Anda di halaman 1dari 32

ANALISIS APLIKASI TEORI PSIKOLOGI TINGKAH LAKU

DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


(Strategi Pembelajaran Matematika)

Oleh:
Kelompok 2
1. Hafid Alzain (2013021001)
2. Lintang Hapsari (2013021003)
3. Desta Amelia Sari (2013021033)
4. Eka Dwi Puspitasari (2013021059)

Dosen Pengampu:
Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd.
Santy Setiawati, S.Pd., M.Pd.

PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat serta rahmat-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Analisis
Aplikasi Teori Ausubel dalam Pembelajaran Matematika” tepat waktu. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Strategi Pembelajaran Matematika. Selain
itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.

Tujuan dari disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Strategi Pembelajaran Matematika, dengan dosen pengampu yaitu Dr. Sri Hastuti
Noer, M.Pd. dan Tia Agnesa, S.Pd., M.Pd. Selain diperuntukan untuk pemenuhan
tugas, makalah ini juga bertujuan untuk melatih dan menambah wawasan kami
dalam menganalisis keterkaitan materi dengan video pembelajaran.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Sri Hastuti Noer, M.Pd. dan Tia
Agnesa, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pengampu. Kami juga mengucapkan terima kasih
pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Kami
menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 25 Februari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 1
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Teori Thorndike......................................................................................... 3
2.2 Teori Skinner ............................................................................................. 7
2.3 Teori Ausubel ............................................................................................ 13
2.4 Teori Gagne ............................................................................................... 17
2.5 Teori Pavlop .............................................................................................. 20
2.6 Teori Baruda .............................................................................................. 20
2.7 Aliran Latihan Mental ............................................................................... 20
BAB III HASIL ANALISIS
3.1 Narasi Video Pembelajaran ....................................................................... 21
3.2 Hasil Analisis Berdasarkan Pengertian Belajar Bermakna ....................... 21
3.3 Hasil Analisis Berdasarkan Karakteristik Belajar Bermakna.................... 21
3.4 Hasil Analisis Berdasarkan Faktor Belajar Bermakna .............................. 22
3.5 Hasil Analisis Berdasarkan Prasyarat Belajar Bermakna.......................... 22
3.6 Hasil Analisis Berdasarkan Klasifikasi Belajar Bermakna ....................... 23
3.7 Hasil Analisis Berdasarkan Prinsip Belajar Bermakna ............................. 23
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan................................................................................................ 26
4.2 Saran .......................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan berkenan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak
didik. Pendidikan berkaitan dengan transmisi pengetahuan, sikap,
kepercayaan, dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda.
Pendidikan adalah proses mengajar dan belajar pola-pola kelakuan manusia
menurut apa yang diharapkan oleh masyaraka. Pendidikan bertujuan untuk
membekali setiap anak agar masing-masing dapat maju dalam hidupnya
mencapai tingkat yang setinggi-tingginya.

Salah satu komponen pendidikan yang sangat penting dan tidak dapat
dipisahkan dari pendidikan itu sendiri adalah belajar. Kegiatan belajar sangat
dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya metode dan strategi belajar.
Keberhasilan siswa mencapai suatu tahap hasil belajar memungkinkannya
untuk belajar lebih lancar dalam mencapai tahap selanjutnya. Strategi
pembelajaran tidak terlepas dari teori belajar yang dihasilkan oleh pakar-
pakar pendidikan. Teori belajar yang bersumber dari pakar pendidikan atau
pakar psikologi pendidikan banyak macamnya, misalnya teori pembelajaran
Davis Ausubel.

David Ausubel adalah seorang ahlo psikolohi pendidikan. Menurut Ausubel


behan subjek yang dipelajari siswa mestilah “bermakna” (meaningfull).
Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses mengaitkan informasi baru
pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang.
Struktur kognitif ialah fakta-fakta, konsep-konsep, dan generalisasi-
generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa. Ausubel menyatakan
bahwa belajar dilakukan dengan reception learning yang artinya seorang
individu belajar hanya dengan menerima informasi yang didapatnya tanpa
mencari atau menemukan sendiri informasi tersebut.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah makalah ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan teori Ausubel?
2. Bagaimana implementasi teori Ausubel dalam pembelajaran matematika?
3. Bagaimana keterkaitan kajian teori Ausubel pada video pembelajaran
yang berjudul “Video Pembelajaran # Menemukan Rumus Luas
Permukaan Bola” kelas IX Semester Ganjil?

1
1.3 Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian teori Ausubel.
2. Untuk mengetahui bentuk implementasi teori Ausubel dalam
pembelajaran matematika.
3. Untuk mengetahui proses belajar dan keterkaitan teori Ausubel pada
video pembelajaran yang berjudul “Video Pembelajaran #Menemukan
Rumus Luas Permukaan Bola” kelas IX Semester Ganjil.

2
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Teori Thorndike


Edward L. Thorndike (1874 – 1949) mengemukakan bahwa belajar adalah
proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang
dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau
hal – hal yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah
reaksi yang dimunculkan siswa ketika belajar, yang juga dapat berupa
pikiran, persaan atau gerakan ( tindakan ). Dari definisi belajar tersebut maka
menurut Thorndike perubahan atau tingkah laku akibat kegitan belajar itu
dapat berujud kongkrit yaitu dapat diamati. Teori belajar stimulus respon
yang dikemukakan oleh Thorndike ini disebut juga Koneksionisme. Teori ini
menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan
hubungan antara stimulus dan respon. Terdapat beberapa dalil atau hukum
yang dikemukakan Thorndike, yang mengakibatkan munculnya stimulus
respon ini, yaitu hukum kesiapan (law of readiness), hukum latihan (law of
exsercise) dan hukum akibat (law of effect).

1. Hukum Kesiapan ( law of readiness )


Hukum ini menerangkan bagaimana kesiapan seseorang siswa dalam
melakukan suatu kegiatan. Seorang siswa yang mempunyai
kecenderungan untuk bertindak atau melakukan kegiatan tertentu dan
kemudian dia benar melakukan kegiatan tersebut, maka tindakannya
akan melahirkan kepuasan bagi dirinya. Seorang siswa yang
mempunyai kecenderungan untuk bertindak dan kemudian bertindak,
sedangkan tindakannya itu mengakibatkan ketidakpuasan bagi
dirinya, akan selalu menghindarkan dirinya dari tindakan-tindakan
yang melahirkan ketidakpuasan tersebut. Dari ciri-ciri di atas dapat
disimpulkan bahwa seorang siswa akan lebih berhasil belajarnya, jika
ia telah siap untuk melakukan kegiatan belajar.

2. Hukum Latihan ( law of ecexcise )


Menyatakan bahwa jika hubungan stimulus respon sering terjadi
akibatnya hubungan akan semakin kuat. Sedangkan makin jarang
hubungan stimulus respon dipergunakan, maka makin lemahlah
hubungan yang terjadi. Hukum latihan pada dasarnya mengungkapkan
bahwa stimulus dan respon memiliki hubungan satu sama lain secara
kuat, jika proses pengulangan sering terjadi, dan makin banyak
kegiatan ini dilakukan maka hubungan yang terjadi akan bersirfat

3
otomatis. Seorang siswa dihadapkan pada suatu persoalan yang sering
ditemuinya akan segera melakukan tanggapan secara cepat sesuai
dengan pengalamannya pada waktu sebelumnya. Kenyataan
menunjukkan bahwa pengulangan yang akan memberikan dampak
positif adalah pengulangan yang frekuensinya teratur, bentuk
pengulangannya tidak membosankan dan kegiatannya disajikan
dengan cara yang menarik. Sebagai contoh untuk mengajarkan konsep
pemetaan pada siswa, guru menguji apakah siswa sudah benar-benar
menguasai konsep pemetaan. Untuk itu guru menanyakan apakah
semua relasi yang diperlihatkannya itu termasuk pemetaan atau tidak.
Jika tidak, siswa diminta untuk menjelaskan alasan atau sebab-sebab
kriteria pemetaan tidak dipenuhi. Penguatan konsep lewat cara ini
dilakukan dengan pengulangan. Namun tidak berarti bahwa
pengulangan dilakukan dengan bentuk pernyataan dan informasi yang
sama, melainkan dalam bentuk informasi yang dimodifikasi, sehingga
siswa tidak merasa bosan.

