Anda di halaman 1dari 318

PETUNJUK PELAKSANAAN DAN PETUNJUK

TEKNIS AMUK TEATER SUMATERA UTARA KE-21


PLUS LOMBA MONOLOG NASIONAL
“Berpacu Dalam Tridaya”
(Cipta, Rasa, Karya)

UKM TEATER LKK UNIMED


UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2

A. LATAR BELAKANG 3
B. TUJUAN KEGIATAN 3
C. MANFAAT KEGIATAN 4
D. SASARAN KEGIATAN 5
E. WAKTU PELAKSANAAN 5
F. JENIS LOMBA 6
G. KETENTUAN TEKNIS TIAP TANGKAI LOMBA 6
1. Lomba Monolog 6
2. Lomba Drama 6
3. Lomba Baca Puisi 7
4. Lomba Cipta Puisi 7
5. Lomba Cipta Cerpen 8
H. NARAHUBUNG 8
I. PENUTUP 8

LAMPIRAN

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman budaya daerah yang khas.
Walaupun demikian, Indonesia merupakan negara kesatuan yang harus menjaga
persatuan tanpa harus mengesampingkan keanekaragaman budaya yang ada.
Bagaimanapun juga keanekaragaman adalah kekayaan bangsa yang harus dijaga
kelestariannya.
Salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keanekaragaman budaya yang khas
dan beranekaragam adalah pulau Sumatera. Sumatera Utara sebagai salah satu provinsi
yang ada di pulau Sumatera, termasuk provinsi yang berkembang pesat dan memiliki
keragaman budaya. Budaya lokal merupakan sebuah ciri khas untuk eksistensi identitas
daerah dan nasional. Beberapa hasil budaya lokal dan nasional menciptakan beberapa
karya sastra yang ada diantaranya yaitu dalam bentuk Prosa, Puisi dan Drama.
Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa harus bangga akan keanekaragaman
budaya lokal yang kita miliki. Untuk itu tiap siswa dan mahasiswa diharapkan turut
mengambil bagian dalam usaha pelestarian kekayaan intelektual bangsa tersebut.Salah
satu cara untuk merealisasikan upaya tersebut adalah dengan menyelenggarakan suatu
ajang festival (perlombaan) bagi generasi muda untuk menuangkan kreativitasnya
mengapresiasi seni dan budaya bangsa, khususnya seni karya sastra seperti Prosa, Puisi
dan Drama.
Dilandasi hal tersebut diatas, Unit Kegiatan Mahasiswa Teater LKK (Lakon
Kesenian Kampus) Universitas Negeri Medan menyelenggarakan festival dengan
format acara dan variasi lomba yaitu Perlombaan Drama, Baca Puisi, Cipta Puisi, Cipta
Cerpen yang ditujukan untuk Tingkat Pelajar dan Mahasiswa se-Sumatera Utara dan
satu tangkai lomba nasional yaitu Lomba Monolog Nasional yang ditujukan untuk
Tingkat Pelajar SMA dan Mahasiswa-Umum se-Indonesia.
Kegiatan ini diberi nama Amuk Teater Sumatera Utara Plus Lomba Monolog
Nasional. Maksud diselenggarakanya kegiatan ini adalah sebagai perwujudan dalam
mengajak untuk menggalang kebersamaan, rasa cinta, dan kepedulian terhadap nilai-
nilai Sastra dan Budaya khususnya bagi pelajar dan masyarakat yang ada di Sumatera
Utara dan seluruh masyarakat Indonesia pada Umumnya, serta mengajak sesama
Mahasiswa dan Pelajar untuk mengenal diri sendiri dan lingkungan sekitarnya melalui
pendekatan permainan kesenian menggunakan metode kompetisi, tentunya tidak
melepaskan nilai-nilai dasar keimanan, moralitas, integritas, solidaritas, sosialitas dan
budaya Indonesia. Dalam hal ini kami mengangkat tema yaitu “Berpacu dalam Tridaya
(Cipta, Rasa, Karya)” yang berarti berpacu atau bersaing dalam berkesenian yang
dalam prosesnya itu setidaknya melalui tiga tahapan yaitu Cipta dapat diartikan sebagai
awal mula ide ataupun gagasan untuk menciptakan karya, Rasa dapat diartikan sebagai
penghayatan ketika proses mewujudkan cipta, dan Karya dapat diartikan sebagai hasil
ataupun produk akhir yang diciptakan dari proses pewujudan cipta. Di samping itu,
tema ini juga diusung dengan keselarasan dalam hal nya penciptaan karya dengan motto
Teater LKK UNIMED, DKOKUK: Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Kita !.

3
B. TUJUAN KEGIATAN
Tujuan penyelenggaraan kegiatan ini adalah:
• Melestarikan kekayaan intelektual maupun budaya bagi pelajar dan masyarakat
yang ada di Sumatera Utara agar generasi muda lebih mengenal identitas daerahnya
dan bangga sebagai generasi muda Indonesia.

• Upaya mensinergikan nilai-nilai edukasi pada Kegiatan Belajar Mengajar dalam


bidang seni, khususnya seni teater dalam membina mahasiswa yang memiliki
intelektualitas dalam kerangka seni.

• Upaya menciptakan dan mengangkat keberadaan siswa dan mahasiswa sebagai


pelaku, pegiat dan pekerja seni dan sastra baik dalam lingkungan kampus maupun
di luar kampus.

• Aplikasi nyata proses perjalanan panjang Teater LKK Universitas Negeri Medan
dalam partisipasinya menyampaikan perhatian terhadap realita yang ada dalam
masyarakat melalui dunia seni, khususnya seni teater.

• Menciptakan dan meningkatkan apresiasi terhadap seni dan karya sastra, khususnya
seni teater bagi pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum.

• Membangkitkan dan menjalin kerukunan antarsesama pegiat seni dan sastra baik
tingkat pelajar dan mahasiswa-masyarakat umum.

C. MANFAAT KEGIATAN

Manfaat yang diperoleh dari kegiatan ini adalah:

• Mengangkat keberadaan mahasiswa sebagai pekerja seni baik dalam lingkungan


kampus maupun di luar kampus khususnya Teater LKK Unimed.

• Generasi muda mampu menerapkan nilai-nilai edukasi dan seni, khususnya seni
teater dalam kepribadian yang memiliki intelektualitas.

• Aplikasi nyata Teater LKK Unimed mengenalkan budaya local dan kesenian yang
ada di Sumatera Utara kepada pelajar dan masyarakat, khususnya senit eater.

• Menjadi wadah bagi kreativitas dan kepedulian generasi muda terhadap seni dan
budaya.

4
D. SASARAN KEGIATAN

Sasaran kegiatan ini adalah siswa yang masih aktif di Sekolah, mahasiswa yang masih
aktif di perguruan tinggi dan Masyarakat umum maksimal berusia 25 tahun yang
berdomisili di Sumatera Utara dan seluruh Indonesia khusus cabang lomba Monolog
Nasional.

E. WAKTU PELAKSANAAN

1. Pendaftaran dilaksanakan tanggal 9 Mei 2023 sampai 19 Juni 2023.


2. Rapat teknis dilaksanakan tanggal 19 Juni 2023.
3. Penutupan pengumpulan karya terakhir tanggal:
a. Pengumpulan cipta puisi dan cerpen tanggal 19 Juni 2023.
b. Pengumpulan video monolog tanggal 19 Juni 2023.
4. Pengumuman pemenang lomba tanggal 22 Juni 2023.
5. Ketentuan Umum Peserta :
1. Siswa, mahasiswa, dan masyarakat umum yang berdomisili di Sumatera
Utara dan seluruh Indonesia khusus cabang lomba Monolog Nasional.
2. Siswa dan mahasiswa yang masih aktif di sekolah dan perguruan tinggi yang
dibuktikan dengan kartu pelajar atau kartu tanda mahasiswa yang masih
berlaku dan masyarakat umum dibuktikan dengan kartu tanda pengenal.
Nb:
a. Bagi peserta didik yang tidak memiliki kartu pelajar, dapat
melampirkan scan rapor.
b. Bagi mahasiswa yang tidak memiliki Kartu Tanda Mahasiswa, dapat
melampirkan slip pembayaran UKT.
3. Peserta kalangan umum dengan usia maksimal 25 tahun.
4. Pendaftaran dilakukan secara online melalui link google form:
https://bit.ly/PendaftaranAmuk21creg

F. BENTUK LOMBA

Lomba yang dilaksanakan terdiri atas 5 tangkai lomba, yaitu:

NO TANGKAI LOMBA KETERANGAN

1 Monolog Perorangan

2 Drama Grup

3 Baca Puisi Perorangan

4 Cipta Puisi Perorangan

5 Cipta Cerpen Perorangan

5
G. KETENTUAN TEKNIS TIAP MATA TANGKAI LOMBA

1. LOMBA MONOLOG NASIONAL:


a. Peserta lomba dari jenjang SMA – Mahasiswa – Umum maksimal usia 25
tahun seluruh Indonesia.
b. Wajib mengisi formulir pendaftaran secara online.
c. Dikenakan biaya pendaftaran Rp150.000,- (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
d. Peserta memilih salah satu naskah yang telah disediakan oleh panitia, yaitu:
- Naskah “Wanci” karya Imas Sobariah
- Naskah “Apakah kita sudah Merdeka?” karya Putu Wijaya
- Naskah “Jangan Terlalu Dalam” karya Iswadi Pratama
- Naskah “Dokter Jawa” karya Putu Fajar Arcana
- Naskah “Cik Indun” karya BDJ Siregar
- Naskah “Racun Tembakau” karya Anton Chekov , terjemahan
Jim Adhi Limas
- Naskah “Amir dan Akhir sebuah Syair" karya Iswadi Pratama
- Naskah “Prita Istri Kita” karya Arifin C. Noer
Editor : Rahman Sabur
- Naskah “Cukblis” karya Hasan Al Banna
- Naskah “Mayat Terhormat” karya Agus Noor dan Indra
Tranggono
e. Durasi maksimal 45 menit.
f. Pengambilan video adalah long take mulai dari awal sampai akhir tanpa
editan/potongan.
g. Sudut pengambilan video adalah satu titik yaitu dari depan.
h. Format video mp4 dengan resolusi minimal 1080p 24fps.
i. Menggunakan artistik yang mendukung naskah.
j. Artistik dipersiapkan oleh peserta.
k. Pengumpulan video dilakukan secara online melalui:
https://bit.ly/PengumpulanVideoMonologNasional

2. LOMBA DRAMA:
a. Wajib mengisi formulir pendaftaran secara online.
b. Dikenakan biaya pendaftaran Rp100.000,- (Seratus Ribu Rupiah) / Tim.
c. Peserta memilih salah satu naskah yang telah disediakan oleh panitia,yaitu:
- Naskah “Pinangan” karya Anton Chekov
- Naskah “Keparat” karya Hasan Al Banna
- Naskah “Alibi” karya Aucintia Agnes Romora Br Manik
- Naskah “Penjaja Kereta Sorong” karya Murray Schisgal,
terjemahan Taguan Hardjo
- Naskah “Barabah” karya Motinggo Busye
- Naskah “Nyonya - Nyonya” karya Wisran Hadi
- Naskah “Ayahku Pulang” karya Umar Ismail
- Naskah “Beruang Penagih Hutang” karya Anton Pavlovich
6
Chekhov Terjemahan Landung Simatupang
- Naskah “Pada Suatu Hari” karya Arifin C. Noor
- Naskah “Kisah Cinta di Hari Rabu” karya Anton Chekov
- Naskah “Awal dan Mira” karya Utuy Tatang Sontani
d. Durasi maksimal 45 menit termasuk setting panggung.
e. Properti dipersiapkan oleh peserta.

3. LOMBA BACA PUISI


a. Wajib mengisi formulir pendaftaran secara online.
b. Dikenakan biaya pendaftaran tingkat SD & SMP Rp25.000,- (Dua Puluh Lima
Ribu Rupiah).
c. Dikenakan biaya administrasi tingkat SMA & Mahasiswa Rp 35.000,- (Tiga
Puluh Lima Ribu Rupiah).
d. Peserta membawakan salah satu puisi yang telah disediakan oleh panitia, berikut
pilihannya;

Tingkat SD dan SMP


• Puisi "Tangisan Bocah" karya Suyadi San
• Puisi "Doa Seorang Guru Untuk Murid-muridnya" karya M. Raudah
Jambak
• Puisi "Engsel Pintu" karya Hasan Al Banna
• Puisi "Gugur" karya W S Rendra
• Puisi "Tanah Air Mata" karya Sutardji Calzoum Bachri
• Puisi "Nyanyian Kemerdekaan" karya Ahmadun Yosi Herfanda
• Puisi “Doa” karya Amir Hamzah

Tingkat SMA dan Mahasiswa


• Puisi “Orang Tak Bernegeri” karya Nanang Suryadi
• Puisi “Di Pemakaman” karya Sapardi Djoko Damono
• Puisi “Lelaki Tua di Tengah Danau” karya M. Raudah Jambak
• Puisi “Perkara Tubuh dan Bayang” karya Hasan Al Banna
• Puisi “Gerilya” karya W.S. Rendra
• Puisi “Sabda Garuda” karya Emha Jayabrata
• Puisi “Masih Merdekakah Kau Indonesia” karya M.Raudah Jambak
• Puisi “Sungai Deli” karya Hasan Al Banna
• Puisi “Akulah Medan” karya Teja Purnama

e. Durasi maksimal 10 menit.

7
4. CIPTA PUISI
a. Wajib mengisi formulir pendaftaran secara online.
b. Dikenakan biaya pendaftaran Rp.30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah)
c. Tema puisi bebas.
d. Naskah puisi diketik pada kertas A4 dengan font Times New Roman dengan
ukuran 12 dan spasi 1,5, tidak ada batasan kata.
e. Tidak menyingung unsur SARA.
f. Naskah puisi yang diserahkan adalah karya asli, dan tidak pernah atau tidak
sedang diikutkan dalam lomba sejenis, dan belum pernah dipublikasikan dengan
ditunjukkan surat pernyataan keaslian karyanya.

5. CIPTA CERPEN
a. Wajib mengisi formulir pendaftaran secara online.
b. Dikenakan biaya pendaftaran Rp.30.000,- (Tiga Puluh Ribu Rupiah).
c. Tema cerpen bebas.
d. Naskah cerpen diketik pada kertas A4 dengan font Times New Roman dengan
ukuran 12 dan spasi 1,5 , minimal 2.500 kata, maksimal 10.000 kata.
e. Tidak menyinggung unsur SARA.
f. Naskah puisi yang diserahkan adalah karya asli, dan tidak pernah atau tidak sedang
diikutkan dalam lomba sejenis, dan belum pernah dipublikasikan dengan
ditunjukkan surat pernyataan keaslian karyanya.

H. NARAHUBUNG

Narahubung:

- 082286122280 (Roberto Carlos Nainggolan)


- 085835084568 (Ramadhan)

Narahubung Perlombaan:

- Monolog : 081260917386 (Ulfah)


- Drama : 0895324947034 (Azka)
- Baca Puisi : 088263758626 (Ananda)
- Cipta Puisi dan Cipta Cerpen : 085174170706 (Mawa)

I. PENUTUP

Demikian Petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis Amuk Teater Sumatera Utara
ke-21 Plus Monolog Nasional dengan tema “Berpacu dalam Tridaya (Cipta, Rasa,
Karya)” ini kami perbuat. Besar harapan kami untuk memperoleh dukungan, kerjasama,
saran, dan kritik yang membangun demi peningkatan kualita serta terselenggaranya acara
yang akan kami laksanakan ini. Semoga acara ini memberikamanfaat bagi banyak pihak
dan diridhoi oleh Allah S.W.T. Atas perhatian dan kerjasama dari berbagai pihak, kami
ucapkan terima kasih.

8
SANGGAR TEATER LKK UNIMED
KOMPLEK UNIT KEGIATAN MAHASISWA (UKM) NO. 10

KAMPUS UNIVERSITAS NEGERI MEDAN


JL. WILLEM ISKANDAR PASAR V MEDAN 2
2022/2023

9
LAMPIRAN PILIHAN NASKAH LOMBA

A. LAMPIRAN NASKAH LOMBA BACA PUISI

1. TINGKAT SD-SMP

Tangisan Bocah
Karya: Suyadi San

Bocah kecil itu


merengek dan mendamba beriba dan berharap
cinta kasih seorang ibu

Kasihan kau bocah kecil


Orang yang kaurengek dan kaudamba Orang yang kau-iba dan kauharap Melengosi nasibmu

Bocah kecil
akhirnya kaupun tahu
tak ada orang yang mengasihanimu bocah kecil
kini kau merangkak melatah bumi
mengaisi sisa-sisa hidupmu yang masih panjang Tapi tangan dan kakimu
Tak kuat menyongsong langit
tangismu pun meledak sayat

10
Doa Seorang Guru Untuk Murid-muridnya
Karya: M. Raudah Jambak

Tuhan, Dengan bias sebatang lilin ini Aku hanya berharap jangan padamkan Cahaya dalam hati
kami Walau rekening sujud belum sempat Terbayarkan

Tuhan, aku berharap Jangan putus aliran rahman dan rahim-Mu Di rumah cinta kami Atau jangan
bebankan bea denda dosa Yang berlebih pada tagihan karat hati kami Sebab, kami masih punya
generasi penerus negri ini Yang perlu disuguhi saluran kasih jiwa Pada televisi pencerahan Atau
rice-cooker ketabahan serta rekening ilmu tak berkesudahan

Tuhan , Dengan bias sebatang lilin ini Terangkanlah jiwa-jiwa yang gelisah Dari hati dan pikiran
yang disumbat kegelapan. Perkenankanlah Keinginan kami

Amin Medan, 2000

Engsel Pintu
Karya: Hasan Al Banna

andai kau kata diriku semacam kupu-kupu,


tak lah terbang menjadi keahlianku.
sayapku kaku tapi tidak hatiku,
hinggapku satu namun tak mudah kau temu.
jangan kau kira aku makhluk pemalu,
aku hanya sepintal ingin yang semu.
jangan nobatkan aku sebagai tubuh yang malang,
sebab aku tak pernah menggapai hilang.
jikalau aku kuak sepasang lengan,
tiada hendak menagih sebuah pelukan.
jikalau aku tengah berpangku tangan,

11
tak lah hendak bermalas-malasan.
andai deru napasku sehiruk parau,
bukan karena bertolak dari dada yang risau.
andai biru napasku sewujud bening,
bukan karena mataku sedang berpicing.
Medan, 2008

Gugur
Karya: W S Rendra

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak

12
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
" Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang."
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
"Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku

13
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!"
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya.

Tanah Air Mata


Karya: Sutardji Calzoum Bachri

tanah air mata


tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami

di sinilah kami berdiri


menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami

kami coba simpan nestapa


kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana

14
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata.
1991

Nyanyian Kemerdekaan
Karya: Ahmadun Yosi Herfanda

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan


Di antara pahit-manisnya isi dunia
Akankah kau biarkan aku duduk berduka
Memandang saudaraku, bunda pertiwiku
Dipasung orang asing itu?
Mulutnya yang kelu tak mampu lagi menyebut namamu

Berabad-abad aku terlelap


Bagai laut kehilangan ombak
Atau burung-burung

15
Yang semula Bebas di hutannya
Digiring ke sangkar-sangkar
Yang terkunci pintu-pintunya
Tak lagi bebas mengucapkan kicaunya
Berikan suaramu, kemerdekaan
Darah dan degup jantungmu
Hanya kau yang dipilih
Di antara pahit-manisnya isi dunia

Orang asing itu berabad-abad


Memujamu di negerinya
Sementara di negeriku
Ia berikan belenggu-belenggu
Maka bangkitlah Sutomo
Bangkitlah Wahidin Sudirohusodo
Bangkitlah Ki Hajar Dewantoro
Bangkitlah semua dada yang terluka
“Bergenggam tanganlah dengan saudaramu
Eratkan genggaman itu atas namaku
Kekuatanku akan memancar dari genggaman itu.”
Suaramu sayup di udara
Membangunkanku dari mimpi siang yang celaka

Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan


Di antara pahit-manisnya isi dunia
Berikan degup jantungmu
Otot-otot dan derap langkahmu
Biar kuterjang pintu-pintu terkunci itu
Atau mendobraknya atas namamu
Terlalu pengap udara yang tak bertiup

16
Dari rahimmu, kemerdekaan

Jantungku hampir tumpas


Karena racunnya
Hanya kau yang kupilih, kemerdekaan
Di antara pahit manisnya isi dunia

(Matahari yang kita tunggu


Akankah bersinar juga
Di langit kita?)
Mei, 1985

Doa
Karya: Amir Hamzah

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?


Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat
naik, setelah menghalaukan panas terik.

Angin malam mengembus lemah, menyejuk badan, melambung


rasa menayang pikir, membawa angan kebawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.


Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak.

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan


cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

17
2. TINGKAT SMA DAN MAHASISWA

Orang Tak Bernegeri


Karya: Nanang Suryadi

Di manakah negerimu?
Dia hanya menggelengkan kepala
dan menggumam demikian panjang.

Dia menandai peta dengan api


Membakar batas-batas negeri
Membakar batas-batas mimpi
Membakar segala yang mungkin terjadi
Di sini aku dilahirkan, ujarnya
dalam gumam yang sukar dipahami telinga
Kuterjemah gerak bibir dan mata: rakhine, rakhine…
Mungkin dalam kepalanya dia berkata kata:
Tuhan mencipta bumi untuk manusia seluruhnya
Namun manusia membuat batas batas negara

Di matanya kau tahu? Airmata dan debu menyatu


Serupa lukisan kesedihan yang tak pernah usai
“Sebutlah aku kanak kanak bengal.
Seperti berulang-ulang mereka ucapkan
sambil tertawa membakar masa lalu kami.”

Matanya. Debu.
Gumamnya adalah arak-arakan masa lalu penuh aduh
Anak bengal anak bengal, gumamnya

18
Dimanakah negerimu? Tanyaku lagi
Kepalanya menggeleng
Aku merasakan dia berdiam di hatiku
Di dalam hati

Dia berdiam
Hati yang selalu menangis dalam diam
Negeri dimana dia terus bertahan

Malang, 6 September 2017

Di Pemakaman
Karya: Sapardi Djoko Damono

Kaukah yang menyapaku selamat pagi? Kita menundukan kepala


di depan kapal-kapal yang terdampar, elang yang lelah,
angin berhenti. Aku pun membalasmu selamat pagi dengan lirih
dan menundukkan kepala kembali. Kita tidak berhak tengadah ke matahari,
kita hanya akan menyihir alam: matahari akan menjelma api,
bau kembang akan membusuk, suara burung akan menjelma terompet
dari lembah orang mati. Kita adalah tukang sihir, menunduklah,
kita tak berhak tengadah ke matahari.
Kini, saat ini, kau dan aku adalah orang-orang asing terkucil
dari alam. Kita bukan bagian dari suara dan warna,
dan mesti menunduk. Pengembara-pengembara tak dikenal,
dan tak juga mau mengerti. Selamat pagi, katamu.

19
Lelaki Tua di Tengah Danau
Karya: M. Raudah Jambak

o, batara guru…
kubuat tuah ni gondang dengan tujuh kali putaran dari gondang mula-mula
somba-somba maupun liat-liat

angin mengelus, air mengalir pada danau segala desau adakah rahasia pada segala atau hati
sembunyikan misteri padamu, padaku, atau pada kita

o, batara guru…
telah kulakukan mangase homban agar senang si boru saniang naga agar senang si boru deak
parujar agar terjaga tanah negeri kami

riak-riak menciptakan irama


para bocah yang berebut mencapai dasar, ah, adakah rindu masih terpaut
atau dendam masih tersudut padamu, padaku, atau pada kita

o, batara guru…
sampaikan kepada ompu mulajadi na bolon jagalah bona ni pinasa segala suka
jagalah bona pasogit segala cita jagalah hati kami dari segala angkara

menarilah dengan penuh sukacita bernyanyilah dengan segala keindahan nada angin akan
membawa kabar berita
air akan menyatukan segala cinta padamu, padaku, atau pada kita

20
Perkara Tubuh dan Bayang
Karya: Hasan Al Banna

perkara pertama:
tatkala tubuh dan bayang menolak di belakang siapa yang pantas berdiri di depan
tergantung cahaya
sepihak mata atau sekutu tengkuk perkara kedua:
manalah tubuh ada di kanan kalau cahaya menoleh dari kiri
jangan harap bayang pulang ke kiri sebelum cahaya pergi ke kanan perkara ketiga:
panjang mana tubuh ketimbang bayang sejauh cahaya memilih derajat ketinggian tak usah
tubuh dan bayang takut pendek segegas cahaya terbit di kepala atau di kaki cari perkara:
jika tubuh atau bayang tak di depan tak di belakang di kiri tiada di kanan alpa
serahkan saja
pada keserongan cahaya.
Jakarta, 2009

Gerilya
Karya: W.S. Rendra

Tubuh biru
tatapan mata biru lelaki terguling di jalan.

Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana.
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

21
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kasumatnya.

Gadis berjalan di subuh merah


dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama.

Ia beri jeritan manis


dan duka daun wortel.

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Orang-orang kampung mengenalnya


anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya.

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki terguling di jalan.

Lewat gardu Belanda dengan berani


berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya.

22
Sumber: Siasat (1955)

Sabda Garuda
Karya: Emha Jayabrata

Pada hari Indonesia lahir


Kudapati pendeta berhati ramah
Rahib-rahib berwajah sumringah
Ulama dan kyai pun hanyut dalam pekik takbir yang megah
Di depan ruang persalinan Garuda akan lahir
Masing-masing berdoa pada Tuhannya
Tak ada saling tuding
Tak ada saling caci
Tak ada saling sikut
Bahkan tak ada saling membunuh yang ada hanya rasa gembira atas kelahiran garuda
Ini Indonesia..
Republik ini lahir bukan karena jasa saudaraku di ujung timur karena kekayaan alam
Bukan hanya karena saudaraku dijawa dengan kerisnya
Bukan hanya rencongnya, badiknya, celuritnya, mandaunya atau goloknya
Tetapi karena darahnya, darah yang sama-sama anyir dan amis untuk garuda, untuk Indonesia
Saat garuda masih balita
Adududu..
Begitu lucunya, Begitu menggemaskannya
Dahulu demi merawat garuda yang miskin menyumbang keringatnya, yang kaya
menyumbang hartanya
Ulama menyumbang doanya
Janda-janda menyumbang nyawa suaminya
Anak-anak yatim menyumbangkan kepala bapaknya
Pejabat hingga presiden mengorbankan gajinya
Semua demi tumbuh sehatnya garuda
Agar mengangkasa melalang jagad raya, meneriakkan bhineka, menggetarkan dunia
Dan kini saat Garuda menginjak usia renta
Aduuhhh...

23
Aku melihat anak cucu garuda bergulat berebut warisan seakan-akan menyumpahi besok pagi
Garuda akan moksa
Aku melihat anak-anak pejabat memaksa bapaknya mengambil tanah-tanah anak yatim
Aku mendengar yang tak suka shalawat menghujat yang bershalawat
Aku mendengar yang mungkar teriak Allahuakbar, yang ma’ruf teriak Allahubakbar
Aku jadi bingung ikut yang mana
Hingga kini saat garuda di usia tua
Di sana- sini aku dengar huru hara
Di negeri ini aku dengar seorang guru dipenjarakan muridnya
Aku dengar istri jenderal menganiaya petugas negara
Aku dengar aparat bersenjata main mata di gudang-gudang negara
Aku dengar anak-anak bermata bening diperkosa
Aku dengar seorang ibu membuang bayinya karena malu tak ada bapaknya
Aku dengar hakim-hakim mulia dirusak wajahnya, aku dengar para sarjana kehilangan
moralnya
Aku dengar perempuan-perempuan bunting dibakar hidup-hidup karena mencuri susu
Aku dengar nenek-nenek tua dipenjarakan karena mencuri kayu
Aku dengar ahli ibadah tak menjaga lidah
Aku dengar yang rajin ngaji sibuk mencaci
Aku dengar di mimbar-mimbar suci dicabuli, yang terakhir aku dengar seorang tukang
reparasi hampir dipukuli, dihabisi, diremuk, dibakar sampai mati
Aku semakin bingung Garuda
Kini sebagian anak-anak Garuda tak mau lagi hormat bendera
Bahkan mengatakan hormat bendera adalah perilaku ahli neraka
Menyanyikan lagu indonesia raya adalah pengingkaran kesetian pada Tuhan
Mengamalkan bhineka tunggal ika adalah kekufuran
Aku tak habis pikir, Garuda bukanlah berhala
Lihatlah kesitu
ke hatimu, ke dalam dadamu yang dipenuhi benci dan cemburu
Lihatlah dirimu!
Lihatlah istrimu!
Lihatlah anakmu!
Mereka tengah ditimang-timang oleh zaman yang brengsek
Maka akan lahir anak-anak brengsek, para sarjana-sarjana yang brengsek, hakim-hakim yang
24
brengsek dan bangsa-bangsa yang brengsek
Maka tolong tulis lagi dihatimu tentang sebuah sabda yang indah
Sabda Garuda,
Bhineka tunggal ika

MASIH MERDEKAKAH KAU INDONESIA?


Karya: M. Raudah Jambak

Masih merdekakah kau Indonesia


setelah kau rajut usia dari debu-debu jalan raya
dalam kaleng rombeng
recehan angka milik pengemis belia
yang mendendangkan kidung lara
bersama hembusan dupa dari opelet tua
asih merdekakah kau Indonesia
ketika musyawarah berubah dari mufakat
menjadi siasat
ketika wakil rakyat lebih mewakili penjahat
ketika gedung dewan lebih mirip kandang hewan
dan ketika pejabat negara tega menjadi pengkhianat bangsa
Masih merdekakah kau Indonesia
dalam kemerdekaan yang kau sendiri tak paham maknanya
karena matamu telah dibutakan
dan mulutmu disekat rapat-rapat
serta telinga cuma sekedar bunga tanpa rupa
Masih merdekakah kau Indonesia
padahal telah banyak disumbangkan darah dan air mata
dan berjuta nyawa yang akhirnya cuma sekedar wana luka
Masih merdekakah kau Indonesia?

25
Sungai Deli
Karya: Hasan Al Banna

sepasang mata yang penat adalah engkau


deraimu selitak lenguh sapi
tak sudah diperah
tak tuntas diperas

engkau tahu, kampung medan kian memukau


pohon-pohon menyala
gedung-gedung menimang kilau
meski tubuh jalan menyandang banyak luka

deli, gericik yang parau


pusar segala risau
rambut panjang yang lalai disisir
ibu yang kerap dienyah-diusir

aku tahu, orang-orang menelurkan matahari


dari perut merkuri
sedang rahimmu cuma semayaman nyeri
semata laci bagi kesah dan dendam mimpi

deli
deli
puisi yang ditikam sepi berkali-kali
tapi tak mati-mati

26
AKULAH MEDAN
Karya: Teja Purnama

Akulah Medan
Cinta yang menjelma kota
saat Guru dan Putri Brayan menyatu jiwa
di pernikahan alir Deli dan Babura

Akulah Medan
Cinta yang membasuh ambisi
saat Kolok menyilakan Kecik
menyuburkan harapan di tanah kebaikan

Jangan harap kubuang kenangan yang terus berbinar


di sayap kupu-kupu dan senja itu

Walau siang malam


orang-orang berperang
dengan parang atau uang
seperti dendam yang tak padam-padam
aku tetaplah Medan

Walau orang-orang melukis kelamin dengan darah perawan


di setiap zebra cross, traffic light, papan tulis sekolah, kampus, gedung dewan.,
kantor polisi, plaza, koran
aku tetaplah Medan

Walau kau lahap tanah-tanahku


walau kau isap sungai-sungaiku

27
aku tetap Medan

Inilah aku
Cinta yang kini memanggul kota ribuan kotak
mendaki gunung sampah abad digital
menyusuri lembah sejarah tak berwajah
terpuruk di batang Trembesi Lapangan Merdeka
merindukan Guru menyembuhkan luka
yang terus berdetak-detak di jantungku

28
B. LAMPIRAN NASKAH LOMBA MONOLOG NASIONAL

Wanci
Karya: Imas sobariah

KEJADIAN INI BISA DIMANA SAJA, KOTA BESAR ATAU KOTA KECIL. HANYA ADA
SEORANG PEREMPUAN UMUR 30 –AN, TAPI KELIHATAN JAUH LEBIH TUA DARI UMUR
SEBENARNYA DAN KELIHATAN KURANG WARAS. SAMBIL MENCARI MAKANAN DI
TONG SAMPAH ATAU SAMPAH-SAMPAH YANG BERSERAKAN, PEREMPUAN ITU
KADANG BERNYANYI KECIL, KADANG TERTAWA SAKIT ATAU APA SAJA MENGISI
KEKOSONGANNYA. TAPI TIBA-TIBA DIA BERSEMBUNYI DI BALIK PUING-PUING ATAU
APA PUN PENUH KETAKUTAN. TAK SEBERAPA LAMA, PEREMPUAN ITU PERLAHAN
KELUAR DARI PERSEMBUNYIANNYA.

Saudara-saudara barusan lihat anak saya ? hah ? masa tak tahu itu si Endang dan si Eti ?
Saya takut ketemu dia…..kenapa ? ….tidak…tidak bisa diungkapkan dengan kata-
kata…lingkaran….lingkaran itu harus diputuskan….. sudah saya bilang jangan dilahirkan, jangan
hidup, jangan saya.. .. jangan …jangan yang lain juga
Tidak nurut…siapa yang salah…siapa ?

PEREMPUAN ITU BERBISIK

diam, diam, malu ! bilang saja tak jadi, geser…geser …nasibnya ! PEREMPUAN ITU

SEPERTI TERSADAR DAN MALU.

Tuhan, Tuhan…… bagaimana ini ? seperti biasa, kau selalu diam.


Ngomong-ngomong, sudah kenal saya belum ? pasti belum kan ? emang saya siapa ? he he… nama
saya Icih prihatini. Orang-orng memanggil saya Icih, sebuah nama kecil dari kampung. Orang prihatin
! …he…he… saya lahir dan dibesarkan di kota kecil yang dikutuk sekaligus abadi dibutuhkan, baik
secara terang-terangan maupun umpet-umpetan, siapa yang tak pernah mendengar daerah lokalisasi
! kapan dan di mana pasti ada.

TIBA-TIBA TERDENGAR SAYUP-SAYUP MUSIK KETUKTILUAN


ATAU MUSIK PERGAULAN, PEREMPUAN ITU MENARI AMAT SERIUS DENGAN EKSPRESI
KEPEDIHAN DAN BERTOLAK BELAKANG DENGAN MUSIK YANG DINAMIS.

Saya harus bersyukur kepada Tuhan

SAMBIL SETENGAH BERBISIK

nama Tuhan disebut cukup langka.. he…he…itulah kesalahan terbesar bersama. Kecil-kecilan
saya penari, karena saya selalu sedih dan mengeluh, saya harus punya yang bisa diunggulkan.
Anugerah yang menyelamatkan saya dari lingkaran….membuka pikiran dan hati saya …walau sampai
saat ini saya masih asli miskin...tapi miskin lain urusan bukan ? bukan kutukan ….ya, punya nasibnya
sendiri…….

PEREMPUAN ITU DIAM, LALU MENGENDAP-ENDAP…….SETELAH YAKIN TAK ADA


SEORANG PUN, LALU IA BERBICARA LAGI

29
Ini rahasia terbesar hidup saya, ini kekayaan boleh dibilang takkan pernah habis . Bisa menyimpan
rahasia ini atau tidak ? saya bisa celaka tujuh turunan dan …… lingkaran ini tak akan putus !

Saya nggak mau jadi seperti ibu saya, bekas pelacur atau bekerja seperti bapak saya germo ibu saya.
Begitu juga nenek saya punya pekerjaan yang diturunkan sama ibu saya dan kakek saya, laki-laki
pengangguran yang jatuh cinta dan kasihan dengan nasib nenek yang diwarisi kemiskinan. Lelaki itu
nekad ngawinin nenek saya dengan syarat membantu usaha yang tak lain usaha birahi. Dan sejak itu
nenek saya dibiarkan hidup normal mungkin kalau jaman sekarang pensiun dini he….he… Tapi nenek
saya tidak bisa hidup normal, sulit keluar dari tempat yang sudah turun-temurun itu. Kakek sudah masuk
lingkaran itu… pernah nenek saya pindah kampung, tapi sial orang-orang cepat tahu siapa kakek-nenek
saya. Orang –orang mengusir dan menyumpahi keluarga kami, dan ……….balik lagi ke tempat kami
semula. Dan ibu saya ? jadi penerus karena dipaksa keadaan miskin dan buta huruf. Tidak hanya kami
tapi semua tetangga , orang-orang yang datang dan pergi di kampung kami, mukanya jadi kelihatan
sama, jalannya sama, semuanya sama seperti pelacur ! ha.. ha … ha... Hanya satu atau dua orang sakti
bisa keluar lingkaran , tapi kalau sudah mentok ya balik lagi.

PEREMPUAN ITU KAGET DAN MENGUMPAT KARENA TIDAK TERIMA DI SANGKA


PENGEMIS

Sedekah ? sedekah apa ? Mas salah alamat, saya bukan pengemis, saya lagi berjuang ! aneh, orang tak
bisa bedakan orang yang sudah pasrah sama orang yang sedang berjuang !

TERDENGAR LAGI SUARA MUSIK SEOLAH-OLAH TERJADI DI SEBUAH LAPANGAN, DAN


PEREMPUAN ITU KEMBALI MENARI. LAMA-LAMA TEMPAT ITU MENJADI SESAK, DAN
PEREMPUAN ITU HAMPIR TERJATUH.

Aduh jangan dorong-dorong mas….aduh-aduh sabar…sabar…

PEREMPUAN ITU TERJATUH DAN ADA SESEORANG MENYERETNYA DENGAN KASAR

Saya tak ingat lagi, siapa yang menyeret saya. Saya minta tolong sekuat tenaga, tapi percuma orang-
orang di lapangan itu menganggap saya bahan permainan mungkin semuanya dianggap wajar diterima
penari seperti saya. Saya tak ingat lagi dibawa kemana, badan saya sakit semua. Saya tertidur dan
mulai sadar mendengar suara ibu saya menangis begitu dalam. Bapak tak bisa berbuat banyak, mungkin
seperti menampar mukanya sendiri dan harus terima semuanya dengan tak punya perasaan. Tapi saya
sangat kaget, siapa laki-laki yang duduk dekat pintu itu ? laki-laki itu tinggi besar, mukanya lumayan
ganteng dan berkumis tebal. Ibu saya ngenalin Kang Usup orang yang nolong saya, bebaskan saya dari
si Ompong. Jagoan di kampung kami. Kami sekeluarga hanya mengucapkan terimakasih. Kami tak
lapor polisi, percuma ! mereka pasti mencibir “ Ini kan tempatnya ! salah sendiri ! ”
Tak ada yang percaya saya perawan. Saya nggak mau masuk lingkaran itu.

SAYUP-SAYUP TERDENGAR MUSIK TRADISIONAL SEBAGAI PENGIRING PENGANTAR


PENGANTIN. DAN PEREMPUAN ITU DENGAN HIDMAT SEPERTI PENGANTIN DI DEPAN
PENGHULU.

Dua bulan kemudian, Kang Usup datang melamar saya. Entah kenapa saya langsung mau dinikahi
laki-laki yang tak jelas asal-usulnya. Kang usup katanya sudah yatim piatu dari kecil, di kota kerja
serabutan, maklum tak punya Ijasah sekolah Tinggi. Tapi sekarang Kang Usupkerja jadi penjaga
keamanan di toko milik Babah Aliong. Yang paling penting bagi saya, dua hari sesudah nikah saya
dibawa ke kota dan hidup di sana. Saya tidak punya waktu buat mikir-mikir, pokoknya saya pindah dari
sini !. Saya yakin, semua orang yang melihat kepergian saya merasa lega dan bungah. Mereka ada yang
iri sama saya. Tetangga saya bilang sama anaknya, “ Tuh lihat si Icih ! mulai sombong mau ninggalin
kampung ini. Emak jamin, nggak lama lagi dia pasti balik lagi. Emang gampang nyari makan di kota.
Inget ! kamu jangan kayak si Icih ! “.

30
PEREMPUAN ITU SEPERTI DUDUK DI PELAMINAN DENGAN KEBAHAGIAAN YANG
DISEMBUNYIKAN. KEMUDIAN PERGI LAYAKNYA BERGANDENGAN.

Di kota, kami hidup seperti orang lain umumnya, ketakutan saya sedikit-sedikit mulai hilang. Saya
lupa… waktu itu umur saya lima belas tahun. Di kampung kami seumur itu sudah cukup untuk
dikawinkan. Kami hidup sederhana sama kang Usup, kami ngontrak rumah setengah tembok. Saya
rawat bersih. Rumah itu ada dua kamar, jaga-jaga kalau kami tak lama lagi punya anak. He…he…hidup
saya tenang, setiap kang Usup berangkat atau pulang kerja saya mencium tangannya mencari
berkah…kang Usup pulang tak mesti, yang jelas dia nggak pernah di rumah malam, maklum jaga toko.
Kebiasaan kang Usup setiap pulang kerja, pasti bawa oleh-oleh makanan jam berapa pun dia pulang.
Kami kadang-kadang seperti anak kecil, berebut makanan, kejar-kejaran…karena kami satu sama lain
tak mau membuang bungkus makanan.

Tak menunggu setengah tahun, saya hamil anak pertama . Anak laki-laki, kami beri nama Endang.
Setahun dari situ, lahir lagi anak kami yang kedua. Anak perempuan yang kami beri nama Eti. Terus
terang, kami tak tahu arti nama-nama itu, kami hanya meniru nama-nama orang terkenal di kampung
saya. Si Endang nama anak pak Lurah, Si Eti nama anak orang yang paling kaya. Hidup kami sangat
sederhana tapi bahagia. Saya yakin, saya sudah keluar dari lingkaran. Kami benar-benar bahagia
saudara-saudara, siapa pun yang melihat keluarga kami pasti terharu atau iri. Tapi ……

PEREMPUAN ITU LANGSUNG TERDIAM, MENERAWANG BEGITU SEDIH DAN BEGITU


MARAH. IA MENUTUP MUKANYA, BERCAMPUR MALU……

lingkaran itu…lingkaran itu… datang juga…jemput ! kami bahagia…saya tak percaya semua ini !
saya yakin keajaiban ini…..saya yakin betul …….. tak mungkin saya salah berdoa, malah kang Usup
yang ngajarin saya ……

PEREMPUAN ITU TERDUDUK LESU

Duh Gusti…… sulit diterima siapapun. Kang Usup yang saya banggakan itu ………..…. ternyata bukan
jaga toko seperti yang saya ceritakan. Kang Usup…… juga Germo ! lingkaran ! lingkaran ! lingkaran
itu berputar-putar…….Kang Usup ada di situ……..kenapa Gusti, Kang Usup ada di situ ? sulit
dipercaya ! saya yang salah, bertahun-tahun kami hidup bersama tak tahu pekerjaan suami saya sendiri
! atau kang Usup yang sangat pintar menyimpan rahasia ? Saya tak bisa lihat gelagat. Ah, sudahlah
hidup saya dan anak-anak harus terus !. Anak saya yang ke tiga lahir tanpa ditunggui bapaknya, kang
Usup entah sampai kapan di penjara. Masalah kang Usup sangat banyak, bukan karena s germo saja,
ada masalah lain yang saya nggak ngerti. Saya putuskan, kang Usup lingkaran akhir dalam kehidupan
kami. Saya buka celengan buat ngelahirin di bidan. Anak saya yang ketiga saya namai sendiri, namanya
Aep Putus Cakra. He…he…nama itu memang saya pikirkan dalam –dalam….putus, artinya
memutuskan, Cakra adalah nama belakang kang Usup. Pokoknya jangan sampai kelakuan bapaknya
nurun !

PEREMPUAN ITU MERUBAH SEMANGATNYA, MEMPERLIHATKAN PERUBAHAN


DENGAN SEMANGAT BARU.

Saya harus berubah ! Kang Usup pernah bilang, “ Cih, Tuhan nggak mungkin merubah nasib kamu
kalau kamu tak berubah ! “
Saya putuskan, nggak ngarepin sama Kang Usup lagi.
Untuk makan sehari-hari, saya jualan kue. Keliling di sekitar tempat kami tinggal atau jualan di
sekolahan. Si Endang dan si Eti kadang bawa kue jualan disekolahnya. Mereka saya latih prihatin. Si
Aef, gantian ngasuhnya. Kalau kakaknya sekolah pagi, ya saya bawa jualan keliling.

31
Kami pernah pindah rumah kontrakan dua kali, semua tetangga nanya kang Usup terus. Di rumah
kontrakan baru punya Pak Haji, kami Cuma bayar setengah. Soalnya Pak Haji tahunya anak-anak saya,
anak yatim. Memang saya suruh mereka, kalau ada yang nanya Bapaknya bilang saja ninggal
kecelakaan. Kecelakaan hidup ! he…he…. Nggak terasa, Si Endang dan Si Eti tambah besar, kayak
remaja lainlah. Mereka punya banyak teman. Si Endang mulai main Gitar-gitaran sana, gitar-gitaran
sini, Si Eti juga mulai senang dandan. Si Eti sama temannya kumpul di rumah si A, di rumah si B, dan
tak jarang kumpul di rumah kami. Sayang, saya cuma menyekolahkan mereka sampai SMP, tak
sanggup lagi. Saya cuma penjual kue keliling, ya kadang-kadang saya dapat order kue untuk
acara selamatan kecil-kecilan.

Ternyata jualan kue keliling banyak bawa rejeki. Si Endang, saya titipkan kerja di bengkel motor.
Istrinya yang punya bengkel langganan kue saya bertahun-tahun. Ya, lumayanlah bisa ngurangin biaya
hidup kami. Begitu pun Si Eti, saya titip pegawai personalia di pabrik plastik. Dia itu anak kos dekat
rumah kontrakan kami. Anak baru, pindahan dari pabrik plastik di Tangerang, katanya.

Saya selalu membayangkan, Si Eti, Si Endang juga Si Aep bisa hidup kayak orang lain. Kawin , punya
rumah, punya tabungan. Dan saya ? saya Cuma ngurus cucu-cucu. Jaga mereka kalau Emak-bapaknya
kerja. Dan pasti saya mendongeng kecerdikan binatang, bunga dan apa saja untuk cucu saya. Juga kalau
mereka nanya kakeknya, eyang dan saudara-saudaranya, saya pasti ngarang yang bagus-bagus. sore-
sore, saya buat teh manis dan pisang goreng sebelum mereka pulang. Kalau sudah begitu, saya ikhlas
kalau Tuhan cabut nyawa saya.

Saya jadi lupa. waktu anak saya sudah kerja, saya cuma mikirin biaya sekolah si Aep. Mungkin karena
dari dulu bekerja keras, Entah kenapa badan saya mudah sakit-sakitan. Saya tak bisa jualan seperti
dulu. Untunglah kedua anak saya sedikit-sedikit bisa membantu kebutuhan sehari-hari.

PEREMPUAN ITU MENGHELA NAFAS PANJANG

Hampir setahun anak saya kerja, masalah mulai muncul. Pegawai personalia, yang masukin si Eti kerja
di pabrik plastik itu….merkosa si Eti karena cintanya ditolak. Padahal, saya menganggap dia kayak
anak sendiri…dia sangat baik. Apalagi sesudah masukin si Eti kerja, dia itu pahlawan keluarga kami.
Entah setan mana yang bikin bajingan itu nekad…sayangnya kami tak bisa apa-apa…… kami bodoh
dan miskin !. Pernah tetangga kami lapor Polisi, lagi-lagi kami sial. Katanya, bukti-buktinya tak ada
lagi. Si Eti Cuma dapat malu dan takut. Kami hanya bisa pasrah…

Nasib, nasib ! kurang afdol rasanya kalau miskin pasti ditindas pula. Eh…si laki-laki pemerkosa itu,
dengan tenangnya melenggang lewat rumah kami setiap pagi dan sore hari. Malah dia bilang, si Eti
yang fitnah dia. Katanya lagi, si Eti sering dibawa bosnya pergi entah kemana…
Si Eti di PHK dari pabrik …..… Si Eti juga hamil buah perkosaan itu….kami tak tahu mengadu
kemana……. Ya, hanya Tuhan, satu-satunya yang kami punya.
Satu- satunya yang diharapkan bantu biaya sehari-hari cuma si Endang.
Hidup kami terasa sangat berat…
Si Endang, punya tanggung jawab berat. Tapi apa boleh buat.
Sembilan bulan sudah kandungan si eti. Jadi siksaan. Gimana nasib cucu saya nanti.
Bayi mungil itu lahir selamat dibantu bidan tetangga kami.
Perasaan senang, sedih dan sangat marah kalau ingat bapaknya.

PEREMPUAN ITU TIBA-TIBA MENGGIGIL….SEPERTI TERSERANG DEMAM…TAPI DIA


MELAWANNYA SENDIRI DENGAN BERGUMAM LAGU MENIMANG ANAK….

Semenjak cucu saya lahir, entah kenapa Si Endang sering ngelamun dan sangat pemarah. Si Eti apalagi.
Dan Si Aep makin hari makin sering gugup kalau ketemu orang. Kami sangat malu, kami tertekan.
orang-orang tak berhenti-berhentinya ngomongin kami.
Si Endang tak tahan lagi, dia kalap. Dicarinya pegawai personalia itu. Si Endang maksa orang itu
ngawinin si Eti, tapi dia memang bajingan sejati. Bajingan itu nolak mentah-mentah. Eee dia malah

32
maki-maki menghina keluarga kami. Si Endang tak bisa lagi nahan amarahnya. Pegawai personalia itu
dihajarnya sampai babak belur. Sudah bisa ditebak nasib Si Endang dan keluarga kami…Si Endang di
bui !

Karena kami sangat susah, belum empat puluh hari lahir anak Si Eti. Si Eti terpaksa cari kerja…dan
anaknya saya yang ngasuh. Si Eti tak mau cari kerja di Pabrik, katanya masih takut. Karena kepeped, si
Eti kerja di tempat bilyard. Saya tak tahu jadi apa. Dia kerja dari malam sampai subuh. Saya kasihan
betul lihat dia. Habis gimana lagi, kami perlu makan dan kami harus pindah kontrakan.

Saya nggak nyangka, mau nengok Si Endang di penjara itu mahal juga. Katanya hidup di penjara itu
gratis. Nyatanya kalau saya nengok ke sana harus bayar itu, bayar ini. Di sana banyak preman juga,
belum lagi kalau mau makan agak enakan harus beli.

PEREMPUAN ITU TERDIAM KEMUDIAN MENCERACAU….

lingkaran itu datang …lingkaran itu datang lagi ….

PEREMPUAN ITU TERTAWA SAMBIL MENAHAN AIR MATANYA…

Cuma beberapa bulan si Eti kerja di bilyard itu. Dia banyak berubah……dandanannya, kelakuannya.
Dia kayak artis-artis di TV. Dan cucu saya satu- satunya, diambil temannya Si Eti. Saya nggak setuju,
tapi Si Eti maksa saya. Katanya dia orang kaya, tak punya anak. Saya nggak yakin sama orang itu.
Dandanannya tak kalah sama Si Eti. Saya jadi curiga…seminggu kemudian Si Eti ngajak pindah rumah.
Bukan lagi ngontrak di bedeng, tapi rumah kamar tiga. Nggak lama dari situ Si Eti nebus kakaknya Si
Endang keluar penjara. Saya jadi bingung, dari mana si Eti dapat duit banyak ? tiap saya tanya, Si Eti
pasti marah. Keluar dari penjara, si Endang dikenalkan si Eti sama temannya yang punya Salon. Si
Endang kerja jaga keamanan di Salon itu.

Hidup saya jadi nggak tenang. Si Eti pulang kerja bukan tengah malam lagi, pagi malah siang. Yang
nganter pulang gonti-ganti laki-laki, kalau saya tanya pasti dia jawab teman kerja. Saya nggak bisa
dibohongi…….. lingkaran itu jemput si Eti….duh Gusti gimana ini ? pernah saya bilang sama si Endang
kelakuan adiknya itu, eee ….si Endang malah bilang “susah mak hidup jaman sekarang mah kalau kita
lurus-lurus saja. “ Saya jadi kapok. mendingan ngomong sendiri, biar unek-unek saya keluar he…he…

Si Eti lama-lama jadi tak pernah pulang, untuk makan sehari-hari saya jualan, kadang jadi buruh cuci,
kadang jadi kuli angkut di pasar, kadang jadi buruh kupas bawang. Apa saja saya lakoni. Saya pernah
nanya sama temannya si Eti di mana dia, katanya si Eti ke luar kota ada kerjaan. Saya jadi heran, apa
tempat kerjanya itu buka cabang di luar kota ? belum putus keheranan saya itu, si Endang …… si
Endang…….. bawa banci tua ke rumah saya……

PEREMPUAN ITU MENANGIS PEDIH

……. dia bilang, dia mau pisah rumah. Katanya, kerja kejauhan. Saya tanya siapa banci tua itu, dan dia
jawab, itu temannya yang mau kos bareng.
Duh gusti apa lagi ini…saya lihat banci itu, tua, mukanya pucat tapi dandanannya menor. Si Endang
jadi aneh. Saya nggak bisa ngomong apa-apa, cuma bisa berdoa supaya dia selamat.

Di rumah saya cuma berdua sama si Aep. saya bingung. Tiba-tiba tetangga saya datang dan minta
maaf takut saya tersinggung, Dia cerita, si Eti perempuan nggak bener. Dan katanya, kalau saya nggak
percaya, dia ngajak saya lihat langsung. Dia tahu dimana dan kemana si Eti sekarang itu. Anehnya, saya
nggak kaget. Saya pura-pura nangis meraung-raung karena malu dengan tetangga saya itu.

Dua bulan setelah saya menangis meraung-raung, waktu itu tengah malam. Pintu rumah saya ada yang
gedor-gedor, ”Mak tolong Mak..Mak tolong Mak …cepat buka pintu Mak ! buka !” saya sepertinya
pernah dengar suara itu…begitu saya buka…ternyata banci tua temannya si Endang !. Mukanya babak-

33
belur. Saya cuma melongo, saya betul-betul nggak ngerti kenapa. Banci tua itu cerita, dia sangat cinta
sama si Endang. Saya mau muntah dengarnya. Dan dia bilang si Endang juga cinta dia. Saya nggak
percaya, mana mungkin bisa …kepala saya jadi pusing . Banci itu bilang, sejak itu dia janji mau
nanggung semua keperluan si Endang. Tapi katanya lagi, lama-lama kalau dia ngamen dapat duit sedikit
si Endang sering pukul dia. Sekarang banci malang itu sadar dimanfaatkan juga dibohongi si Endang.
Anehnya banci itu tetap sayang sama si Endang. Mungkin dia bingung mau pergi kemana.

Saya jadi gelap pikiran. Banci itu pergi, saya bawa si Aep pergi. Tak ada lain dipikiran saya, saya harus
putuskan lingkaran ini ! kaki saya terus berlari dan berlari. “ Mak, Aep mau dibawa kemana, Mak ?
Kaki Aep sakit Mak. Mak duduk dulu Mak, Aep nggak kuat lagi. Mak masih jauh ya Mak ? “

Saya berhenti di rel kereta api, secepat kilat saya dekap si Aep karena saya tahu sebentar lagi kereta itu
menabrak kami !! Tapi, kami gagal …entah bagaimana saya dan si Aep… begitu sadar kami
dikerumuni orang banyak di pinggir rel. Duh gusti …jangankan hidup, mati pun susah.

Sejak itu si Aep ketakukan kalau melihat saya dan menganggap saya gila, apalagi orang-orang di rel itu
mengusir saya. Katanya, saya ibu yang mau nyelakain anaknya sendiri. Orang-orang meneriaki saya
gila. Saya nggak pernah ketemu si Aep lagi. Beberapa kali saya cari Si Aep, nggak pernah ketemu. Apa
mungkin si Aep dibawa orang-orang waktu itu ? Aep Emak minta maaf, kamu nggak salah nak, Emak
nggak gila… emak nggak tahan lagi. Aep, Emak pasti doain supaya Aep selamat.

Saya nggak mau pulang kampung, biar orang-orang bilang saya gila. Lingkaran itu mungkin nggak mau
jemput orang gila hi hi…

PEREMPUAN ITU KEMBALI BERNYANYI SENDIRI…..

SELESAI

34
“APAKAH KITA SUDAH MERDEKA”
KARYA: PUTU WIJAYA

Pemeran utama Kakek

Pada peringatan ulang tahun kemerdekaan.Aku leyeh-leyeh nonton


tv ketika lagu sorai-sorai dikumandangkan,cucuku pelan-pelan
mendekat lalu berbisik…..
Cucu:kek,Apakah kita sudah merdeka?
(Kakek terkejut)
Kakek:Apaa!
Cucu:Apakah kita sudah merdeka?
(aku| kakek| mulai marah)
Kakek:Siapa yang menyuruhmu menanyakan itu!(Dengan nada yang
keras)
Cucu:aku baca di koran
Kakek:cucuku mengeluarkan sobekan kertas koran dari sakunya
kemudian menunjukan sebuah kepala berita,Darahku mendidih media
sekarang semua nya edan!,Dangangan nya itu semuanya sensasi
semua bukan fakta!,Kemudian ku gayuh tangan cucuku,Lalu
kududukan disampingku
Kakek:Duduk! Jangan ngomong dulu,aku mau bicara!Apa-apa saja
kerjaan gurumu di sekolah,Apa gurumu sudah berhenti ngajar sejarah
Indonesia,Apa gurumu tidak pernah memberitahukan
kepadamu,Bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 jam 11:30 di jalan
pegangsaan timur Bung karno dan bung Hatta telah memplokamirkan
kemerdekaan kita!
“PROKLAMASI”
Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan
Indonesia.
Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain
laindiselenggarakan dengan cara seksama dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya .
Jakarta,17 Agustus 1945
Atas nama bangsa Indonesia
Soekarno/Hatta

Kakek:Nah!,sejak saat itu kita sudah merdeka

35
Cucu:Jadi kita sudah merdeka ya kek?
Kakek:Wohohoho..Jelas!
Cucu:Kalau kita sudah merdeka kek,kenapa kita masih miskin?
(Hampir saja tangan ku menampar mulut cucuku untung aku ingat
anak kecil ini masih cucuku sendri!,sambil menahan geram,aku
menggeram cucuu!..,Dengarkan kakek baik-baik!
Kakek:Kalau kita ini merdeka,itu artinya kita telah bebas! Dari
penindasan penjajah!,Kita bebas menentukan nasib kita sendiri!,Kita
bebas berbuat,Kita Bebas berpikir!,Kia bebas menentukan nasib kita
sendiri.
Tapi kalo kamu itu
lapar,miskin,sakit,terpuruk,gagal,kecewa,kalah,lemah,wohohoho…. Itu
bukan urusan kemerdekaan
Kakek:Gini,kalau kamu ingin kaya harus kerja keras,Harus
mencari sendiri kekayaanmu,membalik sendiri nasib kamu,tidak ada
orang mau menolong,Kalau kamu ingin berhasil! Mau jaya,mau hebat
,woo…harus kerja keras,harus berani bersaing,harus berani
berkorban,harus berjuang melawan tantangan,gak ada orang itu yang
mau menyuapi,apalagi mengasihani,kalau kamu itu
ulet,berprestasi,pintar,woo.. kamu bakal jadi orang nomor satu ,tapi
kalau kamu males,bodoh,teller,melempem,doyannya hanya
mengeluh,mengemis,protes woo…yakin kamu bakal jadi orang
kere,seumur hidup,Karena
Cucu:hmm,kek
Kakek:Sebentar jangan ngomog dulu!,Karena jika kita merdeka kita
harus bias mempergunakan sebuah kebebasan yang diberikan
kemerdekaaan,jangan mentang –mentang kamu merdeka piker terus
seenaknya sendiri,kebablasan,seenak udelmu sendiri,Padahal…
Cucu:kek…
Kakek:Sebentar! jangan ngomong dulu! Aku belum selesai
ngomong,Padahal kalau kamu itu merdeka,kemerdekaan kamu
dibatasi oleh kemerdekaan-kemerdekaan lain milik saudara-
saudaramu yang ada di lingkungan kamu!,Yang sama merdekanya
dengan kamu wal hasilll! Kalau kamu merdeka sebenarnya kamu tidak
merdeka,Mengerti!?
Cucu: (Diam,cucu tidak menjawab)
Kakek:Ngerti!!
Cucu:(masih diam)
Kakek:Ngerti!!

36
Cucu:(sambi lmenggeleng kepala ) Tidak…
Kakek:Nah!,Dengan kamu bilang tidak artinya kamu orang yang
merdeka hanya orang yang merdeka yang berani kapan saja bilang
“tidak”
Di layar televise sang saka telah dikerek di iringi lagu Indonesia raya
,aku jadi merinding aku terlempar kedalam masa revolusi,ketika aku
pergi kehutan bersembunyi di balik ketiak-ketiak bukit mencegat
konvoi tentara colonial,menghancurkan jembatan malam-malam
mengendap-endap kekota,menyusup ketansi militer kolonial,untuk
mencuri senjata tapi kami disergap karena ada penghianatan,Kami lari
dan kakiku tertembak kami semua jatuh kedalam sumur tua.
Cucu:Jadi kita betul kek sudah merdeka?
Kakek:Sang saka telah naik kepuncak tiang,angut perkasa aku telah
turut,aku telah Ikut,aku telah ikut membayar ongkos perjalanannya
hingga kakiku pincang hingga sekarang,tapi sama sekali tidak ada rasa
menyesal
Cucu: Jadi betul kek kita sudah merdeka?
Kakek:Pada masa kemerdekaan aku letakan senjataku,Aku kembali
kesawah,hidupku tenang sampai pada suatu saat ada yang
memfitnahku mengatakan aku penghianat ketika kami dulu disergap
aku diperkarakan dan aku dipenjara 4 tahun didalam penjara
akhirnya aku sadar orang yang memfitnahku itulah penghianat yang
sebenarnya,setelah aku bebas aku cari dia ke dikota tapi ternyata dia
sudah jadi pejabat yang sangat dicintai masyarakat dia tahu aku
datang dia suruh orang untuk memberangusku(sedih)aku bukan
pahlawan lagi,Aku hanyalah orang biasa yang mencintai keluargaku
aku lari aku melarikan diri aku menghilang(menangis)aku
menjerit<aku menangis didalam batin(menangis)
Cucu:Kalau betul kek kita sudah merdeka,kenapa kakek..menangis
Kakek:(Sambil mengelap air mata dan kemudian aku terkejut,aku
|kakek|cepat-cepat seka air mataku,kemudian kakek mengayuh
tangan cucunya kemudian menutup mulut cucunya dan bersuara
kencang Cucu!!!
Kakek:Cucuku!,kakek menangis karena kita sudsh merdeka hanya
orang merdeka yang boleh dan berani menangis dimanapun dan
kapanpun Ia ingin menangis….

37
JANGAN TERLALU DALAM
KARYA: ISWADI PRATAMA

MALAM HARI. DALAM SEBUAH KAMAR YANG TAK TERLALU BESAR.


ARRAYAN; SEORANG REMAJA USIA BELASAN TAMPAK SEDANG DUDUK DI
BANGKUNYA; MEMBACA SEBUAH BUKU. DI DEPANNYA TERDAPAT
BEBERAPA BUKU LAINNYA BERSERAK DI ATAS MEJA. TAK JAUH DARI MEJA
ITU TERDAPAT SEBUAH DIPAN BERUKURAN KIRA-KIRA 1 X 2 METER DENGAN
BED SHEET (SPREI) YANG TAMPAK KUSUT SERTA BANTAL DAN GULING
YANG TERSERAK. DI ATAS DIPAN ITU JUGA TERDAPAT DUA ATAU TIGA BUKU
TERGELETAK.

II

ARRAYAN TAMPAK TAK JENAK MEMBACA BUKUNYA. DIA HANYA


MEMBOLAK-BALIK, MEM- BACA SEKILAS, LALU MEMBOLAK-BALIK LAGI
HALAMAN-HALAMAN BUKUNYA, LALU ME- LETAKKANNYA DI MEJA.
MENGAMBIL BUKU YANG LAIN, MEMBOLAK-BALIK HALAMAN BUKU,
MEMBACA SEKILAS, MELETAKKANNYA LAGI DI MEJA. MENGAMBIL LAGI
BUKU YANG LAIN; MELAKUKAN HAL YANG SAMA SEPERTI SEBELUMNYA.
SEMAKIN LAMA IA TAMPAK SEMAKIN CAPEK, LESU, DAN MERASA PUTUS
ASA. LALU MEREBAHKAN KEPALANYA DI ATAS MEJA. DIAM SESAAT.
DENGAN PERLAHAN MEMBENTUR-BENTURKAN DAHINYA PADA BUKU YANG
TERGELETAK DI MEJA, SEMENTARA KEDUA LENGANNYA TERJULUR KE SISI
BADANNYA.

III

BEBERAPA SAAT KEMUDIAN, TERDENGAR NADA PANGGILAN PADA


HANDPHONE-NYA. IA SEGERA MENGANGKAT KEPALANYA, MENCARI-CARI
HANDPHONENYA DI ANTARA BUKU- BUKU DI ATAS MEJA. NADA PANGGILAN
BERHENTI, TAPI HANDPHONE TAK ADA. LALAU NADA PANGGILAN
TERDENGAR LAGI, ARRAYAN BERANJAK KE DIPAN; NADA DERING BER-
HENTI, TAPI HANDPHONE TAK ADA. NADA DERING TERDENGAR LAGI,
ARRAYAN MEMBO- LAK-BALIK BANTAL-GULING, BUKU, MENYINGKAP
SPREI, BAHKAN KASUR.; NADA PANGGI- LAN BERHENTI, TAPI HANDPHONE
TAK ADA. LALU NADA PANGGILAN TERDENGAR LAGI, ARRAYAN MERAYAP
KE KOLONG DIPAN; NADA PANGGILAN BERHENTI TAPI IA TETAP TAK
MENEMUKAN DI HANDPHONE ITU BERADA.

IV

ARRAYAN MERAYAP KELUAR DARI KOLONG DIPAN SEPERTI KADAL; IA


SEMAKIN LUNGLAI. SAAT TUBUHNYA MASIH MELEKAT PADA LANTAI;
SUARA HANDPHONE ITU TERDENGAR LAGI, SEMAKIN JELAS-SEMAKIN
KERAS. NAMUN KALI INI BUKAN LAGI NADA PANGGILAN; MELAINKAN
BERBAGAI SUARA DARI BERAGAM APLIKASI YANG DIGEMARI REMAJA.

