Anda di halaman 1dari 54

engertian Discovery Learning

Metode Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Discovery Learning

Model pembelajaran penemuan (discovery learning) diartikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi
ketika siswa tidak disajikan informasi secara langsung tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasikan
pemahaman mengenai informasi tersebut secara mandiri. Siswa dilatih untuk terbiasa menjadi seorang
yang saintis (ilmuan). Mereka tidak hanya sebagai konsumen, tetapi diharapkan pula bisa berperan aktif,
bahkan sebagai pelaku dari pencipta ilmu pengetahuan.

Berikut ini beberapa pengertian discovery learning dari beberapa sumber buku:

Menurut Hosnan (2014:282), discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar
aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan
lama dalam ingatan. Melalui belajar penemuan, siswa juga bisa belajar berpikir analisis dan mencoba
memecahkan sendiri masalah yang dihadapi.

Menurut Kurniasih, dkk (2014:64), Model discovery learning adalah proses pembelajaran yang terjadi
bila pelajaran tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya,tetapi diharapkan siswa
mengorganisasikan sendiri. Discovery adalah menemukan konsep melalui serangkaian data atau
informasi yang diperoleh melalui pengamatan atau percobaan.

Menurut Sund, discovery learning adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu
konsep atau prinsip. Proses mental tersebut antara lain mengamati, mencerna, mengerti menggolong-
golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya
(Suryasubrata, 2002:193).

Menurut Ruseffendi (2006:329), metode Discovery Learning adalah metode mengajar yang mengatur
pengajaran sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak
melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri.

Menurut Asmui (2009:154), metode Discovery Learning adalah suatu metode untuk mengembangkan
cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yng diperoleh akan
setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah untuk dilupakan siswa.
Jenis dan Bentuk Discovery Learning

Menurut Suprihatiningrum (2014:244), terdapat dua cara dalam pembelajaran penemuan (Discovery
Learning), yaitu:

Pembelajaran penemuan bebas (Free Discovery Learning) yakni pembelajaran penemuan tanpa adanya
petunjuk atau arahan.

Pembelajaran penemuan terbimbing (Guided Discovery Learning) yakni pembelajaran yang


membutuhkan peran guru sebagai fasilitator dalam proses pembelajarannya.

Bentuk metode pembelajaran Discovery Learning dapat dilaksanakan dalam komunikasi satu arah atau
komunikasi dua arah bergantung pada besarnya kelas, yang dijelaskan lebih detail sebagai berikut
(Oemar Hamalik, 2009:187):

Sistem satu arah. Pendekatan satu arah berdasarkan penyajian satu arah yang dilakukan guru. Struktur
penyajiannya dalam bentuk usaha merangsang siswa melakukan proses discovery di depan kelas. Guru
mengajukan suatu masalah, dan kemudian memecahkan masalah tersebut melalui langkah-langkah
discovery.

Sistem dua arah. Sistem dua arah melibatkan siswa dalam menjawab pertanyaanpertanyaan guru. Siswa
melakukan discovery, sedangkan guru membimbing mereka ke arah yang tepat atau benar.

Karakteristik dan Tujuan Discovery Learning

Menurut Hosnan (2014), ciri atau karakteristik Discovery Learning adalah (1) mengeksplorasi dan
memecahkan masalah untuk menciptakan, mengabungkan, dan menggeneralisasi pengetahuan; (2)
berpusat pada siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang
sudah ada.

Sedangkan menurut Bell, metode Discovery Learning meliliki tujuan melatih siswa untuk mandiri dan
kreatif, antara lain sebagai berikut (Hosnan, 2014):

Dalam penemuan siswa memiliki kesempatan untuk terlibat secara aktif dalam pembelajaran. Kenyataan
menunjukan bahwa partisipasi banyak siswa dalam pembelajaran meningkat ketika penemuan
digunakan.

Melalui pembelajaran dengan penemuan, siswa belajar menemukan pola dalam situasi konkrit mauun
abstrak, juga siswa banyak meramalkan (extrapolate) informasi tambahan yang diberikan.

Siswa juga belajar merumuskan strategi tanya jawab yang tidak rancu dan menggunakan tanya jawab
untuk memperoleh informasi yang bermanfaat dalam menemukan.
Pembelajaran dengan penemuan membantu siswa membentuk cara kerja bersama yang efektif, saling
membagi informasi, serta mendengar dan mneggunakan ide-ide orang lain.

Terdapat beberapa fakta yang menunjukan bahwa keterampilan-keterampilan, konsep-konsep dan


prinsip-prinsip yang dipelajari melalui penemuan lebih bermakna.

Keterampilan yang dipelajari dalam situasi belajar penemuan dalam beberapa kasus, lebih mudah
ditransfer untuk aktifitas baru dan diaplikasikan dalam situasi belajar yang baru.

Langkah-langkah Discovery Learning

Menurut Veerman (2003) langkah-langkah pembelajaran dalam model discovery learning antara lain
Orientation, Hypothesis Generation, Hypothesis Testing, Conclusion dan Regulation, yang secara rinci
dijelaskan sebagai berikut:

a. Orientation

Guru memberikan fenomena yang terkait dengan materi yang diajarkan untuk memfokuskan siswa pada
permasalahan yang dipelajari. Fenomena yang ditampilkan oleh guru membuat guru mengetahui
kemampuan awal siswa. Tahap orientation melibatkan siswa untuk membaca pengantar dan atau
informasi latar belakang, mengidentifikasi masalah dalam fenomena, menghubungkan fenomena dengan
pengetahuan yang didapat sebelumnya. Sintaks orientation melatihkan kemampuan interpretasi, analisis
dan evaluasi pada aspek kemampuan berpikir kritis. Produk dari tahapan orientation dapat digunakan
untuk tahapan yang lainya terutama tahapan hypothesis generation dan conclusion.

b. Hypothesis Generation

Informasi mengenai fenomena yang didapatkan pada tahapan orientation digunakan pada tahapan
hypothesis generation. Tahapan hypothesis generation membuat siswa merumuskan hipotesis terkait
permasalahan. Siswa merumuskan masalah dan mencari tujuan dari proses pembelajaran. Sintaks
hypothesis generation melatihkan kemampuan interpretasi, analisis, evaluasi dan inferensi. Masalah
yang telah dirumuskan diuji pada tahapan hypothesis testing.

c. Hypothesis Testing

Hipothesis yang dihasilkan pada tahapan hypothesis generation tidak dijamin kebenaranya. Pembuktian
terhadap hipotesis yang dibuat oleh siswa dibuktikan pada tahapan hypothesis testing. Tahapan
pengujian hipotesis siswa harus merancang dan melaksanakan eksperimen untuk membuktikan hipotesis
yang telah dirumuskan, mengumpulkan data dan mengkomunikasikan hasil dari eksperimen. Sintaks
hypothesis testing melatihkan kemampuan regulasi diri, evaluasi, analisis, interpretasi dan penjelasan.

d. Conclusion

Kegiatan siswa pada tahapan conclusion adalah meninjau hipotesis yang telah dirumuskan dengan fakta-
fakta yang telah diperoleh dari pengujian hipotesis. Siswa memutuskan fakta-fakta hasil pengujian
hipotesis apakah sesuai dengan hipotesis yang telah dirumuskan atau siswa mengidentifikasi
ketidaksesuaian antara hipotesis dengan fakta yang diperoleh dari pengujian hipotesis. Tahapan
conclusion membuat siswa merevisi hipotesis atau mengganti hipotesis dengan hipotesis yang baru.
Sintaks conclusion melatihkan kemampuan menyimpulkan, analisis, interpretasi, evaluasi dan
penjelasan.

e. Regulation

Tahapan regulation berkaitan dengan proses perencanaan, monitoring dan evaluasi. Perencanaan
melibatkan proses menentukan tujuan dan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Monitoring merupakan
sebuah proses untuk mengetahui kebenaran langkah-langkah dan tindakan yang diambil oleh siswa
terkait waktu pelaksanaan dan hasil berdasarkan perencanaan yang telah dibuat sebelumnya. Guru
mengkonfirmasi kesimpulan dan mengklarifikasi hasil-hasil yang tidak sesuai untuk menemukan konsep
sebagai produk dari proses pembelajaran. Sintaks regulation melatihkan kemampuan evaluasi, regulasi
diri, analisis, penjelasan, interpretasi dan menyimpulkan.

Kelebihan dan Kekurangan Discovery Learning

Suherman, dkk (2001:179) menyebutkan terdapat beberapa kelebihan atau keunggulan metode
Discovery Learning, yaitu:

Siswa aktif dalam kegiatan belajar, sebab ia berpikir dan menggunakan kemampuan untuk menemukan
hasil akhir.

Siswa memahami benar bahan pelajarannya, sebab mengalami sendiri proses menemukannya. Sesuatu
yang diperoleh dengan cara ini lebih lama untuk diingat.

Menemukan sendiri bisa menimbulkan rasa puas. Kepuasan batin ini mendorongnya untuk melakukan
penemuan lagi sehingga minat belajarnya meningkat.

Siswa yang memperoleh pengetahuan dengan metode penemuan akan lebih mampu mentransfer
pengetahuannya ke berbagai konteks.

Metode ini melatih siswa untuk lebih banyak belajar sendiri.


Sedangkan menurut Kurniasih, dkk (2014:64-65), metode Discovery Learning juga memiliki beberapa
kelemahan atau kekurangan, antara lain sebagai berikut:

Metode ini menimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa yang kurang
pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atau berfikir atau mengungkapkan hubungan antara konsep-
konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan menimbulkan frustasi.

Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karna membutuhkan waktu yang
lama untuk membantu mereka menemukan teori untuk pemecahan masalah lainnya.

Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapan dengan siswa dan guru
yang telah terbiasa dengan cara- cara belajar yang lama.

Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan mengembangkan


aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat perhatian.

Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang dikemukakan
oleh para siswa.

Tidak menyediakan kesempatan-kesempatan untuk berfikir yang akan ditemukan oleh siswa karena telah
dipilih terlebih dahulu oleh guru.

Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan adalah teori belajar yang
didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi apabila materi pembelajaran tidak disajikan
dengan dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan peserta didik itu sendiri yang mengorganisasi
sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined as the
learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final
form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103).

==================================================

==================================================

Dasar pemikiran Bruner tersebut adalah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus
berperan aktif dalam belajar di kelas. Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning,
dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41).

Sedangkan menurut Budiningsih, (2005:43) Pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau
Penemuan diartikan pula sebagai cara belajar memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses
intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Discovery terjadi bila individu terlibat,
terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan daninferi. Proses
tersebut oleh Robert B. Sund (Malik, 2001:219) disebut cognitive process sedangkan discovery itu
sendiri adalah the mental process of assimilatig conceps and principles in the mind

Contoh Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

Sebagai strategi belajar, Model Pembelajaran Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama
dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah
ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang
sebelumnya tidak diketahui.
Perbedaannya dengan discovery learning dengan inkuiri learning ialah bahwa pada discovery masalah
yang dihadapi siswa atau peserta didik adalah semacam masalah yang direkayasa oleh guru, sedangkan
pada inkuiri masalahnya bukan hasil rekayasa, sehingga siswa harus mengerahkan seluruh pikiran
dan keterampilannya untuk mendapatkan temuan-temuan di dalam masalah itu melalui proses
penelitian. Sedangkan Perbedaannya dengan discovery learning dengan Problem Solving. Pada model
Problem Solving lebih memberi tekanan pada kemampuan menyelesaikan masalah.

Prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran
yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai peserta didik
didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan mencari informasi
sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka
pahami dalam suatu bentuk akhir.

Dengan mengaplikasikan metode Discovery Learning secara berulang-ulang dapat meningkatkan


kemampuan penemuan diri individu yang bersangkutan. Penggunaan metode / model Discovery
Learning, ingin merubah kondisi belajar yang pasif menjadi aktif dan kreatif. Mengubah
pembelajaran yang teacher oriented ke student oriented. Mengubah modus Ekspositori siswa hanya
menerima informasi secara keseluruhan dari guru ke modus Discovery siswa menemukan
informasisendiri.

Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan kategori-
kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi. Sebagaimana teori
Bruner tentang kategorisasi yang Nampak dalam Model Pembelajaran Discovery, bahwa Discovery
adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding. Pembentukan
kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-relasi (similaritas &
difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian (events).

Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan siswa dikatakan
memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu, meliputi: 1) Nama; 2)
Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif; 3) Karakteristik, baik yang pokok maupun
tidak; 4) Rentangan karakteristik; 5) Kaidah (Budiningsih, 2005:43). Bruner menjelaskan bahwa
pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses
berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori meliputi mengidentifikasi dan
menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa) ke dalam kelas dengan
menggunakan dasar kriteria tertentu.

Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal
dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan
memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery Learning
Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-penemuan baru
yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui. Lingkungan seperti
ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan lebih kreatif.
Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada manipulasi bahan
pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi bahan pelajaran
bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir (merepresentasikan apa yang
dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh
bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive, seseorang
melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya, artinya, dalam
memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-objek atau
dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan (komparasi).Tahap
symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan-gagasan abstrak yang sangat
dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan logika. Dalam memahami dunia sekitarnya
anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan sebagainya.