3. Hukum Akibat( law of effect )


Thorndike mengemukakan bahwa suatu tindakan akan menimbulkan
pengaruh bagi tindakan yang serupa. Ini memberikan gambaran
bahwa jika suatu tindakan yang dilakukan seorang siswa
menimbulkan hal-hal yang mengakibatkan bagi dirinya, tindakan
tersebut cenderung akan diulanginya. Sebaliknya tiap-tiap tindakan
yang mengakibatkan kekecewaan atau hal-hal yang tidak
menyenangkan, cenderung akan dihindarinya. Dilihat dari ciri-cirinya
ini hukum akibat lebih mendekati ganjaran dan hukuman. Dari hukum
akibat ini dapat disimpulkan bahwa kepuasan yang terlahir dari
adanya ganjaran dari guru akan memberikan kepuasan dari siswa, dan
cenderung untuk berusaha melakukan atau meningkatkan apa yang
telah dicapainya itu. Guru memberi senyuman wajar terhadap jawaban
siswa, akan semakin menguatkan konsep yang tertanam pada diri
siswa. Katakan “Bagus”, “Hebat”, “Kau sangat teliti”, dan
semacamnya akan merupakan hadiah bagi siswa yang kelak akan
meningkatkan dirinya dalam menguasai pelajaran. Stimulus ini
termasuk reinforcement. Sebaliknya guru juga harus tanggap terhadap
respon siswa yang salah. Jika kekeliruan siswa dibiarkan tanpa
penjelasan yang benar dari guru, ada kemungkinan siswa akan
menganggap benar dan kemudian mengulanginya. Siswa yang
menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah, namun hasil kerjanya itu
tidak diperiksa oleh gurunya, ada kemungkinan beranggapan bahwa

4
jawaban yang dia berikan adalah benar. Anggapan ini akan
mengakibatkan jawaban yang tetap salah di saat siswa mengikuti tes.
Demikian pula siswa yang telah mengikuti ulangan dan mendapat
nilai jelek, perlu diberitahukan kekeliruan yang dilakukannya pada
saat siswa diberi tes berulang, namun hasilnya tetap buruk. Ada
kemungkinan konsep yang dipegangnya itu dianggap sebagai jawaban
yang benar. Penguatan seperti ini akan sangat merugikan siswa. oleh
karena itu perlu dihilangkan. Dari hukum akibat ini dapat disimpulkan
bahwa jika terdapat asosiasi yang kuat antara pertanyaan dan jawaban,
maka bahan yang disajikan akan tertanam lebih lama dalam ingatan
siswa. selain itu banyaknya pengulangan akan sangat menentukan
lamanya konsep diingat siswa. Makin sering pengulangan dilakukan
akan semakin kuat konsep tertanam dalam ingatan siswa.

2.2 Teori Skinner


Burrhus Frederic Skinner menekankan pada perubahan perilaku yang dapat
diamati dengan mengabaikan kemungkinan yang terjadi dalam proses
berpikir pada otak seseorang. Oleh karena itu, para pendahulunya dikatakan
sebagai pengguna kondisi klasikal. B.F. Skinner melakukan eksperimen
terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan
hukum-hukum belajar, diantaranya :

Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan


stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku telah diperkuat
melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka
kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.

Skinner membedakan adanya dua macam respon, yaitu responding


conditioning dan operant conditioning.

a) Respondent conditioning (respondent response) adalah respon yang


diperoleh dari beberapa stimulus yang teridentifikasi. Stimulus yang
teridentifikasi itu menimbulkan respon yang secara relatif tetap.
b) Operant conditioning adalah suatu respon terhadap lingkungannya.
Operant conditioning itu dapat dipergunakan untuk mendorong
peserta didik memberikan respon yang berupa tingkah laku. Peristiwa
terjadinya tingkah laku itu disebut respon belajar (operant learning).
Operant conditioning untuk respon belajar dikontrol dengan diiringi
suatu tingkah laku dan stimulus.

5
Kondisi operasional ini meliputi ganjaran (reward) dan penguatan
(reinforcement). Terdapat perbedaan antara ganjaran dan penguatan.
Ganjaran merupakan respon yang sifatnya menggembirakan dan merupakan
tingkah laku yang sifatnya subyektif, sedangkan penguatan merupakan suatu
yang mengakibatkan meningkatnya kemungkinan suatu respon dan lebih
mengarah kepada hal-hal yang sifatnya dapat diamati dan diukur.

Teori Skinner menyatakan penguatan terdiri atas penguatan positif dan


penguatan negatif. Contoh penguatan positif diantaranya adalah pujian yang
diberikan kepada siswa, sikap guru yang menunjukkan rasa gembira pada saat
siswa bisa menjawab dengan benar.

Penguatan positif akan berbekas pada diri siswa. Tanggapan yang dihargai
akan cenderung diulangi. Mereka yang mendapat pujian setelah berhasil
menyelesaikan tugas atau menjawab pertanyaan dengan benar biasanya akan
berusaha memenuhi tugas berikutnya dengan penuh semangat. Penguatan
yang berbentuk hadiah atau pujian akan memotivasi siswa untuk rajin belajar
dan mempertahankan prestasinya. Penguatan negatif adalah bentuk stimulus
yang lahir akibat dari respon siswa yang kurang atau tidak diharapkan.
Contoh penguatan negatif yaitu pemberian alasan untuk terlambat
mengerjakan pekerjaan rumah akan membuat seseorang tidak tepat waktu
menyampaikan pekerjaan rumah yang lain. Bentuk-bentuk penguatan negatif
antara lain, menunda/tidak memberi penghargaan, memberikan tugas
tambahan atau menunjukkan perilaku tidak senang (menggeleng, kening
berkerut, muka kecewa dan lain lain).

Dalam pandangannya Skinner, komponen-komponen penting dalam


pengajaran matematika adalah sebagai berikut.

1. Tujuan yang dinyatakan adalah terminologi tingkah laku.


2. Tugas dibagi menjadi ketrampilan-ketrampilan yang satu menjadi
prasyarat dari yang lain.
3. Penentuan hubungan antara ketrampilan pra syarat dan urutan logis
dari materi yang akan dipelajari.
4. Perencanaan materi dan prosedur mengajar untuk setiap tugas bagian.
5. Pemberian balikan kepada peserta didik yang dapat dilihat
penampilan peserta didik di mana peserta didik itu telah selesai
melaksanakan tugas-tugas bagian yang mendukung.

6
Kelebihan dan Kekurangan Teori Skinner adalah sebagai berikut:
a) Kelebihan
Pada teori ini, pendidik diarahkan untuk menghargai setiap anak
didiknya. Hal ini ditunjukkan dengan dihilangkannya sistem
hukuman. Hal itu didukung dengan adanya pembentukan lingkungan
yang baik sehingga dimungkinkan akan meminimalkan terjadinya
kesalahan.
b) Kekurangan
1) Tanpa adanya sistem hukuman akan dimungkinkan dapat
membuat anak didik menjadi kurang mengerti tentang sebuah
kedisiplinan. Hal tersebut akan menyulitkan lancarnya kegiatan
belajar mengajar.
2) Beberapa kekeliruan dalam penerapan teori Skinner adalah
penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk
mendisiplinkan siswa. Menurut Skinner hukuman yang baik
adalah anak merasakan sendiri konsekuensi dari perbuatannya.
Misalnya anak perlu mengalami sendiri kesalahan dan merasakan
akibat dari kesalahan. Penggunaan hukuman verbal maupun fisik
seperti: kata-kata kasar, ejekan, cubitan, jeweran justru berakibat
buruk pada siswa.
3) Selain itu kesalahan dalam reinforcement positif juga terjadi
didalam situasi pendidikan seperti penggunaan rangking Juara di
kelas yang mengharuskan anak menguasai semua mata pelajaran.
Sebaliknya setiap anak diberi penguatan sesuai dengan
kemampuan yang diperlihatkan sehingga dalam satu kelas
terdapat banyak penghargaan sesuai dengan prestasi yang
ditunjukkan para siswa: misalnya penghargaan di bidang bahasa,
matematika, fisika, menyanyi, menari atau olahraga.