38
V

SAMBIL TETAP TELUNGKUP DI ATAS LANTAI, ARRAYAN MEREMAS-REMAS


RAMBUTNYA SEAKAN IA SEDANG SAKIT KEPALA PARAH. LALU PERLAHAN
BANGUN SAMBIL TETAP MEREMAS-REMAS KEPALANYA, SEMENTARA ITU
SUARA HANDPHONE ITU SEMAKIN MEN- ERORNYA. IA TERHUYUNG DUDUK
DI ATAS DIPAN, LALU PINDAH KE BANGKUNYA, LALU TERHUYUNG LAGI
MENUJU KE SISI LAIN KAMARNYA. DUDUK DI LANTAI SAMBIL
MENYANDARKAN KEPALANYA KE DINDING DAN SEKARANG BUKAN CUMA
KEPALANYA

YANG IA REMAS-REMAS, MELAINKAN JUGA WAJAHNYA. SEMAKIN LAMA WAJAHNYA


SE- MAKIN TEGANG DAN SUARA HANDPHONE MASIH TERUS MENERORNYA. SAMPAI
NAFASNYA TERENGAH DAN AKHIRNYA BERTERIAK.

VI

SEUSAI TERIAKAN ITU, SUARA HANDPHONE BERANGSUR HILANG. ARRAYAN MASIH


TERKUALI DI TEMPATNYA. BEBERAPA SAAT HENING.

Ada hand-phone di kepala saya. JEDA. SUNYI.


Setiap malam. Setiap kali saya membuka buku-buku itu, setiap saya mencoba khusyuk membaca; tiba-
tiba terdengar suaranya. Ini terjadi sejak Ayah membuat peraturan baru di rumah ini; melarang
handphone di malam hari; dan saya harus menyerahkan benda pujaan itu pada Ayah. Maka saya akan
duduk di bangku itu, menghadapi buku-buku yang bisu dan tak asyik itu, sampai saya tertidur.

Ayah atau Ibu--mereka bergantian seperti tentara jaga malam--akan datang ke kamar ini setiap satu jam
sekali untuk memastikan bahwa saya masih membaca sebelum pukul spuluh atau sebelas malam; waktu
saya untuk tidur.

TIBA-TIBA DIAM. MELIRIK KE ARAH JAM DINDING, LALU BANGKIT, MELONGOK KE


LUAR PINTU KAMAR, LALU MENUTUP LAGI PINTU ITU.

Pintu itu tak boleh saya kunci sebelum jadwal tidur tiba. Ini peraturan kedua.

Sebentar lagi, sekitar 15 atau 20 menit lagi, salah satu di antara mereka akan patroli; datang ke kamar
ini. Itu artinya saya harus ada di bangku itu; membaca. Tapi sebelum hal itu terjadi, izinkan saya berbagi
cerita kepada hadirin sekalian; baik yang hadir langsung menyaksikan nasib saya di kamar ini, maupun
melalui zoom.

Saya sendiri bukannya tak berusaha; bahkan segala daya upaya sudah saya kerahkan untuk bisa
membaca buku dengan khusyuk dan bahagia. Saya juga sudah memotivasi diri dengan berbagai nasihat
yang saya ingat, kata-kata mutiara, semboyan, pepatah, pantun, yel-yel penyemangat bela- jar, hingga
kritik tajam para pakar mengenai bahaya kecanduan handphone. Tetapi herannya, hal- hal yang biasa
dipakai orang untuk memotivasi diri tak juga membesarkan semangat dan gairah saya membaca--kalau
pun berhasil, hanya bertahan 10 atau 15 menit saja, lalu menguap lagi. Se- dangkan kritik tajam para
pakar itu; tak juga mengurangi kerinduan saya untuk selalu bersama dan dekat dengan handphone.

JEDA. ARRAYAN MEMANDANG KE LANTAI, MENGHELA NAFAS DALAM.

Ah...kalau saja mengubah diri bisa dilakukan serenyah ceramahnya Mario Teguh. Mungkin saya tak

39
menderita begini lagi.....

BERPINDAH KE SISI LAIN DENGAN LUNGLAI.

Apa? Saudara-saudara tak yakin saya menderita? Apa tak terlihat beban derita itu di wajah saya ini? Di
sorot mata saya? Di getar suara saya? Di seluruh tubuh saya ini? Ini bukan acting seperti dalam
pertunjukan monolog anak-anak SMA itu lho. Ini riil. Nyata. Saya memang sedang menderita. Bahkan
kalau penderitaan saya ini saya tuangkan ke dalam puisi, saya kira saudara-saudara tak akan kuat
membacanya, tanpa menitikkan air mata.

Tak percaya? Saudara-saudara tak percaya bahwa serkarang ini saya sedang dibuli sepi dan dikepung
sedih? Sekarang saya bertanya; siapakah di antara hadirin yang mau dan mampu berpisah dengan apa
yang telah menjadi bagian dari diri hadirin sendiri tanpa merasa teraniaya rasa hampa? Tidak ada kan
yang mampu....begitu juga saya. Sebuah handphone bukan lagi sekadar benda biasa, ia adalah salah
satu bagian terpenting dari diri kita, bahkan hidup kita. Bayangkan, sejak kecil dia sudah bersama kita,
menjadi teman kita di kala semua orang tak punya waktu luang atau malas meladeni kita yang masih
kanak-kanak dan belum bernilai guna. Pagi, siang, sore, bahkan malam...dialah yang selalu setia di sisi
kita, tanpa keluhan sedikitpun. Asalkan batere dan quota-nya cukup, ia akan melayani kita; apa pun
kemauan kita dan ke mana pun kita ingin tamasya, ia selalu bersedia. Ia bahkan telah menyimpan nama
kita dan seluruh memory kita di dalam dirinya, dan kita telah menyimpan password dan kunci pembuka
dirinya di dalam benak kita. Suatu simbiosis yang sangat romantis dan intim, bukan? Bahkan, kita bisa
lebih dekat dan nyaman dengan dirinya daripada dengan sesama kita.

Itulah mengapa, berpisah dengan dirinya, meski cuma saban malam, seperti melewati bertahun- tahun
kesepian.

BERGUMAM SEAKAN MEMBACA SYAIR

"Oh,,handphone-ku, betapa berat dan panjang jalan yang harus kutempuh untuk kembali bersa-
mamu..."

SEAKAN MENGENANG KENANGAN YANG AMAT INDAH

Sejak pertama saya mengerti membaca dan menulis, saya sudah menuliskan nama saya ke dalam
dirinya: "A-R-R-A-Y-A-N". Saya memang sempat berganti-ganti partner; dari satu handphone ke
handphone lainnya. Tapi apa pun jenisnya, sikap mereka tetap sama: setia menemani dan melayani, tak
pernah berkurang sedikitpun, bahkan semakin istimewa dan semakin besar kemampuan mereka
melayani kita.

Coba bandingkan kesetiaan dan konsistensi mereka dengan kita; berganti partner, berganti pula sikap
dan kebiasaannya. Apalagi pergantian pimpinan; bisa semakin baik, atau malah semakin anjlok
mutunya. Eh, maaf...saya agak ngelantur. Maklumlah, orang kalau lagi diterkam sepi dan rindu, suka
melayang ke mana-mana pikirannya.

Jadi bagaimana sekarang? Sudah cukup jelas bahwa saya menderita?


Saya menderita bukan karena berpisah dengan dirinya saja, tapi karena saya dihadapkan pada dua
keadaan secara bersamaan. Di satu sisi saya tahu, Ayah dan Ibu bertujuan baik. Dia ingin saya punya
prestasi dan maju dalam study, karena itu mereka membuat peraturan 12 jam tanpa hand- phone di
malam hari. Tapi di sisi lain, seluruh diri saya, kesadaran saya, jiwa saya, sudah terbiasa hidup--sejak
kecil bahkan--dengan dia ada di sisi saya. Bahkan, sebelum ada peraturan seperti itu, saya terbiasa tidur
dan dia rebah di dada saya, atau persis di sisi saya. Tak mudah lagi bagi saya melewati hari, meski
sesaat, tanpa dia.

BERUBAH JADI ROMANTIK DAN SYAHDU

40
Kadang, kalau saya tak kuasa menanggung rindu padanya, saya ambil casing-nya, saya dekatkan ke
dada saya seperti ini

(Bergegas mengambil casing handphone dan kabel charger dari mejanya, lalu memperagakan
bagaimana dia meletakkan handphone di dadanya, mendekapnya, menggenggamnya dengan lem- but,
membelai, dst)

Kadang saya terkenang pula saat-saat dramatis kami, ketika ia menjadi lemah dan kritis dan saya dengan
panik mencari tempat untuk menambah energinya.

(Memasukkan kutub charger ke dalam casing lalu merentangkan kabelnya, seolah sedang mencharg
handphonenya)
Tak ada yang lebih membahagiakan selain mendengar suara renyah dan riangnya; bertamsya dengannya
ke mana pun saya ingin mengunjungi situs-situs atau menikmati menu-menu lezat yang ditawarkannya.
Ia telah membuat hidup ini menjadi amat mudah, simple, lebih cepat dan ia tak akan membiarkan kita
menunggu lebih lama. Ia bisa membahagiakan kita, tepat di saat kita menginginkannya. Ia memberitahu
kita apa saja dengan cepat dan lengkap tanpa perlu kita mengerahkan tenaga. Bahkan kini, ia memiliki
banyak sarana yang bisa menjamin kesejahteraan kita dalam tempo sesingkat-singkatnya. Jadi,
bagaimana bisa saya bersabar berlama-lama dengan buku-buku bisu itu untuk menata masa depan; itu
sangat menghabiskan waktu, tenaga, dan pikiran. Sementara kita hidup di masa yang sangat brgantung
pada kecepatan dan keringkasan. Siapa yang tidak bisa cepat dan ringkas, akan ditinggalkan, akan
menjadi fosil penghuni meseum peradaban.

Saya sebenarnya pernah hampir berhasil tidak terlalu bergantung padanya, selain untuk hal-hal penting
saja. Tapi saat saya memergoki Ayah dan Ibu pada suatu malam, duduk asyik dan begitu intim dengan
handphone masing-masing, saya jadi merasa dikhinati. Sejak saat itu, kemampuan saya untuk berpisah
denganya semakin menurun. Bahkan, kini ia ada di dalam kepala saya, dia jadi seperti denyut dalam
jantung saya. Saya sudah teramat dalam mencintainya.

VII

TIBA TIBA SUARA PANGGILAN DARI HANDPHONE TERDENGAR LAGI. LALU SUARA-
SUARA DARI BERBAGAI APLIKASI. ARRAYAN KEMBALI MERASA ADA SESUATU
BERSARANG DI KEPALANYA. ADEGAN-ADEGAN AWAL DALAM MONOLOG INI
TERULANG LAGI.

VIII

ARRAYAN BERTERIAK. LALU SUARA-SUARA HANDPHONE MENGHILANG. SAMBIL


TEREN- GAH DIA BERKATA:
"Jangan terlalu dalam...jangan terlalu dalam mencintainya, atau kalian akan menderita seperti saya" IX
TERDENGAR SUARA AYAH DAN IBU DARI LUAR KAMAR: "ARRAYAN...ADA APA.NAK?".
LALU ARRAYAN BERGEGAS KEMBAKI KE MEJA-NYA DAN MEMBUKA BUKUNYA.
SETELAH BE- BERAPA SAAT, DIA MENOLEH KE ARAH PENONTON DAN BERKATA:

"Betapa panjang dan berat jalan yang harus kutempuh....tapi inilah yang harus kulakukan untuk
mendapatkan kelahiranku kembali".

SELESAI
Bandar Lampung, 7 Juni 2021

41
Monolog Dokter Jawa
Karya: Putu Fajar Arcana
DOKTER RAHAYU BERTUGAS DI SEBUAH DESA TERPENCIL, JAUH DARI
IBUKOTA KABUPATEN. PERLU WAKTU HAMPIR 2 JAM NAIK PERAHU
MOTOR. ONGKOS PERAHU DARI IBUKOTA KABUPATEN BISA SAMPAI RP 1
JUTA MELINTASI SUNGAI DAN RAWA-RAWA PENUH BUAYA.

SETTING: SEBUAH BERANDA RUMAH SEDERHANA DARI KAYU DENGAN


HALAMAN YANG CUKUP LUAS. RUMAH INI DIGUNAKAN SEBAGAI
PUSKESMAS DESA. PADA SEBUAH PAPAN DI HALAMAN TERTULIS:
“PUSKESMAS DESA BISA JAYA”.

DI DINDING BERANDA TERTEMPEL BEBERAPA POSTER TENTANG CARA HIDUP


SEHAT, TERUTAMA POSTER-POSTER TENTANG PENANGGULANGAN PENYAKIT
MALARIA. TAK JAUH DARI DINDING ITU, SEBUAH TIMBANGAN TERGANTUNG
LENGKAP DENGAN SELENDANG BAYI. HANYA ADA SEBUAH MEJA TUA DAN
BANGKU. DI SITULAH BIASANYA DOKTER RAHAYU MENERIMA PASIEN-
PASIENNYA. TAK JARANG IA SENDIRI TERTIDUR SELONJORAN DI BANGKU
PANJANG ITU.

LAMPU PERLAHAN MENYALA. TERLIHAT DOKTER RAHAYU SEDANG


TERTIDUR DI BANGKU. TANGANNYA MENJUNTAI HAMPIR MENYENTUH
LANTAI KAYU. IA TAMPAK SANGAT LELAH. JAM DINDING SEDERHANA
HADIAH DARI PAK BUPATI YANG TERPASANG DI DINDING MENUJUKKAN
PUKUL 02.15 DINI HARI. TERDENGAR SALAK ANJING YANG DIIKUTI OLEH
KERIBUTAN DI LUAR HALAMAN.

“Aku tak setuju pergi ke Dokter Jawa itu. Ia macam tukang sihir. Lama-lama kita
jadi so Jawa semua. Ah sudah kita ke Bapak Tibo saja. Jelas ia suku kita…” kata
suara lelaki.

“Anak kau ini sudah mau lahir. Jangan so pikir Jawa atau Papua. Sekarang
panggil itu Dokter,” kata suara perempuan.

“Kau saja yang panggil…Kau kan yang mau

melahirkan...” “Ini perbuatan kau juga…!”

42
Itu suara siapa? (DOKTER RAHAYU TERBANGUN LALU MELIHAT KE
SEKELILING HALAMAN). Masuk saja. Dini hari seperti ini tak baik berada di luar rumah.
Ha? Apa? (SEPERTI MENDENGAR SUARA) Ada yang mau melahirkan? Ya, ya…
Melahirkan memang suka tak kenal waktu. Ia bisa datang kapan saja, seperti juga kematian. Oh,
kematian? Kenapa aku jadi melantur menyebut kematian?
Selama 3 tahun aku di sini, Puskesmas ini jadi saksi bahwa kelahiran dan kematian
itu tak pernah adil.

Kau boleh ngotot mengatakan ada kelahiran pasti akan diimbangi oleh kematian, begitukah?
Hukum itu membuat jumlah manusia selalu sama. Dan itu kunci eksis bangsa manusia sampai
kini. Begitukah? Pendapat itu sudah harus dikoreksi sekarang. Di beberapa tempat bahkan
kelahiran jauh lebih banyak dari kematian. Lihat saja kotamu sendiri. Makin hari permukiman
menelan sawah-sawah para petani. Ruko-ruko merambah sampai hutan-hutan pinggiran kota.
Itu tandanya kelahiran lebih banyak dari pada kematian. Setujukah? (KEPADA PENONTON).
Kau harus setuju, kalau tidak monolog ini tak akan aku lanjutkan… (PANCING PENONTON
SUPAYA MENYAHUT) Kau harus tahu, di sini, hukum keseimbangan itu tidak berlaku.

Sebagai orang Jawa yang mewarisi ajaran harmoni dari para tetua, aku merasa dibenturkan pada
kenyataan pahit, yang berbeda dengan apa yang pernah diajarkan. Aku jadi saksi, setiap
kesakitan di sini hampir selalu berakhir dengan kematian. Kau tahu, terkadang aku merasa gagal
sebagai dokter. Seharusnya aku bisa menjadi pencegah kematian. Aku tahu aku bukan malaikat,
tetapi kegagalan demi kegagalan membuatku ingin menanggalkan profesi ini. Kembali jadi
manusia biasa, sehingga tidak harus memikul beban profesi seberat ini. (KEPADA
PENONTON) Ah, kau sih enak, duduk-duduk saja menyaksikan aku bekerja keras berlatih jadi
dokter di daerah terpencil. Itu yang di belakang malah pakai ketawa. Kalau para juri sih pasti
serius atau pura-pura serius supaya honornya cepat cair...(TERTAWA). Tapi mungkin ini sudah
takdirku, bisa tampil di depan publik nasional seperti ini. Eh jangan pula kau memasang rasa iri
ya...

(TERDENGAR PERTENGKARAN DI LUAR). Hee... siapa di sana.


Bapak, Mama, masuk saja sini. Ke sini sudah. Jangan lama-lama di luar sana. Ini Puskesmas
satu-satunya di sini. Aku tahu, aku bukan malaikat penyelamat, tetapi setidaknya bayi dalam
kandungan itu punya kesempatan menghirup udara segar desa ini.

Kalian berdua sudah tahu, bayi yang lahir di desa ini belum tentu selamat. Bahkan sudah
lahir pun banyak tak punya kesempatan jadi kanak-kanak. Itu

43
anak Bapak Wanggai yang tinggal dekat dermaga tadi pagi meninggal, Si Sarce anak
Bapak Koga yang dulu lucunya minta ampun sewaktu lahir, dua hari lalu juga tiada.

(KEPADA PENONTON) Kau tahu sejak semingguan lalu sudah ada 61 anak
meninggal di desa ini. Kau pasti sudah dengar, kabar buruk ini sudah viral di media
sosial. Sebelumnya juga dimuat bertubi-tubi itu di koran.

Katanya, Bapak Presiden sudah tetapkan ini sebagai kasus gizi buruk terburuk sepanjang
sejarah modern bangsa ini. Kalau aku boleh cerita, begini: (MENYERET BANGKU
MENDEKAT PADA PENONTON), tapi kau harus janji jangan viralkan ini di medsos ya,
semua janji? (TUNGGU REAKSI PENONTON) Aaa… bagus sudah. Begitu, sesama rakyat
harus saling menjaga ya, apa pun suku dan agamanya.

Dulu, ada kasus desa ini kehabisan beras. Asal kau tahu saja, kita ambil beras dari kota
kabupaten pakai perahu. Itu makan waktu dua hari. Pas waktu itu perahu pembawa beras
katanya pecah setelah tabrak batang kayu di sungai. Orang- orangnya habis dimakan buaya
dan beras hanyut di sungai. Hampir selama tiga bulan di desa tidak ada beras. Anehnya warga
beramai-ramai ke Puskesmas.
Mereka tuding aku sebagai dalang dari semua ini.

Aku ingat Bapak Tibo sebagai kepala suku bicara paling keras. Dia bilang begini: “Kami ini
cuma orang primitif, jangan kau permainkan. Kami juga ingin makan beras seperti orang-
orang di Jawa. Kami juga ingin modern seperti kau...Tolong kau bawa beras untuk kami.”

Ketika aku coba untuk bicara, Bapak Tibo cepat-cepat memerintahku untuk diam. “Kau
minta saja Presiden utus orang-orang Jawa supaya cepat kirim itu beras. Kami ini bukan
cuma lapar tapi juga ingin maju to...”

Bapak Koga yang dari tadi di belakang maju ke depan. Kulitnya yang hitam gosong seperti
terbakar. Orang-orang warga desa ini memang masih jarang yang pakai baju.

“Saya mau bicara. Maaf Bapak Tibo, Dokter Rahayu cuma mau bantu kita orang yang
sudah lama sakit-sakitan. Dokter ini juga sudah bantu lahirkan kita punya anak-anak.
Semua sukarela, tak pernah minta ongkos. Jadi dia tidak punya
urusan dengan beras...”

(BAPAK TIBO MEMOTONG) “Aaa…bagaimana kau bisa bilang begitu Koga.


Dulu ada niat baik dari orang Jawa yang kirim kita beras. Sekarang kita semua orang sudah makan
beras supaya sehat dan modern. Karena dokter ini dikirim dari
Jawa, pasti juga bisa bawa beras.”

Tidak Bapak Tibo, aku beranikan diri untuk mulai bicara. Saya dikirim dari Jawa untuk bantu
kesehatan warga. Walau terbatas, saya cuma punya obat-obatan.
Mari kita pikirkan bersama mengatasi ketiadaan beras. Saya ada punya usul, bagaimana kalau
sementara kita kembali makan sagu...

(KATA BAPAK TIBO) “Mana pula bisa begitu kau bicara. Zaman Presiden dulu, ada bilang
kalau orang Papua mau modern, harus makan itu beras. Makan itu sagu hanya perpanjang
penderitaan. Kami tak mau lagi makan sagu. Sagu berarti penderitaan. Karena kami juga ingin
modern to. Sekarang coba kau pikirkan, supaya kami dapat beras...”

44
(KEPADA PENONTON) Kau pasti berpikir orang-orang di sini kaku dan keras kepala, kan?
Selama di sini aku justru banyak belajar, bagaimana mereka berpikir dan ambil keputusan.
Mereka selalu berpikir lurus, konsisten, dan teguh pegang janji. Ini yang justru harus aku
manfaatkan dengan baik. Tidak seperti kau yang suka mencla-mencle. Sekarang pilih ini, besok
pilih itu, tergantung siapa yang kasi rezeki…

Bapak Tibo, begini, kataku kepada kepala suku itu. Saya boleh tanya. Dia mengangguk. Bapak
Tibo dulu dilahirkan Mama setelah kerja sama dengan ada punya Bapak, bukan? Walau ia
tampak bingung, tapi wajahnya jadi lucu ketika ia bilang,”Ah untuk apa kau tanya-tanya itu?
Tanpa mereka mana bisa kita ini ada. Begitu kah?”

Waktu Mama dan Bapak kerjasama, mereka ada makan apa to? Kulihat mukanya bertambah
lucu. Setelah celingukan seolah melihat warga lain, ia bilang,”So pasti makan sagu...” Aku tahu
ia mulai terjerat. Langsung saja aku tarik jerat agar mudah memelintir lehernya. Setsetsssttt...
(TANGAN SEPERTI MELEMPAR JERAT LALU MENARIKNYA). Ketika lehernya cukup
dekat aku katakan kepada dia, nah Bapak dan Mama saja makan sagu, kenapa kita orang tidak?
Ia coba menjawab
dengan memelas,”Orang Jawa so bilang, kalau kau berhenti makan itu sagu dan mulai makan
beras, kau pasti modern, tidak lagi disebut primitif. Kami di sini semua ingin jadi orang modern
to.”

Bapak Tibo, jadi modern tak harus makan itu beras. Orang Belanda tak makan beras, tapi
makan roti dari gandum, karena gandum hidup di tanah Belanda. Nah, kalau di tanah Papua ini
tumbuh sagu kenapa kita tidak makan sagu saja? Kita bisa olah sagu jadi roti. Begitu kah?

“Mana pula bisa begitu” Tiba-tiba orang yang tadi diam saja bicara. Aku sungguh ingat, dialah
lelaki yang datang Puskesmas malam-malam membawa seseorang yang terluka. Ia
menggendongnya. Katanya, “Dokter jangan banyak tanya, obati saja dia.”

Aku minta kepadanya membaringkan lelaki yang luka itu di sini, di bangku ini. Aku lihat darah
mengucur dari dada kirinya. Lukanya cukup parah. Aku tahu ini luka tembak. Ada peluru
bersarang di tubuhnya. “Bapak, dia harus operasi. Saya tidak punya alat. Jadi Bapak harus bawa
dia ke Rumah Sakit Kabupaten.”

“Saya sudah bilang, kau obati saja. Jangan banyak tanya apalagi kasi itu perintah.” Ketika
mengatakan itu, ia mulai mengacungkan sebuah senjata. Aku sedikit gugup, tapi coba
kusembunyikan dengan memasang muka serius seperti dokter pada umumnya. Mungkin begini
ya, muka serius seorang dokter. (MEMPERLIHATKAN MUKA SERIUS KEPADA
PENONTON) Beginikah?

“Kalau Bapak tunjuk itu senjata saya tidak bisa bekerja. Bapak duduk sudah di
sana, saya akan keluarkan itu peluru dengan pisau kurang steril, maukah?”

Spontan ia jawab,”Itu terserah, kau dokternya. Sudah saya bilang kan, jangan banyak tanya.”

Untung peluru tidak terlalu dalam masuk ke dalam dada lelaki itu. Meski begitu aku tetap
membiusnya. Dengan menggunakan pisau bedah seadanya aku berhasil mengeluarkan peluru.
Ketika mencuci tangan dalam ember di halaman, lelaki itu mengejar,”Jangan Dokter kasi mati
itu teman. Kenapa dia tidak

45
bergerak? Saya bisa kasi mati juga sama Dokter. Tolong hidupkan lagi...” Senjatanya kembali
ia todongkan kepadaku. Kali ini aku sudah benar-benar menguasai keadaan.

Kukatakan, “Bapak, tidak banyak gunanya bertempur di gunung-gunung. Mari sini gabung
sama orang kampung. Kita sama-sama hidup sama orang kampung, sama Republik. Bertempur
sama tentara cuma akan hasilkan kematian.” Tanpa kuduga senjatanya ia simpan ke dalam tas
nokennya. Kulihat temannya mulai sadar. Ia kembali menggendong temannya dan pergi
menghilang dalam kegelap***
(KEPADA PENONTON) Aku lanjutkan lagi kisahku dengan orang yang datang malam-malam
itu ya? Kau ada setujukah? Lalu dia bilang begini, “Sagu kami sudah habis dimakan tentara,
apa yang bisa diolah jadi roti.”

Bagaimana kalau besok pagi kita sama-sama ke hutan cari sagu dan kita olah jadi roti.
Bagaimana Bapak Tibo, Bapak setujukah?

Kami memang kemudian sama-sama ke hutan. Tapi alangkah kagetnya, pohon sagu sudah
hampir-hampir tak ada lagi. Lahan sagu yang kutahu dulu menghampar di sini, sudah berubah
jadi hamparan sawit yang begitu luas. Waktu itu, Bapak Tibo dan sebagian besar warga desa
langsung berbalik arah dan tidak mengatakan apa-apa.

Sejak itulah sikapnya mulai mengeras. Ia tetap ngotot ingin makan beras. Dan pemerintah di
Jawa harus bertanggung jawab pada keadaan di sini. Seluruh tragedi kekurangan gizi di sini,
itu karena pemerintah di Jawa telah mengganti sagu dengan beras. Padahal beras tak pernah
ditanam di sini, sehingga harus selalu didatangkan dari luar pulau.

(KEMBALI SEPERTI MENDENGAR ADA YANG BICARA DI LUAR HALAMAN


PUSKESMAS) Apa? Mau melahirkan? Kenapa tidak langsung masuk saja ke Puskesmas. Mari
Bapak, Mama, setiap kelahiran apapun keadaannya harus diberi kesempatan untuk hidup.
Hidup? (JEDA SEPERTI MEMIKIRKAN APA YANG BARU SAJA IA KATAKAN) Di
situlah, terus terang aku merasa gagal sebagai dokter yang dikirim jauh-jauh dari tanah Jawa
sampai ke pedalaman Papua. Di sini, di tengah- tengah kekayaan alam yang berlimpah,
mengapa tragedi gizi buruk itu bisa terjadi? Sungguh tak bisa kunalar dengan logika kepala.
Sudah kucoba menjadikan kematian demi kematian sebagai energi untuk bertahan. Tetapi
bukan kematian benar yang kutangisi, hidup menderita di tengah kelimpahan berkah itulah
yang jadi soal sekarang. Bagaimana mungkin di surga terjadi kelaparan?

Sampai suatu hari seorang transmigran asal Bali, yang tinggal tak jauh dari desa ini menyentak
hidupku. Ia kebetulan kemari untuk berobat karena di desanya belum ada Puskesmas.

Ia cuma bilang,”Hidup itu harus menanam, tak bisa langsung memetik hasil.” Kalimat ini
begitu sederhana, tetapi membuatku berpikir sepanjang malam. Warga di sini dulu memang
sebagian hidup dari menangkap ikan di sungai dan sebagian lagi mencari sagu untuk dijual.
Tetapi setelah sungai tercemar karena limbah sawit dan pohon sagu menyusut karena
pembukaan perkebunan, kehidupan warga benar-benar morat-marit. Dengan sedih harus
kuceritakan kepadamu, duh anak-anak cuma disuguhi batok dan sabut kelapa muda. Para
orangtua cuma makan buah nipah yang banyak tumbuh di rawa-rawa. Itu pun kalau masih ada.

Itulah, seperti yang sudah kau baca kemudian di koran-koran dan viral di media sosial, desa ini
dilanda bencana gizi buruk. Aku merasa harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Rencana
semula ingin pulang ke Jawa tahun ini untuk menjenguk ibu yang makin uzur, aku batalkan.

46
Aku merasa harus di sini bersama-sama warga, melalui segala kesulitan. Kebersamaan jauh
lebih dibutuhkan dalam kesengsaraan hidup.

Aku tahu, Bapak Tibo tidak pernah sepaham denganku. Tetapi di ujung penderitaan hanya
kebersamaan yang bisa menyelamatkan hidup kita.

“Dokter Rahayu,” katanya suatu hari. “Masih untung kami punya dokter. Beras tidak penting
lagi karena kami bisa hidup dari apa saja. Ini kami ada bawa hipere. Kami tahu Dokter juga
sudah lama tidak makan beras. Silakan Dokter.”

Aku kaget bukan main. Ia bawakan aku segenggam ubi. Ini makanan paling mewah di saat-
saat begini. Belum sempat aku tanyakan dari mana ia peroleh hipere itu, Bapak Tibo berkata
lagi,”Nanti malam kami ada gelar bakar batu, kami undang Dokter ke desa.” Setelah itu Bapak
Tibo pergi begitu saja. Aku berdiri terpaku di halaman Puskesmas. Kepala Suku yang kupikir
kaku dan main kuasa itu, menyimpan kebaikan yang selama ini tidak pernah diperlihatkannya.

Sepanjang hari itu aku berpikir, tradisi bakar batu biasanya digelar sebagai ucapan rasa syukur
dan menyambung tali silaturahim warga. Berarti ada hal yang istimewa sudah terjadi.

“Tenang Dokter, kami tahu Dokter orang Muslim. Jadi kami tidak pakai itu babi. Kami cuma
bakar daun dan hipere,” kata Bapak Tibo. Ia menyambutku di gerbang kampung. Sebelum
benar-benar tiba di tengah-tengah desa, aku bertanya kepada Bapak Tibo.

“Bapak, jika boleh tahu, dari mana seluruh hipere yang dipakai bakar batu?” Bapak Tibo hanya
tersenyum. Ia tak segera menjawab. Pria berbadan kekar walau usianya sudah di atas 60 tahun
itu, cepat-cepat menuntunku ke dalam kerumunan warga. Di tengah-tengah kampung, warga
membuat lingkaran mengelilingi api. Mereka sedang membakar batu-batu sebesar genggaman
orang dewasa.
Kau pasti tidak kenal upacara bakar batu kan? (KEPADA PENONTON). Kalau belum tahu
juga, sekarang mudah. Silakan klik situs pencari di internet, silakan baca ya. Aku tak mau
monolog ini berpanjang-panjang berkisah tentang bakar batu. Aku cuma ingin katakan, di
tengah kerumunan warga itu terdapat orang- orang yang berasal dari luar kampung. Mereka
dengan cekatan melakukan pekerjaan bakar batu, lalu memasukkan hipere dan dedaunan hutan
sebagai sayurnya. Aku tahu, tradisi bakar batu lebih banyak dilakukan oleh suku-suku di
pegunungan Jayawijaya, karena mereka penghasil hipere.

Di antara kerumunan warga lokal yang malam itu tanpa baju, tiba-tiba aku menangkap sosok-
sosok berbeda. Seseorang di antaranya kukenali sebagai transmigran asal Bali. Dia yang dulu
pernah berobat ke Puskesmas. Ia ditemani oleh 5 orang lainnya. Mungkin sesama warga
transmigran.

“Silakan Dokter. Saya kenalkan ini orang yang kasi kita selamat dari kelaparan,” kata Bapak
Tibo. Setelah memberi salam kepada para transmigran dan para pemuka suku pedalaman, aku
bertanya,”Jadi Bapak yang sudah membawa hipere ke kampung ini?”

Seseorang yang berpakaian seperti kepala suku cuma menjawab,”Kami menanam ini semua di
Tanah Papua, tentu untuk orang Indonesia,” katanya.

(MENDEKAT KEPADA PENONTON) Nah, sekarang silahkan Saudara-saudara maknai


sendiri kata-kata kepala suku dari pedalaman itu…Aku mohon permisi. Ada pasien yang

47
menunggu di luar halaman.

(MEMANGGIL KE LUAR HALAMAN) Bapak, Mama, ayo masuk sini sudah. Puskesmas
ini terbuka untuk siapa saja. Tak perlu takut sama Dokter Jawa…Kita semua bersaudara to…

48
Cik Indun
KARYA: BDJ Siregar

Kedai kopi pagi hari. Seorang perempuan masuk


membawa belanjaan dan merapikan perkakasnya. Juga
menurunkan satu bangku panjang yang ditumpuk

Ra… Ra… Sibuk kali. Asik mo buat merepet aja. Uang sekolah terlambat dua bulan. Uang
buku masih separoh. Macam mau kuterkam aja kau May… Ntan… Ra... Ah… Siapanya
namakau itu. Pagi-pagi subuh udah menyungut menyungut mulutmu itu. Yang kutanya baek
baek, mengempas-ngempas kau mencuci piring, apa gak naik darah militerku. Mau kugas,
anak kandung. Dibujuk baek- baek, betingkah pulak. Apa gak, kenak putarlah perutmu itu,
kan.

“Mak… udah kenak marah aku sama TU, dibilangnyalah ‘kan kalok gak dibayar segera, tak
bisa aku ikut ujian. Cemanalah itu, Mak. Itu lagi uang buku, masih separoh. Malulah Ra
Mak, asik ditegor-tegor aja depan kelas. Asik diejek aja jadinya. Dibilang orang tulah ‘kan,
kalok gak bisa bayar gak usah sekolah. Taulah Omak ‘kan kawan di kelas cemana? Lantam
lantam kali mulutnya. Kalok gak dibayar, gak usah Ara sekolah ya Mak”

Kau pikir, gak kusut kepalaku mikirin ini itu, gelap aku udah pigi, pulang pun gelap juga,
untuk siapa, untuk kau, untuk kelen. Sampe kek gitulah kuupayakan segalanya buat kau Ra,
tapi kadang tak ada pengertianmu, ntahlah lembut lembut kau membilangkannya, kan enak
kudengar. Kek gini, udah merepet aku pagi-pagi jauhlah rejeki kita ini jadinya.
Ini udah pulang pun aku jualan, masih tidur kau, membangkok. Piring masih beserak, rumah
belum disapu. Pas hujan, jemuranpun belum kau angkat. Pitam aku jadinya.

Sambil membuka kedai dan terus saja merepet

Biasanya jam segini, udah ada yang datang duduk, nanyak koran hari inilah, atau Koran
semalam. Ntahlah nengok nomor yang keluar orangtu.

“Eh, Ndun, cok ko kemarikan Koran ko tu. Dah Ado?, yang kono kurasa nomorku Jang.
Semalam… mimpi aku, kupasanglah nomortu, eh pas siangnya ‘kan macam ado kode alam.
Oiiii….. Tengoklah tando angina di topi, berlayar jauh dari muaro, kaloklah kono nomorku ini,

49
alamat terbayar hutangku samuo. Sak kode-kode ko ni kubayar.”

Ya cemana mau kukasih, orang belum datang, datangpun kurasa tak mau kukasih. Kukasih,
ditengoknya tak ada.

“Alah omak Oi... Bajayo kito Ndun, bajayo… Usah berlayar diwaktu pasang. Topikan kapaL,
awas terdampar. Duo lombar baya kupasang, tak aado satupun jang nomorku yang kaluar.
Kopilah ndun satu.”

Udah siap

“Pasanglah layar kait temali. Atur kemudi jangan berbelok. Sobab duo lombar
kono tak jadi. Bayarlah kopi….Ayah oiiiiii… Tundalah esok.”

Bajayo kito… Bajayo kito… Kan, setan.

Nanti ada yang cuman ngisi teka teki silang,

“Ndun, Koran koe wes datang ora Ndun, aku mo ngisi TTS. Suntuk, gak balek modal”
Gitu awak kasih, macam awak yang ngisi

“Ndun… Ebi itu opo ya”

Udang

“Tujuh menurun, kalok ini Ndun… bahasa inggris didalam. Huruf pertama i, enam kotak”

Apa, manatau aku. Cok ulang dulu

“lah, kok koe gak tau Ndun, ya harusnya taulah”

Ya ulang makanya, Apa tadi

“Bahasa inggris didalam, Huruf pertama i, enam kotak”

Inside

“Insait! Hah… Ini D ndun… D nya udang… D nya udang… cemananya?”

Ehhh… I – N – S – I – D - E

“SIDE… Lah kok tau koe Ndun”

50
Ya taulah aku, orang si Ara pun sering belajar di rumah kek gitu, kukawaninlah dia, itulah
kalok omak-omak, gak gak mamas, bapak bapak. Pening aja kalok gak balek modal. Kami?

Hah.. biasanya hal hal macam gitu terjadi ya pagi pagi gini. Sambil menunggu air kujerang
mendidih. Tapi ini seorang pun belum datang. Si Bistok tukang parkir pun gak nampak batang
idungnya.

Kadang kupikir, seberat inikah hidup seorang ibu yang menanggung hidup 3 anaknya sendirian.
Tapi tidaklah, ini bukannya berat, inilah rejeki yang paling banyak yang kuterima. Barangkali
tak banyak orang yang bisa melewati hal
seperti ini. Bersyukur tak sedikitpun ada pikiran jelek dalam otakku. Sebab aku tau Tuhan maha
tau segalanya. Bukan kek Si Slamet itu, dia malah bilang

Sambil mengadon bakwan dalam baskom

“Au boto sude ison (kutau semuanya disini)”

Apapulak. Waktu Wak Jiit kehilangan sepedanya, asal tuduh aja, dibilangnya Siregar yang
ambil. Udah diributin orang, rupanya yang lupanya Uwak itu bawa sepeda. Ya namanya udah
tua ‘kan, udah 78 lebih kurasa itu umurnya. Aalah pikun pikunlah. Apalagi dia pun semakin
lama semakin merasa kehilangan sejak istrinya meninggal. Ya sedikit linglung. Tapi si Bistok
itu memang selalu dia serba sok tau, ini itu sok tau. Bahkan sampe takaran gula kopi, teh,
sampek tepung di bakwanku pun dia macam paling tau. Padahal aku yang menggorengnya.
Kepingin kali kutuang adonan bakwan itu kemukanya.

Belum lagi dibilangnya…

“Ya kek gitulah, kalau perempuan sama anaknya suka memajakan, jadi anak betingkah.”

Cobalah! kek gitulah dibilangnya sama aku. Iya… dia gak tau rasanya sebagai perempuan,
sebagai ibu, apalagi yang mengurusi segala tetek bengek di rumah. Mulai dari rumputlah,
tangkai bunga yang patah. Jemuran, isi sange, gas, sampe urusan sampul buku anak-anak dan
akh… segala macamnyalah. Jadi menurutnya itu, anak yang nakalnya tidak ketulungan, serba
menyebalkan, menyuntukkan, itu anak mamaknya, tapi kok yang bagus-bagus, baik budi,
betuah tinggai, yang dinanti-nantikan sorga. Anak bapaknya.

Mulai menggoreng bakwan


Memang laki-laki sama aja, kerja diluar capek, kelen pikir, omak-omak di rumah gak ada

51
capeknya. Yang kelen pikirnya, kami perempuan tugasnya cuman merepetin anak aja. Kelen
kira kami gak lebih sakit kepala. Heh bak tau kelen ya… uang belanja kurang, kami yang
pening nalang sana sini, gali lobang kami sana sini. Urusan belanja tak cukup, manamau tau
kelen. Yang penting kelen pulang kerja ada nasi, gule, teh manis, kopi. Kok bisa ada kue manis
dan buah. Lebih mantap lagi kalok ada rokoknya. Manganma dabole abang (Makanlah
bang…). Kelen sangka uang belanja segitu segitunya cukup? Sekali-kali ganti tempat maunya,
bak tau kelen kek mana stressnya jadi perempuan di rumah.

Seseorang lewat,

Gak ngopi bang? Biasanya singgah.

Oh… iya ya bang, hati hati ya… Biasanya singgah dia, ini ada pulak urusannya. Ya barangkali
dari yang lain.

Berguman sambil membenahi bangku yang belum


sempat tersusun

O Kak, mau kemana? Belanja? Oh… kesana? Hmmm…

Memang keknya gak ada yang peratian sama aku pagi ini, udah mau tengah hari pun ini ah…

Announcer dari gedung pertokoan

“Perhatian-perhatian, diberitahukan kepada pemilik kenderaan, sepeda motor Matic, BK 0102


INA, untuk segera menggeser kenderaannya, Terimakasih. “Perhatian-perhatian, diberitahukan
kepada pemilik kenderaan sepeda motor Matic, BK 0102 INA, untuk segera menggeser
kenderaannya, Terimakasih.”

Mencibir
Peratian peratian (Menirukan) Pusat grosiran itu memang selalu ramai, sejak dibangun makin
sikitlah orang yang mau singgah dan belanja disini, manalagi sempit ‘kan. Sampah menumpuk
sana sini. Memang… memang itu hak mereka. Bukan tak mau pindah kesana. Beberapa sudah
pindah, karena merasa menyanggupi membayar sewa tempat yang hampir dua kali dari sewa
disini. Sadar memang, bahwa uang sewa yang mahal itu sudah termasuk listrik dan tidak
terganggu dengan uang preman. Tapi ‘kan, masuk kesana itu juga harus punya modal besar.
Mana mungkin pulak kayak aku, ini jual kedai kopi begini, bisa masuk ke salah satu tempat
disana, sedang disana yang begitu penting adalah tampilan. Tampilan tempat jualan, berarti
aku harus beli peralatan baru, tempat masak baru, perkakas makan baru. Kursi baru. Meja baru,

52
steling pun baru.

Dari ratusan yang jualan disini, banyak yang pindah kesana, mau tidak mau, karena relokasi
itu dikawal ketat oleh satpol PP, daripada kita kejar-kejaran dalam waktu yang belum tau
berapa lama, ya mereka mengalah. Toh dapur harus tetap ngepul. Ya aku terpaksa bantu bantu
kedai nasi dululah, selama masa penjagaan itu. Pun itu belum lurus betul. Kabarnya, kadang
kadang, satpol PP masih juga akan datang mengawasi, tapi tentu tidak terprediksi, dan aku
sudah 2 kali mengalaminya.

Kejar kejaran dengan mereka itu tak enak. Capek, sebel. (Berdecak) belum ada juga yang
singgah. Oalah kemananya pembeli ini semua. Mereka gak memberi kita kesempatan untuk
membereskan jualan dulu, setidaknya, yang sudah dimasak, janganlah sampe terinjak injak.
‘Kan saying. Itu beliknya pake duit. Memang segala persoalan yang dititik beratkan sama yang
namanya duit, selalu bikin suntuk.
Sebagian orang berpikir, hanya orang susahlah yang kan merasakan penderitaan paling besar.
Tapi yang kurasakan menjadi miskin adalah suatu kekayaan yang tak banyak orang lain bisa
melewatinya. Sebab apa, persoalan sesampai mana mereka bisa menutupi rasa lapar dan rasa
ketiadaan dengan sekian banyak tindakan. Tidak, mereka tak sampai kesana. Ya karena itu.
Yang penting Halal.

Announcer dari gedung pertokoan

“Perhatian-perhatian, diberitahukan kepada pemilik kenderaan, sepeda motor BK 4163 ACI,


untuk segera kepusat informasi. Karena kunci kenderaan masih menempel di kenderaan.
Terimakasih.”

“Perhatian-perhatian, diberitahukan kepada pemilik kenderaan, sepeda motor BK 4163 ACI,


untuk segera kepusat informasi. Karena kunci kenderaan masih menempel di kenderaan.
Terimakasih.”

Mencibir lagi

Itulah, sesuka hatinya kan meninggalkan kunci itu dikenderaan, awak punya kek gitu, oh
kurante itu. (Menirukan), perhatian perhatian, disini ada kopi panas, teh manis, bakwan, pisang
goreng dan tempe goreng, silahkan untuk duduk dibangku sambil membaca Koran dan melihat
lihat, apakah nomor anda keluar atau tidak. Atau jika anda masih bosan, silahkan ulang lagi
TTS yang udah diisi. Itupun tak ada yang perhatian sama aku ‘kan.

53
Teringat bakwannya.

Perhatian bakwan aku. Ya Allah… Haduh… mosok buseng dah (hanguslah ini udah). Ginilah
kalok udah gak focus.

Kembali menggoreng adonan berikutnya, sambil berdecak dan


kesal karena bakwan pertama nyaris hangus.
Seorang anak terjatuh didekat Kedainya

Astagfirullah, tuhlah kan dek, tengok jalannya, mata ditarok ditempatnya, bukan depan layar
henpon. Jatoh jadinya kan. Simpan aja dulu henponnya. Nanti kalok udah sampe baru dibuka
lagi. Sempat ada angkot atau becak. Ditabraknya, cemana? Ada yang sakit? Mau duduk dulu?
Oh ya udahlah. Hati hati…

Memperhatikan si adek berlalu

He Dek… Masukkan aja henponmu dalam tas dulu, ah...

Asik henpon aja kerjanya. Hah kek gitulah anak anak sekarang. Masih sekolah. Udah pegang
henpon henpon mahal. Matanya tak ada dipasangnya. Koklah sempat ada angkot atau becak,
ditabraknya…

Terkejut

Eh kok cepat kali dia pulang, masih belum tengah hari ini. Cabut kurasa dia ya. Cemanalah
kalok anakku kek gitu. Ya Tuhan, apa si Ara pernah cabut juga? Tak pernah pulak kutanya. Ah
kutanyalah nanti. Kalok ada dia cabut, hmmmm… habis dia kubuat.

Mengangkat bakwan yang tadi hampir hangus. Melanjutkan


menggoreng adonan berikutnya

Announcer dari gedung pertokoan

“Perhatian-perhatian, demi alasan keamanan kenderaan anda, pihak management gedung


pertokoan, mengharapkan kepada para pengendara, untuk menunjukkan surat kenderaan atau
STNK kenderaan anda, pada saat hendak keluar dari areal parkir gedung pertokoan.
Terimakasih”
“Perhatian-perhatian, demi alasan keamanan kenderaan anda, pihak management gedung

54
pertokoan, mengharapkan kepada para pengendara, untuk menunjukkan surat kenderaan atau
STNK kenderaan anda, pada saat hendak keluar dari areal parkir gedung pertokoan.
Terimakasih”

Terlihat makin tak senang

Mereka aja yang harus aman ya? Kami? Disini? Perhatikanlah kami juga weiii…

Berteriak kearah gedung pertokoan

Iyalah disana musti diaman-amankan, dijaga ketat keamanannya. Sangkin ketatnya, macam
karet diikat mati. Disini, rasa aman adalah hal yang langka, mahal. Mau itu aman dari desakan
santol PP, preman, sampe tukang bon yang datang tiba-tiba mengaku langganan, terus hilang
sampe ntah kapan kapan.

Hah kan, baru dibilang, udah datang dia.

Illalla, na gantengan abang ini (Ih gantengnya abang ini), setelan kandas kali ya,
padahal baru nanti malamnya malam minggu yakan.

Laki laki berdecak saja

Nantilah ya bang, belum buka dasar. Ini aja masih goreng-goreng aku. Daritadi gak ada yang
singgah. Cemanalah itu yakan, bang

“Goceng ajanya”

Is kalok ada, kukasih sama bang. Apalah yang gak kukasih sama abang kan?... atau ngopi abang
dulu, ini ada bakwan, masih panas bang. Duduklah bentar, manatau yakan, pas abang duduk
disini, langsung cerah langit diatas jualanku ini. Kadang musti ada yang bukak memang bang.
Biar lancar sampe sore.

Tertawa palsu
Laki laki berdecak lagi

Ya Allah bang. Sumpah. Demi Allah, belum ada bang. Baru belanja aku tadi. Belum bisa
tekasih, ntah sejam-sejam lagi lah bang ya. Sumpah bang gak ada. Haram mampus bang.
Potong kupingku kok ada. Atau gak, nunggu si Bistoklah ya bang, biar kupakekkan dulu
duitnya. Ada abang tengok dia disana? Gak ada bang? Ntah kemalah dia itu yakan bang.

55
Sempat berilangan itu hah, mampus dia. Hajab. Gollah dia itu. Betul gak ada kalilah bang.
Kandas kali. Udah untuk belanja tadi semua. Mahal semuanya apa-apa. Ntahlah di Eropah
sananya diambil orang tu sayur-sayur ini semua, sampe tinggi kali harganya. Aku aja tekejut
tadi bang, kok bisalah, mahal kali belanjaanku hari ini

“Banyak kali taik minyak ko”

Laki laki berdecak dan

berlalu Cik Indun

Menggeram

Heeh… karena laki-lakinya kau. Mmm, kalok gak… Ah… kugas jugak, nanti ciut… Wan de
wan jadi kita… mancing aja…

Laki laki berdecak seperti mendengarkan gumam


Indun

Eh bang… mancing-mancing kerinduan aku sama abang. Kedan kita kan bang eh ketua. Hah…
nampak ‘kan? Ya kek gitulah. Disana dijamin kali rasa aman. Awak, tiap jam-jam segini,
bedebar aja jantung, apalagi kek hari ini, belum pulak buka dasar, bakwan pun hah…
debarannya macam jatuh cinta. Untunglah jantung ini buatan Tuhan, sempat buatan Cina, udah
bulak-balek reparasi kurasa.

Banyak kali yang ngajak aku ikut pindah kesana, tapi…

Announcer dari gedung pertokoan

56
“Perhatian-perhatian, management gedung pertokoan memohon maaf yang sebesar-besarnya.
Dikarenakan adanya perbaikan pada pintu keluar A Areal parkiran gedung pertokoan ini, maka kami
harapkan kepada para pengendara, kiranya pintu keluar dialihkan ke pintu B dan C, disebelah kanan
gedung. Atas pengertiannya kami ucapkan terimakasih”

Tapi ‘kan…

“Perhatian-perhatian, management gedung pertokoan memohon maaf yang sebesar-besarnya.


Dikarenakan adanya perbaikan pada pintu keluar A Areal parkiran gedung pertokoan ini, maka kami
harapkan kepada para pengendara, kiranya pintu keluar dialihkan ke pintu B dan C, disebelah kanan
gedung. Atas pengertiannya kami ucapkan terimakasih”

Semakin kesal

Yang kek gitupun dibahasnya. Bising kali, dari tadi gak siap-siap dia yang perhatian-perhatian itu.
Disangkanya bagus kali udah suaranya itu. Menirukan. Perhatian-Perhatian, Cuih… akupun bisanya
kek gitu. Sampek mana tadi? Hah… banyak kali yang ngajak aku pindah kesana, tapi kok dengar
yang kek gitu-gitu itu… ih… suntuk kali aku. Capek kuping ini mendengarnya. Macam gak ada lagi
yang bisa dikeluarkan pengeras suara itu. Ntahlah lagu Elvi Sukaesih, lagu Rita Sugiarto kek. Apa
kek. Apalah, jangan asik dia-dia aja yang cakap.

Astagfirullah, inilah gegara siperhatian-perhatian itu. Dua kali kan, lupa aku, gara-gara itulah. Kok
jumpa, kujambak juga bibirnya itu. Macam bagus kali suaranya.

Ntah pertanda apalah ini. Gak pernah aku kek gini, sampe dua kali hangus bakwanku.
Eh lah, kok lari-lari abang. Sini dulu… ada copet tetangkap? Hah, eh bang kenapa bang, Apa? Satpol
PP datang. Wih dah baya… matilah aku ini ya Allah.

Membereskan dengan

tergesa Announcer dari

gedung pertokoan

“Perhatian-perhatian, gedung pertokoan ini dilengkapi dengan 25 Blok, 3 lantai, musholah dimasing
masing lantainyan dan 6 kamar kecil, 4 tangga keluar masuk, ditiap lantainya. Jika terjadi kebakaran
atau gempa, mohon untuk tidak panik, segeralah ke arah pintu keluar dan tangga darurat yang telah
disediakan. Terimakasih”

57
Apa aku harus kesana supaya tidak digusur? Apa memang peggusuran solusi terbaik Pemkot untuk
menamatkan riwayat sampah yang menumpuk dan kemacetan? Kami sendiri belum bisa
menyelesaiakan arti dari memenuhi kubutuhan. Inilah yang selalu kulakukan setiap kali beberapa
orang berlari dan bilang, lekas! satpol PP datang. Dan buka baju pun bukan penyelesaian agar mereka
mengalah dari kepasrahan para pedagang disini. Tok… dimananya kau Tok… tolong bantu aku nutup
jualanku ini. Udah mo datang orangtu Tok… tolong aku Tok…

Bentarlah ya Pak ya… lagi kususun-susun ini Pak. Bentar aja ya Pak ya. Tolonglah ya Pak. Baru saja
masak bakwanku ini pak, sayang kalau jatuh pak, tolong Pak. Paham aku Pak. Paham… memang
salah aku Pak. Tolonglah Pak. Aduh pak janganlah… kalok bakwan ini tebuang, gak ada modalku
besok Pak. Tolonglah Pak, Tolong Pak. Astagfirullah Pak. Tega kelen semua setan.

Diambilnya bakwan yang jatuh itu

Makan itu, makan dilemparinya kepada satpol PP. Puas kelen setan. Puas…

Cin Indun meninggalkan kedai tanpa membawa apa apa.


Dan membiarkan kedainya rata dengan tanah,
dirubuhkan satpol PP

VO : Mak… udah adanya uang sekolah Ara itu

Indun menangis. Berlalu. Setelah melihat kedainya


dibongkar paksa satpol PP. dan dia tak mampu lagi
melawan dan bertahan. Indun kalah.

SELESAI

58
RACUN TEMBAKAU
KARYA : ANTON CHEKOV
Terjemahan : Jim Adhi Limas

Pelaku : Ivan Ivanovich Nyukhin, seorang suami dipingit yang punya istri punya sekolah musik
partikelir dan indekos buat anak perempuan.

Setting : sebuah panggung kecil di ruang pertemuan.

(DENGAN CAMBANG YANG PANJANG, KUMIS DICUKUR KLIMIS, MEMAKAI JAS HITAM YANG
SUDAH TUA DAN TERLALU SERING DIPAKAI. IA MUNCUL DENGAN SIKAP YANG AGUNG,
MANGGUT-MANGGUT MEMPERBAIKI DASINYA.)

Omong-omong, Tuan dan Nyonya. (mengusap-usap cambangnya) pada istri saya datang sebuah
permintaan untuk tujuan amal, saya membacakan sebuah ceramah yang bersifat umum. Nah, kalau saya
harus ceramah, tentu saja bagi saya tidak menjadi soal sama sekali. Jelas saya ini bukan profesor, dan
saya tidak punya satu gelarpun. Tapi meskipun begitu, selama 30 tahun terakhir ini, bahkan sampai
merugikan kesehatan saya segala, tidak ada hentinya saya mengerjakan persoalan-persoalan yang
sifatnya ilmiah melulu. Saya orang berfikir, dan saya pujangga. Kadang-kadang saya juga menulis
tulisan-tulisan ilmiah. Maksud saya bukan ilmiah yang sok, tapi maaf saya katakan ini, boleh
digolongkan ke kelas ilmiah.
Sebelum lupa, kemarin dulu saya menulis sebuah artikel panjang berjudul “ bahaya dari jenis-jenis
serangga tertentu”. Anak perempuan saya semua menyukainya. Terutama bagian-bagian yang mengenai
kutu-kutu tembok, tapi setelah dibaca kembali, saya robek lagi. Sudah tentu, seberapa pandainyapun
orang menulis, obat anti kutu memang harus dibeli. Sampai-sampai saya punya piano, eh..didalamnya
digigitin kutu…..
Untuk ceramah hari ini saya mengambil pokok masalah yaitu bahaya yang disebabkan oleh perilaku
manusia, yakni menghisap tembakau. Saya sendiri merokok, tapi istri saya yang menyuruh saya
ceramah tentang bahaya tembakau hari ini, dan karena itu, tak ada jalan lain. Baik, tentang bahaya
tembakau, ..tembakau adalah……..bagi saya tidak jadi soal sama sekali, tapi bagi hadirin? Saya
anjurkan untuk sebisa mungkin menangapi ceramah ini dengan segala kesungguhan, demi mencegah
terjadinya sesuatu yang tidak terduga. Namun, siapa yang takut ceramah ini akan terlampau kering
ilmiah? Yang tidak suka macam begini, mereka tidak perlu ikut mendengarkan, dan saya tidak keberatan

59
kalau mereka mau pulang saja. (MEMPERBAIKI DASINYA)
Saya terutama minta perhatian dari para anggota lingkungan kedokteran yang hadir disini, agar
mereka bisa memperoleh keterangan yang berguna dari ceramah ini. Berhubung tembakau selain punya
akibat buruk, juga digunakan dalam dunia kedokteran. Begini misalnya, kalau saya masukkan seekor
lalat ke dalam botol berisi tembakau, binatang itu kemungkinan besar mati karena sarafnya tergangu.
Tembakau kita kenal sebagai tuimbuh-tumbuhan,….. biasanya kalau saya ceramah mata kanan
saya selalau kekedipan, yang hadirin tidak perlu risaukan, itu lantaran senewen. Saya orang yang sangat
gugup pada umumnya. Dan kekedipan mata ini sudah mulai sejak lama, sejak 1989. Kalau mau tepatnya
tanggal 13 September, di hari istri saya melahirkan anak perempuan kami yang keempat, namanya
Barbara. Anak perempuan saya semuanya lahir pada tanggal 13. tapi…(MELIHAT ARLOJI) karena
sempitnya waktu, sebaiknya saya jangan menyimpang dari pokok permasalahan.
Oh.ya , sebelum lupa, saya bisa ceritakan bahwa istri saya punya sekolah musik, dan membuka
indekos partikelir, maksud saya bukan indekos biasa, tapi ..ya begitulah. Antara kami, istri saya paling
suka ngomel tentang kesusahan jaman. Padahal dia punya simpanan 40 sampai 50 ribu rubel di suatu
tempat tersembunyi. Sedang saya?, saya ini tidak dikaruniai sesenpun, tidak sesenpun. Tapi yaah…buat
apa ngotot tentang yang begituan? Saya turut mengatur indekos dengan menjaga urusan rumah tangga.
Saya yang belanja persediaan makanan, saya mengawasi para pembantu, saya basmi kutu-kutu, saya
ajak jalan-jalan anjing kesayangan istri saya, saya tangkap tikus. Malam kemarin saya membeli tepung
terigu dan mentega untuk koki, berhubung hari ini kami bikin kue dadar gulung. Singkatnya, hari ini
setelah dadar gulungnya jadi, istri saya masuk ke dapur untuk menyampaikan bahwa tiga dari murid-
muridnya tidak dapat makan dadar gulung karena sakit gendeng. Jadi, kebetulan saja ada dadar gulung
yang tersisa. Lantas mau diapakan? Istri saya tadinya suruh simpan di almari, kemudian dia berpikir
lagi, dan setelah dipertimbangkan dia berkata : “ sudah makan saja dadar gulung itu Begong,…”. Kalau
sedang marah dia selalu menyebut saya demikian, “Begong” atau “Cacing”, atau “setan alas” . Orang
macam saya begini masa setan?. Dia sering marah-marah begitu. Lalu dadar gulung itu tidak saya
kunyah perlahan-lahan, malahan dadar gulung itu saya telan bulat-bulat, karena saya selalu kelaparan.
Kemarin misalnya, saya tidak dikasih makan, “ tidak ada gunanya” kata istri saya. Tapi..(MELIHAT
ARLOJI). Saya sudah nglantur lagi, sudah menyimpang dari pokoknya. Mari kita lanjutkan. Meskipun
tentu saja hadirin lebih senang mendengarkan roman atau simfoni atau sebuah nyanyian. (MENYANYI)
“ dalam api perjuangan kita tidak gentar…..” saya kurang ingat dari opera mana lagu itu. …Sebelum
lupa, saya belum sebut bahwa selain manangani urusan rumah tangga, di sekolah musik istri saya, tugas
saya termasuk juga mengajar matematika, ilmu hayat, ilmu kimia, ilmu bumi, sejarah, do-re-mi, sastra
, dan seterusnya. Untuk les dansa, nyanyi dan menggambar, istri saya minta bayaran ekstra, meskipun
sebenarnya sayalah guru dansa dan nyanyinya.

60
Sekolah musik kami ada di jalan Lima Anjing no. 13. Barangkali itu yang membikin hidup saya sial
karena tinggal di rumah nomer 13. lagipula semua anak perempuan saya lahir pada tanggal 13, dan
rumah kami punya 13 jendela. …..tapi, ya untuk apa diributkan semua ini?. Istri saya selalu dirumah,
setiap waktu bisa terima kunjungan pembicaraan, dan prospektus sekolah bisa di dapat dari portir. Tiga
ketipan satunya. (MENGAMBIL BEBERAPA CONTOH PROSPEKTUS DARI SAKUNYA). Dan
kalau perlu, bisa dapat dari saya juga. Tiga ketip sehelai, siapa mau?. (HENING) tidak ada yang mau?
Sudahlah dua ketip? (HENING). Sayang sekali. Nomer rumah kami jalan Anjing nomer 13. saya
memang gagal dalam segala hal, saya sudah tua dan lagi bodoh. Sekarang saya sedang ceramah, dan
kelihatannya riang saja, tapi sesungguhnya saya ingin berteriak setinggi langit, atau lari keujung
dunia….dan kepada siapa saya bisa mengadu. Saya malah ingin menangis….. kita mungkin bisa bilang
“ kaukan punya anak perempuan”.. ya… tapi anak perempuan itu apa?. Saya ngobrol dengan mereka,
mereka cekikikan melulu….. istri saya punya 7 anak perempuan, eh bukan, maaf, kalau tidak salah
6…(RUSUH) ya tentu saja 6, yang sulung umurnya 27 tahun dan yang bungsu sudah umur 17. Tuan-
tuan..(MELIHAT SEKELILING) aku sengsara, aku sudah jadi dungu, tidak berarti, tapi tetap di depan
sini berdiri seorang ayah yang paling bahagia. Bagaimanapun, begitulah mestinya dan aku tidak berani
mengatakan bahwa tidak begitu. Tapi kalau kalian tahu, aku sudah bersama biniku selama 33 tahun,
dan aku bisa saja katakan bahwa itu tahun-tahun yang paling subur, maksudku bukan terbaik, tapi secara
umumlah. Telah lalu semua dalam satu kata, seperti satu detik kebahagiaan, tapi terus terang persetan
segalanya. (MELIHAT SEKELILING) aku kira dia belum datang. Biniku belum disini, jadi aku bisa
bicara sesukaku. …aku sangat penakut… aku takut kalau dia pandang aku. Nah, seperti sudah aku
katakan, anak perempuanku belum pada kawin. Kemungkin besar karena mereka pemalu, dan juga
karena jejaka-jejaka tidak diberi kesempatan melihat mereka. Biniku paling tidak seka bikin pesta, dia
tidak pernah undang siapapun makan, dia klewat judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok,
sehingga tidak ada yang mau bertemu, tapi…… ini aku kasih tahu karena aku percaya pada saudara-
saudara. (MAJU KE UJUNG PANGGUNG) pada hari raya petang anak perempuan biniku bisa
dijumpai di rumah bibi mereka Natalia Semirzovna, itu nyonya yang menderita sakit reumatik dan
selalu memakai gaun kuning ordo-ordo hitam. Seperti itu. Disana makanannya betul-betul enak. Dan
kalau kebetulan biniku tidak ikut, kita bisa…(MENGANGKAT SATU TANGAN SEBAGAI
ISYARAT MINUM) maklum, aku bisa saja mabok dari saatu gelas anggur, dan disaat demikian aku
mampu merasakan bahagia sekaligus sedih yang aku tidak bisa gambarkan kepada hadirin. Aku teringat
lagi masa muda. Dan ada sesuatu yang membikin aku ingin lari, ingin minggat segera…. Oh.. jikalau
saudara-saudara bisa merasakan bagaimana aku ingin melakukan itu. (SEMANGAT) lari,
meninggalkan semua ini, lari tanpa menengok lagi ke belakang……kemana? Tidak peduli kemana….
Asalkan bisa minggat dari kehidupan yang hina, kejam. Marah ini yang sudah menjadikan aku tua

61
bangka bobrok, galak, dengki, yang jiwanya sempit serta menjengkekan itu. Biniku itu….. yang sudah
menyiksa aku selama 33 tahun lamanya. Minggat dari kemunafikan, dari dapur, dari urusan duit, dari
persoalan-persoalan seperti vulgar… lari untuk berhenti disuatu tempat yang jauh, jauh sekali. Disuatu
padang, untuk berhenti, berdiri menjulang seperti sebuah pohon, seperti tiang, seperti hantu pengusir
burung, dibawah langit yang lebar, dan terus memandang bulan sunyi diatas kepala, lalu melupakan,
melupakan… Oh betapa aku rindukan, kemampuan tidak meningkat…. Betapa aku tidak sabaran lagi
untuk menjambret jas tua ini yang 33 tahun yang lalu kupakai pada hari pernikahanku. …(DENGAN
KASAR MEMBUKA JAS) yang selalu mesti aku pakai buat ceramah-ceramah pada kesempatan
amal……rasain lu!!… (MENGINJAK-INJAK) rasain! Aku tua, melarat, sengsara seperti jas tua ini,
dengan punggungnya tambal-tambal. (MEMPERLIHATKAN PUNGGUNG JAS ITU) aku tidak mau
apa-apa! Aku lebih baik dan lebih bersih dari itu. Aku pernah muda, aku pernah belajar di universitas,
aku pernah bercita-cita, aku pernah menganggap diriku seorang lelaki…… sekarang aku tidak mau apa-
apa! Tidak apa-apa selain istirahat. ( MELIHAT KE BELAKANG, LALU CEPAT MEMAKAI JAS
LAGI) istri saya sudah ada dibelakang panggung…. Ia sudah datang menunggu saya disana…..
(MELIHAT ARLOJI) waktunya sudah habis… kalau ditanya istri saya, saya mohon dengan sangat
jawablah pemberi ceramahnya….. bahwa Begong, eh maksud saya, saya sendiri telah melakukan
tugasnya dengan sopan. (MELIHAT KE PINGGIR, BATRUK-BATUK) istri saya sedang memandang
saya. (SUARA DIPERKERAS) Setelah kita bertitik belok dari pola bahwa tembakau mengandung
racun yang jahat, seperti tadi saya uraikan, maka hendaknya kebiasaan merokok, harus dihapus. Dan
omong-omong saya mengharapkan sekali bahwa ceramah saya mengenai “ bahaya dari tembakaju” ada
manfaatnya bagi hadirin sekalian. Sekian, selamat malam (MENGHORMAT, MENGUNDURKAN
DIRI DENGAN AGUNG).