Komunikasinya dilakukan dengan menggunakan banyak simbol. Semakin matang seseorang dalam
proses berpikirnya, semakin dominan sistem simbolnya. Secara sederhana teori perkembangan
dalam faseenactive, iconicdansymbolicadalah anak menjelaskan sesuatu melalui perbuatan (ia
bergeser ke depan atau kebelakang di papan mainan untuk menyesuaikan beratnya dengan berat
temannya bermain) ini fase enactive. Kemudian pada faseiconic ia menjelaskan keseimbangan pada
gambar atau bagan dan akhirnya ia menggunakan bahasa untuk menjelaskan prinsip keseimbangan
ini fasesymbolic(Syaodih, 85:2001).

Dalam mengaplikasikan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan guru berperan sebagai
pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana
pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan
tujuan (Sardiman, 2005:145). Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar
yangteacher orientedmenjadistudent oriented.

Hal yang menarik dalam pendapat Bruner yang menyebutkan: hendaknya guru harus memberikan
kesempatan muridnya untuk menjadi seorangproblem solver, seorang scientis, historin, atau ahli
matematika. Dalam metode Discovery Learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk akhir, siswa
dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan,
mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan bahan serta membuat
kesimpulan-kesimpulan. Hal tersebut memungkinkan murid-murid menemukan arti bagi diri mereka
sendiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang
dimengerti mereka. Dengan demikian seorang guru dalam aplikasi metode Discovery Learning harus
dapat menempatkan siswa pada kesempatan-kesempatan dalam belajar yanglebih mandiri. Bruner
mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman
melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005:41).
Pada akhirnya yang menjadi tujuan dalam metode Discovery Learning menurut Bruner adalah
hendaklah guru memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver,
seorang scientist, historian, atauahli matematika. Melalui kegiatan tersebut siswa akan
menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya.

Karakteristik yang paling jelas mengenai Discovery sebagai metode mengajar ialah bahwa sesudah
tingkat-tingkat inisial (pemulaan) mengajar, bimbingan guru hendaklah lebih berkurang dari pada
metode-metode mengajar lainnya. Hal ini tak berarti bahwa guru menghentikan untuk memberikan
suatu bimbingan setelah problema disajikan kepada pelajar. Tetapi bimbingan yang diberikan tidak
hanya dikurangi direktifnya melainkan pelajar diberi responsibilitas yang lebih besar untuk belajar
sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, pengertian Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan adalah
pembelajaran untuk menemukan konsep, makna, dan hubungan kausal melalui pengorganisasian
pembelajaran yang dilakukan oleh peserta didik.

B. Ciri dan Karakteristik Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

Tiga ciri utama belajar dengan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan yaitu: (1)
mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi
pengetahuan; (2) berpusat pada peserta didik; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru
dan pengetahuan yang sudah ada.

Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan Menjadi Salah Satu Pilihan dalam Implementasi
Kurikulum 2013

Karakteristik dari Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

a) Peran guru sebagai pembimbing;

b) Peserta didik belajar secara aktif sebagai seorang ilmuwan;

c) Bahan ajar disajikan dalam bentuk informasi dan peserta didik melakukan kegiatan menghimpun,
membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, serta membuat kesimpulan.

C. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Discovery Learning

1. Kelebihan Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

a. Membantu siswa untuk memperbaiki dan meningkatkan keterampilan-keterampilan dan proses-


proses kognitif. Usaha penemuan merupakan kunci dalam proses ini, seseorang tergantung
bagaimana cara belajarnya.
b. Pengetahuan yang diperoleh melalui metode ini sangat pribadi dan ampuh karenamenguatkan
pengertian, ingatan dan transfer.

c. Menimbulkan rasa senang pada siswa, karena tumbuhnya rasa menyelidiki danberhasil.

d. Metode ini memungkinkan siswa berkembang dengan cepat dan sesuai dengan kecepatannya
sendiri.

e. Menyebabkan siswa mengarahkan kegiatan belajarnya sendiri dengan melibatkanakalnya dan


motivasi sendiri.

f. Metode ini dapat membantu siswa memperkuat konsep dirinya, Karena memperoleh kepercayaan
bekerja sama dengan yang lainnya.

g. Berpusat pada siswa dan guru berperan sama-sama aktif mengeluarkan gagasan-gagasan. Bahkan
gurupun dapat bertindak sebagai siswa, dan sebagai peneliti di dalam situasi diskusi.

h. Membantu siswamenghilangkanskeptisme (keragu-raguan) karena mengarah padakebenaran yang


final dan tertentuatau pasti.

i. Siswa akan mengerti konsep dasar dan ide-ide lebih baik.

j. Membantu dan mengembangkan ingatan dan transfer kepada situasi proses belajaryang baru.

k. Mendorong siswa berpikir danbekerja atas inisiatif sendiri.

l. Mendorong siswa berpikir intuisi dan merumuskan hipotesis sendiri.

m. Memberikan keputusan yang bersifat intrinsic.

n. Situasi proses belajar menjadi lebih terangsang.

o. Proses belajar meliputi sesama aspeknya siswa menuju pada pembentukan manusia seutuhnya.

p. Meningkatkan tingkat penghargaanpadasiswa.

q. Kemungkinan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.

r. Dapat mengembangkan bakat dankecakapan individu.

2. Kelemahan Penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

a. Metode inimenimbulkan asumsi bahwa ada kesiapan pikiran untuk belajar. Bagi siswa
yangkurang pandai, akan mengalami kesulitan abstrak atauberpikiratau mengungkapkan
hubunganantara konsep-konsep, yang tertulis atau lisan, sehingga pada gilirannya akan
menimbulkan frustasi.
b. Metode ini tidak efisien untuk mengajar jumlah siswa yang banyak, karenamembutuhkan waktu
yang lama untuk membantu mereka menemukan teori atau pemecahan masalah lainnya.

c. Harapan-harapan yang terkandung dalam metode ini dapat buyar berhadapandengan siswa dan
guru yang telah terbiasa dengan cara-cara belajar yang lama.

d. Pengajaran discovery lebih cocok untuk mengembangkan pemahaman, sedangkan


mengembangkan aspek konsep, keterampilan dan emosi secara keseluruhan kurang mendapat
perhatian.

e. Pada beberapa disiplin ilmu, misalnya IPA kurang fasilitas untuk mengukur gagasan yang
dikemukakan oleh para siswa

f. Tidak menyediakan kesempatan-kesempatanuntukberpikiryang akan ditemukanoleh siswa karena


telah dipilih terlebih dahulu oleh guru

D.Langkah-langkah Operasional Implementasi Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

Berikut ini langkah-langkah dalam mengaplikasikan model discovery learning di kelas.

Langkah Persiapan Metode Discovery Learning

1. Menentukan tujuan pembelajaran.

2. Melakukan identifikasi karakteristik siswa peserta didik (kemampuan awal, minat, gaya belajar, dan
sebagainya).

3. Memilih materi pelajaran

4. Menentukan topik-topik yang harus dipelajarisiswapeserta didiksecara induktif (dari contoh-contoh


generalisasi)

5. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh-contoh, ilustrasi, tugas dan sebagainya
untuk dipelajarisiswapeserta didik

6. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau
dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik.

7. Melakukan penilaian proses dan hasil belajarsiswapeserta didik.

Prosedur Aplikasi Metode / Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

Menurut Syah (2004:244) dalam mengaplikasikan metode Discovery Learning di kelas, ada beberapa
prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum sebagai berikut:
Pemberian Stimulasi dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan bisa dengan cara
membaca

1. Stimulation (Stimulasi/Pemberian Rangsangan)

Pertama-tama pada tahap ini pelajar dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan kebingungannya,
kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki
sendiri. Disamping itu guru dapat memulai kegiatan PBM dengan mengajukan pertanyaan, anjuran
membaca buku, dan aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah.
Stimulasi pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat
mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. Dalam hal ini Bruner memberikan
stimulation dengan menggunakan teknik bertanya yaitu dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
yang dapat menghadapkan siswa pada kondisi internal yang mendorong eksplorasi. Dengan
demikian seorang Guru harus menguasai teknik-teknik dalam memberi stimulus kepada siswa agar
tujuan mengaktifkan siswa untuk mengeksplorasi dapat tercapai.

Identifikasi Masalah dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan bisa dengan cara
diskusi

2. Problem Statement (Pernyataan/ Identifikasi Masalah)

Setelah dilakukan stimulasi langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk
mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran,
kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas
pertanyaan masalah) (Syah 2004:244), sedangkan menurut permasalahan yang dipilih itu
selanjutnya harus dirumuskan dalam bentuk pertanyaan, atau hipotesis, yakni pernyataan
(statement) sebagai jawaban sementara atas pertanyaan yang diajukan.

Memberikan kesempatan siswa untuk mengidentifikasi dan menganalisis permasasalahan yang


mereka hadapi, merupakan teknik yang berguna dalam membangun siswa agar mereka terbiasa
untuk menemukan suatu masalah.

Pengumpulan Data dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan bisa dengan cara
wawancara, Studi Pustaka, dll.

3. Data Collection (Pengumpulan Data)

Ketika eksplorasi berlangsung guru juga memberi kesempatan kepada parasiswa untuk
mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis (Syah, 2004:244). Pada tahap ini berfungsi untuk menjawab pertanyaan atau
membuktikan benar tidaknya hipotesis.
Dengan demikian anak didikdiberi kesempatan untuk mengumpulkan (collection) berbagai informasi
yang relevan, membaca literatur, mengamati objek, wawancara dengan nara sumber, melakukan uji
coba sendiri dan sebagainya. Konsekuensi dari tahap ini adalah siswa belajar secara aktif untuk
menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, dengan demikian
secara tidak disengaja siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki.

4. Data Processing (Pengolahan Data)

Menurut Syah (2004:244)pengolahan data merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang
telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan.
Semua informai hasil bacaan, wawancara, observasi, dan sebagainya, semuanya diolah, diacak,
diklasifikasikan, ditabulasi, bahkan bila perlu dihitung dengan cara tertentu serta ditafsirkan pada
tingkat kepercayaan tertentu (Djamarah, 2002:22).

Dataprocessing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai
pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan
pengetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian
secara logis

Ini contoh verifikasi data dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

5. Verification (Pembuktian)

Pada tahap ini siswa melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau tidaknya
hipotesis yang ditetapkan tadi dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil data processing
(Syah, 2004:244).Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik
dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep,
teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya.

Berdasarkan hasil pengolahan dan tafsiran, atau informasi yang ada, pernyataan atau hipotesis
yang telah dirumuskan terdahulu itu kemudian dicek, apakah terjawab atau tidak, apakah terbukti atau
tidak.

Contoh Proses Menarik Simpulan dalam model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan

6. Generalization (Menarik Kesimpulan/Generalisasi)

Tahap generalisasi/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat
dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan
memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004:244). Berdasarkan hasil verifikasi maka dirumuskan
prinsip-prinsip yang mendasari generalisasi. Setelah menarik kesimpulan siswa harus memperhatikan
proses generalisasi yang menekankan pentingnya penguasaan pelajaran atas makna dan kaidah atau
prinsip-prinsip yang luas yang mendasari pengalaman seseorang, serta pentingnya proses pengaturan
dan generalisasi dari pengalaman-pengalaman itu.

Berdasarkan uraian di atas, Langkah-langkah Discovery Learning secara singkat adalah sebagai berikut:

Tahap

Deskripsi

Tahap 1

Persiapan

Guru Menentukan tujuan pembelajaran, identifikasi karakteristik peserta didik (kemampuan awal, minat,
gaya belajar, dan sebagainya)

Tahap 2

Stimulasi/pemberian rangsangan

Guru dapat memulai kegiatan PBM dengan menga-jukan pertanyaan, anjuran membaca buku, dan
aktivitas belajar lainnya yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulasi pada tahap ini
berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu
peserta didik dalam mengeksplorasi bahan

Tahap 3

Identifikasi masalah

Guru Mengidentifikasi sumber belajardan memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengiden-
tifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian
salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara atas pertanyaan
masalah)

Tahap 4

Mengumpulkan data

Guru Membantu peserta didik mengumpulan dan mengeksplorasi data.

Tahap 5

Pengolahan data

Guru membimbing peserta didik dalam kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para
peserta didik baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya
Tahap 6

Pembuktian

Guru membimbing peserta didik melakukan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar atau
tidaknya hipotesis yang ditetapkan dengan temuan alternatif, dihubungkan dengan hasil

Tahap 7

Menarik kesimpulan

Guru membimbing peserta didik merumuskan prinsip dan generalisasi hasil penemuannya.

D. Sistem Penilaian

Dalam Model Pembelajaran Discovery Learning, penilaian dapat dilakukan dengan menggunakan
tes maupun nontes, sedangkan penilaian yang digunakan dapat berupa penilaian kognitif, proses,
sikap, atau penilaian hasil kerja siswa. Jika bentuk penialainnya berupa penilaian kognitif, maka
dalam model pembelajaran discovery learning dapat menggunakan tes tertulis. Jika bentuk
penilaiannya menggunakan penilaian proses, sikap, atau penilaian hasil kerja siswa, maka
pelaksanaan penilaian dapat menggunakan contoh-contoh format penilaian seperti tersebut di bawah
ini.