2.3 Teori Ausubel


David Ausubel merupakan ahli psikologi kognitif yang mengembangkan
teori psikologi kognitif, yaitu teori yang membahas tentang cara manusia
memperoleh pengetahuan, mengolah tangkapan indera, pemecahan masalah,
penggalian ingatan pengetahuan, dan prosedur kerja. Pada teorinya, Ausubel
menekankan perbedaan antara belajar bermakna dan belajar hafalan.
Menurut Ausubel (1963: 42-43) belajar bermakna itu sendiri adalah proses
menghubungkan informasi baru dengan konsep yang relevan dengan
informasi tersebut pada struktur kognitif seseorang. Ausubel (1978: 163)
mengatakan bahwa berhasil atau tidak dari belajarnya seseorang tergantung
dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Selain itu, untuk mendukung

7
pengembangan belajar bermakna dapat dilakukan dengan pemberian masalah
yang kontekstual dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya menurut Ausubel (Dahar, 2011: 100) untuk menguhungkan


informasi baru yang diterima siswa dengan pengetahuan yang sudah
diketahui sebelumnya, diperlukan suatu penghubung, yang dalam belajar
bermakna dikenal dengan istilah advance organizer. Menurut Curzon
(Shihusa & Keraro, 2009: 414) advance organizer terbagi dua, yaitu
expository dan comparative. Expositoryorganizer itu sendiri adalah alat
penghubung yang digunakan ketika materi baru yang akan diberikan benar-
benar asing. Expositoryorganizer dimaksudkan untuk menguhubungkan
esensi materi baru dengan materi yang sudah diketahui sebelumnya.
Sedangkan untuk comparativeorganizer digunakan jika materi baru yang
akan diajarkan tidak begitu asing bagi siswa. Comparativeorganizer
dimaksudkan untuk menunjukan beda antara materi baru dengan materi yang
sudah diketahui. Untuk penerapan expository dan comparativeorganizer
dapat dilakukan dengan diskusi singkat, tanya jawab, atau menggunakan
media gambar atau komputer.

Menurut Mayer (Haylock & Thangata, 2007: 121) karakteristik belajar


bermakna yaitu peserta didik dapat memanfaatkan pengetahuan yang mereka
miliki untuk menyelesaikan masalah dan konsep baru. Sedangkan menurut
Meral (2009: 628) pembelajaran bermakna memiliki karakteristika
diantaranya:

1) Penggabungan pengetahuan baru dengan struktur kognitif peserta didik.


2) Upaya yang disengaja untuk menggabungkan pengetahuan dengan
konsep lebih tinggi dengan struktur kognitif peserta didik.
3) Pembelajaran yang berupa pengalaman.
4) Komitmen tentang sikap terhadap pengatahuan baru sebelum memulai
materi yang akan dipelajari.
Sedangkan Nasution (1982: 158) menyimpulkan kondisi-kondisi belajar
bermakna sebagai berikut:
1) Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-
bahan lama.
2) Lebih dulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal-hal yang
lebih terperinci
3) Menunjukkanpersamaandanperbedaanantarabahanbarudenganbahanlama
4) Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide
yang baru disajikan.

8
Faktor-faktor utamanya yang mempengaruhi belajar bermakna adalah
struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam
suatubidang studi tertentu dan pada waktu tertentu.

Menurut Ausubel (Dahar, 2011: 99) ada beberapa prasyarat yang harus
dipenuhi dalam pelaksanaan belajar bermakna, yaitu:
1) Materi yang diajarkan harus bermakna secara potensial. Dua faktor
yang mempengaruhi suatu materi bermakna atau tidak yaitu:
a) Materi harus bermakna logis
b) Gagasan yang relevan harus terdapat pada struktur kognitif
siswa.

2) Peserta didik harus memiliki kemauan untuk melaksanakan


pembelajaran bermakna. Sehingga peserta didik siap dengan
pelaksanaan belajar bermakna.

Belajar bermakna diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis, yaitu:


A. Klasifikasi Belajar dalam Dimensi
1) Dimensi–1Tentang cara penyajian informasi atau materi kepada
siswa. Dimensi ini berkaitan dengan penyajian informasi kepada
siswa, yaitu apakah dilakukan dengan penerimaan yang berarti siswa
secara langsung menerima informasi atau penemuan yang
mengharuskan siswa mencari sendiri informasi yang akan didapat.
2) Dimensi–2 tentang cara siswa mengkaitkan materi yang diberikan
dengan struktur kognitifyang telah dimilikinya. Dimensi ini adalah
inti dari belajar bermakna, yaitu siswa mengaitkan materi yang diberi
dengan struktur kognitif yang mereka miliki.
B. Klasifikasi Belajar berdasarkan cara siswa menerima pelajaran
1) Belajar Bermakna (Meaningfull Learning)
Bila informasi yang akan dipelajari disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki peserta didik. Sehingga peserta didik itu dapat
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognifitif dan juga
pengetahuan yang dimilikinya.
2) Belajar Menghafal(RoteLearning)
Bila struktur kognitif siswa belum memiliki kerelevanan dengan
informasi baru yang akan diperoleh, sehingga mengharuskan
mempelajari materi dengan menghafal.
C. Klasifikasi belajar berdasarkan cara menyajikan materi
1) Penerimaan
a. Belajar menerima yang bermakna

9
Belajar menerima yang bermakna yaitu apabila materi atau
informasi yang disajikan disusun secara logis kemudian diberikan
kepada siswa dalam bentuk final. Hal ini berarti siswa hanya
diharuskan menerima materi yang diberikan dan mengaitkannya
dengan struktur kognitif yang dimiliki.
b. Belajar menerima yang tidak bermakna
Belajar menerima yang bermakna yaitu apabila materi atau
informasi yang disajikan disusun secara logis kemudian diberikan
kepada siswa dalam bentuk final. Tetapi pada belajar menerima
yang tidak bermakna ini, peserta didik hanya diharuskan untuk
menghafal, tidak mengaitkan dengan struktur kognitif yang
dimiliki.
2) Penemuan
a. Belajar dengan penemuan yang bermakna
Belajar penemuan yang bermakna berarti peserta didik mencari
sendiri informasi atau materi yang akan dipelajari. Kemudian dari
informasi yang didapat sendiri tersebut dihubungkan denga
struktur kognitif yang dimiliki.
b. Belajar dengan penemuan tidak bermakna
Belajar penemuan yang tidak bermakna berarti peserta didik
mencari sendiri informasi atau materi yang akan dipelajari. Tetapi
belajar menemukan yang tidak bermakna ini, peserta didik hanya
diharuskan untuk menghafal, tidak mengaitkan dengan struktur
kognitif yang dimiliki.

