Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TEORI BELAJAR

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan

Dosen Pengampu : Dr. Nonoh Siti Aminah, M.Pd

DI SUSUN OLEH :

Kessin Eka Septarani ( K2315042)


Lathiffah Fauziana ( K2315044)
Rizka Meisyifa ( K2315055)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2018
Dalam psikologi dan pendidikan, pembelajaran secara umum didefinisikan sebagai suatu
proses yang menyatukan kognitif, emosional, dan lingkungan pengaruh dan pengalaman
untuk memperoleh, meningkatkan, atau membuat perubahan pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan pandangan dunia (Illeris, 2000; Ormorod, 1995).
Belajar sebagai suatu proses berfokus pada apa yang terjadi ketika belajar berlangsung.
Penjelasan tentang apa yang terjadi merupakan teori-teori belajar. Teori belajar adalah upaya
untuk menggambarkan bagaimana orang dan hewan belajar, sehingga membantu kita
memahami proses kompleks inheren pembelajaran. (Wikipedia).
Di bawah ini merupakan macam-macam teori belajar:

1. TEORI BELAJAR BRUNER


Pendekatan psikologi kognitif dalam teori pengajaran dipelopori oleh Jerome Bruner
(1915) seorang ahli psikologi belajar dan psikologi perkembangan. Bruner banyak
melakukan penelitian psikologi terutama mengenai persepsi, motivasi, belajar dan
berpikir. Bruner menganggap manusia sebagi pengolah informasi, pemikir dan pencipta.
Mahaguru Universitas Harvard ini pernah mendirikan pusat penelitian untuk
mempelajari kognitif dan juga menjadi pimpinannya. Penelitian dan ide-idenya
dipengaruhi oleh Piaget terutama mengenai perkembangan kognitif manusia. Ia juga
memperluas kontribusi psikologi dengan mengintegrasikan pengetahuan dari berbagai
bidang seperti Biologi, Antropologi, Sosiologi, Linguistik, Filsafat dan lain-lain.
Sungguhpun demikian ia mengakui bahwa pikiran-pikirannya berkat sumbangan dari
banyak pemikir. Sumbangan itulah yang juga menolong pola berpikirnya. Ia sangat
menaruh perhatian kepada; Apakah yang diperbuat manusia dengan informasi yang
diterimanya dan bagaimana mereka menggunakan informasi untuk mencapai pengertian
umum atau pemahaman kemampuannya.
A. Proses Belajar Menurut Jerome Bruner
Menurut Bruner, dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase atau episode,
yakni (1) informasi, (2) transformasi (3) evaluasi (pengkajian pengetahuan).
Informasi, dalam tiap pelajaran kita peroleh sejumlah informasi ada yang
menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan
memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah
kita ketahui sebelumnya, misalnya bahwa tidak ada energi yang lenyap.
Transformasi, informasi itu harus dianalisis diubah atau ditransformasi kedalam
bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal
yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan. Evaluasi,
kemudian kita nilai hingga manakah pengetahuan yang kita peroleh dan
transformasi itu bisa dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.
Dalam proses belajar, ketiga episode selalu ada. Yang menjadi masalah ialah
berapa banyak informasi yang diperlukan agar dapat ditransformasikan. Lama
tiap episode tidak selalu sama. Hal ini antara lain juga bergantung pada hasil yang
diharapkan, motivasi murid belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan
dorongan untuk menemukan sendiri.
Teori belajar bruner dikenal dengan tiga tahapan belajarnya yang terkenal,
yaitu enaktif, ikonik dan simbolik. Pada dasarnya setiap individu pada waktu
mengalami atau mengenal peristiwa yang ada di dalam lingkungannya dapat
menemukan cara untuk menyatakan kembali peristiwa tersebut di dalam
pikirannya, yaitu suatu model mental tentang peristiwa yang dialaminya. Hal
tersebut adalah proses belajar yang terbagi menjadi tiga tahapan, yakni:
1) Tahap enaktif; dalam tahap ini peserta didik di dalam belajarnya
menggunakan atau memanipulasi obyek-obyek secara langsung.
2) Tahap ikonik; pada tahap ini menyatakan bahwa kegiatan anak-anak
mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek.
Dalam tahap ini, peserta didik tidak memanipulasi langsung objek-objek,
melainkan sudah dapat memanipulasi dengan menggunakan gambaran
dari objek. Pengetahuan disajikan oleh sekumpulan gambar-gambar yang
mewakili suatu konsep (Sugandi, 2004:37).
3) Tahap simbolik; tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol secara
langsung dan tidak ada lagi kaitannya dengan objek-objek. Anak
mencapai transisi dari pengguanan penyajian ikonik ke penggunaan
penyajian simbolik yang didasarkan pada sistem berpikir abstrak dan
lebih fleksibel. Dalam penyajian suatu pengetahuan akan dihubungkan
dengan sejumlah informasi yang dapat disimpan dalam pikiran dan
diproses untuk mencapai pemahaman.