Selesai………

62
Amir, dan Akhir Sebuah Syair
(Sebuah Tafsir dalam Monolog)
KARYA: ISWADI PRATAMA

AKTOR YANG MEMAINKAN MONOLOG INI HARUS MEMERANKAN TIGA KARAKTER:

1. IJANG WIDJAYA; Seorang Algojo, Mandor, dan Guru Silat Amir Hamzah
2. AMIR HAMZAH : Tokoh Utama Cerita; Seorang Penyair, Bupati Langkat Sumatera
Timur, Keturunan Bangsawan
3. SEORANG YANG MISTERIUS

SATU

PANGGUNG BERNUANSA SUREAL. DI BAGIAN BELAKANG PANGGUNG; DI ATAS


LEVEL YANG LEBIH TINGGI DARI SISI KANAN DAN KIRI PANGGUNG, TERDAPAT
BEBERAPA BARIS BANGKU KAYU WARNA PUTIH. DI SISI KIRI PANGGUNG YANG
SEJAJAR DENGAN SISI KANAN PANGGUNG; TERDAPAT BEBERAPA BARIS BANGKU
KAYU BERWARNA MERAH. SEDANG DI SISI KANAN PANGGUNG SEJUMLAH BANGKU
KAYU BERWARNA HIJAU DITATA. DI ATAS SETIAP BANGKU HIJAU INI, DENGAN
KETINGGIAN KIRA-KIRA 1 METER DI ATASNYA TERGANTUNG KARUNG-KARUNG
GONI YANG SERUPA DENGAN PENUTUP KEPALA.

DI BAGIAN TENGAH PANGGUNG: TERDAPAT SEBUAH BALAI-BALAI YANG LEBIH


RENDAH DARI KETIGA SISI PANGGUNG. DI BAWAH BALAI-BALAI INI TERDAPAT
LUBANG BESAR YANG MENGESANKAN BARU SAJA DIGALI. DI ATAS BALAI-BALAI INI
TAMPAK CELANA DAN KEMEJA BERWARNA PUTIH YANG DILIPAT RAPI, JUGA
SEBUAH SARUNG KHAS MELAYU DAN SEBUAH PECI BERWARNA HITAM; SETUMPUK
BUKU, SEBUAH KITAB SUCI, PENA, ALBUM FOTO, DAN SEBUAH LAMPU SINTIR
DENGAN NYALA YANG TENANG. SEDANG JAUH DI ATASNYA TERHUNUS SEJUMLAH
BAMBU ATAU KAYU YANG MENYERUPAI TOMBAK-TOMBAK DENGAN UJUNG
TAJAMNYA YANG MENGANCAM KE ARAH BAWAH.

DI SISI KANAN DAN KIRI PANGGUNG TERDAPAT DUA BUAH SPEAKER TOA
MENGARAH KE AREA PANGGUNG. DARI SPEAKER TOA INI MENGALUN LAGU
BERNUANSA KOLONIAL. BERSAMAAN DENGAN ITU, LAMPU FADE IN DI SALAH SATU
BANGKU PUTIH YANG TERPISAH DARI BARISAN BANGKU LAINNYA, BERADA
PALING DEPAN.

TAMPAK AMIR HAMZAH SEDANG DUDUK BERKHIDMAT. KEDUA LENGANNYA

63
MENOPANG DAHI; SEPERTI ADA SESUATU YANG SANGAT MENDALAM YANG
SEDANG DIPIKIRKANNYA. PERLAHAN IA MENGANGKAT WAJAH, BERDIRI, DAN
MENATAP KE DEPAN.

Semua bermula dari permintaan Sultan agar aku kembali ke Langkat. Surat yang ringkas, dan
separuhnya bernada cemas. Dunia sedang berubah; negeri sedang bergelora menuju ke suatu
pemerintahan yang demokratis. Sistem feodal yang telah berabad-abad tumbuh di negeri ini, satu per
satu hancur. Raja-Raja tumbang, juga langkat, kerajaan kecil di Sumatera Timur itu, di ambang
kehancuran. Bila mereka ingin berpihak pada rakyat dan Republik, mereka harus membubarkan diri.
Dan bila mereka hendak mempertahankan trah dan tahta, mereka harus menjadi "boneka" Belanda
yang datang kembali setelah Jepang menyerah.

Bukan hanya Sultan dan kerajaan Langkat yang terambing situasi setelah negeri ini menyatakan
daulatnya. Aku pun. Di Batavia, pergerakan pemuda untuk menjalin kebangsaan dan kesatuan sedang
bergelora. Fajar Baru sedang menyingsing. Bersama Armijn Pane dan Sutan Takdir, kami bergerak!
Dengan pena dan kata- kata, dengan risalah-risalah, roman, sajak, juga kisah-kisah. Bahasa Melayu
Baru harus menjadi perekat seluruh bangsa. Apa yang kami lakukan tak luput dari pengawasan
pemerintah Hindia-Belanda. Kami tak bisa lagi bertumpu pada Balai Pustaka karena haluan yang
berbeda. Maka kami mendirikan Poedjangga Baroe. Majalah perjuangan yang harus kami biayai
sendiri. Aku pernah berkirim surat pada banyak Sultan. Tapi tak satupun yang berkenan membantu,
sebab mereka tahu, apa yang kami lakukan ini bertentangan dengan kehendak pemerintahan Hindia
Belanda. Dan Sultan memintaku kembali ke Langkat karena dua alasan: pergerakanku di Batavia
membahayakan kerajaan, dan Ia ingin aku menikahi puterinya Kamaliah, agar aku dapat
menggantikan kedudukannya. Aku tak mungkin menolak permintaannya. Berkat Sultan aku bisa
melanjutkan pendidikan di Batavia dan melakukan semua yang patut kulakukan untuk negeri ini. Ia
pula yang menghidupiku sejak ayahku wafat. Maka, seperti Nahkoda yang harus memutar balik arah
pelayarannya, kutinggalkan Batavia. Kulupakan pulau-pulau harapan yang telah tampak di depanku.
Kutinggalkan Armijn dan Sutan Takdir. Kutinggalkan Ilik, kekasih yang amat kucinta. Kutampik
tawaran Purwodarminto untuk menggantikannya mengajar Bahasa Indonesia di Jepang.

AMIR BERJALAN KE SISI LAIN DI BARISAN BANGKU-BANGKU PUTIH ITU.

Armijn, Sutan Takdir, Ilik bagaimana aku bisa terpisah dari mereka? Mereka telah menjadi denyut
dalam
nadiku. Aku merasa tak akan bertemu lagi dengan mereka. Firasat itu begitu kuat dalam diriku.

Seperti yang kalian tahu, aku kembali ke Langkat bukan sebagai seseorang yang rindu kampung
halaman; berziarah, mendekap masa lalu dan apa saja yang indah. Aku kembali ke Langkat karena
nubuat. Takdir ditetapkan, dan manusia tak bisa mengelak. Sultan memintaku menikahi Kamaliah,
putrinya, dan dengan begitu aku dapat menggantikan kedudukannya.

Aku gentar seperti Arjuna yang ragu saat harus menarik anak panahnya dalam perang Kuru. Tapi
Darma harus dilaksanakan. Orang menjadi mulia karena ia melaksanakan apa yang menjadi
kewajibannya. Menggantikan kedudukan Sultan Langkat, aku seakan harus menarik anak panah
dalam kecamuk yang memisahkanku dari rakyat yang amat kucinta. Tapi Arjuna berdiri di atas
64
kebenaran yang kukuh, setidaknya bagi para Dewa, dan Khirsna benar-benar di sisinya. Sedang aku,
kakiku bertumpu pada tanah yang guyah, tanah yang telah menyimpan benih bencana namun harus
kupertahankan dan kubela. Para Sultan telah kehilangan marwah dan daulatnya telah luntur di kaki
kaum penjajah.

Ah. inikah rupanya; mengapa aku dulu begitu menyukai membacakan kisah Bhagavad Gita pada
anak-anak
di sekolah. Terutama saat Arjuna dirundung ragu karena harus bertempur dengan saudara-saudaranya
sendiri yang amat ia cinta.

Aku berhutang budi dan menyayangi Sultan dan seluruh keluarga kerajaan--meski aku tahu beberapa
di antara mereka khianat. Tapi aku pun amat mencintai rakyat, kaum jelata. Aku mencintai bangsa
ini, bukan tahta atau segala kelimpahan kaum bangsawan.

Maka, anak panah itu tak kulepaskan. Sebab yang ada di hadapanku adalah diriku sendiri; rakyat yang
amat kucintai. Hari esok bangsa yang telah menjadi arah bagi kelahiranku di dunia.

(TIBA-TIBA MERAGUKAN PERNYATAANNYA SENDIRI) Atau mungkin aku memang tak


memiliki busur dan anak panah? Aku tak berdiri tegak kukuh sebagai ksatria dalam kecamuk itu.
Barangkali aku lebih seperti Hamlet-
-kisah yang pernah dituturkan Sutan takdir padaku--Pangeran yang penuh ragu...

Tidak! Aku bukan Hamlet! Aku Amir Hamzah. Tengku Amir, Putra Tengku Mohmad Adil. Putra
Langkat. Aku seperti Arjuna yang telah menerima Dharma dan Karmanya tanpa busur panah. Aku
mencintai bangsaku, aku mencintai kebaikan dan kebenaran. Meski keduanya tak selalu seiring,
bahkan acap berbenturan. Menjadi Bupati Langkat, bagiku, adalah menegakkan bangunan yang tiang-
tiangnya telah rapuh seluruhnya: hidup berfoya-foya dan terjerat dalam hutang..

Aku pulang ke Langkat, masuk dalam kecamuk...

65
DUA

FADE-OUT
DALAM GELAP TERDENGAR DERAP SEPATU YANG LAMAT-LAMAT DI KEJAUHAN.
SEMAKIN LAMA SUARA SUARA DERAP SEPATU INI SEMAKIN MENEGAS LALU
BERBAUR DENGAN TAMBUR, SORAK-SORAI DAN TERIAKAN-TERIAKAN YANG
MENYERUKAN PENGHANCURAN DAN PEMBINASAAN. SEGALA KEBISINGAN INI
BERBAUR DENGAN KEPANIKAN; JERIT TANGIS DAN KEKACAUAN. INTENSITAS
SUARA-SUARA INI DIIKUTI DENGAN MUNCULNYA CAHAYA DI SETIAP SISI
PANGGUNG DALAM INTENSITAS YANG SECUKUPNYA; SEKADAR MEMBERI BIAS
PENERANGAN DENGAN TETAP MEMPERTAHANKAN VOLUME DAN KEDALAMAN
RUANG. KETIKA KEBISINGAN DAN SEGALA KEKACAUAN ITU MENCAPAI TITIK
KLIMAKSNYA; SEBUAH LAMPU SPOT MENYALA SECARA TIBA-TIBA MENGARAH KE
SEBUAH BANGKU MERAH YANG BERADA DI BAGIAN PALING DEPAN.
LAMAT-LAMAT NYANYIAN "DARAH RAKJAT".

(SESEORANG; SOSOK MISTERIUS, bangkit dari duduknya dengan tenang. Berdiri di sana dengan
khidmat. Memandang ke atas; ke arah tombak-tombak yang terhunus, lalu ke balai-balai yang berada tepat di
bawah tombak-tombak itu, lalu memandang ke arah penonton; dingin dan datar)

Hari itu, 3 Maret 1946, ribuan orang telah berkumpul sejak pagi. Semua mendengar bahwa Belanda
akan datang lagi. Kaum kulit putih yang menjadi Tuan dan Juru Selamat para bangsawan di negeri
ini. Para bangsawan yang telah hidup berjaya di atas compang-camping dan kemelaratan hidup kami.
Mereka bangun istana-istana mereka, mereka limpahi diri, anak-anak, dan isteri-isteri mereka dengan
harta, mereka baguskan dan cukupkan segala rupa kebutuhan hidup mereka dari suburnya kebun-
kebun tembakau. Kebun- kebun tembakau yang kami tanam dan jaga dengan tangan-tangan kurus dan
gemetaran.

Mereka membuat kami kehilangan pautan dengan tanah kami sendiri. Mereka telah membuat kami
jeri bahkan untuk sekadar memimpikam hari esok yang tak cemas. Anak-anak kami lahir, tumbuh,
dan besar dalam lapar dan was-was. Sementara anak-anak mereka, sekolahnya pun tinggi, pakaiannya
selalu kemilau dan wangi. Dalam hal apa pun, merekalah yang harus kami dahulukan. Mereka
memiliki kasur-kasur yang empuk, selimut hangat, mahligai-mahligai bagi mimpi indah mereka.
Sedang kami hanya memiliki sepasang lengan dan bahu untuk mendekap dan memikul segala
penderitaan. Kami simpan mimpi kami dalam perut yang selalu perih dikoyak lapar dan kemiskinan.
Kami seret kaki-kaki kami di sepanjang jalan di sisi dinding- dinding istana dan kebun-kebun
tembakau yang megah. Sedang mereka duduk-duduk menyantap makanan bersama Tuan-Tuan Kulit
Putihnya sambil merancang nasib yang akan mereka timpakan pada kami.

SOSOK MISTERIUS menghampiri setumpuk pakaian putih yang ada di balai-balai. Mendekap dan menghidu
harumnya. Lalu meletakkannya kembali.

(Dengan nada lirih dan dalam) Para Tengku yang mulia......


Betapa marahnya kami ketika itu, betapa murkanya...

66
Simalungun, Karo, Langkat, dan Deli..ke sanalah kami bergerak mencarimu...Satu per satu dari
kalian memang kami tangkap dan lenyapkan. Mungkin kalian akan menyebut kami keji, tak
berperasaan, dan menistakan segala kebajikan. Kebajikan yang menjadi topengmu untuk menistakan
kami.

Mungkin kita hanya berbeda dalam soal kekejian yang kita pilih. Kalian amat mencintai kedamaian,
ketentraman, kemasyhuran. Sebab hanya dalam keadaan seperti itu kalian bisa menikmati segala
kelimpahan. Sedang kami berpihak dan mencintai Revolusi. Betapa pun revolusi itu datang dari
sebuah sejarah yang tak pernah terang benar arahnya. Dan sejarah, di manapun, selalu ditaburi begitu
banyak kata "konon".

LAMPU DI BANGKU MERAH PERLAHAN MEREDUP.


MUSIK: Nyanyian "Darah Rakjat" kembali mengalun.

SOSOK MISTERIUS tadi bergerak ke sisi luar barisan bangku merah. Melepas pakaiannya dan
bersalin rupa menjadi AMIR HAMZAH.

TIGA

DARI DUA SPEAKER TOA YANG TERDAPAT DI SISI KIRI DAN KANAN PANGGUNG
MENGGEMA SERUAN SEPERTI SEBUAH PADUAN SUARA.

Raja telah jatuh! Rakyat


Berkuasa! Raja Telah Jatuh,
Rakyat Berkuasa! Raja telah jatuh,
Rakyat Berkuasa! Rakyat menjadi
hakim! Hidup Rakyat! Musnahkan
kaum bangsawan!
Lenyapkan Kaum Feodal!

AMIR HAMZAH YANG SEBELUMNYA TAMPAK KHIDMAT MENULIS DAN MEMBACA


DI ATAS BALAI-BALAI, TIBA-TIBA BANGKIT. IA MENCOBA MEREDAM SEGALA RASA
PANIKNYA. BERGEGAS TURUN DARI BALAI-BALAI
; MENCARI KAMALIAH DAN TAHURA.

Tahura...! Dinda..! Di mana kalian?


(SEAKAN SEDANG BERBICARA PADA KEDUANYA) Cepatlah kalian berkemas, ajak
pengawal menemani. Pergilah dari sini. Cepat! Jangan cemaskan aku..aku bisa jaga diriku. Cepat...!
Mereka sudah masuk ke istana dan merusak apa saja. Pergi ke tempat yang sudah kita rencanakan.
Cepat..!

HENIN
G.
MUSIK
:
AMIR MENANGGALKAN PAKIAN YANG TADI DIKENAKANNYA. KINI IA HANYA
67
MENGENAKAN KAUS SINGLET USANG DAN CELANA SEBATAS LUTUT, DENGAN
PENUTUP KEPALA BERUPA SECARIK KAIN USANG PULA.

Mereka menangkapku dan mengirimku ke perladangan terpencil ini. Mereka membuat pengadilan
yang mereka sebut Peradilan Rimba. Merekalah yang menentukan dan memutuskan nasib apa yang
harus kami terima. Beberapa yang mujur dipulangkan, sebagian dipindah ke rumah-rumah penjara,
sebagian lagi dikirim ke kamp-kamp tahanan yang ada di kota-kota lain. Aku termasuk yang
dianggap berbahaya. Dari Binjai, mereka mengirimku ke Langkat, di perladangan Kuala Begumit.
Di sini kami dipaksa menggarap ladang, memanggul beban. Tanpa makanan yang cukup juga tanpa
alas kaki, kami harus melakukan pekerjaan apa saja yang mereka anggap sebagai "balasan" atas
segala penderitaan yang pernah mereka tanggungkan. Mereka melucuti seluruh milik kami; baju,
celana, sandal, sepatu, arloji, semuanya...semua yang mereka sebut benda-benda duniawi yang
menjadi milik tak sah kaum feodal. Bahkan sebagian dari kami ditelanjagi.....
Bila malam menjelang, kami menghuni kamar-kamar gelap; tanpa lampu, tanpa cahaya. Kadang amat
kurindukan membaca kitab suci seusai sembahyang. Acap kutulis pula syair dalam remang, meraba-
raba, mencatat kata demi kata. Di dalam syair-syair itu kusimpan seluruh rinduku pada Ilik, pada
Tahura dan Kamaliah; kucatat segala gebalau dan gelisahku, menyeka sepiku, menghunus pula
nestapa; gemetar karena takut dan harapan, bimbang dan percaya pada kebenaran

Tidak! Aku tak ingin mendendam. Sebelum mereka yang menyebut dirinya pendukung revolusi
menjarah dan menghancurkan istana, aku selalu berpesan pada Kamaliah, agar kelak, bila nasib buruk
menimpaku, hendaknya ia tak menyimpan benci pada siapa pun. Aku ingin ia pergi menjauh dari
segala situasi dimana yang hak dan yang bathil tak nyata lagi bedanya. Aku ingin ia, membawa
Tahura, putri kami, ke desa yang tenang; berladang dan menggembala ternak. Membangun hidup
yang lebih layak, sedikit demi sedikit...

EMPAT

LAMPU FADE-OUT, KECUALI LAMPU YANG BERASAL DARI DALAM LUBANG YANG
ADA DI BAWAH BALAI- BALAI.

LAMPU FADE-IN PADA SALAH SATU BANGKU BERWARNA HIJAU. DALAM REMANG
TAMPAK SOSOK LELAKI MISTERIUS BERDIRI DI SANA.

(BERBICARA PADA PENONTON) Hari itu, langit di atas negeri Langkat amat bersih. Kamaliah
dan putrinya dan sebagian besar keluarga bangsawan di giring ke sebuah rumah besar bercat hijau.
Orang menyebutnya Rumah Hijau. Di seluruh kota Binjai, orang-orang yang berdarah ningrat
ditangkap. Satu per satu dari mereka ditanyai dengan pertanyaan-pertanyaan yang seluruhnya bernada
tinggi. Sebagian kecil dipulangkan, sisanya tetap ditahan.Tak sedikit pula yang diarak di jalan-jalan
sambil diselubungi karung goni. Mereka dihardik, dicaci maki, dihina dengan kata-kata kotor dan
urakan, bahkan didera dengan benda apa saja yang mereka temukan di jalanan. Sebagian lagi di
temukan telah tak bernyawa di sembarang tempat.

(BERBICARA PADA AMIR) Tetapi kau tak perlu khawatir Amir, Kamaliah dan Tahura tak

68
mengalami hal memedihkan seperti ini. Orang-orang yang marah itu, beberapa dari mereka, tahu pula
bagaimana keluhuran budimu. Di rumah itu, Kamaliah hanya dipekerjakan sebagai pelayan untuk
membersihkan sayuran dan memasak di dapur meladeni kaum yang saat itu menguasai kota.
Kau pun tak perlu mencemaskan, bahwa Kamaliah akan menaruh dendam pada mereka yang telah
mengambil keuntungan dari kecamuk itu.

Juga ketika hukum di negeri ini, beberapa tahun setelah kematianmu, memutuskan vonis mati bagi
Ijang, algojo yang telah menjalankan eksekusi mati mu, Kamaliah menolak menandatangani surat
keputusan itu. Ia merasa tak berhak menentukan hidup-mati seorang manusia. Ijang hanya
dipenjarakan. Ia telah cukup menderita dihukum rasa bersalahnya. Dan ketika dibebaskan, ia telah
kehilangan kewarasannya. Tidak, Amir. Isterimu tetap takzim padamu. Bahkan ia tak hendak
membenci kepada mereka yang telah menangkap dan membunuhmu. Ia telah menerima apa yang kau
katakan padanya; bahwa semua itu telah menjadi suratan takdir Yang Maha Kuasa.

FADE-OUT

LIMA

LAMPU FADE-IN
SUARA TAMBUR DITINGKAHI BUNYI-BUNYIAN DALAM NADA DAN INTENSI YANG
GELISAH DAN PENUH KECEMASAN.

SAAT LAMPU SPOT MENYALA; MENERANGI SALAH SATU SISI DI BAGIAN BELAKANG
BARISAN BANGKU MERAH; TAMPAK SEORANG LELAKI BERPERAWAKAN TEGAP
NAMUN BOYAK. IA TAMPAK AMAT CEMAS, GELISAH, DAN TERTEKAN. PAKAIAN
DAN RAMBUTNYA COMPANG CAMPING. LELAKI INI, IJANG WIDJAYA, ADALAH
BEKAS SEORANG MANDOR YANG MENJADI ALGOJO YANG MEMANCUNG AMIR
HAMZAH. SAAT AMIR MASIH KANAK, IJANG ADALAH GURU SILAT AMIR DAN
BEKERJA PADA BANGSAWAN.

IJANG BERJALAN HILIR MUDIK DI ANTARA BANGKU-BANGKU MERAH ITU SAMBIL


TERUS MEMANDANG KE BALAI-BALAI. MENDEKATI BALAI-BALAI DENGAN
LANGKAH RAGU DAN TERTEKAN, LALU MENJAUH LAGI, MENDEKAT LAGI DAN
MENJAUH LAGI. MENGITARI BALAI-BALAI SEAKAN SEDANG MENZIARAHI MAKAM
SEORANG YANG AMAT DICINTAI DENGAN PENUH PENYESALAN. IJANG TERAMBING
DAN DIHANTAM PERASAAN BERSALAH DAN MENYESAL. DUDUK DI TEPI BALAI-
BALAI MEMANDANGI SETUMPUK PAKAIAN PUTIH YANG TERGELETAK DI SANA;
TERSENYUM, LALU MERATAP DAN BERTERIAK.

Tengkuuuuu. !
Mengapa harus engkau Tuanku? Mengapa harus engkau ?!
Betapa tak patut kau jemput maut yang serupa itu. Betapa tak layak kau tundukkan kepala di hadapan
orang- orang yang marah dan tak sudi memilah mana benar dan salah.

(Meraih setumpuk pakaian putih itu lalu mendekatkan ke dadanya. Berdiri dan melangkah perlahan.
69
Sepasang lengannya tampak gemetaran)

Sejak kecil tak pernah kau berkata kasar pada siapa saja. Tengku Amir Hamzah, Tengku Busu. kau
kusayangi
lebih dari ayahku sendiri. Akulah yang menemanimu pergi mengaji. Duduk bersama kita di surau
setiap lepas senja. Sepasang mata kanakmu itu, tak jemu mengagumi cahaya bulan dan bintang-
bintang setiap gelap menjelang. Engkau bersih laksana bunga-bunga randu bersemi. Engkau harum
seumpama bunga tanjung di pagi hari...engkau tak pernah membedakan mana rendah dan tinggi.
Engkau bangsawan terpuji, namun hatimu kau berikan bagi kami; jelata yang kau rengkuh seperti
saudaramu sendiri.
Tengkuuuuuuuu...!
Mengapa harus Patik, Tuanku? Mengapa harus tanganku yang menggenggam parang menghantar
mautmu?. Tangan yang dulu menuntunmu dengan sabar dan takzim tangan yang juga
menumpahkan darahmu di
subuh kelam itu. Akhhhhh..tengkuuuuuu (Menangis melolong)

(Ijang menghempaskan tubuhnya ke tanah, meraung, menggila. Beberapa saat berlalu. Lalu sayup-sayup
terdengar dendang Melayu. Ijang bangkit perlahan. Melihat ke satu arah; menangkap sesosok bayangan di
balik kabut malam. Ijang menghampiri sosok itu)

Tengku...? Kaukah itu Tengku Busu? Kaukah itu Tuanku ? Ini Patik, Tuanku. Ini Ijang , Tengku.
Ijang yang
mengajari Tengku silat dan menjaga Tengku semasa kanak. Jangan pergi Tengku..jangan tinggalkan
Patik. Perkenankan Patik tetap menjagamu, perkenankan Patik mengabdikan diri. Tengku....maafkan
Patik Tengku...maafkan Patik. Bicaralah Tengku....makilah Patik, nistakanlah Patik Ayo Tengku,
hardiklah Patikmu
yang khianat ini....

JEDA. LALU KEMBALI BICARA PADA SOSOK ILUSIF YANG BERDIRI TAK JAUH
DARINYA.

Tengku..mengapa Tuan diam seribu bahasa? Mengapa Tuan bermuram durja? Apa Tuan sudah pergi
mengaji...Ayo, Patik antar ke Surau. Apa Tuan sudah pergi sembahyang....? Ayo..jadilah Imam, patik
akan berdiri di belakang Apa? Tuan hendak berlatih beberapa jurus silat lagi? Tuan lupa bagaimana
bertahan dari
serangan ? Baik tengku, baik. Patik akan peragakan...

IJANG MEMERAGAKAN BEBERAPA JURUS SILAT

Kuda-kuda Tengku harus kukuh agar mampu menopang badan. (MEMBUAT SATU GERAKAN).
Hadapi hasrat menyerang dan kemarahan dengan sikap tenang dan bersandar pada Tuhan
(MEMBUAT SATU GERAKAN). Tenaga akan mengalir dari inti jiwa ke seluruh badan (MENARIK
NAFAS MENGGERAKKAN KUDA-KUDA KE SISI BADAN). Sepasang mata harus bersumber
pada hati yang bersih, mengawasi setiap gerak-gerik dengan teliti (MEMBUAT BEBERAPA
GERAKAN).

DIAM. HANYA TERDENGAR SUARA SERANGGA MALAM . IJANG MENGHAMPIRI

70
SOSOK ILUSIF YANG SEAKAN SEDANG DUDUK DI DEPANNYA MEMANDANG KE
ARAH LAIN.

(Meratap) Bicaralah Tengku..betapa Patik rindu renyah suara Tuan...Patik rindu tawa riang
Tuan..Patik rindu gerak-gerik dan kidung nyanyaian Tuan. Tengkuuuuuuuuuuuu.....

HENING. HANYA SUARA ISAK TANGIS IJANG DITINGKAHI DERIK JANGKRIK DAN
SERANGGA MALAM. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN, IJANG BANGKIT MENGAMBIL

SEPOTONG RANTING YANG TERGELETAK DI DEKATNYA. MENGGARIS-GARISKAN


RANTING ITU PADA TANAH SEAKAN SEDANG MENGGAMBAR SESUATU. LALU
DUDUK MEMPERHATIKAN GURATAN YANG DIBUATNYA ITU. MEMANDANG LURUs
KE MUKA DENGA SOROT MATA TANPA CAHAYA.

BICARA DALAM NADA SUARA YANG LIRIH DAN DALAM

Tengku, Patik tak mengerti apa sebenarnya revolusi...Patik tak tahu mengapa Patik ada di sana,?Untuk
siapa? Patik hanya menjalankan titah. Mereka akan menangkap dan mungkin menyiksa keluarga Patik
bila Patik menolak perintah itu. Patik tak dapat mengelak. Namun Patik tak pernah membayangkan
bahwa Tengkulah yang akan bersimpuh di tepi lubang itu menerima hantaman parang...
Tengku, tahukah Tuanku, saat parang itu memenggal kepala Tuan...sesungguhnya Patik telah
menyembelih Jiwa Patik sendiri. Senyum dan wajah Tengku yang rela, terus menghantui hamba. Tak
pernah sekejap pun Patik merasakan tentram lagi. Tapi Patik tak hendak menampik. Hukuman apa
pun yang ditimpakan kepada Patik, tak akan melunasi penyasalan ini..rasa bersalah ini...bahkan mati
tak akan menyudahinya....
Tengku....kalau saja masih bisa Patik dapatkan maaf yang terucap dari mulut Tuan. kalau saja masih
bisa
Patik rasakan sentuhan tangan Tuan..Kalau saja masih bisa Patik raih kaki Tuan dan bersimpuh demi
maaf dan restu....

TIBA-TIBA DIAM SEDIAM-DIAMNYA. HANYA BULIR AIR MATANYA MENGALIR DARI

SUDUT-SUDUT MATA. LAMPU PADA TIJANG FADE-OUT.

ENAM
LAMPU FADE IN:

LAMPU DARI DALAM LUBANG YANG TERDAPAT DI BAWAH BALAI-BALAI FADE-IN.


CAHAYANYA MEMBIAS HINGGA KE TOMBAK-TOMBAK YANG MENGANCAM DI
ATAS. MENYUSUL KEMUDIAN LAMPU YANG TERDAPAT DI BELAKANG BARISAN
KURSI-KURSI MENYALA; MEMBENTUK GARIS-GARIS DAN SILHUET YANG
MEMANJANG.

DI BAWAH REMANG LAMPU DI AREA BALAI-BALAI; ADA SOSOK YANG BERJALAN

71
TERHUYUNG-HUYUNG, TERTATIH PELAN SERAYA MEMBOPONG SEKARUNG BEBAN
DI BAHUNYA. IA MENGENAKAN CELANA SEBATAS LUTUT; CELANA YANG TELAH
KUSAM, SEMENTARA PAKAIANNYA TERBUAT DARI KARUNG GONI MEMBUNGKUS
TUBUH RINGKIHNYA. IA BERJALAN TANPA ALAS KAKI MENGITARI BALAI-BALAI
ITU.

LAMAT-LAMAT SUARA TILAWAH QUR'AN AYAT TERAKHIR DARI SURAH AL-


MU'MINUN.

SETELAH TILAWAH ITU PERLAHAN MENGHILANG, TERDENGAR JELAS NAFAS


TERENGAH AMIR HAMZAH. YANG TERUS DIPAKSA BERJALAN MEMBAWA BEBAN.

MUSIK: SULING ATAU DENDANG MELAYU

DENGAN NAFAS YANG TERENGAH DAN TUBUH MENGUCUR KERINGAT, AMIR


MELETAKKAN BEBAN ITU. MEMUNGUT BEBERAPA LEMBAR KARDUS DAN
MENGGELARNYA DI ATAS LANTAI. DUDUK DI SANA DAN MINUM DARI CANGKIR
KALENG YANG ADA DI DEKAT TUMPUKAN BARANG DI SISINYA. IA MEREBAHKAN
TUBUHNYA. BARU BEBERAPA DETIK, IA BANGKIT DAN MEMERIKSA SEBUAH
RANTANG YANG ADA DI SISI LAINNYA. RANTANG ITU KOSONG. LALU IA DUDUK
BERSANDAR PADA BEBAN YANG TADI DIPANGGULNYA. SETELAH BEBERAPA SAAT,
AMIR BERDIRI DENGAN SEPASANG KAKI YANG GUYAH. CELANA YANG
DIKENAKANNYA ITU TAMPAK KEBESARAN, DIIKAT DENGAN TALI SEKENANYA.
BAJU YANG IA KENAKAN PUN TAK SAMPAI MENUTUPI PUSARNYA. WAJAHNYA
AMAT TIRUS.
Mereka memaksa kami untuk menggali lubang. Ada banyak lubang. Masing-masing berjarak seratus
meter. Di depan lubang itu kami berdiri. Satu per satu nama kami dipanggil. ..

Di hadapan orang-orang yang kalap dan marah; bergunakah suatu Kebenaran?

Ahh..di mana mereka kini? Siapakah yang menemani di tengah kecamuk begini? Selamatkah
mereka? Atau keduanya bernasib sama sepertiku? Tidak! Oh..tidak...Ya
Tuhan...Kumohon...timpakan saja segala kepahitan dan penderitaan kepadaku semata. Jangan mereka,
jangan keduanya. Kumohon, Tuhanku....mereka tak bersalah..merekalah semata harapan dan
kebahagiaan hamba....

DARI SPEAKER TOA TERDENGAR SUARA PANGGILAN: "TENGKU AMIR HAMZAH".


SETELAH PANGGILAN ITU, AMIR MENAIKI BALAI-BALAI, DUDUK SEPERTI DUDUK
TERAKHIR DALAM SHALAT. LALU BERSUJUD DAN BANGKIT DENGAN TENGADAH.

Wahai Sang Perkasa, di manakah Tangan-Mu..? Kalaupun telah kau tetapkan semua ini atasku,
kumohon janganlah kau biarkan aku meragukan apa yang telah Kau nisbatkan ke dalam Iman.
Kumohon, duhai tumpuan dan sandaran hatiku, jangan lepaskan aku, jangan tinggalkan aku
sebagaimana telah kau tinggalkan orang-orang yang meninggalkanMu...

AMIR BERDIRI MENATAP CAKRAWALA, LALU TURUN DARI BALAI-BALAI. BALAI-

72
BALAI TERANGKAT KE SISI SAMPING SEPERTI JENDELA YANG TERBUKA. DARI
DALAM LUBANG MEMANCAR CAHAYA BIRU. AMIR BERDIRI DI TEPI LUBANG ITU.

Habis kikis
Segala cintaku hilang
terbang Pulang kembali aku
padamu Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap


Pelita jendela dimalam
gelap Melambai pulang
perlahan Sabar, setia,
selalu.....

SEUSAI BAIT ITU, AMIR BERSIMPUH. DENGAN KEDUA LENGAN TERIKAT KE


BELAKANG. LAMPU DARI DALAM LUBANG BERUBAH MERAH. AMIR TERHEMPAS KE
TANAH. BUNGA BUNGA TANJUNG MELAYANG PERLAHAN MENIMBUN BUMI.

LALU KIDUNG MELAYU: BUNGA TANJUNG.

LAYAR

Bandar Lampung, 2 April 2021

73
PRITA ISTRI KITA
Karya : Arifin C. Noer
Editor : Rahman Sabur

SOALNYA RUMAH ITU TIDAK BEGITU BESAR MESKIPUN TIDAK KECIL AMAT,
SEHINGGA RUANG DI MANA MEREKA MAKAN JUGA MEREKA PERGUNAKAN
SEBAGAI RUANG TENGAH. TAPI MAKSUD SAYA SEMENTARA INI KITA ANGGAP
DULU SUNGGUH-SUNGGUH SEBAGAI RUANG MAKAN. TAPI JANGAN SEGERA
MENGIRA DI SANA KITA AKAN MENDAPATKAN SEBUAH KULKAS, APALAGI ATAU
BAHKAN KITA TIDAK AKAN MENJUMPAI BARANG-BARANG YANG UMUMNYA
DIPERGUNAKAN OLEH ORANG-ORANG KAYA. YA BISA KALIAN BAYANGKAN
SENDIRI RUMAH SEORANG GURU, YANG SAYA MAKSUDKAN ADALAH SEORANG
GURU MENENGAH DI INDONESIA DEWASA INI.
KALAU SEKARANG KALIAN LIHAT PADA ARLOJI, BAGI YANG PUNYA MAKSUD
SAYA, TENTU KALIAN AKAN MELIHAT BAHWA WAKTU SEKARANG MENUNJUKAN
JAM SETENGAH SATU SIANG, YA 12:30 WIB. SAYA AGAK BISA MEMASTIKAN
MEMANG, SEBAB PEREMPUAN MUDA ITU SUDAH TERBIASA MENYEDIAKAN MAKAN
SIANG SUAMINYA PADA SAAT-SAAT SEPERTI SEKARANG.
LIHATLAH, MALAH PEREMPUAN MUDA ITU BARU SAJA KELUAR DARI DAPUR
DAN MEMASUKI RUANG ITU. IA MEMBAWA SEBAKUL KECIL NASI YANG MASIH
MENGEPULKAN ASAP. CEMBERUT BETUL DIA. TANPA SEDIKITPUN SEMANGAT IA
MENARUH BAKUL DI ATAS MEJA MAKAN (RENDAH MUTUNYA TENTU SAJA).
Salah saya ! Kesalahan saya yang terbesar selama ini. Salah saya ! Selalu
membayang-bayangkan hidup ini
IA MASUK LAGI KE DAPUR. IA AKAN MEBUAT SAMBAL DI ATAS COET. KITA
HANYA MENDENGAR SUARANYA SAJA.
Saya tahu ! Tapi itu urusan pribadi saya ! memang sering kau ngomong, bahkan terlalu
sering. Hidup itu bukan untuk dibayang-bayangkan. Hidup ini bukan untuk diimpi-impikan.
Hidup ini untuk dijalani. Untuk disaksikan. Untuk dirasakan. Dilihat dengan mata. Didengar
dengan telinga. Ya, tapi itu urusan saya pribadi, kau dengar ? dasar congek…. ! Siapapun
tidak berhak menghalangi saya membayangkan bekas pacar-pacar saya. Juga tak ada hakmu
melarang saya membayangkan hidung si Beni Brewok itu. Itu hak saya !
IA KELUAR LAGI DARI DAPUR ITU MEMBAWA COET BERISI SAMBAL.
Betul, saudara-saudara. Itu hak setiap orang. Hak azasi manusia. Saudara-saudarapun
tidak berhak atas dunia sunyi seseorang.
BEGITU JENGKEL PADA DIRINYA, IA MENGHEMPASKAN DIRI DAN NAFASNYA
ATAS KURSI. DADANYA TERASA SESAK. IA SEPERTI INGIN MENJERIT KERAS-
KERAS.
Dalam keadaan begini saya ingin mabuk saja dengan menelan semua sambal ini. Saya
tahu sambal ini merangsang nafsu makan. Tapi saya tidak perlu dirangsang. Tanpa sambel
ini saya sanggup menelan sekaligus nasi sebanyak itu. Nasib ! Ya, nasib.
Setiap siang yang panas di meja ini selalu ada sambal yang panas. Ini bukan lagi
perangsang saudara. Sungguh-sungguh lauk untuk makan. Tiap hari. Tidak. Tiap saat.

74
Sudah lebih dari dua tahun saya menjadi istrinya, yah…pernah makan agak lumayan.
Malah tidak penuh sebulan, cuma dua puluh tiga hari. Itulah bulan pertama saya seranjang
dengan laki-laki itu. Maksud saya Mas Broto.
IA MENGANGKAT SEBUH PIRING YANG TERLETAK DI MEJA.
Tempe. Dan Cuma lima kerat. Yang lima kerat lagi saya simpan untuk nanti malam.
IA MENGANGKAT SEBUAH PINGGAN (RANTANG).
Sayur bening. Daun Bayam. Masih lumayan. Kalau tanggal dua puluh, daun singkong
bukan mustahil.
Saya tidak perduli apakah di antara saudara-saudara ada pejabat pemerintah atau
polisi. Saya juga tidak perduli apakah di sini juga ada pemimpin partai. Juga saya tidak perduli
apakah di sini kebetulan ada pemimpin agama, ulama atau malaikat. Saya hanya berkata
bahwa semua ini gila-gilaan ! Apakah dunia sekarang tidak mampu lagi menghormati seorang
guru ? Dia menghabiskan sebagian terbesar dari waktunya untuk anak-anak orang lain,
sementara dia sendiri tidak punya seorang anak pun. Mengajar dari pagi sampai siang, dari
siang sampai sore. Malam terpaksa ia pergunakan untuk kursus supaya bisa beranjak dari
nasib jeleknya.
SEKONYONG TERDENGAR SEBUAH LAGU DARI RADIO. SEKONYONG
PEREMPUAN ITU PUN BERUBAH SIKAP. IA MENJADI LEMBUT. IA MULAI BISA LAGI
MERASAKAN GETARAN ANGIN LEMBUT DI SIANG HARI. BERSERI WAJAHNYA LEBIH
DARI ITU, IA TURUT BERSENANDUNG SEKARANG.
Dulu saya bayangkan betapa bahagianya hidup saya. Saya bayangkan betapa
nikmatnya bangun pagi-pagi menyediakan sarapan, menunggu dengan berdebar-debar
kedatangan suami dari mengajar, makan siang bersama Mas Broto, mandi bersama Mas
Broto, tidur siang bersama Mas Broto, makan malam bersama Mas Broto dan akhirnya tidur
dalam pelukan Mas Broto.
TERTAWA KECIL IA
Geli. Alangkah menggelikan waktu Mas Broto menyatakan cintanya pada saya. Saya
ingat betul. Di pasar malam sempat-sempatnya ia mencurahkan isi hatinya. Dikatakannya :
“Jeng. . . .”. ia menelan ludahnya. Jelas sekali. Naik nafsu barangkali.
Dia memang aneh sekali. Kurang bisa menguasai diri. Lekas gugup.. dia bilang dengan
suara gemetar “Jeng, kau sangat manis”. Urat di leher saya terasa tidak normal lagi, gemetar
sekali saya.
LAGU YANG TADI SUDAH HABIS. DAN TIDAK LAMA KEMUDIAN TERDENGAR
SEBUAH LAGU LAGI.
Itulah kesalahan saya. Kalau dulu saya tidak pernah membayangkan begitu indahnya
hidup ini, mungkin saya tak akan pernah mengomel serupa ini. Tapi karena dulu saya

75
membayang-bayangkan betapa lezatnya makan siang bersama Mas Broto, saya jadi selalu
kecewa setiap kali melihat sambal itu. RADIO MATI TIBA-TIBA
Mati radio itu. Biarkan saja. Radio itu bukan kami punya. Itu radio tetangga. Alah,
apalagi radio. Kami sempat membeli pakaian yang bagus saja sudah alhamdulillah.
Suatu ketika ada seorang juragan yang datang kemari. Mengharapkan suami saya bisa
menolong anaknya naik kelas dan tentu saja juragan itu membawa amplop. Tapi suami saya
seorang pengecut yang bodoh seperti kerbau. Dia menolak amplop itu sementara ia berjanji
akan menolongnya. Sungguh-sungguh tak bisa di ampuni dia. Untung saja saya dengar anak
setan itu betul-betul tidak naik kelas.
TIBA-TIBA RADIO MULAI TERDENGAR LAGI. KALI INI BUNYINYA SANGAT
KERAS SEHINGGA MENYAKITKAN TELINGA.
Sombong betul tetangga yang satu itu. Apa dia fikir cuma dia yang punya telinga ?
Marah saya. Seminggu yang lalu saya bertengkar dengan suami saya lantaran tetangga yang
sok itu. Coba saja. Saya baru saja menelentangkan tubuh di atas ranjang itu, tahu-tahu
tetangga itu mengeraskan bunyi radionya. Saya sudah tidak bisa lagi menahan diri. Hampir
saya meloncat ke dapur untuk mengambil palu. Untung saja tangan Mas Broto cukup kuat
menahan saya. Kalau tidak, remuk atap rumahnya, Eh, Mas Broto malah membela tetangga
itu. Kalian tahu apa yang di katakan suami saya ?
“Jeng, sabar . . . . “
“Kalau kau terus-terusan begini, kita tak akan pernah punya tetangga”.
“Apa kita di beri makan tetangga ?”
Bertolak pinggang saya.
“Persetan tetangga. Kalau dia menghina, Tidak perduli tetangga. Tidak perduli
Jendral”.
“Apa kau tidak merasakan bagaimana dia menghina kita dengan radionya ?”
Apa suami saya bilang ?
“Itu bukan penghinaan, Jeng”.
“Bukan penghinaan ?” Mata saya melotot.
“Itu namanya kemurahan. Dengan memeperdengarkan radionya sekeras itu tentu
mereka maksudkan supaya kita pun turut menikmatinya”. Katanya.
Uuuh, begitu geram saya. Sehingga jari saya hampir putus saya gigit. Lalu saya berteriak.
“Kau memang batu. Batu. Kau tidak punya perasaan. Kau tidak pernah merasakan
bagaimana mereka menghina kita dengan baju-bajunya yang baru, dengan
perhiasannya, bahkan ketika ia memakai gigi emas ia selalu bertengger saja di
jendela”.

76
Lalu saya menangis. Dan kalian tahu apa yang di kerjakan suami saya ? Kalian tahu ? Saya
lihat dia sudah mendengkur. Tidur. Kerbau.
DENGAN SEDIH IA MELANGKAH KE PINTU ARAH MUKA. IA MENANGIS KINI.
Dulu saya bayangkan, saya bisa tidur dengan nyaman dalam pelukan Mas Broto,
sekarang kenyataannya saya seperti tidur dalam terali dengan seekor harimau. Dia buas tapi
juga seperti cacing. Lekas gugup, nafasnya bau. Sudah terlampau sering saya ludahi
potretnya dalam album itu ketika dia tak ada.
Saya bahkan bayangkan kalau saya bisa minggat, barangkali saya akan bisa tidur di
atas ranjang penuh bunga.

RADIO KINI MEMPERDENGARKAN ACARA PILIHAN PENDENGAR. IA CAIR LAGI


KINI.
Dulu ketika saya masih berpacaran dengan Mas Beni Brewok itu, saya kerap berkirim-
kiriman lagu lewat radio. Sebenarnya waktu pacaran itu saya sudah bercium-ciuman dengan
Mas Beni. Yang pertama kali dalam becak. Tapi jelas suami saya tidak pernah tahu hal itu
karena tak pernah saya beri tahu.
LAGU DALAM RADIO ROMANTIS SEKALI.
Di Rumah Bapak saya ada juga radio, meskipun cuma radio roti. Dan ketika terdengar
penyiar berkata : “Kemudian lagu ini di minta oleh Mas Beni Sungkowo ditujukan kepada Dik
Prita Kartika Sekota dengan ucapan kapan kita berenang lagi”. Oh, hancur hati saya. Oh,
betapa menyenangkan berpacaran dalam kolam pemandian itu. Mas Beni adalah seorang
lelaki yang tinggi besar dan brewok. Dalam pakaian mandi, dadanya nampak hitam karena
begitu lebat simbarnya. Lucu. Tapi galak.
Terus terang saya katakan, sebenarnya dia mencintai saya setengah mati. Ya,
sekalipun dia kerap berganti pacar. Tapi saya yakin, cintanya yang murni hanya untuk saya
seorang. Dia pernah membisikan di telinga saya. “Dik Prita, kalau di dunia yang fana kita tak
berjumpa, pasti di sorga kita kan tetap bersama”. Ah, sayang sekali Tuhan tak
mempertemukan kami.
SEKONYONG KEGELISAHAN YANG SANGAT MENYERANG DIRINYA.
NAFASNYA PENDEK-PENDEK DAN SELURUH BARANG DI SEPUTARNYA DI
PANDANGNYA DENGAN GERAKAN MATA YANG SANGAT CEPAT. DIA KELIHATAN
SEKALI SESAK NAFAS. MIMIK KEBENCIAN TERTERA DI WAJAHNYA. IA SEPERTI
HENDAK MENGHANCURKAN KEEMPAT DINDING ITU. TAPI SEKONYONG PULA IA
BERUBAH. IA SEPERTI MEMBEKU KINI. IA MERASAKAN TUBUHNYA SEPERTI KIPAS
KINI.
TERDENGAR SUARA SEPEDA MOTOR FADE IN STOP. YA. TENTU SAJA CUMA
DALAM FIKIRAN PEREMPUAN ITU. SEGERA SAJA IA MEMBETULKAN DIRINYA DAN
SEGERA PERGI KE KAMAR MUKA. OFF STAGE.
Mas Beni ! . . . .
Lama nian kita tak pernah bersua . . . . .

77
Mas Beni sekarang sombong . . . . .
Sombong. Beberapa hari yang lalu saya lihat Mas naik sepeda dekat pemandian, tapi
Mas diam saja . . . . .
Pura-pura makan tahu. Pura-pura tidak tahu . . . . .
TIDAK LAMA KEMUDIAN DIA DENGAN MAS BENINYA MUNCUL DARI KAMAR
MUKA.
Kenapa segan-segan Mas. Suami saya tidak di Rumah. Jam berapa sekarang ?
Masih agak lama baru dia pulang . . . . .
PEREMPUAN ITU MEMANDANGI “LELAKI” ITU DENGAN MESRA. KEMUDIAN
MEREKA BERCIUMAN.
Kau tampak tambah gagah Mas. Kau sungguh-sungguh jantan dunia . . . . . . . .
PEREMPUAN ITU MERABA PUNDAK MAS BENINYA DENGAN MESRA DAN
BERNAFSU.
Kau terlalu tega Mas. Kenapa kau tidak merebut aku dari Mas Broto ?
Saya kira dulu kau mencintai saya.
Tidak. Kau tidak sayang pada Prita. Kau pasti benci pada Prita. Kau pasti benci pada
Prita . . . . . . .
PEREMPUAN ITU DENGAN MANJA MELEPASKAN TANGANNYA DARI PUNDAK
MAS BENINYA. DAN MENJAUH DAN DUDUK DI SALAH SEBUAH KURSI. MAS BENINYA
MENGIKUTI DAN KEMUDIAN BERDIRI DI BELAKANGNYA.
Kau tega. Kau tega. Kau tega.
Kau tega membiarkan saya makan sambal tiap hari.
Kau tega membiarkan saya makan sayur bayam setiap hari.
Kau tega membiarkan saya makan sayur daun singkong setelah tanggal dua puluh
setiap bulan.
Kau tega membiarkan saya dihina oleh tetangga yang bergigi emas itu.
Kau tega membiarkan saya tidur seranjang dengan seekor harimau bertenaga cacing
itu.
Kau tega. Kau tega. Kau tega.
Betul ? Oh !
PEREMPUAN ITU MENENGADAH MENENGOK PADA MAS BENINYA.
Betul ? Mas ? Oh !
TANGAN PEREMPUAN ITU PADA BENI BREWOK SEKARANG.
Sungguh ? Oh, Mas, kau membuat saya ingat kolam itu. Mas Beni.
KEMBALI MEREKA BERCIUMAN. BERKALI-KALI MEREKA BERCIUMAN.
KEMUDIAN MEREKA REBAH DI KURSI MALAS. NAFSU MEREKA SAMPAI PADA TITIK
PUNCAK KULMINASI. MEREKA BERGULAT SEPERTI BINATANG DI SANA. SUNGGUH-
SUNGGUH ALAMIAH. BEBERAPA SAAT KEMUDIAN PEREMPUAN DAN LELAKI ITU
MELEPASKAN LELAHNYA. DAN SEMENTARA ITU MAS BENINYA MENUTURKAN

78
SUATU RENCANA, PRITA MENDENGARKAN DENGAN ASYIKNYA SEHINGGA TAMPAK
IMPIAN MENGGERAK-GERAKAN MATANYA.
Alangkah indahnya. Ya, Mas. Bukan hanya di sorga tapi di dunia pun kita akan tetap
bersama. Hidup seranjang mati seliang. Itulah semboyan percintaan kita, Mas. (BANGKIT
DUDUK) Betul ? Oh saya jadi ingat cerita wayang, bagaimana Noryono melarikan Dewi
Rukmini.
SEKONYONG PEREMPUAN ITU BANGKIT BERDIRI.
Minggat ke Jakarta Mas ? Oh, Kresnoku ? Kresnoku ? Kresnoku ?
DIA DALAM PELUKAN MAS BENI KINI.
Rumah bagus, pakaian bagus. Meja makan dengan makanan yang lezat-lezat. Kamar
tidur yang penuh dengan wewangian. Sungguh-sungguh nirwana. Mas, Ingatlah janji-janji kita.
Pegang teguhlah semboyan percintaan kita. Tidak, Mas. Tidak. Tak tahan saya sudah.
Pingsan saya setiap kali mencium bau apek Rumah ini. Tirulah perbuatan Kresno. Bagi
Kresno tak ada tembok yang tinggi yang sanggup menghalangi cintanya pada Dewi Rukmini.
Sekarang tak ada seorang pun yang kuasa menghalangi saya. Kemauan saya bulat, sekarang
aku punya, Mas. Kau punya . . . . . Kau hanya. Penuh pasrah. Rela. Tanpa syarat apa-apa . .
. . Kenapa kau diam saja ? Kau malah diam ? Hilangkah semangat Kresno itu ? (DUDUK
PEREMPUAN ITU) Ya ? (BANGKIT) kau memang Kresnoku. Kau sungguh-sungguh Kresno.
Jangan bicara apa-apa lagi. Tak ada lagi gunanya kata. Perbuatan nyata yang harus ada.
Ayolah. Jakarta. Ayolah. Rumah bagus. Ayolah. Pakaian bagus. Ayolah. Makanan lezat.
Ayolah. Ranjang kencana. Ranjang kahyangan. Ayolah. Nafas bahagiaku berdesah. Ayolah.
KETUKAN PADA PINTU. PEREMPUAN ITU TERDUDUK DI KURSI MALAS DAN
MENANGIS SANGAT PARAH SEKALI.
Kalian pasti mengerti. Ketukan itu ketukan suami saya. Saya menyesal sekali kenapa
saya berfikir seperti itu ?
PEREMPUAN ITU MENANGIS PARAH.
Salah saya. Kesalahan saya yang terbesar selama ini. Karena saya selalu
membayang-bayangkan hidup ini.

KETUKAN PADA PINTU.


Siapa pun pernah berfikiran demikian dalam hidupnya. Kalian tentu sudah tau apa yang
sebaiknya saya perbuat sekarang. Sebagai istri yang baik saya akan menghapus air mata
saya, seakan saya tidak habis menangis.
DIHAPUSNYA AIR MATANYA.

79
Kemudian saya akan berlaku seakan saya tak pernah berfikiran apa-apa. Saya akan
menyambut suami saya dengan manis dan mesra seolah-olah saya tak pernah
membayangkan apa-apa.
KETUKAN PADA PINTU.
Sebentar, sayang !
TERDENGAR SUARA LAKI-LAKI. OFF STAGE.
Prita !
SERAYA MENGUCAPKAN KATA-KATA MESRA PEREMPUAN ITU MELANGKAH
CEPAT. DAN KALAU DIA MENINGGALKAN RUANG MAKAN DAN RUANG TENGAH ITU
MENUJU KAMAR MUKA MAKA TANDANYA SELESAILAH SANDIWARA SINGKAT INI.

SELESAI
……………………………….

Diketik ulang oleh: Agni Melati


http://agnimelati@yahoo.com
SEKOLAH TINGGI SENI INDONESIA

80
CUBLIS
Karya: Hasan Al Banna
Pagi yang belia. Sebuah ruangan yang berantakan seusai pesta ulang tahun para iblis. Ada tergeletak
meja setinggi betis, berfungsi juga untuk tempat duduk. Lalu, balon-balon aneka warna, potongan-
potongan pita, serpihan kertas, juga tumpukan kado-kado—sebagian masih terbungkus rapi,
sebagian terburai. Ada isi kado yang terbengkalai di mana-mana. Mungkin boneka, baju, topi, kaus
kaki, dan lain-lain. Beberapa botol minuman keras, tegak-tergolek di sekitar meja.

Sejatinya gelap. Hanya ada titik cahaya yang kelap-kelip. Cahaya yang berasal sebuah bando
bertanduk, yang terselip di kepala Cublis. Hening sesaat. Lantas, terdengar suara gedoran. Tidak
sayup. Langsung menghentak, menakutkan. Lampu menyala seiring letup-letup gedoran. Cublis yang
tidur telungkup di antara tumpukan benda-benda, menggeliat, perlahan mengumpulkan kesadaran,
beranjak ke sumber suara. Mendadak wajahnya pasi, ketakutan,terengah, menggigil. Ia bergegas ke
sana kemari, seperti hendak bersembunyi, sambil bergumam-gumam tipis.

Suara gedoran berhenti. Cublis keluar dari persembunyian, menenangkan diri, memastikansuara
benar-benar hilang.

Itu pasti Tuan Bustaman. Satu-satunya orang yang menggedor dengan kasar hanya Tuan Bustaman.
Gedoran itu acap mencemaskanku. Semacam lonceng kematian. Ah, pagi-pagi seperti ini, manusia
terkutuk itu sudah muncul. Bahkan ketika aku baru saja merayakan hari ulang tahunku. Apa aku tak
bisa sebentar saja menikmati kebebasan. Cuti dari kesibukan menemani Tuan Bustaman melakukan
hal-hal yang menjijikkan dan abnormal. Harap simak baik-baik: aku cuma menemani, dipaksa
menemani tepatnya, bukan menganjurkan Tuan Bustaman berbuatsesuatu yang jauh dari sifat sopan
santun. Jujur, aku, kami, ummat iblis masih lebih berbudi dari Tuan Bustaman.

Ya, tapi begitupun, aku cukup lega ketika janjinya untuk tidak hadir ke pesta ulang tahunku tadi
malam ia penuhi. Meskipun tercabik-cabik juga harga diri ini tatkala mengenang bagaimana aku
seperti babu minta dikasihani, bersimpuh, memohon di bawah kakinya: Tuan Bustaman, plis, jangan
datang ke rumahku malam ini. Aku ingin merayakannya bersama taman-tamanku. Ayo, Tuan, sekali
ini saja. Tolong! Kasihani aku.

Cublis bertekuk lutut, menyembah-nyembah, menghiba dengan mimik yang menyedihkan. Cublis
terus menekuk-nekuk badan, kadang merangkak seperti mengikuti seseorang. Lantas, bangkit
tertatih, dan berbicara dengan suara yang berat. Suara Tuan Bustaman.

Sudah, Sudah. Berdirilah, Cublis. Kau memang iblisku yang manis. Bahkan terlalu manis sebagai
iblis. Ya, ya, meskipun sebenarnya malam ini aku ingin mengajakmu bersenang-senang. Tapi,
sudahlah, lain kali saja. Malam ini, bergembiralah dengan teman-temanmu. Mabuklah. Fly.
Berpestalah dengan perempuan-perempuan jalang terbaik. Bukankah sudah aku ajari kau bagaimana
mabuk dengan cara yang anggun dan elegan? Kau tahu kan perempuan seperti apa yang membuatmu
kepayang. Hou-hou-hou, mengapa kau masih menangis, Cublisku yang manis. Sudahlah.
Permintaanmu aku penuhi, tapi, Cublis, perkenankan aku memberikan hadiah untukmu. Sayang
sekali, hadiah ini tak sempat aku bungkus. Ayo, ayo, pejamkan matamu. Nah, begitu, bagus. (Tertawa
geli) Dengan mengenakan ini, kau tampak lebih garang, lebih jantan, lebih iblis. Ingat, kau harus
memakainya di pesta ulang tahunmu. Kalau tidak, janji menjadi hangus. Aku akan mengajakmu pergi
malam ini. Paham, Cublis. Ya, begitu, anggukan yang jenius. Kau memang harus paham. Kau
dilarang untuk tidak paham, Cublisku yang manis.

81
Cublis mengulang-ulang kalimat itu. Lantas tangannya menggapai bando bertanduk yang berkelap-
kelip di kepalanya.

Cublisku yang manis… Cublisku yang manis… Huh! Panggilan yang menjengkelkan. Panggilan itu
seperti berbunyi: Iblisku yang malang! Benar-benar iblis yang malang! Hah, menjengkelkan! Tapi
lebih menjengkelkan lagi, mengapa aku tidak pernah berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Tuan
Bustaman. Ke mana pun aku pergi, Tuan Bustaman selalu dapatmenemukanku. Setiap waktu aku
selalu berdoa dengan khusyuk: Ya, Allah, aku berlindung kepadamu dari godaan manusia yang
terkutuk. Ya, Allah, lindungi aku dari godaan Tuan Bustaman yang terkutuk! Tapi doaku sering gagal
terkabul, dan aku sering memaki diriku sendiri. Iblis bodoh! Iblis paok! Iblis longor! Tak berguna!
Memalukan leluhur iblis!

Cublis mengamuk pada diri sendiri. Sampai terjatuh, sampai terengah-engah. Lalu, perlahan bangkit
dari kepayahan. Cublis menata napas, sambil menerawangkan padangan. Jauh.

Kami, ummat iblis, memang sedang dalam keprihatinan. Sudah lama kami kehilangan jatidiri sebagai
iblis. Banyak nilai-nilai keiblisan kami yang punah. Sumpah, sesungguhnya aku tidak berkenan
mengadakan pesta ulang tahun semacam ini. Ini cara-cara manusia yang terlalu berlebihan. Mubazir.
Sementara kami, ummat iblis, cukup merenung setiap bertambahnya usia kami, bukan menyesal
karena telah membantah Allah, tetapi untuk mengumpulkan keberanian atas kenyataan bahwa kami
kelak akan menghuni neraka. Ya, hanya dengan duduk tafakur. Sumpah! Demi Allah!

Tapi, lama-lama budaya merenung itu telah hilang dari diri kami. Bahkan aku sendiri pun tak kuasa
menolak niat teman-teman yang suka-rela mempersiapkan pesta. Bahkan pula, aku tak punya
kekuatan tatkala mengetahui teman-teman menyusupkan vodka dan mansion ke tengah- tengah
perayaan. Padahal, sebelumnya aku sudah kasih peringatan: tidak ada tempat untukmabuk-mabukan.
Miras, no way! Tapi aku kecolongan juga. Untung mereka tidak memecahkan telur di kepalaku, tidak
menaburkan tepung di sekujur tubuhku. Untung pula mereka tidakmenyajikan tart dan lilin untukku.
Itu pekerjaan sia-sia. Hanya manusia yang berbuat demikian. Iblis tidak!

Namun, begitupun, pada kenyataannya, manusia yang meniup lilin, iblis yang terkena asapnya. Iblis
senantiasa berada pada posisi yang salah. Pandai-pandaian manusia saja mengatakan: Itu pekerjaan
iblis! Segala sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal buruk, iblislah penyebabnya. Bahkan hal-hal yang
kecil sekalipun. Noda biru legam yang mendadak muncul di paha manusia, misalnya, pasti iblis yang
dituduh melakukannya. Itu iblis yang mencubit. Apalagi kalau terdengar perempuan baik-baik
diperkosa, iblislah pelakunya. Seorang anak menghajar Ibu kandungnya sendiri, itu iblis. Uang negara
lenyap, iblis. Ada Ayah menanam benih ke perut putrinya sendiri, sehingga ia pun menjadi Ayah
sekaligus Kakek bagi bayinya, itu iblis! Perang pecah, orang-orang mati sia-sia, iblislah terdakwanya.
Bom diledakkan di mulut orang tak bersalah, siapa lagi kalau bukan rancangan iblis. Kalau terjadi
ketidakadilan, sudah barang tentu iblis sutradaranya. Penipuan terjadi, penculikan di mana-mana,
janji palsu semakin rimbun di jalanan, pasti iblis. Iblis biangnya! Iblis dalangnya. Ada pembunuhan
berlangsung, dijamin telunjuk manusia menuding ke arah kami: iblis yang sadis!

Memang, memang, terus terang, kamilah yang habis-habisan menggoda Kabil agar membunuh
saudara, Habil. Tapi ingat, ingat, catat, tulis, dan cetak dengan huruf yang besar di surat kabar terbitan
besok, bahwa kami para iblis tidak pernah menyuruh manusia memenggal-menggal tubuh
sesamanya, merajang, dan merebusnya sampai putih, sampai hancur seperti bubur sumsum, lalu
menelantarkannya di bak sampah, sebagai persembahan bagi kawanan lalat. Beritakan itu, dan
sebarkan ke seluruh dunia yang terlampau baik memberi tompangan hidup kepada manusia.

Cublis murka. Napasnya naik turun. Rahangnya beradu-bergemerutuk. Seperti tersadar, ia menata
diri, duduk.

82
Maaf, maaf, aku terlalu berlebihan di hadapan kalian. Maafkan aku yang tak bisa mengontrol diri dan
sedikit keluar dari rambu sopan santun. Ini perbuatan konyol, kurang ajar, dan sedikitmemalukan.
Entah manusia mana tadi yang bertengger di telingaku, sehingga begitu mudahnya aku memecahkan
amarah ke hadapan kalian. Mmh, Cublis yang bodoh. Untuk apa aku marah kepada kalian. Toh, kalian
bukan manusia. Sesama kaum yang bukan manusia dilarang saling menghina.

Cublis kian merasa bersalah.

Maaf. Tapi kadang aku geram, gondok dengan manusia-manusia itu. Sungguh aku tidak berbakat
menggunjing. Tapi teringatnya, manusia-manusia itu terlalu sok tahu dengan tentang iblis. Ya,
termasuk Tuan Bustaman itu. Kasih kado kok bando tanduk iblis? Andai mereka tahu, sejatinya iblis
itu tidak memiliki tampang yang aneh, atau buruk rupa. Sama sekali tidak menakutkan, tidak
bertaring. Apalagi bertanduk. Gambar-gambar, poster-poster, lukisan-lukisan, kisah dan cerita tak
pernah berhasil menggambarkan iblis yang sebenarnya. Fakta dibolak-balik semaunya. Semuanya
mengerikan. Padahal, akal-akalan seniman saja itu. Imajinasi yang tak bertanggung jawab. Cari
makan kok harus membikin iblis menderita dalam cerita. Masak mata iblis harus merah. Wajahnya
tak beraturan, seperti jajaran genjang yang tak selesai. Heh, tolong sampaikan pada manusia-manusia
sok mulia itu. Sepasang mata iblis itu bening seperti telaga, meneduhkan, wajah iblis oval, tampan,
tampil stedy, atletis, rambutnya lebat, hitam, bergelombang, tapi mudahdisisir…

Cublis memegangi kepalanya yang tak memiliki sehelai rambut pun. Ia memandangi tubuhnya yang
ringkih. Lama ia tertegun.

Tolong jangan tertawai aku. Demi Allah, yang aku paparkan tadi adalah gambaran iblis
sesungguhnya. Tapi kini, semuanya telah banyak berubah. Bukan hanya aku, tapi sebagian besar
ummat iblis berubah lahir dan batin. Tidak memiliki kesabaran lagi seperti dahulu. Kini gampang
marah, menyimpan temperamen yang tinggi dan hobi bunuh diri.

Cublis masih memegangi kepalanya.

Ini, tubuhku sekarang seperti ini karena ulah manusia. Termasuk Tuan Bustaman itu. Coba
bayangkan, setiap malam aku diajaknya ke luar, ke mana ia suka, tanpa aku mampu mengatakan tidak
kepadanya. Apa jadinya sebuah tubuh yang senantiasa terkena angin malam, asap rokok, dan
minuman-minuman keras. Apa jadinya sebuah tubuh yang sebenarnya menolak berada di tempat yang
ia tidak suka. Tubuh yang menderita. Itulah aku kini. Tubuhku ringkih seperti rempeyek, sepasang
mataku seperti teropong rusak, dan, dan kepalaku…

Cublis berhenti sesaat. Menahan geli.