Dalam menerapkan belajar bermakna, terdapat beberapa prinsip yang harus


diperhatikan, yaitu:
1) Advance Organizer
Advance organizer yaitu mengarahkan siswa ke materi yang akan
dipelajari dan mengingatkan kembali materi yang sudah pernah
diajarkan. Hal tersebut akan membantu siswa dalam mengaitkan
informasi baru dengan struktur kognitif yang dimiliki
2) Diferensiasi Progresif
Menurut Sulaiman (1988: 148) diferensiasi progresif adalah cara
mengembangkan pokok bahasan dengan menguraikan bahan materi
secara hierarkis, sehingga setiap bagian dapat dipelajari terpisah. Hal
ini berarti dalam belajar bermakna perlu dikembangkan materi dari
umum ke khusus.
3) Belajar Superodinat

10
Belajar superodinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang sudah
dipelajari dikenal sebagai unsur dari suatu konsep yang lebih luas.
4) Penyesuaian Integratif
Menurut Ausubel (Dahar, 1988: 148) tidak hanya urutan berdasarkan
diferensiasi progresif saja yang harus diperhatikan, melainkan juga
harus diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan
dengan konsep yang superodinat. Sesuai dengan prinsip ini guru
diharuskan memperlihatkan bagaimana arti-arti baru jika
dibandingkan dengan arti-arti yang sudah dipelajari dan bagaimana
konsep yang lebih tinggi mengambil alih arti baru. Sehingga dalam
penyusunan materi juga disusun sedemikian rupa sehingga dapat
digerakkan hierarki-hierarki ke atas dan ke bawah selama informasi
disajikan.

Langkah-langkah penerapan teori Ausubel dalam pembelajaran yaitu:


1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Mengukur kesiapan siswa
3. Memilih materi pembelajaran dan mengatur dalam penyajian konsep
4. Mengidentifikasi prinsif-prinsif yang harus dikuasai peserta didik dari
materi pembelajaran
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang
seharusnya dipelajari
6. Menggunakan“advance organizer” dengan cara memberikan
rangkuman dilanjutkan dengan keterkaitan antara materi.
7. Mengajar siswa dengan pemahaman konsep
8. Mengevaluasi hasil belajar(PrasetyoIrawan,1996)

Selanjutnya kelebihan dan kelemahan dari teori Ausubel itu sendiri yaitu:
1. Kelebihan
a. Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
b. Informasi yang dipelajari secara bermakna memudahkan proses
belajar berikutnya untuk materi pelajaran yang mirip.
c. Informasi yang dipelajari secara bermakna mempermudah belajar
hal-hal yang mirip walaupun telah terjadi lupa.
2. Kelemahan
a. Informasi yang dipelajari secara hafalan tidak lama diingat.
b. Jika peserta didik berkeinginan untuk mempelajari sesuatu tanpa
mengaitkan hal yang satu dengan hal yang lain yang sudah
diketahuinya maka baik proses maupun hasil pembelajarannya
dapat dinyatakan sebagai hafalan dan tidak akan bermakna.

11
2.4 Teori Gagne
2.4.1 Batasan dan Komponen Belajar
R. Gagne adalah seorang ahli psikologi pendidikan berkebangsaan
amerika Ia mengembangkan konsep terpakai dari teori
instruksionalnya untuk mendisain pelatihan berbasis komputer dan
belajar berbasis multimedia. Teori Gagne banyak dipakai untuk
mendisain software instruksional. R. Gagne mengembangkan teori
belajarnya berdasarkan asumsi–asumsi sbb:
1. Pertumbuhan dan perkembangan individu merupakan akibat dari
belajar.
2. Belajar merupakan proses yang kompleks sifatnya. (Bell E
Greadler, 1994: 231)

Berdasarkan dari asumsi tersebut, Gagne mendefinisikan belajar


sebagai seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimuli dari
lingkungan menjadi beberapa tahapan pengolahan informasi yang
diperlukan untuk memperoleh kapasitas yang baru. (Gagne, 1979:43).

Terdapat 3 komponen esensial dalam belajar, yaitu : kondisi internal,


kondisi eksternal, dan hasil belajar. Berkaitan dengan jenis belajar,
Gagne mengembangkan suatu teori yang disebut tipe hasil belajar.
Tipe hasil belajar tersebut terdiri atas : informasi verbal, keterampilan
intelektual, siasat kognitif, sikap dan keterampilan motorik (Gagne,
1989: 44).

2.4.2 Belajar Konsep Menurut Gagne


Pada hirarki belajar yang dikemukakan oleh Gagne, belajar konsep
ditempatkan pada urutan kelima. Sedangkan pada tipe hasil
belajarnya, belajar konsep dipandang sebagai bagian dari keterampilan
intelektual, yang disusun dalam suatu hirarki tersendiri.

Gagne membagi belajar konsep atas dua bagian, yaitu belajar konsep
kongkrit dan belajar konsep terdefenisi. Belajar konsep kongkrit
adalah belajar memahami kebersamaan sifat-sifat dari benda-benda
kongkrit atau peristiwa-peristiwa untuk di kelompokkan menjadi satu
jenis. Sedangkan belajar konsep terdefenisi adalah kemampuan
mendemonstrasikan makna dari kelas tertentu tentang objek-objek,
kejadian-kejadian, atau hubungan-hubungan, dan mampu

12
menunjukkan komponen-komponen dalam konsep tersebut. Dalam hal
belajar konsep kondisi internal dan kondisi eksternal dipaparkan sbb:
1. Konsep konsep kongkrit
Menurut Gagne (1979: 65) kondisi internal dan kondisi eksternal
yang dibutuhkan dalam belajar konsep konkrit adalah
a. Kondisi Internal
Siswa dapat membedakan secara cermat contoh suatu konsep.
Dengan demikian kemampuan memahami konsep konkrit ini
tergantung pada kemampuan siswa dalam mengadakan
diskriminasi.
b. Kondisi Eksternal
Mencakup kejelasan dalam ciri-ciri fisik pada objek yang
harus dikelompokkan. Ini berarti belajar konsep konkrit dapat
dipercepat dengan bantuan isyarat-isyarat, dan penyajian
beberapa contoh.

2. Konsep-konsep terdefinisi
Menurut Gagne (1979:67) kondisi internal dan kondisi eksternal
yang dibutuhkan dalam belajar konsep terdefinisi adalah
a. Kondisi internal
Untuk memperoleh konsep terdefinisi, siswa harus
mengeluarkan atau menghubungkan semua kompenen-
kompenen konsep yang terdapat dalam definisi,
termasuk hubungan antar konsep.
b. Kondisi eksternal
Suatu konsep terdefinisi dapat dipelajari dengan meminta
siswa mengamati suatu demonstrasi atau skema/bagan dari
komponen atau melalui pernyataan verbal.

2.4.3 Sistem Pemrosesan Informasi


Gagne mengemukakan suatu teori tentang proses belajar yang
mengacu pada sistem pemrosesan informasi. Pada model pemrosesan
informasi tersebut, stimulus dari lingkungan peserta didik akan
mempengaruhi receptor (penerima stimulus), kemudian masuk ke
sistem saraf melalui sensory register (yaitu organ yang pertama kali
menerima adanya stimulus tersebut) yang terdapat dalam sistem saraf
pusat.

Penerimaan stimulus ini merupakan persepsi objek dan peristiwa yang


pertama kali bagi peserta didik. Stimulus yang berupa informasi itu

13
akan disimpan dalam system saraf pusat dalam waktu yang sangat
singkat. Menurut Sperling (dalam Ratna, 1989: 34) informasi itu
hanya disimpan selama seperempat detik.

Dari seluruh informasi yang masuk, sebagian kecil disimpan untuk


selanjutnya memasuki short-term memory (ingatan jangka pendek),
sedangkan selebihnya akan hilang dari sistem. Proses reduksi ini
disebut selective perception (tanggapan selektif). Tertangkapnya
informasi tertentu itu ke dalam short-term memory memerlukan waktu
yang relatif singkat (kira-kira 10 detik), kecuali bila informasi tertentu
itu diulang-ulang maka akan tertahan dalam jangka waktu yang agak
lama.