B. Teori Pengajaran Menurut Jerome Bruner


Bruner berpendapat bahwa pengajaran dapat dianggap sebagai (a) hakikat
seseorang sebagai pengenal (b) hakekat dari pengetahuan, dan (c) hakekat dari
proses mendapatkan pengetahuan. Manusia sebagai makhluk yang paling mulia
diantara makhluk-makhluk lain memiliki dua kekuatan yakni akal pikirannya dan
kemampuan berbahasa. Dengan dua kemampuan tersebut maka manusia dapat
mengembangkan kemampuan yang ada padanya. Dorongan dan hasrat ingin
mengenal dan mengetahui dunia dan lingkungan alamnya menyebabkan manusia
mempunyai kebudayaan dalam bentuk konsepsi, gagasan, pengetahuan, maupun
karya-karyanya. Kemampuan yang ada dalam dirinya mendorongnya untuk
mengekspresikan apa yang telah dimilikinya. Kondisi dan karakteristik tersebut
hendaknya melandasi atau dijadikan dasar dalam mengembangkan proses
pengajaran. Dengan demikian guru harus memandang siswa sebagai individu
yang aktif dan memiliki hasrat untuk mengetahui lingkungan dan dunianya bukan
semata-mata makhluk pasif menerima apa adanya. Selanjutnya bruner
berpendapat bahwa teori pengajaran harus mencakup lima aspek utama yakni:
1) Pengalaman optimal untuk mempengaruhi siswa belajar
Bruner melihat bahwa ada semacam kebutuhan untuk mengubah praktek
mengajar sebagai proses mendapatkan pengetahuan untuk membentuk
pola-pola pemikiran manusia. Kefektifan belajar tidak hanya mempelajari
bahan-bahan pengajaran tetapi juga belajar berbagai cara bagaimana
memperoleh informasi dan memecahkan masalah. Oleh sebab itu diskusi,
problem solving, seminar akan memperkaya pengalaman siswa dan
mempengaruhi cara belajar.
2) Struktur pengetahuan untuk membentuk pengetahuan yang optimal
Tujuan terakhir dari pengajaran berbagai mata pelajaran adalah
pemahaman terhadap struktur pengetahuan. Mengerti struktur
pengetahuan adalah memahami aspe-aspeknya dalam berbagai hal dengan
penuh pengertian. Tugas guru adalah member siswa pengertian tentang
struktur pengetahuan dengan berbagai cara sehingga mereka dapat
membedakan informasi yang berarti dan yang tidak berarti.
3) Spesifikasi mengurutkan penyajian bahkan pelajaran untuk dipelajari
siswa
Mengurutkan bahan pengajaran agar dapat dipelajari siswa hendaknya
mempertimbangkan criteria sebagi berikut; kecepatan belajar, daya tahan
untuk mengingat, transfer bahwa yang telah dipelajari kepada situasi baru,
bentuk penyajian mengekspresikan bahan-bahan yang telah dipelajari, apa
yang telah dipelajarinya mempunyai nilai ekonomis, apa yang telah
dipelajari memilii kemampuan untuk mengembangkan pengetahuan baru
dan menyusun hipotesis.
4) Peranan sukses dan gagal serta hakekat ganjaran dan hukuman
Ada dua alternatif yang mungkin dicapai siswa manakala dihadapkan
dengan tugas-tugas belajar yakni sukses dan gagal. Sedangkan dua
alternative yang digunakan untuk mendorong perbuatan belajar adalah
ganjaran dan hukuman. Ganjaran penggunaannya dikaitkan dengan
keberhasilan (sukses) hukuman dikaitkan dengan kegagalan.
5) Prosedur untuk merangsang berpikir siswa dalam lingkungn sekolah
Pengajaran hendaknya diarahkan kepada proses menarik kesimpulan dari
data yang dapat dipercaya ke dalam suatu hipotesis kemudian menguji
hipotesis dengan data lebih lanjut untuk kemudian menarik kesimpulan-
kesimpulan sehingga siswa diajak dan diarahkan kepada pemecahan
masalah. Ini berarti belajar pemecahan masalah harus dikembangkan
disekolah agar para siswa memiliki ketrampilan bagaimana mereka
belajar yang sebenarnya. Melaui metode pemecahan masalah akan
merangsang berpikir siswa dalam pengertian luas mencakup proses
mencari informasi, menggunakan informasi, memanfaatkan informasi
untuk masalah pemecahan lebih lanjut.
Berdasarkan pemikiran diatas Bruner menganjurkan penggunaan metode
discovery learning, inquiry learning, dan problem solving.
Metode discovery learning yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang
dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda dengan reception
learning dan expository teaching, dimana guru menerangkan semua informasi dan
murid harus mempelajari semua bahan atau informasi itu.
Banyak pendapat yang mendukung discovery learning itu, diantaranya J.
Dewey (1993) dengan complete art of reflective activity atau terkenal dengan
problem solving. Ide Bruner itu ditulis dalam bukunya Process of Education.
Didalam buku ini ia melaporkan hasil dari suatu konferensi diantara para ahli
science, ahli sekolah atau pengajar dan pendidik tentang pengajran science.
Dalam hal ini ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata pelajaran dapat
diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat
perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat
diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke arah yang
abstrak.
Bruner mendapatkan pertanyaan, bagaimana kita dapat mengembangkan
program pengajaran yang lebih efektif bagi anak yang muda? Jawaban Bruner
adalah dengan mengkoordinasikan metode penyajian bahan dengan cara dimana
anak dapat mempelajari bahan itu yang sesuai dengan tingkat kemajuan anak.
Tingkat-tingkat kemajuan anak dari tingkat representasi sensori (enactive) ke
representasi konkret (iconic) dan akhirnya ketingkat representasi abstrak
(symbolic). Demikian juga dalam penyusunan kurikulum.
The act of discovery dari Bruner:
 Adanya suatu kenaikan didalam potensi intelektual
 Ganjaran instrinsik lebih ditekankan daripada ganjaran ekstrensik
 Murid yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu
menguasai metode discovery learning
 Murid lebih senang mengingat-ingat informasi