1. Penilaian Tertulis

Penilaian tertulis merupakan tes dimana soal dan jawaban yang diberikan kepada peserta didik
dalam bentuk tulisan. Dalam menjawab soal peserta didik tidak selalu merespon dalam bentuk
menulis jawaban tetapi dapat juga dalam bentuk yang lain seperti memberi tanda, mewarnai,
menggambar dan lain sebagainya.Ada dua bentuk soal tes tertulis, yaitu berikut ini

1. Soal dengan memilih jawaban.

a. pilihan ganda

b. dua pilihan (benar-salah, ya-tidak)

c. menjodohkan

2.Soal dengan mensuplai-jawaban.

a. isian atau melengkapi

b. jawaban singkat

c. soal uraian

Dari berbagai alat penilaian tertulis, tes memilih jawaban benar-salah, isian singkat, dan menjodohkan
merupakan alat yang hanya menilai kemampuan berpikir rendah, yaitu kemampuan mengingat
(pengetahuan). Tes pilihan ganda dapat digunakan untuk menilai kemampuan mengingat dan
memahami. Pilihan ganda mempunyai kelemahan, yaitu peserta didik tidak mengembangkan sendiri
jawabannya tetapi cenderunghanya memilih jawaban yang benar dan jika peserta didik tidak mengetahui
jawaban yang benar, maka peserta didik akan menerka.

Hal ini menimbulkan kecenderungan peserta didik tidak belajar untuk memahami pelajaran tetapi
menghafalkan soal dan jawabannya. Alat penilaian ini kurang dianjurkan pemakaiannya dalam penilaian
kelas karena tidak menggambarkan kemampuan peserta didik yang sesungguhnya.

Tes tertulis bentuk uraian adalah alat penilaian yang menuntut peserta didik untuk mengingat,
memahami, dan mengorganisasikan gagasannya atau hal-hal yang sudah dipelajari, dengan cara
mengemukakan atau mengekspresikan gagasan tersebut dalam bentuk uraian tertulis dengan
menggunakan kata-katanya sendiri. Alat ini dapat menilai berbagai jenis kemampuan, misalnya
mengemukakan pendapat, berpikir logis, dan menyimpulkan.Kelemahan alat ini antara lain cakupan
materi yang ditanyakan terbatas.

Dalam menyusun instrumen penilaian tertulis perlu dipertimbangkan hal-hal berikut:

a. materi, misalnya kesesuian soal dengan indikatorpada kurikulum;

b. konstruksi, misalnya rumusan soal atau pertanyaan harus jelas dan tegas.

c. bahasa, misalnya rumusan soal tidak menggunakan kata/ kalimat yang menimbulkanpenafsiran
ganda.

2. PenilaianDiri

Penilaian diri (self assessment) adalah suatu teknik penilaian, subyek yang ingin dinilai diminta
untuk menilai dirinya sendiri berkaitan dengan, status, proses dan tingkat pencapaian kompetensi
yang dipelajarinya dalam mata pelajaran tertentu.

Teknik penilaian diri dapat digunakan dalam berbagai aspek penilaian, yang berkaitan dengan
kompetensi kognitif, afektif dan psikomotor. Dalam proses pembelajaran di kelas, berkaitan dengan
kompetensi kognitif, misalnya: peserta didik dapat diminta untuk menilai penguasaan pengetahuan
dan keterampilan berpikir sebagai hasil belajar dalam mata pelajaran tertentu, berdasarkan kriteria
atau acuan yang telah disiapkan. Berkaitan dengan kompetensi afektif, misalnya, peserta didik dapat
diminta untuk membuat tulisan yang memuat curahan perasaannya terhadap suatu obyek sikap

Proses penilaian dalam penerapan Model Pembelajaran Discovery Learning atau Penemuan selain
menggunakan jenis penilaian tertulis dan penilian diri, dapat juga dilakukan melalui penilaian kinerja,
penilaian produk dan penilaian sikap.
googleweblight.com/?lite_url=http://ainamulyana.blogspot.com/2016/06/model-pembelajaran-
discovery-learning.html?m%3D1&ei=8zzfV8_h&lc=id-
ID&s=1&m=100&host=www.google.co.id&ts=1519263619&sig=AOyes_TzmgKlvu18NQ-
ucZKmSyjLL7Pw7A

http://googleweblight.com/?lite_url=http://www.kajianpustaka.com/2017/09/metode-pembelajaran-
penemuan-discovery-learning.html?m%3D1&ei=yd7fi_dU&lc=id-
ID&s=1&m=100&host=www.google.co.id&ts=1519263619&sig=AOyes_TaIPgf-VajZY3yUJbsnh5NoRK-Xw

TEORI BELAJAR AUSUBEL

David Ausubel (1963) merupakan seorang psikolog pendidikan, melakukan beberapa penelitian rintisan
menarik di waktu yang hampir sama dengan Burner, Ia sangat tertarik dengan cara mengorganisasikan
berbagai ide. Ia menjelaskan bahwa dalam diri seorang pelajar sudah ada organisasi dan kejalasan
tentang pengetahuan dibidang subjek tertentu. Ia menyebut organisasi ini sebagai struktur kognitif dan
percaya bahwa struktur ini menentukan kemampuan pelajar untuk menangani berbagai ide dan
hubungan baru. Makna dapat muncul dari materi baru hanya bila materi itu terkait dengan struktur
kognitif dari pembelajaran sebelumnya.

Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) dan (2) belajar
menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar di mana informasi baru
dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan
belajar menghafal adalah siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau
yang dibaca tanpa makna.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel adalah struktur kognitif
yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada waktu
tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia
punya. Dalam prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam system pengertian yang telah
dipunyainya.

Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme. Keduanya
menekankan pentingnya siswa mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam
sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru
kedalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa. Keduanya mengandalkan bahwa dalam
pembelajaran itu aktif.

Pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan dalam hal-hal tertentu dapat
mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab
untuk mengorganisasikan dan mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran
siswa di sini adalah menguasai yang disampaikan gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna
(meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang akan dipelajari peserta
didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik itu sehingga peserta didik itu
mampu mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya.

Dua syarat untuk materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah
dipunyai sebelumnya.

Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus sesuai dengan tingkat
perkembangan dan pengetahuan masa lalu peserta didik.

Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional memegang peranan penting dalam
hal ini, sebab peserta didik tidak akan mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak
mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini perlu diatur oleh
guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.

Terdapat empat prinsif dalam menerapkan teori belajar bermakna Ausubel yaitu :

Pengaturan awal mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka
untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat dipergunakan dalam membantu
menanamkan pengetahuan baru.

Defrensiasi Progresif, dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah menyusun konsep dengan mengajarkan
konsep-konsep tersebut dari inklusif kemudian kurang ingklusif dan yang paling ingklusif.

Belajar Subordinat, dalam hal ini terjadi bila konsep-konsep tersebut telah dipelajari sebelumnya.

Penyesuaian Integratif, dalam hal ini materi disusun sedemikian rupa hingga menggerakkan hirarki
konseptual yaitu ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan.

.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses
belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa
diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi,
diagram dan ilustrasi.

Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:

Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan
materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia pelajari
kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.

Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri oleh
siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan
pengetahuan yang ia miliki.

Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah tersusun secara
logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dihafalkan
tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.

Terdapat 8 langkah pembelajaran yang bisa dilakukan dalam menerapkan teori belajar bermakna
Ausubel, yaitu :

Menentukan tujuan pembelajaran

Mengukur kesiapan siswa

Memilih materi pembelajaran dan mengatur dalam penyajian konsep

Mengidentifikasi prinsif-prinsif yang harus dikuasai peserta didik dari materi pembelajaran

Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang seharusnya dipelajari

Menggunakan “advance organizer” dengan cara memberikan rangkuman dilanjutkan dengan keterkaitan
antara materi.

Mengajar siswa dengan pemahaman konsep


Mengevaluasi hasil belajar

Terdapat dua perkara dalam teori ausubel yaitu :

Ausubel berpendapat bahwa guru dapat menggunakan pembelajaran resepsi (penerimaan) atau model
pengajaran ekspositori kerana guru dapat menyampaikan materi secara lengkap dalam susunan yang
teratur.

Terlebih dahulu guru mengingat semula konsep yang telah dipelajari dan mengaitkannya dengan konsep
baru yang akan dipelajari serta mengingatkan mereka tentang perkara-perkara penting dalam proses
pembelajaran.

Kebermaknaan materi pelajaran secara potensial tergantung dari materi itu memiliki kebermaknaan logis
dan gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa. Berdasarkan
Pandangannya tentang belajar bermakna, maka David Ausuble mengajukan 4 prinsip pembelajaran ,
yaitu:

Pengaturan awal (advance organizer). Pengatur awal atau bahan pengait dapat digunakan guru dalam
nce membantu mengaitkan konsep lama dengan konsep baru yang lebih tinggi maknanya. Pemggunaan
pengatur awal tepat dapat meningkatkan pemahaman berbagai macam materi , terutama materi
pelajaran yang telah mempunyai struktur yang teratur. Pada saat mengawali pembelajaran dengan
prestasi suatu pokok bahasan sebaiknya “pengatur awal” itu digunakan, sehingga pembelajaran akan
lebih bermakna.

Diferensiasi Progresif. Dalam proses belajar bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep-
konsep. Caranya unsur yang paling umum dan inklusif dipekenalkan dahulu kemudian baru yang lebih
mendetail, berarti proses pembelajaran dari umum ke khusus.

Belajar Superordinat. Belajar superordinat adalah proses struktur kognitif yang mengalami petumbuhan
kearah deferensiasi, terjadi sejak perolehan informasi dan diasosiasikan dengan konsep dalam struktur
kognitif tersebut. Proses belajar tersebut akan terus berlangsung hingga pada suatu saat ditemukan hal-
hal baru. Belajar superordinat akan terjadi bila konsepkonsep yang lebih luas dan inklusif.

Penyesuaian Integratif. Pada suatu saat siswa kemungkinan akan menghadapi kenyataan bahwa dua atau
lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan konsep yang sama atau bila nama yang sama
diterapkan pada lebih satu konsep. Untuk mengatasi pertentangan kognitif itu, Ausuble mengajukan
konsep pembelajaran penyesuaian integratif Caranya materi pelajaran disusun sedemikian rupa,
sehingga guru dapat menggunakan hiierarkhi-hierarkhi konseptual ke atas dan ke bawah selama
informasi disajikan. Penangkapan (reception learning). Belajar penangkapan pertama kali dikembangkan
oleh David Ausuble sebagai jawaban atas ketidakpuasan model belajar diskoveri yang dikembangkan
oleh Jerome Bruner tersebut. Menurut Ausubel , siswa tidak selalu mengetahui apa yang pening atau
relevan untuk dirinya sendiri sehigga mereka memerlukan motivasi eksternal untuk melakukan kerja
kognitif dalam mempelajari apa yang telah diajarkan di sekolah. Ausable menggambarkan model
pembelajaran ini dengan nama belajar penangkapan. Para pakar teori belajar penangakapan menyatakan
bahwa tugas guru adalah:

Menstrukturkan situasi belajar.

Memilih materi pembelajaran yang sesuai dengan siswa.

Menyajikan materi pembelajaran secara terorganisir yang dimulai dari gagasan.

Inti belajar penangkapan yaitu pengajaran ekspositori , yakni pembelajaran sistematik yang direncanakan
oleh guru mengenai informasi yang bermakna (meaningful information). Pembelajaran ekspositori itu
terdiri dari tiga tahap, yaitu:

Penyajian Advance Organizer. Advance organizer merupakan pernyataan umumyang memeperkenalkan


bagian-bagian utama yang etrcakup dalam urutan pengajaran. Advance organiberfungsi untuk
menghubungakan gagasan yang disajikan di dalam pelajaran dengan informasi yang telah berda didalam
pikiran siswa, dan memberikan skema organisasional terhadap informasi yang sangat spesifik yang
disajikan.

Penyajian materi atau tugas belajar. Dalam tahap ini, guru menyajikan materi pembelajaran yang baru
dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, film, atau menyajikantugas-tugas belajar kepada siswa .
Ausable menekankan tentang pentingnaya mempertahankan perhatian siswa, dan juaga pentingya
pengorganisasian meteri pelajaran yang dikaitakan dengan struktur yang terdapat didalam advance
organizer. Dia menyarankan suatu proses yang disebut dengan diferensiasi progresif, dimna
pembelajaran berlangsung setahap demi setahap demi setahap, dimulai dari konsep umum menuju
kepada informasi spesifik, contoh-contoh ilustratif, dan membandingkan antara konsep lama dengan
konsep baru.

Memperkuat organisasi kognitif. Ausuble menyarankan bahwa guru mencoba mengikatkan informasi
baru ke dalam stuktur yang telah direncanakan di dalam permulaan pelajaran, degan cara mengingatkan
siswa bahwa rincian yang ebrsifat spesifik itu berkaitan dengan gambaran informasi yang bersifat umum.
Pada akhir pembelajaran ini siswa diminta mengjukan pertanyaan pada diri sendiri mengenai tingkat
pemahamannya terhadap pelajaran yang baru dipelajari, menghubungkannya dengan pengetahuan yang
telah dimiliki dan pengorgnaisasian matyeri pembelajaran sebagaiman yang dideskripsikan didalam
advance organizer samping itu juga memberikan pertanyanan kepada siswa dalam rangka menjajagi
keluasan pemahaman siswa tentang isi pelajaran.

Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di
mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat
pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi
oleh motivasi.

Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau
yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan
(discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga
dengan ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya sistematis,
akan dihasilkan belajar yang baik.

Aplikasi Teori Ausubel Terhadap Pembelajaran Matematika

Dalam pembelajaran matematika siswa akan lebih baik jika siswa tersebut dilibatkan langsung dalam
pembelajaran, terutama mereka yang berada di tingkat pendidikan dasar. Namun untuk siswa pada
tingkat pendidikan lebih tinggi, maka kegiatan langsung akan menyita banyak waktu. Untuk mereka,
menurut Ausubel, lebih efektif kalau guru menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi, diagram,
dan ilustrasi.

Perhatikan kisah Nani di bawah ini. Apa yang dapat Anda katakan tentang cara belajar Nani? Apa
kelemahannya? Adakah kelebihannya?

Nani, seorang anak kecil bertanya pada ayahnya. Bagaikan seorang guru, Nani mengajukan pertanyaan
sehingga terjadi percakapan sebagai berikut.

Menurut Ausubel terdapat dua jenis belajar yaitu belajar hafalan (rote-learning) dan belajar bermakna
(meaningful-learning).

Belajar Hafalan

Ausubel menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Bell (1978) mengenai belajar hafalan (rote-
learning): “… , if the learner’s intention is to memorise it verbatim, i.e., as a series of arbitrarily related
word, both the learning process and the learning outcome must necessarily be rote and meaningless”
(p.132). Jika seorang siswa berkeinginan untuk mengingat sesuatu tanpa mengaitkan dengan hal yang
lain maka baik proses maupun hasil pembelajarannya dapat dinyatakan sebagai hafalan (rote) dan tidak
akan bermakna (meaningless) sama sekali baginya.

Contoh belajar hafalan yang paling jelas terjadi sebagaimana kisah Nani di atas, yang dapat menjawab
soal penjumlahan 2 + 2 ataupun 1 + 1 dengan benar. Namun ketika ia ditanya bapaknya mengapa 2 + 2 =
4?, ia-pun hanya menjawab: ”Ya karena 2 + 2 = 4,” tanpa alasan yang jelas. Artinya, Nani hanya meniru
pada apa yang diucapkan teman sebayanya. Tidaklah salah jika ada orang yang lalu menyatakan bahwa
Nani telah belajar dengan membeo. Mengacu pada pendapat Ausubel di atas, contoh ini menunjukkan
bahwa Nani hanya belajar hafalan dan belum termasuk berlajar bermakna. Alasannya, ia hanya
mengingat sesuatu tanpa mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain; baik ketika proses
pembelajaran terjadi maupun pada hasil pembelajarannya ketika ia ditanya bapaknya; sehingga Nani
dapat dinyatakan sebagai belajar hafalan (rote) dan belum belajar bermakna (meaningless).

Seperti halnya seekor burung beo yang dapat menirukan ucapan tertentu namun sama

sekali tidak mengerti isi ucapannya tersebut, maka seperti itulah Nani yang dapat menjawab bahwa 2 + 2
adalah 4 dengan benar namun ia sama sekali tidak tahu arti 2 + 2 dan tidak tahu juga mengapa hasilnya
harus 4. Jika Ari, temannya, menyatakan 2 + 3 = 5 maka sangat besar kemungkinannya jika Nani akan
mengikutinya. Cara belajar dengan membeo seperti yang telah dilakukan Nani tadi oleh David P Ausubel
(Orton, 1987) disebut dengan belajar hafalan (rote learning).

Salah satu kelemahan dari belajar hafalan atau belajar membeo telah ditunjukkan Nani ketika ia tidak
memiliki dasar yang kokoh dan kuat untuk mengembangkan pengetahuannya tersebut. Ia tidak bisa
menjawab soal baru seperti 1 + 2 maupun 2 + 1 jika belum ada yang mengajari hal tersebut. Karena itu,
dapat terjadi bahwa sebagian siswa ada yang dapat mengerjakan soal ketika ia belajar di kelas, namun ia
tidak dapat lagi mengerjakan soal yang sama setelah beberapa hari kemudian jika proses
pembelajarannya hanya mengandalkan pada kemampuan mengingat saja seperti yang dilakukan Nani di
atas. Sesuatu yang dihafal akan cepat dan mudah hilang, namun sesuatu yang dimengerti akan tertanam
kuat di benak siswa.

Materi dalam pelajaran matematika bukanlah pengetahuan yang terpisah-pisah namun

merupakan satu kesatuan, sehingga pengetahuan yang satu dapat berkait dengan pengetahuan yang
lain. Seorang anak tidak akan mengerti penjumlahan dua bilangan jika ia tidak tahu arti dari “1” maupun
“2”. Ia harus tahu bahwa “1” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang tunggal seperti banyaknya kepala,
mulut, lidah dan seterusnya; sedangkan “2” menunjuk pada banyaknya sesuatu yang berpasangan
seperti banyaknya mata, telinga, kaki, … dan seterusnya. Sering terjadi, anak kecil salah menghitung
sesuatu. Tangannya masih ada di batu ke-4 namun ia sudah mengucapkan “lima” atau malah “enam”.
Kesalahan kecil seperti ini akan berakibat pada kesalahan menjumlah dua bilangan. Hal yang lebih parah
akan terjadi jika ia masih sering meloncat-loncat di saat membilang dari satu sampai sepuluh.

Belajar Bermakna

Perhatikan tiga bilangan berikut.

(1) 89.107.145

(2) 54.918.071

(3) 17.081.945

Manakah bilangan yang paling mudah dan paling sulit diingat siswa?

Apakah untuk dapat mengingat bilangan-bilangan di atas perlu dikaitkan dengan hal tertentu yang sudah
dimengerti siswa?

Bagaimana merancang pembelajaran matematika yang bermakna?

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan adalah: Mengapa bagi sebagian siswa di

Indonesia, bilangan ketiga, yaitu 17.081.945, merupakan bilangan yang paling mudah diingat? Mengapa
bilangan kedua yaitu 54.918.071 merupakan bilangan yang paling mudah diingat berikutnya? Mengapa
bilangan pertama yaitu 89.107.145 merupakan bilangan yang paling sulit diingat atau dipelajari?
Bilangan ketiga, yaitu 17.081.945 merupakan bilangan yang paling mudah diingat hanya jika bilangan
tersebut dikaitkan dengan tanggal Kemerdekaan RI yang jatuh pada 17 Agustus 1945 (atau 17-08-1945).
Namun bilangan ketiga tersebut, yaitu 17.081.945 akan sulit diingat (dipelajari) jika bilangan itu tidak
dikaitkan dengan tanggal Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Jadi, proses pembelajaran dimana kita
dapat mengaitkan suatu pengetahuan yang baru (dalam hal ini bilangan 17.081.945) dengan
pengetahuan yang lama (dalam hal ini 17-08-1945, yaitu tanggal Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945)
seperti itulah yang disebut dengan pembelajaran bermakna dan hasilnya diharapkan akan tersimpan
lama.

Misalkan saja Anda diminta untuk membantu siswa Anda untuk mengingat bilangan

kedua, yaitu 54.918.071. Anda dapat saja meminta setiap siswa untuk mengulangulang menyebutkan
bilangan di atas sehingga mereka hafal, maka proses pembelajarannya disebut dengan belajar membeo
atau belajar hafalan seperti sudah dibahas pada bagian sebelumnya. Sebagai akibatnya, bilangan
tersebut akan cepat hilang jika tidak diulang-ulang lagi. Bagaimana proses menghafal bilangan kedua,
yaitu 54.918.071 agar menjadi bermakna? Yang perlu diperhatikan adalah adanya hubungan antara
bilangan kedua dengan bilangan ketiga. Bilangan kedua bisa didapat dari bilangan ketiga namun dengan
menuliskannya dengan urutan terbalik. Jadi, agar proses mengingat bilangan kedua dapat bermakna,
maka proses mengingat bilangan kedua (yang baru) harus dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah
dimiliki, yaitu tentang 17-08-1945 akan tetapi dengan membalik urutan penulisannya menjadi 5491-80-
71. Untuk bilangan pertama, yaitu 89.107.145. Bilangan ini hanya akan bermakna jika bilangan itu dapat
dikaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam pikiran kita.

Contohnya jika bilangan itu berkait dengan nomor telepon atau nomor lain yang dapat kita kaitkan.
Tugas guru adalah membantu memfasilitasi siswa sehingga bilangan pertama tersebut dapat dikaitkan
dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Jika seorang siswa tidak dapat mengaitkan antara
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa, maka proses pembelajarannya
disebut dengan belajar yang tidak bermakna (rote learning). Berdasar contoh di atas, dapatlah
disimpulkan bahwa suatu proses pembelajaran akan lebih mudah dipelajari dan dipahami para siswa jika
guru mampu untuk memberi kemudahan bagi siswanya sedemikian sehingga siswa dapat mengaitkan
pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Itulah inti dari belajar bermakna
(meaningful learning) yang telah digagas David P Ausubel.

Dari apa yang dipaparkan di atas jelaslah bahwa untuk dapat menguasai materi matematika, seorang
siswa harus menguasai beberapa kemampuan dasar lebih dahulu. Setelah itu, siswa harus mampu
mengaitkan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang sudah dipunyainya. Ausubel
menyatakan hal berikut sebagaimana dikutip Orton (1987:34): “If I had to reduce all of educational
psychology to just one principle, I would say this: The most important single facto influencing learning is
what the learner already knows. Ascertain this and teach him accordingly.” Jelaslah, menurut Ausubel,
bahwa pengetahuan yang sudah dimiliki siswa akan sangat menentukan berhasil tidaknya suatu proses
pembelajaran. Di samping itu, seorang guru dituntut untuk mengecek, mengingatkan kembali ataupun
memperbaiki pengetahuan prasyarat siswanya sebelum ia memulai membahas topik baru, sehingga
pengetahuan yang baru tersebut dapat berkait dengan pengetahuan yang lama yang lebih dikenal
sebagai belajar bermakna tersebut.

Kebaikan Teori belajar Ausubel

Dari uraian tentang teori belajar Ausubel di atas, dapat dikemukakan beberapa kebaikan dri teori belajar
Ausubel antara lain:

Informasi yang diperoleh dari belajar bermakna memiliki daya endap(retensi) lebih lama dibandingkan
hafalan, karena pemberian setiap konsep baru kepada siswa selalu dikaitkan dengan struktur kognitif
yang dimilikinya

Pembelajaran disekolah dapat diselenggarakan dengan efektif dan efisien

Teori belajar Ausubel menuntun guru terbiasa menyajikan materi pelajaran dari konsep yang paling
inklusif ke konsep yang kurang inklusif

KESIMPULAN

Dapat dipahami bahwa materi matematika itu tidak datang dengan sendirinya melainkan hasil temuan
para ahli matematika. Namun demikian dalam proses mengajar belajar matematika, tidak semua materi
harus dipahami siswa melalui penemuan. Siswa dapat belajar dengan penerimaan yang bermakna
asalkan siswa dapat mengkaitkan pengetahuan yang baru dipelajarinya dengan struktur yang telah
dimilikinya. Belajar seperti ini dikemukakan oleh Ausubel yang dikenal dengan teori belajar bermakna
dan pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan metode ceramah. Walaupun metode yang
digunakan metode ceramah, guru tidak perlu pesimis akan kebermaknaan materi yang disampaikan
asalkan selalu dikaitkan dengan pengetahuan yang dimiliki siswa. Dengan memakai teori belajar Ausubel
ini, guru tidak akan menganggap bahwa pengajaran dengan metode ceramah hanya akan menyebabkan
siswa akan belajar Teori belajar Ausubel menitikberatkan pada bagaimana seseorang memperoleh
pengetahuannya.
https://googleweblight.com/?lite_url=https://duniailmunailah.wordpress.com/2015/06/13/teori-belajar-
ausubel/&ei=mrEJ260r&lc=id-ID&s=1&m=100&host=www.google.co.id&ts=1519264100&sig=AOyes_S-
DKUEChD_n7O2bbekCI_ZJiQcRA

blogspot.com

Dioptimalkan 11 jam yang lalu

Lihat yang asliSegarkan

Pendidikan

Minggu, 31 Januari 2016

Belajar Bermakna (Teori David Ausubel)

BELAJAR BERMAKNA MENURUT TEORI DAVID AUSUBEL

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan. inilah yang membedakan Ausubel dari
teoriawan – teoriawan lainnya yang hanya berlatar belakang psikologi, tetapi teori – teori mereka
diterjemahkan dari dunia psikologi ke dalam penerapan pendidikan. Ausubel memberi penekanan pada
“belajar bermakna”, serata retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dengan macam belajar ini.
Dalam makalah ini akan dibahas prinsip-prinsip belajar menurut Ausubel, yaitu belajar bermakna, belajar
hafalan, peristiwa subsumsi, diferensiasi progresif, penyesuaian integratif, belajar superordinat, pengatur
awal, serta bagimana teori ini diterapkan dalam mengajar.