Informasi yang terdapat dalam short-term memory dapat diberi kode,


kemudian disimpan dalam long-term memory (ingatan jangka
panjang). Coding (pengkodean) sebaiknya dilakukan dengan teknik
tertentu agar pengitegrasian informasi baru ke dalam tidak merusak
struktur yang terdapat di dalam long-term memory. Informasi yang
tersimpan pada long-term memory akan bertahan dalam jangka waktu
yang sangat lama. Bila informasi tersebut akan digunakan maka
informasi itu harus dipanggil/diingat. Informasi yang telah dipanggil
merupakan dasar pada response generator (penghasil respon). Dalam
pikiran sadar, informasi mengalir dari long-term memory ke short-
term memory dan kemudian ke response generator. Tetapi untuk
respon otomatis, informasi mengalir langsung dari long-term memory
ke response generator selama pemanggilan.

Response generator akan mengatur urutan respon dan membimbing


effectors ke dalam suatu tindakan yang akan mempengaruhi
lingkungan (environment). Effectors meliputi semua otot dan kelenjar
kita, tetapi effectors yang utama untuk tugas sekolah ialah tangan
(untuk menulis) dan alat suara (untuk berbicara).

Executive control (pengaturan) dan expectancies (pengharapan) dalam


model pemrosesan informasi dipandang untuk mengaktifkan dan
memodifikasi arus informasi.

2.4.4 Fase-Fase Belajar


Berdasarkan model pemrosesan informasi, Gagne (dalam Bell
Gredler,1994:198) menerapkan konsep pengolahan (proses) kognitif

14
dalam analisis terhadap hal belajar, Gagne menemukan Sembilan
tahapan pengolahan yang esensial bagi belajar dan harus dilaksanakan
secara berurutan, kesembilan tahapan tersebut dinamakan fase-fase
belajar. Uraian masing- masing fase tersebut sbb:
1. Persiapan untuk belajar
Persiapan untuk belajar memuat 3 (tiga) fase, yaitu :
a. Fase Attending (Mengarahkan Perhatian)
Fase ini untuk menyadarkan siswa akan adanya stimulus dan
menangkap stimulus yang relevan, stimulus yang
dimaksudkan dapat berupa komunikasi verbal (lisan atau
tulisan), gambar diam dll. Menarik perhatian siswa dapat
dilakukan dengan mengajukan pertanyaan yang merangsan
minat, menceritakan kejadian yang lain dari biasanya, atau
membangkitkan minat tertentu.
b. Fase Pengharapan
Fase pengharapan berfungsi mengantar siswa untuk
mengetahui tujuan belajar, orientasi tujuan yang sudah
terbentuk pada tahap ini membuat siswa dapat memilih hasil
apa yang sesuai pada setiap fase berikutnya dalam
pengolahan informasi (Gagne, 1977:61). Arahan yang
diberikan pada fase pertama akan menimbulkan harapan
untuk mengetahui sajian yang akan diajarkan, dan sekaligus
menimbulkan rasa keingintahuan siswa terhadap pelajaran
yang akan diberikan.
c. Fase Retrival (Mendapatkan Kembali)
Fase ini berfungsi untuk mengingat kembali kapabilitas
prasyarat esensial untuk kegiatan belajar yang baru, proses
menggali ingatan dapat dipengaruhi oleh stimulus eksternal.
Pada proses ini kemungkinan peserta didik akan kehilangan
hubungan dengan informasi yang ada dalam ingatan jangka
panjang. Dalam keadaan demikian, pengajar harus
memberikan stimulus eksternal, misalnya memberikan sedikit
informasi yang relevan kemudian meminta peserta didik
untuk mencari kaitannya.

2. Perolehan dan performasi


Bagian ini terdapat 4 fase berikutnya, yaitu:
d. Fase Persepsi Selektif atas Sifat-Sifat Stimulus
Fase ini mengubah bentuk stimulus fisik menjadi ciri-ciri
yang dapat dikenal. Pada fase ini siswa melakukan seleksi

15
terhadap stimulus yang datang, informasi yang relevan
dengan pelajaran yang akan disajikan dipanggil dari ingatan
jangka panjang maupun ingatan jangka pendek untuk diberi
kode.
e. Fase Semantic Econding (Sandi Semantik)
Fase ini merupakan fase pengkodean, yaitu memberikan kode
pada ciri-ciri stimulus dengan kerangka kerja konseptual atau
bermakna dan disimpan dalam memori jangka panjang.
Proses ini merupakan tahap sentral dan kritis dalam belajar
dan tanpa tahap ini belajar tidak akan terjadi (Gagne, 1977:
66). Sandi yang disimpan dapat berupa konsep, proposisi,
atau organisasi lain yang bermakna.
f. Fase Retrival dan Respon
Fase ini berfungsi mengembalikan informasi yang disimpan
ke pembangkit respons orang dan mengaktifkan respons.
Pada fase ini siswa mendapatkan kembali sandi yang baru
saja disimpan pada memori jangka panjang.
g. Fase Reinforcement (Penguatan)
Fase ini berfungsi mengkorfirmasikan pengharapan siswa
tentang tujuan belajar. pada fase ini siswa mendapatkan
pengukuhan atas diperolehnya kapabilitas baru.

3. Alih belajar
Alih belajar memuat 2 (dua) fase terakhir, yaitu:
h. Fase Pengisyaratan Untuk Retrival
Fase ini berfungsi memberikan isyarat tambahan untuk
mengingat kembali kapabilitas yang sesuai dari memori
jangka panjang.
i. Fase Generalisasi
Fase ini berfungsi meningkatkan kemampuan alih belajar
kesituasi baru.

Berdasarkan uraian tentang model pemrosesan informasi dan fase-


fase belajar Gagne sebagaimana telah dikemukakan, terlihat bahwa
Gagne sangat memerhatikan proses yang terjadi dalam diri individu
yang belajar. Disamping itu, Gagne juga memerhatikan perilaku yang
tampak (respon) dari individu setelah diberikan stimulus. Dengan
demikian Gagne memadukan antara psikologi kognitif dan psikologi
tingkah laku dalam belajar.

16
2.4.5 Rancangan Pembelajaran
Berdasarkan analisisnya tentang pengelolaan esensial dalam belajar
yang disusun dalam 9 fase seperti dipaparkan diatas, maka Gagne
merancang suatu model pembelajaran dengan asumsi-asumsi sbb:
1. Pembelajaran mesti direncanakan agar memperlancar belajar
siswa secara individu.
2. Fase pendek dan fase panjang hendaknya masuk dalam
rancangan.
3. Perencanaan hendaknya tidak asal jadi,dan tidak sekedar
menyiapkan lingkungan asuh saja.
4. Usaha pembelajaran mesti dirancang dengan menggunakan
analisis system.
5. Pembelajaran harus dikembangkan berdasarkan pengetahuan
tentang cara belajar. (Gagne, 1979:5)

Berdasarkan pada asumsi-asumsi diatas, Gagne menyusun rencangan


pembelajaran yang bersesuaian dengan kondisi belajar,yang terjadi
pada masing-masing fase belajar. Rancangan yang dimaksud terdiri
atas:
1. Perumusan Tujuan Performasi
Perumusan tujuan performasi secara spesifik menuntut adanya
kemampuan internal tertentu yang dapat digolongkan dalam
kategori hasil belajar tertentu, melalui proses belajar. Hal ini
berarti proses belajar yang dilalui oleh sisiwa untuk memeroleh
hasil belajar tertentu harus disesuaikan dengan tujuan performasi
yang telah dirumuskan.

2. Memilih Acara Pembelajaran


Fungsi pembelajaran adalah menunjang proses internal yang
terjadi dalam diri siswa. Kesembilan fase belajar yang telah
dipaparkan sebelumnya masing-masing sejauh kejadiannya
digiatkan secara internal, disamping itu juga perlu diperhatikan
proses pengaturan tertentu dari stimulus lingkungan.