Ini tak sepenuhnya ulah Tuan Bustaman. Tempo hari, aku menemani Tuan Bustaman ke salon
kecantikan. Eh, aku tertarik melihat model rambut poster seorang artis. Bagian rambut yang melekat
di ubun-ubunnya tegak bersilang-silang. Berkilau. Sedang sisi kiri-kanannya dicukur habis.
Mantaplah pokoknya. Bernilai artisitik dan bercitarasa macho. Lantas, aku merengekkepada Tuan
Bustaman agar diperbolehkan pangkas dengan gaya rambut seperti artis itu. Tapi, sangat disayangkan,
model rambut artis itu tak berjodoh dengan wajahku. Kepalaku persis seperti landak sedang patah hati.
Maka, mau tak mau, aku putuskan menghabisi seluruh rambutku. Nah, inilah jadinya. Tubuhku kacau.
Tampangku seperti badut. Ini layak disebut komedi yang benar- benar tragedi. Lucu, sekaligus
menyedihkan. Cublis, Cublis, berani-beraninya ikut tren manusia. Manusia yang tak punya belas
kasihan terhadap diri sendiri, apalagi kepada orang lain.

Cublis menghela napas, berat. Lalu sambil mengaduk-aduk benda-benda di sekitarnya, ia berbicara

83
lagi.

Ya, manusia tak punya belas kasihan, memang. Bukankah yang telah aku ceritakan tadi sudah cukup
untuk menggambarkan keberingasan manusia. Dengar, ya, meskipun kami iblis, kami masih memiliki
tenggang rasa yang kualitasnya boleh dicoba, saling menyayangi, sejak dulu senang bergotong-
royong, mengutamakan kata mufakat, ramah, tahu soal adat-istiadat, tahu manayang pantang mana
yang boleh. Hati iblis gampang tersentuh, iblis mudah menitikkan air mata. Menangis. Tentu bukan
air mata buaya. Tapi air mata yang murni, tangis yang tulus, karena iblis memang makhluk yang
perasa. Punya kelebihan, juga kelemahan. Namun bukan kelemahan yangmembikin makhluk lain
menderita, atau terluka. Sebab iblis juga tahu bagaimana rasanya terluka,tersinggung, difitnah. Seperti
iblis-iblis yang lain, aku memiliki rasa sensitif. Ya, aku tahu apa yang tertanam pada hati yang luka,
hati yang sakit. Aku tidak suka hal-hal yang menyakitkan. Aku juga benci sakit gigi. Aku jengkel
setiap kali sakit gigiku kambuh. Aku tidak suka gigi yang sakit. Tapi…

Cublis menemukan gula-gula bundar bertangkai. Wajahnya berseri.

Tapi, aku suka gula-gula.

Cublis bergegas hendak menjilat gula-gulau. Namun, belum sempat terpenuhi, tiba-tiba gula- gula
di tangannya terpelanting ke lantai. Ia tersentak. Bangkit perlahan. Menoleh ke arah gula- gula,
menoleh juga ke arah gula-gula, dan menoleh juga ke satu arah yang lain. Wajahnya berubah. Bukan
wajah Cublis lagi, tapi wajah seorang tetua. Tubuh tua. Bersuara tua.

Heh, Cublis, berapa kali sudah aku katakan, lebih baik banyak diam ketimbang berbicara. Lebih baik
menyimpan energi untuk kemaslahatan ummat iblis daripada menghujat-hujat manusia.
Hujat-menghujat itu pekerjaan manusia. Bukan kebiasaan iblis. Iblis cukup sekali menghujat
manusia, tatkala kita menolak perintah Allah untuk sujud di hadapan manusia. Hanya sekali itu saja.
Kita memang angkuh. Tapi hanya sekali itu saja. Dan kau tahu, keangkuhan kita langsung diganjar
neraka. Kita murka, lantas memohon kepada Allah agar diberi keleluasaan menggoda manusia untuk
melakuka dosa. Menggoda manusia, Cublis, bukan melakukan dosa. Allah setuju. Dan itu bagi kita
semacam perintah baru dari Allah. Kita harus melaksanakannya, Cublis. Sebab, pantang bagi kita
membantah Allah lebih dari sekali. Maka, kita pun bekerja. Bekerja semaksimal mungkin
menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Tapi lihat, saksikan, pada kenyataannya, manusia sendiri
yang lebih memiliki andil untuk menyerahkan nasibnya sendiri ke lambung neraka. Demi Allah,
ummat iblis memang menghimbau manusia untuk memelihara kedengkian hati, kemewahan,
ketamakan, keculasan, tapi ummat iblis tidak pernah melakukan hal-hal demikian. Tidak pernah! Kita
semula hanya memberi jalan dosa bagi mereka, tapi merekamalah lebih lihai menciptakan jalan dosa
sendiri. Bahkan mampu memperbudak kita untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang kita pun
sangat membencinya.

Ini bencana besar bagi ummat iblis. Bahkan untuk merayu manusia pun tidak bisa kita lakukan dengan
sempurna. Kita gagal lagi menjalankan tugas, Cublis. Dan kau tahu, apa ganjaran dari sebuah
kegagalan. Ya, hukuman! Entah tempat apa lagi yang lebih mengerikan dari neraka, yang disiapkan
Allah untuk kita. Neraka, yang kita sering menggigil membayangkannya, sudah dipastikan milik
manusia. Bagaimana lagi membayangkan tempat yang lebih buruk dari neraka. Astaghfirullah,
ampuni kami, ummat iblis yang tak tahu diri ini, ya, Allah. Maafkan kami. Limpahkan kami
hidayahmu. Jangan biarkan kami menyimpang lagi. (Sedih, terisak) Persoalan inilah yang terus
menghantui sisa hidupku, menghabiskan pikiran dan badanku, Cublis. Aku kelihatan jauh lebih tua
dari usiaku. Ummat iblis nyaris mengganggur. Sedang istilah pensiun tak ada dalam sejarah ummat
iblis. Celakanya, banyak ummat iblis yang tidak menyadari tugasnya. Malah senang dan bangga
melakukan dosa-dosa buatan manusia. Ummat iblis seperti kapas di angkasa. Hubar-habir. Tercerai-
berai. Gampang diadu-domba.

84
Maka, untuk apa lagi mengeluh, untuk apa kau berkoar-koar tentang kesewenang-wenangan manusia
terhadap ummat iblis. Itu sama saja kau membeberkan ketakberdayaan kita kepada seisi dunia. Tak
obahnya kau mencungkil borok aib sendiri, lantas menyeruputnya dengan lahap. Itu menjijikkan,
Cublis. Layaknya meminum air kencingmu sendiri. Kau harus menutupi kelemahan kita dari
manusia-manusia laknatullah itu. Semakin banyak kau bicara, semakin menguntungkan manusia.
Yang perlu kita lakukan sekarang adalah bersatu. Bersatu untuk mengembalikan tugas yang telah
dirampas manusia. Manusia yang serakah. Tega-teganya mencuri pekerjaan kita satu- satunya.
Entahlah, sudah beragam upaya kita lakukan untuk meminta manusia mengembalikan pekerjaan
goda-menggoda itu kepada ummat iblis. Kau ingat, Cublis, hasil musyawarah ummat iblis tempo itu,
kita sepakat untuk melakukan hal eksterim: membisikkan hal-hal yang baik ke telinga manusia. Kita
dengan senang hati dan tulus mengajurkan mereka berbuat baik. Tak apalah, ketimbang meraka
merampas pekerjaan kita. Tapi gagal, Cublis. Manusia-manusia malah menertawai kita. Mencemooh
kita habis-habisan. Mereka malah mengganggap kita sedang menjalankan muslihat tingkat tinggi.
Mereka terlanjur senang bergelimang dosa, dan sangat kreatif menciptakan dosa-dosa yang jauh lebih
canggih dan sistimatis. Kita terperangah atas kegagalan itu. Dan sampai sekarang, kita belum mampu
juga mendapatkan solusi. Ummat iblis kehilangan akal. Menyedihkan. Tidak sedikit petinggi-petinggi
iblis yang menjadi gila karenanya,dan memilih mati mengenaskan…

Cublis menunduk, lemah, lalu menoleh ke sisi lain. Mimiknya tiba-tiba menyemburatkan amarah.
Matanya melotot. Dengan langkah kaki yang sempoyongan, ia meraih benda-benda di sekitarnya,
lalu melempar-lemparkannya.

Kurang ajar kau, Cublis, kau malah tidur. Iblis durhaka. Iblis tak tahu budi. Aku panjang lebar
memberikan nasihat, kau malah mendengkur.

Terus melempar, berlari, sambil sambil berceracau. Meskipun sudah hilang dari panggung, suara
lemparan dan ceracau tetap terdengar. Ketika muncul lagi, suara Cublis kembali seperti semula,
tidak tua, tapi ia terengah-engah, seperti habis dikejar seseorang. Ia pun masih berjaga dari benda-
benda yang dilempar ke tubuhnya, sambil berteriak-teriak.

Ampun, Uwak, Ampun. Sori, Sori. Tak akan kuulangi lagi. Sure!

Cublis menenangkan diri.

Itu Uwakku. Termasuk petinggi kaum iblis. Belakangan ini Uwak sering marah-marah. Malah sering
berbicara sendiri. Banyak yang mengatakan Uwak sudah gila. Dianggap terlalu idealis sebagai iblis.
Kasihan sebenarnya. Niatnya begitu mulia hendak menyelamatkan kaum iblis, tapi tak digubris. Ia
kelihatan semakin payah karena rongrongan penyakit-penyakit manusia. Uwak sudah lama mengidap
jantung, lever, asam urat, dan pernah terserang strok ringan.

Gara-gara manusia. Semua karena manusia-manusia. Aku juga sudah kehilangan akal menghadapi
manusia, menghadapi Tuan Bustaman. Kadang, diam-diam aku pasrah. Bagaimana tidak pasrah.
Tuan Bustaman begitu superior. Bukankah sudah aku katakan tadi, mendengar gedoran tangannya di
pintu saja sudah membuatku mati ketakutan. Gedoran itu laksana sangkakala bagiku. Tak pernah
kuasa aku melawan. Gedoran itu adalah isyarat bahwa aku harus mengikuti seluruh kemauannya.
Mabuk bersamanya, menipu, main perempuan. Ah, perempuan… Pernah suatu kali, ia menyeretku
ke dalam hotel. Menyungkurkanku ke hadapan seorang perempuan belia. Tuan Bustaman begitu keji
memerintahkanku menikmati tubuh perempuan itu. Menikmati? Bagaimana aku menikmatinya,
sedang melihat tubuh perempuan yang tanpa busana itu saja aku sudah mual. Aku jijik. Ada cairan
kental, penuh belatung, yang tiba-tiba hendak melompat dari mulutku. Tapi Tuan Bustaman tambah
beringas. Ia marah. Ia menarik kedua tanganku, menelungkupkannya ke atas… ke atas… ke atas…

85
Kerongkongan Cublis seperti tercekik. Seolah tak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Cublis
mengambil sesuatu di antara tumpukan benda-benda. Semacam alat tulis dan sebantang kertas.
Cublis gemetar menuliskan sesuatu. Dengan gemetar pula Cublis menunjukkan kertas itu,
bertuliskan: BUAH DADA!

Ya, ya, bahkan untuk menyebutkan ini pun aku tak sanggup. Pantang. Dosa besar. Maka terpaksa aku
menuliskannya saja. Ya, ya, Tuan Bustaman menaruh kedua telapak tanganku ke atas ini (kembali
menunjukkan kertas bertuliskan: BUAH DADA!). Lalu, lalu, seterusnya, (Cublis menangis),
seterusnya… malam itu aku dipaksa melakukan hal yang bahkan tak pernah aku imajinasikan. Tuan
Bustaman tertawa sepanjang malam. Dan perempuan itu, cekikikan sampai pagi. Lantas, aku
menangis, hanya bisa menangis seperti anak kecil. Aku ternoda, Cublis yang ternoda…

Lama Cublis menangis. Menyesali diri. Belum hilang derit tangsinya. Tiba-tiba gedoran pintu
menjungkalkan tubuhnya. Begitu deras suara gedoran itu. Cublis hilang darah. Kakinya lunglai,
tubuhnya oleng, tapi ia terus berupaya untuk melangkah, berlari. Langkah yang kacau, lari yang tak
tentu arah. Balon-balon berhamburan, kado-kado tak tentu bentuk. Potongan-potongan pita,
serpihan kertas bergasing di udara. Cahaya silang-sengketa. Cublis mendaki tempat yang tinggi,
semacam menara. Sambil memekik-mekik meminta tolong, kehabisan tenaga, dan, Cublis
terjerembab!

Suara gedoran, tumbang! Cahaya terakhir lampu, enyah!

T A M A T

Medan, 2007-2009

86
MAYAT TERHORMAT
Karya: Agus Noor dan Indra Tranggono

PROLOG:
Selamat malam,…bl a,bla,bla…..(improvisasi)
Sebelum pertunjukan ini dimulai, marilah ada baiknya kita membangun kesepakatan, yaitu hendaknya
pertunjukan kita malam ini tidak diganggu bunyi tu-la-lit-tu-la-lit ponsel anda atau pager. Bunyi-bunyi
ilegal untuk sementara diharamkan. Maka saya memberi kesempatan kepada anda untuk
mengeksplorasi naluri-naluri purba anda: segeralah anda menjadi pembunuh. Bunuhlah pager dan
handphone anda ! Ini jauh lebih baik katimbang anda membunuh orang, atau membacok, hanya
karena perbedaan visi atau perbedaan pendapat. Kalau nanti ternyata masih tu-la-lit-tu-la-lit,
nikmatilah risikonya dipisuhi penonton lain.
Baiklah saudara. Meskipun saya berdiri di sini dengan wajah coreng moreng kayak badut,
sesungguhnya saya ini bukan badut. Karena terus terang saja, saya tidak ingin memperbanyak jumlah
badut di negeri ini yang dari hari ke hari jumlahnya terus menggelembung. Kita sudah polusi badut,
over kuota. Semua posisi sudah diisi oleh orang-orang yang lucu dan menggemaskan, sampai-sampai
tukang monolog yang sok nglucu terancam kehilangan sandang pangannya.
Oke, sekarang saya ingin mengajak para penonton yang terhormat untuk sekejap menengok
keberadaan mayat-mayat. Tapi saya harap anda jangan membayangkan suasana horor seperti yang
sering terlihat dalam sinetron-sinetron misteri di televisi. Kalau horor di televisi itu, tidak
menakutkan. Tapi justru malah menggelikan. Tidak membikin bulu kuduk berdiri, tapi malah
membikin satu-satunya elemen dalam tubuh saya berdiri. Yah…itulah salah satu kelebihan bangsa
kita: terlalu cerdas, sehingga apa pun yang dilakukan seringnya meleset dari sasaran. Mau bikin horor
malah menggelikan. Mau mengusut perkara dan menuntaskan kecurangan-kecurangan, ee…hasil yang
dicapai malah penundaan-penundaan dan pengampunan.
Nah sekarang, kita mulai saja pertunjukan ini dengan pantun pendek:
Kapal keruk talile kenceng, nyemplung laut dihadang gelombang
Nonton monolog obat puyeng, asal rileks dan dada lapang

BAGIAN PERTAMA

Sebuah sel panggung. Remang dan sayup. terdengar jeruji dipukul monoton. Lalu perlahan sepotong
cahaya bagai lembing perak, menghujam tubuh SIWI yang lunglai kepayahan bersandar di jeruji
sambil memukul-mukulkan piring seng. Sesekali mengerang, bahkan meraung…
SIWI terus memukul-mukul piring seng. Sampai kemudian muncul suara derap sepatu. Semula pelan,
kemudian mengeras dan mengeras. SIWI tergeragap. mendadak piring seng itu berhenti bersuara.
menolak dibunyikan. SIWI sekuat tenaga berusaha terus membunyikan piring itu ke jeruji sel. tetapi
piring seng itu tertahan diam.
SIWI: (marah kepada piring seng)
Kenapa? Takut? Kamu ini aneh lho, cuma piring seng saja kok langsung gemeter begitu mendengar
derap sepatu. Ayo terus bersuara. Bernyanyilah. Karena hanya kamulah satu-satunya sahabat saya di
sini. (Siwi mencoba sekuat tenaga menggerakkan piring itu, tetapi piring itu tetap tak bergerak) Dasar
piring pengecut! Ingat, eksistensimu ini sudah kuangkat, sehingga kamu tidak sekadar menjadi alat
makan, tapi subyek yang bersuara. Kamu punya hak bersuara. Ayo bersuara! (Kembali Siwi berusaha
membunyikan piring itu, tetapi tetap tak bisa). Ayo, toh, sebagai perkakas yang nasibnya sudah saya
naikkan derajatnya, mestinya kamu harus tunduk kepadaku. Ngerti! (Malah mendadak, piring itu
menyerang kepala Siwi) Eit, kok malah menyerang. Oo, tahu saya, pasti kamu sudah kongkalingkong
dengan para aparat itu untuk melawan saya, iya kan?! Pasti diam-diam, saat saya tertidur, kamu keluar

87
sel ini kasak-kusuk dengan mereka, dan menyusun rencana supaya tidak loyal lagi padaku. (Piring itu
menggeleng)
Sudah jangan mungkir. Di sini, kamulah satu-satunya sahabatku. Saya berteman dengan kamu, karena
hanya dengan beginilah saya bisa memelihara akal saya. Menjaga kemampuan saya untuk memelihara
harapan, impian. Alangkah konyolnya jika saya sudah tidak mempunyai harapan. Dan lebih konyol
lagi, jika saya tidak punya kemampuan untuk memelihara harapan. Jadi, tolong, janganlah sekali-kali
kamu membelot, melawanku. Terimalah ketulusan cintaku….. Atau jangan-jangan kamu ingin agar
saya “ad interim” kan? Dik Piring, kamu harus bersyukur, karena kamu mempunyai kedudukan yang
sejajar denganku. Jangan bertingkah, lu. Saya mutasi jadi kakus, di-beol-in kamu !
Mendadak seperti terdengar lagi langkah kaki — atau entah apa — begitu pelan, seperti bisikan,
membuat SIWI menajamkan pendengarannya, mendekatkan telinganya ke piring seng itu. Mendadak
piring seng itu meloncat melacang, seperti kaget dan ketakutan.
SIWI : (Berbicara pada piring seng)
Hai, mau ke mana? Jangan tinggalkan aku. Cepat turun sini. Jangan ngambeg gitu….Ada apa? (Piring
seng itu masih melayang-layang, bergerak-gerak seperti bicara) Kamu ngomong apa, sih? Ngomong
saja terus terang? (Piring seng itu turun mendekati Siwi, nampak berbisik) Ayo toh jangan bisik-bisik
begitu. Ah, yang bener! Kamu jangan sembarangan bisik-bisik lho. Atau kamu mau jadi tukang bisik?
Semprul! Yang menentukan kamu mau jadi apa itu aku. Nasibmu sepenuhnya di tanganku. Aku bisa
saja menjadikanmu terhormat, tapi juga bisa menjadikan kamu sekadar barang rombengan. Begitu
saja kok repot. Sini, apa kamu ingin saya jadikan barang rombengan?!(Piring menggeleng).
Makanya, sebagai aparat kamu ini jangan semena-mena, apalagi dengan orang sipil macam aku.
(Piring ngambeg, lalu melayang lagi menjauhi Siwi). Lho,lho…jangan kabur….Percayalah, meskipun
aku ini sipil yang sedang berkuasa — setidak-tidaknya atas dirimu — aku tidak akan menyakiti kamu,
apalagi menculik atau melenyapkan kamu. Aku justru ingin menjadikanmu piring yang mandiri,
piring yang merdeka….
Di gertak begitu, piring itu langsung mengkerut, takut. Lalu SIWI berusaha membunyikan piring itu
kembali, tetapi mendadak terdengar suara derap sepatu, membuat SIWI ketakutan.
SIWI: (Setelah suara sepatu itu berlalu, ngomong kepada piring seng)
Ternyata kita ini sama-sama penakut, ya. Ternyata ada yang lebih berkuasa daripada saya yang orang
sipil ini. Ternyata ada yang lebih aparat daripada aparat macam kamu. Mereka adalah aparat yang
hanya bisa membentak, memerintah dan memaksa kita untuk patuh melalui teror dan ketakutan.
Ternyata kita ini senasib. Ternyata kita ini sama-sama sipil! Sama-sama rombengan! (Membanting
piring seng).
SIWI terpuruk. Musik tipis mengalun. Sel itu kembali ditangkup kesunyian yang menekan. Siwi
menggelar tikar. Minum. Suasana kendor….Siwi mengambil kartu, lalu membanting-banting kartu
seakan-akan sedang berjudi….
SIWI: (Setengah mengeluh, setengah meracau)
Penjara… Kuburan…. apakah yang membedakan keduanya? Barangkali tak ada. Setiap orang tak ada
yang ingin memikirkan keduanya. Berusaha sedapat mungkin tak bersentuhan dengannya. Orang tak
ingin berhubungan dengan kuburan, karena selalu mengingatkan pada kematian. Dan orang tak mau
berurusan dengan penjara, karena juga sering kali berujung kematian…
Dengan payah, ia berusaha bangkit, kembali menerawang keluar jeruji, memukul-mukul piring seng,
kemudian bergerak pelan ke arah bibir panggung, dan suara musik yang sayup perlahan menghilang,
bagai angin yang bergerak menjauh…
SIWI: (Kepada penonton)
Anda pasti membayangkan, kalau saya ini tokoh besar. Tokoh oposisi yang ditangkap kemudian
dipenjarakan. Ya, setidaknya seorang demonstran militan. Wouw…betapa gagah dan mulianya
prasangkaan saudara itu. Semestinya, saya ini harus merawat kesalahpahaman itu sebaik mungkin,
agar saya bisa sedikit terhibur. Sehingga diam-diam saya ini bisa merasa bahwa diri saya ini memang
orang penting, orang besar yang selalu ditakuti penguasa.
Tapi, sebentar….(Mencermati sosoknya sendiri) Saya kok ya curiga, jangan-jangan saya ini memang
orang besar,…. Setidak-tidaknya ada yang besar di dalam diri saya…. Iya lho, jangan-jangan saya ini

88
benar-benar pemberani, militan dan cerdas. (Siwi meminta konfirmasi pada pring yang tergolek di
lantai, lalu mematut diri seperti orang bercermin) Iya kan ? Coba lihat, setidaknya saya ini punya
potongan sebagai pembangkang.. (Bertanya kepada piring) Pantas kan saya jadi pembangkang ?
Soalnya, jadi pembangkang itu ternyata ada enaknya: kalau nasib baik, bisa terpelanting naik jadi
penguasa atau setidak-tidaknya jadi petinggi negara. Perkara sesudah jadi penguasa lalu lupa
berjuang, itu bukan soal pengkhianatan. Bukan. Itu justru menunjukkan sikap Konsisten untuk selalu
tidak konsisten….(Pause)
Tapi celakanya, saya ini cuma seorang juru kunci. Kekuasaan saya cuma sebatas kuburan dan tulang-
tulang berserakan. Itupun cuma juru kunci kuburan umum. Tentu, nasib saya akan jauh lebih baik,
misalnya, kalau saya ini juru kunci Taman Makam Pahlawan. Sebab, menjadi juru kunci Taman
Makam Pahlawan tentu lebih prestisius dan memiliki banyak privilige. Lha ya jelas, lha wong yang
diurusi itu jazad para pahlawan.Ingat…p a h a l a w a n (sambil menggelembungkan mulut).
Meskipun yang disebut pahlawan itu lebih pada orang-orang yang memegang senapan. Istilah yang
digunakan saja beda. Kalau orang bersenapan yang mati maka ia disebut gugur dalam tugas: Gugur
satu tum uh seribu, tunai sudah janji bhakti…. Lho mati saja ada lagunya. Coba kalau orang biasa
yang mati, paling banter disebut meninggal. Apalagi kalau hanya kere yang mati, maka dengan
semena-mena ia disebut tewas atau koit atau bahkan modar. Kok nggak ada ya kere mati disebut
gugur dalam tugas. Padahal seorang kere pun pada galibnya juga punya tugas mulia…, karena
kemuliaan itu ada ukurannya sendiri-sendiri, tergantung bagaimana kita memaknai kemuliaan
itu,…..meskipun ya kebangetan jika tiba-tiba ada kere yang merasa benar-benar mulia. Gila
masyarakat kita ini, ternyata masyarakat mayat pun disekat-sekat oleh kelas, tergantung dari status
sosialnya. Dan sejarah yang ditulis para pendekar, cenderung menganggap senapan sebagai ukuran
kepahlawanan. Bukan pada kecemerlangan otak, ketulusan pengabdian, dan ketegaran integritas
dirinya.
Tapi, saya tidak ambil peduli. Meskipun mayat-mayat yang saya urusi tidak dikategorikan sebagai
pahlawan, saya toh bangga. Bangga sekaligus terharu, karena mayat-mayat yang saya urus tak pernah
mengeluh, meskipun tempat persemayamannya…panas, gerah, sumuk,….Mereka tidak minta AC
untuk ruang kuburnya. Sangat berbeda dengan mayat-mayat di kuburan Senayan, baru sekali saja jadi
mayat, sudah macem-macem menuntut ini-itu, minta kenaikan gaji…
Akhirnya saya paham. Kalau toh mereka itu tak banyak menuntut ini-itu, barangkali mayat-mayat itu
memang sudah lama terdidik dan terbiasa hidup menderita ketika hidup di dunia. Sehingga wajar,
misalnya, jika mereka lebih merasa nyaman di kuburan. Karena di dalam kubur mereka tidak pernah
mengalami tekanan-tekanan dalam bentuk apa pun. Mayat-mayat yang urus itu begitu santun. Mereka
adalah klien-klien saya yang terhormat, meskipun bisa jadi mereka mati tidak dengan cara terhormat.
Mungkin saja ada yang terpaksa diseyogyakan untuk mati karena diberi bonus peluru, atau
mendapatkan kehormatan dengan dijerat lehernya, atau dipaku kepalanya, diperam dalam
kulkas…Dan ada satu mayat perempuan yang membisiki, bahwa ia mati disebabkan kemaluannya
dimasuki benda bulat , panjang dan tumpul: selonjor besi. Ya….selonjor besi yang bulat, panjang dan
tumpul itu dimasukkan pelan-pelan, kemudian ditekan sekuat tenaga. Sehingga rahimnya hancur,
kemudian ia dibuang di sebuah hutan. Saya benar-benar terkesima dengan nasib mayat sahabat saya
itu. Mbak, mbak, mbak…wahai mayat yang selalu hadir dalam mimpi burukku, di manakah kamu ?
Ceritakan padaku tentang dirimu…
- Apa sih status Anda waktu hidup di dunia?
+ Saya hanyalah seorang buruh…
- Lalu kenapa Anda sampai meninggal?
+ Saya dituduh memimpin demonstrasi kenaikan gaji.
- Bukankah Anda yang bernama….
+ Jangan sebut nama saya. Nama saya telah menjadi hantu yang menakutkan bagi orang-orang yang
dengan bangganya menghabisi saya demi perut mereka.
- Tapi nama Anda sudah sangat terkenal. Bahkan menjadi legenda yang cukup menggoncang dunia
peradilan…
+ Dunia peradilan hanya terguncang. Namun tak mampu berbuat apa-apa. Nama saya hanya berhenti

89
sebagai fakta, sebagai data yang disimpan dalam berkas-berkas mereka.
- Apakah Anda bisa menyebut nama orang-orang yang melenyapkan Anda?
+ Tidak. Kalau saya sebutkan, mereka pasti akan membunuh saya lagi. Saya takut untuk mati yang
kedua kali.
SIWI tersadarkan. Lalu berkata:
Kenapa aku justru dleweran ngurusi persoalan besar yang masih gelap ? Bukankah persoalanku
sendiri masih gelap ? Aku sendiri tak pernah tahu, bahwa diriku memiliki kelayakan untuk dikurung
seperti ini. Tapi soalnya barangkali bukan layak atau tidak layak untuk dipenjara. Yang jelas, kasus ini
butuh korban. Butuh tumbal. Dan aku menolak untuk ditumbalkan !
Besok, kepada interogrator akan saya katakan persoalan yang sesungguhnya. Biar semuanya jelas.
(SIWI MENGANTUK) Oalllah…..interograsi, interograsi….Lagi-lagi interograsi…..
Mendadak terdengar derap suara sepatu. SIWI ketakutan. Ia segera bersembunyi dan tidur meringkuk
di salah satu ruangan sel.
Musik keras menyapu.

BAGIAN DUA

Ketika SIWI tertidur, setting jeruji penjara berubah menjadi gerbang kuburan yang mendadak terbuka.
Terdengar suara deru truk, mengeram dalam kelam. lalu mengendap derap kaki, memasuki kuburan,
teriakan-teriakan yang seakan menyembunyikan rahasia, tetapi diucapkan dengan tergesa. Semua
menggambarkan suasana pemakaman ratusan mayat, yang serba darurat: cepat dan gawat. SIWI,
perlahan-lahan bangun dari tidurnya, tergeragap menyaksikan semua itu. Lalu ia pelan-pelan
mengendap dalam gelap. Sampai kemudian suara truk menderu, menjauh.
SIWI: (Mengamati timbunan tanah, sesekali mengoreknya dengan tangannya, gugup….)
Satu.., tiga… sepuluh… Empat ratus….seribu lima ratus….lima ribu…. (Terus menghitung).
Dari malam ke malam semakin banyak saja mayat yang mereka lemparkan ke kuburan terpencil ini.
Ini sudah malam yang ke sepuluh atau entah ke berapa. Otak saya jadi malas mengingat, karena begitu
seringnya hal ini terjadi. Aneh. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Sepanjang saya jadi penjaga
makam, baru kali ini saya mengalami kejadian seaneh ini. Saya memang mendengar kalau saat ini
sering terjadi pembunuhan. Jangan-jangan ini bukan sekadar pembunuhan, tapi pembantaian… (Siwi
terus bergerak ke sekeliling panggung, mengamati “mayat-mayat” yang terkubur bergelimpangan tak
sempurna. Ia terkepung oleh hamparan mayat yang begitu mengenaskan. Berulangkali ia memungut
sesuatu dan mengamati “benda” yang ada di tangannya, dan ia selalu kaget terbelalak). Kepala…biji
mata….tangan….kaki… Gila…tubuh manusia dicerai berai seenak wudelnya sendiri. Rupanya iblis
sudah menjelma pada diri manusia. Perilaku mereka jauh lebih iblistik daripada iblis itu sendiri. (Siwi
terus bergerak mengamati “mayat-mayat” yang bergelimpangan. Musik. Siwi menguburkan mayat-
mayat dalam suasana yang karikatural, sampai akhirnya terhenti ketika menjumpai mayat perempuan
berkuning langsat)
Astaga…saya kenal perempuan ini. Kenapa ia harus mati. Gila…aroma kematiannya masih terasa
menyengat, dan dari selangkangnya masih mengalir darah. Sempat-sempatnya pembunuh itu
menyempurnakan keiblisannya sehingga hancurlah kehormatan perempuan ini…(Mayat perempuan
itu merintih)
“Saya tidak tahu apa kesalahan kami. Tiba-tiba saya lihat puluhan orang datang menyerbu toko kami.
Harta benda kami dijarah. Mereka seperti menumpahkan kebencian kepada kami. Papah dan mamah
saya disiksa, sementara saya dan cacik saya dijadikan pesta. Keluarga kami dibantai. Toko kami
dibakar lalu papah saya dilempar ke dalam lautan api. Juga mamah saya, cacik saya, engkoh saya, dan
saya…”
Gila ! Peradaban apa ini ? Bagaimana mungkin nafsu dan kekejaman bisa bekerja sama secara
kompak begini? Manajemen kekejaman macam apa yang mereka gunakan? Apakah ini yang disebut
kekejaman dengan paradigma baru? (Pause) Paradigma-paradigma ndasmu!
Siwi mengangkat satu persatu mayat itu, dengan perasaan tertahan. Ia berulangkali mau muntah
mencium anyir darah. Ia mematung di antara “mayat-mayat”. Cemas.

90
SIWI : Barangkali kuburan ini tak cukup menampung mayat-mayat tak bernama itu. Ribuan orang
mati, serapuh daun rontok ditiup angin. (Pause) Kenapa begitu gampang orang mati? Kenapa begitu
ringan orang membunuh, seringan orang mencabuti bulu ketiak?. Mereka tak lagi butuh alasan untuk
membunuh. Dan para korban pun dipaksa tak boleh tahu kenapa harus mati. Apakah mereka harus
mati hanya karena berbeda warna kulitnya, beda bentuk matanya, berlainan cara bicara dan
bahasanya, atau hanya karena tidak sama ketika menyembah Tuhannya. Kenapa untuk semua
perbedaan itu, sekarang ini orang harus mati ?
Aneh, begitu banyak orang tak berdosa mati. Sementara orang yang dosanya luar biasa banyaknya
malah tidak mati-mati. Ini sangat-sangat tidak fair. Ini sudah kebangeten. (Pause) Saya jadi percaya,
maut ternyata tidak bisa bekerja sendirian. Sebab, maut bisa diciptakan. Maut bisa diselenggarakan
oleh siapa pun yang berkuasa. Mereka bisa menaburkan maut kapan saja, sehingga udara yang
terhisap selalu berbau kematian. Ya…kematian yang bisa di order kapan saja…. (Siwi menyulut
rokoknya. Menghembuskan asap kuat-kuat)
(Siwi tiba-tiba tersadar jika dirinya telah ngelantur) Lho, lho….saya ini kan cuma penjaga makam,
juru kunci kuburan, kok heroik banget ta ? Seharusnya, saya tak perlu repot-repot memikirkan soal
ini. Biarin aja, gitu aja kok repot. Bukankah bagi saya kematian itu sudah menjadi hal biasa. Malah,
kalau sehari tak ada orang mati, bagi saya justru aneh. Saya jadi kehilangan peluang. Penghasilan pun
berkurang. Jadi mestinya kalau ada orang mati, diam-diam saya bersyukur. Itulah sebabnya, — jangan
bilang-bilang ya — setiap hari saya sering berdoa agar Tuhan memperbanyak jumlah angka kematian:
Tuhan kirimkan kematian ke kuburan kami, Gusti Allah paringana sripah…
Tapi tentu saja, saya cuma berharap pada kematian yang wajar. Yaitu, orang yang benar-benar mati
karena dipanggil Tuhan, bukan karena dimatikan. Lho…jelek-jelek, saya ini penjaga makam yang
sedikit tahu etika, tahu fair play, win and win solution, cingcay…. Karena itu pula, di kuburan sini
saya tak pernah main kadal-kadalan. Saya ogah melakukan korupsi, habis memang tidak ada yang
layak dikorupsi di sini. Apa, bunga? Masih lumayan kalau bunga bank! Apa, kemenyan? Lumayan
juga, bisa untuk mut-mutan. Mosok, saya harus rebutan dengan dhemit?
Kalau toh saya harus melakukan tindakan ilegal, paling banter saya cuma menyewakan tempat bagi
pasangan yang nggak kuat sewa hotel. Short-time di sini lebih murah..
Nah, lihat, di pojok yang gelap sebelah sana biasanya mereka main. Cukup menggelar koran. Heran
saya, apa ya mereka nggak takut ganthet! Tapi ini juga keuntungan sampingan yang cukup lumayan.
Di samping dapat uang sewa tempat, sekali-kali saya juga bisa…. mengintip mereka….Jadi setiap
malam saya bisa lihat siaran langsung”BF”. Pada awalnya memang seru dan syur. Tapi lama-lama
bosen juga. Habis gayanya monoton sih…Mereka kurang berani melakukan terobosan kreatif dan
penjelajahan estetik. Terlalu kuno dan konvensional!
Ya, begitulah, saudara-saudara. Ternyata saya tak cuma berurusan dengan mayat, tapi juga dengan
bermacam orang dengan beragam watak. Ada yang memang datang untuk ziarah kubur. Tapi ada juga
yang datang untuk minta berkah. Itu lho, di tengah-tengah itu, biasanya puluhan orang bertirakat di
bawah pohon beringin besar itu. Katanya sih ada yang menunggu pohon beringin itu. Kata orang-
orang itu juga, di bawah pohon beringin itu tersimpan harta karun yang luar biasa banyaknya. Pikiran
gendheng macam apa ini. Apa ya memang dulu ada raja yang menguras duit negara lalu
menyimpannya di bawah akar-akar beringin itu, sehingga harta korupsinya tak terlacak?! Tidak faham
saya. Lho percaya kok sama beringin…
BREAK. ISTIRAHAT.
SIWI tersentak. Ia mendengar suara mengerang. Suara itu sesungguhnya sudah mulai terdengar sayup
saat siwi masih asyik bicara. Sampai kemudian erangan itu menyadarkan SIWI dan membuatnya
segera mencari asal suara. Lalu ia mendapati satu tubuh yang tergolek, kotor dan payah, setengah
hidup-setengah mati, tangannya menggapai-gapai minta tolong. segera SIWI membopong tubuh itu,
kepayahan menyeretnya ke tempat yang lebih terang. Dengan satu gerakan, SIWI berubah posisi:
menggeletak payah dengan tangan menggapai-gapai. siwi berubah peran jadi mayat (seorang
mahasiswa)

91
MAHASISWA: (Mengerang kepayahan)
Tollooonggg….. aduhhhh…aduhhhh…panas….panas…panas (Terus mengerjat-
ngerjat)….Tolong….air….air…..kalau ada teh panas juga boleh…..
Dengan satu gerakan mayat itu kembali berubah jadi SIWI: Mencoba menolong dan menenangkan
SIWI: Tenang, Mas… Tenang… Saya Siwi. Ya… S..i..w..i..(Es -ai - double you- ai)! Penjaga makam
di sini. Nggak usah takut. Ayo, duduklah. Mau minum lagi? (Siwi bergerak mengambil air minum,
kembali, dan meminumkannya pada mahasiswa itu, imajiner) Nah, begitu kan enak. Mas aman di sini.
SIWI berubah jadi mahasiswa
MAHASISWA:
Apakah saya ada di neraka ? Kok panasnya bukan main….Aduhhhh jangan masukkan saya ke
neraka…..Jangan….Jangan siksa saya….Jangan potong kemaluan saya. Percayalah….selama hidup
jadi mahasiswa, saya selalu menggunakan kemaluan saya untuk hal-hal yang tidak memalukan.
Tapi….. kalau toh cuma sesekali….pernah juga….Tapi,…tapi… itu saya lakukan dengan amat sangat
terpaksa, karena nggak kuat nagmept. Tapi itu cuma sekali,….she, dua kali….Pertama dengan pacar
saya….Kedua, dengan ibu kost saya….Tapi percayalah, dialah yang memaksa saya, sehingga saya
pun terpaksa dengan penuh suka rela, memenuhi permintaannya yang penuh paksaan itu….Itupun
terpaksa saya lakukan, karena saya mencoba menghargai paksaannya yang memang saya harapkan
SIWI: Anda ini kok malah bikin pengakuan segala…Ehhh Mas…berdosa ya berdosa, tapi jangan
jujur-jujur amat. Mestinya Anda ini justru harus berbelit-belit, bahkan kalau perlu bikin segala macam
trik, biar pemeriksaannya bisa lebih dramatik. Pakai pura-pura sakit, siapa tahu nanti dikasihani, terus
diampuni. Tapi ngapai pakai ngaku-ngaku segala, lha wong situ masih di alam kubur. Belum di alam
sono….
MAHASISWA:
Lho,….saya masih di alam kubur ? Pantesan…kok gelap. Trus, anda ini siapa ? Interogrator alam
kubur ya ? Aduhhhhhh….jangan periksa saya. Jangan. Saya tidak siap diperiksa. Jangan….jangan !
Jangan cecar saya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Jangan….Selama hidup jadi mahasiswa,
saya sudah terlalu capek menjawab pertanyaan yang sulit-sulit dari dosen saya, apalagi untuk
pertanyaan bersifat esai,….saya malah sering bingung. Kalau you mau bertanya kepada saya, yang
gampang-gampang saja ya….chek point saja. Jadi saya tinggal melingkari saja….
SIWI: Saya ini Siwi…..Penjaga kuburan ini. Tenanglah,…anda nggak usah panik. Anda ini belum
mati. Ayo diminum lagi….Nah, segar kan ? Nah, duduklah dengan tenang. Ambil nafas dalam-dalam
lalu hembuskan pelan-pelan. Tak perlu khawatir,…di sini anda aman.
MAHASISWA: (kembali panik)
Tapi orang-orang bertopeng itu ? Jumlah mereka banyak. Sangat banyak. Lihat ! Lihat ! Mereka
berderap-derap kemari. Jangan….jangan siksa saya ! jangan bunuh saya ! Bukan saya penggeraknya.
Bukan. Jangan….jangan copot jantung saya….
SIWI:
Jantung ? Bukankah jantung anda masih ada ? Coba….raba dada anda…Nah masih berdenyut kan ?
Anda masih hidup
MAHASISWA:
Benarkah saya masih hidup. Kemarin saya merasa sudah mati. Dada saya terasa pecah. Entah oleh
apa. Entah oleh siapa. Tapi saya melihat kelebat orang-orang bertopeng itu meringkus saya,
membekap saya, mencekik saya…. Tubuh saya berulangkali dibanting, diinjak, diludahi. Dan
mendadak ada tangan-tangan berkelebat menghunjamkan belati di dada saya. Ya….. darah segar
muncrat. Terus mengalir. Deras. Amat deras. Sampai berliter-liter. Pandangan saya berkunang-
kunang. Saya jatuh…terkapar…tak berdaya…. Di dalam kesadaran saya yang timbul tenggelam, saya
rasakan mereka menyeret tubuh saya. Terus menyeret sampai jauh. Sampai saya sadar….sampai
akhirnya anda menemukan saya di sini…di kuburan sunyi ini…(Pause).
Mas Siwi,…saya berterimakasih karena anda telah menyelamatkan saya. Tapi meski nasibnya cukup
beruntung, saya toh tetap sedih. Puluhan, bahkan ratusan teman saya mati mengenaskan di jalan-jalan,
di selokan-selokan. Mereka beramai-ramai dibantai, justru ketika mencoba menghentikan
pembantaian gila ini. Kami memperjuangkan pikiran waras, tapi orang-orang bertopeng itu

92
menjawabnya dengan nyalak senapan dan gebukan pentungan. Mas Siwi, kita harus menghentikan
proyek gila ini !
SIWI:
Kita ? Kita siapa ? bagaimana pun kita ini beda. Anda mahasiswa. Saya cuma juru kunci. Mahasiswa
itu masa depannya jelas, bisa lulus sarjana, jadi birokrat, jadi politikus, jadi pengusaha….Sedang juru
kunci ? Mau jadi apa ? Juru kunci itu jabatan paripurna. Pol. Mosok, ada juru kunci terpeleset jadi
Dirjen Pemakaman…..
MAHASISWA:
Meskipun mas Siwi ini cuma juru kunci, tapi Mas Siwi tahu banyak soal pembantai ini. Mas Siwi
mesti berani jadi saksi kunci untuk membongkar kasus ini…
SIWI: (kaget, bahkan setengah takut)
Saksi kunci ? Aduhhhhh…jangan Mas…apalah saya ini. Saya ini cuma teri yang gampang diuntal
oleh ikan-ikan kakap
MAHASISWA:
Justru karena kita teri, maka kita harus berani bersaksi, agar ikan-ikan besar itu tidak sewenang-
wenang melalap jutaan teri yang lain. Tapi semuanya terserah mas Siwi. Saya cuma menganjurkan….
Dan kelebat bayangan orang-orang bertopeng itu bagai bermunculan dari rimbun kelam. SIWI
ketakutan, mencoba sembunyi. Sementara SIWI sendiri langsung pontang-panting menyelamatkan
diri. Beberapa saat kemudian, kelebat bayangan “orang-orang bertopeng” itu menghilang. SIWI
merasa selamat dari ancaman, meski ia masih juga cemas dan ngos-ngosan.
SIWI: Orang-orang bertopeng itu lagi. Siapakah sebenarnya mereka? Apa hubungan orang-orang
bertopeng itu dengan pembantaian demi pembantaian yang kini berkecamuk di mana-mana?! Apakah
orang-orang bertopeng itu yang mengirim mayat-mayat ke sini? (SIWI mengamati sekeliling,
melangkah hati-hati, takut menginjak mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi kuburan) Bau
kematian yang berpusaran memenuhi udara. Apakah mereka tak bisa lebih beradab sedikit dengan
memberi penghormatan yang layak bagi mayat-mayat ini? Boleh jadi ketika hidup, mayat-mayat ini
memang pencoleng, perusuh, pemberontak — atau apa saja. Tetapi bukan berarti mayat-mayat ini
boleh dilempar begitu saja ke kuburan, tanpa penghormatan.
Lalu SIWI bergerak ke satu sudut, mengambil bendera-bendera putih mungil yang terikat pada
batang-batang bambu kecil. kemudian mencapkan bendera-bedera putih itu ke tanah, seperti tengah
menanam nisan, sambil terus bicara….
SIWI: Aku tak kenal kalian, tapi aku tak bisa membiarkan kalian terkubur tanpa penghormatan.
(Menancapkan bendera-bendera putih itu) Anggap saja ini upacara kecil bagi kematian kalian.
Semoga saja bisa membuat kalian sedikit terhibur. Aku tak punya banyak dana untuk membiayai
upacaya besar bagi penguburan kalian. Aku cuma penjaga kuburan. Maafkan, kalau upacara ini
kurang sempurna. Tak ada terompet yang mengringi pemakaman kalian, tak ada tembakan salvo, tak
ada liputan televisi, tak ada bunga, tak ada kembang api…. (Terus menanami bendera-bendera putih
itu, sampai hampir memenuhi semua sudut kuburan. Sementara itu bagai doa yang mengiringi upacara
kecil SIWI, terdengar suara gemeremang, seperti suara-suara orang bertahil. Seperti suara-suara orang
berdoa yang menggigil. Begitu gaib. Suara itu menjadi bagian dari upacara penguburan yang tengah
dilakukan SIWI). Istirahatlah dengan damai. Tak usah kalian mengutuk mereka yang membantai
kalian. Aku tahu, kalian marah dan menyimpan dendam karena kematian kalian yang terasa begini
hina. bagikupara pembantai kalianlah yang jauh lebih hina. Siapa pun yang membantai kalian,
sungguh luar biasa menjijikkan. Memuakkan! Kukira hanya setan — setidaknya mereka yang
bersekutu dengan kekuasaan setan — yang bisa melakkan pembantaian macam ini.. Celakanya, kita
tak pernah tahu siapa mereka itu. Ya…bagi mereka…orang-orang macam kalian lain tak lebih dari
seekor hama yang selalu dianggap mengancam hasil panen kekuasaan mereka. Padahal mereka tidak
pernah menanam. Tidak pernah, kecuali memaksa memeras keringat orang lain untuk bercocok
tanam. Mereka tak lebih dari mandor-mandor yang menganggap kekerasan sebagai kebenaran.
Sambil terus menanam bendera-bendera putih kecil itu, dalam benak SIWI berkecamuk kegelisahan
bercampur kecemasan. Sampai kemudian terdengar suara tangis bayi yang menyayat-nyayat. Tangi itu
mula-mula terdengar sesekali, membuat SIWI menajamkan pendengarannya. Lalu tangin itu

93
menghilang. Siwi kembali menanam bendera-bendera putih itu denga khusyuk. lalu kembali terdengar
suara bayi melengking, SIWI mencari sumber suara. Tapi sia-sia. Suara bayi itu selalu mendadak
lenyap ketika SIWI mendekat.
SIWI:
Aneh… Jangan-jangan bayi itu anak jin yang dibuang ke kuburan ini. Tapi untuk apa jin itu
membuang anaknya sendiri? Dia bukan termasuk mahluk yang tidak bertanggungjawab seperti
manusia yang gemar membuang bayi dari hasil hubungan yang tak resmi.
Kembali terdengar suara tangis bayi. Kali ini segera di susul tangis bayi-bayi yang lain.Tangis bayi itu
bagai bermunculan dari segala penjuru, menjadi nyanyi keperihan yang berkumandang memenuhi
malam. SIWI benar-benar dikepung suara bayi….
SIWI : Saya curiga, suara-suara itu adalah tangis arwah bayi. Saya curiga…… ada begitu banyak bayi
dibunuh. Jangan-jangan…..pembantaian tidak hanya menelan korban orang-orang tua…tapi juga
bayi-bayi….
SIWI bergerak ke sekeliling panggung. Ia berjalan di antara hamparan mayat-mayat…. sampai
kemudian ia terpekik kaget ketika di antara timbunan mayat, ia menemukan puluhan mayat bayi.
SIWI:
Edan!!! Ternyata dugaan saya tidak meleset. Mereka juga membantai bayi-bayi…. Bayi-bayi pun
dibunuh tanpa ampun. Bayi-bayi pun dibantai secara beruntun. Rupanya mereka tak ubahnya raksasa
yang meramu nyawa bayi menjadi jamu, yang direguk supaya bisa hidup abadi. Gila. Langkah
generasi sedang dimatikan. Generasi demi generasi dilenyapkan dari rahim zaman, untuk diganti
mesin-mesin yang hanya bisa patuh….
SIWI mencoba mengubur puluhan mayat bayi itu dengan khidmat, sambil menembangkan
keperihan…. terkadang ia seperti menimang-nimang….
SIWI : (Menembang)
Di bening matamu kuberkaca
mencari makna duka lara
Di tangismu kudengar nyanyian
adakah itu nyanyian Tuhan….
Tidurlah tidur anak kehidupan
Tidurlah tidur dalam kedamaian….
Sambil terus menembang, Siwi mengubur dan menancapkan bedera-bendera putih itu. Ia tak pernah
menyadari, betapa puluhan mata menatapnya dari balik belukar. Sampai kemudian SIWI terkejut,
ketika puluhan orang bertopeng telah mengepungnya. SIWI merayap mundur. Orang-orang bertopeng
terus mengepung…. Ketika SIWI menyadari bahwa ia tak punya kesempatan untuk meloloskan diri,
ia lalu mencoa memberanikan diri untuk menghadapi puluhan orang bertopeng itu. Keberaniannya
bangkit, seperti keberanian orang yang sudah tak punya pilihan. Maka SIWI mencoba berdiri tegar,
meski tetap saja gemetar. Ia berusaha berkata tegas meski tetap saja cemas. Di puncak kegeramannya
ia mengaum:
SIWI :
Barangkali otakku terlalu beku untuk bisa mengurai silang sengkarut persoalan yang membuat begitu
banyak orang takut. Atau barangkali aku terlalu gegabah untuk menjamah masalah yang mendadak
tumpah ruah. Atau barangkali, aku terlalu nekad, terlalu berani untuk memasuki rimba persoalan yang
nggegirisi ini…
Kalau akhirnya kuputuskan untuk bersaksi, bukan karena aku ingin jadi pahlawan. Bukan. Sebab
kepahlawanan itu rapuh. Dan kepahlawanan itu dari hari ke hari semakin merosot harganya. Aku
bersaksi karena aku sekadar ingin menebus rasa bersalah, dan rasa berdosa saya terhadap mayat-
mayat sahabat saya. Sebab selama ini aku lebih banyak diam, lebih banyak bungkam…. Ternyata
tidak selama diam itu emas.
Kenapa tragedi kemanusiaan yang jelas dan gamblang, selalu dibuat ngambang ?
Kenapa orang yang sudah jelas bersalah, justru dilindungi dan diberi ampunan ?
Kenapa orang-orang yang jelas menjadi korban justru dinistakan dan diberi hukuman ?
Aku jadi curiga, ada begitu banyak kepentingan sedang dipertahankan.

94
Aku jadi curiga, ada begitu banyak nama yang hendak diselamatkan demi kehormatan yang
dipaksakan. Kehormatan yang dipahatkan dan dijulangkan di antara nisan-nisan tak bernama.
Aku jadi curiga, ada begitu banyak fakta sedang ditenggelamkan.
Aku jadi curiga banyak kisah nestapa, hanya dijadikan cerita yang asyik untuk dopidatokan.
Aku jadi curiga terhadap segala kecurigaan yang dibudidayakan untuk menciptakan ketakutan.
Aku jadi curiga terhadap semua sandiwara yang dimainkan.
Aku jadi curiga, bahwa kecurigaanku pun selalu dicurigai
Aku jadi curiga….
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Aku curiga…..
Mendadak ada jaring-jaring besar turun yang memerangkap SIWI. SIWI berjuang keras untuk lolos
dari jaring itu. Ia berteriak-teriak marah dan terus bergulat mencoba meloloskan diri dari belitan jaring
raksasa itu. Tapi jaring itu ternyata lebih kuat.. Jaring itu terus membungkus, meringkus. Siwi terus
saja mengerjat meronta-ronta mencoba membebaskan diri. Teriakannya kian lama kian melemah.
tenaganya terkuras, lantas perlahan lemas. Lampu perlahan meredup.Kemudian terdengar sayup suara
jeruji dipukuli, seperti bagian awal. Dentang itu perlahan mengeras, dan mengeras. Sampai panggung
menggelap. Dan yang tersisa hanya cahaya yang bagai lembing perak menimpa kisi-kisi jeruji.
Sementara dentang jeruji dipukuli masih sesekali terdengar….
.
Bantul 26 Februari 2000

95
C. LAMPIRAN NASKAH LOMBA DRAMA

Pinangan
( Komedi Satu Babak )
Karya Anton Chekov
Saduran Jim Lim Suyatna Anirun

Pemain
Rukmana Kholil (60)
Ratna Kholil (25)
Agus Tubagus (30)

( RUANG TAMU DI RUMAH RADEN RUKMANA KHOLIL)

RUKMANA : Eee ... ada orang rupanya. O ... Agus Tubagus, aduh, aduh, aduh ...
Sungguh diluar dugaanku. Apa kabar? Baik ... ??
(MEREKA BERSALAMAN).

AGUS : Baik, baik, terima kasih, bagaimana dengan Bapak?

RUKMANA : Baik, baik. Terima kasih atas doamu, dan seterusnya ... duduklah.
Memang tidak baik melupakan tetanggamu, Agus. Ooo, tetapi kenapa kau pakai pakaian resmi-resmian?
Jas, sapu tangan dan seterusnya ... ... Kau hendak pergi kemana?

AGUS : Oh, tidak Aku hanya akan mengunjungi Pak Rukmana Kholil yang baik.

RUKMANA : Lalu mengapa pakai jas segala, seperti pada hari lebaran saja.

AGUS : Begini soalnya. (MEMEGANG TANGANNYA SENDIRI) Aku mengunjungi


Pak Rukmana Kholil yang baik, karena ada satu permintaan. Sudah lebih satu kali aku merasa sangat
beruntung telah mendapatkan pertolongan dari Bapak yang selalu boleh dikatakan ..., tapi aku, aku
begitu gugup. Bolehkah aku minta segelas air, Pak Rukmana? Segelas air!

RUKMANA : (KESAMPING MENGAMBIL MINUMAN). Sudah tentu dia akan

96
pinjam uang, tapi saya tidak akan memberinya.
(KEPADA AGUS) Apa soalnya, Agus?

AGUS : Terima kasih, Pak Rukmana ... Maaf ... Pak Rukmana Kholil yang baik, aku
begitu gugup. Pendeknya, tak seorang pun yang bisa menolong saya, kecuali Bapak. Meskipun aku
tidak patut untuk menerimanya, dan aku tidak berhak mendapatkan pertolongan dari Bapak.

RUKMANA : Akh, Agus jangan bertele-tele, yang tepat saja, ada apa?

AGUS : Segera ... segera. Soalnya adalah: Aku datang untuk melamar putri Bapak.

RUKMANA : (DENGAN GIRANG) Anakku Agus, Agus Tubagus, ucapkanlah itu


sekali lagi, aku hampir tidak percaya.

AGUS : Saya merasa terhormat untuk meminang ... ...

RUKMANA : Anakku sayang, aku sangat gembira, dan seterusnya ...


(MEMELUK) Aku sudah mengharapkannya begitu lama sekali. Memang itulah keinginku. Aku selalu
mencintaimu, Agus. Seperti kau ini, anakku sendiri. Semoga Tuhan memberkati cinta kalian; cinta,
kasih yang baik, dan seterusnya ... Aku selalu mengharapkan ... Mengapa aku berdiri di sini seperti
tiang? Aku membeku karena girang, begitu bahagia seratus persen seluruh hatiku. Alangkah baiknya
aku panggilkan Ratna. Dan seterusnya ...

AGUS : Pak Rukmana Kholil yang baik, bagaimana Pak, bolehkah saya mengharapkan
dia untuk melamar saya?

RUKMANA : Bagi seorang yang ganteng seperti kau, dia akan menerima lamaranmu.
Aku yakin sekali, ia sudah rindu: seperti kucing. Dan seterusnya ... sebentar ... (KELUAR)

AGUS : Aku kedinginan, aku gemetar seperti hendak menempuh ujian penghabisan, tapi
sebaiknya memutuskan sesuatu sekarang juga. Kalau orang berpikir terlalu lama, aku ragu untuk
membicarakannya. Menunggu kekasih yang cinta sehidup-semati akhirnya dia tak kawin-kawin ... Brrr
... Aku kedinginan, Ratna Rukmana gadis yang baik. Pandai memimpin rumah tangga, tidak jelek,
terpelajar, tamatan SKP ... Apalagi yang aku inginkan? Tetapi aku sudah begitu pening. Aku gugup.

97
(MINUM)
Chh ... aku harus kawin. Pertama, aku sudah berumur tiga puluh tahun. Boleh dikatakan
umur yang kritis juga. Aku butuh hidup yang teratur dan tidak tegang. Karena aku punya penyakit
jantung. Selalu berdebar-debar, aku selalu terburu-buru. Bibirku gemetar dan mataku yang kanan selalu
berkerinyut-kerinyut. Kalau aku baru saja naik ranjang dan mulai terbaring ... oh ... pinggang kiriku
sakit, aku bangun, meloncat seperti orang kalap. Aku berjalan sendiri dan pergi tidur lagi. Tapi kalau
aku hampir mengantuk, datang lagi penyakit itu. Dan ini berulang sampai dua puluh kali. (RATNA
MASUK)

RATNA : Ooo ... Kau. Mengapa ayah mengatakan ada pembeli mau mengambil
barangnya? Apa kabar Agus Tubagus?

AGUS : Apa kabar Ratna Rukmana yang baik?

RATNA : Maafkan bajuku jelek. Aku sedang mengiris buncis di dapur, mengapa sudah
lama tak datang? Duduklah.
(MEREKA DUDUK) Sudah makan? Mau rokok? Ini koreknya. Hari ini terang sekali
sehingga petani-petani tak bisa bekerja. Sudah berapa jauh hasil panenmu? Sayang, saya terlalu serakah
memotong tanaman. Sekarang aku menyesal karena aku takut busuk nantinya. Dan aku seharusnya
menunggu.
(MEMANDANG SEBENTAR) Eee ... apa ini? Begini nih baru ... Mau pergi ke mana,
Agus? Huu ... kau kelihatan cakep sekarang. Ada apa?

AGUS : (GUGUP) Begini Ratna Rukmana yang baik. Sebabnya ialah: aku sudah
memastikan bahwa ayahmu ingin agar kau mendengarkan langsung dari aku. Tentunya kau tak
mengharapkan hal ini. Dan mungkin kau akan marah. Tapi, oh ... betapa dinginnya. (MINUM)

RATNA : Ada apa? (HENING)

AGUS : Baik. Akan kusingkat saja. Ratna Rukmana yang manis, bahwa sejak kecil aku
mengenal kau dan keluargamu, almarhum bibiku dari suaminya, dari mana aku, seperti kau ketahui,
diwarisi tanah dan rumah, selalu menaruh hormat dan menjunjung tinggi ayah dan ibumu. Dan keluarga
Jayasasmita, ayahku, dan keluarga Raden Rukmana, ayahmu, selalu rukun dan boleh dikatakan sangat
intim. Terlebih-lebih lagi seperti kau ketahui, tanahku berdampingan dengan tanahmu, barangkali kau

98
masih ingat Lapangan “Sari Gading”-ku yang dibatasi oleh pohon-pohon ...

RATNA : Maaf, saya memotong. Kau katakan Lapangan “Sari Gading“ apa benar itu
milikmu?

AGUS : Ya, itu milikku.

RATNA : Jangan keliru. Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami. Bukan milikmu.

AGUS : Tidak. Itu adalah milikku, Ratna Rukmana yang manis.

RATNA : Aneh aku baru mendengar sekarang betapa mungkin tanah itu tiba-tiba menjadi
milikmu.

AGUS : Tiba-tiba jadi milikku? Ah, Nona ... Aku sedang berbicara tentang Lapangan
“Sari Gading” yang terbentang antara Anyer dan Jakarta.

RATNA : Aku tahu, tapi itu adalah milik kami.

AGUS : Tidak, Ratna Rukmana yang terhormat. Kau keliru. Itu adalah milik kami.

RATNA : Pikirlah apa yang kau ucapkan, Agus Tubagus ... Sejak berapa lama tanah itu
menjadi milikmu?

AGUS : Apa yang kaumaksud dengan “beberapa lama“? selamanya aku punya ingatan,
tanah itu adalah milik kami.

RATNA : Mana bisa ... ?

AGUS : Aku mempunyai bukti-bukti tertulis, Ratna Rukmana Kholil. Lapangan “Sari
Gading” dulu memang milik yang dipersoalkan. Tapi sekarang setiap orang tahu, bahwa tanah itu miliku
dan hal itu sekarang sudah tidak menjadi persoalan lagi. Pikirkanlah baik-baik. Nenek-Bibiku
mengijinkan tanah itu dipakai oleh petani-petani Kakek-Ayahmu tanpa uang sewa selama lebih dari dua
ribu tahun. Dan sudah menjadi kebiasaan mereka untuk menganggap tanah itu menjadi milik mereka.

99
Tapi sesudah perjanjian itu habis, yaitu sesudah Pak Harto lengser ...

RATNA : Semua ucapanmu sama sekali tidak benar. Ayah Kakekku dan kakkekku,
keduanya menganggap bahwa tanah mereka memanjang sampai Rawa Pening. Jadi Lapangan “Sari
Gading“ adalah milik kami. Ooo ... aku tidak mengerti apa yang menjadi persoalan. Ini merusak suasana
Agus Tubagus.

AGUS : Akan kutunjukkan dokumen-dokumennya Ratna Rukmana ...

RATNA : Kau akan melucu atau akan menggoda saya? Itu tidak lucu sama sekali. Kami
memiliki tanah itu hampir tiga abad, dan tiba-tiba kudengar tanah itu bukan milikku. Maaf, Agus
Tubagus Jayasasmita. Saya terpaksa tidak mempercayai ucapan-ucapanmu itu. Saya tidak tergila-gila
pada tanah lapangan itu. Besarnya tidak lebih dari empat puluh bahu dan harganya paling tinggi tiga
ratus ribu rupiah. Tetapi saya terpaksa memprotes karena ketidak adilan. (AGUS BERAKSI INGIN
BICARA)
Kau boleh mengatakan apa yang kau sukai. Tapi saya tidak dapat membiarkan
ketidakadilan.

AGUS : Saya mohon agar kau suka mendengarkan aku. Petani-petani Kakek-Ayahmu
seperti kukatakan tadi membuat batu bata untuk Nenek-Bibiku. Dan karena Nenek-Bibiku ingin
membalas kebaikan ini ...

RATNA : Kakek-Nenek-Bibi, aku tak mengerti semua itu. Lapangan “Sari Gading“ adalah
milik kami ! Itulah !

AGUS : Milikku ... ! ..., Milikku ... !

RATNA : Milik kami ... ! Biarpun kau akan bertengkar selama dua hari dan memakai lima
belas jas, Lapangan “Sari Gading“ itu tetap milik kami. Aku tidak menghendaki kepunyaanmu. Tetap
aku tidak menghendaki kehilangan kepunyaanku. Sekarang kau boleh katakan apa kau suka!

AGUS : Aku juga tidak tergila-gila pada lapangan itu, Ratna Rukmana. Kalau kau mau
akan kuberikan tanah itu padamu sebagai hadiah.

100
RATNA : Aku yang bisa memberikan tanah itu kepadamu sebagai hadiah. Karena itu
adalah milikku. Semua ini merusak suasana, Agus Tubagus. Percayalah. Sampai sekarang aku masih
memandangmu sebagai sahabat yang baik. Tahun yang lalu kami meminjam mesin penggiling padi
hingga bulan Nopember dan sekarang kau berani menganggap kami sebagai kaum melarat.
Menghadiahi aku dengan tanahku sendiri. Maafkan saya, Agus Tubagus. Ini bukan sikap tetangga yang
baik. Terlebih-lebih lagi ini dengan pasti kuanggap sebagai suatu penghinaan.

AGUS : Kalau begitu menurut anggapanmu aku ini lintah darat? Chh, aku belum pernah
merampas tanah orang lain, nona. Dan aku tidak bisa membiarkan siapapun juga menghina aku dengan
cara yang demikian! (MINUM) Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami.

RATNA : Bohong! Akan kubuktikan. Hari ini akan kusuruh buruh-buruh kami memotong
rumput di lapangan itu.

AGUS : Akan kulempar mereka semua keluar!

RATNA : Awas kalau kau berani!

AGUS : (MEMEGANG JANTUNGNYA) Lapangan “Sari Gading” adalah miliku.

RATNA : Jangan kau menjerit! Kau boleh berteriak-teriak dan kehilangan nafas karena
marah bila di rumahmu sendiri. Tapi disini kuminta jangan ... Kuminta supaya kau mengerti adat.

AGUS : Kalau aku tidak sakit napas, nona. Kalau kepalaku tidak berdenyut-denyut, aku
tidak akan berteriak-teriak seperti ini.
(BERTERIAK) Lapangan “Sari Gading“ milikku.

RATNA : Punya kami!

AGUS : Punyaku!

RATNA : Kami!

AGUS : Punyaku! (RUKMANA KHOLIL MASUK)

101
RUKMANA : Ada apa dengan kalian? Mengapa berteriak-teriak?

RATNA : Ayah, coba terangkan pada orang ini. Siapa yang memiliki Lapangan “Sari
Gading“. Dia atau kita?

RUKMANA : Agus, Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami.

AGUS : Masya Allah, Rukmana ! Bagaimana bisa menjadi milikmu?


Cobalah sedikit adil. Nenek-Bibi meminjamkan Lapangan “Sari Gading“ tersebut
kepada petani-petani Kakekmu. Petani-petani itu telah memakainya selama lebih dari dua ribu tahun.
Dan mereka menganggap bahwa tanah itu telah menjadi milik mereka. Tapi ketika perjanjian selesai,
maka tanah itu adalah milik kami.

RUKMANA : Maaf, Agus. Kau lupa bahwa petani-petani itu tidak membayar uang sewa
kepada Nenekmu dan seterusnya ... Karena justru hak tanah itu dipersoalkan dan tidak lama kemudian,
... ... dan sekarang setiap anjing pun mengetahui kami yang memilikinya. Mungkin kau belum memiliki
petanya, Gus.