B.Rumusan Masalah

1. Pengertianbelajar menurut Ausubel ?

2.Menerapkan teori Ausubel dalam mengajar ?

3.Penerapan teori belajar bermakna pada matematika?

4.Jelaskan pengertian peta konsep dan cara membuat peta konsep?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:

1.Mengetahui pengertian belajar menurut Ausubel.

2.Mengetahui penerapan teori Ausubel dalam mengajar

3.Mengetahui penerapan teori belajar berrmakna pada matematika

4.Mengetahui pengertian peta konsep dan cara membuat peta konsep

BIOGRAFI TOKOH

Dalam psikologi dan pendidikan , pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu proses yang
menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan pengalaman untuk memperoleh,
meningkatkan, atau membuat perubahan pengetahuan satu, keterampilan, nilai, dan pandangan dunia.

David Paulus Ausubel (25 Oktober 1918 - 9 Juli 2008) seorang psikolog Amerika lahir di Brooklyn,New
York, belajar di University of Pennsylvania. Salah satu kontribusi paling signifikan untuk bidang
pendidikan psikologi ilmu kognitif dan pendidikan sains adalah pengembangan pembelajaran dan
penelitian pada advance organizers (sejak 1960). Dia pensiun dari akademisi pada tahun 1973 dan
mengabdikan dirinya kepada praktek psikiatri. kemudian pensiun dari kehidupan profesional pada tahun
1994 untuk mengabdikan diri penuh, pada usia 75 tahun, untuk menulis dan empat buku dihasilkan. Dr
Ausubel meninggal pada 9 Juli 2008.

BAB II

PEMBAHASAN

A.Belajar Menurut Ausubel


Menurut Ausubel, belajar dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi, seperti yang dinyatakan oleh
Gambar 8.1. Dimensi pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang disajikan
pada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua menyangkut cara bagaimana cara siswa
dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Struktur utama ialah fakta, konsep,
dan generalisasi yang telah dipelajari dan diingat oleh siswa.

Pada tingkat pertama dalam belajar, informasi dapat dikomunikasikan pada siswa dalam bentuk belajar
penerimaan yang menyajikan informasi itu dalam bentuk final ataupun dalam bentuk belajar penemuan
yang mengharuskan siswa untuk menemukan sendiri sebagian atau seluruh materi yang akan diajarkan.
Dalam tingkat kedua, siswa menghubungkan atau mengaitkan informasi itu pada pengetahuan (berupa
konsep atau lainnya) yang telah dimilikinya; dalam hal ini terjadi belajar bermakna.

Kedua dimensi, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna tidak menunjukkan dikotomi


sederhana, melainkan merupakan suatu kontinum. Kedua kontinum itu diperhatikan pada Gambar 8.2.

Sepanjang kontinum (mendatar) terdapat dari kiri dan kanan berkurangnaya belajar penerimaan dan
bertambahnya belajjar penemuan, sedangkan sepanjang kontinum (vertikal) terdapat dari bawah keatas
berkurangnya belajar hafalan dan bertambahnya belajar bermakna.

1.Belajar Bermakna (Meaningful Learning)

Inti teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna (Ausubel, 1968). Bagi Ausubel, belajar
bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep yang relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dalam berlangsungnya belajar,dihasilkan perubahan-
perubahan dalam sel-sel otak, terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan
informasi yang sedang dipelajari. Berikut Gambar yang menunjukkan bagaimana terkaitnya informasi
baru pada susunan sel dalam otak.

Peristiwa psikologi tentang belajar bermakna menyangkut asimilasi informasi baru pada pengetahuan
yang telah ada dalam struktur kognitif seseorang. Jadi, dalam belajar bermakna, informasi baru
diasimilasikan pada subsumer-subsumer relevan yang telah adadalam struktur kognitif.

Dari Mana Datangnya Subsumer?

Bila menginginkan belajar bermakna seperti yang dikemukakan oleh Ausubel dan bila belajar bermakna
memerlukan konsep-konsep relevan dalam struktur kognitif yang disebut subsumer itu; mungkin itu
timbul pertanyaan: “Dari mana datangnya subsumer itu?”

Pada anak-anak, pembentukan konsep merupakan proses utama untuk memperoleh konsep-konsep.
Pembentukan konsep adalah semacam belajar penemuan yang menyangkut baik pembentukan hipotesis
dan pengujian hiotesis maupun pembentukan generalisasi hal-hal yang khusus.

2. Belajar Hafalan (Rote Learning)


Bila dalam struktur kognitif seseorang tidak terdapat konsep-konsep relevan atau subsumer-subsumer
relevan, informasi baru dipelajari secara hafalan. Bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk
mengasimilasikan pengetahuan baru pada konsep-konsep relevan yang sudah ada dalam struktur
kognitif, akan terjadi proses hafalan.

3. Subsumsi-subsumsi Obileratif

Subsumer memegang peranan dalam proses perolehan informasi baru. Dalam belajar bermakna,
subsumer mempunyai peranan interaktif, memperlancar garakan informasi yang relevan melalui
penghalang-penghalang perseptual dan menyediakan suatu kaitan antara informasi yang baru diterima
dan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Proses interaktif antara materi yang baru dipelajari
dengan subsumer-subsumer inilah yag menjadi inti teor belajar asimilasi Ausubel. Proses ini disebut
proses subsumsi dan secara sistematis dinyatakan sebagai berikut:

Keterangan

A= subsumer

A' = subsumer

A' dan A''= subsumer yang lebih banyak mengalami modifikasi

a1= informasi baru yang mirip dengan subsumer A. Demikian pula a2dan a3

a1', a2'dan a3'= pengetahuan baru yang telah tersubsumsi

Informasi yang dipelajari secara bermakna biasanya lebih lama diingat daripada informasi yang dipelajari
secara hafalan, tetapi adakalanya unsur-unsur yang telah tersubsumsi(yaitu dan ) tidak dapat dikeluarkan
lagi dari memori, jadi sudah dilupakan. Menurut Ausubel, terjadi subsumsi obliteratif (subsumsi yang
telah dirusak). Peristiwa subsumsi obliteratif dapat diperhatikan sebagai berikut:

Dari rumus diatas terlihat bahwa unsur sesudah waktu=4 telah dilupakan, pada waktu=5 unsur sesudah
waktu=6 unsur ikut dilupakan. Jadi, sesudah waktu=6 tinggallah subsuer yang merupakan subsumer yang
telah mengalami modifikasi yang disebabkan karena beberapa pengalaman belajar bermakna
sebelumnya.

Menurut Ausubel dan juga Novak (1977), ada tiga kebaikan dari belajar bermakna, yaitu:

a.Informasi yang dpelajari secara bermakna lebih lama dapat diingat.

b.Informasi yang tersubsumsi berakibatkan peningkatan diferensiasi dari subsumer-subsumer, jadi


memudahkan proses belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.

c.Informasi yang dilupakan sesudah subsumsi obliteratif meninggalkan efek residual pada subsumer
sehingga mempermudah belajar hal-hal yang mirip, walaupun telah terjadi “lupa”.
4. Variabel yang Mempengaruhi Belajar Penerimaan Bermakna

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel (1963) ialah struktur
kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada
waktu tertentu. Sifat-sifat struktur kognitif menentukan validitas dan penjelasan arti-arti yang timbul saat
informasi baru masuk ke dalam struktr kognitif itu, demikian pula sifat proses interaksi yang terjadi. Jika
struktur kognitif itu stabil, jelas, dan diatur dengan baik, arti-arti yang sahih dan jelas atau tidak
meragukan akan timbul dan cenderung bertahan. Akan tetapi sebaliknya, jika struktur kognitif itu tidak
stabil, meragukan, dan tidak teratur, struktur kognitif itu cenderung menghambat belajar dan retensi.

Prasyarat-prasyarat belajar bermakna adalah sebagai berikut:

a.Materi yang akan dipelajari harus bermakna secara potensial.

b.Anak yang akan belajar atau siswa harus bertujuan untuk melakasanakan belajar bermakna.

Kebermaknaaan materi pelajaran secara potensial bergantung pada dua faktor, yaitu sebagai berikut:

a.Materi itu harus memiliki kebermaknaan logis.

b.Gagasan-gagasan yang relevan harus terdapat dalam struktur kognitif siswa.

Materi yang memiliki kebermaknaan logis merupakan materi yang nonarbitrer dan substantif. Materi
yang non arbitrer ialah materi yang serupa dengan apa yang telah diketahui. Sebagai contoh, anak yang
sudah mempelajari konsep-konsep segiemat dan bujur sangkar dapat memasukkan kedua konsep ini
secara nonarbitrer kedalam klasifikasi yang lebih luas, yaitu kuadrilateral (persegi empat) sebab konsep
segi empat dan bujur sangkar yang sudah dipelajari.

Aspek kedua kebermaknaan potensial ialah bahwa dalam struktur kognitif siswa harus ada gagasan yang
relevan. Dalam hal ini kita harus memperhatikan pengalaman anak-anak, tingkat perkembangan mereka,
itelegensi, dan usia. Isi pelajaran harus dipelajari secara hafalan bila anak-anak itu tidak mempunyai
pengalaman yang diperlukan mereka untuk mengaitkan atau menghubungkan isi pelajaran itu.

Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses
belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa
diajak beraktivitas, dilibatkan langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep, demonstrasi,
diagram dan ilustrasi.

Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:

1. Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya
dengan materi pelajaran yang dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia
pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan yang sudah ada.
2. Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang dipelajari ditemukan sendiri
oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.

3. Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang telah tersusun secara logis
disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan
pengetahuan yang ia miliki.

4. Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi pelajaran yang telah tersusun
secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu
dihafalkan tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.

Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah suatu proses belajar di
mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya
dan agar pembelajaran bermakna, diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat
pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi
oleh motivasi.

Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan bahan ajar yang diterima atau
yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan
(discovery learning) lebih bermakna daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning).

B.Menerapkan Teori Ausubel dalam Mengajar

Untuk dapat menerapkan teori Ausubel dalam mengajar, sebaiknyalah kita perhatikan apa yang
dikemukakan oleh Ausubel dalm bukunya yang berjudul Educational Psychology A Cognitive View,
pernyataan itu berbunyi:

“ The most important single factor influencing learning is what the learner already knows. Ascertain this
and teach him accordingly.” (Ausubel, 1968)

Atau yang berarti sebagai berikut:

“ Faktor terpenting yang mempengaruhi belajar ialah apa yang telah diketahui siswa. Yakinilah hal ini dan
ajarlah ia demikian.”

Pernyataan Ausubel inilah yang menjadi inti teori belajarnya. Jadi, agar terjadi belajar bermakna, konsep
baru atau informasi baru harus dikaitkan deengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif
siswa. Dalam menerapkan teori Ausubel ada beberapa konsep atau prinsip yang perlu diperhatikan:

1.Pengatur awal

2.Diferensiasi progresif

3.Belajar Superordinat

4.Penyesuaian integratif
Konsep atau prinsip berdasarkan Teori Ausubel

1.Pengatur Awal (Advance Organizer)

David Ausubel (1960,1963) memperkenalkan konsep pengatur awal dalam teorinya. Pengatur awal
mengarahkan para siswa ke materi yang akan mereka pelajari dan menolong mereka untuk mengingat
kembali informasi yang berhubungan yang dapat digunakan dalam membantu menanamkan
pengetahuan baru.

2. Diferensiasi Progresif

Menurut Ausubel, pengembangan konsep berlangsung paling baik jika unsur-unsur yang paling umum,
paling inklusif suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, kemudian baru diberikan hal-hal yang paling
mendetail dan lebih khusus dari konsep itu. Dengan perkataan lain, model belajar menurut Ausubel pada
umumnya berlangsung dari umum ke khusus.

Yang dimaksud diferensiasi progresif adalah proses penyusunan konsep dengan cara mengajarkan
konsep yang paling inklusif, kemudian konsep kurang inklusif, dan terakhir adalah hal-hal yang paling
khusus.

Menurut Novak (1977), dalam menyusun kurikulum yang baik, mula-mula diperlukan analisis konsep
dalam suatu bidang studi, kemudian diperhatikan hubungan-hubungan tertentu antara konsep-konsep
ini sehingga dapat diketahui konsep yang paling umum dan superordinat dan konsep yang lebih khusus
dan subordinat.

3. Belajar Superordinat

Belajar superordinat terjadi bila konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-
unsur suatu konsep yang lebih luas, lebih inklusif. Mungkin belajar superordinat tidak biasa terjadi di
sekolah sebab sebagian besar guru dan buku teks mulai dengan konsep-konsep yang lebih inklusf, tetapi
kerap kali mereka gagal untuk memperlihatkan secara eksplisit hubungan-hubungan pada konsep-konsep
inklusif ini saat di kemudian hari disajikan konsep-konsep khusus subordinat.