2.5 Teori Pavlop


Dalam tahun-tahun terakhir dari abad ke 19 dan tahun-tahun permulaan abad
ke-20, Pavlov dan kawan-kawan mempelajari proses pencernaan dalam
anjing. Selama penelitian mereka para ahli ini memperhatikan perubahan
dalam waktu dan kecepatan pengeluaran air liur. Dalam eksperimen-
eksperimen ini Pavlov dan kawan-kawannya menunjukkan, bagaimana

17
belajar dapat mempengaruhi perilaku yang selama ini disangka refleksif dan
tidak dapat dikendalikan, seperti pengeluaran air liur. Berangkat dari
pengalamannya, Pavlov mencoba melakukan eksperimen dalam bidang
psikologi dengan menggunakan anjing sebagi subjek penyelidikan.

Dari hasil eksperimen-eksperimen yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov


berkesimpulan: bahwa gerakan-gerakan refleks itu dapat dipelajari; dapat
berubah karena mendapat latihan. Sehingga dengan demikian dapat
dibedakan dua macam refleks, yaitu refleks wajar (Unconditioned Refleks) -
keluar air liur ketika melihat makanan dan refleks bersyarat/refleks yang
dipelajari (Conditioned Refleks) - keluar air liur karena menerima/bereaksi
terhadap warna sinar tertentu, atau terhadap suatu bunyi tertentu (Mulyati.
2005).

Dari hasil eksperimen dengan menggunakan anjing tersebut, Pavlov akhirnya


menemukan beberapa hokum pengkondisian, antara lain:
1. Kepunahan/Penghapusan/Pemadaman (extinction)
Penghapusan berlaku apabila rangsangan terlazim tidak diikuti dengan
rangsangan tak terlazim, lama-kelamaan individu/organisme itu tidak
akan bertindak balas. Setelah respons itu terbentuk, maka respons itu
akan tetap ada selama masih diberikan rangsangan bersyaratnya dan
dipasangkan dengan rangsangan tak bersyarat. Kalau rangsangan
bersyarat diberikan untuk beberapa lama, maka respons bersyarat lalu
tidak mempunyai penguat/reinforce dan besar kemungkinan respons
bersyarat itu akan menurun jumlah pemunculannya dan akan semakin
sering tak terlihat seperti penelitian sebelumnya. Peristiwa itulah yang
disebut dengan pemadaman (extinction). Beberapa respons bersyarat
akan hilang secara perlahan-lahan atau hilang sama sekali untuk
selamanya.

2. Generalisasi Stimulus (stimulus generalization)


Rangsangan yang sama akan menghasilkan tindak balas yang sama.
Pavlov menggunakan bunyi loceng yang berlainan nada, tetapi anjing
masih mengeluarkan air liur. Ini menunjukkan bahawa organisme
telah terlazim, dengan dikemukakan sesuatu rangsangan tak terlazim
akan menghasilkan gerak balas terlazim (air liur) walaupun
rangsangan itu berlainan atau hampir sama.

3. Pemilahan (discrimination)

18
Diskriminasi yang dikondisikan ditimbulkan melalui penguatan dan
pemadaman yang selektif. Diskriminasi berlaku apabila individu
berkenaan dapat membedakan atau mendiskriminasi antara
rangsangan yang dikemukakan dan memilih untuk tidak bertindak
atau bergerak balas.

4. Tingkat Pengondisian Yang Lebih Tinggi


Akhirnya, Pavlov menunjukkan bahwa sekali kita dapat
mengondisikan seekor anjing secara solid kepada stimulus yang
dikondisikan tertentu, maka dia kemudian bias menggunakan stimulus
yang dikondisikan itu untuk menciptakan hubungan dengan stimulus
lain yang masih netral.

Secara garis besar hukum-hukum belajar menurut Pavlov, diantaranya:


1) Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang
dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang
salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus
lainnya akan meningkat.
2) Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang
dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer,
maka kekuatannya akan menurun.

Prinsip-prinsip belajar menurut Classical Conditioning Paplov dapat


disimpulkan sebagai berikut:
1. Belajar adalah pembentukan kebiasaan dengan cara menghubungkan
atau mempertautkan antara perangsang (stimulus) yang lebih kuat
dengan perangsang yang lebih lemah.
2. Proses belajar terjadi apabila ada interaksi antara organisme dengan
lingkungan.
3. Belajar adalah membuat perubahan-perubahan pada organisme.
4. Setiap perangsang akan menimbulkan aktivitas otak US (stimulus
yang tidak dikondisikan) dan CS (stimulus yang dikondisikan) akan
menimbulkan aktivitas otak.
5. Semua aktifitas susunan syaraf pusat diatur oleh eksitasi dan inhibisi.
Setiap peristiwa di lingkungan organisme akan dipengaruhi oleh dua
hal tersebut, yang pola tersebut oleh Pavlov disebut Cortical Mosaic.
Dan pola ini akan mempengaruhi respons organisme terhadap
lingkungan. Namun demikian Pavlov juga menyadari bahwa tingkah
laku manusia lebih komplek dari binatang, karena manusia

19
mempunyai bahasa dan hal ini akan mempengaruhi tingkah laku
manusia.

2.6 Teori Baruda


Albert Baruda merupakan tokoh Aliran Tingkah Laku. Ia terkenal dengan
belajar menirunya. Baruda menyangkal pendapat Skinner yang mengatakan
bahwa respon yang diberikan siswa yang disertai penguatan itu selalu
esensial. Hal tersebut berdasarkan penelitian yang telah dilakukannya dan
penelitian teman-temannya. Baruda mengemukakan bahwa siswa belajar itu
melalui meniru hal-hal yang dilakukan oleh orang lain, terutama guru. Jika
tulisan guru baik, guru bicara sopan santun dengan menggunakan bahasa yang
baik dan benar, tingkah laku yang terpuji, menerangkan dengan jelas dan
sistematik maka siswa akan menirunya. Demikian pula jika contoh-contoh
yang dilihatnya kurang baik ia pun akan menirunya.

2.7 Aliran Latihan Mental


Aliran latihan mental berkembang pada awal abad ke-20. Aliran ini
beranggapan bahwa struktur otak manusia terdiri dari gumpalan otot-otot.
Oleh karena itu, sama halnya dengan otot, jika ingin kuat maka otak harus
banyak dilatih dengan beban, yaitu berupa latihan-latihan, semakin banyak
dan berat latihan yang dilakukan maka akan semakin kuat pula otak tersebut.
Dengan demikian jika anak ingin pandai maka harus banyak berlatih
memahami dan mengerjakan soal-soal, seperti soal matematika (khususnya
geometri) dan bahasa latin, semakin banyak dan sukar akan menjadikan
seorang anak semakin pandai. Aliran latihan mental terus dianut sampai awal
abad ke-20, hingga ahli psikologi membantah aliran tersebut dengan
menyatakan bahwa tidak benar jika otak berupa gumpalan otot. Sehingga
untuk melatih otak tidak seperti melatih otot, melainkan mengaitkannya
dengan konsep sebelumnya.

20
BAB III
HASIL ANALISIS

3. 1 Narasi Video Pembelajaran


Pada video yang ditayangkan pada Vclass, terlihat bahwa di video tersebut
seorang guru sedang mengajarkan konsep luas permukaan lingkaran kepada
siswa-siswinya di kelas. Di awal pembelajaran guru menguji ingatan siswa
dan siswinya tentang luas lingkaran, dimana luas lingkaran ini nantinya
berkaitan dengan luas permukaan bola. Ternyata siswa dan siswinya ingat
dengan luas lingkaran, selanjutnya guru menerapkan pembelajaran Project
Based Learning secara berkelompok untuk bisa menciptakan pemahaman
tentang luas permukaan bola.

Tiap kelompok diminta mengupas kulit jeruk kemudian memotong kulit jeruk
mejadi bagian yang kecil-kecil. Pada lembar kerja terdapat empat buah
lingkaran, tiap kelompok diminta menempelkan bagian bagian kulit jeruk
tersebut sampai habis menutup empat lingkaran tersebut. Setelah itu salah
satu kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, sehingga
diperoleh pemahaman para siswa tentang luas permukaan bola dimana luas
permukaan bola diperoleh melalui empat luas lingkaran.