AGUS : Akan aku buktikan bahwa akulah pemiliknya!

RUKMANA : Akan tidak bisa, Nak ...

AGUS : Tentu saja bisa! (TEGAS BERTERIAK NGOTOT)

RUKMANA : Mengapa kau berteriak-teriak, Agus? Kau tidak usah membuktikan apa-
apa dengan menjerit-jerit. Aku tidak menginginkan kepunyakanmu. Dan akupun tidak akan
menyerahkan kepunyakanku. Untuk apa? Kalau kau, Agus ... Kalau kau sudah berani mencoba untuk
bertengkar tentang lapangan itu lebih baik aku berikan lapangan itu kepada petani-petani, dari pada
kepada orang seperti kamu.

AGUS : Itu kurang ku mengerti. Atas hak apa bapak menghadiakan hak orang lain?

RUKMANA : Aku bebas memutuskan apakah aku berhak atau tidak? Aku bisa

102
mengucapkan namammu: “Juragan Muda“! Tetapi aku tidak bisa bicara dengan cara seperti ini. Umurku
sudah dua kali umurmu, Juragan Muda. Dan kuminta supaya kau bicara tanpa berteriak-teriak, dan
seterusnya ...

AGUS : Apa? Bapak menganggap aku ini tolol dan mentertawakan aku? Katamu ...
Tanahku adalah tanah Bapak? Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik. Dan bapak masih
mengharapkan aku diam saja? Aku harus bicara secara patut terhadap Bapak?
Huh ... Itu bukan sikap tetangga yang baik, Rukmana Kholil ... Kau bukan tetangga yang
baik. Kau lintah darat!

RUKMANA : Apa katamu, Agus? Lintah darat?

RATNA : Ayah, suruhlah buruh-buruh itu memotong rumput di lapangan itu segera.

AGUS : Apa katamu, nona?

RATNA : Lapangan “Sari Gading“ adalah milik kami dan kami tidak akan menyerahkan
kepadamu. Aku tidak mau, tidak mau ...

AGUS : Oh ... persoalan ini akan berlarut-larut nantinya. Akan kubuktikan di depan
pengadilan bahwa akulah pemiliknya.

RUKMANA : Di depan pengadilan boleh saja, Juragan Muda, dan seterusnya ... Boleh
saja ... Kamu memang telah lama menunggu-nunggu kemungkinan untuk membawa persoalan ini ke
pengadilan adat, yang menggunakan undang-undang pengadilan secara licik!
Memang semua keluargamu suka bertindak licik!... semuanya ... !

AGUS : Bapak jangan menghina keluargaku. Semua keluarga Jayasasmita selalu orang
yang dapat dipercaya, dan tidak seorangpun yang muncul di pengadilan karena melarikan uang, seperti
pamanmu. (KEPADA RATNA)

RUKMANA : Semua keturunan Jayasasmita keturunan gila !

RATNA : Yaaaaa ... Semuanya, semuanya ... ... !

103
RUKMANA : Kakekmu seorang pengadu ayam, bibimu yang termuda melarikan diri
dengan mandor PU, dan seterusnya ... (LEMAH)

AGUS : Dan bibimu seorang yang bongkok.


(MEMEGANG JANTUNGNYA) Aduh pinggangku ... sakit, darahku naik ke kepala ...
Demi Allah ... Air ...

RUKMANA : Dan ayahmu seorang yang mata keranjang!!!

RATNA : Dan tak ada lagi selain Bibimu yang mulutnya latah dan judes ...

AGUS : Oooohh ... Kakiku sudah lumpuh! Kalian orang-orang berkomplot! Tukang
komplot! Oh ... Mataku berkunang-kunang, ma... manaaa ... Topiku? Mana pintuny?! Aku mau pulang
... !!

RATNA : Jahat!, Licik!, Memualkan!!

RUKMANA : Dan kau sendiri adalah orang yang berpenyakitan. Berkepala dua,
penyebar malapetaka, itulah kau!

AGUS : Mana pintunya? Ooooh ... hatiku, ke mana saya harus keluar...? Mana pintunya?
... (KELUAR)

RUKMANA : Selangkahpun kamu jangan lagi memasuki rumah ini!

RATNA : Bawa saja ke pengadilan, kita lihat nanti. (AGUS KELUAR MERABA PINTU)

RUKMANA : Persetan dia ... (MONDAR-MANDIR DENGAN MARAH)

RATNA : Orang sial, bagaimana kita bisa percaya lagi kebaikan-kebaikan tetangga sesudah
ini?, penjahat!, orang tolol!, berani-beraninya mengaku tanah orang dan menghina pemiliknya. Sialan!!!

RUKMANA : Dan si Konyol itu ... Si Jelek itu ... Berani melamarmu dan seterusnya ...

104
Pikirlah ... Melamar.

RATNA : Hhhaaaahhh ... ?, Melamar Apa?

RUKMANA : Dia datang ke sini untuk melamarmu ...

RATNA : Melamar saya? Mengapa ayah tidak memberitahu terlebih dahulu?


(MENYESAL)

RUKMANA : Karena itu dia berpakaian necis. Bagus! Si Bulus!

RATNA : Melamar aku? ... Melamar? ... (JATUH KE KURSI) ... Bawa dia kembali ... Oh,
bawa dia kembali lagi.

RUKMANA : Aduh, bawa dia kembali?

RATNA : Lekas ... Lekas ... Aku mau pingsan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

RUKMANA : Aduh ... segera, jangan menangis. Apa yang akan kita lakukan? ... Baiklah
... ! (LARI KELUAR)

RATNA : Oh, Tuhan, bawa dia kembali, bawa dia kembali ...

RUKMANA : (MASUK LAGI) Dia akan segera datang, katanya. Oh ... alangkah
sulitnya menjadi ayah seorang gadis yang sudah besar dan sudah kepingin kawin. Akan kupotong
leherku, kami hina orang itu, mempermainkannya, mengusir dia, karena salahmu ... karena kau.

RATNA : Tidak. Ayah yang salah!

RUKMANA : Ha ... ? Salahku? Begitukah? (AGUS MASUK) Nah, bicaralah sendiri


dengan dia! (RUKMANA KELUAR)

AGUS : (MASIH TERENGAH-ENGAH) Hatiku berdebar-debar, kakiku lumpuh,


pinggangku sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.

105
RATNA : Kami minta maaf, Agus. (DENGAN MANISNYA) Kami terlalu terburu-buru,
Agus Tubagus Jayasasmita, sekarang aku ingat Lapangan “ Sari Gading “ adalah milikmu. Sungguh-
sungguh ...

AGUS : Oh ... Hatiku berdebar-debar hebat. Ya, Lapangan “Sari Gading“ adalah milikku.
Aaaaa ... Kedua mataku berdenyut-denyut.

RATNA : Ya ... milikmu, betul milikmu. Duduklah, (MEREKA DUDUK) Kami tadi salah.

AGUS : Aku bertindak menurut prinsip. Aku tidak menghargai tanah lapangan itu. Yang
aku hargai adalah prinsipnya.

RATNA : Betul, prinsipnya. Mari kita bicarakan soal lain saja.

AGUS : Terutama aku mempunyai bukti-buktinya, Ratna Rukmana. Nenek-Bibiku


memberikan ijin kepada petani-petani ayahmu ...

RATNA : Cukup, cukup tentang hal itu. (KE SAMPING) Saya tidak tahu bagaimana
memulainya. (KEPADA AGUS) Apakah kita akan berburu rusa, pada suatu hari?

AGUS : (MULAI HIDUP) Berburu rusa? Eeee ... Aku berharap berburu ayam liar setelah
panen selesai, Ratna Rukmana yang baik. Tapi sudahkah kau mendengar betapa jeleknya nasib si
Belang, anjingku, kau kenal dia? ... Kakinya lumpuh ...

RATNA : Kasihan, bagaimana terjadinya? ...

AGUS : Entahlah, mungkin otot kakinya terkilir. Tapi, anjingku adalah yang terbaik. Lagi
pula belum kusebutkan berapa harga yang harus kubayar untuk dia. Tahukah kau bahwa aku membayar
kepada Haji Soleh sebanyak dua ribu rupiah untuk si Belang?

RATNA : Terlalu mahal, Agus Tubagus.

AGUS : Kukira jumlah yang murah sekali, Ratna. Ia anjing yang lucu dan cerdas.

106
RATNA : Ayah hanya membayar lima ratus rupiah untuk si Kliwon, dan si Kliwon jauh
lebih cerdik daripada si Belang.

AGUS : Si Kliwon lebih cerdik dari si Belang? (TERTAWA) Mana bisa si Kliwon lebih
cerdik dari si Belang?

RATNA : Ya, tentu saja. Si Kliwon masih muda sebetulnya ... Tetapi kalau dilihat sifat-
sifatnya dan cerdiknya, Raden Jayasasmita tidak mempunyai satu ekor-pun yang menyamai dan yang
bisa mengalahkannya.

AGUS : Maaf, Ratna Rukmana. Tapi kau lupa bahwa si Kliwon berkumis pendek. Dan,
ooo ... Anjing yang berkumis pendek itu kurang pandai menggigit.
RATNA : (MULAI MARAH) Kumis pendek! Huh, baru sekali ini aku mendengar tentang
hal itu.

AGUS : Aku tahu, kumisnya yang atas lebih pendek daripada kumis bawahnya.

RATNA : Sudah kau ukur?

AGUS : Oh ya, anjingmu itu tentu cukup baik untuk mencium bau binatang kalau sedang
berburu, tapi dia tidak pandai menggigit.

RATNA : Tetapi pada anjing peliharaanmu itu keturunannya tidak dapat dilihat dan lagi ia
sudah tua dan jelek seperti kuda yang hampir mati.

AGUS : Oh ... Ia sudah tua, memang. Tapi aku tidak mau menukarnya dengan sepuluh
ekor anjing seperti si Kliwon. Dan si Kliwon itu tidak perlu ditanya lagi, setiap pemburu mempunyai
berpuluh-puluh anjing, seperti si Kliwon itu. Dan lima ratus rupiah harga yang cukup tinggi untuk dia.

RATNA : Tampaknya hari ini ada setan yang berbantahan dalam dirimu, Agus Tubagus.
Pertama, kau tadi mengakui bahwa Lapangan “Sari Gading“ adalah milikmu. Lalu sekarang kau
mengatakan si Belang anjingmu lebih cerdik dari si Kliwon. Aku tidak suka pada lelaki yang
mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Kau pasti tahu bahwa anjing kami seratus

107
kali lebih bagus dan berharga daripada anjingmu yang bodoh, lalu mengapa kau mengatakan yang
sebaliknya?

AGUS : Sekarang sudah jelas, Ratna Rukmana. Bahwa kau buta dan tolol. Insyaflah kau,
bahwa anjingmu berkumis pendek.

RATNA : Bohong ... !

AGUS : Betul ... !

RATNA : Bohoooooong ... !

AGUS : Mengapa menjerit-jerit? Mengapa kau berteriak-teriak?

RATNA : Mengapa kau berbicara omong-kosong? Ingin membuat aku marah. Sudah
masanya bahwa si Belang harus ditembak mati. Tapi coba kau bandingkan dengan si Kliwon.

AGUS : (SAKIT LAGI) Maaf aku tidak bisa meneruskan soal ini. Hatiku berdebar-debar.
RATNA : Aku sudah berpengalaman bahwa laki-laki yang biasanya ngomong besar tentang
perburuan biasanya tidak mengetahui tentang soal itu.

AGUS : Nona, kuminta agar kau jangan bicara. Kepalaku akan pecah. Diamlah!

RATNA : Aku akan diam sebelum kau mengakui bahwa si Kliwon seratus kali lebih baik
dari si Belang.

AGUS : Seribu kali lebih jelek ! Persetan dengan si Kliwon. Oh, kepalaku ... Oh, mataku
... Pundakku ...

RATNA : Belangmu yang bodoh tidak memerlukan ucapan persetan, ia boleh dianggap
mati saja.

AGUS : Diam! Hatiku mau pecah! Oh.

108
RATNA : Sekarang apa lagi? (RUKMANA MUNCUL) Ayah katakan dengan sungguh-
sungguh, dengan pikiran sehat Ayah, anjing mana yang lebih baik, si Kliwon atau si Belang?

AGUS : Pak Rukmana, saya hanya meminta jawaban atas pertanyaanku, apakah si
Kliwon berkumis pendek atau tidak? Iya atau tidak?

RUKMANA : Mengapa kalau ya? Mengapa kalau tidak? Itu kan tidak berarti apa-apa?
Tidak ada lagi anjing yang baik di seluruh daerah kita ini.

AGUS : Tetapi anjing si Belang lebih baik dari si Kliwon, bukan?

RUKMANA : Jangan terburu-buru, Agus. Duduklah. Si Belang tentunya memiliki sifat-


sifat yang baik. Dia anjing yang tahu adat. Kakinya kuat. Cukup gemuk dan seterusnya ... Tapi anjing
itu Agus, kau ingin tahu? Hidungnya berbentuk bola ...

AGUS : Maaf, hatiku berdebar-debar. Mari kita tinjau fakta-faktanya. Kalau kau insyaf,
di rumah Wak Mansyur, anjing Raden Martasuwanda dikalahkan si Belang, sedangkan anjing Bapak,
si Kliwon, setengah kilo di belakang mereka.

RUKMANA : Bohong, Agus. Aku orang yang cepat marah. Dan kuminta kau
menghentikan perdebatan ini. Ia dilecut orang, karena setiap hari orang iri melihat anjing orang lain.
Misalkan saja kau menemukan bahwa anjing kami lebih pandai dari pada si Belang. Kau mulai
mengatakan ini dan itu dan seterusnya ... Ingat itu, Agus?

AGUS : Kuingat juga ...

RUKMANA : (MENIRUKAN) Kuingat juga. Apa yang kau ingat?

AGUS : Hatiku berdebar-debar. Kakiku sudah hilang perasaannya. Aku tidak bisa ...

RATNA : (MENIRUKAN) Hatiku berdebar-debar. Huh ... Itukah seorang pemburu ? Kau
seharusnya tinggal di rumah saja daripada terguncang di atas kuda. Kalau kau benar pemburu tak apalah.
Tapi kau cuma ikut-ikutan untuk bertengkar dan ikut-ikutan campur tangan anjing orang lain. Kau
seharunya berbaring di ranjangmu. Dan minumlah obat kuat daripada berburu serigala. Huh ... hatiku

109
berdebar-debar. Huh ...

RUKMANA : Ya! Itukah seorang pemburu? Dengan penyakit jantungmu itu kau
seharusnya tinggal di rumah daripada terguncang-guncang di atas kuda. Kalau kau betul-betul pemburu,
tak apalah, tapi kau Cuma ikut-ikutan campur tangan orang lain, bukan? Dan seterusnya ... ... Aku
orangnya cepat marah, Agus. Lebih baik kau hentikan saja perbantahan ini. Kau bukan seorang
pemburu!
AGUS : Dan kau? apakah kau juga seorang pemburu? Kau ikut hanya untuk korupsi dan
menjilati hati pembesar-pembesar. Ooo ... hatiku, kau ikut orang yang berkomplot!

RUKMANA : Apa? Aku orang yang berkomplot? (BERTERIAK) Tutup mulutmu!

AGUS : Tukang komplot!

RUKMANA : Pengecut! Anak liar!

AGUS : Tikus tua! Rentenir! Lintah darat!

RUKMANA : Tutup mulutmu, atau akan kubunuh kau dengan senapan ayam liar.
Goblok!

AGUS : Setiap orang mengetahui ..., ooo hatiku ..., bahwa istrimu dulu suka memukuli
kau. Ooo ... hatiku ... bahuku ... mataku ... aku pasti mati, ooooh ... ... ...

RUKMANA : Dan kau suka menggoda babu-babu tetanggamu.

AGUS : Ooo ... hatiku ... Pasti hancur, pundakku sudah linu. Mengapa pundakku? Oh ...
Aku pasti mati ... (JATUH KE KURSI)

RUKMANA : Aku pasti lemas susah bernapas, kurang hawa.

RATNA : Ia mati ... ! Ia mati ... !

RUKMANA : Siapa mati? (MELIHAT AGUS) Dia benar-benar telah mati, ya Tuhan!

110
Dokter! (MELETAKKAN AIR DI BIBIR AGUS)
Minum ... Ia tidak mau minum. Jadi dia mati, dan seterusnya ... Mengapa aku tidak
menembak diriku? Beri aku pistol! ... Pisau!
(AGUS BERGERAK-GERAK) kukira ia hidup...Minumlah,Agus ...

AGUS : (BERKUNANG-KUNANG) Dimana aku?

RUKMANA : Sebaiknya kau segera kawin, dan seterusnya, persetan kalian. Dia
menerima lamaranmu dan akan kuberikan anakku kepadamu.

AGUS : Ah, siapa? (BANGUN) Siapa?

RUKMANA : Ia menerima kamu dan persetan dengan kalian.

RATNA : (HIDUP) Ya, kuterima lamaranmu.

RUKMANA : Jabatlah tangannya, Nak. Dan seterusnya ...

AGUS : Hah? Apa? Aku gembira. Maaf Ada apa sebenarnya? Oh ya, aku mengerti.
Hatiku berdebar-debar, kepalaku pusing, aku senang Ratna yang manis.

RATNA : Saya ... saya juga senang Agus Tubagus.

RUKMANA : Nah ... Selesailah sudah satu persoalan di dalam kepalaku.

RATNA : Tapi harus kau terima sekarang. Si Belang lebih bodoh dari si Kliwon .

AGUS : Dia lebih cerdik, Ratna.

RATNA : Ia kurang cerdik!

AGUS : Ia lebih cerdik.

RATNA : Kurang!

111
AGUS : Lebih!

RATNA : Kurang!

AGUS : Lebih!

RUKMANA : Wahhhh, inilah permulaan hidup bahagia seopasang suami-istri! Mari


kita berpesta!

Layar Turun

112
KEPARAT
Karya: Indra tranggono dan Hasan Al Banna

(Layar masih terkatup. Gelap. Kemudian terdengar suara-suara. Boleh oleh siapa saja.
Terserah. Musik secukupnya.)

Kasmin atau Seseorang


Hei, Hei, Hei Jangan Bising!
Lambok atau Seseorang
Tunggu aku pelacurku. (Lalu suara tawa)
Basri atau Seseorang
Heh, Latteung! Diam!
Ruben atau Seseorang
Kambing!
Lambok atau Seseorang
Pantat sama kau. Aku memang kambing. Tapi sebentar lagi jadi kerbau. (Tertawa lagi.
Berderai-derai.)
(Terdengar suara seseorang terjatuh.)
Braga
Aduh, woi!
Ruben Seseorang
Mampus kau keparat berdarah ayam!
Kasmin Seseorang
Hei, hei, sesama keparat jangan saling menghina!
Ruben Seseorang
Tapi aku keparat tulen.
Basri Seseorang
Nyamuk-nyamuk diharap diam!

(Entah dari arah mana, ada suara gesekan, seperti suara langkah atau suara apa. Lengang
sesaat.)

Lambok Seseorang
Suara apa itu?
Basri Seseorang
Ada yang mengikuti kita?

113
Kasmin
Ganda mana?
Basri
Biasa, di belakang.

(Dari arah yang lain,suara yang sama terdengar.)


Braga Seseorang
Wei, ada suara kaki.
Ruben Seseorang
Banci kali kau!
Lambok Seseorang
Tak ada apa-apa, cuma kucing kurap.
Braga Seseorang
Kucing kurap apa orang, woi?
Ruben Seseorang
Ah, kucing kurap atau orang kurap, sama saja itu.

(Hening, tegang)

Ganda
Aman, aman!

(Suara-suara terus. Kasar. Lantas meredup. Musik mendadak, menghentak. Layar


membentangkankan panggung. Gudang kumuh dan semrawut. Peti, drum, ban-ban bekas
beraduk-aduk. Ruangan hanya diterangi bohlam 10 Watt. Keremangan terus menekan dan
menghimpit. Ruangan itu terasa semakin sempit. Enam laki–laki tak henti–hentinya
menghajar ruangan itu dengan semburan asap rokok. Lubang angin yang tak begitu besar
di pojok atas salah satu dinding tak berdaya memasok udara. Bau sengat keringat terasa
menyengat, berbaur dengan aroma alkohol dan asap tembakau. Enam laki–laki mengitari
meja. Di atasnya teronggok bergepok uang yang jumlahnya mencapai ratusan juta. Enam
pasang mata yang menatap nyalang. Salah seorang mencoba menjamah uang itu, tetapi
lima tangan yang lain mencegahnya.)

Kasmin
Kita belum sepakat untuk membagi uang itu. Kau jangan lancang, Giring!
Ruben

114
Bukankah aku juga pemilik sah uang ini? Aku yang pertama kali menodongkan pistol ke arah
kepala pegawai Bank. Kalau aku tak pernah memulai, perampokan itu tak mungkin terjadi,
Kasmin!
Basri
Heh, nanti dulu Ruben. Aku yang memunculkan ide perampokan ini. Bukankah aku pula
mengatur taktiknya. Jadi, sesungguhnya akulah yang lebih berhak.
Ganda
Tapi apalah artinya ide tanpa keberanian? Akulah yang pertama kali melumpuhkan satpam
dan polisi–polisi itu.
Lambok
Melumpuhkan polisi? Bah, bukankah pistolku lebih dulu meletus daripada pistolmu? Begitu
polisi itu roboh bersimbah darah, baru perampokan dimulai!
Braga
Kenapa kalian ini merasa sibuk menghitung jasa? Macam kalian ini merasa paling pahlawan
dan sibuk menyematkan tanda jasa semaunya. Tetapi, apa artinya kepahlawanan tanpa
peranku? Barangkali kalian cuma menganggap aku ini ulat bulu, kecoa, atau setidaknya
kambing bandot. Tetapi coba katakan, siapa yang berjaga–jaga di luar gedung Bank? Aku
kan?! Sedikit saja aku silap, pasti kalian habis. Begitu juga kalau aku tak cepat–cepat
melarikan mobil, setelah kalian berhasil menjarah uang. Yah, itulah aku. Bukan mau sok
pahlawan, tapi menyelamatkan.
Kasmin
Tak ada gunanya kita menghitung–hitung jasa. Kita semua berjasa. Dan, siapa yang paling
berjasa, dialah yang mendapat bagian paling banyak.

(Waktu terasa membeku. Angin mati. Hanya dengus napas mereka yang terdengar.
Suasana tegang)

Braga
Sangat sulit mengukur besar kecilnya jasa. Bagaimana kalau uang ini kita bagi sama rata. Aku
kira persahabatan jauh lebih berharga daripada uang.
Basri
Itu kebijaksanaan yang sangat tidak bijaksana. Tentu saja kita tidak mungkin menyamakan
jatah harimau dengan kelinci!
Braga
Jangan begitu, Lae! Siapa yang kau anggap harimau dan kelinci? Ini namanya tidak adil.

115
Basri
Sori, kawan. Aku tak mau tunjuk muka. Tetapi aku kira, kita tidak keberatan jika yang
dimaksud harimau itu adalah aku. Meskipun sesungguhnya aku sangat tidak enak untuk
menyebutkannya. Tetapi, kalau kita mau sedikit berpikiran jernih…
Lambok
(Memotong) Enak kali kau main klaim! Lantas kalau kau harimau kami ini apa? Kelinci?!
Ganda
Menurutku, untuk memastikan siapa harimau dan siapa kelinci, hanya dengan kejantanan
ukurannya. Nah, siapa yang membawa lari uang ini dan bisa lolos dari desingan peluru, itulah
yang layak disebut harimau. Ayo siapa berani?!

(Enam laki-laki saling tatap. Suasana hening dan kian menegangkan. Sayup terdengar
anjing melolong dan suara serangga malam. Ada yang menyulut rokok, juga menenggak
minuman di atas meja)

Ganda
Ayo, siapa berani? Tunjuk jari!
Ruben Pulo
Kau sendiri begaimana?! Siap?
Ganda Dira
(Dira celingukan, tersenyum terasa dipaksakan, gugup). Woi, jangan akulah kau tanya. Aku
kan cuma pengusul. Kalau setuju oke, kalau tidak, ya, nggak apa-apa.
Basri
Kau sendiri takut kan?
Ganda
Bukan begitu. Sebenarnya aku tidak takut. Tapi kalian mesti maklum, anak–anakku kan masih
kecil–kecil. Lagi pula istriku sedang bunting.
Lambok
Kau ini macam pejabat saja, sukanya cari kambing hitam!
Braga
Okelah, Aku kira kita perlu cari jalan lain. (Kepada Kasmin) Kau punya usul?
Kasmin
Mau tak mau, kita memang musti menempuh jalan pistol!
Lambok
Maksudmu?
Kasmin
116
(Senyum sinis sambil memainkan pistol) Ya, pistol ini kita isi satu peluru. Lalu kita putar,
kemudian moncongnya kita arahkan ke kepala kita. Tarik picunya. Dan… kita akan tahu siapa
yang mampu bertahan dan siapa yang mati. Ini cara paling adil, bijaksana, dan sesuai dengan
undang-undang kejantanan. Oke?

(Kembali enam laki-laki itu saling menatap. Berbagai perasaan teraduk–aduk dalam
rongga dada mereka. Braga menenggak bir untuk memompa keberaniannya. Ganda
menyulut rokok untuk menutupi kegugupannya. Basri mengetuk–ngetuk meja, entah apa
maksudnya. Kasmin masih memainkan pistolnya. Bibirnya tersenyum tipis. Ia merasa
sangat yakin mampu melewati permainan yang mengundang maut itu. Dalam hati, ia
merasa geli melihat lima kawannya tampak tegang)

Kasmin
Aku kayak mencium bau mayat ya? Jangan–jangan itu mayat–mayat kalian. (Sunyi, seperti
ada hantu yang lewat). Sekarang tinggal pilih. Uang atau maut. Bagi yang berdarah tikus, lebih
baik mundur. Keberanian itu tak bisa dipaksakan. Dan ketakutan itu sangat manusiawi. Tak
ada gunanya berlagak jago kalau akhirnya mati konyol.
Braga
Bagaimana kalau kita bersenang-senang dulu.
Lambok
Ya, betul itu. Kita harus menikmati uang ini dulu.
Basri
O, keparat-keparat kaki lima ini rupanya cuma memikirkan perut dan pelacur.
Lambok
Jangan sok suci kau, keparat tengkorak!

(Lambok membentak sambil tangannya hendak melemparkan botol bir ke wajah Basri.
Tetapi, Ruben cepat–cepat mencegahnya)

Ruben
Untuk mengukur kejantanan, kalian jangan pakai cara kanak–kanak! Sekarang kita undi,
siapa yang lebih dulu menembakkan pistol ini di kepala!
Kasmin
Bagaimana kalu pakai pistolku? Kebetulan pelurunya tinggal satu. Dan, aku sendiri tidak tahu
di mana posisi peluru itu.
Braga

117
Kau jangan coba–coba mengelabui kami. Bisa saja semua sudah kau atur. Kita ini memang
perampok, tetapi harus menjunjung tinggi etika permainan. Sehingga kita bisa jadi perampok
yang berbudi luhur.
Ruben
Lebih baik kita kumpulkan pistol kita. Keluarkan semua pelurunya.

(Enam pistol diletakkan di meja. Masing-masing memuntahkan semua peluru. Kemudian


Ruben mengambil satu pistol dan diisi satu peluru)

Ruben
Sekarang kita undi pakai kartu domino. Caranya begini (Mengocok kartu domino). Masing-
masing orang mendapat satu kartu. Siapa yang mendapatkan kartu yang berbuah paling
banyak, dialah yang mendapat giliran pertama, disusul pemegang kartu yang jumlah
bulatannya lebih sedikit. Begitu seterusnya.
Kasmin
Tunggu, jangan bagi dulu! Jangan hanya kau yang mengocok kartu. Kita semua tahu,
tanganmu punya mata!

(Ruben tersenyum pahit. Ia serahkan kartu tumpukan kartu domino itu ke Lambok. Lambok
dengan ketenangan yang tinggi mengocok kartu itu. Kemudian kertu itu diberikan ke
Ganda. Begitu seterusnya, sampai akhirnya tiba giliran Braga sebagai pengocok kartu
terakhir. Dengan tangan gemetar Braga membagikan kartu-kartu itu. Lima pasang mata
mengawasinya secara seksama. Penuh curiga. Semua tegang. Suasana hening kembali
berkuasa. Gesekan kartu dengan meja kayu itu terdengar sangat keras, napas mereka naik
turun. Dan di luar rumah terpencil itu, suara gonggongan anjing masih terdengar sayup.
Masing-masing mengeker kartu. Braga hampir pingsan ketika tahu ia mendapatkan kartu
balak enam)

Kasmin
Sekarang kita banting kartu-kartu kita! (Hendak membanting kartu ke atas meja. Tetapi,
mendadak Braga cepat-cepat mencegah dengan suara gemetar).
Braga
Maaf. Bagaimana kalau kita tempuh cara yang lebih menusiawi?
Lambok
Ayo banting kartumu, banci!
Braga
(Pucat. Wajahnya putih. Ia mendadak menangis) Aku tidak ingin mati. Aku belum siap mati.
Tidak, aku tak mau mati. Aku masih mau tobat. (Terus meracau).
Kasmin
118
Diam, pengecut! Kau yang pertama! (Menyerahkan pistol, tapi Bardan menolak).
Lambok
Cepat sikit!

(Tapi Braga masih menolak, bahkan menghindar. Taji naik pitam. Sambil bergumam ia
menarik pelatuk. Lambok menekuk Bragan hingga berdiri setengah berlutut. Braga
berontak, namun Lambok lebih kuat. Braga menangis sambil menghiba, juga gemetar.
Kasmin menempelkan pistol di kening Braga. Lambok kian kasar. Tapi suara pistol hanya
mengeluarkan suara dek. Pistol tak meletus)

Braga
(Sontak gembira, menari-nari mengelilingi meja bundar di mana lima kawannya sedang
menuggu maut). Terima kasih Tuhan…. Terima kasih Tuhan. Ternyata Engkau juga
mendengarkan doaku, meskipun jiwaku ini kotor selalu. Percayakah Tuhan, jika aku
memenangkan harta rampokan itu, aku akan lebih banyak beramal. Akan kusantuni orang-
orang miskin, anak yatim. Akan kubangun rumah ibadah, sekolah, dan panti jompo, juga
janda-janda kembang….”
Basri
Diam kau, keparat bandot! Permaianan belum selesai. Perjalanan menuju maut masih
panjang. Sekarang giliranmu, Kasmin!
Kasmin
(Kasmin penuh percaya diri mengambil pistol, masih sempat meneguk minuman).
Ketahuilah, inilah kenangan terindah dalam hidupku. Aku telah bertekad mempertaruhkan
hidupku dalam perjudian nasib. Dan, hanya sang pemberani sejati yang akan meraih kelahiran
kembali…
Basri
Ayo cepat. Jangan malah ngoceh!
Kasmin
Waktu kecil, aku pernah bercita-cita mati dengan sebuah pistol. Pada saat itu aku berpikir,
bagaimana ya rasanya mati diterjang peluru. Tetapi aku tidak pernah berniat pistol itu
diletuskan oleh tangan orang lain. Musti dengan tanganku sendiri! Kawan-kawanku, kalau aku
harus mati, jangan kuburkan aku. Mana tahu, meskipun sudah jadi mayat, aku masih bisa
merampok. (Tertawan sinis).
Ganda
Hei, keparat! Ligat sikit!
Kasmin

119
(Menarik napas panjang). Baik. Sekarang mari kita saksikan, lihatlah sang pemberani sejati
akan mengajari kalian lolos dari kepungan maut untuk mereguk kemenangan. Jangan
picingkan mata kalian!
(Sesaat lengang, selain suara-suara napas tertahan. Lalu terdengar suara letusan, kepala
Kasmin terkoyak timah panas. Darah bersimbah. Lima lelaki menatap kematian itu dengan
perasaan dingin bercampur kecut)

Braga
(Gemetar). Tuhan, ampunilah Kasmin. Dia orang baik, meskipun hobinya merampok. Dia
terpaksa merampok, Tuhan. Karena hidup dan hari depannya telah dijarah para perampok
lain yang lebih besar dan kuat. Maafkan Kasmin, Tuhan. Amin.
Ruben
Taik kucing! Kau jangan malah berkhotbah! Cepat isi peluru!
Braga
Sebentar, kawan. Meskipun Kasmin ini keparat, dia juga punya hak mendapatkan kehormatan
bagi kematiannya. Dia juga sahabat kita, bukan? (Braga mengangkat mayat Kasmin ke pojok
ruangan).

(Lalu permainan kembali dilanjutkan. Kematian Kasmin, diam-diam telah mengguncang


jiwa kelima lelaki itu. Tetapi, demi kejantanan dan harga diri, permainan tetap harus
dilanjutkan. Kini sampai pada giliran Ganda. Dengan penuh ketegangan ia mencoba
berjudi dengan nasib)

Ganda
Sebelum menarik picu pistol ini, izinkan aku berbicara sebentar. Kalau kepalaku harus
terburai oleh senjata ini, tolong sampaikan salam pada istriku yang sedang bunting, dan juga
anak-anakku. Aku mati, berarti ia janda. Tetapi siapapun di antara kalian yang hidup tak akan
kubiarkan untuk memperistrinya. Kalau berani, tunggu pembalasanku di neraka. Akan
kutambahi penderitaannya.
Ruben
Sudah, kalau mau mati, tak usah mengancam-ngancam orang. Nanti kematianmu berkurang
nikmatnya.
Ganda

120
O, istriku yang bening. Menikahlah dengan orang yang lebih baik dariku. Tidak apa-apa, aku
ikhlas asalkan kau tidak menikah dengan keparat. Istriku, bunga yang senantiasa mekar, aku
mohon pamit.
Basri
(Menyindir). Puih! O, Tuhan, kenapa kau ciptakan manusia berprofesi ganda ini. Perampok
sekaligus penyair.

(Disusul suara letusan, Ganda rubuh berdarah-darah. Hening. Ruben mengisi pistol, lalu
diserahkan kepada Lambok. Lambok memandangi kawan-kawannya yang sudah
tergeletak. Wajahnya pasi, tetapi seupaya mungkin disembunyikan)
Lambok
(Tertawa terpaksa). Baik, meskipun aku merasa bahwa keluar masuk penjara lebih baik dari
mati, tidak ada salahnya kali aku mencoba mencicipi maut. (Tersenyum kecut). Tapi aku
menyesal, kalau akhirnya aku mati, tidak sempat memeluk tubuh pelacurku untuk terakhir
kali. Hhm, perpisahan yang menyakitkan.

(Basri menatap tajam. Leman masih sempat menenggak meinuman. Lantas menancapkan
pistol ke rahangnya, meletus, dan tumbang. Yang tersisa saling menatap. Sayup terdengar
lolongan anjing. Mamet bergegas meraih pistol dari tubuh Leman, mengisi, seperti hendak
menuntaskan kepenasarannya: Selamat atau Tamat!)
Dan tanpa diduga, entah bagaimana mulanya, pistol meletus. Basri rubuh, tanpa kata-kata,
tanpa pesan. Sepi sekejap, tipis dengus napas.

Braga
Sekarang kau!

(BragaBadheg sambil memberikan pistol itu kepada Giring. Giring menggigil. Wajahnya
pucat pasi. Peluhnya berleleran di sana sini)

Braga
Ayo pengecut! Hanya yang berdarah jawara yang berani menentang maut. Aku keparat
berdarah ayam, tapi kau lihat sendiri, aku yang pertama kali berani memulai permainan ini.

121
(Pistol diterima dengan terpaksa. Tangannya gemetaran. Ruben merasakan, jarak antara
hidup dan mati tinggal sejengkal)

Ruben
Bagaimana kalau uang ini kita bagi rata.
Braga
Enak kali kau. Kau bidikkan pistol ini atau aku yang membidikkan ke jidatmu!

(Giring mengarahkan pistol itu tepat di keningnya. Ia mencari posisi. Keraguan masih
menyergapnya. Namun, mendadak ia menodongkan pistol itu ke arah Braga. Sekali-dua
kali ia tarik picunya. Tetapi tak ada letusan. Braga lekas-lekas menendang pistol itu dari
tangan Giring. Pistol terpelanting. Braga berupaya meraih pistol, namun Giring terlebih
dulu menghunus belati. Mereka bergumul, bertarung, bergulingan)

Braga
Curang kau! Kau yang pantas disebut banci! (Berteriak terus, memaki-maki!)
Ruben
Jangan sebut-sebut aku banci! Aku keparat tulen! Tetapi keparat mana yang tidak takut mati!
Aku keparat yang takut mati!

(Masih saja bergumul. Terus. Sampai terdengar erangan panjang dan napas yang
berkelebat)

Ruben
Mampus kau keparat berdarah ayam! Mampus kau! (Suara serak memekik)

(Senyap. Kemudian suara langkah yang tertatih. Dari pojok yang gelap, muncul Braga
dengan belati bercucur darah dan napas yang terengah. Wajahnya kusut. Braga
menenggak minuman. Menyulut rokok. Malam telah bangkrut. Angin pagi telah bertiup.
Satu per satu meyat- mayat itu dipandangi Braga. Di depan lima mayat yang terkapar itu,
Braga melakukan upacara kecil untuk memberikan penghormatan terakhir kepada kawan-
kawannya. Braga menatap tas berisi uang ratusan juta. Ia tumpahkan uang itu di atas
meja. Ia bagi enam tumpuk. Tetapi suara sirine yang meraung, decit mobil dan suara
ancaman melalui megaphon dari luar mengejutkan Braga.

122
Suara-suara
Kalian sudah terkepung! Keluarlah!
Suara-suara
Jangan coba-coba untuk lari!
Suara-suara
Turuti saja perintah kami!
Suara-suara
Jatuhkan senjata kalian, dan letakkan tangan di atas kepala!
Braga
(Berkemas-kemas hendak lari. Tapi masih sempat berbicara kepada mayat-mayat). Jujur, aku
tidak bangga menang dalam permainan ini. (Mengambil lima tumpukan uang, lalu
menyerahkannya kepada mayat-mayat itu). Kalian keparat-keparat hebat. Ini bagian kalian.
(Kepada sebujur mayat, entah mayat siapa) Maaf, kali ini aku tidak membayar hutangku
padamu.

(Suara-suara polisi bersahut-sahut. Sirene. Megaphon bertalu-talu. Musik tetabuh. Braga


menyurukkan uang bagiannya ke dalam tas. Menatap mayat-mayat sesaat, lalu
menghilang.)

SELESAI

123
Alibi
Karya: Aucintia Agnes Romora Br Manik

Ihan berlari di sekitar panggung. Melakukan peregangan. Mengitari panggung, lalu keluar.
Ihan masuk kembali. Melakukan peregangan. Lalu keluar.

Andya memasuki panggung. Letih. Menghela napas. Menangkap bangku kosong dengan
sorot matanya. Menghela napas. Duduk.

Andya: Sejuk. Menikmati udara sebentar, nyaman, nikmat sekali. Tak terasa bau bata, ngilu
potongan pipa, desak abu semen di dada, dan ah…segala lagu palu memukul waktu. Tetap,
tak ada kicauan, sama seperti kemarin. Kupikir tiba-tiba musim di utara akan membawa
sekumpulan burung, bermigrasi. Ah ya… barangkali mereka belum tiba, sesuatu di atas sana
menutup jalannya. Awan terlalu tebal, atau cuaca yang tiba-tiba tak bersahaja. Tapi tak apa
karna tak ada jerit serine yang menendang perut-perut kami yang lapar. Ah, kurasa badanku
akan berhenti diperas kalau hasrat mereka sudah kami penuhi. Tapi tidak juga, manusia tak
pernah puas. Semakin bisa menggapai sesuatu, semakin haus dia untuk lebih lagi. Setelah
mencakar langit dengan tumpukan bata yang kami buat, barangkali mereka akan bertani
mawar atau sekadar menuang anggur sambil berpesta topeng di celah awan. Apa mereka pikir
dengan begitu mereka gagah di hadapan Tuhan?

Ely memasuki panggung. Melihat sekitar. Berdiri di sisi bangku menatap Andya yang
menengadah. Ely duduk setelah mereka melakukan kontak mata. Sibuk dengan dunia
masing- masing.

Andya: Sudah tanggung untuk datang dan diam disini. Hari, seperempat lagi akan habis.

Ely: Saya baru selesai urusan kampus, baru ada waktu.

Andya: Awan terlihat gelap dan mengepal padat. Sebentar lagi akan hujan.

Ely: Menurut ramalan cuaca tidak. Saya harus duduk disini, ada yang harus saya capai.

Andya: Saya lebih dulu duduk disini.

Ely: Tidak ada yang menyangkal. Tak ada juga yang akan memberi penghargaan pada orang
yang pertama kali duduk disini. Mengambil botol minuman bekas. Barangkali tropi ini bisa
membuktikannya. Di taman, selagi kosong, bangku halal untuk ditempati.

Hening sebentar.
Andya: Pada usia-usia sepertimulah keberkahan sesungguhnya dalam hidup didapat. Tanganmu
hanya perlu menekan beberapa kali layar gawai, berbicara dengan investormu disebrang sana,
maka digit saldo rekeningmu bertambah.

124
Ely: Tak semudah itu. Tidak semua orang bisa melakukannya. Oh, jariku mahir menekan layar
ponsel hingga mampu membuat digit rekeningku bertambah.

Andya: Ou,, tentu saja. Tentu saja ketika menyampaikan maksud kau memberi sedikit
kebohongan agar terkesan penting dan genting. Hal itu halal saja, sudah biasa dikalangan kalian.
Aku tau akal bulus itu. Jangan kira karena aku punya handuk leher yang bisa diperas, aku tidak
pernah merasakannya. Sebelum dipecundangi dunia, aku juga pernah duduk dan berkutat
dengan diktat diktat yang tiap halamannya berisi paradigma dan hanya bisa dilakukan oleh pada
orang- orang beruntung.

Ely: Kalau kau tahu, kenapa tidak kau coba? Kalau berhasil, mungkin handuk lehermu tidak
sebasah itu.

Andya: Aku tidak punya waktu untuk itu.

Ely: makanya kau datang lebih dulu kan? Ini pembukaan yang berat. Kau sudah terlalu jauh
memberitahu. Padahal hal terdini belum terjadi untuk kita saling tau. Ini jumpa pertama kita.
Nama saja belum saling sebut. Untuk apa kau memulai diskusi mengenai hidup yang berat
ditaman yang sejuk seperti ini? Kau seolah menggambarkan kehidupan kita di handuk lehermu.

Andya menyeimbangkan handuk lehernya yang timpang.

Andya: Menarik-narik ujung handur leher, sekadar memain-mainkannya. Bicara tanpa


melihat Ely. Hanya sebagai pengingat. Anggap saja aku ini alarm dari Tuhan.

Ely: Murni sekali. Tapi sayang, terkadang seseorang teramat senang mengaku-ngaku, orang
yang begitu itu bisanya tidak tahu garis batas antara empati tinggi dengan menghakimi.

Andya: Haha. Sayang juga, manusia acap kali bengal untuk hal penting yang disampaikan orang
asing. Terlebih saat melihat siapa yang bicara. Penilaianmu terhadap bobot bicaraku apa diukur
dari handuk leherku yang lembab ini?

Ely: Apa pembicaraan ini sudah boleh membawa bawa manusia sebagai objek penghakiman
semata agar bahasa yang keluar terdengar meyakinkan? Kau ini sebenarnya memposisikan diri
sebagai alarm Tuhan atau mau mencoba jadi Tuhan? Aku khawatir, aku merasa sedang di hisab,
seperti handuk anda yang kembali timpang itu. Sebelah kiri lebih berat.

Muncul Ihan, duduk. Bangku penuh. Pas untuk mereka bertiga. Tidak ada ruang kosong.
Andya tidak nyaman. Ely buang muka. Mecoba fokus. Andya tidak nyaman. Menatap Ihan.
Ihan tidak acuh. Andya tidak nyaman.
Andya: Gerah. tak bisa geser?

Ihan: Tidak ada ruang kosong. Hanya bangku ini yang tersisa.

Andya: Jadi tak mau geser?

Ihan:
Tidak.

Andya:

125
Tidak?

Ely: Tak
mau?

Ihan:
Tidak.

Menunjuk tidak ada ruang kosong lagi.

Andya: Satpol PP harusnya membuat bangku di taman ini lebih luas atau katakanlah lebih
panjang sejengkal. Begini sangat sempit, seperti di angkot pada jam-jam siswa pulang sekolah.

Ely: Apa takaran luas atau katakanlah lebih panjang sejengkalnya Satpol PP denganmu itu
sama?

Ihan: Lagipupla, apa Satpol PP yang mengurusi ukuran bangku taman? Apa di SK mereka ada
pasal yang mempengaruhi integritas mereka dengan ukuran bangku taman? atau barangkali gaji
mereka akan dinaikkan, jika ukuran sejengkal mereka sama denganmu? Lucu sekali Tertawa
mengejek

Andya:

Iya. Ihan:

Iya? Ely:

Iya.

Andya: Tak percaya?

Ihan: Ragu. Aku rasa wajar jika ragu pada apa yang dikatakan orang asing.

Andya: Untuk taman ini, aku bukan orang asing. Bahkan jika bicara lebih jauh, aku sudah bisa
dikatakan menyatu dengan segala yang ada di Taman ini. Saban petang aku duduk di bangku
ini. Tak jarang telentang untuk meluruskan lekuk punggung yang seharian bekerja menyusun
batu, memotong besi ulir, menakar dengan water pas, kacoan semen, dan gosip murahan para
kuli tentang dapur yang senang berhutang. Taman ini sudah seperti istana dan bangku ini adalah
singgasananya. Kalian tau Ratu? Mengangkat sedikit dagunya, merentangkan tangan, percaya
diri.

Ely: Pantas saja kau mengajakku bicara topik yang sangat berat. Arahnya menyuruhku pergi?
Ihan: Wah, tamak sekali. Meski pelanggan tetap disini, tapi kan ini bukan punyamu seorang.
Menepuk-nepuk sepatu. Istana dan singgasana, itu hanya anggapanmu saja. Aku tidak melihat
namamu dibangku atau tong sampah ini.

Andya: Kau tau apa?

Ihan: Tidak banyak. Cukup dari dua pasang mata kalian yang tak terlihat akrab.

Ely: Kau cepat dan agak tepat menyimpulkan sesuatu. Memang benarlah kau wanita. Sudah

126
berapa putaran? Bulir di keningmu berkerumun sekali.

Ihan: Sekitar tiga jam sudah aku mengelilingi taman ini. 1300 kalori Melihat Smart Watch,
bagiku masih kurang. Besok akan kutambah. Aku harus membakar lebih banyak lemak lagi.

Andya: Apa yang kau keker?

Ihan: Ideallah. Ukuran masyarakat kita kan ideal.

Ely: Sungguh tak bahagia, Kau terlihat tidak bahagia.

Ihan: Karna kebahagiaan berbanding lurus dengan penerimaan, jadi aku akan bahagia kalau aku
sudah diterima.

Andya: Siapa yang kau harapkan menerimamu sedangkan kau melakukan penolakan pada
dirimu. Lagian mau kurus sebagaimana lagi? Itu sudah pas.

Ely: Aku sepaham dengan orang ini. Tambahan dari menurut pendapat pribadiku, sah saja kalau
kau olahraga, itu baik. Tapi apakah baik jika menyiksa diri?

Ihan: Siapa yang menyiksa diri? Aku tidak merasa sedang menyiksa diriku. Ini adalah upaya
untuk mencapai apa yang ku mau.

Andya: Kau merasa tidak menyiksa diri karna batinmu lebih perih lukanya sampai-sampai kau
mengabaikan tubuhmu yang sudah lelah. Berhentilah membuat dirimu sakit. Pun saat kau sudah
mencapai sesuatu yang kau keker itu. Kujamin tidak semua masyarakat menerimamu.

Ely: Wah wah… daritadi bicaramu kelihatannya gagah sekali. Menjamin selera masyarakat?
Sungguh eksentrik, nyentrik, artistik, dramatik, puitik, tapi picik.

Ihan: Itu dilakukan orang-orang sepertinya, agar ada yang percaya pada perkataannya yang
tidak didukung data-data. Jadi dia menyokong perkataan itu dengan keyakinannya.

Andya: Lagi-lagi memandang sebelah mata. Meski tidak selesai duduk di bangku yang menyatu
dengan meja kecil menghadap layar proyektor, aku ini banyak belajar dari alam semesta ini,
salah satunya dari orang-orang yang lalu lalang. Bukankah kalian sepakat kalau ilmu sejatinya
didapati dari sekitar?
Aku pernah mengamati, kalau kalau seorang itu kurus maka dia dianggap tak terurus. Kalau
gemuk, dikatakan seperti kardus. Rumus perhitungan gemuk dan kurus belum tuntas. Garis
antara gemuk dan kurus inipun tidak lurus. Contohnya kau ini, kau menganggap dirimu gemuk
dan berambisi menguruskannya, padahal kalau kulihat, postur tubuhmu ideal.

Ely: Kali ini aku sepakat dengan dia. Meski tak ada data dan sumber referensi yang pasti, apa
yang dia katakan aku rasa benar.

Ihan: apa benar begitu?

Andya: Benar.

Ihan: Segini apa memang sudah bisa dikatakan ideal?

127
Ely: Sudah. Jangan ragu. Aku ini orangnya intens mengamati. Percayalah.

Andya: Pulanglah, jangan terlalu lama disini. Senja sudah merah betul. Dirumah, jangan banyak
merenung apalagi sampai mengurung diri. Selain pujian dari orang-orang, coklat dan gula
rasanya manis. Ciciplah beberapa. Baik untukmu jika tidak berlebih. Tak ‘kan ada yang
menggunjing kalau kau segini atau bertambah satu, dua kilo lagi. Kau cukup kalau kau katakan
kau cukup.

Ihan: Apa dengan badan segini, bola mata mereka tidak diujung lagi ketika menatapku? Apa
sorot dari mata-mata itu lebih ramah? Tidak menyeramkan seperti aku di SMA dan saat awal
masuk kuliah?

Andya dan Ely mengangguk.

Ely: Aku tidak tahu bagaimana bentukmu dulu, tapi sekarang kau terlihat baik. Mulailah berani
bangga pada dirimu, entah dimulai dari kaca sampai nanti ke lensa kamera.

Andya: Tarik ujung bibirmu dan pulanglah dengan langkah ringan dan dada yang lapang.

Ihan: Terimakasih. Aku sedikit lega. Aku akan mencoba. Kalian baik sekali. Memang benar,
penghiburan tidak selalu datang dari orang terdekat. Bisa jadi berasal dari orang yang baru
pertama kali dilihat. Semoga kita bertemu kembali dan bisa menjadi teman. Permisi.

Ely: Selamat telah lepas dari bayang pujian. Jangan tumbang ketika ada yang menggunjingmu
nanti.

Ihan melangkah keluar.

Andya: Hati-hati dijalan. Kami tidak selalu dijiwamu, tapi taman ini selalu menjamu. Datanglah
kalau penat. Jangan berhenti berolahraga dan menjadi obesitas. Sampai jumpa!

Ely sudah diujung panggung, keluar.


Ely: Hei.. Mau dia berhenti berolahraga atau tidak, itu urusannya.

Andya: Memang. Siapa yang bilang itu urusanku? Atau urusan kita? Sedari awal itu urusannya.
Kita hanya menciptakan percakapan agar taman ini tidak hanya sekadar area lari bagi kakinya.

Ely: Eii, sejak kapan aku dan kau jadi kita? Kata kita itu kompleks. Digunakan saat aku dan kau
berada dipihak yang sama atau katakanlah aku dan kau sepakat pada pemahaman yang sama.

Andya: Jangan memberat beratkan makna kata. Secara naluriah kita sudah sepaham akan
beberapa hal tadi. Aku tebak jiwamu sepi makanya kau disini. Tapi itu tidak baik. Sebagai
seseorang yang mau memanjangkan namanya dengan gelar seperti kau ini, janganlah lama
tinggalkan proposal itu. Pulanglah, kembali berjuang. Agar nanti kau keluar sebagai pemenang.

Ely: Dan kau?

Andya: Dan aku akan rebah menengadah langit. Sambil bertanya sisi langit mana selanjutnya
yang akan ku cakar? Awan mana yang akan tergores? aku tidak tahu, tapi yang pasti, lantai tiga
puluh dua ku sudah menunggu untuk dirampungkan. Besok, kantongku akan berisi meski

128
setimpang dengan keringat yang ku keluarkan, walau bau uang itu tidak cukup untuk
menghilangkan bau keringatku, yah,, akan kuterima. Waktu berjalan, beberapa manusia
kehilangan peluang. Bumi berputar, beberapa manusia terdampar.

Ely: Perkataanmu menghipnotis. Kalau boleh aku tau tanpa maksud ingin mendobrak
privasimu. Kau ini sebenarnya siapa?

Andya: Bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang manusia yang bersaing untuk bertahan hidup
dengan tujuh milyar manusia lainnya.

Ely: Apa benar manusia saat ini sebanyak tujuh milyar?

Andya: mengedipkan mata beberapa kali e.. tentu saja, tapi agar kita lekas mencapai puncak
diskusi, akan kuulangi dengan kalimat yang kita sama-sama sepakat.

Aku ini bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang manusia yang bersaing untuk bertahan hidup
dengan milyaran manusia lainnya. Tidak spesial, banyak sialnya, kadang-kadang suka membual.
Jalanku berliku dan licin. Di kampung orang ini aku menjadi mahasiswa, perjalananku berliku,
memiliki beberapa gang dan tak jarang buntu. Daripada mengeluh, aku menikmati posisiku
sebagai mahasiswa yang mengambil cuti dan kebablasan. Bagai tentara yang tak tahu area
perang. Kuharap kau tidak seperti aku. Pulanglah, langit akan gelap, dan malam akan genap.

Ely: Aku jadi ingin tahu lebih dalam, maafkan aku tapi beginilah sifat dasar manusia. kita acap
kali kalah dengan rasa penasaran kita. Aku akan bertanya lebih jauh, izinkanlah. Pilu mana yang
membuatmu sampai jauh begini?

129
PENJAJA KERETA SORONG (the pushcart peddler)
KARYA: MURRAY SCHISGAL
TERJEMAHAN : TAGUAN HARJO

LAYAR NAIK
LAYAR BELAKANG, DILUKISI HAMPIR SECARA GAMBAR FOTO, DALAM SUSUNAN SIMETRIS TAMPAK;
KANTOR BEA CUKAI, DARI SISI DEPAN DAN SAMPING, BANGUNAN – BANGUNAN LAIN YANG LEBIH
KECIL DI DEKATNYA. BEBERAPA TONG KECIL SERTA PETI – PETI KAYU DI KANAN KIRI LAYAR
BELAKANG TERSEBUT. TONG SAMPAH TERTUTUP, DI DOWNSTAGE

SUARA : BUNYI – BUNYI KESIBUKAN DI DERMAGA, BUNYI PELUIT KAPAL

MUSIK : DALAM GAYA BAGIAN RAGTIME LAGU “SUITE FOR VIOLIN AND JAZZ PIANO”

CORNELIUS, BERBAJU ROMPI, BERBAJU DALAM TANPA KERAH, CELANA KEMBANG KOMBROH DAN
TOPI BULAT, SEDANG DUDUKDI ATAS PETI DI SAMPING KERETA SORONG PENOH PISANG, KAKINYA
BERSILANG DAN SEBUAH SURAT KABAR TERBENTANG LEBAR MENUTUPI WAJAHNYA. SHIMMEL
MASUK, MEMANDANG KELILING, DAN MELINTASI PENTAS, MEMBAWA KOPOR TUA, BERPAKAIAN
STELAN JAS KUMUH, BERBAJU DALAM YANG KERAHNYA BUKA DAN DIGANTUNGI DASI LONGGAR,
DENGAN TOPI PET LUNAK DI KEPALANYA.

MUSIK BERHENTI.

Cornelius
(Sementara Shimmel berlalu, menjenguk dari balik Koran) Pisang. (Shimmel berhenti, berpaling ke
Cornelius, sesaat menunggu sambungan kata, kemudian meneruskan langkahnya. Kepala Cornelius
nongol lagi dari balik Koran) Pisang...!

Shimmel
(Berhenti lagi) Maaf…

Cornelius
(Bangkit dari duduknya, melipat Koran dan meletakkannya ke atas kereta sorongnya: dengan gaya
bersemangat) Hari yang cerah! Pagi yang indah! Pagi tadi aku bangun dengan umpatan “Hari ini pasti
hari brengsek” Tapi lihat. Lihatlah sendiri. Hari ini ternyata hari yang apik. Tak pelak hari yang
aduhai…! Sekedar menunjukkan, bahwa kita tak boleh sok tahu di dunia ini. (membuka kantong
kertas, menawarkan) Mau berapa?

Shimmel
Berapa apa?

Cornelius
Mau pisang berapa banyak?

Shimmel
Aku tak butuh pisang.

Cornelius
Anda tak butuh pisang?

130
Shimmel
(Menggelengkan kepala) Tidak.

Cornelius
Jadi kenapa anda menghampiri saya?

Shimmel
Kusangka anda berbicara pada saya.

Cornelius
Anda sangka? Kenapa saya harus bicara pada anda? Anda seorang jutawan? (Shimmel
menggelengkan kepala) Anda seorang politikus? (Shimmel bergeleng lagi) Kalau begitu mengapa
saya harus berbicara dengan anda?

Shimmel
Saya. Maafkan saya. Saya silap. Memang hari ini indah sekali. Permisi. (Beranjak pergi)

Cornelius
(Melemparkan kantung kertas ketempatnya semula) Orang – orang sok. Datang – datang
mengumbar gaya. Woi! Kau!

Shimmel
(Berbalik) Saya?

Cornelius
Siapa kau sebenarnya!?

Shimmel
(Membuka topi pet, memasukkannya kedalam saku jas) Shitzman. Shimmel Shitzman.

Cornelius
(Bagai terperanjat) Kau ini Shimmel shitzman?

Shimmel
Anda kenal pada saya?

Cornelius
Kenapa aku harus kenal? Kau seorang jutawaan? (Shimmel bergeleng kepala) Kau seorang yang
disanjung? (Shimmel bergeleng lagi) Nah, mengapa aku harus kenal padamu?

Shimmel
Kusangka. Anda ini.

Cornelius
Kau asal mana, Shimmel Shitzman?

Shimmel
Dari daerah sekitar Kovno-Vilna.

Cornelius
(Terperanjat lagi) Kau dari daerah sekitar Kovno-Vilna?

Shimmel
Anda pun dari daerah sekitar Kovno-Vilna?

131
Cornelius
(Menyapu pisangnya dengan bulu ayam) Kebetulan sekali, tidak. Aku datang dari daerah sekitar
Minsk-Pisk.

Shimmel
(Girang) Minsk-Pisk! Waduh itu jaraknya boleh dibilang cukup berjalan kaki saja dari daerah sekitar
Kovno-Vilna. Kita ini sebenarnya boleh dibilang bertetangga!

Cornelius
Kau kaget ya?

Shimmel
Terus terang sangat kaget. Kau orang pertama pula yang kuajak ngomong sejak aku turun dari kapal.
Dan ngomong dengan seorang yang pernah bertetangga denganku di negeri asal, itu kusebut
kesandung nasib baik. Apa boleh kuajukan beberapa pertanyaan, kawan tetangga?

Cornelius
(duduk) Asalkan jangan terlalu panjang, kawan tetangga. Kau kebetulan nongol di tengah jam
kerjaku.

Shimmel
Usaha lagi baik?

Cornelius
Usaha lancer. Sangat lancer.

Shimmel
Kapan kau datang dari Misk-Pisk?

Cornelius
Ini hari selasa atau hari rabu?

Shimmel
Rabu

Cornelius
Kalau begitu, aku tiba kemarin.

Shimmel
(Meletakkan kopornya) Kau tiba kemarin dari Minsk-Pinsk?

Cornelius
Tepat Sekali.

Shimmel
Lantas kau langsung buka usahamu sendiri?

Cornelius
Tepat sekali. (Menyalakan puntung cerutu)

Shimmel
Bah, hebat sekali, luar biasa!

Cornelius
Kau kira ini hebat, luar biasa? Aku baru dengar cerita tentang orang yang berasal dari daerah sekitar

132
Ozrokov-Pruszjov yang tiba di waktu pagi dan waktu ia duduk makan siang, ia sudah memiliki dau
buah pabrik dan gudang dan sebuah hotel di Catskill Mountains!

Shimmel
Gila! Bukan main negeri ini! Sungguh negeri dahsyat! Tak sabar jadinya aku ingin mulai buka usaha
sendiri pula, tapi…

Cornelius
Tapia apa?

Shimmel
Aku tak tahu mulainya dari mana.

Cornelius
Nah, karena kita berasal dari daerah yang sama. Barangkali kau dapat kukasih beberapa kode isyarat.

Shimmel
(Duduk ke atas kopornya) Aku akan berterima kasih sekali, lebih dari apa saja di dunia.

Cornelius
(Dengan sungguh-sungghu) Kau mau dengar?

Shimmel
Aku mau dengar.

Cornelius
Kau penuh perhatian?

Shimmel
Aku penuh perhatian.

Cornelius
Pertama yang harus kau lakukan…

Shimmel
Ya..?

Cornelius
Adalah membeli sebuah nama Amerika.

Shimmel
Membeli sebuah nama Amerika?

Cornelius
Tidak bisa tidak, itulah yang paling penting. (Menginjak punting cerutunya, mengeluarkan beberapa
lembar kertas dari saku rompinya) Kemudian kuceritakan satu hal, kawan tetangga: Hari ini hari
baikmu. Kebetulan sekali aku punya beberapa nama Amerika untuk dijual.

Shimmel
Tapia apa salahnya nama Shimmel Shitzman?

Cornelius
Shimmel Shitzman? Kau bakal ditertawai keluar dari negeri ini dengan nama macam itu. Kau tahu
nama asliku waktu turun dari kapal? (Shimmel bergeleng kepala) Ellas Crapavarnishkes.

133
Shimmel
Crapavarnishkes. Itu bukan nama yang jelek. Pernah kukenal nama seorang hakim dari daerah Lvov
yang namanya Crapavarnishkes. Ia seorang yang amat dihormati.

Cornelius
Hakim kau si Crapavarnishkes itu ternyata tak kebagian kerja sebagai penyapu jalanpun sesampainya
di sini. Perkara pertama yang ku urus seturunnya dari kapal adalah membeli nama baru dan sah. Dan
sejak itu aku jadi makmur diluar dugaanku yang paling gila.

Shimmel
Sungguh gila. Apa nama Amerikamu?

Cornelius
(Dengan logat ke-inggris-an) Cornelius J.Hollingsworth.

Shimmel
Bah…!

Cornelius
Yang ketiga.

Shimmel
Yang ketiga?

Cornelius
Tepat sekali. Aku kena bayaran lima belas dolar dengan inisial tengah, ditambah denga Yang Ketiga.
Nah, bagaimana kau, Mr. Shitzman? (sambil membaca-baca dari surat-suratnya) Ada nama Hamilton
seharga lima dolar. Sylvester Peterson seharga enam setengah, Thomas Hathaway, enam dolar lima
belas sen, Roger Wiliams Carnegie, Lima tujuh lima, Samuel P.Stone, Lima dolar bebas pajak…

Shimmel
Maaf, Mr. Hollingsworth. Aku tak mungkin merobah namaku. Ia sudah ada dalam keluargaku
semenjak turun temurun. Aku lahir sebagai Shitzman dan agaknya aku harus mati sebagai Shitzman.

Cornelius
(Mengembalikan surat-surat itu kedalam kantongnya) Suka hatimu. Tapi jangan kau bilang aku tak
berusaha menolongmu. Ini sekedar mengingatkan diriku: urus urusan diri sendiri, supaya tak
kerepotan. (Secara tak acuh lagi membentangkan lagi korannya didepan wajahnya)

Shimmel
(Bangkit, mengangkat kopor) Mr. Hollingsworth?

Cornelius
(Dari balik Koran) Ada apa lagi?

Shimmel
Boleh aku Tanya satu kali lagi?

Cronelius
(Dari balik korannya) Sudah kubilang, aku sibuk! Tak bisa aku sepanjang hari duduk di sini mengoceh
denganmu!

Shimmel
Satu saja lagi pertanyaanku dan sehabis itu takkan kuganggu lagi. Aku janji.

134
Cornelius
(Mengesampingkan korannya) Coba. Apa itu? Apa itu?

Shimmel
(Meletakkan kopornya) Dimana menurut pendapatmu aku bisa cari lowongan?

Cornelius
Lowongan? Kenapa kau mau mencari lowongan?

Shimmel
Untuk bekerja. Untuk mendapat duit…

Cornelius
Omong kosong. Tidak ada orang datang kenegeri ini untuk mencari lowongan. Tak ada masa depan
dalam lowongan. Kau harus membuka bisnis. Itu satu – satunya cara yang paling layak untuk mencari
nafkah disini.

Shimmel
(Balik menduduki kopornya) Tapi aku tak tahu apa – apa tentang buka – membuka usaha bisnis. Aku
seorang pekerja. Aku berpengalaman sebagai tukang kaleng, tukang kayu, tukang…

Cornelius
Kalian penduduk dari daerah sekitar Kovno-Vilna semuanya Cuma segerombolan kepala batu! Apa
tahuku tentang soal memasuki bisnis ketika turun dari kapal? Tak ada. Samasekali kosong. Dulu aku
tukang sepatu, tukang jahit kulit lembu. Tapi apa itu menjadi penghalangku? Jangan kepalang.
Kupakai otakku dan di sinilah aku jadinya: dalam bisnisku sendiri!

Shimmel
Tapi jenis usaha apa yang dapat kumasuki? Aku tak punya banyak modal…

Cornelius
Oh, tak kurang usaha yang menguntungkan untuk kau masuki. Kenapa tak kau buka matamu dan
memandang keliling untuk melihat apa yang tersedia? (Sementara Shimmel “memandang keliling”,
Cornelius memasang papan bertuliskan DIJUAL ke atas kereta sorongnya) Andaikan aku ini ka, Mr.
Shitzman, kutangkap usaha pertama yang dijual orang, lantas langsung bekerja. Aku takkan buang –
buang waktu. Di negeri ini kejadian – kejadian berkangsung cepat. Cepat sekali. Kau terpaksa harus
bangkit berdiri berjinjit supaya tak ketinggalan. (Kembali membentangkan korannya di depan
kepalanya)

Shimmel
(Berpaling kea rah papan bertulis di kereta sorong) Mr. Hollingsworth?

Cornelius
(Dari balik Koran) Ya..?

Shimmel
Usahamu ini, apa dijual?

Cornelius
(Meletakkan Koran ke samping, bangkit berdiri) Kau..?

Shimmel
(Mengangguk) Aku.

135
Cornelius
Hmmm. Itu pertanyaan yang berat. Biar aku mendengar dulu caramu mengetakan : Pisang.

Shimmel
Pisang.