5.Penyesuaian Integratif

Terkadang seorang siswa dihadapkan pada suatu kenyataan yang disebut pertentangan kognitif
(cognitive dissonance). Hal ini terjadi bila dua atau lebih nama konsep digunakan untuk menyatakan
konsep-konsep yang sama atau bila nama yang sama diterapkan pada lebih dari konsep. Misalnya, buah
ialah nama konsep untuk suatu konsep gizi, dan juga untuk konsep botani.

Untuk mengatasi atau mengurangi sedapat mungkin pertentangan kognitif ini Ausubel menyarankan
suatu prinsip lain yaitu yang dikenal dengan prinsip penyesuaian integrative atau rekonsiliasi integrative.

Menurutnya, dalam mengajar bukan hanya urutan menurut diferensiasi progresif yang diperhatikan,
melainkan juga harus memperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan pada konsep-
konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisit bagaimana arti-arti baru dibandingkan
dan dipetentangkan denagn arti-arti sebelumnyayang lebih sempit dan bagaimana konsep-konsep yang
tingkatnya lebih tinggi sekarang mengambil arti baru.

Untuk mencapai penyesuaian integratif, materi pelajaran hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga
kita menggerakkan hierarki-hierarki konseptual “ke atas dan ke bawah” selama informasi disajikan.

C.ImplikasiTeoriBelajarBermakna pada Matematika

Perhatikan tiga bilangan berikut !

(1) 89.107.145

(2) 54.918.071

(3) 17.081.945.

Pertanyaannya:

vManakah bilangan yang paling mudah dan paling sulit diingat siswa?

vApakah untuk dapat mengingat bilangan-bilangan di atas perlu dikaitkan dengan hal tertentu yang
sudah dimengerti siswa?

vBagaimana merancang pembelajaran matematika yang bermakna?

Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan adalah : Mengapa bagi sebagian siswa di Indonesia, bilangan
ketiga, yaitu 17.081.945, merupakan bilangan yang paling mudah diingat? Mengapa bilangan kedua yaitu
54.918.071 merupakan bilangan yang paling mudah diingat berikutnya? Mengapa bilangan pertama
yaitu 89.107.145 merupakan bilangan yang paling sulit diingat atau dipelajari?

googleweblight.com/?lite_url=http://sitilailatuljannah.blogspot.com/2016/01/belajar-bermakna-teori-
david-ausubel.html?m%3D1&ei=1u9WejwF&lc=id-
ID&s=1&m=100&host=www.google.co.id&ts=1519264100&sig=AOyes_Q6F79vWu8IM8BRZeS2T-
dowqTfoQ
wordpress.com

Dioptimalkan 11 menit yang lalu

Lihat yang asliSegarkan

Cari

Cari

Bangkititahermawati's Blog

Belajar Lebih Baik

Iklan

Report this ad

PEMBELAJARAN INQUIRY DAN DISCOVERY

PEMBELAJARAN INQUIRY DAN DISCOVERY

Tujuan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam GBHN adalah pembangunan manusia
seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan
tidak hanya mengejar kepuasan lahiriah saja seperti sandang, pangan, papan, dan kesehatan saja
ataupun mengejar kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat
yang bertanggung jawab dan rasa keadilan saja, melainkan antara pembangunan lahiriah dan batiniah
tersebut haruslah berjalan seiring secara serasi.
Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional seperti yang tercantum di atas, maka sudah barang
tentu akan sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Dalam hal ini pendidikan
merupakan salah satu sarana untuk menciptakan sumber daya – sumber daya manusia yang berkualitas
tersebut.

Pendidikan sangat penting dalam kehidupan dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan. Sifatnya mutlak
dalam kehidupan, baik dalam kehidupan seseorang, keluarga, maupun bangsa dan Negara. Maju
mundurnya suatu bangsa banyak ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan bangsa itu (Sudirman N,
dkk, 1992 : 3).

Tujuan pendidikan dan pengajaran di Indonesia berlandaskan pada falsafah hidup bangsa, yaitu
Pancasila. Bila kita kaji lebih jauh lagi apa yang diuraikan dalam Pasal 4 UUSPN No. 2 tahun 1989, maka
kita dapat mengetahui apa yang menjadi tujuan pendidikan di Indonesia dimana Pendidikan Nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu
manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri
serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Untuk mecapai tujuan pendidikan nasional tersebut, guru sebagai ujung tombak pelaksana pendidikan di
lapangan sangat menentukan keberhasilannya. Dalam hal ini guru dapat dikatakan sebagai pemegang
peranan utama dalam proses pendidikan yang tercermin dalam proses belajar-mengajar di sekolah.

Dalam proses belajar-mengajar melibatkan banyak factor. Dapat dijelaskan bahwa masukan (raw input)
yang merupakan bahan dasar diberikan pengalaman belajar tertentu dalam proses belajar-mengajar,
dengan harapan dapat berubah menjadi keluaran (expected) input) yang berupa hasil belajar yang
diharapkan. Dalam proses belajar-mengajar diharapkan pula sejumlah factor sarana dan factor
lingkungan guna menunjang tercapainya keluaran yang dikehendaki.

Pada saat proses belajar–mengajar berlangsung di kelas, akan terjadi hubungan timbal balik antara guru
dan siswa yang beraneka ragam, dan itu akan mengakibatkan terbatasnya waktu guru untuk mengontrol
bagaimana pengaruh tingkah lakunya terhadap motivasi belajar siswa. Selama pelajaran berlangsung
guru sulit menentukan tingkah laku mana yang berpengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa,
misalnya gaya mengajar mana yang memberi kesan positif pada diri siswa selama ini, strategi mana yang
dapat membantu kejelasan konsep selama ini, media dan metode mana yang tepat untuk dipakai dalam
menyajikan suatu bahan sehingga dapat membantu mengaktifkan siswa dalam belajar.

Hal tersebut memperkuat anggapan bahwa guru dituntut untuk lebih kreatif dalam proses belajar –
mengajar, sehingga tercipta suasana belajar yang menyenangkan pada diri siswa yang pada akhirnya
meningkatkan motivasi belajar siswa.
Selanjutnya Djamarah Syaiful Bahri (2005) mengatakan bahwa kedudukan metode sebagai alat motivasi
ekstrinsik dalam kegiatan belajar–mengajar hendaknya dipahami benar oleh guru. Motivasi ekstrinsik
adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi, karena ada perangsang dari luar. Sehingga metode dalam
hal ini berkedudukan sebagai alat untuk meningkatkan minat belajar siswa dari luar. Dalam
menyampaikan suatu bahan pelajaran, guru harus mampu melakukan pengorganisasian terhadap
seluruh komponen pelajaran, yang salah satunya adalah metode mengajar.

Syaiful bahri Djamarah, (1991) mengemukakan pendapatnya mengenai metode memgajar sebagai
berikut : “Metode adalah salah satu cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar metode sangat diperlukan oleh setiap guru yang
penggunaannya sangat bervariasi sesuai dengan karakteristik tujuan yang ingin dicapai setelah
pembelajaran berakhir. Seorang guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya bila tidak memguasai satu
pun metode mengajar yang telah dirumuskan oleh para ahli psikologi pendidikan”.

Pendapat terserbut didukung oleh Karo-karo Ing S. Ulih Bukit (1975) yang mengemukakan bahwa
metode mengajar ialah suatu cara tau jalan yang berfungsi sebagai alat yang digunakan dalam
pengajaran untuk mencapai tujuan pengajaran.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa metode mengajar merupakan suatu teknik atau cara yang
ditempuh guru dalam menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dan melibatkan interaksi yang aktif
dan dinamis antara guru dan siswa, sehingga tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai secara
efektif dan efisien.

Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)

Metode penemuan adalah cara penyajian pelajaran yang banyak melibatkan siswa dalam proses-proses
mental dalam rangka penemuannya.Menurut Sund (Sudirman N, 1992 ), discovery adalah proses mental,
dan dalam proses itu individu mengasimilasi konsep dan prinsip-prinsip.

Istilah asing yang sering digunakan untuk metode ini ialah discovery yang berarti penemuan, atau
inquiryyang berarti mencari. Mengenai penggunaan istilah discovery dan inquiry para ahli terbagi ke
dalam dua pendapat, yaitu :

Istilah-istilah discovery dan inquiry dapat diartikan dengan maksud yang sama dan digunakan saling
bergantian atau keduanya sekaligus.

Istilah discovery, sekalipun secara umum menunjuk kepada pengertian yang sama dengan inquiry, pada
hakikatnya mengandung perbedaan dengan inquiry.
Moh. Amin (Sudirman N, 1992 ) menjelaskan bahwa pengajaran discoveryharus meliputi pengalaman-
pengalaman belajar untuk menjamin siswa dapat mengembangkan proses-proses discovery. Inquiry
dibentuk dan meliputi discovery dan lebih banyak lagi. Dengan kata lain, inquiry adalah suatu perluasan
proses-proses discovery yang digunakan dalam cara lebih dewasa. Sebagai tambahan pada proses-proses
discovery, inquiry mengandung proses-proses mental yang lebih tinggi tingkatannya, misalnya
merumuskan problema sendiri, merancang eksperimen, melakukan eksperimen, mengumpulkan dan
menganalisis data, menarik kesimpulan, mempunyai sikap-sikap obyektif, jujur, hasrat ingin tahu,
terbuka, dan sebagainya.

Mengenai kelebihan dan kekurangan metode penemuan/discovery-inquiry diuraikan oleh Sudirman N,


dkk (1992) sebagai berikut :

Kelebihan metode penemuan/discovery-inquiry :

Strategi pengajaran menjadi berubah dari yang bersifat penyajian informasi oleh guru kepada siswa
sebagai penerima informasi yang baik tetapi proses mentalnya berkadar rendah, menjadi pengajaran
yang menekankan kepada proses pengolahan informasi di mana siswa yang aktif mencari dan mengolah
sendiri informasi yang kadar proses mentalnya lebih tinggi atau lebih banyak.

Siswa akan mengerti konsep-konsep dasar atau ide lebih baik.

Membantu siswa dalam menggunakan ingatan dan dalam rangka transfer kepada siutuasi-situasi proses
belajar yang baru.

Mendorong siswa untuk berfikur dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.

Memungkinkan siswa belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar yang tida hanya
menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar.

Metode ini dapat memperkaya dan memperdalam materi yang dipelajari sehingga retensinya 9tahan
lama dalam ingatan) menjadi lebih baik.

Kekurangan metode penemuan/discovery-inquiry :

Memerlukan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi dari guru apa adanya, ke
arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan mencari dan mengolah informasi sendiri.
Mengubah kebiasaan bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi kebiasaan yang telah bertahun-tahun
dilakukan.
Guru dituntut mengubah kebiasaan mengajar yang umumnya sebagai pemberi informasi menjadi
fasilitator, motivator, dan pembimbing siswa dalam belajar. Inipun bukan pekerjaan yang mudah karena
umumnya guru merasa belum puas kalau tidak banyak menyajikan informasi (ceramah).

Metode ini memberikan kebebasan pada siswa dalam belajar, tetapi tidak berarti menjamin bahwa siswa
belajar dengan tekun, penuh aktivitas, dan terarah.

Cara belajar siswa dalam metode ini menuntut bimbingan guru yang lebih baik. Dalam kondisi siswa
banyak (kelas besar) dan guru terbatas, agaknya metode ini sulit terlaksana dengan baik.

Jenis-Jenis Metode Penemuan (Discovery-Inquiry)

Moh. Amin (Sudirman N, 1992) menguraikan tentang tujuh jenis inquiry-discovery yang dapat diikuti
sebagai berikut :

Guided Discovery-Inquiry Lab. Lesson

Sebagian perencanaan dibuat oleh guru. Selain itu guru menyediakan kesempatan bimbingan atau
petunjuk yang cukup luas kepada siswa. Dalam hal ini siswa tidak merumuskan problema, sementara
petunjuk yang cukup luas tentang bagaimana menyusun dan mencatat diberikan oleh guru.

Modified Discovery-Inquiry

Guru hanya memberikan problema saja. Biasanya disediakan pula bahan atau alat-alat yang diperlukan,
kemudian siswa diundang untuk memecahkannya melalui pengamatan, eksplorasi dan atau melalui
prosedur penelitian untuk memperoleh jawabannya. Pemecahan masalah dilakukan atas inisiatif dan
caranya sendiri secara berkelompok atau perseorangan. Guru berperan sebagai pendorong, nara sumber,
dan memberikan bantuan yang diperlukan untuk menjamin kelancaran proses belajar siswa.

Free Inquiry

Kegiatan free inquiry dilakukan setelah siswa mempelajarai dan mengerti bagaimana memecahkan suatu
problema dan telah memperoleh pengetahuan cukup tentang bidang studi tertentu serta telah
melakukan modified discovery-inquiry. Dalam metode ini siswa harus mengidentifikasi dan merumuskan
macam problema yang akan dipelajari atau dipecahkan.