C. Alat Mengajar Menurut Jerome Bruner


Jerome Bruner membagi alat instruksional dalam empat macam menurut
fungsinya antara lain:
1) Alat untuk menyampaikan pengalaman “vicaorus” (sebagai pengganti
pengalaman yang langsung) yaitu menyajikan bahan yang sedianya tidak
dapat mereka peroleh secara langsung di sekolah. Hal ini dapat dilakukan
melalui film, TV, rekaman suara dan sebagainya;
2) Alat model yang dapat memberikan pengertian tentang struktur atau
prinsip suatu gejala misalnya model molekul, model bangun ruang;
3) Alat dramatisasi, yakni mendramatisasikan sejarah suatu peristiwa atau
tokoh, film tentang alam, untuk memberikan pengertian tentang suatu idea
atau gejala;
4) Alat automatisasi seperti teaching machine atau pelajaran berprograma
yang menyajikan suatu masalah dalam urutan teratur dan memberikan
balikan atau feedback tentang respon siswa.
Telah banyak alat-alat yang tersedia bagi guru namun yang penting adalah
bagaimana menggunakan alat-alat itu sebagai suatu system yang terintegrasi.
D. Kesimpulan Bruner
Jerome Bruner adalah tokoh psikologi belejar kognitif yang berpendapat
bahwa belajar itu memiliki tiga proses secara simultan yakni:
1) diperolehnya informasi
2) transformasi pengetahuan, dan
3) pengkajian pengetahuan (evaluasi).
Informasi baru mungkin merupakan tambahan atau yang bertentangan dengan
informasi yang telah dimilikinya. Transformasi pengetahuan digunakanlebih
lanjut melalui intrapolasi dan ekstrapolasi atau mengubahnya dalam bentuk lain.
Pengkajian pengetahuan adalah menilai kembali ketetapan dan kelengkapan cara
memanipulasi informasi yang telah digunakannya. Bruner menamakan konsep ini
dengan konseptualisasi. Pengajaran yang baik hendaknya memperhatikan dan
mencakup:
1) pengalaman optimal dalam belajar siswa
2) struktur pengetahuan yang dapat membentuk pengalaman optimal
3) urutan penyajian bahan pelajaran
4) peranan sukses dan gagal
5) merangsang berpikir siswa.