Cornelius
Hmm.. Kau tidak tanpa bakat. Coba kudengar kau membilang : Pisang, pisang, sini ambil pisangmu
yang masak-segar!

Shimmel
Pisang, pisang, sini ambil pisangmu yang masak-segar!

Cornelius
Coba lagi sedikit nyaring dan coba teriak dari sisi mulut kau supaya suaramu ada nilai warna
khususnya: Pisang, pisang, sini ambil pisangmu yang masak-segar!

Shimmel
(Menirukan, dari sisi mulutnya, memiringkan lehernya) Pisang, pisang, sini ambil pisangmu yang
masak-segar.

Cornelius
Salah, salah, tanganmu harus kau buangkan kedepan, dari samping, seperti seluruh jalan ini punya
kau. Dan hentakkan sedikit kakimu. Kayak begini. (Memberi contoh dengan tambahan menyentuh
topi bulatnya pada kata terakhir, Pisang, pisang, sini ambil pisangmu yang masak-segar!) (Kepada
Shimmel) Coba lagi. (Memakaikan topi bulatnya ke atas kepala shimmel, kemudian pergi duduk di
atas tong sampah)

Shimmel
(Menirukan) Pisang, pisang, sini ambil pisangmu yang masak-segar! (Menyentuh topi bolat).

Cornelius
Hebat, hebat. Bagaimana rasanya?

Shimmel
Enak, rasanya enak.

Cornelius
Apa rasamu rileks? Apa rasmu nyaman?

Shimmel
RAsaku sangat rileks dan nyaman.

Cornelius
(Bangkit) Sekarang kubilang sesuatu yang maha penting, Mr. Shitzman: antara kita berdua dan
kereta sorong ini, kau akan menjadi kaya raya dalam bisnis ini.

Shimmel
(Kegirangan) Kau pikir begitu?

Cornelius
(Mengambil topi bulatnya dari kepala Shimmel dan mengembalikannya ke atas kepalanya sendiri)
Aku tahu begitu. Itu suatu kepositipan yang pasti.

136
Shimmel
Bisa kena berapa aku?

Cornelius
(Mendekti keretanya dengan dilebarkan) Bisnis keseluruhannya?

Shimmel
(Mengangguk) BIsnis Keseluruhannya.

Cornelius
Hmm. Aku dapat, tidak, tidak, aku tak dapat melakukannya. Kita boleh dibilang dari daerah yang
sama. Coba kutanya dulu, Mr. Shitzman. Berapa uangmu semua?

Shimmel
Uangku yang jelas.. (Mengeluarkan dompetnya) Empat puluh tiga dolar dan dua puluh lima sen.

Cornelius
Bisa kau tambahi lagi enam dolar dan tujuh puluh lima sen sebelum jam lima sore nanti?

Shimmel
(Duduk ke tong sampah) Caranya? Aku taka da kenalan disini.

Cornelius
(Duduk ke atas peti) Sayang sekali! Sulit rasanya kujual dibawah lima puluh dolar, kecuali… (Bangkit)

Shimmel
(Bangkit) Kecuali apa?

Cornelius
Kecuali kalau kuambil kembali sesisir pisang untuk menutupi selisih harganya.

Shimmel
Sesisir pisang harganya enam dolar tujuh puluh lima sen?

Cornelius
(Mengangkat sesisir pisang) Kau bersungguh – sungguh? Kau tahu apa namanya pisang sesisir di
negeri ini? (Shimmel bergeleng. Cornelius menudingkan telunjuknya keatas) Jari – jari Mas.

Shimmel
Hebat! Terimalah, Mr. Hollingsworth. (Menyerahkan uangnya) Aku jadi penasaran ingin langsung
memulai. Apa aku memerlukan surat – surat untuk membuktikan kepemilikanku?

Cornelius
(Pisang dikepit dibawah ketiak) Itu bisa kau dapati terletak di bawah pisang kelima baris keempat
dari kiri. (Berjabat tangan) Selamat, Mr. Shitzman.

Shimmel
Terima kasih, Terima kasih, Mr. Hollingsworth.

Cornelius
(Pergi) Aku harus cabut sekarang. Kalau kau mau jual lagi pergilah ke dermaga 26 dan carilah yng
namanya Pete. Mudah berurusan dengan dia.

Shimmel
(Berseru) Terima kasih sekali lagi, Mr. Hollingsworth. Datanglah kemari sesekali. (Musik. Shimmel

137
memegang topi petnya, meletakkannya diatas kopor, lalu memeriksa kereta sorong dengan penuh
rasa bangga, mengipas debu dari pisang dengan bulu ayam, memandang kesekitar seperti memiliki
seluruh jalan. Tiba – tiba ia berseru dengan lengan meluncur maju dan kaki disentak menirukan gaya
Cornelius) Pisang, pisang, sini ambil pisangmu yang masak-segar! (Balik ke kereta sorong, menyentak
kantong kertas dan membukanya, seperti menghadapi kerumunan calon pembeli. Dan sabar ia
mengembalikan kantong kertas ke tempatnya, duduk ke atas peti disamping kereta sorong,
menyilangkan kaki dan membentangkan Koran menutup wajahnya. Offstage, terdengar suara
corneliusberteriak: “Pisang, pisang sini ambil pisangmu yang masak-segar!” Shimmel menurunkan
Koran dan memandang terperanjat kea rah Cornelius yang masuk mendorong kereta sorong kedua,
sama benar dengn miliknya terdahulu, berteriak lebih sering dan lebih nyaring “Pisang, pisang, sini
ambil pisangmu yang masak-segar!” Cornelius menghentikan keretanya tepay berdampingan dan
sejajar dengan kereta shimmel, mengeluarkan peti kayu, mendudukinya dan membentangkan Koran
di depan mukanya. Musik berhenti> Shimmel membuka topi petnya, berbicara lirih, agak bingung)
Mr. Hollingsworth?

Cornelius
(Dari balik korannya) Ya?

Shimmel
kau tidak bermaksud mangkal disini, bukan?

Cornelius
(Dari balik korannya) Tentu saja aku mangkal disini. (Membaca keras-keras) Hmm. Ini berita menarik.
“Pengantin wanita menyambit kue tar ke muka pengantin laki – laki gara – gara dikritik soal bajunya.
Akibatnya seru. Baku hantam antara sanak keluarga tak terelakkan”. (Ketawa terbahak)

Shimmel
Tapi..

Cornelius
Tapi apa?

Shimmel
Apa mungkin kita ini hidup dengan menjual barang yang sama di tempat yang sama?

Cornelius
(Mengesampingkan Koran dan bangkit) Sayang sekali memang tidak bisa. Persaingan akan memaksa
kita untuk menurunkan harga dan kita boleh jadi sama – sama mengalami bangkrut dalam beberapa
hari. (Berteriak) Pisang, Pisang!

Shimmel
(Bangkit pula dengan panik) Mr. Hollingsworth!

Cornelius
Apa lagi sekarang?

Shimmel
Aku tak bermaksud bersikap kasar, tapi kita berdua tidak boleh sama – sama mangkal disini. Kenapa
kau tidak menenggang rasa dan pindah saja ke tempat lain?

Cornelius
Kenapa saya tidak? (Tiba – tiba tajam) Kenapa tidak kau saja menenggang rasa dan pindah ke tempat
lain?

138
Shimmel
Menurut prasangkaku sewaktu kau menjualkan bisnis ini padamu aku bakal menjadi satu – satunya
pengusaha di tempat ini. Kalau tidak, pasti aku berpikir dua kali sebelum membelinya.

Cornelius
Oh, itu prasangkamu! Tapi aku tidak ngomong apa – apa soal pengusaha tunggal, bukan?

Shimmel
Memang tidak, tapi..

Cornelius
Ini negeri merdeka, Mr. Shitzman, dan aku punya hak yang sama seperti kau untuk berjualan di
tempat ini! (berteriak) Pisang, Pisang!

Shimmel
Apa tidak bisa kita bicarakan lagi soal ini? (Lomba berteiak) Pisang, Pisang!

Cornelius
Bicaralah, siapa yang melarangmu? (Berteiak) Pisang, Pisang!

Shimmel
Aku orang baru disini, Mr. Hollingsworth. Aku tak kenal kota ini (Berteiak Gelisah) Pisang, Pisang!

Cornelius
Mr. Shitzman, aku harus hidup juga. Para pelangganku biasa mencari aku disini dan aku tak boleh
mengecewakan mereka. Tak boleh untuk kau maupun untuk Raja Siam sekalipun! (Berteriak) Pisang,
Pisang!

Shimmel
Mr. Hollingsworth, Aku telah memberi uang senku yang terakhir! Aku begitu percaya padamu!
(berteiak Kalut) Pisang, Pisang!

Cornelius
Aku tak bisa menolongmu lebih dari yang sudah kulakukan, Mr. Shitzman! (Brteriak) Pisang, Pis,
(tiba- tiba berpaling ke shimmel) Terkecuali..

Shimmel
Terkecuali apa? (penuh harapan)

Cornelius
Terkecuali kita ini gabung sdebagai partner.

Shimmel
Sebagai partner?

Cornelius
(Mengangguk) Kita berdua.

Shimmel
Bah, itu gagasan menarik, Mr. Ho..

Cornelius
(Cengar-cengir) Panggil saja aku Cronelius.

139
Shimmel
Cornelius, Cornelius, itu gagasan bagus! Anda dapat memecahkansemua problem kita! Kita bisa
bekerjasama, berusaha bersama.

Cornelius
Cuma ada satu penghalangnya.

Shimmel
Apa itu?

Cornelius
(Duduk ke tong sampah) Uang

Shimmel
Uang?

Cornelius
Tepat sekali. Uang. Dan kau tentu tidak bisa berharap bahwa kita dapat menjadi partner sama kuat
dan sederajat dengan semua pengalamanku. Tidak bukan?

Shimel
Tapi aku tak punya uang lagi, Mr. Cornelius. Telah kuberikan semua uang senku yang terakhir
kepadamu, sumpah.. (Mengangkat tangannya)

Cornelius
Apa kau tak bisa meminjam tambahan modal dari kawan atau kenalan atau yayasan dan
kemanusiaan?

Shimmel
(Duduk di petinya) Tak mungkin, sudah kubilang tadi, aku tak kenal siapa – siapa disini.

Cornelius
(Bangkit) Nah, kalau begitu tinggal satu hal yang dapat kita lakukan.

Shimmel
(Juga bangkit) Apa itu?

Cornelius
Berunding. Negosiasi.

Shimmel
Apa kita bisa negosiasi tanpa uang?

Cornelius
Bisa saja.

Shimmel
Bagaimana caranya?

Cornelius
(Menggerakkan tangannya) Sederhana saja. Kau membuat tawaran. Aku menolak tawaran kau dan
mengajukan tawaran balasan. Kau menolak tawaran balasanku lantas kau buat pula tawaran
tandingan atas tawaran balasanku. Aku menolak lagi tawaran tandinganmu dan aku membuat yang

140
disebut proposal, yang dapat menghasilkan proposal balasan dari pihakku, begitu seterusnya,
sampai kita berhasil menghapus selisih angka menjadi nol, sehingga mencapai kesepakatan.

Shimmel
Tapi aku tetap juga tak punya uang sekepingpun.

Cornelius
Kalau begitu, buat apalagi uang. MasyaAllah. Kau ini bebal juga ya? Kita selanjutnya akan
merundingkan soal presentase! (Menggoyangkan tangan bergantian kearah kedua kereta sorong)
Soal besarnya kepemilikan kau dibanding dengan kepemilikan aku. (Duduk ke petinya, menyilangkan
kaki dan membentangkan Koran ke mukanya) Ayo, Ajukan tawaranmu.

Shimmel
Tawaran soal Presentase?

Cornelius
(Dari balik Koran) Tepat sekali. Ajukan tawaranmu.

Shimmel
Baiklah tuan. (Memasang topinya ke atas kepalanya) Maafkan saya, tuan Hollingsworth.

Cornelius
(Koran di pangkuannya di lipat rapi) Baiklah. Anda ingin mengajukan tawaran?

Shimmel
Benar Tuan, tentang kemungkan kita untuk bekerja sama, aku membuat tawaran padamu sebanyak
lima puluh persen atas keuntungan usahaku ini Tuan.

Cornelius
Bagaimana soal pengalamanku yang lebih unggul darimu, Tuan?

Shimmel
Aku akan cepat belajar menjalankan usaha dan kalau aku bekerja dua kali lipat, aku akan dapat
mengimbangi selisih pengalaman kita itu, Tuan.

Cornelius
Tak bisa, Tuan. Dengan hormat aku menolak tawaranmu. (Menutup muka dengan Koran).

Shimmel
(Mendehem tenggorokannya, berbsisik) Sekarang anda mengajukan tawaran balasan. (Tidak ada
tanggapan) Tadi aku tawarkan fifty-fifty, anda harus membuat tawaran balasan. (Taka da tanggapan;
suara keras) Apa anda tak mau mebuat tawaran balasan?Apa aku berbuat hal tak wajar, Tuan?
(panik) Tuan Hollingsworth, Kita harus mencapau kata sepakat! Anda sendiri mengatakan bahwa kita
berdua sama – sama dapat mengadu untung disini! Demi Tuhan, buatlah tawaran balasan.

Cornelius
(Menurunkan korannya) Pisang, pisang masak bagus di sini! (Melindungi wajahnya lagi dengan
Koran)

Shimmel
Gila, gila. Kau tidak jujur. Curang! Aku… (tak disambung) Baiklah, enam puluh empat puluh! Enam
puluh buat kau dan empat puluh buat aku. Setuju, Tuan?

141
Cornelius
(Mengesampingkan Koran; berteriak) Pisang, mari ambil pisang masak manis di sini! (Tanpa
memandangnya, memerintah) Coba berlutut dulu kau. Mohonlah padaku. Ceritakan betapa kau
kepayahan. Katakan betapa keluargamu bergantung pada usahamu. Sentuhlah hati nuraniku.
(Berteriak) Pisang, pisang di sini! Mari ambil pisnag masak di sini!

Shimmel
(Berlutut) Tuan Hollingsworth, aku mohon supaya kau mempertimbangkan tawaranku. Kuanggap
cukup adil. Lagipula aku kehabisan duit. Aku tak punya satu sen pun. Aku tak punya duit untuk
membeli makan malam. Aku tak punya atap diatas kepalaku. (Cornelius bangkit, berjalan mondar-
mandir. Shimmel terhiba – hiba benar, hamper menangis, berbicara dalam nada naik turun) Tuan
Hollingsworth, keluargaku masih tinggal di negeri asal. Mereka sangat tergantung pada kiriman uang
setiap minggu. Aku punya ayah yang sudah tua yang tak bisa bangkit dari tempat tidurnya. Ibuku
menderita artritis dan bulsitis. Kedua adik perempuanku yang kecil tak punya baju untuk sekolah.
Dan adik lakiku yang masih bayi sedang…(Mulai menangis meraung-raung)

Cornelius
(Ikut menangis) Aduh, sedihnya ceritamu. Berapa umur adik lelakimu yang masih bayi itu?

Shimmel
(Menangis makin keras) Entah.. Aku lupa..

Cornelius
(Ikut menangis terus) Dan kedua adik perempuanmu?

Shimmel
(Terus menangis kuat-kuat) Kedua adik perempuanku.. Tanpa busana!

Cornelius
(Masih menangis) Jangan bilang apa-apa lagi, Shimmel. Cukup. Jangan bilang sapatah pun lagi. Aku
akan menolongmu. Aku akan melakukan apa saja maumu.

Shimmel
(Bangkit) Apa itu kita berarti jadi partner?

Cornelius
Enam puluh – Empat puluh?

Shimmel
(Mengangguk) Enam puluh – Empat puluh!

Cornelius
(Memeluknya) Partner!

Shimmel
Terimakasih, Cornelius. Terimakasih! (Mengusap matanya) Aku juga menikmatinya. Tak kusangka
negosiasi bisa begitu menyentuh emosi.

Cornelius
Masih banyak yang harus kau pelajari, partner. Tapi jangan sangsi. Akan kuajari kau semua segi –
segi usaha ini. Mulai sekarang, keuntunganmu sudah di bawah perjanjian keuntunganku. Bagus,
sekarang kita mulai bekerja. Tak perlu lagi cingcong banyak.

142
MUSIK. CORNELIUS DUDUK KE PETINYA DENGAN KAKI BERSILANG, MEMBUKA KORAN MENUTUP
WAJAHNYA. SHIMMEL MENIRU SEMUA TINGKAHNYA. KEMUDIAN CORNELIUS BANGKT, MENGUAP
SEPERTI MENGANTUK, MENJULURKAN TANGANNYA TINGGI, MELURUSKAN KAKINYA SATU PERSATU,
MEMANDANG KELILING, LALU MEMBENTANGKAN SAPU TANGANNYA DI ATAS PETI UNTUK
MENDUDUKINYA, MEMBUKA LAGI SURAT KABAR DI DEPAN WAJAHNYA. SHIMMEL TERUS
MENIRUKANNYA, TAPI SEBELUM MEMBUKA KORAN DI DEPAN WAJAHNYA SENDIRI, MEMBUKA
BICARA. MUSIK BERHENTI.

Shimmel
Cormelius?

Cornelius
(Dari balik Koran) Apa?

Shimmel
Bagaimana jalannya usaha kita?

Cornelius
(Koran di pangkuan) Hebat. Hebat. Kalau jalannya seperti ini, kurasa kita harus membeli kereta
sorong satu lagi.

Shimmel
Apa kita mampu?

Cornelius
Pertanyaan apa itu.

Shimmel
Tak kusangka kita sudah begini berhasil.

Cornelius
Kalau kukatakan kepadamu bagaimana berhasilnya kita, kepala kau bisa bengkak. Jadi lebih baik
jangan membicarakannya supaya bisa giat bekerja.

Shimmel
Baiklah. Aku berjanji. Dari diriku kau takkan mendapat selain kerja keras dan sikap bersungguh –
sungguh.

Cornelius
Itulah yang kuharapkan darimu. Sekarang mari kita bekerja.

KEDUANYA MEMBUKA KORAN MENUTUPI WAJAH MASING – MASING. MUSIK LIRIS ROMANTIS.
MAGGIE CUTWELL, SEORANG GADIS SANGAT CANTIK, DALAM BUSANA ROK HITAM LEBAR, MASUK.
MEMBAWA BAKI YANG TALINYA TERGANTUNG PADA LEHERNYA. BAKI ITU PENUH BUNGA WARNA –
WARNI. IA BERJALAN DENGAN TANGANNYA MAJU MENAWARKAN BARANG JUALANNYA)

Maggie
(Dengan suara sangat manis) Bunga. Bunga. Mari beli bunga cantik yang baru dan segar. (Ia tidak
memandang kepada kedua lelaki itu, kendati berdiri disebelah kereta shimmel. Ia hanya memandang
kedepan sambil menyapu keringat dari wajahnya dengan sehelai kain).

Shimmel
(Mengesampingkan Koran dan membisik) Cornelius? Kau lihat itu?

143
Cornelius
(Mengenyampingkan korannya) Oh iya.

Shimmel
Iya cantik ya?

Cornelius
Aku pernah melihat kepala lebih cantik di atas tanaman sayur kol. Sayang sekali.

Shimmel
Apanya yang sayang sekali.
Cornelius
Ia buta

Shimmel
Masak iya?

Cornelius
Gadis – gadis penjual bunga dinegeri ini semuanya buta.

Shimmel
Sayang sekali memang. Kelihatannya ia juga berkebutuhan sekali. Ia seperti belum sempat
menyantap apa –apa sepanjang hari ini. Cornelius, apa boleh buat aku berhutang dulu sebuah pisang
saja?

Cornelius
(Mencatat ke dalam buku catatannya) Kalau kau mau bertindak boros.. oke.

Shimmel
Terimakasih. (Mengambil sebuah pisang dari kereta sorongnya dan membawanya ke Maggie. Ga.dis
itu tidak berpaling padanya. Dengan sopan ia meletakkan pisang itu ke dalam baki bunga dan
kembali duduk ke tempatnya).

Maggie
(memandang ke pisang; menghardik) Keluarkan pisang keparatmu dari bunga keparatku!

Shimmel
(Melompat berdiri, mengambil pisangnya) Maafkan aku. Ku sangka anda buta.

Maggie
Sebentar lagi kau yang akan kubuat buta! Kucakar kedua matamu dan ku umpankan pada kucing!

Shimmel
Tapi..Aku..

Maggie
Aku tahu yang kau cari, badak! Andaikan aku mau jadi pelacur, aku tak perlu berjualan bunga
keparat ini!

Shimmel
Kau salah sangka, percayalah! Maksudku sekedar ingin menolongmu.

Maggie
Bah, bagaimana pula cara kau melakukannya? Dengan menyorongkan pisangmu itu?

144
Shimmel
Kusangka kau lapar.

Maggie
Aku tak butuh pisangmu yang jorok itu. Andai aku lapar, aku tahu kemana aku harus mencari
makanan. Aku mengurus diriku sendiri sejak aku berumur enam tahun dan sampai sekarang mudah
– mudahan aku belum mati kelaparan.

Shimmel
Kau seorang yatim piatu?

Maggie
Silakan kau bertaruhkan pantat peotmu!

Shimmel
Maafkan. Rupa – rupanya hidup ini cukup kejam terhadapmu.

Maggie
Aku tak mengeluh. Bagaimana kalau kau membeli tumbuhan berbau ini seikat buat pacarmu?

Shimmel
Kukira, aku tak punya uang. (Menertawakan dirinya sendiri) Lagi pula aku tak punya pacar.

Maggie
Pantas, lontong kau. Jorok kau! Percuma menghabiskan waktu seorang gadis. Mestinya aku
memanggil polisi. Mestinya kujedut hidungmu. (Berteriak sambil mendorongnya membuatnya
terduduk ke tong sampah) Jauh – jauh kau dari aku! Aku benci tampang jorokmu! (Tiba – tiba
dengan suara semanis bidadari) Bunga! Bunga indah! Bunga semerbak! (Cornelius bangkit, dengan
topi di tangan mendekati Maggie, berbicara dengan penuh hormat)

Cornelius
Biarlah saya memohon maaf untuk partner saya ini, nona. Ia orang baru disini. Ia beum mengenal
rasa dan sikap kewajaran

Maggie
Seharusnya ia dipulangkan ketempat asalnya, sijorok itu! Apa ia tak punya rasa sopan untuk
memperkenalkan dirinya secara jentelmen? Apa orang tuanya memberi nama kepadanyasetelah
dicelup dulu kedalam comberan?

Cornelius
Namanya Shitzman. Shimmel Shitzman! (Shimmel berdiri dengan sikap menunggu diperkenalkan)

Maggie
Namanya Shitzman. Shimmel Shitzman! (Meledak ketawa) Cocok sekali. Nama itu cocok sekali
buatnya! (Kepada Shimmel) Hitzman. Tuan Shitzman! (Ketawa lagi. Shimmerl kembali duduk ke tong
sampah dengan kecewa).

Cornelius
(Mmenbungkuk) Mungkin anda berkenan kalau saya memperkenalkan diri saya, nona. Nama saya
Cornelius J.Hollingsworth Yang Ketiga.

Maggie
(Sedikit genit) Senang berkenalan dengan anda, Tuan Hollingsworth. Nama saya Maggie Cutwell dan

145
kendati saya terpaksa berjualan bunga untuk menghidupi diri saya, profesiku sebenarnya artis,
peragawati, penari tap, penari ballet, dan seorang seniwati yang cukup terpandang.

Cornelius
Anda beruntung sekali, Nona Cutwell. Saya ini tampak menggeluti bisnis pisang. Tapi untuk
sementara saja. Angan – angan saya yang sejati adalah memperebutkan kedudukan di Bursa Saham
serta menanam modal besar dalam Produksi sandiwara musikal (Memasang topinya)

Maggie
Apa aku boleh percaya bahwa Tuan berniatmenjadi seorang produser Teater?

Cornelius
Tepat sekali, Nona Cutwell. ( Mengambil sebuah pisang) Apa boleh saya memberi nona pisang?

Maggie
(Menerima pisang) Saya tak keberatan menerima pisang anda, Tuan Hollingswotrh. Tapi aku takkan
mau menerima pisangnya dia. (Menunjuk ke Shimmel) Takkan mungkin aku mau, biar dihiasi berlian
sekalipun.

Cornelius
Saya berusaha keras untuk menolongnya, Nona Cutwell. Namun, riwayatnya amat sedih, sangat
memilukan hati.

Maggie
Saya percaya sekali.

Cornelius
Berapa harga bungamu, Nona Cutwell?

Maggie
Yang ini satu ketip satu ikat dan yang pinggir ini Cuma tiga sen satu ikat.

Cornelius
Saya mau beli yang seharga dua sen seikat, apa boleh? (Maggie menyerahkan bunga seikat dan
Cornelius menyerahkan uangnya) Terimakasih. Ini uang Nona dan ini… ini untuk Nona juga (Dengan
penuh gaya ia mengembalikan bunga itu kepada Maggie. Kemudian melintas di depan Shimmel,
menunjuk dengan kedua tangannya seperti menjelaskan kepada temannya betapa mudahnya
perkara itu)

Maggie
Anda seorang yang sangat berbudi. Saya dapat langsung melihatnya, Tuan Hollingsworth. Agaknya
saya ini membuat usul terlalu maju. Namun andaikan Tuan berhasil menjadi seorang produser
teater, apa mungkin Tuan akan ingat kepada saya untuk berperan dalam sebuah produksi musikal
Tuan?

Cornelius
Secara jujur, Nona Cutwell. Saya belum pasti apakah Nona berbakat atau tidak.

Maggie
Boleh tidak saya memperlihatkan bakat saya kepada Tuan? Mau tidak Tuan memberi saya
kesempatan menunjukkan semua kemampuan saya?

Cornelius
Secara umum, saya dapat menjawab Ya dengan segera, tanpa ragu – ragu. Namun Nona menemui

146
saya ditengah kegiatan kerja saya yang paling sibuk dalam pecan ini. Saya kira agak sulit untuk hari
ini. Saya masih ada tanggung jawab yang tak dapat saya lalaikan. (Meletakkan kakinya ke atas peti,
mengikat tali sepatunya)

Maggie
Tolonglah, Tuan Hollingsworth! Hal ini terlalu penting buat saya. Kalau saya gagal dalam profesi
pilihan saya itu, saya terpaksa akan harus berjualan bunga sepanjang sisa hidup saya, atau kawin
dengan seorang peminum bir buncit yang jorok, yang akan menggebuk saya setiap malam sebagai
latihan. Akhirnya saya terpaksa bunuh diri, Tuan Hollingsworth! (Cornelis berpaling kepadanya,
sementara Maggi rebah ke atas lututnya) Saya takkan sanggup hidup seperti itu. Saya takkan
sanggup. (Mulai menangis)

Cornelius
(Ikut menangis pula) Betapa menyedihkan Betapa memilukan cerita ini. Berapa lama kau berjualan
bunga, Nona?

Maggie
(Menangis terus) Sejak aku berumur enam tahun.

Cornelius
(Menangis terus) Sedih. Sedih Apa tak pernah kau merasakan kesenangan? Kebahagiaan?
Kegirangan sepanjang usia remajamu ini?

Maggie
(Menangis) Tidak. Tidak ada selain rasa pilu dan kepedihan hati.

Cornelius
(Menangis) Oh, rasa pilu dan kepedihan hati. Dan kau akan menghabisi nyawamu sendiri?

Maggie
(Menangis) Ya, ya. Aku punya tabletnya dirumah. Hari ini ada yang menjualnya di Woolworth..dan
aku membeli enam botol iodin!

Cornelius
(Berpaling dan melangkah pergi, Maggie mengikutinya di atas lututnya) Sudah, cukup, Nona Cutwell.
Aku tak tega mendengarmu. Ini terlalu berat untuk didengar seorang manusia. Kalau kau bertekat
ingin mendemonstrasikan kepandaianmu kepadaku, pulanglah dahulu, gantilah pakaianmu, ganti
seluruh penampilanmu, tata dirimu dan kembalilah bila kau sudah siap. Tapi, bersegeralah kau. Aku
tak punya banyak waktu! Banyak kerjaku!

Maggie
Terimakasih. Terimakasih. Tuan cahaya dalam kegelapanku. Tuan juru selamatku (Bangkit) Dua
menit saja, Tuan Hollingsworth. (Berpaling ke Shimmel) Dua menit….Sh-sh-sh-Shitzman? Shitzman?
Ini dahsyat sekali. Shitzman. (kemudian pergi)

Cornelius
(Duduk di atas petinya) Nah, Bagaimana pendapatmu?

Shimmel
(Bangkit, memandang arah Maggie pergi) Ku..kurasa ia cantik.

Cornelius
Baik. Aku senang kau merasa seperti itu, sebab aku mau kau dapat mengambil alih persoalan ini.

147
Shimmel
Tapi kukira kau…

Cornelius
(Bangkit, mendekati Shimmel) Jangan terlalu banyak mengira – ngira, Shimmel. Kau bisa ditangkap
polisi. Rasakan, hayati, mulailah kau menggunakan perasaanmu dan mengutarakannya, semua
angan – anganmu dan semua impianmu! Pakailah imajinasimu! Kau seorang yang tertekan jiwa.
Andai kuketahui sebelumnya, aku tajjan mau menjdai partnermu!

Shimmel
Tapi kenapa kau menyuruhku mengambil alih urusan Nona Cutwell itu? Apa kau tak tertarik
padanya?

Cornelius
Tertarik, terdorong, terpaku, siapa pula punya waktu untuk tetek bengek kuno itu? Begitulah
jadinya, begitu keadaannya, pat – pat gulipat, aku seorang suami! (Menuju ke keretanya, berhenti
dan berpaling) Aku punya ekor tuga orang pula. (Bergerak, berhenti) Tambah seorang pacar gadis
janggi (Bergerak) Bagiku sudah tak professional lagi untuk melibatkan diri dalam permainan
begituan. (Duduk ke peti)

Shimmel
Kalau begitu aku tak keberatan meringankan bebanmu…

Cornelius
Bagus. Bagus. (Bangkit) Salahnya masih ada satu problem lagi…

Shimmel
Apa itu?

Cornelius
Nama perkongsian kita. Hollingsworth dan Shitzman. Ini nama cilakak. Apa tak kau dengar nona
Cutwell menertawakan namamu itu? Siapapun yang mendengar nama itu akan bersikap sama. Kita
akan menjadi perusahaan pisang yang paling ditertawakan.

Shimmel
Tapi sudah kubilang tadi…

Cornelius
(Berteriak) Aku tahu apa yang sudah kau bilang! Aku ingat apa yang kau katakan! Namun, apa kau
sendiri masih tetap menganggap remeh aku ini, Shimmel? Apa kau membayangkan seseorang lain?
Tak terbatas jauhnya perjalanan kita berdua. Tapi kau merusak segala yang kita rintis bersama, gara
– gara nama konyol kau itu! Ibarat kangker yang mencegat perkembangan dan keberuntungan kita!

Shimmel
Sekalipun aku mau.. aku tak punya uang untuk itu.

Cronelius
(Duduk di peti) Baiklah kita berunding lagi. (Mengeluarkan kertas dari kantongnya) Sahammu empat
puluh persen kita kurang lagi. Jangan khawatir. Kau mau nama yang mana? Thomas Hathaway,
Roger Wiliams Carnegie, Samuel P.Stone…

Shimmel
(Memohon) Tapi… Cornelius, nama keluargaku… (Duduk di peti)

148
Cornelius
Yang mana, Shimmel? Yang mana? (Shimmel tidak menjawab. Cornelius bangkit, Menyerahkan
kertas tertulis) Samuel P.Stone! jadi! Lima dolar. Hollingsworth dan Stone. Sempurna. Taka da nama
sebaik itu. Selamat, partner. (Duduk lagi, mencatat dalam bukunya) Nah, apakah kau sudah merasa
sedikit lain, Sam? (Shimmel geleng kepala) Kau terpaksa harus merasa lain. Seorang Crapavarnishkes
bukan lagi seorang Hollingsworth dan seorang Shitzman bukan lagi seorang Stone. Habis.

Shimmel
Samuel P.Stone. Aku Samuel P.Stone?

Cornelius
Sam Stone!

Shimmel
(Berdiri) Aku Sam Stone. (Memandang upstage)

Cornelius
Nah, itu dia. Rasakanlah Stone. Rasakanlah lkarang. Rasakanlah yang tegar, yang keras yang kuat,
yang…

MAGGIE NYELONONG MASUK LAGI, MEMAKAI ROK KEMBANG SERTA SEPATU TARI

Maggie
Inilah saya, Tuan Hollingsworth! Saya siap untuk menunjukkan bakat saya.

Cornelius
(Bangkit) Ya, ya, tapi sebelum kau mulai, aku harus memperkenalkan kau kepada partnerku, Sam
Stone.

Maggie
Tapi.. itu Tuan Shitzman. Kami sudah jumpa tadi…

Cornelius
Izinkan aku berbeda pendapat, Nona Cutwell. Tadi memang beliau Shitzman. Tapi kini beliau telah
berubah 180 derajat.

Shimmel
(Berpaling downstage, tegak, tangan dalam kantong, berbicara dengan penuh kepastian dan gaya)
Tak salah, Nona Cutwell. Dan apabila anda datang untuk memperlihatkan bakat anda, silakan mulai.
Kami tak banyak waktu untuk tetek bengek ini dan itu.

KEDUA LELAKI ITU SALING MEMBERI ANGGUKAN DENGAN PENUH ARTI, LALU DUDUK KE PETINYA
MASING – MASING. MAGGIE MEMANDANG KELILING KALAU – KALAU ADA ORANG LAIN MELIHAT;
LALU MENYANYI DENGAN SUARA MELENGKING SAMBIL MENARI TAP DI TEMPAT, DALAM GAYA “I
DON’T CARE”. IA MENYANYIKAN LAGU PEMBUKAAN TANPA BERGERAK BANYA, MELAINKAN
SEKEDAR GOYANG NAIK TURUN, KEDUA TANGANNYA TEGANG SEPETI SEDANG NAIK KUDA.
KEMUDIAN IA BERGERAK SEKITAR KEDUA PENJAJA KERETA SORONG ITU, SEBENTAR DISAMPING
MEREKA, SEBENTAR BERGAYA GENIT. IA MENGAKHIRI TARIANNYA LEWAT BEBERAPA PITARAN DAN
HAMPIR TERJATUH. BAKATNYA TIDAK ISTIMEWA. SELESAI ITU, IA MENATAP KEDUA LELAKI ITU
DENGAN NAFAS TERENGAH SAMBIL MENANTI PENILAIAN MEREKA

Cornelius
Sam?

149
Shimmel
Apa Cornelius?

Cornelius
Bagaimana pendapatmu tentang pertunjukannya?

Shimmel
(Berdiri, bersemangat) Bagaimana pendapatku. Masakan kau perlu tanya lagi? Apa kau buta? Apa
kau pekak? Apa kau tak punya jantung untuk merasakannya? Aku baru saja menyaksikan suatu
pertunjukan yang begitu sempurna dan begitu cemerlang. Umpama saja hari ini aku dalam bisnis
Teater, besok kontan Nona muda ini telah menjadi seorang bintang besar!

Maggie
(Memeluknya) Oh, Tuan Stone! Betapa saya butuh mendengarkan pendapat Tuan itu. Tuan
membuat saya begitu berbahagia!

Shimmel
(Melangkah mengelilinginya) Sudah, cukup! Masih banyak yang harus kau kerjakan, Maggie.
Sekarang memang aku belum bergerak dalam bisnis Teater, tapi aku berpeluang besar sekali untuk
menggelutinya dalam waktu singkat. Pulanglah dan berlatih yang sungguh – sungguh! Latihan!
Latihan! Siang dan malam! Dua puluh empat jam sehari! Aku bertekad mendukungmu. Akan
kutanggung semua biaya, semua keperluanmu… (Berhenti mengelilinginya, memegang dagunya)
Tapi aku menuntut agar kau menjadi yang terbaik, yang terbaik mutlak!

Maggie
Terbaik! Saya akan jadi yang terbaik! (Beranjak)

Shimmel
Sebentar..Maggie..

Maggie
(Berpaling) Jalan Perry nomor sebelas.

Shimmel
Nanti malam aku datang untuk membahas hal – hal yang menyangkut kontrak.

Maggie
Saya dirumah, Tuan. Saya akan latihan.

Shimmel
Sediakan sesuatu santapan untukku. Aku mungkin lapar dan keletihan.

Maggie
Saya akan sediakan tongkol panggang dalam oven. Terima Kasih. Terima Kasih, Tuan Stone. Saya
penuh pengharapan. Tuan memberi harapan itu. Tuhan akan membalas kebaikan Tuan! (Mencium
pipinya, lari pergi sambil nyanyi)

Shimmel
(Melongo kea rah gadis itu pergi) Ya ampun, gadis luar biasa!

Cornelius
Nah, kau mulai menyukainya.

150
Shimmel
Menyukainya? Aku mencintainya! Aku setengah mampus mencintainya! Cornelius! Cornelius, aku
tak pernah merasa seperti ini. Hatiku melompat ke mulutku. Suhu badanku mendadak naik seratus
derajat. Kakiku gemetaran. Perutku berdenyut di dalam, ah terlalu…aku susah bernafas. Apa ini
benar terjadi atau aku Cuma bermimpi? Apa benar aku ketemu gadis bernama Maggie Cutwell? Atau
ini Cuma khayalanku saja? Cubitlah aku, Cornelius, cubitlah aku. Aku harus ada kepastian!

Crnelius
(Berdiri) Tunggu dulu, Sam. Tunggu sebentar! Aku harus tanya: apa kau cukup kaya untuk membiayai
dirimu dan dia juga? Jangan lupa, kau baru saja belajar membuka usaha, ini hari pertama kau disini..
Aku tak mengerti. Bagaimana mungkin kau ini..

Shimmel
Kau tak mengerti! Tentu saja kau tidak mengerti! Kau tidak melihat! Kau tidak mendengar! Kau tidak
ada perhatian! Aku bertemu wanita yang kucintai, Cornelius. Aku akan menikahinya. Ia akan tampil
dalam suatu Teater musikal yang akan kuselenggarakan. (Menunjuk) Bersama kau! Sekarang aku
mendapat ilham, dedikasiku untuk berhasil secara gemilang. Tak ada yang dapat mencegahku lagi.
Tak ada! Nah, sekarang mari, jangan banyak cincong lagi. Ini merupakan soal hidup dan mati bagiku.
Mari kita bekerja. (Duduk ke atas peti, menyilangkan kakinya, membentangkan Koran di wajahnya)

Cornelius
(Tercengan memandang kongsinya, lalu duduk pula ke petinya sendiri, mengangkat korannya)
Bagaimana usaha, Sam?

Shimmel
(Dari balik koran) Bagus, Cornelius. Bagus sekali.

Cornelius
Dengarkan kurasa sudah waktunya kita ini mendirikan suatu perusahaan Gabungan yang lebih besar.
Bagaiman pendapatmu?

Shimmel
(Menurunkan koranyya) Menunggu apa lagi kita ini, kawan…?

Cornelius
Kalaulah aku punya satu kekurangan, yah, itu Cuma kekolotanku.. (Shimmel kembali menutupi
wajahnya dengan koran) Sam…?

Shimmel
(Turun Koran) Apa, Cornelius?

Cornelius
(Singkat) Selamat datang di Amerika. (Musik menanjak saat keduanya sama – sama menutupi
wajahnya dengan Koran serta bersamaan menggerakkan dan menyilangkan kaki mereka, kiri
menimpa kanan dan kanan menimpa kiri, dengan music mengikuti semua gerakan mereka, untuk
berhenti mendadak. Cahaya memudar dan gelap)

………………………SELESAI………………………..

Diketik ulang oleh Ahmad Munawar Lubis

151
BARABAH
Karya Motinggo Busye

DRAMATIC PERSONAE

BARABAH Istri Banio; seorang wanita berumur 28 tahun, cantik, menarik dan mencintai
suaminya.

BANIO Suami Barabah; lelaki tua betubuh bongkok tapi kekar. Berumur sekitar 70an,
suaranya lantang dan sukar untuk tertawa

ADIBUL Lelaki besar tinggi, berusia 30 tahun, bekerja sebagai kusir sado.

ZAITUN Wanita montok, berusia 25 tahun, sikapnya ramah dan hangat. Ia adalah anak
Banio dari istri ke enam yang telah lama diceraikannya.

ADEGAN I
CERITA INI TERJADI DI RUANG TENGAH RUMAH BANIO. NAMPAK SEBUAH
MEJA KUNO DAN SEBUAH KURSI TUA YANG TERLETAK DI SAMPINGNYA, DI
SUDUT RUANG MELINTANG SEBUAH PETI PANJANG DIMANA BIASANYA
BARABAH DUDUK MENENUN, DI SISI TERDAPAT KURSI KURUS. BANIO MASUK
DENGAN TANGAN LUKA PENUH TANAH.

BANIO
BARABAH! (MELIHAT SEKELILING) O…BARABAH!

(DUDUK DI KURSI DENGAN MENGURUT TANGANNYA SENDIRI YANG LUKA)

BARABAH
Tangan bapak luka!?

BANIO
Biar!

152
BARABAH
Ohh

BANIO
Iya. Tangan bapak luka

BANIO MINUM KOPI DAN BARABAH DUDUK DI PETI

Tapi kopinya enak

BARABAH
Benar? Tapi serbuk kopinya yang kemarin juga

BANIO
TIDAK PEDULI ITU SERBUK KOPI KEMARIN ATAU LIMA PULUH TAHUN LALU, AKU CUMA MENGATAKAN KOPI YANG KAU
BIKIN HARI INI ENAK. SUDAH, JANGAN TANYA LAGI!

BARABAH
Jangan Tanya lagi….

Banio memalingkan mukanya. Kemudian melirik ke arah Barabah yang merenda, Banio
menarik napas panjang.

BANIO (LEMBUT)
Barabah… .

BARABAH
Iya pak?

BANIO
Tolong pijit-pijit kepalaku

Barabah berdiri di depan Banio

BARABAH
Apa mau dikerok lagi punggung itu?

BANIO
Ah, malu aku!

BARABAH
Kenapa?

BANIO
Punggungku sudah bongkok. Nanti engkau tahu punggungku bongkok

BARABAH
Ah, tidak.

BANIO (BERDIRI)
Siapa bilang tidak!? Lihat nih, lihat!

153
(BANIO DUDUK. BARABAH MASIH BERDIRI. BANIO MEMIJIT-MIJIT KENINGNYA SENDIRI DAN MELIHAT BARABAH MASIH
BERDIRI DARI SELA-SELA JEMARINYA)

Kau masih berdiri di situ, Barabah?

BARABAH
Ibah kan mau mijit kening bapak

BANIO (LEMBUT)
Barabah… .

BARABAH
Ya, pak?

BANIO
Aku sudah tua ya?

BARABAH
Belum pak

BANIO
Bohong! Aku m-m-m-merasa sudah tua. Aku ini sudah tua, ya kan Barabah?

BARABAH
Belum pak.

BANIO (TEGAK DENGAN KEKARNYA)


Bohong! Coba terus terang katakan kalau aku sudah tua

(diam sesaat setelah melihat Barabah)

Semua bini memanggil lakinya dengan sebutan yang layak

(diam sejenak)

Mereka tidak memanggil ‘bapak’ kepada lakinya atau ‘pak’. Suatu kali aku dating ke rumah
orang Palembang, bininya memanggil ‘kak’ pada lakinya. Aku bertamu ke rumah orang jawa,
bininya memanggil ‘kang mas’ pada lakinya. Datang pula aku ke rumah orang Padang, Sutan
Mangkudung. Bininya memanggil ‘uda’ pada lakinya. Dan kalau ada orang dating ke rumah,
kau memanggil apa padaku?

BARABAH
Ibah akan tetap memanggil bapak

BANIO
Kenapa?

BARABAH
Karena Ibah tidak bias merubahnya lagi

154
BANIO
Bukan karena aku sudah tua Bangka?

BARABAH
Bukan!

BANIO
Bohong!

BARABAH
Betul!

BANIO
Bohong! Terang-terangan aku sudah tua bongkok!

BARABAH
Ibah berani sumpah, pak

BANIO
SUMPAH APA? KAU BERANI, NANTI MALAM DATING KEKUBURAN TIDAK PAKAI LAMPU? TENTU KAU TIDAK BERANI. AKU
SUDAH TUA YA BARABAH? (BARABAH DIAM SAJA) YA, AKU SUDAH TUA DAN SEBENTAR LAGI AKU AKAN MATI.
BARANGKALI LIMA ATAU ENAM TAHUN LAGI. KALAU AKU MATI, APA KAU AKAN MENANGIS BARABAH?

(Barabah terdiam)

Ya, aku sudah tua dan sebentar lagi aku akan mati. Barangkali lima atau enam tahun lagi.
Kalau aku mati, apa kau akan menangis Barabah?

BARABAH
Ibah akan menangis di kuburan bapak selama seminggu

BANIO
Sesudah kau menangis selama seminggu dan air matamu kering, kau akan menangis lagi?
Barabah?

BARABAH
Ibah akan nangis lagi kalau punya air mata lagi

BANIO
BOHONG! SESUDAH MATAMU BENGKAK KARENA MENANGIS SEMINGGU ITU, SEMINGGU KEMUDIAN KAU AKAN
DILAMAR ORANG.

(Barabah terdiam)

Ya, ya. Kau akan dilamar seorang lelaki. Laki-laki itu kra-kira lelaki mata keranjang. Ah,
bukan, bukan itu saja, dia lelaki pengangguran yang suka ongkang kaki dan tidur jam
delapan, lantas bangun dan makan jam sepuluh siang. Besoknya ia tidur jam delapan, bangun
dan makan jam dua belas siang. Dan sebelum umur empat puluh, lelaki itu mati. Ia mati di
tempat tidur

(Barabah tertawa)

155
Kenapa kau tertawa?

BARABAH
Habisnya bapak lucu!

BANIO (MEMEKIK)
Apanya yang lucu? Ini tidak lucu!

(BEBERAPA SAAT HENING. LALU SENYUM MAHAL DARI BIBIR BANIO KELUAR JUGA)

Haha…. Memang lucu juga . karena aku dulu begitu. Ketika aku melarat waktu masih bujang
dulu, aku menunggu-nunggu seorang kakek yang punya bini muda. Aku mengharapkan
kakek itu lekas mati dan bininya akan jadi janda muda. Tapi sialan! Kakek itu tidak mati-mati
dan aku makin melarat.

(Barabah tertawa kencang)

Kenapa kau tertawa?

BARABAH
Lucu!

BANIO
MEMANG LUCU. (LALU TEKANAN SUARANYA BERUBAH) BARABAH?

BARABAH
Ya, pak.

BANIO
AKU SUDAH KAKEK-KAKEK KELIHATANNYA YA? AH, JANGAN DIJAWAB. TENTU KAU AKAN BILANG ‘TIDAK, PAK’ ATAU
‘BELUM PAK’. AKU TADI LEWAT DI DEPAN KANTOR JAPENKAB DAN MEMBACA KORAN. JAPENKAB….JAWATAN
PENERANGAN KABUPATEN! AH, ORANG-ORANG SEKARANG TERLALU SIBUK DENGAN DUNIA INI, MAU KIAMAT SEHINGGA
MEREKA MEMANGGIL WALIKOTA DENGAN SEBUTAN WALKOT. SAYA TADI JUGA MEMBACA KORAN DAN KATANYA DUNIA
AKAN KIAMAT. AKU BENCI SAMA TUKANG-TUKANG RAMAL ITU. MEREKA PEMBOHONG SEMUA. TAPI AKU PERCAYA,
SEKALI WAKTU DUNIA INI AKAN KIAMAT SEPERTI AKU PERCAYA SUATU WAKTU AKU AKAN MATI. TETAPI AKU TIDAK MAU
LEKAS-LEKAS MATI SEBELUM AKU PUNYA ANAK LAKI-LAKI.

(Barabah tersenyum)

Kenapa kau tersenyum? Kau tertawa karena dari sebelas orang perempuan yang kukawini
aku tidak pernah dapat anak laki-laki? Aku dulu ahli penabuh gendering. Dram-tam-tam,
dram tam tam berjalan keliling kota dalam barisan dengan terompet tro titet trot titet dram
tam tam, dram tam tam. He, apa kau masih simpan tambur itu?

BARABAH
Masih ada di gudang

BANIO
AKU DULU LELAKI MATA KERANJANG. HE, KENAPA KAU TERTAWA? MEMANG DULU AKU DIBENCI GADIS-GADIS.
SEBETULNYA GADIS-GADIS ITU BUKAN BENCI, CUMA TAKUT AKU TIDAK MEMILIHNYA. KEBODOHAN GADIS-GADIS PADA

156
UMUMNYA SAMA DENGAN DUNIA PERJUDIAN. MEREKA JUDIKAN DIRINYA. MEREKA MENGIRA-NGIRA DIRINYA KERTAS,
KOMENTATOR SEOPAK BOLA. DULU AKU BUKAN JAGO TARUHAN, AKU DULU MALAH BINTANG LAPANGAN, BARABAH. HE
KAPAN PERTANDINGAN PSSI LAWAN HONGKONG LAGI? KALAU DAPAT RATUSAN RIBU LAGI SEPERTI SI MUIN, AKU AKAN
SUMBANGKAN SAJA KE DEPSOS.

BARABAH
Depsos, pak?

BANIO
DEPARTEMEN SOSIAL. BODOH. AKU TIDAK MAU REBUT-RIBUT LAGI SOAL PEMBAGIAN TANAH SEPERTI SI MUIN.
MEMANG MUIN ITU GOBLOK, SANGKANYA TANAH ITU MAU DIBAWANYA MATI SEHINGGA DIA BERTENGKAR DENGAN
UNDANG-UNDANG ALNDIPORM. DASAR MUIN GOBLOK! DALAM HIDUPNYA DIA BERANGAN-ANGAN AKAN MEMILIKI
TANAH, KALAU BIAS TANAH SEJAGAT INI. PADAHAL KALAU DIA MATI, ORANG CUMA MEMERLUKAN TANAH PALING
BANYAK DUA METER BUAT KUBURANNYA! BETUL JUGA USULMU DULU KETIKA AKU HAMPER BERKELAHI DENGAN POLISI.
HE, AKU TADI MAU CERITA APA?

BARABAH
Dunia kiamat

BANIO
O, IYA. DUNIA KIAMAT! YA, DUNIA AKAN KIAMAT SUATU KETIKA. DAN SAAT ITU, JANGANKAN BIAS MEMILIKI TANAH
DUA METER, DUA JENGKAL PUN TAK KEBURU LAGI BUAT KUBURANNYA!

(Banio capek, dia mengibas-ngibaskan kain sarung; ia melihat sekeliling melewati jendela-
jendela)

Kau lihat, alangkah suburnya tanah-tanah itu Barabah

BARABAH
Di mana kau akan bangun rumah buat si Godam?

BANIO
Godam?

BARABAH
Kan dulu bapak yang bilang anak laki-laki?

BANIO
Apa aku punya anak laki-laki selama ini?

BARABAH
Bapak sudah bilang padaku, kalau aku akan punya anak laki-laki

BANIO
OH IYA. IYA…IYA…. SI GODAM? SI GODAM YANG MAHIR MAIN TAMBUR? TRAM TAM TAM, TRAM TAM TAM. APA KAU
BIAS MENJAMIN BAHWA KAU AKAN BIAS MELAHIRKAN SEORANG ANAK LELAKI YANG NANTI BIAS PUKUL TAMBUR ?
TUHAN MAHA TAHU!

BARABAH
Ya. Dulu bapak cerita bagaimana hebatnya si Godam memukul tambur; tram tam tam, tram
tam tam dan diapit bendera-bendera merah putih dan penonton bersorak sorai.

157
BANIO
“HIDUP GODAM! HIDUP GODAM!’ DAN ADA YANG BERKATA “ITU SI GODAM, ANAK LELAKI PAK BANIO DAN BARABAH”
KAU TAHU BARABAH, APA ARTINYA GODAM?

BARABAH
Palu yang berduri!

BANIO
PALU YANG BERDURI TAJAM! YA, YA, DI SANA RUMAH SI GODAM. DAN DIA TIDAK BOLEH BANYAK KAWIN SEPERTI
BAPAKNYA (MENUNJUK DIRINYA) DAN SI GODAM TIDAK BOLEH GAGAL DALAM PERKAWINAN. O IYA SIAPA NAMA BINIKU
YANG PERTAMA?

BARABAH (TERTAWA)
Kalau tak salah, namanya Jamilah!

BANIO
Penasaran aku sama dia! Nama istriku yang kedua?

BARABAH
Rabiatun!

BANIO
OH, IYA RABIATUN. KAU TAHU APA YANG DITANYAKAN PAMANNYA PADAKU? PAMANNYA BERTANYA “APAKAH KAMU
PEGAWAI NEGERI?” LALU KUJAWAB “SAYA MARSOSE” DAN PAMANNYA KEMBALI BERTANYA “BERAPA GAJI SEBAGAI
MARSOSE?”. INI ADALAH PERTANYAAN YANG PALING KUBENCI! AKU BENCI ADIK RABIATUN, KAKAK RABIATUN, KAKEK
RABIATUN, NENEK RABIATUN, KEPONAKAN RABIATUN DAN TENTUNYA PAMAN RABIATUN JUGA. MEREKA DATANG
MEMUJI-MUJI AKU KARENA AKU JADI RAJA KARET. TETAPI KETIKA GUBERNEMEN MENANGKAPKU DAN AKU JATUH
MELARAT...

BARABAH (MEMOTONG)
Mereka semua lari tunggang langgang....!

BANIO
He.... apa sudah kuceritakan kisah Rabiatun itu?

BARABAH
Sudah sebelas kali

BANIO
Kau ingat nama istriku yang ketiga?

BARABAH
Bapak dulu bilang bapak lupa nama istri yang ketiga

BANIO
Yang keempat juga aku lupa....tapi yang kelima tidak.

BARABAH
YANG MAIN GILA SAMA LAKI-LAKI LAIN ITU?

158
BANIO
Iya. Iya. Perempuan memang berbahaya, Barabah!

BARABAH
Aku tidak mau!

BANIO
KENAPA “AKU TIDAK MAU”?

BARABAH
Ibah tidak pernah main gila

BANIO
Bukan kau Barabah. Kau baik. Namamu juga bagus; Barabah! Burung pemakan padi. Tapi
kau bukan burung pemakan padi, kau burung yang membenih padi

(Barabah senang mendengarnya, ia menutup matanya dan tersenyum)

Kenapa senyum-senyum?

(DIAM )

oh iya, aku lupa nama istriku yang ke sembilan. Kau ingat?

BARABAH
Ingat, yaitu yang kawin dengan Belanda ketika bapak di tawan

BANIO
DIA BERKHIANAT DUA KALI. PERTAMA PADA LAKINYA, KEDUA PADA TANAH AIR. O, BUKAN, BUKAN DUA KALI, TAPI TIGA
KALI! DIA MEMBAWA ANAK-ANAKKU YANG PEREMPUAN KE NEGERI BELANDA. AKU TIDAK TAHU BAGAIMANA MEREKA
MENCET MUKA-MUKA ANAK-ANAK PERAWANKU MENJADI PUTIH SUPAYA JADI BELANDA!

(Barabah terdiam)

Ketawa sedikit dong...ini lucu

(Barabah diam merengut)

Kenapa kau tidak tertawa?

BARABAH
Ibah cemburu!

BANIO
Cemburu? Kau juga ada rasa cemburu seperti kebanyakan perempuan?

BARABAH
Ibah cemburu bapak akan kawin lagi. Kaum perempuan cemburu kalau suaminya cerita
tentang perempuan lain.

BANIO

159
KAWIN LAGI? APA KAU PIKIR AKU INI AKAN MEREBUT REKOR PERKAWINAN TERBANYAK? SEPERTI ORANG-ORANG
MEREBUT PIALA JAGO ANGGAR?

BARABAH
Tapi bapak dulu pernah bilang mau kawin lagi

BANIO
Kapan? Coba kapan? Aku bisa marah ini...

BARABAH
Dua bulan yang lalu

BANIO
OOOOO..... ITU CUMA MAIN-MAIN. SUAMI PERLU SEKALI-KALI MENGUJI BININYA TOH. LAGIPULA AKU INI SUDAH TUA,
BARABAH. DAN INI ADALAH PERKAWINANKU YANG KEDUA BELAS KALI DAN TERAKHIR. AKU PIKIR ITU SENDIRI SUDAH
REKOR DAN AKU PANTAS DAPAT PIALA

(Barabah terdiam. Banio marah)

Kenapa kau terdiam? Kau tentu setuju pada bini-biniku. Baik, baik Barabah, sebab kau
perempuan. Tapi jangan minta aku menangis tersedu-sedu seperti orang lain, sebab aku sudah
gagal selama ini.
(Banio menatap ke luar jendela)

Baru sekarang aku tahu, tanah-tanah itu subur...ketika aku sudah tua, bongkok dan ubanan
dan sebenarnya sudah tidak laku lagi. He, aku ini sudah tidak bakal laku lagi, meski ditawar-
tawar di pasar loakan. Tapi aku tidak peduli apakah aku tidak akan laku di pasaran atau
pegadaian. Biarpun kualitas loakan, yang penting masih punya semangat bunyi tambur. Tram
tam tam tram tam tam.....

(Seperti teringat sesuatu)

Hee..bagaimana dengan sambel peteku? Aku mau bongkar rumputan alang itu

(TANGANNYA MENUNJUK KE LUAR JENDELA. KEMUDIAN BANIO MINUM KOPI)

Alang-alang itu berbahaya betul untuk ladang, bahkan tanganku luka karenanya.

(KEMUDIAN BANIO MENGIKATKAN KAIN SARUNG KE PINGGANGNYA DAN KEMUDIAN MEMBERIKAN KEPADA ISTRINYA
TEMPAT TEMBAKAU ROKOK. BARABAH MENGGULUNGKAN DAUN ROKOK BUAT SUAMINYA)

Aku kepingin naik kapal terbang suatu kali

BARABAH
Naik kapal terbang?

BANIO
IYA. CUMA ITU YANG BELUM PERNAH KUNAIKI. AKU SUDAH PERNAH NAIK MOBIL, SEPUR, KUDA, KERBAU DAN BAHKAN
NAIK GUNUNG. SEMUA SUDAH PERNAH, KECUALI NAIK KAPAL TERBANG. AKU MELIHAT POTO BUNG KARNO NAIK
HELIKOPTER.

160
BARABAH
Bapak bersihkan saja dulu alang-alang itu, biar kapal terbangnya bisa mendarat di stitu

MEMBERIKAN LINTINGAN ROKOK TADI

BANIO (KETIKA ROKOK ITU DIPELINTIRKAN DI BIBIRNYA, BANIO MEMBENTAK)


Mana korek apinya!?

BARABAH
Itu, di atas meja

BANIO (SENYUM MAHAL)


Iya, tapi tolonglah korekkan sedikit

(Barabah menyalakan korek api, tapi banio meniupnya. Terjadi beberapa kali. Setelahnya
barulah api korek itu membakar rokoknya)

Dari sebanyak itu biniku, Cuma kaulah...hmmmm....saya menyebutnya....Cuma kaulah yang


bisa memasangkan korek api dengan benar. Aku janji aku tidak akan kawin lagi!

BANIO PERGI EWAT PINTU BELAKANG. BARABAH BERMAKSUD MENUJU KE


TEMPAT IA BIASANYA MERENDA, TAPI MENDADAK IA MENDENGAR SUARA
KETUKAN PINTU DEPAN. BARABAH MENUJU PINTU.

ADEGAN II
BARABAH MEMBUKA PINTU DAN NAMPAKLAH SEORANG PEREMPUAN MUDA
YAITU ZAITUN. IA MEMPERSILAHKAN ZAITUN MASUK. IA BERJALAN LEBIH
DULU KE DALAM, KETIKA IA MEMBALIKKAN TUBUHNYA, DILIHATNYA
ZAITUN MASIH TERPESONA MEMANDANGI ISI RUMAHNYA. BARABAH CURIGA,
TAPI IA BERUSAHA MENUTUPINYA

BARABAH
Masuklah...

(heran dengan kelakuan Zaitun)

Ada apa?

ZAITUN
Saya melihat cicak

BARABAH
Cicak atau tikus?

ZAITUN (MELANGKAH MASUK)


Cicak. Sepasang cicak yang saling memburu. Ibu saya menafsirkan itu adalah pertanda jodoh

BARABAH

161
Jodoh?

ZAITUN
Ya, jodoh. Ibu saya ahli sekali dalam hal bertenung kartu

BARABAH
Silakan duduk

ZAITUN (DUDUK)
Cicak-cicak itu firasat yang baik. Begitu saya masuk, begitu ada pertanda

BARABAH
Saya belum pernah mendengar takhayul seperti itu

ZAITUN
O, ibu saya ahli pertakhayulan. Cicak-cicak itu pertanda baik juga dalam takhayul, kecuali
kalau kucing berkelahi

BARABAH
Dan firasat yang tadi, apakah membaikkan bagi saya atau situ?

ZAITUN
Bagi saya

BARABAH (KECEWA TAPI MASIH TERTARIK)


Jadi, itu berarti akan terjadi pertemuan jodoh?

ZAITUN
Ya. Akan terjadi perkawinan yang bahagia

BARABAH
Perkawinan siapa?

ZAITUN
Kalau menurut takhayul, yang melihatlah yang akan kawin

BARABAH
Siapa?

ZAITUN (GUGUP)
Tentulah....tentulah saya. Maaf, saya ingin bertanya dulu. Apa betul ini rumah pak Banio?
Sebenarnya saya tadi sudah menanyakan pada orang-orang di seberang jalan, Cuma saya takut
salah.

BARABAH
IYA BETUL. INI RUMAH PAK BANIO

ZAITUN
Bolehkah saya bertemu dengan pak Banio? Saya Zaitun.

(Barabah Terdiam)

162
Bilanglah ada tamu jauh. Katakan Zaitun datang, tentu beliau nanti akan tahu

BARABAH
Beliau sekarang ada di ladang

ZAITUN
Sedang apa beliau di sana?

BARABAH (KESAL)
Beliau di ladang sedang mencabuti alang-alang...!

ZAITUN
Oh.....rajinnya. ternyata meskipun sudah tua, beliau masih kuat

BARABAH
Kuat?

ZAITUN
IYA, KUAT MENCABUTI ALANG-ALANG. SEBENARNYA KAN ILALANG ITU SUKAR SEKALI DICABUT. MESTI PAKAI TRAKTOR,
BARU AKARNYA AKAN TERBONGKAR.

BARABAH
TAPI SUAMI SAYA MEMANG KUAT. BELIAU TIDAK PERNAH MEMERLUKAN TRAKTOR UNTUK MENCABUT AKAR-AKAR
ILALANG YANG BANYAK ITU. BELIAU PUNYA BANYAK PIARAAAN ILALANG DAN DAUN ILALANG ITU TAJAM-TAJAM BUKAN?

ZAITUN
O, tentu saja. Waktu kecil pun saya pernah menangis karena dilukai daun-daun ilalang, lalu
saya mengadu pada bapak saya. Tapi malah ia marah-marah....

(ketawa)

O, saya lupa bertanya, piaraan? Apa ilalang itu dulu sengaja ditanam dan dibuat ladang?

BARABAH
Sengaja!

ZAITUN
masyaAllah

BARABAH
DI SITU JANGAN KAGET. SUAMI SAYA, MEMPUNYAI DUA BELAS LADANG ILALANG, ILALANG YANG TIDAK PERNAH
DIPELIHARANYA BAIK-BAIK, SEPERTI TERHADAP ISTRI-ISTRINYA. DAN SEKARANG, RUPA-RIPANYA BELIAU AKAN
MENCABUT RUMPUN ILALANG YANG KEDUA BELAS

ZAITUN
O, syukurlah...

BARABAH
Syukur?

163
ZAITUN
Ya, syukur.

(MERASA GELI DAN BERMAKSUD MENYENANGKAN HATI BARABAH)

Nantinya, tentu beliau akan menanam lagi ladang ilalang yang ke tiga belas. O, saya lupa
bertanya. Apa beliau sehat saja?

BARABAH
KALAU TIDAK SEHAT, MASA BELIAU SANGGUP MEMBIKIN LADANG ILALANG DUA BELAS KALI. DAN SEKARANG, SESUDAH
DI TANAM, YANG KEDUA BELAS ITU AKAN DICABUTNYA PULA. SEKARANG MAU CARI BIBIT ILALANG KETIGA BELAS!
ILALANG YANG MONTOK!

ZAITUN
O, begitu. Lucu juga beliau

BARABAH
MEMANG LUCU, SEHINGGA SEMUA KEJADIAN-KEJADIAN YANG BELIAU BIKIN ADALAH LELUCON BAGI SAYA. DAN
TERKADANG LELUCON ITU MENYAKITKAN HATI JUGA.

ZAITUN
Memang. Tapi tadi di atas kereta api, waktu saya mau kesini, ada lelucon

BARABAH
Hmmm....

ZAITUN
Ada dua orang muda-mudi, di atas kereta ketika ditanyai karcis, mereka pura-pura tidur
ngorok

BARABAH
Hmmm, saya juga pernah melihat penipuan begitu. Tapi bukan anak muda. Yang menipu itu
adalah gadis, gadis montok

ZAITUN
Hah.... sepertinya lucu juga

BARABAH
Buat saya sendiri tidak lucu. Mereka itu setidak-tidaknya pernah sekolah, pernah diajar
gurunya, kalau naik kereta api mesti beli karcis. Malah mereka menyerobot macam garong
saja. Mereka itu harusnya ditangkap. Tidak peduli mereka itu siapa!

ZAITUN
Benar juga

BARABAH
Memang benar! Kecuali, kecuali....kecuali kalai kepala stasiun telah memberikan karcis
gratis. Tapi semestinya di zaman merdeka ini, tidak boleh ada karcis gratis. Itu korupsi halus!
Tidak demokratis!

ZAITUN

164
BETUL, SAYA SETUJU. ITU KORUPSI HALUS! MEMANG TIDAK DEMOKRATIS

BARABAH
Itu juga semacam garong di siang hari!

ZAITUN
Betul. Betul, itu garong di siang hari. Oh iya. Bapak mana ya? Apa bisa beliau dipanggil
sebentar? Saya ada perlu sekali

BARABAH
Perlu sekali? Soal apa kira-kira yang akan disampaikan?

ZAITUN
Sebenarnya saya malu mengatakannya bu...

BARABAH MERASA SENANG MENDENGAR KATA ‘BU’

BARABAH
Ah, jangan malu-malu, nanti saya katakan

ZAITUN (RAGU)
Ini....ini....Soal perkawinan

BARABAH
Perkawinan siapa?

ZAITUN
saya

(Barabah terdiam, mencoba menyembunyikan kegelisahannya dan pura-pura mendongakan


kepalanya ke arah jendela)

Iya, perkawinan

BARABAH
Apa sudah gawat betul?