Invitation Into Inquiry


Siswa dilibatkan dalam proses pemecahan problema sebagaimana cara-cara yang lazim diikuti scientist.
Suatu undangan (invitation) memberikan suatu problema kepada siswa, dan melalui pertanyaan masalah
yang telah direncanakan dengan hati-hati mengundang siswa untuk melakukan beberapa kegiatan atau
kalau mungkin, semua kegiatan sebagai berikut : merancang eksperimen, merumuskan hipotesis,
menetapkan kontrol, menentukan sebab akibat, menginterpretasi datadan membuat grafik

Inquiry Role Approach

Inquiry Role Approach

merupakan kegiatan proses belajar yang melibatkan siswa dalam tim-tim yang masing-masing terdiri tas
empat anggota untuk memecahkan invitation into inquiry. Masing-masing anggota tim diberi tugas suatu
peranan yang berbeda-beda sebagai berikut : koodinator tim, penasihat teknis, pencatat data dan
evaluator proses

Pictorial Riddle

Pendekatan dengan menggunakan pictorial riddle adalah salah satu teknik atau metode untuk
mengembangkan motivasi dan minat siswa di dalam diskusi kelompok kecil maupun besar. Gambar atau
peragaan, peragaan, atau situasi yang sesungguhnya dapat digunakan untuk meningkatkan cara berfikir
kritis dan kreatif siswa. Suatu ridlle biasanya berupa gambar di papan tulis, papan poster, atau
diproyeksikan dari suatu trasparansi, kemudian guru mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan
ridlle itu.

Synectics Lesson

Pada dasarnya syntetics memusatkan pada keterlibatan siswa untyuk membuat berbagai macam bentuk
metafora (kiasan) supaya dapat membuka intelegensinya dan mengembangkan kreativitasnya. Hal ini
dapat dilaksankan karena metafora dapat membantu dalam melepaskan “ikatan struktur mental” yang
melekat kuat dalam memandang suatu problema sehingga dapat menunjang timbulnya ide-ide kreatif.

A. PENGERTIAN

Salah satu metode pembelajaran dalam bidang Sains, yang sampai sekarang masih tetap dianggap
sebagai metode yang cukup efektif adalah metode inquiry. David L. Haury dalam artikelnya, Teaching
Science Through Inquiry (1993) mengutip definisi yang diberikan oleh Alfred Novak: inquiry merupakan
tingkah laku yang terlibat dalam usaha manusia untuk menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena
yang memancing rasa ingin tahu. Dengan kata lain, inquiry berkaitan dengan aktivitas dan keterampilan
aktif yang fokus pada pencarian pengetahuan atau pemahaman untuk memuaskan rasa ingin tahu
(Haury, 1993).

Alasan rasional penggunaan metode inquiry adalah bahwa siswa akan mendapatkan pemahaman yang
lebih baik mengenai Sains dan akan lebih tertarik terhadap Sains jika mereka dilibatkan secara aktif
dalam “melakukan” Sains. Investigasi yang dilakukan oleh siswa merupakan tulang punggung metode
inquiry. Investigasi ini difokuskan untuk memahami konsep-konsep Sains dan meningkatkan keterampilan
proses berpikir ilmiah siswa. Diyakini bahwa pemahaman konsep merupakan hasil dari proses berfikir
ilmiah tersebut (Blosser, 1990).

Metode inquiry yang mensyaratkan keterlibatan aktif siswa terbukti dapat meningkatkan prestasi belajar
dan sikap anak terhadap Sains dan Matematika (Haury, 1993). Dalam makalahnya Haury menyatakan
bahwa metode inquiry membantu perkembangan antara lain scientific literacy dan pemahaman proses-
proses ilmiah, pengetahuan vocabulary dan pemahaman konsep, berpikir kritis, dan bersikap positif.
Dapat disebutkan bahwa metode inquiry tidak saja meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep-
konsep dalam Sains saja, melainkan juga membentuk sikap keilmiahan dalam diri siswa.

Metode inquiry merupakan metode pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasar berfikir
ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri,
mengembangkan kreativitas dalam memecahkan masalah. Siswa benar-benar ditempatkan sebagai
subjek yang belajar. Peranan guru dalam pembelajaran dengan metode inquiry adalah sebagai
pembimbing dan fasilitator. Tugas guru adalah memilih masalah yang perlu disampaikan kepada kelas
untuk dipecahkan. Namun dimungkinkan juga bahwa masalah yang akan dipecahkan dipilih oleh siswa.
Tugas guru selanjutnya adalah menyediakan sumber belajar bagi siswa dalam rangka memecahkan
masalah. Bimbingan dan pengawasan guru masih diperlukan, tetapi intervensi terhadap kegiatan siswa
dalam pemecahan masalah harus dikurangi (Sagala, 2004).

Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran inquiry sangat beragam, tergantung pada
situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry
memiliki 5 komponen yang umum yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction,
Performance Evaluation, dan Variety of Resources (Garton, 2005).

Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa
ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenomena. Siswa diberi kesempatan untuk
bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang akan dipecahkan oleh siswa.
Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa.
Untuk menjawab pertanyaan ini – sesuai dengan Taxonomy Bloom – siswa dituntut untuk melakukan
beberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaan inti tidak dapat
ditemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibuat atau dikonstruksi.

Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa merupakan suatu keharusan
sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa bukan secara pasif menuliskan jawaban
pertanyaan pada kolom isian atau menjawab soal-soal pada akhir bab sebuah buku, melainkan dituntut
terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep yang
dipelajari atau dalam melakukan sebuah investigasi.

Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berpasangan atau dalam kelompok,
dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari
permasalahan yang diajukan guru dapat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua
jawaban benar.

Performance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa diminta untuk membuat
sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang
dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide presentasi, grafik, poster, karangan, dan lain-lain.
Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi.

Variety of Resources.Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber belajar, misalnya buku teks,
website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli, dan lain sebagainya.

B. Teori – teori Motivasi

Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi
seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang dibandingkan
dengan mesin dan kemudi pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang
motivasi. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-
faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan
(need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984). Dengan pengertian
istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang
memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa.

Secara umum, teori-teori tentang motivasi dapat dikelompokkan berdasarkan sudut pandangnya, yaitu
behavioral, cognitive, psychoanalytic, humanistic, social learning, dan social cognition.

1. Teori-teori Behavioral

Robert M. Yerkes dan J.D. Dodson, pada tahun 1908 menyampaikan Optimal Arousal Theory atau teori
tentang tingkat motivasi optimal, yang menggambarkan hubungan empiris antara rangsangan (arousal)
dan kinerja (performance). Teori ini menyatakan bahwa kinerja meningkat sesuai dengan rangsangan
tetapi hanya sampai pada titik tertentu; ketika tingkat rangsangan menjadi terlalu tinggi, kinerja justru
menurun, sehingga disimpulkan terdapat rangsangan optimal untuk suatu aktivitas tertentu (Yerkes &
Dodson, 1908).

Pada tahun 1943, Clark Hull mengemukakan Drive Reduction Theory yang menyatakan bahwa kebutuhan
biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh
kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajar pun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan
biologis, walaupun respon yang muncul mungkin bermacam-macam bentuknya (Budiningsih, 2005).
Masih menurut Hull, suatu kebutuhan biologis pada makhluk hidup menghasilkan suatu dorongan (drive)
untuk melakukan aktivitas memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga meningkatkan kemungkinan bahwa
makhluk hidup ini akan melakukan respon berupa reduksi kebutuhan (need reduction response).
Menurut teori Hull, dorongan (motivators of performance) dan reinforcement bekerja bersama-sama
untuk membantu makhluk hidup mendapatkan respon yang sesuai (Wortman, 2004). Lebih jauh Hull
merumuskan teorinya dalam bentuk persamaan matematis antara drive (energi) dan habit (arah) sebagai
penentu dari behaviour (perilaku) dalam bentuk:

Behaviour = Drive × Habit

Karena hubungan dalam persamaan tersebut berbentuk perkalian, maka ketika drive = 0, makhluk hidup
tidak akan bereaksi sama sekali, walaupun habit yang diberikan sangat kuat dan jelas (Berliner & Calfee,
1996).
Pada periode 1935 – 1960, Kurt Lewin mengajukan Field Theory yang dipengaruhi oleh prinsip dasar
psikologi Gestalt. Lewin menyatakan bahwa perilaku ditentukan baik oleh person (P) maupun oleh
environment (E):

Behaviour = f(P, E)

Menurut Lewin, besar gaya motivasional pada seseorang untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai
dengan lingkungannya ditentukan oleh tiga faktor: tension (t) atau besar kecilnya kebutuhan, valensi (G )
atau sifat objek tujuan, dan jarak psikologis orang tersebut dari tujuan (e).

Force = f(t, G)/e

Dalam persamaan Lewin di atas, jarak psikologis berbanding terbalik dengan besar gaya (motivasi),
sehingga semakin dekat seseorang dengan tujuannya, semakin besar gaya motivasinya. Sebagai contoh,
seorang pelari yang sudah kelelahan melakukan sprint ketika ia melihat atau mendekati garis finish. Teori
Lewin memandang motivasi sebagai tension yang menggerakkan seseorang untuk mencapai tujuannya
dari jarak psikologis yang bervariasi (Berliner & Calfee, 1996).

2. Teori-teori Cognitive

Pada tahun 1957 Leon Festinger mengajukan Cognitive Dissonance Theory yang menyatakan jika
terdapat ketidakcocokan antara dua keyakinan, dua tindakan, atau antara keyakinan dan tindakan, maka
kita akan bereaksi untuk menyelesaikan konflik dan ketidakcocokan ini. Implikasi dari hal ini adalah
bahwa jika kita dapat menciptakan ketidakcocokan dalam jumlah tertentu, ini akan menyebabkan
seseorang mengubah perilakunya, yang kemudian mengubah pola pikirnya, dan selanjutnya mengubah
lebih jauh perilakunya (Huitt, 2001).

Teori kedua yang termasuk dalam teori-teori cognitive adalah Atribution Theory yang dikemukakan oleh
Fritz Heider (1958), Harold Kelley (1967, 1971), dan Bernard Weiner (1985, 1986). Teori ini menyatakan
bahwa setiap individu mencoba menjelaskan kesuksesan atau kegagalan diri sendiri atau orang lain
dengan cara menawarkan attribut-atribut tertentu. Atribut ini dapat bersifat internal maupun eksternal
dan terkontrol maupun yang tidak terkontrol seperti tampak pada diagram berikut.
Internal Eksternal

Tidak terkontrol Kemampuan (ability) Keberuntungan (luck)

Terkontrol Usaha (effort) Tingkat kesulitan tugas

Dalam sebuah pembelajaran, sangat penting untuk membantu siswa mengembangkan atribut-diri usaha
(internal, terkontrol). Jika siswa memiliki atribut kemampuan (internal, tak terkontrol), maka begitu siswa
mengalami kesulitan dalam belajar, siswa akan menunjukkan perilaku belajar yang melemah (Huitt,
2001).

Pada tahun 1964, Vroom mengajukan Expectancy Theoryyang secara matematis dituliskan dalam
persamaan:

Motivation = Perasaan berpeluang sukses (expectancy) × Hubungan antara sukses dan reward
(instrumentality) × Nilai dari tujuan (Value)

Karena dalam rumus ini yang digunakan adalah perkalian dari tiga variabel, maka jika salah satu variabel
rendah, motivasi juga akan rendah. Oleh karena itu, ketiga variabel tersebut harus selalu ada supaya
terdapat motivasi. Dengan kata lain, jika seseorang merasa tidak percaya bahwa ia dapat sukses pada
suatu proses belajar atau ia tidak melihat hubungan antara aktivitasnya dengan kesuksesan atau ia tidak
menganggap tujuan belajar yang dicapainya bernilai, maka kecil kemungkinan bahwa ia akan terlibat
dalam aktivitas belajar.

3. Teori-teori Psychoanalytic

Salah satu teori yang sangat terkenal dalam kelompok teori ini adalah Psychoanalytic Theory
(Psychosexual Theory) yang dikemukakan oleh Freud (1856 – 1939) yang menyatakan bahwa semua
tindakan atau perilaku merupakan hasil dari naluri (instinct) biologis internal yang terdiri dari dua
kategori, yaitu hidup (sexual) dan mati (aggression). Erik Erikson yang merupakan murid Freud yang
menentang pendapat Freud, menyatakan dalam Theory of Socioemotional Development (atau
Psychosocial Theory) bahwa yang paling mendorong perilaku manusia dan pengembangan pribadi
adalah interaksi sosial (Huitt, 1997).
4. Teori-teori Humanistic

Teori yang sangat berpengaruh dalam teori humanistic ini adalah Theory of Human Motivation yang
dikembangkan oleh Abraham Maslow (1954). Maslow mengemukakan gagasan hirarki kebutuhan
manusia, yang terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deficiency needs dan growth needs. Deficiency
needs meliputi (dari urutan paling bawah) kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman, kebutuhan akan
cinta dan rasa memiliki, dan kebutuhan akan penghargaan. Dalam deficiency needs ini, kebutuhan yang
lebih bawah harus dipenuhi lebih dulu sebelum ke kebutuhan di level berikutnya. Growth needs meliputi
kebutuhan kognitif, kebutuhan estetik, kebutuhan aktualisasi diri, dan kebutuhan self-transcendence.
Menurut Maslow, manusia hanya dapat bergerak ke growth needs jika dan hanya jika deficiency needs
sudah terpenuhi. Hirarki kebutuhan Maslow merupakan cara yang menarik untuk melihat hubungan
antara motif manusia dan kesempatan yang disediakan oleh lingkungan (Atkinson, 1983).