2. Teori Belajar Gagne


Sebagaimana tokoh-tokoh lainnya dalam psikologi pembelajaran, Gagne berpendapat
bahwa belajar dipengaruhi oleh pertumbuhan dan lingkungan, namun yang paling besar
pengaruhnya adalah lingkungan individu seseorang. Lingkungan indiviu seseorang
meliputi lingkungan rumah, geografis, sekolah, dan berbagai lingkungan sosial. Berbagai
lingkungan itulah yang akan menentukan apa yang akan dipelajari oleh seseorang dan
selanjutnya akan menentukan akan menjadi apa ia nantinya.
Bagi Gagne, belajar tidak dapat didefinisikan dengan mudah karena belajar itu
bersifat kompleks. Dalam pernyataan tersebut, dinyatakan bahwa hasil belajar akan
mengakibatkan perubahan pada seseorang yang berupa perubahan kemampuan,
perubahan sikap, perubahan minat atau nilai pada seseorang. Perubahan tersebut bersifat
menetap meskipun hanya sementara.
Menurut Gagne, ada tiga elemen belajar, yaitu individu yang belajar, situasi stimulus,
dan responden yang melaksanakan aksi sebagai akibat dari stimulasi. Selanjutnya, Gagne
juga mengemukakan tentang sistematika delapan tipe belajar, sistematika lima jenis
belajar, fase-fase belajar, implikasi dalam pembelajaran, serta aplikasi dalam
pembelajaran.
A. Sistematika ”Delapan TipeBelajar”
Menurut Robert M. Gagne, ada 8 tipe belajar, yaitu:
1) Tipe belajar tanda (Signal learning)
Belajar dengan cara ini dapat dikatakan sama dengan apa yang
dikemukakan oleh Pavlov. Semua jawaban/respons menurut kepada
tanda/sinyal.
2) Tipe belajar rangsang-reaksi (Stimulus-response learning)
Tipe ini hampir serupa dengan tipe satu, namun pada tipe ini, timbulnya
respons juga karena adanya dorongan yang datang dari dalam serta adanya
penguatan sehingga seseorang mau melakukan sesuatu secara berulang-
ulang.
3) Tipe belajar berangkai (Chaining Learning)
Pada tahap ini terjadi serangkaian hubungan stimulus-respons, maksudnya
adalah bahwa suatu respons pada gilirannya akan menjadi stimulus baru
dan selanjutnya akan menimbulkan respons baru.
4) Tipe belajar asosiasi verbal (Verbal association learning)
Tipe ini berhubungan dengan penggunaan bahasa, dimana hasil belajarnya
yaitu memberikan reaksi verbal pada stimulus/perangsang.
5) Tipe belajar membedakan (Discrimination learning)
Hasil dari tipe belajar ini adalah kemampuan untuk membeda-bedakan
antar objek-objek yang terdapat dalm lingkungan fisik.
6) Tipe belajar konsep (Concept Learning)
Belajar pada tipe ini terutama dimaksudkan untuk memperoleh
pemahaman atau pengertian tentang suatu yang mendasar.
7) Tipe belajar kaidah (Rule Learning)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu kaidah yang terdiri atas
penggabungan beberapa konsep.
8) Tipe belajar pemecahan masalah (Problem solving)
Tipe belajar ini menghasilkan suatu prinsip yang dapat digunakan untuk
memecahkan suatu permasalahan.