3. 2 Hasil Analisis Berdasarkan Pengertian Belajar Bermakna


Dari pembelajaran yang ditayangkan kami melihat bahwa guru tersebut
menerapkan teori belajar Ausubel, sebab cara yang dilakukan guru untuk
memberikan pemahaman tentang luas permukaan bola adalah dengan
mengaitkannya dengan konsep luas lingkaran yang sudah ada pada struktur
kognitif siswa dan siswi sehingga siswa dan siswinya dengan mudah
memahami konsep luas permukaan bola, dan tentunya karena bukan lagi
menghafal konsep baru melainkan mengaitkannya dengan konsep
sebelumnya maka siswa dan siswi akan memiliki ingatan yang lebih lama
terhadap konsep luas permukaan bola.

3. 3 Hasil Analisis Berdasarkan Karakteristik Belajar Bermakna


Nasution 1982:158 menyimpulkan kondisi-kondisi belajar bermakna
sebagai berikut :
1) Menjelaskan hubungan atau relevansi bahan-bahan baru dengan bahan-
bahan lama. Berdasarkan pada video, kondisi ini terdapat dalam
kemampuan menghubungkan rumus luas lingkaran untuk menemukan
rumus luas permukaan bola.
2) Lebih dulu diberikan ide yang paling umum dan kemudian hal-hal yang
lebih terperinci. Kondisi ini terdapat dalam tahap generalisasi

21
menemukan rumus luas permukaan bola, dimana dimulai dengan
mengaitkan buah jeruk sebagai contoh konkrit dari bola hingga berhasil
untuk menyimpulkan rumus luas permukaan bola.
3) Menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahan baru dengan bahan
lama. Persamaan antara bahan baru dengan bahan lama pada video
adalah sama-sama mempunyai permukaan berbentuk lingkaran hanya
saja untuk bahan baru (bola) memiliki 4 kali luas dari permukaan
lingkaran. Sehingga perbedaannya terdapat pada rumus akhir yang
diperoleh.
4) Mengusahakan agar ide yang telah ada dikuasai sepenuhnya sebelum ide
yang baru disajikan. Dalam video, kondisi ini terdapat dalam pertanyaan
guru kepada peserta didik. Dimana guru bertanya “apakah sudah
mengetahui rumus permukaan lingkaran yang sudah dipelajari
sebelumnya?” kemudian dengan serempak peserta didik menjawab
“sudah” dilanjutkan dengan menyebutkan rumus permukaan lingkaran
yaitu πr2. Karena peserta didik sudah mampu menjawab dengan benar,
maka dapat disimpulkan bahwa konsep sebelummnya telah dikuasai.

Karena keempat ciri-ciri belajar bermakna terdapat dalam video, maka dapat
dikatakan bahwa video pembelajaran 1 menerapkan proses belajar
bermakna. menganut teori Ausubel.

3. 4 Hasil Analisis Berdasarkan Faktor Belajar Bermakna


Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna menurut Ausubel
adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas, dan kejelasan pengetahuan dalam
suatu bidang studi tertentu dan pada waktu tertentu. Karena prasyarat belajar
bermakna sudah terpenuhi maka faktor-faktor yang mempengaruhi belajar
bermakna dapat dikatakan mampu menunjang proses pembelajaran.

3. 5 Hasil Analisis Berdasarkan Prasyarat Belajar Bermakna


Dalam video pembelajaran 1 yang berjudul menemukan rumus dari luas
permukaan bola, dapat dikatakan bahwa kondisi dan sikap peserta didik
terhadap tugas sudah bersesuaian dengan intensi peserta didik. Karena peserta
didik melaksanakan tugas dengan sikap bahwa ia ingin memahami bahan
pelajaran berupa lembar kerja kelompok terkait menemukan rumus dari luas
permukaan bola menggunakan alat peraga berupa buah jeruk sehingga
mampu mengaplikasikan rumus luas permukaan bola ke dalam permasalahan
sehari-hari, seperti menghitung cat yang diperlukan untuk mengecat bak
mandi yang berbentuk setengah bola.

22
Tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik sudah sesuai dengan
struktur kognitif peserta didik sehingga peserta didik tersebut dapat
mengasimilasi bahan baru secara bermakna. Hal ini terdapat dalam proses
menghubungkan bahan pelajaran yang terdahulu (rumus luas lingkaran)
dengan bahan baru yang sedang dipelajari (luas permukaan bola), sehingga
peserta didik mampu menemukan rumus luas permukaan bola dengan
menggunakan konsep rumus luas lingkaran.

Tugas-tugas yang diberikan sudah sesuai dengan tahap perkembangan


intelektual peserta didik. Peserta didik yang masih di tahap bangku sekolah
akan lebih memaknai sebuah konsep jika diberi bahan materi dengan contoh-
contoh konkrit dari materi tersebut. Seperti yang terdapat dalam video yaitu
dengan menggunakan alat peraga berupa buah jeruk untuk menemukan rumus
dari luas permukaan bola.

Karena ketiga syarat diatas terpenuhi, maka peserta didik disimpulkan sudah
memenuhi prasyarat belajar bermakna.

3. 6 Hasil Analisis Berdasarkan Klasifikasi Belajar Bermakna


Jika dilihat dari klasifikasi belajar menurut teori belajar Ausubel
pembelajaran yang dilakukan sudah termasuk ke dalam dimensi 1 dan
dimensi 2 dimana siswa diminta menemukan sendiri konsep materi yang
diajarkan dan siswa juga dapat menghubungkan atau mengaitkan konsep
yang baru ke konsep yang sudah dimiliki.

Berdasarkan kategori cara siswa menerima pelajaran, pembelajaran dapat


dikatakan belajar bermakna karena siswa dan siswi dapat mengaitkan
informasi atau konsep baru dengan konsep yang sudah ada pada struktur
kognitifnya.

Berdasarkan cara menyajikan materi pembelajaran pada video dapat


dikategorikan ke belajar menerima yang bermakna dan belajar dengan
penemuan yang bermakna karena dari stimulus yang disusun oleh guru siswa
dapat dengan bebas menentukan pemahaman konsep yang akan dipelajari
yaitu luas permukaan bola yang kemudian siswa dan siswi tersebut
mengaitkannya dengan konsep yang sebelumnya telah dimiliki yaitu luas
lingkaran.

3. 7 Hasil Analisis Berdasarkan Prinsip Belajar Bermakna


Langkah-langkah menerapkan teori Ausubel dalam mengajar yaitu:

1) Advance Organizer

23
Advance Organizer mengarahkan para siswa ke materi yang akan
dipelajari dan mengingatkan siswa pada materi sebelumnya yang dapat
digunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan baru. Dalam
video hal ini sudah dilakukan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya
pada subbab kondisi-kondisi belajar bermakna poin ke-4.
2) Diferensiasi Progresif
Selama belajar bermakna berlangsung perlu terjadi pengembangan
konsep dari umum ke khusus. Hal ini sudah terdapat dalam video
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya pada subbab kondisi-kondisi
belajar bermakna poin ke-2.
3) Belajar Superordinat
Belajar superordinat dapat terjadi apabila konsep-konsep yang telah
dipelajari sebelumnya dikenal sebagai unsur-unsur dari suatu konsep
yang lebih luas. Hal ini telah dilakukan dalam video yaitu dengan
menyatakan luas permukaan bola (konsep yang lebih luas) adalah 4 kali
luas dari permukaan lingkaran (konsep yang telah dipelajari
sebelumnya).
4) Penyesuaian Integratif (Rekonsiliasi Integratif)
Menurut Ausubel (Dahar, 1988: 148), selain urutan menurut diferensiasi
progresif yang harus diperhatikan dalam mengajar, juga harus
diperlihatkan bagaimana konsep-konsep baru dihubungkan dengan
konsep-konsep yang superordinat. Dalam video terlihat bahwa peserta
didik sudah mampu menghubungkan rumus luas lingkaran untuk
menemukan rumus luas permukaan bola.