ZAITUN
Dibilang gawat ya, tidak. Tapi ini penting

BARABAH
SOAL PERKAWINAN MEMANG PENTING, HARUS DIPIKIRKAN MASAK-MASAK. SAMA SEPERTI PARA PEREMPUAN
MENANAK NASI, KALAU KURANG MASAK, AKAN TERASA KERASNYA. KALAU TERLALU MASAK MALAH MUTUNG DAN LAKI-
LAKI AKAN MENCELA KITA. KATA MEREKA KITA SEMBRONO. LAKI-LAKI MEMANG CUMA TAHU MAKAN DAN MENGOCEH
SAJA PADA PEREMPUAN, BIAR PUN (MENDADAK BERURAI AIR MATA) BIARPUN KITA PEREMPUAN SUDAH SUSAH PAYAH
MEMASAKKAN NASI DAN MEMBIKINKAN SAMBEL PETE KESUKAANNYA.

(Zaitun merasa heran, lantas dia mencoba mendekati barabah bermaksud merujuk. Tapi
barabah tidak mau)

Aku tidak mau dipegang siapapun lagi

165
ZAITUN
Kenapa? Maaf kalau ada kata-kata menyinggung perasaan ibu

BARABAH
Perempuan tidak salah, laki-lakilah yang salah

ZAITUN
MEMANG LAKI-LAKI YANG SALAH DAN KITA BENAR. MAAF BU KALAU KATA-KATA SAYA TENTANG ANAK-ANAK YANG
TIDAK MEMBELI KARCIS KERETA API TADI MENYINGGUNG PERASAAN IBU

BARABAH
Jangan pidato panjang lagi di rumah ini. Kau juga tidak membeli karcis

ZAITUN (MERASA TERSINGGUNG)


Ada apa ini? Saya membeli karcis. Bahkan saya membeli dua karcis. Kenapa saya dituduh demikian?
Saya masih punya uang dan saya masih....masih....

BARABAH (MEMOTONG)
Jangan mulai pidato lagi! Kau telah membawa cicak-cicak ke rumah saya ini. Rumah ini
bukan rumah takhayul atau kantor nikah. Rumah ini rumah saya dan suami saya

ZAITUN
Saya tahu, saya tahu

BARABAH
SEJAK ENGKAU DATANG TAD, SAYA SUDAH SABAR-SABARKAN HATI. SAYA SUDAH MENYINDIR-NYINDIR TAPI RUPANYA
SAYA DIBIARKAN PANAS PENASARAN

(MENANGIS TERSEDU-SEDU)

Saya tidak mau melepaskan dia seperti sebelas istrinya yang lain itu

(Zaitun kaget dengan ucapan Barabah itu, ia beranjak ke pintu dan berdiam di situ.
Melihatnya Barabah makin kesal dan menantangnya)

Jangan lama-lama berdiri di situ! Saya sudah cukup sabar. Nanti kau melihat cicak di loteng
lagi dan kau akan berpidato lagi tentang kawin

ZAITUN
Ini tentang perkawinan saya, bukan perkawinan ibu!

PERGI. KETIKA ZAITUN SUDAH PERGI, BARABAH BERKATA LIRIH SAMBIL


TERSENDAT-SENDAT MEREDAKAN TANGISNYA SENDIRI

BARABAH
Dikiranya aku ini masih boca atau nenek-nenek yang sudah lemah apa?

Barabah duduk di kursi dan tangannya mengambil gelas besar dan minum darinya. Ia tersadar
itu gelas kopi suaminya, lalu ditaruhnya kembali

166
Kopinya tak mau diminum lagi! Bukan laki-laki saja yang mata keranjang, perempuan juga
mata keranjang! Untung dia tidak lama-lama di sini. Dan untung pula tanganku tidak
memegang pisau penumis cabe. Kalau ada, sudah kupotong-potong dagingnya yang montok
itu dan kubumbui cabe! Biar dia tahu, aku ini perempuan yang bukan saja bisa mengiris-
ngiris cabe tapi juga...

(menangis lagi)

Tapi juga perempuan yang bisa mengiris perempuan. Biar dia tahu! Biar! Tidak peduli dia
mengadu pada polisi, biar!

BARABAH PERGI KE JENDELA. BARABAH TIDAK MENYADARI KALAU DIAKHIR


OCEHANNYA, BANIO SUDAH MASUK LEWAT PINTU BELAKANG

BANIO
Ada apa semua ini?

BARABAH
Ibah tidak peduli apakah bapak akan memarahi saya, tapi dia telah saya usir!

MENGHINDARKAN DIRI

BANIO
Siapa? Laki-laki?

BARABAH
Perempuan

MENGHINDARKAN DIRI

BANIO
O, kukira laki-laki

BARABAH BERUSAHA MENGHINDAR DARI TATAPAN BANIO SAMBIL


MENGATAKAN KALAU IA TIDAK MAU MELIHAT SUAMINYA

BARABAH
Katakan terus terang kalau bapak mau kawin lagi

BANIO
Siapa? Aku?

BARABAH
Iya! Siapa lagi!? Biar bapak dapat piala

BANIO
Barabah! Jangan sindir aku! Aku sudah tua!

BARABAH
Tapi buktinya, telah datang seorang perempuan menanyakan bapak! Dia memaksa saya untuk

167
memanggil bapak ke ladang. Tapi saya menolak! Saya tidak mau membiarkan suami saya
diambil seenaknya oleh perempuan lain.

BANIO
Siapa perempuan itu!?

KARENA KECAPEKAN BERPUTAR-PUTRA RUANGAN, BARABAH DUDUK DI


PETI. BANIO MENYADARI APA YANG TERJADI, KEMUDIAN DIA BERKATA
LEMBUT

Siapa perempuan, Barabah?

BARABAH
Ibah hampir saja mengirisnya dengan pisau cap garpu yang bapak beli dulu

BANIO
O...TAK APA. ASAL JANGAN AKU YANG KAU IRIS

BARABAH MENANGIS LAGI

BARABAH
Tapi Ibah tak mau bapak direbutnya. Dia sudah kuusir dan tidak saya eprbolehkan menginjak
rumah ini lagi. Ibah berjanji akan mencakar mukanya! Ibah mau menangis lagi sekarang

BANIO
Karena apa?

BARABAH
Karena Ibah tidak mau jadi janda yang dicerai. Karena Ibah tidak mau kehilangan laki

BANIO
Kau belum pernah marah sehebat ini. Seperti orang ngidam saja, sampai kau harus
mengusirnya

BARABAH
Karena Ibah cemburu, marah, benci melihatnya!

BANIO (TERSENYUM)
Ini baru bini namanya. Semua biniku selama ini tidak ada yang berterus terang padaku,
kecuali kau Barabah.

(Membelai rambut Barabah)

Karena itu, aku ingin mengakhiri kemarahanmu, kebencianmu, kecemburuanmu dan


prasangkamu padaku. Aku ini sudah tua Barabah. Yang kau lihat sekarang ini bukan
kerangka hidup, tapi sisa-sisanya. Aku sudah tidak mau sisa hidupku yang sedikit ini kukotori
lagi, sebab hidupku yang dulu sudah cukup menjijikan. Kau dengar itu semua, Barabah? Nah,
sekarang aku mau tanya lagi padamu. Siapa perempuan yang datang tadi? Coba tenang
sedikit. Tuhkan, dekat hidungmu ada air matanya

(Barabah lekas menghapusnya)

168
Sekarang, sebutkan siapa nama perempuan itu?

BARABAH
Dia Cuma seorang perempuan

BANIO
Iya, siapa namanya?

BARABAH
Tidak ingat lagi. Ibah pening...

BANIO
Mari kupijit kepalamu yang pening itu

BANIO BERMAKSUD MEMIJIT KEPALA BARABAH, TAPI SEGERA BARABAH


MENCEGAH

BARABAH
Ibah tidak pening lagi. Nama perempuan itu Zaitun

BANIO
Sebesar siapa dia? Darimana dia datang?

BARABAH
Sebesar Ibah, Cuma dia lebih montok

BANIO
Montok....kalau laki-laki melihat perempuan montok, terbakar hatinya sebab gairah. Tetapi
kalau perempuan melihat perempuan montok, terbakar hatinya sebab iri hati. Apa kau iri
Barabah?

BARABAH
Iya!

BANIO
Kau jujur! Aku senang manusia jujur biarpun dia bodoh. Sekarang katakan apa maksud ia
datang kemari.

BARABAH
MULA-MULA IA MELIHAT SEPSANG CICAK DI ATAS LOTENG RUMAH KITA ITU, LALU IA MEMPERSOALKAN JODOH. LALU
DIA CERITA SOAL TAKHAYUL DAN KEMUDIAN MENCERITAKAN TENUNG KARTU. DIA BIKIN LELUCON YANG TIDAK LUCU
TENTANG DUA PELAJAR YANG TIDAK MEMBELI KARCIS KERETA API.

BANIO
Jadi kalau begitu dia datang dengan kereta api

(tiba-tiba ingat)

Apa kau bilang? Bertenung dengan kartu? Ah, aku benci dengan perempuan yang bertenung
dengan dartu dan memang sudah sepantasnya dia kau usir. Aku benci sama perempuan-

169
perempuan yang suka takhayul dan ramalan-ramalan

BARABAH
Neneknya barangkali penjudi

BANIO
Tidak peduli biarpun nenek dan buyutnya sekalian. Pokoknya aku benci perempuan yang
menghabiskan waktunya sehari-hari dengan menghadapi kartu-kartu dan biasanya mereka
meramalkan suami atau pacarnya! Bukan lelaki saja yang mesti bekerja, perempuan juga. Dan main
tenung kartu itu adalah kerjaan yang kurang kerjaan

BARABAH
Dia datang ke sini mau kawin!

BANIO
Mau kawin?

BARABAH
Iya, kawin. Dia menanyakan bapak

BANIO
MENANYAKAN AKU!? HAH, PEREMPUAN MACAM APA ITU? SETAN BARANGKALI! KAU TIDAK SALAH LIHAT SIAPA YANG
DATANG TADI? BARANGKALI CUMA HAYALANMU SAJA. COBA KAU GOSOK-GOSOK MATAMU DULU.

(Diam sejenak)

Zaitun? Beribu-ribu orang yang bernama Zaitun di dunia tuhan ini! Nenek dan buyut ibuku
juga bernama Zaitun. Sekarang aku bertanya, ini Zaitun yang bagaimana dari ribuan orang
yang bernama Zaitun itu?

BARABAH
Ini Zaitun yang montok dan akan kawin. Mungkin dengan bapak!

BANIO
Tidak mungkin, tidak mungkin. Aku sudah bersumpah tidak akan kawin-cerai lagi dan
engkau adalah perkawinanku kedua belas dan terakhir. Tapi sekarang aku bertanya, kau
masih cemburu?

BARABAH
Masih.

BANIO
Ini mesti diselesaikan hari ini juga kalau begitu. Apa sepeda masih ada dalam gudang?

BARABAH
Bapak mau kemana?

BANIO
MAU KE STASIUN DAN MENGUMUMKAN DI CORONG STASIUN UNTUK MEMANGGIL PEREMPUAN JAHANAM YANG BIKIN
KACAU ITU KESINI UNTUK DIPERIKSA APAKAH DIA SEHAT ATAU SINTING. HE, KENAPA KAU DIAM SAJA? APA KAU PIKIR SI
TUA INI TIDAK KUAT LAGI NAIK SEPEDA!? AKU PERNAH JADI JUARA LOMBA SEPEDA KETIKA BAN-BAN SEPEDA MASIH BAN

170
MATI. KAU TUNGGU SEBENTAR DI SINI.

BARABAH MELIHAT SUAMINYA PERGI KE BELAKANG, LALU IA BERKATA


SENDIRI

BARABAH
MEMANG DIA PEREMPUAN JAHANAM, MAU MENYEROBOT LAKI ORANG. DULU KETIKA AKU KAWIN DENGAN DIA, AKU
BUKAN MENYEROBOTNYA. IA TELAH BERCERAI ENAM TAHUN LAMANYA DARI ISTRINYA YANG KE SEBELAS . AKU
DIPINANGNYA SEPERTI JEJAKA MEMINANG GADIS.

BANIO MUNCUL

BANIO
Kenapa kau ngomong sendiri? Nanti kau dianggap orang gila lagi. Aku berangkat.

BANIO PERGI MEMBAWA SEPEDA ONTELNYA, BARABAH MENGANTARNYA


SAMPAI KE PINTU. MENUTUP PINTU ITU DAN BERANJAK KEMBALI KE PETI
DAN BERMAKSUD MENYULAM. TAK BERAPA LAMA, TERDENGAR KETUKAN
PINTU.

ADEGAN III
BARABAH MENYAMBANGI PINTU, DIBUKA DAN NAMPAK ADIBUL YANG
TUBUHNYA KEKAR TAPI AGAK SEDIKIT BONGKOK. IA MELIHAT LOTENG

BARABAH
Apa saudara melihat cicak di situ?

ADIBUL
Tidak.

BARABAH
Apa saudara polisi?

ADIBUL
Bukan. Saya kusir

BARABAH
Bohong! Pasti saudara polisi

ADIBUL
MEMANG SAYA DARI KANTOR POLISI, TAPI SAYA BUKAN POLISI. SAYA KUSIR SADO.

BARABAH
YA, YA. SAYA TAHU, SAUDARA ADALAH POLISI RESERSES SEPERTI KATA ORANG, YANG TIDAK MEMAKAI PAKAIAN DINAS.
BIAR PUN BEGITU, SAYA TIDAK TAKUT. MANA PEREMPUAN ITU! YA, YA, SAYA TAHU PEREMPUAN ITU TELAH MENGADU
KE KANTOR POLISI KALAU SAYA SUDAH MENGUSIRNYA, TAPI SAYA TIDAK TAKUT. SAYA TIDAK TAKUT, KEPADA SIAPA SAJA
YANG BERANI MELAWAN HAK SAYA. APALAGI KALAU HAK ITU MENYANGKUT SUAMI SAYA. DIA ADALAH SUAMI SAYA DAN
BUKAN SUAMI ORANG.

171
ADIBUL
Ya, itulah maksud saya

BARABAH
Apa maksud saudara?

ADIBUL
Ingin bertemu dengan suami ibu

BARABAH
Ingin bertemu dengan suami saya?

ADIBUL
Ya.

BARABAH (TEGAS)
Dia tidak ada!

ADIBUL
Kalau begitu, bolehkah saya menunggu sampai dia datang?

BARABAH MULAI MEMERHATIKAN ADIBUL DARI UJUNG RAMBUT SAMPAI


UJUNG KAKI

BARABAH
KITA ORANG TIMUR. TIDAK DEMIKIAN SEBENARNYA MAKSUD SAYA CARA MENERIMA TAMU. KAMI ORANG UDIK SEPERTI
DIKATAKAN ORANG-ORANG KOTA. TAPI DALAM SOAL TETEK BENGEK, KAMI TIDAK PERNAH MENGADU PADA POLISI,
KECUALI SOAL-SOAL PENCURIAN ATAU PEMBUNUHAN. TAPI SAYA PERCAYA, POLISI-POLISI KAMI TIDAK AKAN MELADENI
PEREMPUAN MACAM DIA. DAN SAUDARA PASTI BUKAN POLISI DARI DAERAH KAMI INI.

ADIBUL
Memang. Memang benar.

BARABAH
Kalau saya akan ditangkap soal pengaduan perempuan itu yang semuanya tentu hanya omong
kosong, saya terima. Dengan catatan kalau yang menangkap adalah polisi-polisi kami.

ADIBUL
SAYA AKAN MENANGKAP IBU? TIDAK. SUNGGUH MATI, TIDAK. MALAHAN SAYA YANG PERNAH DITANGKAP POLISI
SEWAKTU MENABRAK ANAK KECIL DENGAN SADO SAYA. SAYA INI KUSIR, TIDAK ADA SANGKUT PAUTNYA DENGAN POLISI.
JIKALAU ADA, ARTINYA SAYA MELANGGAR PERATURAN LALU LINTAS.

BARABAH
BUNG, KITA INI ORANG TIMUR. SAYA BISA MENGHORMATI TAMU-TAMU SAYA. TAPI SUAMI SAYA MEMESANKAN,
JANGANLAH MENERIMA TAMU LELAKI KETIKA SUAMI TIDAK ADA DI RUMAH. SAUDARA SEPUPU SAYA YANG LELAKI SAJA
TERPAKSA SAYA SURUH BERKELILING DULU SEBELUM SUAMI SAYA DATANG.

ADIBUL
TAPI SAYA DATANG DENGAN MAKSUD BAIK. SAYA BUKAN LELAKI SEMBARANGAN

172
BARABAH
Saya juga bukan perempuan sembarangan! Suami saya sekarang tidak ada di rumah. Ia pergi
ke stasiun

ADIBUL
Mau apa ke stasiun?

BARABAH
Mau mencari perempuan jahanam itu. Ya, perempuan itu betul-betul ayam putih kesiangan!

ADIBUL
PEREMPUAN JAHANAM? SIAPAKAH NAMANYA?

BARABAH
Siapa namanya, tidak penting disebut. Sebab perempuan jahanam macam dia tidak perlu
punya nama. Karena mereka mencemarkan nama mereka sendiri dengan kelakuannya yang
terkutuk

ADIBUL
Oh, begitu.

BARABAH
Jangan berlagak bodoh bung. Saya memang boleh kau tuduh perempuan judes. Boleh saja.
Saya juga menghormati ada sopan santun, tapi itu pun ada batasnya. Saya dari tadi pusing
kepala memikirkan nasib saya.

(lesu)

Saya tidak peduli akan marah sama polisi atau pak kapten. Saya kalau marah, sering lupa diri.
Perempuan-perempuan memang begitu kalau cemburunya datang.

ADIBUL
Memang begitu

BARABAH PERGI DUDUK KE PETI

BARABAH
SAYA PUSING KALAU MEMIKIRKAN LELAKI. SEMUA PEREMPUAN PUSING KALAU MEMIKIRKAN KELAKUAN SUAMINYA.
TIAP HARI SAYA MERENDA BAJU UNTUK ANAK SAYA YANG BAKAL LAHIR, BEGITU SETIANYA SAYA, TETAPI LELAKI TIDAK
PERNAH SEDIKITPUN BERTERIMA KASIH PADA PEREMPUAN. MALAH MEREKA MENGEJEK MASAKAN ISTRINYA, GULAI
YANG KEBANYAKAN SANTANLAH, IKAN ASIN YANG KELIWAT ASINLAH. MANA ADA IKAN ASIN YANG TIDAK ASIN?

ADIBUL
Semua ikan asin memang asin!

BARABAH
Tapi selalu kalian laki-laki mengatakan ikan asin kelewat asin! Itu kesalahan pabrik ikan
asinm, bukan kesalahan bini mereka!

ADIBUL
YA, MEMANG KESALAHAN PABRIKNYA. PABRIK-PABRIK ITU MESTI DIRITUIL, BU.

173
BARABAH
orang-orangnya juga mesti dirituil.seperti yang saya baca di koran

ADIBUL (Duduk secara tak sadar)


Ibu suka baca koran?

BARABAH
Ya. kalau saya pulang belanja di depan kantor penerangan

ADIBUL
Belakangan ini saya membaca sering terjadi penyelundupan beras

BARABAH
Itu kerjaan lelaki! Perempuan cuma tahu menanak nasi!

ADIBUL
Tapi lelaki yang menyelundupkan beras, kebanyakan atas anjuran istrinya

BARABAH
Iya, disitulah kesalahan perempuan. Itu saya akui

MENDADAK BANIO MUNCUL DARI PINTU DEPAN SAMBIL BERTERIAK


MENGGERUTU

BANIO
Sial! Dia tidak ada di stasiun. Mana ban sepeda ku kempes lagi!

SAAT MASUK, BANIO KAGET MELIHAT ADIBUL

BARABAH
POLISI INI MENCARI BAPAK

BANIO
Mana pakaian dinasmu kalau kau betul-betul polisi!?

BARABAH
Dia menyamar

BANIO
Menyamar? Oh, ya, iya. Laki-laki mata keranjang memang suka menyamar kalau datang ke
rumah bini orang. Busyet benar!

(Pada Barabah)

He, inikah perempuan yang kau bilang itu Barabah?

ADIBUL
Saya bukan polisi, saya kusir!

BARABAH

174
Diam kau! Saya tidak bertanya pada kau!

(Pada Barabah)

Inikah perempuan berkumis itu? Hmm, baru kali ini selama hidupku melihat perempuan
berkumis dan rambutnya seperti jambul kuda

ADIBUL
Memang saya saban hari bergaul dengan kuda, pak. Bagaimana bapak bisa tahu itu?

BANIO
DIAM! BUSYET, TERNYATA KAU INI BUKAN HANYA BERGAUL DENGAN KUDA, TAPI PANDAI JUGA BERGAUL DENGAN
PEREMPUAN. BARABAH! KAU MULAI MEMBOHONGIKU, SEPERTI JUGA ISTRIKU YANG KELIMA DAN KESEMBILAN! KAU
BETUL-BETUL BURUNG BARABAH; DIAM-DIAM MEMAKAN PADI!

BARABAH
Aku tidak berbuat apa-apa pak!

BANIO
bohong! Siapkan semua pakaian-pakaianmu dan masukan dalam keranjang!

BARABAH
Tapi....tapi saya malah mengusir dia!

ADIBUL
Ya, pak. Saya diusirnya!

BANIO
KAU LELAKI MATA KERANJANG YANG TOLOL! KALAU PEREMPUAN MENGUSIR, ITU TANDA PURA-PURA. KENAPA KAU
TIDAK BUJUK TERUS SAMPAI BERHASIL? MEMBUJUK PEREMPUAN HARUS BERANGSUR-ANGSUR, TOLOL. BUKAN SEKALI
BUJUK TERUS KAU RAMPAS!

ADIBUL
Saya tidak membujuknya. Saya mau ketemu dengan pak Banio! Bapak sudah dikenal sampai
ke kota. Saya kenal bapak adalah seorang jagoan!

BANIO
TAPI KAU BERLAGAK JAGOAN HARI INI DENGAN KELAKUANMU! KALAU KAU MAU COBA? BOLEH, AKU BIKIN KAU MATI
SEKALIAN!

(PADA BARABAH)

HE, DIA LELAKI JAGOAN YA?

BARABAH
Ibah tidak tahu. Dia polisi

ADIBUL
saya bukan polisi. Saya ini kusir bendi

BANIO

175
Diam kalian berdua! Kalian sudah salah bikin siasat! Harusnya kalian berdua berembuk dulu
soal pekerjaan kau

(MENUNJUK ADIBUL)

DAN KALAU PERLU PAKAI NAMA SAMARAN. DAN KAU JUGA BARABAH! KAU MESTINYA TIDAK SALAH MEENYEBUT
PADAKU KALAU DIA INI LAKI-LAKI DAN BUKAN PEREMPUAN. POTONG DULU KUMISNYA DAN PANJANGKAN DULU
RAMBUTNYA YANG SEPERTI KUDA JANTAN ITU, BARU KAU NAMAKAN DIA PEREMPUAN.

BEDEBAH KALIAN BERDUA! HAYO, KELUAR KAU DARI RUMAHKU!

(PADA ADIBUL)

KAU JANGAN PERGI DULU KALAU KAU BETUL-BETUL LELAKI JANTAN. KAU TUNGGU DI LUAR
SAMPAI SAYA DAN BINI SAYA BERES!

ADIBUL
Tapi saya kusir dan saya datang ke sini untuk....

BANIO (Memotong)
Untuk apa ha? Untuk naik sado?

ADIBUL
Untuk mengurus perkawinan

BANIO
Tepat! Cocok! Nomor tebkan ini betul-betul tidak meleset!

(ADIBUL KETAWA SENANG)

Kenapa kau tertawa? Kau pikir ini lelucon?

ADIBUL
Saya tertawa sebab saya gembira

BANIO
Gembira? Gembira karena kau dapat merampas hak milik orang lain?

ADIBUL
bukan, bukan itu pak. Gembira sebab bapak bisa menebak!

BANIO
Kau pikir aku ini kakek-kakek linglung apa? Biarpun aku sudah tua, aku masih bisa menebak
gerak-gerik hati orang!

ADIBUL
YA, JUSTRU KARENA ITU! SAYA SENANG BAPAK BISA MENEBAK GERAK-GERIK HATI SAYA

BANIO
Bajingan kau!

176
(MENDEKATI ADIBUL DAN MENGUKUR KEKUATANNYA DENGAN DIRINYA YANG SUDAH TUA)

KAU JAGOAN JUGA RUPANYA YA?

ADIBUL
Bukan pak. Tapi koran-koran di kota menulis bahwa saya jagoan

BANIO
Jagoan apa?

ADIBUL
Ya, cuma berkelahi dengan seekor harimau. Saya jadi malu dengan muka cacat saya ini!

BANIO
Jadi kau lah orangnya yang ditulis di koran-koran itu. Bagus! Tapi kau jangan sombong dulu.
Yang berdiri dihadapanmu ini

(MENEPUK DADA)

BUKAN SAJA TELAH MENYATE SEEKOR MACAN, TAPI TUJUH EKOR MACAN! KAU BELUM APA-APA SUDAH BERLAGAK
SEPERTI JAGOAN.
COBA KAU LIHAT PUNGGUNG DAN DADA SAYA INI

(MEMBUKA PAKAIANNYA, NAMPAK BEKAS CAKARAN)

BELUM LAGI YANG DI PUNGGUNG SAYA. TUJUH EKOR MACAN SUDAH KUBUNUH, DAN COBA KAU PERIKSA GUDANG
BELAKANG, ADA TUJUH EKOR MACAN DAN SUDAH DITAWAR SEPULUH RIBU PER KEPALA.
TAPI AKU BUKAN ORANG SERAKAH MAU JUAL KEBANGGAANKU UNTUK SOMBONG. TAPI KAU
BARU SATU EKOR SUDAH BERLAGAK JADI JAGOAN! KAU LAGAK YA, MENTANG-MENTANG
MASIH MUDA?

ADIBUL
Saya tidak berlagak jadi jagoan pak, koran-koran itu yang menulis

BANIO
KORAN-KORAN MEMANG SUKA SENSASI. DULU AKU TIDAK TAHU ARTI PERKATAAN SENSASI. TAPI MELIHAT HUBUNGAN
ANTARA KAMU DAN BINI SAYA SEPERTI YANG SAYA LIHAT INI. KALAU SAYA WARTAWAN GOT, TENTU SAYA SUDAH BIKIN
SENSASI DI KORAN

ADIBUL
HUBUNGAN? HUBUNGAN APA? SAYA MALAH NAMA BINI BAPAK SAJA SAYA TIDAK TAHU.

BANIO
bohong!

(KEPADA BARABAH)

BARABAH! BETUL DIA TIDAK KENAL NAMAMU?

BARABAH
Betul. Saya juga tidak kenal namanya

177
BANIO
AH! KENAPA KALIAN TIDAK KOMPAK SEPERTI MODEL ZAMAN SEKARANG. SIALAN KALIAN! SIAL BETUL! KALIAN BERDUA
BETUL-BETUL GOBLOK!

ADIBUL
Saya tidak goblok!

BANIO
Siapa bilang kau tidak goblok!?

ADIBUL
Saya yang bilang

BANIO
Kau ngotot ya!? Mentang-mentang kau masih muda!? Baiklah, baik! Sekarang kau keluar!
Tapi….

ADIBUL (Heran)
Tapi….tapi apa pak?

BANIO
Ah, sudahlah! keluar! Keluar kataku sebelum saya naik pitam!

ADIBUL KAGET LALU KELUAR. BANIO MENYABARKAN HATINYA, DIA PUN


DUDUK DI KURSI. DIA MENGURUT-URUT KENINNYA. DIA TERDIAM LAMA
MELIHAT BARABAH TAK MENANGIS

BANIO
Kau tahu kenapa aku diam, Barabah?

(Barabah tak menjawab)

Aku diam sebab kau tidak menangis. Aku menunggu kau menangis, seperti bini-biniku dulu
menangis untuk menyembunyikan kesalahannya. Kau lebih kuat, kau perempuan kuat. Akh,
biarpun marah, aku tetap kagum padamu, Barabah. Kau istriku berbeda dari yang lain.

(suaranya melembut)

Sekarang aku ingin bertanya padamu, Barabah. Siapa lelaki bertampang buruk itu?

BARABAH
Saya tidak tahu, pak

BANIO
Bohong!

(Berdiri, menatap wajah Barabah. Barabah membalas tatapan itu dengan tajam)

Matamu berkata, bahwa kau tidak berbohong

178
BARABAH
Kenapa bapak marah betul kelihatannya?

BANIO
Sebab aku cemburu

BARABAH (Kaget)
Hah? Bapak cemburu? Kenapa pula bapak cemburu?

BANIO
Sebab lelaki muda itu. Sebab kau juga muda. Kami yang tua-tua ini tak bias kembali muda. Sebab itu
aku cemburu!

BARABAH
Tapi dia dan saya tidak ada apa-apa. Ibah sudah berkata padanya sewaktu dia masuk
“Janganlah bertamu ke rumah orang, ketika suaminya tidak di rumah. Itu adat timur” kata
saya.

BANIO
Betul? Betul kau ingat pesan-pesan saya dulu?

BARABAH
Bagaimana Ibah akan memanggil dia. Ibah tidak tahu namanya!

BANIO BERDIRI LAGI DENGAN KEKARNYA. DILIHATNYA BARABAH SEBENTAR


UNTUK KEMUDIAN SEAKAN-AKAN MENANGKAP KEJUJURAN DALAM MATA
ISTRINYA, IA TEGAP BERJALAN KE PINTU DEPAN.

BANIO
He jagoan! Masuklah

(Adibul masuk)

Ah, kau tidak pergi rupanya. Biasanya para pengecut itu pergi lari. Aku tadi Cuma
mengujimu

(memerhatikan Adibul yang tegap dengan kagumnya. Adibul malu)

Kau nampak malu….kenapa? Duduk saja di kursi itu! Semua kursi-kursi sudah kutaruh di
gudang belakang, sejak orang-orang sekita tidak setuju dengan perbuatanku

ADIBUL
Apa itu pak?

BANIO
Orang-orang itu benci melihat aku membagi tanah, mematuhi undang-undang landriform
pemerintah. Mereka bilang aku cari muka! Coba kaupikir, buat apa cari muka, kalau aku mau
aku bias menjadi pegawai pemerintah kalau mau. Tapi bukan itu yang kuinginkan. Lagipula
aku sadar, pada akhirnya aku hanya butuh dua meter persegi saja.

ADIBUL

179
Tapi bapak awet muda. Dua puluh tahun lagi, pasti masih kuat!

BANIO
Kuat apa?

ADIBUL
Kuat untuk hidup

BANIO
Hidupku baru saja mulai. Ini memang hidupku. Aku bangga dengan sisa hidupku ini

ADIBUL
Kalau saya dapat mertua seperti bapak, saya akan senang

BANIO
Kenapa?

ADIBUL
Orang-orang tua di sini, kebanyakan sudah meneyerah pada nasib

BANIO
Ya, mereka pergi ke sana kemari dengan petuah-petuah using membawa wasiat-wasiat.
Sedangkan mereka sendiri sebenarnya masih bias mencangkul lading buat cucu-cucunya. He,
kau pintar bicara. Kau ini siapa sebenarnya? Betul kau polisi?

ADIBUL
Saya bukan polisi. Saya kusir sado

BANIO
Rupanya kau betul-betul jujur. Saya pernah ketemu kusir sado yang berlagak punya rumah
gedong. Saya benci orang-orang yang tidak jujur. Namamu siapa?

ADIBUL
Nama saya Adibul. Adibul congek orang-orang mengejek saya. Sebab waktu kecil, kuping
saya ini bernanah

BANIO
Jangan bercerita yang menjijikan! Aku bias muntah

ADIBUL
Tapi ini kenang-kenangan masa kecil saya pak

BANIO
Apa itu kenangan. Kau barangkali suka nonton film. Kata-kata itu Cuma diucapkan bintang-
bintang film di bioskop-bioskop. Tapi aku punya kenang—kenangan yang buruk. Siapa tadi
namamu?

ADIBUL
Adibul, pak

180
BANIO
Aku punya kenangan buruk, Adibul. Aku telah sebelas kali kawin cerai

ADIBUL
Saya sudah mendengarnya sebelum ini

BANIO
mereka yang bercerita padamu itu sebab iri hati saja. Dunia ini sudah sedemikian dipenuhi iri
hati, sehingga kita bosan. Tapi saya tidak bosan hidup. Apa pekerjaanmu? Apa kau
mencangkul saban hari, maka kau yang segini muda jadi bongkok?

ADIBUL
Pekerjaan saya kusir, pak

BANIO
Dari tadi aku mengujimu, kau tetap jujur. Kusir? Kusir yang begini?

(Memeragakan perilaku kusir lengkap dengan desahannya)

Pantas kau bongkok. Tapi apa kau mencintai pekerjaanmu?

ADIBUL
Cinta sekali

BANIO
Selama kau jadi kusir, berapa kali kau ditabrak mobil? Aku tidak bertanya berapa kali kau
menabrak orang. Camkan itu!

ADIBUL
Belum pernah!

BANIO
Hebat kau! Hebat! Nah, dimana kau mandikan kudamu?

ADIBUL
Di kali pak

BANIO
Di kali? Apa di kali itu banyak orang yang mandi?

ADIBUL
Banyak juga pak. Terlebih kalau sore hari

BANIO
Siapa yang mandi, laki-laki atau perempuan?

ADIBUL
Kalau perempuan, mandinya di pancuran

BANIO (Ketawa)

181
Hahahahaa.....Lantas, bagaimana cara kau mandikan kudamu?

(Adibul gugup merasa diuji. Banio memberi isyarat)

Berdirilah, jangan malu-malu. Coba tunjukan padaku cara kau mandikan kuda

(Adibul ragu-ragu. Dicobanya memeragakan cara memandikan kuda)

Kalau begitu, di tempat ini

(menunjuk dirinya sendiri)

Perempuan-perempuan itu mandi, bukan? Kau, ya matamu melihat ke sini. Jadi kau bukan
saja memandikan kudamu, tapi juga matamu kau pakai buat melihat-lihat

ADIBUL (Senyum)
Namanya juga orang muda, pak

BARABAH (Menggerutu)
Lelaki tak punya sopan santun

BANIO (Menoleh ke arah Barabah)


Kau bilang apa, Barabah?

BARABAH
Lelaki tidak bersantun

BANIO
Biar! Dia jujur. Seperti aku waktu muda juga begitu

BARABAH
Aku tidak suka menerima tamu tidak sopan!

(Berjalan ke arah pintu belakang, sampai di pintu Barabah berkata)

Rumah ini bukan warung tempat ngobrol yang bukan-bukan

BANIO (Senyum)
Dia sebenarnya tidak galak. Barangkali saja sedang ngidam

ADIBUL
Tapi saya diusirnya tadi!

BANIO
Itu tandanya dia istri yang baik. Kalau kau kawin, carilah perempuan yang sebaik Barabah.
Dia bukan hanya bisa masak di dapur, dia juga pemberani dan suka memberi semangat. Dia
juga tidak mau kehilangan suami. Sebab itu aku senang padanya.

Kau pernah ikut latihan militer? Dulu aku pernah ditawan. Penjaralah yang membuatku
mencintai dunia ini. Aku dulu jago genderang , aku penabuh genderang yang disegani.

182
(Memanggil Barabah)

Barabah....Barabah....

(pada Adibul)

Coba kau lihat, muka dia pasti merengut. Laki-laki suka melihat istrinya merengut dibikin-
bikin

(Barabah muncul dengan muka merengut)

Betul tidak kata-kataku?

(Adibul mengangguk. Pada Barabah)

Barabah, ambillah genderang itu di gudang

(Barabah masuk kembali ke dapur)

Kau tidak tahu bagaimana seharusnya menabuh genderang. Begini, berdiri tegap
dan....tramtamtam....tramtamtam...tot tit tet...tot tit teeeeet, dram tam tam dram tamtam.....
apa kau tahu kenapa aku suka bunyi genderang? Genderang itu bersemangat. Banyak orang
tua kehilangan semangat

(Barabah muncul membawa tambur, banio mengambilnya dan memasang tambur itu dan
berdiri. Banio menabuh tambur dan debu-debu pun beterbangan. Banio terbatuk-batuk)

Tambur ini barangkali umurnya lebih tua dari amu, Adibul. Betul namamu, Adibul?

ADIBUL
Boleh saya pinjam?

BANIO
Apa? Pinjam? Kau kan bisanya cuma (mencontohkan gaya kusir) Ssh, sshh, sssh.....

ADIBUL
Ijinkalah saya pinjam barang sebentar

BANIO RAGU-RAGU MEMBERIKANNYA. ADIBUL MEMUKUL TAMBUR ITU DAN


BANIO BERDECAK KAGUM DAN TERCENGANG

BANIO
Cobalah sekali lagi, aku tak percaya kupingku

(mengorek telinganya, Adibul kembali menabuh tambur itu)

Hebat, hebat kau! Kau adalah sainganku rupa-rupanya

(Banio tertawa kencang untuk pertama kalinya. Barabah berdiri di pintu, Banio melihat ke
Barabah)

183
Dia hebat bukan?

BARABAH
Rumah ini bukan panggung komedi pak

BANIO
Kenapa kau sekarang jadi pemarah!? Sialan! Kau pikir rumah ini tempat parlemen bertengkar
apa? Di rumah ini tak boleh ada pertengkaran. Biar orang lain yang bertengkar, kita jangan
ikut-ikutan. Bukan begitu, Adibul?

ADIBUL
Betul

BANIO
Hahahaa.... kau betul-betul hebat, Adibul. Waktu muda...eh, benar nama engkau Adibul? Aku
suka salah menyebut nama orang sehingga kalau aku marah pada Barabah, ku panggil dia
'Barakah” Hahahaaa... aku tadi cerita apa?

ADIBUL
Waktu muda...

BANIO
O ya, waktu muda aku suka menyenangkan hati orang tua, seperti yang barusan kau lakukan.
Kau seperti aku waktu muda. Ah, taruhlah dulu tambur ini di atas meja. (Mengambil tambur
dan menaruhnya di meja) Waktu muda aku hebat seperti kau, jagoan seperti kau. Dan
sekarang aku sudah tua, tapi aku tak mau mati lekas-lekas. Aku tidak mau seperti kakek-
kakek yang lain, yang nagntuk-ngantuk di depan kuburannya yang digali sepuluh tahun
sebelum mereka mati

(Keras dan tegas)

Aku masih kuat melawan semua ini. Aku masih kuat bukan? Tapi kau diam-diam sudah
menggantikan kedudukanku!

ADIBUL
Saya hendak mengatakan sesuatu pada bapak. Ini penting, pak

BANIO
Jangan memotong pembicaraan orang tua, kami tak perlu kalian ajarkan bagaimana caranya
hidup! Kami sudah cukup pengalaman

ADIBUL
Saya tahu itu

BANIO
Jangan berlagak sok tahu. Kalau kau jatuh dari langit, bagaimana rasanya jatuh dari tempat
tertinggi di bumi ini?

ADIBUL

184
Saya pernah jatuh dari kapal terbang

BANIO (kaget)
Hah? Kau pernah naik kapal terbang?

ADIBUL
Pernah, waktu saya masih muda di zaman Jepang

BANIO
Kau naik kapal terbang, betul kau pernah naik kapal terbang?

ADIBUL
Ya, saya pernah naik kapal terbang

BARABAH
Dia bohong!

BANIO
Janganlah kau ikut campur

BARABAH
Laki-laki semua suka bohong!

ADIBUL
Saya betul-betul pernah naik kapal terbang!

ZAITUN TIBA-TIBA MUNCUL DI PINTU. SEMUA TERKEJUT. BARABAH


BERANJAK DARI PETI

ZAITUN (Pada Adibul)


Kenapa begitu lama?

BARABAH (MARAH)
Ini dia perempuan itu! Ini dia si tak tahu malu yang mau menjinakkan suami orang!

ADIBUL MENDEKATI ZAITUN

ADIBUL
Betul kau suka menjinakkan suami orang?

ZAITUN (kaget)
Tidak

BARABAH
Dia bohong! Dia datang kesini mau menguji hatiku dengan sindiran-sindiran.

BANIO
Siapa dia?

BARABAH
Ini dia perempuan yang tadi mencari bapak. Dia mencari-cari suamiku terang-terangan

185
BARABAHMENANGIS

ZAITUN
Saya datang bukan mencari suamimu. Saya datang mencari bapak saya

BANIO
Bapak? Siapa bapakmu? Siapa kau?

ZAITUN
Saya Zaitun

BANIO
Ada beribu-ribu Zaitun di dunia ini. Kau Zaitun yang mana dan Zaitun siapa?

ZAITUN TERPAKU MEMANDANG BANIO, BANIO MERASA HERAN. BARABAH


MEMERHATIKANNYA, MENDADAK DIA MEMEKIK HISTERIS

BARABAH
Perempuan itu melihat kau dengan mesra

ZAITUN (Lirih)
Kaulah bapakku rupanya

BANIO
Aku?

ZAITUN
Ya, bapak

BARABAH
Jangan percaya, pak. Itu siasat!

ZAITUN
Iya, dia bapakku!

ADIBUL
Iya, pak. Dia ini anak bapak

BARABAH TERKEJUT

BANIO
Anak saya? Saya punya berpuluh-puluh anak perempuan. Dia ini dari istri yang mana?

ZAITUN
Dari istri bapak yang ke enam, Ibu Rabiah!

BANIO
Rabiah!? He Barabah, kau ingat istriku yang keenam, Rabiah!?

BARABAH

186
Yang tukang tenung ramalan itu!?

BANIO (Tenang)
O, iya...ya... Tapi kalian ke sini mau apa?

ZAITUN
kami ke sini dengan kereta api

BARABAH MENDEKATI BANIO

BANIO (Pada Adibul)


Dan ini siapa?

ZAITUN (Kesal melihat Adibul)


Aku sudah menunggumu satu jam di kantor polisi. Apa sudah kau omongkan soal
perkawinan kita?

SEMUANY MENGANGA, BANIO TENANG

BANIO
Jangan menganga...nanti masuk nyamuk dalam mulut kalian. Aku sudah menyelidiki dengan
teliti, bahwa kau (menunjuk Zaitun) adalah anakku akan kawin dengan (menunjuk Adibul).
Kenapa dalam perkawinan zaman sekarang mesti membikin pemberitahuan pada orang tua?

ADIBUL
Itulah sebabnya saya datang

ZAITUN
Ya

BANIO TERSENYUM

BANIO
Rupanya selama ini aku kelewat curiga dengan anak-anak muda. Masih ada juga anak muda
yang merundingkan soal perkawinan pada orang tuanya. Dan anak muda itu adalah kalian,
anak-anakku. Kenapa kalian semua terdiam? Kenapa? Apa kalian kira aku menyindir?

ADIBUL
kami sebenarnya mau mengatakan hal ini sejelas-jelasnya

BANIO
He, apa kau pikir aku ini sudah pikun? Aku bukan orang goblok yang membuat satu perkara
bertele-tele

ADIBUL
Ya, kami mau berterima kasih

BANIO
Perkawinan tidak perlu diawali dengan yang muluk-muluk dulu. Aku sudah cukup gagal
sebagai contoh. Apa yang kalian tunggu lagi? Aku bukan orang tua yang banyak cincong

187
minta ini minta itu pada calon mantu, yang kesemuanya akan kalian ungkit kalau bermasalah
denganku

(Zaitun mendekati adibul, lalu berbisik. Banio mendelik)

Apa yang dia bisikkan?

ADIBUL
Kami akan ketinggalan kereta api terakhir

BANIO
O, cuma itu.

(Setelah semuanya agak lama terhening)

Kenapa semuanya melongo? Apa yang kalian tunggu lagi?

BANIO GELISAH

ZAITUN
Ibu melarang kami lama-lama sebenarnya, ibu khawatir

BANIO
O, sudah insyaf dia sekarang soal harga diri perempuan? Siapa laki ibumu sekarang Zaitun?
Betul kau bernama Zaitun?

ZAITUN
Iya. Suami ibu seorang kepala kuli pelabuhan, pak. Namanya pak Dulsidik

BANIO (Memalingkan muka, sedih)


Zaitun, jangan bilang pada ibumu kalau aku minta maaf

ZAITUN MENDEKATI BANIO LALU SUNGKEM DI KAKI BANIO. BANIO MAKIN


TERHARU DAN SECARA TIDAK SADAR IA MEMBELAI RAMBUT ZAITUN

RAMBUTMU HITAM BAGUS

(Berubah sikap)

Apalagi yang kalian tunggu. Pergi cepat-cepat. Jangan bikin aku sedih berairmata. Buatku air
mata sangat mahal harganya. Kalau kau jadi istri, tirulah Barabah! Kau dengar!? Pergilah!

(Tangannya pelan-pelan merogoh sabuk pinggangnya. Dari dalamnya ia keluarkan uang)

Ini uang lima ringgit buat jajan di kereta. Ini pertama kalinya aku memberimu uang selama
hidupku

ADIBUL DAN ZAITUN AKAN PERGI. SAMPAI DI PINTU, BANIO MEMANGGIL

ADIBUL

188
Zaitun!

ZAITUN (Membalik terkejut)


Ya, Ayah

BANIO (Tercenung agak lama, lalu mengeraskan suaranya)


Sudah! Pergi lekas, jangan buat aku menangis di depan kalian. Aku bukan orang tua yang
cengeng

(Zaitun dan Adibul pergi. Hening sesaat. Banio menarik napas panjang)

Barabah....

BARABAH
Ada apa pak

BANIO
Hari sudah sore rupanya. Tolong pijit kepalaku. Aku capek

(Barabah mendekati dan berdiri tegak di depannya. Banio melihat istrinya dari bawah
sampai atas)

Apa kau lihat ada air mata di mataku, Barabah?

AIR MATANYA BERLINANG

BARABAH
Tidak

BANIO
Memang aku tidak pernah menangis!

(Menarik napas)

Hari sudah sore, Barabah. Simpanlah genderang ini dan pemukulnya ke dalam gudang

(Barabah akan mengambil genderang di meja, tapi Banio menangkap tangan Barabah
dengan erat)

Tapi nanti dulu! Aku ingin membunyikannya sore ini!

BANIO BERDIRI TEGAP DAN MEMBUNYIKAN GENDERANG ITU DENGAN


BAGUSNYA

SELESAI

189
NYONYA-NYONYA
Karya: Wisran hadi

Dipentaskan pertama kali oleh Akademi Seni Kebangsaan Kemantrian Kebudayaan,


Kesenian dan Pelancongan Malaysia pada Maret 2004 di Auditorium Tuanku Abdul Rahman,
Pusat Pelancongan Malaysia, Kuala Lumpur

Dipentaskan kedua kalinya oleh Akademi Seni Kebangsaan Kemantrian Kebudayaan,


Kesenian dan Pelancongan Malaysia bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta pada 2
dan 3 maret 2004 di teater Kecil Taman Ismail Marzuki

Naskah ini dipersembahkan kepada Istri tercinta, Putri Reno Raudha Thaib

DRAMATIC PERSONAE

TUAN Pedagang Barang Antik


NYONYA Istri Kedua Datuk
PONAKAN A Kemenakan Suami Nyonya
PONAKAN B Kemenakan Suami Nyonya
PONAKAN C Kemenakan Suami Nyonya
ISTRI Istri Tuan

DI TERAS
TUAN
Drastis! Perubahan cuaca memang sulit dipastikan, walau pun televisi setiap malam
mengumumkan ramalannya. Sulitnya di sini, mereka meramal tanpa memperhitungkan
kondisi-kondisi lain. Akibatnya, yang jadi korban selalu saja orang-orang seperti saya.
Berdiri berjam-jam sejak senja, taksi tak ada yang lewat, dan malam tiba-tiba saja turun!

Mestinya pedagang barang antic seperti saya harus dilindungi dari bencana alam yang datang
mendadak. Bukan hanya karena langkanya pedagang barang antic, tapi karena barang antik
itu sendiri yang sudah langka sekarang.

Tetapi, ah! Orang-orang itu! jangankan untuk melindungi saya, mereka datang ke sini
maunya hanya duduk, berderet-deret dalam gelap lagi – berbisik menggunjungkan saya dan
menunggu-nunggu tindakan apa lagi yang akan saya lakukan.

NYONYA (Mematikan Tape Recorder dan datang dengan berang menemui Tuan)
Bagus sekali, Tuan! Bagus. Tenu Tuan sudah menyusun alas an pula untuk dapat berdiri di
teras rumahku ini. Hari telah malam, taksi tidak ada yang lewat, ramalan TV meleset dan

190
sebagainya, dan sebagainya! Apa kata orang-orang itu nanti, kalau mereka melihat Tuan terus
berdiri di sini. Kalau disangka Tuan sedang bermain drama ya…. Mungkin tidak apa-apa.
Tapi, kalau mereka menyangka Tuan sedang mengintai saya yang sedang berdandan di kamar
kan susah. Ekor persoalannya, Tuan. Ekornya.

TUAN
Maaf, Nyonya. Kalau ada taksi, saya akan segera angkat kaki.

NYONYA
Kemarin Tuan berdiri di pekarangan rumahku sendirian. Dengan berbagai alas an, Tuan telah
memaksaku menjual satu meter persegi untuk tempat Tuan berdiri, dengan janji akan
menjaga keperluan-keperluan dan hakku terhadap teras dan rumahku.

TUAN
Nyonya boleh marah, tapi dalam keadaan seperti sekarang tidak baik. Bagaimana pun
marahnya Nyonya, mengingat kondisi-kondisi tertentu kemarahan itu harus ditunda dulu.
Bila keadaan sudah normal, barulah Nyonya boleh menyesuaikan marah Nyonya dengan
keadaan itu.

NYONYA
Tuan mengira teras rumahku ini halte bus!? Tak useh ye! Ayo pergi! jangan berdiri di situ!
Pergi! namaku tidak boleh cacat di mata umum. Berapa kali harus kukatakan pada Tuan!
Namaku, namaku! Apa semua pedagang barang antic selalu tuli!?

TUAN
Tenggang rasa sedikit, Nyonya. Saya hanya sebentar saja.

NYONYA
Yang sebentar itu yang berbahaya, Tuan! Aduh… ah, Tuan ini. Ekornya, Tuan. Bagi orang
lain, ekor apa pun pasti enak. Mereka mengira aku… dan Tuan…. Ah, pergilah! Pergilah,
Tuan. Apa Tuan tidak paham dengan ekor persoalan ini?

TUAN
Pergi? kembali berdiri di pekarangan itu? uh, apa Nyonya kira saya ini satpam! Sejak kapan
Nyonya menggaji saya menjadi petugas keamanan rumah macam begini!
Memang satu meter persegi dari pekarangan Nyonya telah kubeli untuk aku dapat berdiri
agar Nyonya tidak seenaknya mengusirku, tapi kan tidak selamanya orang harus konsekuen
berdiri di atas miliknya sendiri, ya kan?

NYONYA
Nama baikku, Tuan. Nama baikku nanti rusak.

TUAN
Nyonya jangan berprasangka yang bukan-bukan. Dan lagi, apa hubungan nama baik Nyonya
dengan saya. Kalau sekiranya…. Ini sekiranya, Nyonya, saya berada di dalam rumah
Nyonya, pantas Nyonya curiga

NYONYA
Di dalam rumahku? Ondeh Tuan, oi! Sedangkan di teras ini saja aku sudah keberatan. Jangan
Tuan kira, Tuan dapat dengan leluasa berada di sini setelah berhasil membeli sekeping tanah

191
pekaranganku.

TUAN
Nyonya di dalam rumah mendapatkan kehangatan, sedangkan saya di luar mendapat
kedinginan. Apa salahnya Nyonya membagi-bagikan kehangatan Nyonya itu sedikit dengan
mengizinkan saya berdiri di teras ini. Nyonya akan dituduh orang kejam, bila Nyonya
mengusir seorang yang sedang kedinginan.

NYONYA
Kejam atau tidak, yang penting aku harus menjaga nama baikku. Coba Tuan piker. Ibuku
sedang ada di rumah sakit. Bila seorang istri sendirian lalu didatangi lelaki, Tuan tentu tahu
ekornya, bukan?

TUAN
Saya juga pernah sendirian di rumah, Nyonya. Ya, dalam keadaan seperti ini pula. Lalu
datang seorang wanita cantik. Tapi, tidak terjadi apa-apa.

NYONYA
Tidak mungkin. Tuan sok alim!

TUAN
Tidak percaya? Tanya istri saya.

NYONYA
Perlu Tuan ketahui, aku memang bukan turunan bangsawan, tapi jelas bukan wanita
murahan. Jika Tuan tetap berdiri di sini, aku akan berteriak sekeras-kerasnya sampai orang-
orang itu datang dan menuduh Tuan memerkosaku. Tuan akan dipukul babak belur!

TUAN
Kalau saya seperti lelaki lain, pasti Nyonya sudah saya perkosa! Nyonya mengatakan, ibu
Nyonya tidak ada di rumah. Nyonya mengatakan dengan penuh nafsu pula, suami Nyonya
dirawat di rumah sakit. Keterangan Nyonya itu saja sudah merupakan undangan bagi setiap
ellaki memerkosa Nyonya. Tapi saya tidak, Nyonya. Saya pedagang. Saya harus memikirkan
untung rugi terhadap sesuatu yang akan dilakukan.

NYONYA
Apa untungnya Tuan berdiri di sini?

TUAN
Tidak ada.

NYONYA
Ruginya?

TUAN
Waktu saya terbuang beberapa lama.

NYONYA
Kalau Tuan merasa rugi, kenapa amsih juga berdiri di sini.

192
TUAN
Inilah yang disebut intuisi seorang pedagang barang antic! Tidak percaya? Tanya istri saya.
Rugi harus dipikul lebih dulu sebelum memperoleh keuntungan. Dan, barang antic Nyonya
memang harus dinantikan dengan sabar.

NYONYA
Justru yang rugi malahan aku. Tuan rugikan aku dengan Tuan di teras rumahku. Nama baikku
bisa rusak.

TUAN
Jadi, Nyonya merasa nama baiknya dirugikan?

NYONYA
Iya! Iya! Ondeh Tuan, oi! Berapa kali harus kuulang!

TUAN
Astaga! Merugikan orang lain, suatu pekerjaan yang paling tercela! Saya belum pernah
merugikan orang lain, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya.

NYONYA
Makanya, Tuan harus pergi.

TUAN
Sabar sedikit Nyonya. Taksinya! Taksinya belum ada yang lewat.

NYONYA
Tuan benar-benar pedagang yang tidak mau mengerti dengan kerugian orang lain! Badak!

TUAN
Berapa kerugian yang Nyonya deritakan selama saya berdiri di teras rumah Nyonya ini?

NYONYA
O, Tuan menilai kerugianku dengan uang! Uh, tak useh ye! Apa Tuan kira semua perempuan
dapat dibeli dengan uang! Ah, ekornya pasti tidak enak kalau begini.

TUAN
Lalu dengan apa kerugian Nyonya diganti!?

NYONYA
Kembali ke tempat Tuan berdiri semula. Itu sudah lebih dari segalanya.

TUAN
Hari sudah malam. Taksi belum ada yang lewat. Kalau saya berdiri di halaman, pasti orang
akan mengatakan saya ini penjaga rumah Nyonya. Apalagi saya emngidap penyakit malaria

NYONYA
Pergi, Tuan! Pergi. ekornya tidak baik, Tuan. Nama baikku akan hancur berderai-derai.

TUAN
Tunggu sebentar, Nyonya. Saya memang akan pergi juga.

193
NYONYA
Harus sekarang!

TUAN
Ingat, Nyonya. Walau pun istri saya, bahkan ibu kandung saya sendiri, tidak berani mengusir
saya seperti yang Nyonya lakukan! Tidak percaya? Tanya istri saya….

NYONYA
Tuan pedagang yang terhormat, aku tidak mau dirugikan! Tidak mau! Pergi!

TUAN
Nyonya mengatakan rugi, rugi, rugi, rugi! Nyonya rugi! Baik. Saya bayar! Berapa kerugian
Nyonya! Tapi, Nyonya sendiri tidak mau dibayar dengan uang. Lalu apa harus saya bayar
dengan nyawa, cinta atau celana?

NYONYA
Pergi! itu sudah pembayaran yang pantas!

TUAN
Malaria saya bagaimana, Nyonya!?

NYONYA
Bukan urusanku!

TUAN
Benar juga firasat saya. Di mana pun juga di atas dunia ini, rumah mewah selalu tidak ramah
pada tamu!

NYONYA
Tuan jangan bicara macam-macam di sini. Rumahku yang mewah ini dibuat bukan untuk
kepentingan ramah tamah, tapi untuk kesenanganku dengan suamiku! Ah, ekornya Tuan.
Ekornya, kritik Tuan itu sangat menggelisahkan pemilik rumah mewah lainnya. Pergilah,
Tuan! Pergi. aku benci dengan orang-orang yang suka mengkritik, apalagi hanya unuk
melindungi kepentingannya sendiri.

TUAN
Malaria, Nyonya. Malaria saya!

NYONYA
Tuan! Rumahku ini bukan ruamh sakit. Bukan tablet untuk obat malaria!

TUAN
Jadi, Nyonya benar-benar mau mengusir saya?

NYONYA
Tidak main-main, Tuan! Apalagi kalau berhadapan dengan orang seperti Tuan!

TUAN
Saya juga serius seperti Nyonya! Apa Nyonya kira pedagang barang antic itu orangnya

194
santai!?

NYONYA
Aku tidak mau melayani debat kusir! Pergi!

TUAN
Persoalannya bukan persoalan kusir, Nyonya. Ini persoalan taksi, malaria, hari yang
semakinlarut, mau dituduh jadi satpam atau tidak, nama baik, persoalan ekor…ekor…

NYONYA
Pergi! pergi, Tuan! Apa perlu kutanggalkan semua pakaianku agar Tuan segera berlari
memelukku! Oh, oh… salah! Berlari menghindari diri karena Tuan malu melihat seorang
perempuan tidak berpakaian di depan Tuan!

TUAN
Setan! Rumah Nyonya baru seperti ini sudah berani mengusirku! Ini kan gedung pertunjukan,
Nyonya!

NYONYA
Ha? Gedung pertunjukan? Ah, masa bodoh! Tapi kan cukup mahal, Tuan! Terasnya dari
marmer! Tuan tahu harga tempat Tuan berdiri saat ini?

TUAN
Kan hanya empat buah marmer yang terpakai untuk saya berdiri!

NYONYA
Apa? Empat buah? Tanpa pondasi? Tanpa ada marmer lainnya, keempat marmer yang Tuan
injak tidak berharga sama sekali

TUAN
Berapa harga seluruh marmer dan pondasinya?

NYONYA
Jadi, ongkos tukang, pemborong, pajak dan ongkos mendapatkan ijin bangunan tidak Tuan
hitung? Apa Tuan tahu kenaikan harga semen sekarang?

TUAN
Baiklah. Pembangunan rumah Nyonya ini memang tidak saya ketahui secara persis biayanya.
Nah, coba Nyonya jelaskan berapa harga marmer, pemasangan, pondasi, atapnya dan….

NYONYA
Khusus eras, lima ratus ribu!

TUAN
Lima ratus ribu? Bohong! Nyonya jangan terlalu banyak mengambil keuntungan untuk
rumah Nyonya sendiri.

NYONYA
Jadi, menurut Tuan berapa?

195
TUAN
Paling-paling tiga ratus ribu. Itu pun sudah termasuk komisi dan pajak penjualan.

NYONYA
Apa? Tiga ratus ribu? Apa Tuan sudah gila?

TUAN
Tiga ratus lima puluh?

NYONYA
Lima ratus ribu!

TUAN
Empat ratus ribu!?

NYONYA
Lima ratus ribu. Tidak kurang satu sen pun!

TUAN
Empat ratus lima puluh ribu?

NYONYA
Lima ratus ribu! Li-Ma-Ra-Tus-Ri-Bu! Tuan bisa bayangkan uang sebanyak itu, bukan!

TUAN (Mengambil uang dari tasnya)


Baik. Lima ratus ribu!

NYONYA
Apa itu? uang? Apa Tuan kira aku mau menjual marmer terasku?

TUAN
Ingat, Nyonya. Kita telah tawar menawar. Saya telah memenuhi harga yang Nyonya tetapkan.
Nyonya tidak dapat menolak begitu saja. ini. Terima.

NYONYA
Tidak bisa.

TUAN
Jadi, Nyonya membatalkan transaksi ini secara sepihak? Nyonya bisa dituntut di pengadilan.
Nyonya tahu Undang-undang perdagangan, bukan?

NYONYA
Jadi, Tuan memperdagangkan undang-undang!?

TUAN
Jangan mengalihkan persoalan, Nyonya. Kalau Nyonya tidak mematuhi undang-undang
perdagangan, saya akan pergi ke pengadilan sekarang juga! Nyonya akan saya tuntut telah
berbuat seenaknya terhadap konsumen. Nama Nyonya akan jatuh. Nyonya akan
dipenjarakan! Bahkan, nama suami Nyonya sendiri akan dilibatkan. Rumah ini akan disita.
Apa Nyonya mau resiko begitu?

196
NYONYA
Aku dapat berlindung di bawah Lembaga BanTuan Hukum!

TUAN
Tentu saja. tapi sementara banuan datang, Nyonya telah dipenjarakan. Potret Nyonya akan
terpampang di Koran-koran dalam boks kriminal!

NYONYA
Tuan jangan menakut-nakuti. Aku cukup berani dengan gertak sambal laki-laki.

TUAN
Kalau Nyonya tidak percaya, sekarang juga akan saya buktikan! Biar hari telah larut malam
begini, biar malariaku kambuh lagi, tidak jadi soal bagi saya, Saya akan berlari-lari ke
pengadilan! Baru Nyonya tahu rasa!

NYONYA
Tuan benar-benar akan mengadukan ke pengadilan?

TUAN
Tidak pandang bulu, Nyonya!

NYONYA
Ekornya, Tuan. Ekornya!

TUAN
Tidak pandang ekor, Nyonya!

NYONYA
Wah, gimana ini?

TUAN
Nyonya, bilang sekali lagi “Tidak bisa” saya kan segera melompat ke halaman dan lari
secepat kilat menuju pengadilan! Ayo, Nyonya! Katakan. Katakan “Tidak bisa.

NYONYA (Gugup)
Tuan hanya membeli empat buah marmerku, bukan?

TUAN
Ya.

NYONYA
Dengan harga seluruh marmer yang ada?

TUAN
Bagi saya cukup punya Nyonya yang sedikit ini saja. saya bayar dengan harga tinggi karena
saya tidak mau merugikan orang lain. Tapi, bila orang lain merugikan saya… ke pengadilan!
Ke pengadilan, Nyonya!

NYONYA

197
Suamiku pasti marah.

TUAN
Terserah, Nyonya. Nyonya lebih suka memilih penjara daripada dimarahi suami?

NYONYA
Ibuku tentu akan memaki-makiku

TUAN
Terserah, Nyonya kata saya. Masuk penjara dan nama baik Nyonya hancur atau…?
(Menyerahkan uang dengan paksa)

NYONYA (Menerima uang itu dengan gugup)


Ya Tuhan (mencium uang itu beberapa kali) Jadi, Tuan tidak akan mengatakannya pada siapa
pun juga, bukan?

TUAN
Tidak ada urusan jual beli ini dengan siapa pun!

NYONYA (Menghitung uang itu penuh nafsu)


Jadi, Tuan akan tetap di sini sampai… sampai… hujan reda…

TUAN
Hujan? Ya… ya, hujan! Bila besok hujan lagi, saya akn tetap berdiri di sini. Nyonya tidak
berhak mengusir saya

NYONYA (terus menghitung uang) Jadi, harga empat buah marmerku lima ratus ribu?
Betapa mahal Tuan telah membelinya.

TUAN
Begitulah hukum perdagangan, Nyonya. Dasarnya persetujuan, bukan mutu barang.

NYONYA (Masih menghitung uang)


Kenapa Tuan berani membelinya dengan harga tinggi?

TUAN
Kalau Nyonya sendiri yang jadi pedagang marmer, belum tentu harganya setinggi itu.

NYONYA (terus menghitung uang)


Karena mutu marmerku?

TUAN
Karena ukuran marmer Nyonya cukup untuk saya

NYONYA (Terus menghitung uang)


Cukup pas untuk Tuan?

TUAN
Permisi dulu, Nyonya. (pergi)

198
NYONYA
Tuan tidak ke pengadilan, bukan? (memperbaiki dandanan)

NYONYA MEMASUKAN UANG ITU KE DALAM TAS. TIBA-TIBA DATANG SEORANG


NYONYA LAIN, PONAKAN A.

NYONYA
Kenapa datang tergesa? Kamu dari rumah sakit? Apa Datuk (kakek) mu memerlukan
sesuatu? Apa dokter mengatakan Datukmu akan dioperasi? Katakan cepat. Saya cemas sekali
dengan kedatanganmu yang tiba-tiba begini.

PONAKAN A
Aku tergesa karena memerlukan sesuatu

NYONYA
Semuanya sudah kusediakan sebelum meninggalkan rumah sakit pagi tadi. Apa lagi yang
diperlukan?

PONAKAN A
Aku memerlukan keseriusan!

NYONYA
Baik, baik. Aku serius. Katakan.

PONAKAN A
Setelah kuselidiki ke sana ke mari, ternyata Datuk telah membohongi kami.

NYONYA
Kamu dibohongi? Kemenakannya sendiri?

PONAKAN A
Tak terkecuali. Tapi, benar juga. Kita akan membohongi siapa pun kalau persoalannya uang!
Datukku juga begitu!

NYONYA
Kok sampai begitu?

PONAKAN A
Datuk mengatakan si pembeli tanah pusaka itu belum melunasi pembayarannya. Tapi setelah
kutanya langsung pada pembelinya, uang itu telah lunas dibayar pada Datuk. Tanda bukti
penerimaan uang itu ada padanya.

NYONYA
Jadi, kamu ingin menanyakan padaku tentang uang itu? maaf saaja. Aku tidak tahu sama
sekali. Aku tidak berhak ikut serta dalam persoalan tanah pusaka kaum kalian.

PONAKAN A
Tapi….

199
NYONYA
Tapi apa?

PONAKAN A
Datuk berjanji akan membagi-bagikan uang itu pada kami. Setelah setahun di tunggu, berita
saja tidak…. Apalagi pembagian uang. Tentu Datukku telah menghabiskannya sendiri.

NYONYA
Jadi kamu menganggap uang itu digunakan Datukmu untuk keperluanku?

PONAKAN A
Kalau idak, kemana larinya uang sebanyak itu? beli mobil, tidak. Pakaian mewah, tidak. Naik
haji, belum! Kawin lagi, juga tidak.

NYONYA
Tanyakan saja pada Datukmu.

PONAKAN A
Dokter melarangnya bicara

NYONYA
Karenanya, kamu tidak berhak mencurigai harta bendaku

PONAKAN A
Tapi berhak mengetahui dimana uang tanah pusaka itu disimpan Datukku

NYONYA
Tidak ada hubungannya denganku

PONAKAN A
Tapi kamu istrinya, bukan!?