B. Sistematika “Lima Jenis Belajar”


Sistematika ini tidak jauh berbeda dengan sistematika delapan tipe belajar,
dimana isinya merupakan bentuk penyederhanaan dari sistematika delapan tipe
belajar. Uraian tentang sistematika lima jenis belajar ini memperhatikan pada
hasil belajar yang diperoleh siswa. Hasil belajar ini merupakan kemampuan
internal yang telah menjadi milik pribadi seseorang dan memungkinkan orang
tersebut melakukan sesuatu yang dapat memberikan ptrestasi tertentu.
Sistematika ini mencakup semua hasil belajar yang dapat diperoleh, namun
tidak menunjukkan setiap hasil belajar atau kemampuan internal satu-persatu.
Akan tetapi memgelompokkan hasil-hasil belajar yang memiliki ciri-ciri sama
dalam satu kategori dan berbeda sifatnya dari kategori lain. Maka dapat
dikatakan, bahwa sistematika Gagne meliputi lima kategori hasil belajar. Kelima
kategori hasil belajar tersebut adalah informasi verbal, kemahiran intelektual,
pengaturan kegiatan kognitif, keterampilan motorik, dan sikap.
1) Informasi verbal (Verbal information)
Merupakan pengetahuan yang dimiliki seseorang dan dapat diungkapkan
dalam bentuk bahasa, lisan, dan tertulis. Pengetahuan tersebut diperoleh
dari sumber yang juga menggunakan bahasa, lisan maupun tertulis.
Informasi verbal meliputi ”cap verbal” dan ”data/fakta”. Cap verbal yaitu
kata yang dimiliki seseorang untuk menunjuk pada obyek-obyek yang
dihadapi, misalnya ’kursi’. Data/fakta adalah kenyataan yang diketahui,
misalnya ’Ibukota negara Indonesia adalah Jakarta’.
2) Kemahiran intelektual (Intellectual skill)
Yang dimaksud adalah kemampuan untuk berhubungan dengan
lingkungan hidup dan dirinya sendiri dalam bentuk suatu representasi,
khususnya konsep dan berbagai lambang/simbol (huruf, angka, kata, dan
gambar). Kategori kemahiran intelektual terbagi lagi atas empat
subkemampuan, yaitu:
a. Diskriminasi jamak, yaitu kemampuan seseorang dalam
mendeskripsikan benda yang dilihatnya.
b. Konsep, ialah satuan arti yang mewakili sejumlah obyek yang
memiliki ciri-ciri sama. Konsep dibedakan atas konsep konkret
dan konsep yang harus didefinisikan. Konsep konkret adalah
pengertian yang menunjuk pada obyek-obyek dalam lingkungan
fisik. Konsep yang didefinisiskan adalah konsep yang mewakili
realitas hidup, tetapi tidak langsung menunjuk pada realitas dalam
lingkungan hidup fisik.
c. Kaidah, yaitu kemampuan seseorang untuk menggabungkan dua
konsep atau lebih sehingga dapat memahami pengertiannya.
d. Prinsip. Dalam prinsip telah terjadi kombinasi dari beberapa
kaidah, sehingga terbentuk suatu kaidah yang bertaraf lebih tinggi
dan lebih kompleks. Berdasarkan prinsip tersebut, seseorang
mampu memecahkan suatu permasalahan, dan kemudian
menerapkan prinsip tersebut pada permasalahan yang sejenis.
3) Pengaturan kegiatan kognitif (Cognitive strategy)
Merupakan suatu cara seseorang untuk menangani aktivitas belajar dan
berpikirnya sendiri, sehingga ia menggunakan cara yang sama apabila
menemukan kesulitan yang sama.
4) Keterampilan motorik (Motor skill)
Adalah kemampuan seseorang dalam melakukan suatu rangkaian gerak-
gerik jasmani dalam urutan tertentu, dengan mengadakan koordinasi
antara gerak-gerik berbagai anggota badan secara terpadu.
5) Sikap (Attitude)
Merupakan kemampuan seseorang yang sangat berperan sekali dalam
mengambil tindakan, apakah baik atau buruk bagi dirinya sendiri.

C. Fase-Fase Belajar
Fase-fase belajar ini berlaku bagi semua tipe belajar. Menurut Gagne, ada 4
buah fase dalam proses belajar, yaitu:
1) Fase penerimaan (apprehending phase)
Pada fase ini, rangsang diterima oleh seseorang yang belajar. Ini ada
beberapa langkah. Pertama timbulnya perhatian, kemudian penerimaan,
dan terakhir adalah pencatatan (dicatat dalam jiwa tentang apa yang sudah
diterimanya).
2) Fase penguasaan (Acquisition phase)
Pada tahap ini akan dapat dilihat apakah seseorang telah belajar atau
belum. Orang yang telah belajar akan dapat dibuktikannya dengan
memperlihatkan adanya perubahan pada kemampuan atau sikapnya.
3) Fase pengendapan (Storage phase)
Sesuatu yang telah dimiliki akan disimpan agar tidak cepat hilang
sehingga dapat digunakan bila diperlukan. Fase ini berhubungan dengan
ingatan dan kenangan.
4) Fase pengungkapan kembali (Retrieval phase)
Apa yang telah dipelajari, dimiliki, dan disimpan (dalam ingatan) dengan
maksud untuk digunakan (memecahkan masalah) bila diperlukan. Jika kita
akan menggunakan apa yang disimpan, maka kita harus mengeluarkannya
dari tempat penyimpanan tersebut, dan inilah yang disebut dengan
pengungkapan kembali. Fase ini meliputi penyadaran akan apa yang telah
dipelajari dan dimiliki, serta mengungkapkannya dengan kata-kata
(verbal) apa yang telah dimiliki tidak berubah-ubah.

Menurut Gagne, fase pertama dan kedua merupakan stimulus, dimana


terjadinya proses belajar,sedangkan pada fase ketiga dan keempat merupakan
hasil belajar.

D. Implikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran


1) Mengontrol perhatian siswa.
2) Memberikan informasi kepada siswa mengenai hasil belajar yang
diharapkan guru.
3) Merangsang dan mengingatkan kembali kemampuan-kemampuan siswa.
4) Penyajian stimuli yang tak bisa dipisah-pisahkan dari tugas belajar.
5) Memberikan bimbingan belajar.
6) Memberikan umpan balik.
7) Memberikan kesempatan pada siswa untuk memeriksa hasil belajar yang
telah dicapainya.
8) Memberikan kesempatan untuk berlangsungnya transfer of learning.
9) Memberikan kesempatan untuk melakukahn praktek dan penggunaan
kemampuan yang baru diberikan.