Karena langkah-langkah menerapkan teori Ausubel dalam mengajar lengkap


terdapat dalam video, maka video pembelajaran 1 menganut prinsip teori
belajar Ausubel.

Cara Menerapkan Teori Belajar Ausubel:


Untuk menerapkan teori belajar Ausubel, Dadang Sulaiman menyarankan
agar menggunakan dua fase yaitu:
 Fase Perencanaan
1) Menetapkan tujuan pembelajaran, tahapan pertama dalam kegiatan
perencanaan adalah menetapkan tujuan pembelajaran. Hal ini
dilakukan oleh guru sebelum memulai pembelajaran dengan
memperhatikan sebaran KD dan KI yang ada. Dalam video terlihat
guru membacakan standar kompetensi, indikator keberhasilan, dan
manfaat mempelajari materi yang diajarkan dari lembar kerja
kelompok yang sudah dibuat.

24
2) Mendiagnosis latar belakang pengetahuan siswa. Karena konsep
materi yang telah dipelajari sebelumnya berkaitan dengan materi
baru, maka guru dapat dibuat diagnosis bahwa peserta didik dapat
dengan baik menyerap materi baru yang akan diajarkan. Diagnosis
tersebut sesuai dengan yang ada dalam video karena peserta didik
mampu menemukan rumus luas permukaan bola dengan benar.
3) Membuat struktur materi, membuat struktur materi secara hierarkis
merupakan salah satu pendukung untuk melakukan rekonsiliasi
integratif dari teori Ausubel. Hal terdapat dalam video, dimana
salah satu siswa membacakan prosedur atau langkah-langkah
pengerjaan untuk menemukan rumus luas permukaan bola. Maka
dapat dikatakan bahwa struktur materi telah dibuat secara hierarkis.
4) Memformulasikan Advance Organizer, menurut Eggen(1979: 277),
Advance Organizer dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. mengkaitkan atau menghubungkan materi pelajaran dengan
struktur pengetahuan siswa. Hal ini terdapat dalam video
sebagaimana yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya,
yaitu kemampuan menghubungkan rumus luas lingkaran untuk
menemukan rumus luas permukaan bola.
b. mengorganisasikan materi yang dipelajari siswa. Hal ini sesuai
dengan prinsip teori belajar Ausubel bagian belajar
superordinat.

 Fase pelaksanaan
Setelah fase perencanaan, guru menyiapkan pelaksanaan dari model
Ausubel ini. Untuk menjaga agar siswa tidak pasif miaka guru harus
dapat mempertahankan adanya interaksi dengan siswa melalui tanya
jawab. Hal ini terlihat dalam video dimana saat pelaksanaan guru
memulainya dengan membacakan standar kompetensi, indikator
keberhasilan, dan manfaat mempelajari materi tersebut. Kemudian
dilanjutkan dengan tanya jawab mengenai pemahaman peserta didik
terhadap materi yang telah dipeljari sebelumnya. Selanjutnya, belajar
mengajar dilanjutkan dengan proses diskusi dan guru berkeliling ke
setiap kelompok untuk menanyakan progres dan kendala serta
memberikan arahan terkait tugas yang sedang dikerjakan. Fase
pelaksanaan diakhiri dengan presentasi hasil kerja oleh salah satu
kelompok didepan kelas dan dilanjutkan evaluasi atau umpan balik oleh
guru untuk semua kelompok terkait klarifikasi konsep yang telah
diperoleh peserta didik.

25
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian teori serta analisis terhadap video pembelajaran 1 tentang
menemukan luas permukaan bola, terlihat bahwa video tersebut menerapkan
teori belajar Ausubel.

Berdasarkan klasifikasi belajar dalam dimensi – 1 tentang cara penyajian


informasi atau materi kepada siswa dan dimensi – 2 tentang cara siswa
mengkaitkan materi yang diberikan dengan struktur kognitif yang telah
dimilikinya sudah sesuai antara yang terdapat dalam video dengan teori
belajar Ausubel. Klasifikasi Belajar berdasarkan cara siswa menerima
pelajaran dan klasifikasi belajar berdasarkan cara menyajikan materi
(penerimaan dan penemuan) hasil analisis video menyatakan bahwa lebih
mengarah kepada proses belajar bermakna.

Pembahasan belajar bermakna teori Ausubel terkait prasyarat belajar


bermakna, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar bermakna, ciri-ciri atau
kondisi-kondisi belajar bermakna, dan prinsip dalam teori belajar Ausubel
sudah sesuai dengan apa yang terdapat dalam video. Dengan kata lain, video
pembelajaran 1 tentang menemukan luas permukaan bola memenuhi apa
yang diajarkan dalam teori belajar Ausubel.
Secara garis besar, langkah pembelajaran dalam menerapkan teori belajar
bermakna Ausubel, yaitu:
1. Menentukan tujuan pembelajaran
2. Mengukur kesiapan siswa
3. Memilih materi pembelajaran dan mengatur dalam penyajian konsep
4. Mengidentifikasi prinsif-prinsif yang harus dikuasai peserta didik dari
materipembelajaran
5. Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang
seharusnya dipelajari
6. Menggunakan “advance organizer” dengan cara memberikan
rangkuman dilanjutkan dengan keterkaitan antara materi.
7. Mengajar siswa dengan pemahaman konsep
8. Mengevaluasi hasil belajar (Prasetyo Irawan, 1996)

4.2 Saran
Dengan adanya hasil analisis video ini tentang menemukan luas permukaan
bola, penulis mengharapkan pembaca untuk dapat menggunakan dan

26
mengaplikasikanya dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk
permasalahan terkait luas permukaan bola. Selain itu, disarankan juga untuk
guru dan calon guru untuk bisa membuat perencanaan pembelajaran dengan
matang.

27
DAFTAR PUSTAKA

Gazali, R. Y. (2016). Pembelajaran Matematika yang Bermakna. Math Didactic:


Jurnal Pendidikan Matematika , 181-190.
https://www.jurnal.stkipbjm.ac.id/index.php/math/article/download/47/41
(diakses 26 Februari 2022)

Gazali, R. Y. (2016). Pengembangan Bahan Ajar Matematika untuk Siswa SMP


Berdasarkan Teori Belajar Ausubel. PYTHAGORAS: Jurnal Pendidikan
Matematika , 182-192.
https://journal.uny.ac.id/index.php/pythagoras/article/viewFile/10644/pdf
(diakses tanggal 26 Februari 2022)

Komang, Satriana.2020. Teori Bermakna Menurut David Paul Ausubel. Makalah.


https://www.academia.edu/24931374/makalah_teori_belajar_bermakna_men
urut_david_paul_ausubel (diakses tanggal 25 Februari 2022)

Olivia, Mira Hr. 2020. Ausubel. Makalah.


https://www.academia.edu/12149839/makalah_ausubel (diakses tanggal 25
Februari 2022)

Nasution, M. (2015). Teori Pembelajaran Matematika Menurut Aliran Psikologi


Behavioristik (Tingkah Laku). Logaritma , 109-121. http://repo.iain-
padangsidimpuan.ac.id/143/ diakses pada 6 Maret 2022

Nurhidayati, Titin. (2012). Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovic Pavlov


(Classical Conditioning) dalam Pendidikan. JURNAL FALASIFA, Vol. 3,
No. 1, 2012

Zaini, Rifnon. (2014). Studi atas Pemikiran B.F Skinner tentang Belajar. Terampil:
Jurnal Pendidikan dan Pengajaran Dasar Vol. 1, No. 1, hlm. 118-129.

Noer, S. H. (2017). Strategi Pembelajaran Pendidikan. Yogyakarta: Matematika.

28
29

Anda mungkin juga menyukai