran Bahasa Inggris pada
siswa SMP. Seperti diketahui bahwa pembelajaran Bahasa dan pembelajaran mata pelajaran
lain ada perbedaan-perbedaan. Penerapan Discovery Learning pada kelas Bahasa haruslah
tetap mengingat esensi pembelajaran Bahasa itu sendiri. Sering terjadi kesalah pahaman, pada
saat guru mengadopsi salah satu strategi atau model pembelajaran yang biasa dilakukan pada
mata pelajaran lain, pembelajaran Bahasa Inggris menjadi melenceng. Manakala para siswa
melakukan diskusi atau kegiatan kolaboratif, mereka asyik dengan kegiatan off task tanpa ada
kegiatan yang membawa mereka pada language acquisition. Hal ini tidak diharapkan pada
penerapan Discovery Learning yang disodorkan penulis pada makalah ini.
Dari kutipan tersebut penulis menaruh perhatian pada proses pembelajaran Discovery Learning
dalam pembelajaran Bahasa bukan untuk membahas tentang bahasa melainkan menekankan
pemberian kegiatan kepada para siswa sehingga sebanyak-banyaknya siswa didik
menggunakan bahasa target dalam kegiatan pembelajaran.
Namun, penulis juga melihat bahwa Bahasa Inggris di Indonesia merupakan bahasa asing,
sehingga seperti disampaikan oleh Brown (2000:194) bahwa kita dalam membelajarkan bahasa
tersebut seperti layaknya membelajarkan bahasa Alien. Untuk alasan tersebut, Brown
menyarankan untuk tidak serta merta menghilangkan bahasa ibu ataupun kebiasaan yang sudah
mengakar pada bahasa ibu. Yang erat kaitannya dengan hal tersebut adalah pada saat guru
memberikan tugas ataupun mengarahkan kegiatan kepada para siswa didik, bisa saja guru
menggunakan bahasa yang jelas dan dapat dimengerti, supaya kegiatan yang akan
dilaksanakan tidak melenceng dari rencana.
Selanjutnya, pada saat berlangsungnya kegiatan dalam proses Discovery Learning, siswa harus
diarahkan untuk menggunakan Bahasa Inggris secara maksimal, sedangkan hasil discovery-nya
bukan merupakan hal yang utama. Yang diutamakan dalam pembelajaran dengan Discovery
Learning lebih pada proses siswa menggunakan Bahasa Inggris selama proses pembelajaran.
C. Penutup
Bagi guru pelajaran bahasa Indonesia hendaknya menggunakan model discovery learning
dengan media puzzle sebagai alternatif dalam pembelajaran menyusun teks laporan hasil
observasi. Dengan menggunakan model discovery learning dengan media puzzle dapat
memudahkan siswa dalam menyusun teks laporan hasil observasi secara tertulis.
Bagi kepala sekolah yang memegang kebijakan tertinggi dalam jabatan struktural sekolah
hendaknya memiliki kemampuan untuk terus mengontrol dan meningkatkan jalannya proses
pembelajaran di kelas dengan memberikan fasilitas dan pelatihan mengenai model dan media
pembelajaran yang baru yang digunakan dalam pembelajaran serta dapat mengembangkan
potensi sekolah baik keilmuan, sarana, maupun prasarana yang dapat mendukung
pembelajaran.