E. Aplikasi Teori Gagne dalam Pembelajaran


Karakteristik materi matematika yang berjenjang (hirarkis) memerlukan cara
belajar yang berjenjang pula. Untuk memahami suatu konsep dan/atau rumus
matematika yang lebih tinggi, diperlukan pemahaman yang memadai terhadap
konsep dan/atau rumus yang ada di bawahnya.
F. Kesimpulan Gagne
Teori belajar Gagne pada mulanya terdiri dari delapan sistematika, namun
Gagne menyederhanakannya menjadi lima jenis belajar. Akan tetapi, diantara
keduanya terdapat hubungan, yaitu tipe belajar 1, 2, dan 6 tertampung dalam
sikap, meleui aspek afektif, konatif dan kognitif. Hasil tipe belajar 3 tertampung
dalam keterampilan motorik, melalui terbentuknya rangkaian gerak-gerik. Hasil
tipe belajar 4 tertampung dalam informasi verbal, melalui pemberian cap verbal
dam terbentuknya rangkaian verbal. Hasil tipe belajar 5 dan 6 tertampung dalam
kemahiran intelektual melaui konsep, kaidah, dan prinsip. Hasil tipe belajar 7 dan
8 tertampumg dalam pengaturan kegiatan kognitif.
Dengan demikian jelaslah bahwa kedua sistematika itu tidak berdiri lepas yang
satu dari yang lain, namun “sistematika lima jenis belajar” lebih bermanfaat
untuk diterapkan dalam menganalisis proses balajar mengajar di sekolah karena
dibedakan dengan tegas antara aspek hasil dan aspek proses dalam pembelajaran.

3. Teori Belajar Behavioristik


Teori belajar behaviorisme merupakan teori belajar yang telah cukup lama
dianut oleh para pendidik. Teori ini dicetuskan oleh Gage dan Berliner yang berisi
tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan
dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu
hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan
kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks
sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Dengan kata
lain proses pembelajaran menurut teori Behaviorisme adalah bahwa proses
pembelajaran lebih menekankan pada proses pemberian stimulus (rangsangan) dan
rutinitas respon yang dilakukan oleh siswa. Inti pembelajaran dalam pandangan
behaviorisme terletak pada stimulus respon (S-R).
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai
hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya
interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar
sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam
belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa
respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon
berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati
adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus)
dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini
mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk
melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada
penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang
menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah
dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran
menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan
dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan
biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban
yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan
guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran,
dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan
evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).
Prinsip-Prinsip dalam Teori Behavioristik, diantaranya:
1) Obyek psikologi adalah tingkah laku.
2) Semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek.
3) Mementingkan pembentukan kebiasaan.
4) Perilaku nyata dan terukur memiliki makna tersendiri.
5) Aspek mental dari kesadaran yang tidak memiliki bentuk fisik harus
dihindari.

Adapun kelemahan dari Teori Behavioristik ini, diantaranya yaitu:


1) Hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati
2) Kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk
berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri
3) Pebelajar berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif
4) Pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan
yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat
5) Kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri
pebelajar

Kelebihan dari Teori Behavioristik sesuai untuk perolehan kemampuan yang


membutuhkan praktik dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti
kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflex.

4. Teori Belajar Ausubel


Psikologi pendidikan yang diterapkan oleh Ausubel adalah bekerja untuk
mencari hukum belajar yang bermakna, berikut ini konsep belajar bermakna David
Ausubel.
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful
learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang
sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah
siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang
dibaca tanpa makna.
Menurut Ausubel ada dua jenis belajar : (1) Belajar bermakna (meaningful
learning) dan (2) belajar menghafal (rote learning). Belajar bermakna adalah suatu
proses belajar di mana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang
sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Sedangkan belajar menghafal adalah
siswa berusaha menerima dan menguasai bahan yang diberikan oleh guru atau yang
dibaca tanpa makna.
Ausubel menaruh perhatian besar pada siswa di sekolah, dengan
memperhatikan/memberikan tekanan-tekanan pada unsur kebermaknaan dalam
belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai
kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, bila ditinjau bersama-
sama. Oleh karena itu belajar dengan prestasi hafalan saja tidak dianggap sebagai
belajar bermakna. Maka, menurut Ausubel supaya proses belajar siswa menghasilkan
sesuatu yang bermakna, tidak harus siswa menemukan sendiri semuanya.
Pemerolehan informasi merupakan tujuan pembelajaran yang penting dan
dalam hal-hal tertentu dapat mengarahkan guru untuk menyampaikan informasi
kepada siswa. Dalam hal ini guru bertanggung jawab untuk mengorganisasikan dan
mempresentasikan apa yang perlu dipelajari oleh siswa, sedangkan peran siswa di sini
adalah menguasai yang disampaikan gurunya. Belajar dikatakan menjadi bermakna
(meaningful learning) yang dikemukakan oleh Ausubel adalah bila informasi yang
akan dipelajari peserta didik disusun sesuai dengan struktur kognitif yang dimiliki
peserta didik itu sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan informasi barunya
dengan struktur kognitif yang dimilikinya.
Dua syarat untuk materi yang dipelajari di asimilasikan dan dihubungkan
dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya.
1) Materi yang secara potensial bermakna dan dipilih oleh guru dan harus
sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan masa lalu
peserta didik.
2) Diberikan dalam situasi belajar yang bermakna, faktor motivasional
memegang peranan penting dalam hal ini, sebab peserta didik tidak akan
mengasimilasikan materi baru tersebut apabila mereka tidak mempunyai
keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Sehingga hal ini
perlu diatur oleh guru, agar materi tidak dipelajari secara hafalan.

Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel


adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan kejelasan pengetahuan dalam suatu
bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Seseorang belajar dengan
mengasosiasikan fenomena baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam
prosesnya siswa mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam system
pengertian yang telah dipunyainya.
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi
kognitif siswa melalui proses belajar bermakna. Mereka yang berada pada tingkat
pendidikan dasar, akan lebih bermanfaat jika siswa diajak beraktivitas, dilibatkan
langsung dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan pada tingkat pendidikan yang
lebih tinggi, akan lebih efektif jika menggunakan penjelasan, peta konsep,
demonstrasi, diagram dan ilustrasi.
Empat tipe belajar menurut Ausubel, yaitu:
1) Belajar dengan penemuan yang bermakna, yaitu mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya dengan materi pelajaran yang
dipelajarinya atau siswa menemukan pengetahuannya dari apa yang ia
pelajari kemudian pengetahuan baru itu ia kaitkan dengan pengetahuan
yang sudah ada.
2) Belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, yaitu pelajaran yang
dipelajari ditemukan sendiri oleh siswa tanpa mengaitkan pengetahuan
yang telah dimilikinya, kemudian dia hafalkan.
3) Belajar menerima (ekspositori) yang bermakna, materi pelajaran yang
telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa sampai bentuk
akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dikaitkan dengan pengetahuan
yang ia miliki.
4) Belajar menerima (ekspositori) yang tidak bermakna, yaitu materi
pelajaran yang telah tersusun secara logis disampaikan kepada siswa
sampai bentuk akhir, kemudia pengetahuan yang baru itu dihafalkan
tanpa mengaitkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.

Berdasarkan uraian di atas maka, belajar bermakna menurut Ausubel adalah


suatu proses belajar di mana peserta didik dapat menghubungkan informasi baru
dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya dan agar pembelajaran bermakna,
diperlukan 2 hal yakni pilihan materi yang bermakna sesuai tingkat pemahaman dan
pengetahuan yang dimiliki siswa dan situasi belajar yang bermakna yang dipengaruhi
oleh motivasi.
Dengan demikian kunci keberhasilan belajar terletak pada kebermaknaan
bahan ajar yang diterima atau yang dipelajari oleh siswa. Ausubel tidak setuju dengan
pendapat bahwa kegiatan belajar penemuan (discovery learning) lebih bermakna
daripada kegiatan belajar penerimaan (reception learning). Sehingga dengan
ceramahpun, asalkan informasinya bermakna bagi peserta didik, apalagi penyajiannya
sistematis, akan dihasilkan belajar yang baik.
5. Teori Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui
dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman
demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum
seperti:

1) Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah


ada.
2) Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri
pengetahuan mereka.
3) Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui
proses saling memengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru.
4) Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan
dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
5) Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya
tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6) Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat


generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda
dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang
bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar
sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan
kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.
Menurut teori ini, satu prinsip yang mendasar adalah guru tidak hanya
memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif
membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat
memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan membri kesempatan kepada siswa
untuk menemukan atau menerapkan ide – ide mereka sendiri, dan mengajar siswa
menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar.
Guru dapat memberikan siswa anak tangga yang membawasiswa ke tingkat
pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang mereka tulis dengan
bahasa dan kata – kata mereka sendiri.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa makna belajar menurut


konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana pesrta didik membina sendiri
pengtahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari dan merupakan proses
menyelesaikan konsep dan idea-idea baru dengan kerangka berfikir yang telah ada
dan dimilikinya (Shymansky,1992).