Teori Maslow mendorong penelitian-penelitian lebih lanjut yang mencoba mengembangkan sebuah teori
tentang motivasi yang memasukkan semua faktor yang mempengaruhi motivasi ke dalam satu model
(Grand Theory of Motivation), misalnya seperti yang diusulkan oleh Leonard, Beauvais, dan Scholl (1995).
Menurut model ini, terdapat 5 faktor yang merupakan sumber motivasi, yaitu 1)instrumental motivation
(reward dan punishment), 2)Intrinsic Process Motivation (kegembiraan, senang, kenikmatan), 3)Goal
Internalization (nilai-nilai tujuan), 4)Internal Self-Concept yang didasarkan pada motivasi, dan 5) External
Self-Concept yang didasarkan pada motivasi (Leonard, et.al, 1995).

5. Teori-teori Social Learning

Social Learning Theory (1954) yang diajukan oleh Julian Rotter menaruh perhatian pada apa yang dipilih
seseorang ketika dihadapkan pada sejumlah alternatif bagaimana akan bertindak. Untuk menjelaskan
pilihan, atau arah tindakan, Rotter mencoba menggabungkan dua pendekatan utama dalam psikologi,
yaitu pendekatan stimulus-response atau reinforcement dan pendekatan cognitive atau field. Menurut
Rotter, motivasi merupakan fungsi dari expectation dan nilai reinforcement. Nilai reinforcement merujuk
pada tingkat preferensi terhadap reinforcement tertentu (Berliner & Calfee, 1996).

6. Teori Social Cognition

Tokoh dari Social Cognition Theory adalah Albert Bandura. Melalui berbagai eksperimen Bandura dapat
menunjukkan bahwa penerapan konsekuensi tidak diperlukan agar pembelajaran terjadi. Pembelajaran
dapat terjadi melalui proses sederhana dengan mengamati aktivitas orang lain. Bandura menyimpulkan
penemuannya dalam pola 4 langkah yang mengkombinasikan pandangan kognitif dan pandangan belajar
operan, yaitu 1)Attention, memperhatikan dari lingkungan, 2)Retention, mengingat apa yang pernah
dilihat atau diperoleh, 3)Reproduction, melakukan sesuatu dengan cara meniru dari apa yang dilihat,
4)Motivation, lingkungan memberikan konsekuensi yang mengubah kemungkinan perilaku yang akan
muncul lagi (reinforcement and punishment) (Huitt, 2004).

C. Teori Curiosity Berlyne

Pada tahun 1960 Berlyne mengemukakan sebuah Teori tentang Curiosity atau rasa ingin tahu. Menurut
Berlyne, ketidakpastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau
kompleks. Ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistem syaraf pusat kita. Respon manusia
ketika menghadapi suatu ketidakpastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu.
Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidakpastian (Gagne,
1985).

Dalam pembelajaran Sains, ketika guru melakukan demonstrasi suatu eksperimen yang memberikan
hasil yang tidak terduga, hal ini akan menimbulkan konflik konseptual dalam diri siswa, dan ini akan
memotivasi siswa untuk mengerti mengapa hasil eksperimen tersebut berbeda dengan apa yang
dipikirkannya. Dengan demikian, keadaan ketidakpastian yang diciptakan oleh guru telah menimbulkan
curiosity siswa, dan siswa akan termotivasi untuk mengurangi ketidakpastian dalam dirinya tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa curiosity merupakan hal penting dalam meningkatkan motivasi. Sejarah juga
membuktikan bahwa curiosity memiliki banyak peran dalam kehidupan para penemu (inventor),
ilmuwan, artis, dan orang-orang yang kreatif.

Salah satu metode pembelajaran yang melibatkan curiosity siswa adalah inquiry teaching. Dalam metode
ini, siswa lebih banyak ditanya daripada diberikan jawaban. Dengan mengajukan pertanyaan, bukan
hanya pernyataan-pernyataan, curiosity siswa akan meningkat karena siswa mengalami ketidakpastian
terhadap jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut (Gagne, 1985).

B. TINGKATAN INQUIRY

Ada tiga tingkatan inkuiri berdasarkan variasi bentuk keterlibatannya dan intensistas keterlibatan siswa,
yaitu:
a. Inkuiri tingkat pertama

Inkuiri tingkat pertama merupakan kegiatan inkuiri di mana masalah dikemukakan oleh guru atau
bersumber dari buku teks kemudian siswa bekerja untuk menemukan jawaban terhadap masalah
tersebut di bawah bimbingan yang intensif dari guru. Inkuiri tipe ini, tergolong kategori inkuiri terbimbing
( guided Inquiry ) menurut kriteria Bonnstetter, (2000); Marten-Hansen, (2002), dan Oliver-Hoyo, et al
(2004). Sedangkan Orlich, et al (1998) menyebutnya sebagai pembelajaran penemuan (discovery
learning) karena siswa dibimbing secara hati-hati untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang
dihadapkan kepadanya.

Dalam inkuiri terbimbing kegiatan belajar harus dikelola dengan baik oleh guru dan luaran pembelajaran
sudah dapat diprediksikan sejak awal. Inkuiri jenis ini cocok untuk diterapkan dalam pembelajaran
mengenai konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasar dalam bidang ilmu tertentu. Orlich, et al
(1998) menyatakan ada beberapa karakteristik dari inkuiri terbimbing yang perlu diperhatikan yaitu: (1)
siswa mengembangkan kemampuan berpikir melalui observasi spesifik hingga membuat inferensi atau
generalisasi, (2) sasarannya adalah mempelajari proses mengamati kejadian atau obyek kemudian
menyusun generalisasi yang sesuai, (3) guru mengontrol bagian tertentu dari pembelajaran misalnya
kejadian, data, materi dan berperan sebagai pemimpin kelas, (4) tiap-tiap siswa berusaha untuk
membangun pola yang bermakna berdasarkan hasil observasi di dalam kelas, (5) kelas diharapkan
berfungsi sebagai laboratorium pembelajaran, (6) biasanya sejumlah generalisasi tertentu akan diperoleh
dari siswa, (7) guru memotivasi semua siswa untuk mengkomunikasikan hasil generalisasinya sehingga
dapat dimanfaatkan oleh seluruh siswa dalam kelas.

b. Inkuiri Bebas

Inkuiri tingkat kedua dan ketiga menurut Callahan et al , (1992) dan Bonnstetter, (2000) dapat
dikategorikan sebagai inkuiri bebas (unguided Inquiry) menurut definisi Orlich, et al (1998). Dalam inkuiri
bebas, siswa difasilitasi untuk dapat mengidentifikasi masalah dan merancang proses penyelidikan. Siswa
dimotivasi untuk mengemukakan gagasannya dan merancang cara untuk menguji gagasan tersebut.
Untuk itu siswa diberi motivasi untuk melatih keterampilan berpikir kritis seperti mencari informasi,
menganalisis argumen dan data, membangun dan mensintesis ide-ide baru, memanfaatkan ide-ide
awalnya untuk memecahkan masalah serta menggeneralisasikan data. Guru berperan dalam
mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan tentatif yang menjadikan kegiatan belajar lebih
menyerupai kegiatan penelitian seperti yang biasa dilakukan oleh para ahli. Beberapa karakteristik yang
menandai kegiatan inkuiri bebas ialah: (1) siswa mengembangkan kemampuannya dalam melakukan
observasi khusus untuk membuat inferensi, (2) sasaran belajar adalah proses pengamatan kejadian,
obyek dan data yang kemudian mengarahkan pada perangkat generalisasi yang sesuai, (3) guru hanya
mengontrol ketersediaan materi dan menyarankan materi inisiasi, (4) dari materi yang tersedia siswa
mengajukan pertanyaan-pertanyaan tanpa bimbingan guru, (5) ketersediaan materi di dalam kelas
menjadi penting agar kelas dapat berfungsi sebagai laboratorium, (6) kebermaknaan didapatkan oleh
siswa melalui observasi dan inferensi serta melalui interaksi dengan siswa lain, (7) guru tidak membatasi
generalisasi yang dibuat oleh siswa, dan (8) guru mendorong siswa untuk mengkomunikasikan
generalisasi yang dibuat sehingga dapat bermanfaat bagi semua siswa dalam kelas.

C. Langkah-langkah pembelajaran dalam inkuiri

Langkah pembelajaran inkuri, merupakan suatu siklus yang dimulai dari:

1. Observasi atau pengamatan terhadap berbagai fenomena alam

2. Mengajukan pertanyaan tentang fenomena yang dihadapi

3. Mengajukan dugaan atau kemungkinan jawaban

4. Mengumpulkan data yang terkait dengan pertanyaan yang diajukan

5. Merumuskan kesimpulan-kesimpulan berdasarkan data.

D. Sasaran Pembelajaran inkuiri

Sasaran pembelajaran yang dapat dicapai dengan penerapan inkuiri adalah:

Sasaran kognitif

1. Memahami bidang khusus dari materi pelajaran


2. Mengembangkan keterampilan proses sains

3. Mengembangkan kemampuan bertanya, memecahkan masalah dan melakukan percobaan

4. Menerapkan pengetahuan dalam situasi baru yang berbeda.

5. Mengevaluasi dan mensintesis informasi, ide dan masalah baru

6. Memperkuat keterampilan berpikir kritis

Sasaran afektif

1. Mengembangkan minat terhadap pelajaran dan bidang ilmu

1. Memperoleh apresiasi untuk pertimbangan moral dan etika yang relevan dengan bidang ilmu tertentu.

2. Meningkatkan intelektual dan integritas

3. Mendapatkan kemampuan untuk belajar dan menerapkan materi pengetahuan.

Pendekatan discovery merupakan pendekatan mengajar yang memerlukan proses mental, seperti
mengamati, mengukur, menggolongkan, menduga, men-jelaskan, dan mengambil kesimpulan.

Pada kegiatan discovery guru hanya memberikan masalah dan siswa disuruh memecahkan masalah
melalui percobaan. Pada pendekatan inquiry, siswa mengajukan masalah sendiri sesuai dengan
pengarahan guru. Keterampilan mental yang dituntut lebih tinggi dari discovery antara lain: merancang
dan melakukan percobaan, mengumpulkan dan menganalisis data, dan mengambil kesimpulan.

Pendekatan inquiry adalah pendekatan mengajar di mana siswa merumuskan masalah, mendesain
eksperimen, mengumpulkan dan menganalisis data sampai mengambil keputusan sendiri.

Pendekatan inquiry harus memenuhi empat kriteria ialah kejelasan, kesesuaian ketepatan dan
kerumitannya. Setelah guru mengundang siswa untuk mengajukan masalah yang erat hubungannya
dengan pokok bahasan yang akan diajarkan, siswa akan terlibat dalam kegiatan inquiry dengan melalui 5
fase ialah:

Fase 1 : Siswa menghadapi masalah yang dianggap oleh siswa memberikan tantangan untuk diteliti.

Fase 2 : Siswa melakukan pengumpulan data untuk menguji kondisi, sifat khusus dari objek teliti dan
pengujian terhadap situasi masalah yang dihadapi.

Fase 3 : siswa mengumpulkan data untuk memisahkan variabel yang relevan, berhipotesis dan
bereksperimen untuk menguji hipotesis sehingga diperoleh hubungan sebab akibat.

Fase 4 : merumuskan penemuan inquiry hingga diperoleh penjelasan, pernyataan, atau prinsip yang
lebih formal.

Fase 5 : melakukan analisis terhadap proses inquiry, strategi yang dilakukan oleh guru maupun siswa.
Analisis diperlukan untuk membantu siswa terarah pada mencari sebab akibat.

Iklan

Report this ad

Memuat...

Suka

rizzaumami

senseirisachan

desnawati

muhasaid
4 blogger menyukai ini.

Iklan

Report this ad

Tinggalkan Balasan

Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Komentar

Nama

Surel

Situs Web

Kirim Komentar

Beri tahu saya komentar baru melalui email.

Beritahu saya pos-pos baru lewat surat elektronik.

Iklan

Report this ad

FEBRUARI 2018

S S R K J S M

« Jun
1 2 3 4

5 6 7 8 9 10 11

12 13 14 15 16 17 18

19 20 21 22 23 24 25

26 27 28

Iklan

Report this ad

Laman

About

IPA 2

Pengukuran

IPA kelas VII

Getaran Dan Gelombang

PEMBELAJARAN INQUIRY DAN DISCOVERY

Iklan

Report this ad

View Full Site

Blog di WordPress.com.

Ikuti

Bangkititahermawati's Blog
Mendaftar

Masuk

Salin shortlink

Laporkan isi ini

Kelola langganan

Ciutkan bilah ini

Langsung ke konten utama

Beranda

About

IPA 2

Pengukuran

IPA kelas VII

Getaran Dan Gelombang

https://googleweblight.com/?lite_url=https://bangkititahermawati.wordpress.com/ipa-kelas-
vii/pembelajaran-inquiry-dan-discovery/&ei=4aqc9XCX&lc=id-
ID&s=1&m=100&host=www.google.co.id&ts=1519264539&sig=AOyes_TeHcnGC3ohOAGrTNurdrjmwxAr
5A

Anda mungkin juga menyukai