Dalam mengkonstruksi pengetahuan tersebut peserta didik diharuskan


mempunyai dasar bagaimana membuat hipotesis dan mempunyai kemampuan untuk
mengujinya, menyelesaikan persoalan, mencari jawaban dari persoalan yang
ditemuinya, mengadakan renungan, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga
diperoleh konstruksi yang baru.

Berkaitan dengan konstruktivisme, terdapat dua teori belajar yang dikaji dan
dikembangkan oleh Jean Piaget dan Vygotsky, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget
Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk
menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan.
Peran guru dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah
sebagai fasilitator atau moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan
konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori belajar
kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam
pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Proses mengkonstruksi, sebagaimana
dijelaskan Jean Piaget adalah sebagai berikut:
a. Skemata, Sekumpulan konsep yang digunakan ketika berinteraksi
dengan lingkungan disebut dengan skemata. Sejak kecil anak
sudah memiliki struktur kognitif yang kemudian dinamakan skema
(schema). Skema terbentuk karena pengalaman. Misalnya, anak
senang bermain dengan kucing dan kelinci yang sama-sama
berbulu putih. Berkat keseringannya, ia dapat menangkap
perbedaan keduanya, yaitu bahwa kucing berkaki empat dan
kelinci berkaki dua. Pada akhirnya, berkat pengalaman itulah
dalam struktur kognitif anak terbentuk skema tentang binatang
berkaki empat dan binatang berkaki dua. Semakin dewasa anak,
maka semakin sempunalah skema yang dimilikinya. Proses
penyempurnaan sekema dilakukan melalui proses asimilasi dan
akomodasi.
b. Asimilasi, adalah proses kognitif dimana seseorang
mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke
dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya.
Asimilasi dipandang sebagai suatu proses kognitif yang
menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan
baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan
terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahan/pergantian
skemata melainkan perkembangan skemata. Asimilasi adalah salah
satu proses individu dalam mengadaptasikan dan
mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru pengertian orang
itu berkembang.
c. Akomodasi, Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman baru
seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru
dengan skemata yang telah dipunyai. Pengalaman yang baru itu
bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan skema yang telah ada.
Dalam keadaan demikian orang akan mengadakan akomodasi.
Akomodasi tejadi untuk membentuk skema baru yang cocok
dengan rangsangan yang baru atau memodifikasi skema yang telah
ada sehingga cocok dengan rangsangan itu.
d. Keseimbangan, Ekuilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi
dan akomodasi sedangkan diskuilibrasi adalah keadaan dimana
tidak seimbangnya antara proses asimilasi dan akomodasi,
ekuilibrasi dapat membuat seseorang menyatukan pengalaman luar
dengan struktur dalamnya.

2) Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky


Ratumanan (2004:45) mengemukakan bahwa karya Vygotsky didasarkan
pada dua ide utama. Pertama, perkembangan intelektual dapat dipahami
hanya bila ditinjau dari konteks historis dan budaya pengalaman anak.
Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu
pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang
berfikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan
demikian perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi
budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan
proses-proses berfikir diri sendiri.
Menurut Slavin (Ratumanan, 2004:49) ada dua implikasi utama teori
Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas
berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa
dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi
dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan
strategi-strategi pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah
pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan
Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding).
Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil
tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.
a. Pengelolaan pembelajaran
Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat
mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga
perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi
oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin
(2000), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang
mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu
terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual
peserta didik.
b. Pemberian bimbingan
Menurut Vygotsky, tujuan belajar akan tercapai dengan belajar
menyelesaikan tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-
tugas tersebut masih berada dalam daerah perkembangan terdekat
mereka (Wersch,1985), yaitu tugas-tugas yang terletak di atas
peringkat perkembangannya. Menurut Vygotsky, pada saat peserta
didik melaksanakan aktivitas di dalam daerah perkembangan
terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan
dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang
lain.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak


(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori
belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2)
kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan
selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru
hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang
kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis
hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar
yang menjadikan peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b)
pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c)
pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai; d)
memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran; e) pembelajaran
dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik; f)
pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan peringkat emosional
peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth &
Cunningham,1996).
DAFTAR PUSTAKA

belajarpsikologi.com/macam-macam-teori-belajar/
https://antonizonzai.wordpress.com/2011/02/05/teori-belajar-behaviorisme-kognitivisme-dan-
konstruktivisme/
http://magister-pendidikan.blogspot.co.id/p/teori-konstruktivistik.html
https://penembushayalan.wordpress.com/kuliah/tokoh-dan-teori-belajar/teori-belajar-jerome-
bruner/
http://physickasyik.blogspot.co.id/2012/11/teori-belajar-ausubel_28.html
http://saidangsaid.blogspot.co.id/

Anda mungkin juga menyukai