NYONYA
Jadi, kamu ke sini mau menuntutku?

PONAKAN A
Apa boleh buat

NYONYA
Selama empat bulan lebih, Datukmu di rumah sakit, hanya aku yang menjaga dan
emnanggung biaya obat-obatnnya. Mahal. Kamu tentu tidak akan pernah tahu berapa biaya
obat-obatan untuk menyembuhkan penyakit kanker lidah, bukan?

PONAKAN A
Ternyata sekarang dauk belum juga boleh bicara

NYONYA
Soal Datukmu dapat bicara atau tidak, itu urusan lain. Tapi, perlu kujelaskan padamu bahwa
aku sebagai isrinya elah berbuat lebih dari segalanya. Kalau suamiku itu punya banyak
kemenakan, coba mana kemenakannya yang datang atau ikut membantu biaya perawatannya?

200
Tidak seorang pun! Hanya kamu sendirilah yang datang, itu pun untuk urusan tentang uang
tanah pusakamu! Tapi benar juga, suamiku menganggap bahwa kemenakannya yang banyak
itu hanya tahu pada hak tapi tidak pada kewajiban. Sudah begitu besarnya pengorbananku,
aku malah dicurigai. Ekornya nanti. Ekor persoalan begini tidak baik.

PONAKAN A
Mungkin uang itu di simpan di Bank

NYONYA
Kamu boleh bongkar seluruh isi rumahku ini. Tidak akan kamu temui surat-surat bank di sini.
Jangankan surat bank, surat kabar saja aku tidak pernah suka!

PONAKAN A
Aku khawatir penyakit yang diderita dauk selama ini disebabkan kutukan nenek moyang

NYONYA
Kutukan, katamu?

PONAKAN A
Ya. Hampir semua orang yang memakai uang dari penjualan tanah pusaka mendapat penyakit
yang aneh-aneh.

NYONYA
Penyakit suamiku itu bukan penyakitt yang aneh! Tapi, Kanker! Kanker lidah! Kanker dapat
menyerang apa saja, siapa saja dan dimana saja. seperti iklan Coca-Cola, heheehe….

PONAKAN A
Tapi, kenapa sampai sekarang dia masih belum boleh bicara?

NYONYA
Siapa saja yang mengidap penyakit kanker lidah saat ini, tidak akan mampu bicara apa-apa.
Walau pun, misalnya dia tidak suka melihat kemenakannya sendiri!

PONAKAN A
Diam kamu! Jangan menyinggung aku! Mungkin doktter di rumah sakit itu sengaja mengada-
ada. Dia menakut-nakutimu supaya kamu cepa-cepat mina cerai!

NYONYA
Tidak. Sebelum Datukmu mendapat kanker lidah itu, dia sering kali menjila-jilat jempolnya.
Waktu itu dia segera kubawa ke rumah sakit gila

PONAKAN A
Jadi, Datukku kamu bawa ke rumah sakit gila? Gila! Padahal Datukku bukan orang yang
gila-gilaan!

NYONYA
Mungkin perawat rumah sakit jiwa itu yang gila, agaknya!

PONAKAN A
Gejala aneh! Pasti kena kutukan. Itulah akibatnya kalau Datuk tidak jujur dalam pembagian

201
warisan.

NYONYA
Jujur atau tidak, lain persoalan. Walau lidah suamiku akan dipotong sekali pun, aku tetap
menjadi istrinya yang setia. Suamiku selama ini merasa terasing dari kemenakannya. Itu
sebabnya dia memercayaiku.

PONAKAN A
Hah! Memercayaimu daripada aku? Kemenakannya sendiri!? uh! Apa kamu kira adat kite
telah berubah?

NYONYA
Kata suamiku, kemenakan sekarang hanya tahu enaknya saja. tidak ada lagi kemenakan yang
mau merawat Datuknya, kalau tidak ada maksud-maksud tertentu. Katanya lagi, kalau tidak
ada berada, masakan tempua bersarang rendah!

PONAKAN A
Cukup! Jangan menghina! Bila kamu sudah bosan dengannya, Datukku akan kubawa pulang
ke kam pung! Katakan sekarang juga kalau kamu sudah bosan. Katakan! Datukku akan
kuangkat pulang. Uh! Kamu kira posisi istri lebih menentukan daripada kemenakan.

NYONYA
Bagaimana kamu akan membawanyya dari rumah sakit, sedangkan ongkos perawatannya
begitu mahal dan belum dibayar semua

PONAKAN A
Lima juta Sembilan ratus ribu rupiah akan kubayar! Aku ini kemenakannya, tahu!

NYONYA
Kalau kamu punya uang sebanyak itu, kenapa uang tanah pusaka yang hanya sekian ratus
ribu mati-matian ingin kamu dapatkan

PONAKAN A
Aku menuntut keadilan!

NYONYA
Kenapa tidak ke pengadilan saja?

PONAKAN A
Tidak perlu!

NYONYA
Jadi, kamu minta keadilan pada Datukmu yang tidak bisa bicara?

PONAKAN A
Apa kamu kira keadilan hanya milik mereka yang dapat bicara saja? jangan menghina
keadilan!

NYONYA
Baik. Tapi ke mana Datukmu akan kamu bawa? Sementara, rumahmu telah disita bank

202
karena utang yang tidak dapat kamu lunasi?

PONAKAN A
Setan. Kamu merasa berada di posisi yang kuat karena Datukku elah membuatkan kamu
sebuah rumah mewah ini! Pantas uang tanah pusakan kami habis sama sekali

NYONYA
Cukup! Rumah ini tidak dibuat dengan orang lain! Kamu tahu, Datukmu itu hanya mampu
memperbaiki kamar mandi saja!

PONAKAN A
Diam kamu! Datukku itu seorang bangsawan, tahu! Kamu mau dikawininya karena kamu
ingin bersuamikan seorang bangsawan. Uh! Apa kamu kira seorang bangsawan harus
membayar kamar seorang gundik?

NYONYA
Tutup mulutmu! Bagaimana pun juga, aku istrinya. Tercinta dan terpercaya.

PONAKAN A
Aku kemenakannya. Yang selalu setia menjaga tanah pusaka!

NYONYA
Baiklah. Lalu, kamu mau apa?

PONAKAN A
Serahkan uang penjualan tanah pusaka kami.

NYONYA (Jengkel sekali)


Kemenakan suamiku yang terhormat, tidak serupiah pun uangmu di simpan di sini!

PONAKAN A
Pasti ada. Pasti! Sudah kutanyakan pada dukun-dukun dan jawabannya sama!

NYONYA
Dukun? Oh, tidak. Tidak. Tidak ada di sini!

PONAKAN A
Pasti. Kalau tidak…. (mengeluarkan pisau dari dalam tas dan mengancam)

NYONYA (Gugup sekali)


Ekornya…. Ekornya tidak baik. Namaku nanti hancur.

PONAKAN A
Ekor kamu pun akan kutusuk! Aku tidak segan-segan melakukannya biar di depan orang
ramai sekali pun!

NYONYA
Ekornya… ekornya… simpanlah. Simpan.

PONAKAN A

203
Kamu takut kan? Syukurlah. Aku akan takut, kalau kamu tidak takut. Ayo serahkan uang itu,
kalau tidak…. (Menikam-nikamkan pisau itu ke lantai)

NYONYA
Jadi… Jadi… Kamu…. Perlu…. Uang. Baik. (mengeluarkan uang dari dalam tas)

PONAKAN A
Aku tidak perlu uangmu, tapi uang penjualan tanah pusaka.

NYONYA
Apa pun namanya, ini tetap uang nilainya sama (Memasukan uang ke dalam tas Ponakan A)

PONAKAN A (Membiarkan tasnya begitu saja)


Tidak mau!

NYONYA
Ini. Lagi. (memasukan lagi sejumlah uang ke dalam tas Ponakan A)

PONAKAN A (Membiarkan tasnya begitu saja)


Tidak mau.

NYONYA
Ini. Lagi.

PONAKAN A
Tidak mau.

NYONYA
Ini. Lagi.

PONAKAN A (Merasa menang dan meraba-raba tasnya)

NYONYA (Merebut pisau di tangan Ponakan A dan dengan cepat menghunusnya)


Serahkan uang itu kembali!

PONAKAN A (Ketakutan)
Ekormu… ekormu… tidak baik bagi kesehatan suamimu..

NYONYA (Gugup memegang pisau itu)


Serahkan cepat. Bagaimana pun ekornya, uangku harus kembali!

PONAKAN A (Mundur)
Nanti namamu cacat. Nama suami juga cacat. Semua akan cacat. Cacat… (merebut pisau di
tangan Nyonya dan berlari keluar)

NYONYA (Tersentak dan sadar pisaunya sudah tidak di tangannya lagi)


Uang marmerku! Uang marmerku! Marmer! Mar… mer! (Mengejar Ponakan A keluar)

LAMPU PADAM

204
DI RUANG TAMU
TUAN DATANG DAN LANGSUNG DUDUK DI KURSI. DIA DUDUK DENGAN SANGAT
ENAK. SEMENTARA ITU, NYONYA DATANG TERENGAH-ENGAH. DIA KESAL SEKALI
KARENA TIDAK BERHASIL MENGEJAR PONAKAN A. DIA TERKEJUT MELIHAT TUAN
SUDAH DUDUK DI RUANG TAMU. LALU, SEMUA KEKESALANNYA ITU
DILAMPIASKANNYA PADA TUAN.

NYONYA
Ah, Tuan lagi! Kenapa Tuan duduk di sini?

TUAN
Maaf, Nyonya.

NYONYA
Apa Tuan kira setelah berhasil membeli satu meter persegi tanah pekaranganku dan empat
buah marmer teras rumahku, Tuan dapat berbuat seenaknya di sini? Tuan, kembali pada milik
Tuan yang telah Tuan beli!

TUAN
Cukup lama saya berdiri di teras, di tempat milik saya. Tapi lama-lama tidak tahan juga,
Nyonya. Cahaya matahari sore menimpa teras Nyonya keras sekali. Keringat saya mengalir
banyak sekali, Nyonya. Panas.

NYONYA
Tuan tahu kursi itu milikku, bukan?

TUAN
Sangat tahu, Nyonya. Tapi, kalau kursi ini dinamakan kursi tamu, tentu semua tamu berhak
duduk di sini.

NYONYA
Tamu yang duduk di sini adalah tamu yang diundang dan dihormati. Tuan tidak pantas
dihormati karena Tuan tidak pernah kuundang.

TUAN
Diundang atau tidak, kenyataannya saya telah menjadi tamu.

NYONYA
Apa? Jadi tamu, kata Tuan?

TUAN
Ya. Karena saya telah duduk di kursi tamu

NYONYA
Ekornya, Tuan. Ekornya. Nama baikku akan cacat bila menerima tamu seperti Tuan di rumah
yang sedang lengang ini.

205
TUAN
Saya memenuhi fungsi kursi ini sebagai kursi tamu. Jadi, tidak ada hubungannya dengan
nama baik Nyonya.

NYONYA
Rumah ini masih punya pemilik, Tuan. Jangan seenaknya Tuan di sini.

TUAN
O, tentu. Pemilik rumah ini, Nyonya bukan?

NYONYA
Kalau Tuan tahu rumah ini punya pemilik, mestinya Tuan minta izin lebih dulu, tahu!
Mentang-mentang aku menyediakan kursi tamu, lalu Tuan anggap kursi itu bisa diduduki
dengan gampang tanpa prosedur.

TUAN
Kalau begitu izinkan saya duduk, Nyonya. (Berdiri dan duduk kembali)

NYONYA
Berdiri! Aku tidak mengizinkan!

TUAN
Nyonya harus member izin.

NYONYA
Ekornya Tuan, ekornya. Berapa kali harus kukatakan. Nanti bisa terjadi macam-macam.

TUAN (Berdiri dan marah)


Macam-macam bagaimana?

NYONYA
Berapa kali harus kuulang bahwa ibuku belum pulang dan suamiku masih dirawat di rumah
sakit.

TUAN
Saya tidak beniat jahat, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya.

NYONYA
Lalu, buat apa Tuan duduk di sini?

TUAN
Untuk menghindari panas matahari

NYONYA
Pakai payung!

TUAN
Payungnya lagi dipakai anak-anak menari. Tari payung.

NYONYA

206
Keluar kataku. Tuan tidak tahu sopan santun. Tuan tidak tahu adat!

TUAN
Negeri ini punya adat, Nyonya. Harimau dalam perut, kambing jugalah yang harus Nyonya
keluarkan. Masa Nyonya mau melanggar adat hanya karena emosi.

NYONYA
Harimau, kambing, atau gajah seakli pun harus keluar dari rumah ini. Keluar!

TUAN
Baik, Nyonya. Saya keluar. Tapi bolehkaah saya meminjam kursi ini untuk duduk di teras?

NYONYA
Apa? Tuan mau meminjam kursi ini? Membawanya keluar? Tuan! Bila kursi ini tidak berada
lagi di ruang tamu, namanya bukan lagi kursi tamu. Tuan jangan coba-coba mengubah nama
barang-barang yang berada di rumahku ini.

TUAN
Memenuhi fungsi sebuah kursi, tidak boleh. Mengubah namanya, tidak boleh. Apa kursi ini
begitu keramat sehingga Nyonya mati-matian memertahankannya?

NYONYA
Harganya mahal, Tuan!

TUAN
Benar. Pantas enak sekali diduduki (duduk)

NYONYA
Tentu saja enak, Tuan! Di mana-mana kursi empuk selalu enak diduduki. Apalagi pada saat
sekarang ini.

TUAN
Memang wajar Nyonya mempertahankannya. Pantas Nyonya tidak mau tahu lagi dengan adat
dan sopan santun. Tapi maaf, Nyonya. Bagaimana pun juga Nyonya mempertahankan. Yang
jelas kursi ini sudah ketinggalan mode.

NYONYA
Ketinggalan mode? Apa Tuan sudah gila? Tuan tahu, harga kursi empuk begini sekarang
tinggi.

TUAN
Mode sudah ketinggalan dan tidak cocok pula dengan ruang tamu yang begini luas.

NYONYA
Cukup! Tuan tidak kuizinkan duduk di sini, malah Tuan bicara macam-macam! Hampir
semua orang ingin kursi begini, tahu!

TUAN
Laris, maksud Nyonya!?

207
NYONYA
Ya. Karena mahalnya.

TUAN
Yang laris biasanya murah, Nyonya.

NYONYA
Murah, kata Tuan? Tuan tahu berapa kubeli? Tidak bukan? Tiga ratus ribu!

TUAN
O, hanya tiga ratus ribu.

NYONYA
Itu harga sebelum penyesuaian, Tuan. Kalau sekarang harganya sudah dekat satu juta. Tuan
jangan terlalu merendahkan harga kursi ini.

TUAN (Menendang kursi)


Masa kursi begini harganya sampai satu juta! Gila apa! Paling mahal dua ratus ribu!

NYONYA
Tuan! Tuan tidak perlu menendang kursiku! Saudagar macam apa ini!? Tidak tahu harga
pasaran!

TUAN
Barang bekas selalu jatuh harga, Nyonya.

NYONYA
Misalkan barangku ini barang bekas, seharga enam ratus ribu pun aku tidak akan
menjualnya.

TUAN
Nyonya tidak mau menjualnya karena fungsinya atau karena empuknya?

NYONYA
Karena namanya. Mungkin saja ada kursi taman sejenis kursi tamuku ini, tapi kursi taman
bukan kursi tamu, bukan?

TUAN
Apa Nyonya mau melepaskannya bila kubayar enam ratus ribu?

NYONYA
Belum kulepaskan. Naik.

TUAN
Enam ratus dua puluh lima?

NYONYA
Naik lagi.

TUAN

208
Enam ratus lima puluh?

NYONYA
Naik lagi

TUAN
Enam ratus tujuh puluh lima?

NYONYA
Naik lagi

TUAN
Tujuh ratus!

NYONYA
Tuan, kenaikan dua puluh lima dari tawaran. Tuan memperlambat proses jual beli. Terbukti
Tuan bukanlah pedagang yang pintar.

TUAN (Mengeluarkan uang dari tasnya)


Ini. Tujuh ratus ribu!

NYONYA
O, o, Tuan. Apa itu? Uang? Tujuh ratus ribu?

TUAN
Tak kurang serupiah pun! (Menyerahkan uang itu)

NYONYA (Menerima uang itu dengan penuh nafsu, tapi pura-pura gugup) Jadi, TTuan
membeli sebuah kursi seharga tujuh ratus ribu? Tuan. Tuan. (Pura-pura menangis) aku tidak
akan menjualnya, Tuan (menangis)

TUAN
Hati-hati kalau menghitung uang, Nyonya. Ramalan cuaca boleh keliru. Tapi keliru
menghitung uang, cuaca bisa berubah.

NYONYA (Terus menghitung uang, menangis)


Tidak. Tidak. Aku tidak akan menjualnya. Nanti suamiku akan kehilangan kursi. Ibuku akan
jatuh pingsan karena tidak punya kursi lagi.

TUAN
Ingat, Nyonya. Pembatalan secara sepihak dalam perdagangan bisa dituntut di pengadilan.

NYONYA
Jadi, Tuan akan menuntutku ke pengadilan? Jangan, Tuan. Ekornya, Tuan. Ekornya kurang
enak.

TUAN
Bila Nyonya berusaha membatalkannya, saya pasti akan menuntut. Sewaktu-waktu saya bisa
saja nekat, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya.

209
NYONYA (Terus menghitung uang, pelan-pelan mundur)
Ekornya, Tuan. Ekornya. Aku tidak akan menjualnya, Tuan. Ekornya, Tuan.. (Terus masuk
ke kamarnya)

TUAN (Menarik napas)


Rugi! Tapi tidak jadi soal. Anggap saja menanam modal (Duduk lagi)

TIBA-TIBA ISTRI DATANG. TUAN SEDIKIT GUGUP

TUAN
Halo sayang….

ISTRI (Naik pitam)


Apa halooo? Apa sayaaang? Nasi sudah dingin gara-gara menunggumu! Katanya, kau akan
pulang cepat! Nyatanya parkir di sini! Lalu, kau bilang “Halo sayang” bilang saja “Halo
Babu!” ,”Halo Kucing dapur!” sudah beranak tujuh masih bilang sayang hah….! Di rumah
orang lagi!

TUAN
Sabar, sabar sayang. Kau harus mengerti bagaimana peliknya dunia bisnis. Berkali-kali hal
seperti ini kukatakan, tapi kau tidak kunjung paham. Aku baru saja terlibat pertengkaran.
Masa kursi begini dikatakan harganya enam ratus ribu?

ISTRI
Mestinya berapa?

TUAN
Dua ratus ribu sudah terlalu mahal. Tapi memang, semua kursi yang berada pada ruangan
tertentu harganya pasti naik menurut fungsi ruangannya.

ISTRI
Kau pedagang barang antic, bukan pedagang kursi bekas. Kenapa pertengkaran sampai pada
harga kursi? Pasti ada apa-apanya.

TUAN
O, tentu ada apa-apanya, saying. Kursi ini cukup antic. Tidak percaya? Tanya istri saya,
eh,eh… ya, istri saya, ini, kau. Kau, kau kau memang istriku. Ah, saya sedang berusaha
mencari kursi-kursi begini untuk anggota baru.

ISTRI
Anggota baru? Anggota parlemen maksud kau?

TUAN
Eh, maksudku, langganan baru.

ISTRI
Kursi yang masih diduduki pemiliknya sudah kau tawar, tenu saja dapat menimbulkan
pertengkaran.

TUAN

210
Kalau dia mau menjual, apa salahnya bukan?

ISTRI
Semua orang pasti berusaha mempertahankannya. Apalagi kursi seperti ini. (Duduk) empuk
lagi. Berapa harganya?

TUAN
Enam ratus ribu

ISTRI
Berapa kau tawar?

TUAN
Kubayar tujuh ratus ribu

ISTRI (Berdiri)
Harganya enam ratus ribu dibayar tujuh ratus ribu. Ini kan gila!

TUAN
Ini perdagangan klasik, istriku. Kau harus dapat memahaminya. Barang bekas selalu lebih
tinggi harganya di mata pedagang barang antik

ISTRI
Hanya untuk kursi macam begini?

TUAN
Istriku saying, kau jangan main-main. Resesi ekonomi dunia membuat harga kursi naik pada
politik dan kau pasti akan sulit lagi memahaminya semua kawasan Negara berkembang. Ini.

ISTRI
Kursi di rumah kita lebih antic dari kursi ini. Tapi kenapa kau jual begitu murah?

TUAN
Siasat, kataku. Siasat. Siasat dagang, saying. Kalau kita tidak punya kursi lagi di rumah.
Semua anak-anak kita akan aman. Mereka tidak akan berkelahi memperebutkan kursi. Betapa
ributnya rumah kita setiap hari. Kita mau tidur, mereka berebutan kursi. Dan celakanya, kursi
itu mereka jadikan mobil-mobilan, kereta api=kereta apian, kapak-kapalan, rumah-rumahan.
Erus terang, aku tidak suka anak-anak kita mempergunaka kursi untuk mendapatkan mobil,
rumah, kapal dan sebagainya itu!

ISTRI
Kalau mereka masih anak-anak, tidak apa.

TUAN
Kalau kita biarkan, mereka akan rebutan kursi sampai tua!

ISTRI
Teorimu baik sekali. Tapi, apa kau tahu yang terjadi siang tadi?

TUAN

211
Mana aku tahu. Aku sibuk bisnis, kan.

ISTRI
Karena mereka ingin kursi, anak tetangga dijadikannya kursi. Bahkan si bungsu, kompor
yang sedang menyala didudukinya. Mereka menganggap itulah yang tepatt dijadikan kursi.

TUAN
Akh, kau terlalu berlebihan.

ISTRI
Sekarang begini saja. daripada anak kita sakit karena selalu memimpikan kursi, sebaiknya
kursi ini dibawa pulang.

TUAN
Kursi yang ini?

ISTRI
Iya. Sudah dibayar, kan?

TUAN
Jangan sekarang. Kursi ini untuk langgananku.

ISTRI
Kau selalu saja menunda keperluan mereka akan kursi. Aku akan panggil becak!

TUAN
Kursi ini akan dibawa dengan becak? Ah, jangan. Nanti harganya jadi turun.

ISTRI
Yang penting anak-anak kita, bukan harga kursi. (Pergi keluar) becak. Becak. Bawa kursi
saya.

TUAN
Jangan. Kursi ini akan dijual!

ISTRI (Di luar)


Becak! Becak! Bawa kursi saya!

TUAN (Berlari keluar)


Kursi ini akan dijual!

ISTRI (Masuk lagi)


Becak! Becak! Becak! Bawa kursi saya! Becak! Becak! Bawa kursi saya. (Terus keluar)

DUA NYONYA LAINNYA (PONAKAN B DAN PONAKAN C) DATANG DARI ARAH LAIN

PONAKAN B
Ini rumahnya! Uh! Lebih mewah daripada rumah kepala imigrasi!

PONAKAN C

212
Baru lagi! Besar dan mewah

PONAKAN B
O, pantas! Uang pusaka kita dihabiskan Datuk untuk membangun rumah ini!

PONAKAN C
Persoalan ini harus diselesaikan sampai tuntas

PONAKAN B
Sampai ke akar-akarnya! Hari ini juga!

PONAKAN C
Mana istrinya? Takut menemui kita?

PONAKAN B
Maklum. Wanita muda kalau bersuami tua, apalagi kalau suami sedang terbujur di rumah
sakit tentu saja kerjanya… nah, dia datang!

PONAKAN C
Ayo, mulai! Jangan berubah dari rencana!

NYONYA DATANG, PONAKAN B DAN C MENGUBAH SIKAPNYA

NYONYA
Ada tamu rupanya? Kapan datang? Sudah lama tidak pulang kampong. Apa sudah ke rumah
sakit? Bagaimana kabar sekarang? Katany, kalian bersuamikan orang berpangkat tinggi.
Sudah kaya ya. Pantas tidak mau menengok kampong lagi. Kenapa diam saja? letih
barangkali? Penat?

PONAKAN C (Pada Ponakan B)


Dia mulai gugup

NYONYA
Wah, keadaan Datukmu menyedihkan sekali. Sudah enam bulan lebih dia dirawat di rumah
sakit. Kalian pulang untuk menjenguk Datukmu atau hanya sekedar berlibur? Atau karena
suami kalian lagi ikut seminar pedesaan di sini?

PONAKAN C
Lidah Datuk akan dipotong!

NYONYA
Akan di potong? O, kalau begitu kalian sudah dari rumah sakit? Dokter mana yang
mengatakan begitu? salah dengar barangkali?

PONAKAN C
Salah dengar, salah dengar. Setiap hari telingaku dibersihkan, tahu!

NYONYA
Jadi, kalian bukan salah dengar? Baik. Dokter mana yang mengatakan lidah Datuk akan
dipotong? Dokter yang tinggi? Yang pendek? Yang gendut? Yang suka merokok? Yang suka

213
beli nomor? Ah… masa lidah Datuk akan dipotong. Mungkin dokter itu berseloroh atau
menakut-nakuti….

PONAKAN B
Lidahnya dipotong! Iii!

PONAKAN C
Dan, semua persoalan akan tertutup

NYONYA
Ada apa sebenarnya? Kok bicaramu ketus sekali. Coba bicara seperti dulu lagi. Saat-saat
kalian dalam kesusahan. Lunak gigi daripada lidah. Aku kan istri Datukmu, ya kan?

PONAKAN B
Dan Datuk kami telah membayar cintanya dengan mahal sekali kepadamu

PONAKAN C
Semua uang hasil penjualan tanah pusaka kami telah dibayarkan untuk cintanya!

PONAKAN B
Ini tidak wajar!

PONAKAN C
Melanggar adat.

PONAKAN B
Ternyata Datukku sendiri yang menerima kutukan! Ini tidak adil!

PONAKAN C
Padahal yang menghabiskan uang itu bukan dia sendiri

PONAKAN B
Kini lidahnya akan dipotong

PONAKAN C
Dan, dia tidak akan pernah lagi bisa berbicara

PONAKAN B
Akhirnya, kami kehilangan jejak mencari uang itu

PONAKAN C
Uang itu harus didapatkan!

PONAKAN B
Sekarang juga!

PONAKAN C
Kalau tidak, terpaksa kami bertindak!

PONAKAN B

214
Tidak ada lagi yang dapat menahan kesabaran kami!

PONAKAN C
Hari ini mesti beres

PONAKAN B
Selesai secara tuntas

PONAKAN C
Hari ini adalah hari penenTuan!

PONAKAN B
Apakah uang itu ada, dan berada dimana

PONAKAN C
Hari ini hari kepastian!

PONAKAN B
Apakah uang itu mau diserahkan atau tidak (Berbisik pada Ponakan C) apa lagi? Aku lupa

PONAKAN C (Pada Ponakan B)


Bank dan penyitaan

PONAKAN B
Kalau uang masih berada di bank, harus segera dikeluarkan

PONAKAN C
Kalau masih di simpan di sini, harus diserahkan pada kami

PONAKAN B
Bila uang itu sudah habis, semua kursi yang ada akan disita

PONAKAN C
Becak telah menunggu di depan!

PONAKAN B
Semua akan dijadikan barang bukti di pengadilan

PONAKAN C
Jaksa telah siap mengajukan tuntutan!

PONAKAN B
Pengadilan akan….

NYONYA (Menjerit sekuat-kuatnya)


Aaaaai! Ya am pun. Bagaimana ini? Kalian akan mengadukan aku ke pengadilan? Ekornya.
Ekor persoalan ini tidak baik. Ya, am pun. Jadik kedatangan kalian berdua hanya untuk itu?
bukan untuk melihat Datukmu yang lagi sakit? Apa kalian tega mengadukan istri Datukmu
sendiri ke pengadilan?

215
PONAKAN C
Bukan kau, tapi Datuk kami

NYONYA
Bagaimana menuntut seseorang yang tidak bisa bicara lagi?

PONAKAN C
Kami punya bukti yang cukup

PONAKAN B (mengeluarkan selembar kertas dari dalam tasnya)


Ini bukti tertulis. Pengakuan Datuk kami

NYONYA
Jadi, dia mengaku? Apa yang diakuinya?

PONAKAN B (Membaca kertas itu berbisik-bisik)


Pokoknya, uang tanah pusaka telah diserahkan pada istrinya.

NYONYA
Aku? Aku? Serupiah pun aku tidak menerima uang itu

PONAKAN B
Tapi, rumah mewah ini? Dengan kursi-kursinya?

NYONYA
Ibuku yang membelikannya

PONAKAN C
Tidak mungkin

NYONYA
Kami telah bekerja keras membangun rumah ini dan membeli semua perabotannya. Kami
terpaksa menjadi penangis pesanan pada setiap acara kematian. Kami menangis dan kami
dibayar! Tidak ada uang orang lain yang kami pakai

PONAKAN C
Jadi, kau menyangkal bahwa rumah ini dibeli dengan tanah pusaka kaum kami?

NYONYA
Jadi, menurut kalian uang itu ada di sini?

PONAKAN C
Menurut kertas ini

NYONYA
Coba lihat

PONAKAN C
Bukan urusanmu

216
NYONYA
Aku tidak percaya

PONAKAN C
Tidak percaya, ya sudah. Lihat saja di pengadilan nanti

NYONYA
Pengadilan? Ya am pun. Namaku… ekornya…. (ketakutan) baiklah. Baik. Ya, ya… aku
mengakui sesuai dengan pengakuan suamiku. Ya, ya uang itu ada di sini. Biar kuambil (Lari
kedalam)

PONAKAN C (Lega)
Kena batunya

PONAKAN B
Kalau tidak karena siasatku, belum tentu kita berhasil

PONAKAN C
Ini berkat semua rencana yang telah kususun secara mantap

PONAKAN B
Tapi, aku yang mengajukan ide begitu, bukan?

PONAKAN C
Idemu kan tidak sempurna. Akulah yang putar otak menyempurnakan semuanya

PONAKAN B
Tapi ketegasanku bicara tadi bagaimana? Meyakinkan, bukan!?

PONAKAN C
Kalau tidak kuingatkkan sewaktu kau adi lupa, pasti rencana ini berantakan

PONAKAN B
Ideku cukup cemerlang

PONAKAN C
Semua ini berkat keunggulanku

PONAKAN B
Aku, kataku!

PONAKAN C
Aku. Aku. Atau, aku ebrteriak-teriak mengatakan bahwa semua ini kehebatanku!

PONAKAN B
Ssst… dia datang!

PONAKAN C
Simpan kembali kertas itu. nanti ketahuan

217
NYONYA DATANG DAN MENYERAHKAN SEJUMLAH UANG

NYONYA
Ini uangnya

PONAKAN C
Berapa?

NYONYA
Tujuh ratus ribu

PONAKAN C
Hanya segini? (mengambil uang itu dari tangan Nyonya)

NYONYA
Ya. Itu pun telah kutambah dengan uangku sendiri

PONAKAN C
Tidak soal. Yang penting jumlahnya (menghitung uang)

PONAKAN B
Langsung dibagi, kan?

PONAKAN C
Tentu, tentu.

PONAKAN B
Bagi rata, kan?

PONAKAN C
O, tentu. Tentu (menyerahkan sejumlah uang)

PONAKAN B (Menghitung uang yang diterimanya)


Hanya dua ratus ribu?

PONAKAN C
Kita memang punya hak sama. Tapi, dalam hal tertentu selalu berbeda

PONAKAN B
Jadi perbedaannya berdasarkan apa?

PONAKAN C
Berdasarkan keperluan. Keperluanku lima ratus ribu

PONAKAN B
Dan keperluanku hanya dua ratus ribu?

PONAKAN C
Kau istri pegawai rendah, perbelanjaanmu tentu rendah pulan

218
PONAKAN B
Apa hubungan pembagian ini dengan status kepegawaian suami?

PONAKAN C
Istri pegawai rendah dan pegawai tinggi punya keperluan yang berbeda. Di mana-mana
begitu. Masa kau lupa pangkat suamimu?

PONAKAN B
Wah, bagaimana ini? Tidak adil

PONAKAN C
Kalau mau dapat bagian yang sama, suami harus naik pangkat dulu empat kali lipat. Dan, itu
tidak bakal tterjadi dalam dunia kepegawaian

PONAKAN A DATANG DENGAN PISAU TERHUNUS

NYONYA
Nah, itu dia! Uang marmerku! Uang marmerku!

PONAKAN C
Kau mau apa kesini! Pergi!pembagianmu sudah kau terima sendiri bukan?

PONAKAN A
Siapa yang bicara akan kubungkam!

NYONYA (Menangis)
Uang marmerku. Uang marmerku

PONAKAN A
Bagianku mana?

PONAKAN C
Bagian apa lagi?

PONAKAN A
Kalau tidak dibagi rata, tak seorang pun yang bisa selamat keluar dari rumah ini

PONAKAN C
Jadi kau gunakan pisau untuk mengancamku? (Mengeluarkan pisau yang lebih besar) ini!
Aku punya yang lebih besar!

NYONYA
Jangan berbunuhan. Jangan. O, uang marmerku. Uang kursiku. Jangan berbunuhan. Ekornya.
Ekornya.

PONAKAN A
Diam! Ekorku lebih besar lagi tahu! Ayo cepat. Keluarkan bagianku!

PONAKAN B
Kalau begini caranya, aku juga bisa lebih nekat! (Mengeluarkan pisau yang lebih besar dari

219
dalam tas)

NYONYA
Jangan berbunuhan! Jangan. Ah! Ya am pun…. Ekornya…. Ekornya…. (Keluar)

KETIGA PONAKAN LEGA DAN SALING BERSALAMAN. MEREKA TERTAWA CEKIKIAN.

PONAKAN C
Dengan uang ini, nama kita sebagai kemenakan akan pulih kembali. Kita bayar semua
ongkos rumah sakitnya!

PONAKAN A
Ya. Dengan begitu, tidak ada seorang pun lagi yang menuding kita. Kita harus buktikan
bahwa sampai sekarang para kemenakan masih setia dan hormat pada Datuknya.

PONAKAN B
Ya. Bila ongkos rumah sakit telah terbayar, orang-rang tidak lagi menuduh kita tidak tahu
adat.

PONAKAN C (Berteriak)
Kami adalah bukti kesetiaan pada….

PONAKAN A
Tunggu! Kita harus bersama-sama!

BERTIGA (Berteriak sambil mengacungkan pisau ke udara)


Kami adalah bukti kesetiaan kepada….

PONAKAN B (Sadar)
E, e, e pisaunya disimpan dulu. Disimpan.

BERTIGA (Berteriak lebih keras setelah menyimpan pisau kedalam tas)


Kamilah pewaris adat negeri ini! Tak lekang dek panas! Tak lapuk dek hujan! (Lalu keluar
sambil bergoyang pinggul) Ekornya…. Ekornya…. Ekornya…..

LAMPU PADAM

DIRUANG MAKAN
TUAN DATANG DAN SEGERA DUDUK DENGAN ENAKNYA DI ATAS KURSI MAKAN,
DIIRINGI LAGU YANG LUCU DARI TAPE RECORDER. NYONYA DATANG DAN
TERKEJUT MELIHAT TUAN TELAH DUDUK DI RUANG MAKAN

NYONYA
Tuan! Ekornya, Tuan! Ekornya!

TUAN
Maaf, Nyonya (Berdiri) Nyonya tentu mendengar pertengkaran saya dengan istri saya gara-
gara kursi di ruang tamu itu. istri saya sudah mulai main keras. Saya tidak ingin istri saya

220
melihat saya duduk di ruang tamu Nyonya.

NYONYA
Kalau suamiku tahu, bagaimana?

TUAN
Suami Nyonya masih di rumah sakit bukan? Dia tentu tidak melihat kita, eh… melihat saya.

NYONYA
Tuan mau apa?

TUAN
Biasa, Nyonya

NYONYA
Biasa bagaimana? Terus terang sajalah!

TUAN
Duduk di kursi makan tanpa memakan sesuatu maka fungsi kursi makan sebagai kursi makan
telah kita abaikan. Seidaknya ada minuman lah, atau makanan ringan

NYONYA
Tuan benar-benar seorang penjajah!

TUAN
Saya bukan penjajah, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya. Kursi ini masih ke punyaan
Nyonya, bukan?

NYONYA
Ya, mau apa?

TUAN (Duduk)
Barang Nyonya memang enak di duduki

NYONYA
Tuan, haruskah aku menjual kursi yang Tuan duduki itu agar Tuan tidak lagi di situ?

TUAN
Jadi, Nyonya mau menjualnya?

NYONYA
Terpaksa! Agar Tuan tidak duduk lagi di kursi itu

TUAN
Kalau begitu, baiklah. Buka berapa?

NYONYA
Lima ratus ribu

TUAN

221
Lima ratus ribu? Wah! Kenapa lebih murah daripada kursi tamu, Nyonya? Saya hanya
mengingatkan. Apa Nyonya kira harga sebuah kursi makan begini tidak mahal? Nyonya tahu,
makan tanpa kursi, biadab namanya. Kursi makan inilah yang menentukan seseorang beradab
atau tidak. Kursi makan menentukan status manusia, Nyonya. Dan alat untuk penentu status
itu tidak mungkin murah harganya.

NYONYA
Jadi, harus lebih mahal?

TUAN
Saya tidak mengatakan begitu, Nyonya. Saya hanya ingin tahu kenapa kursi penentu status
peradaban ini dijual murah sekali. Apa karena Nyonya memerlukan uang atau, karena
Nyonya akan kembali menjadi manusia primitif?

NYONYA
Tuan mau beli kursi itu atau tidak?

TUAN
Nyonya jangan begitu mudahnya menjual kursi saat ini

NYONYA
Kalau Tuan tidak mau membelinya, pergi!

TUAN
Jadi, saya dipaksa untuk membeli kursi Nyonya?

NYONYA
Kalau tidak, jangan duduk!

TUAN
Baik. Berapa?

NYONYA
Lima ratus ribu, kataku! Apa Tuan mengharapkan aku menaikkan harga dalam sekian menit
saja!

TUAN
Kalau Nyonya menaik-naikan harga, pasti tidak ada pembelinya. Idak percaya? Tanya istri
saya.

NYONYA
Tuan berani berapa?

TUAN
Seratus

NYONYA
Apa Tuan sudah gila!?

TUAN

222
Tunggu. Nyonya menjual kursi ini berdasarkan apa? Kemampuan si pembeli attau keinginan
yang punya kursi?

NYONYA
Agar, Tuan cepat-cepat pergi dari sini

TUAN
Itu bukan alas an perdagangan, Nyonya. Kalau mau mengusir saya, kan ada polisi. Tapi
ekornya, Nyonya. Ekornya. Polisi akan menyeret kita ke pengadilan. Nyonya tidak ingin
merusak nama Nyonya sendiri, bukan? Coba Nyonya, apa alas an Nyonya yang tepat?

NYONYA
Berdasarkan kemampuan si pembeli, kemampuan Tuan yang terhormat!

TUAN
Jadi, harganya tetap seratus?

NYONYA
Sialan! Baiklah. Mana uangnya!

TUAN (Menyerahkan sejumlah uang)


Ini, Nyonya.

NYONYA (Menghitung uang)


Hanya lima puluh ribu? Separuh dari harga yang Tuan tawar? Tuan jangan main-main dalam
perdagangan kursi

TUAN
Hari ini baru mampu separuh, Nyonya. Besok saya lunasi

NYONYA
Tuan berjanji akan membayarnya?

TUAN
Ya. Bila ada uang semuanya bisa lunas, Nyonya. Tidak percaya? Tanya istri saya.

NYONYA
Bila Tuan akan lunasi

TUAN
Bila Nyonya memerlukannya

NYONYA
Baik. Nah, sekarang Tuan boleh pergi!

TUAN (Marah sekali dan berdiri di atas kursi)


Nyonya ini bagaimana? Saya sudah membeli kursi, Nyonya menyuruh saya pergi. Nyonya
tahu, sekarang sayalah pemilik kursi ini. Soal akan saya gunakan untuk kursi makan atau
untuk berdiri, itu persoalan saya sebagai pemilik. Nyonya jangan coba-coab mengusir
seseorang yang sedang berdiri di atas miliknya. Nyonya bisa saya tuntut! Ke pengadilan,

223
Nyonya! (Turun dari kursi) ah, Nyonya telah membangkitkan nafsu amarah saya. Maaf.
(Duduk lagi)

NYONYA
Maaf, Tuan. Aku menyuruh Tuan pergi bukan karena hubungan antara penjual dan pembeli

TUAN
Jadi, sebagai apa?

NYONYA
Sebagai… sebagai…

TUAN
Sebagai apa? Terus terang saja, Nyonya. Apakah saya diusir sebagai seorang yang putus
cinta, sebagai… wah… sulit juga mengatakan sesuatu yang saya rasakan sendiri, Nyonya.
Katakan Nyonya, sebagai apa saya bagi Nyonya?

NYONYA (Tiba-tiba amarahnya bangkit)


Uan telah berutang! Besok Tuan harus bayar! Antarkan uangnya ke sini besok pagi,
mengerti!

TUAN
Besok pagi, Nyonya?

NYONYA
Besok pagi!

TUAN
Saya langsung menemui Nyonya?

NYONYA
Langsung!

TUAN
Baiklah. Saya langsung menemui Nyonya besok pagi (Keluar lupa membawa tas)

NYONYA
Benar-benar gigih keparat itu! (Memerbaiki dandanan) apa aku harus gosok gigi lebih pagi?

TUAN (Tiba-tiba muncul)


Maaf, Nyonya. Tas saya ketinggalan (mengambil tas) tadi Nyonya bilang apa? Gosok gigi
lebih pagi?

NYONYA (Kelabakan)
Besok, Tuan! Besok! Besok, Tuan! (Berlari ke dalam)

TUAN (Berteriak)
Ya, Nyonya. Besok pagi! Gosok gigi! (Menyanyi senang sambil keluar) pagi-pagi kuterus
mandi, tidak lupa menggosok gigi….

224
DARI ARAH LAIN, KETIGA PONAKAN MASUK SAMBIL MERATAP

PONAKAN A
Malang…. Malang…. O, Datukku. Kau meninggal, tapi istrimu tidak ada di sampingmu….
O, Datukku….

PONAKAN B
O, Datukku. Istrimu tak ada lagi artinya, tak ada…. Dia bukanlah istri yang sebenarnya…. O,
Datuk….

PONAKAN C
Maafkan kami Datuk. Maafkan istrimu yang tidak suka padamu itu, Datukku… malang nasib
kita… Datuk dapat istri yang menyia-nyiakan suami….

PONAKAN A
Tidak ada gunanya beristri cantik. Kau terbujur di rumah sakit, sedangkan dia di rumah entah
membuat kerja apa….

NYONYA
Istrimu bergoyang pinggul sepanjang waktu, sedangkan kau Datuk….

KARENA NYONYA TIDAK DATANG JUGA, MEREKA KESAL

PONAKAN A
Tidak ada orang! sialan!

PONAKAN B (Terus meratap)

O…. Datukku. Datuk telah malang. Dapat istri, tapi….

PONAKAN A
Jangan terus meratap. Tidak ada orang!

PONAKAN C (Terus meratap)


Dari dulu kukatakan tidak ada gunanya istri cantik, kalau….

PONAKAN A
Sudahlah! Dia tidak ada di rumah!

PONAKAN B
O, jadi dia tidak ada?

PONAKAN A
Besok kita ke sini lagi

PONAKAN C
Ya. Sialan benar dia!

KETIGANYA PERGI DENGAN KECEWA


LAMPU PADAM

225
DI DALAM KAMAR
NYONYA BERDANDAN DI DALAM KAMAR, DIIRINGI SEBUAH NYANYIAN DARI TAPE
RECORDER. TIBA-TIBA TUAN MASUK. NYONYA TERKEJUT SEKALI DAN SEGERA
MEMATIKAN TAPE RECORDERNYA.

NYONYA
Keterlaluan! Keluar!

TUAN
Maaf, Nyonya

NYONYA
Ini kamarku, Tuan!

TUAN
Ya, Nyonya

NYONYA
Suamiku bisa mengamuk, Tuan!

TUAN
Istri saya juga begitu, Nyonya

NYONYA
Tuan begitu lancing! Keluar, Tuan!

TUAN
Saya mau membayar utang, Nyonya

NYONYA
Tunggu saja di luar

TUAN
Saya tergesa, Nyonya. Lagipula jumlah utang tetap saja nilainya, walau dibayar di mana pun
juga. (Mengeluarkan sejumlah uang) Ini Nyonya. Sebagaimana yang saya janjikan

NYONYA TIDAK MENERIMA UANG ITU

TUAN
Apa Nyonya tidak akan menghitungnya?

NYONYA
Nanti saja! silakan Tuan keluar!

TUAN
Agar Nyonya tidak sangsi atau merasa tertipu nantinya, biar saya tolong menghitungnya

226
(Duduk di atas tempat tidur menghitung uang, tapi matanya terpaku pada tubuh Nyonya
yang sedang berdandan) romantic sekali kamar ini. Apa disebabkan warna sofa, atau karena
suasananya cukup sunyi? Ya… ya… dimana-mana kamar seorang wanita cantik selalu
menarik.

NYONYA
Tuan menghitung uang atau….

TUAN
Atau apa, Nyonya? Jangan bicara sepotong-sepotong. Saya tidak begitu tergesa. Atau apa,
Nyonya?

NYONYA
Tergesa atau tidak, tapi ekornya Tuan. ekornya

TUAN
Nama Nyonya akan cacat, begitu ekornya bukan?

NYONYA
Tuan! Letakkan uang itu dan keluar!

TUAN
Baik, Nyonya (Meletakkan uang) mengapa Nyonya duduk di situ sewaktu berdandan?

NYONYA
Di kamarku, duduk atau berdiri itu urusanku. Tak seorang pun dapat melarang

TUAN
Kalau begitu, duduk di sini saja

NYONYA
Apa? Duduk di samping Tuan? Duduk berdua di atas tempat tidurku? Tak useh ye. Tuan
tahu, akulah istri yang sangatt setia pada suami

TUAN
Tunggu, Nyonya. Adakah larangan kalau kita duduk berdua pada suatu tempat? Di mana-
mana itu bisa terjadi, Nyonya. Dalam bis, kereta api, pesawat udara, rumah bersalin, bahkan
dalam bioskop sekali pun, itu biasa terjadi. Dan masing-masing orang tidak saling curiga.

NYONYA
Larangan resmi memang tidak ada kalau kita duduk berdua. Tapi, agama, ada moral, etika,
atau ahlak?

TUAN
Semua yang Nyonya katakan itu hanya berlaku pada masyarakat luas. Umum sifatnya. Tapi
bila Nyonya setuju duduk berdampingan? Siapa melarang, yak an? Pokoknya persetujuan,
Nyonya. Persetujuan adalah inti dari segalanya. Jual beli, kawin cerai…. Semua harus
berdasarkan persetujuan. Wah…. Tempat tidur yang begini cantik memang disediakan untuk
dua orang, Nyonya.

227
NYONYA
Segala sesuatunya Tuan hubungkan dengan fungsi. Apa Tuan akan menyeretku lagi agar
menjual tempat tidur itu?

TUAN
Tidak hanya tempat tidur, Nyonya

NYONYA
Tidak hanya tempat tidur? Tempat dudukku ini juga Tuan beli? Tidak bisa, Tuan! Tidak bisa.

TUAN
Dalam perdagangan semuanya bisa terjadi, Nyonya. Asal ada persetujuan. Kalau Nyonya
mau menjualnya, ini misalnya saja Nyonya seharga tujuh ratus dua puluh lima ribu dan saya
pun setuju membayarnya maka apa yang Nyonya katakan tidakn bisa akan menjadi bisa

NYONYA
Apa sebenarnya yang Tuan inginkan?

TUAN
Hanya mengikuti kecendurngan saya sebagai pedagang. Membeli segala sesuatu yang
mungkin dibeli dan memungkinkan memperoleh sedikit keuntungan

NYONYA
Bila kujual kursiku ini dan tempat tidur itu, nanti Tuan tentu akan membeli yang lain lagi

TUAN
Tergantung pada peluang yang Nyonya sediakan. Tapi hari ini tidak, Nyonya. Jika Nyonya
mau menjual kursi dan tempat tidur Nyonya, itulah usaha bisnis terakhir saya hari ini

NYONYA
Terakhir?

TUAN
Ya. Tidak percaya? Tanya istri saya

NYONYA
Baik, agar Tuan segera angkat kaki dari kamar ini, kursi dan tempat tidur itu akan kujual
sebagaimana yang Tuan inginkan. Berapa?

TUAN
Lima ratus ribu

NYONYA
Tadi Tuan mengatakan tujuh ratus dua puluh lima ribu! Apa Tuan sudah gila! Atau kerasukan
nafsu!

TUAN
Tawar-menawar Nyonya. Tapi baiklah. Saya bayar. (Menyerahkan uang) ini

NYONYA

228
Aku terima. Cukupkan? Nah, silahkan pergi

TUAN
Apa, Nyonya? Pergi? marilah kita sama-sama menghormati milik orang lain, Nyonya.

NYONYA
Tapi, tempat tidur itu telah menjadi milik Tuan, bukan? Apa lagi?

TUAN
Dan, kursi itu juga telah jadi milikku, bukan? Dan lagi, apa nanti malam Nyonya akan tidur
di atas milik orang lain?

NYONYA
Tidak. Nanti namaku akan cacat. Tapi, kenapa Tuan sendiri duduk di atas kursi milik orang
lain?

TUAN
Karena ingin membelinya, tentu saja saya harus mencobanya terlebih dulu. Sedangkan
Nyonya tidak membeli, tapi menjual. Nyonya, jangan duduki milik saya karena Nyonya tidak
akan membelinya

NYONYA
Jadi, aku harus berdiri?

TUAN
Tentu. Kursi itu sudah saya beli

NYONYA
Tuan harus pergi. aku akan tetap duduk di sini

TUAN
Jadi, Nyonya nekad? Apa mesti saya adukan ke pengadilan, Nyonya? Biarlah saya pergi ke
pengadilan! Sekarang juga! (Bergerak hendak pergi)

TERDENGAR SUARA PARA KEMENAKAN MENDEKAT

NYONYA
Sst! Ada orang di luar. Jangan pergi dulu

TUAN
Baiklah. Sampai pagi saya mau bersama Nyonya di kamar ini

NYONYA BERDIRI MENELITI SUARA YANG DATANG DARI LUAR. KETIGA PONAKAN
DATANG, MERATAP LEBIH SEDIH DAN LEBIH KERAS LAGI

PONAKAN A
O, Datukku. Datukku. Ini kemenakanmu. Ini. Percayalah, Datuk. Istrimu tidak ada gunanya,
tak ada artinya lagi….

PONAKAN B

229
O, Datukku yang malang. Kau meninggal tanpa didampingi istrimu. O, nasib Datuk, malang
sepaling malang….

PONAKAN C
O, Datuk. Kami hanya bisa meratap. Dengan ratapan, kau kuantar ke kuburan…..

PONAKAN A
Tak ada gunanya istri canttik, Datukku. Datuk mati, mungkin dia akan kawin lagi. O,
malang….oi….

PONAKAN B
Ondeh malang, oi… malang oi…. Maafkan juga perempuan celaka istrimu itu, Datuk….

PONAKAN A
Kok tidak ada yang keluar? Atau dia masih tidur?

PONAKAN C (Terus meratap)


Beginilah jadinya. Apa yang terjadi, terjadilah. Pulangkan aku ke rumah Datukku….

PONAKAN A
Sudahlah! Ada orang lain datang

ISTRI DATANG. KETIGA PONAKAN BERHENTI MERATAP

ISTRI
Aku punya bukti cukup. Suamiku telah berbuat…. Ah malu aku. Suamiku tentu berada di
rumah ini. O, kekasih hatiku. Pulanglah dikau. Kucing dapurmu datang memanggil….

PONAKAN C
Jangan emosi, Nyonya. Suami Nyonya sekarang tentu sedang sibuk berbisnis….

ISTRI
O, suamiku tercinta…. Apakah berbeda luas ladangku dengan lading pemilik kursi rumah
ini…. (Sadar) maaf, Nyonya-Nyonya. Saya kalau dirasuk nafsu amarah sering lupa diri. Saya
memang begitu, Nyonya. Dulu semasa kuliah, saya pemain sandiwara

PONAKAN C
Lebih baik Nyonya cari ke tempat lain saja. tak ada suami Nyonya di sini.

ISTRI
Baiklah (Keluar)

PONAKAN A
Kita pasti diakali

PONAKAN B
Masa dia tak percaya suaminya meninggal. Kita saja sudah begitu sedih, seharusnya dia….

PONAKAN A
Kalau begitu, biar aku meratap lagi. (Meratap) o, Datuk… Datukku, kau telah meninggal.

230
Tapi istrimu tidak percaya….

PONAKAN C
Sst!.... dengar! Ada suara….

DI DALAM KAMAR, TUAN DENGAN SEGERA BANGKIT DAN LANGSUNG


BERJONGKOK DI DEKAT KAKI NYONYA

TUAN
Nyonya, apa Nyonya kira tidak ada akibatnya kalau berdiri terlalu lama? Lutut Nyonya bisa
bengkak dan kecanikan Nyonya akan berkurang. Apa gunanya wajah cantik, tapi berlutut
besar

NYONYA
Saya akan berdiri sampai kapan pun

TUAN
Maaf, Nyonya. Lihat lutut Nyonya! Lutut Nyonya benar-benar mulai membengkak

NYONYA (Melihat lututnya)


Masa bodoh!

NYONYA-NYONYA YANG BERADA DI TERAS ITU PUN MELIHAT LUTUTNYA


SENDIRI-SENDIRI PULA

TUAN
Nyonya, darah mulai mengalir dari betis Nyonya!

NYONYA
Masa bodoh!

TUAN (memegangi kaki Nyonya)


Maaf, Nyonya. Saya harus bertindak! Darah tidak persoalan. Tapi kalau darah Nyonya
sempat naik ke puncak kepala, akibatnya fatal, Nyonya. Saya akan susah menanggungnya

NYONYA
Masa bodoh!

TUAN
Jangan gugup Nyonya. Saya sedang berusaha mencegah

NYONYA
Tuan, lepaskan. Tuan. Lepaskan.

TUAN
Ssst! Nyonya…. Ada orang di luar barangkali

NYONYA-NYONYA YANGBERADA DI LUAR JUGA MELIHAT KE ARAH LAIN, MELIHAT


KALAU_KALAU ADA ORANG LAIN YANG DATANG

231
NYONYA
Tuan, bagaimana caranya agar Tuan tidak memegangi kakiku lagi?

TUAN
Sebagaimana siasat Nyonya selama ini

NYONYA
Jadi, Tuan juga akan membeli tumitku

TUAN
Daripada darah Nyonya naik ke kepala!?

NYONYA
Biak, bila Tuan telah menyerahkan uangnya segera lepaskan kakiku

TUAN
Ya, Nyonya

NYONYA
bayarlah

TUAN
Berapa? Seratus?

NYONYA
naik

TUAN (Pegangan Tuan naik sedikit)


Dua ratus?

NYONYA
Naik lagi

TUAN (Pegangan Tuan naik sedikit lagi)


Empat ratus?

NYONYA (Geli)
Naik! Naik Tuan!

TUAN
Bagaimana Nyonya?

NYONYA
Naik, Tuan!

TUAN
Naik?

NYONYA
Naik lagi!

232
TUAN (Pegangan Tuan semakin naik)

NYONYA
Tuaaaaan! Aaa….mmmm!

TUAN
Bagaimana Nyonya? Naik lagi? Harganya jadi terlalu tinggi, Nyonya.

NYONYA
Naik, Tuan…..

TUAN (Pegangan Tuan semakin naik)

NYONYA (Berteriak tertahan dan panjang)


Tuuuuaaaaaaan…!

NYONYA-NYONYA YANG BERADA DI LUAR SEGERA SADAR DIRI

PARA PONAKAN (Berteriak keras sekali dan panjang karena marah dan kaget)
Tuuuuuuuuuaaaaaaaaaaaaaaaannnnn…..!

NYONYA DAN TUAN SEGERA SADAR BAHWA ADA ORANG LAIN DI TERAS.
KEDUANYA TERSENAK DAN SALING BERUSAHA MELARIKAN DIRI. TAPI TIDAK
TAHU HARU LARI KEMANA. AKHIRNYA MEREKA BERANGKULAN DAN SALING
MELEPASKAN LAGI

TUAN
Nyonya!

NYONYA
Tuan!

KEDUANYA BERTABRAKAN DAN SALING BERANGKULAN

NYONYA
Tuan!

TUAN
Nyonya!

NYONYA-NYONYA YANG DILUAR MENGINTIP DAN TERCENGANG. MEREKA MARAH


DAN MENGEJAR TUAN DAN NYONYA KE DALAM SAMBIL MENGHUNUS PISAU
MASING-MASING

PONAKAN A
Tuan!

PONAKAN B
Tuan!

233
PONAKAN C
O, kau. Sialan! Ekornya. Ekornya.

ISTRI (Datang tergesa)


Suamiku, suamiku, suami, suami, suami…. (Tergeletak. Pingsan melihat Tuan berpelukan
dengan Nyonya)

LAMPU PADAM
TAMAT

234
AYAHKU PULANG
Karya Usmar Ismail

DRAMATIC PERSONAE

1. RADEN SALEH Ayah.

2. T I N A Ibu / Isteri Raden Saleh.

3. GUNARTO Anak laki-laki tertua Raden Saleh dan Tina.

4. MAIMUN Adik laki-laki Gunarto / anak kedua Raden Saleh dan Tina.

5. MINTARSIH Adik perempuan Gunarto dan Maimun / anak bungsu Raden


Saleh dan Tina.

PANGGUNG MENGGAMBARKAN SEBUAH RUANGAN DALAM DARI SEBUAH RUMAH


YANG SANGAT SEDERHANA DENGAN SEBUAH JENDELA AGAK TUA. DIKIRI KANAN
RUANGAN TERDAPAT PINTU. DISEBELAH KIRI RUANGAN TERDAPAT SATU SET KURSI
DAN MEJA YANG AGAK TUA, DISEBELAH KANAN TERDAPAT SEBUAH MEJA MAKAN
KECIL DENGAN EMPAT BUAH KURSINYA, TAMPAK CANGKIR TEH, KUE-KUE DAN
PERALATAN LAINNYA DIATAS MEJA. SUARA ADZAN DI LATAR BELAKANG
MENUNJUKKAN SAAT BERBUKA PUASA.

SEBELUM LAYAR DIANGKAT SEBAIKNYA TERLEBIH DAHULU SUDAH TERDENGAR


SUARA BEDUK BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TAKBIR BEBERAPA KALI
SEBAGAI TANDA KALAU ESOK ADALAH HARI RAYA IDUL FITRI. SUARA BEDUG DAN
TAKBIR SEBAIKNYA TERUS TERDENGAR DARI MULAI LAYAR DIANGKAT/SANDIWARA
DIMULAI SAMPAI AKHIR PERTUNJUKKAN INI. KETIKA SANDIWARA DIMULAI/LAYAR
PANGGUNG DIANGKAT, TAMPAK IBU SEDANG DUDUK DIKURSI DEKAT JENDELA.
EKSPRESINYA KELIHATAN SEDIH DAN HARU MENDENGAR SUARA BEDUK DAN
TAKBIRAN YANG BERSAHUT-SAHUTAN ITU. KEMUDIAN MASUK KEPANGGUNG
GUNARTO.

GUNARTO (Memandang Ibu Lalu Bicara Dengan Suara Sesal)


Ibu masih berfikir lagi...

I B U (Bicara Tanpa Melihat Gunarto)


Malam Hari Raya Narto. Dengarlah suara bedug itu bersahut-sahutan.

(Gunarto Lalu Bergerak Mendekati Pintu)

Pada malam hari raya seperti inilah Ayahmu pergi dengan tidak meninggalkan sepatah katapun.

GUNARTO (Agak Kesal)


Ayah......

IBU
Keesokan harinya Hari Raya, selesai shollat ku ampuni dosanya...

235
GUNARTO
Kenapa masih Ibu ingat lagi masa yang lampau itu? Mengingat orang yang sudah tidak ingat lagi kepada
kita?

I B U (Memandang Gunarto)
Aku merasa bahwa ia masih ingat kepada kita.

GUNARTO (Bergerak Ke Meja Makan)


Mintarsih kemana, Bu?

IBU
Mintarsih keluar tadi mengantarkan jahitan, Narto.

GUNARTO (Heran)
Mintarsih masih juga mengambil upah jahitan, Bu? Bukankah seharusnya ia tidak usah lagi membanting
tulang sekarang?

IBU
Biarlah Narto. Karena kalau ia sudah kawin nanti, kepandaiannya itu tidak sia-sia nanti.

GUNARTO (Bergerak Mendekati Ibu,Lalu Bicara Dengan Lembut)


Sebenarnya Ibu mau mengatakan kalau penghasilanku tidak cukup untuk membiayai makan kita
sekeluarga kan, Bu? (Diam Sejenak. Pause) Bagaimana dengan lamaran itu, Bu?

IBU
Mintarsih nampaknya belum mau bersuami, Narto..Tapi dari fihak orang tua anak lelaki itu terus
mendesak Ibu saja..

GUNARTO
Apa salahnya, Bu? Mereka uangnya banyak!

IBU
Ah... uang, Narto??

GUNARTO (Sadar Karena Tadi Berbicara Salah)


Maaf Bu... bukan maksud aku mau menjual adik sendiri..

(Lalu Bicara Dengan Dirinya Sendiri)

Ah... aku jadi mata duitan.... yah mungkin karena hidup yang penuh penderitaan ini...

I B U (Menerawang)
Ayahmu seorang hartawan yang mempunyai tanah dan kekayaan yang sangat banyak, mewah diwaktu
kami kawin dulu. Tetapi kemudian... seperti pokok yang ditiup angin kencang...buahnya
gugur..karena......

(Suasana Sejenak Hening, Penuh Tekanan Bathin, Suara Ibu Lemah Tertekan)

Uang Narto! Tidak Narto, tidak...aku tidak mau terkena dua kali, aku tidak mau adikmu bersuamikan
seorang Hartawan, tidak...cukuplah aku saja sendiri. biarlah ia hidup sederhana Mintarsih mestilah
bersuamikan orang yang berbudi tinggi, mesti, mesti...

GUNARTO (Coba Menghibur Ibu)


Tapi kalau bisa kedua-duanya sekaligus,Bu? Ada harta ada budi.

236
IBU
Dimanalah dicari,Narto? Adik kau Mintarsih hanyalah seorang gadis biasa. Apalagi sekarang ini
keadaan kita susah? Kita tidak punya uang dirumah? Sebentar hari lagi uang simpananku yang
terakhirpun akan habis pula.

GUNARTO (Diam Berfikir, Kemudian Kesal)


Semua ini adalah karena ulah Ayah! Hingga Mintarsih harus menderita pula! Sejak kecil Mintarsih
sudah merasakan pahit getirnya kehidupan. Tapi kita harus mengatasi kesulitan ini,Bu! Harus! Ini
kewajibanku sebagai abangnya, aku harus lebih keras lagi berusaha!

(Hening Sejenak Pause. Lalu Bicara Kepada Dirinya Sendiri)

Kalau saja aku punya uang sejuta saja....

IBU
Buat perkawinan Mintarsih, lima ratus ribu rupiah saja sudah cukup,Narto.

(Ibu Coba Tersenyum)

Sesudah Mintarsih nanti, datanglah giliranmu Narto...

GUNARTO (Kaget)
Aku kawin,Bu?? Belum bisa aku memikirkan kesenangan untuk diriku sendiri sekarang ini, Bu.
Sebelum saudara-saudaraku senang dan Ibu ikut mengecap kebahagiaan atas jerih payahku nanti Bu.

SUARA BEDUG DAN TAKBIR TERDENGAR LEBIH KERAS SEDIKIT.

IBU
Aku sudah merasa bahagia kalau kau bahagia, Narto. Karena nasibku bersuami tidak baik benar.

(Kembali Fikirannya Menerawang)

Dan kata orang bahagia itu akan turun kepada anaknya.

(Pause Lalu Terdengar Suara Bedug Takbir Lebih Keras Lagi. Ibu Mulai Bicara Lagi)

Malam hari raya sewaktu ia pergi itu, tak tahu aku apa yang mesti aku kerjakan? Tetapi ....

(KEMBALI SEDIH DAN HARU)

GUNARTO (Tampak Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)


Maimun lambat benar pulang hari ini, Bu?

IBU
Barangkali banyak yang harus dikerjakannya? Karena katanya mungkin bulan depan dia naik gaji.

GUNARTO
Betul bu itu? Maimun memang pintar, otaknya encer. Tapi karena kita tak punya uang kita tak bisa
membiayai sekolahnya lebih lanjut lagi. Tapi kalau ia mau bekerja keras, tentu ia akan menjadi orang
yang berharga di masyarakat!

I B U (Agak Mengoda)
Narto...siapa gadis yang sering ku lihat bersepeda bersamamu?

237
GUNARTO (Kaget. Gugup)
Ah...dia itu cuma teman sekerja, Bu.

IBU
Tapi Ibu rasa pantas sekali dia buat kau, Narto. Meskipun Ibu rasa dia bukanlah orang yang rendah
seperti kita derajatnya. Tapi kalau kau suka ....

GUNARTO (Memotong Bicara Ibu)


Ah... buat apa memikirkan kawin sekarang, Bu? Mungkin kalau sepuluh tahun lagi nanti kalau sudah
beres.

IBU
Tapi kalau Mintarsih nanti sudah kawin, kau mesti juga Narto? Kau kan lebih tua.

(Diam Sebentar Lalu Terkenang)

Waktu Ayahmu pergi pada malam hari raya itu... ku peluk kalian anak-anakku semuanya.. hilang
akalku....

GUNARTO
Sudahlah Bu. Buat apa mengulang kaji lama?

MASUK MAIMUN. DIA TAMPAK KELIHATAN SENANG.

MAIMUN (Setelah Meletakkan Tas Kerjanya Lalu Bicara)


Lama menunggu, Bu? Bang?

GUNARTO
Ah tidak...

IBU
Agak lambat hari ini, Mun? Dimana kau berbuka puasa tadi?

MAIMUN
Kerja lembur, Bu. Tadi aku berbuka puasa bersama teman dikantor. Tapi biarlah, buat perkawinan
Mintarsih nanti. Eh, mana dia Bu?

IBU
Mengantarkan jahitan..

MAIMUN (Menghampiri Gunarto Lalu Duduk Disebelahnya)


Bang, ada kabar aneh, nih! Tadi pagi aku berjumpa dengan seorang tua yang serupa benar dengan Ayah?

GUNARTO (Tampak Tak Terlalu Mendengarkan)


Oh, begitu?

MAIMUN
Waktu Pak Tirto berbelanja disentral, tiba-tiba ia berhadapan dengan seorang tua kira-kira berumur
enam puluh tahun. Ia kaget juga?! Karena orang tua itu seperti yang pernah dikenalnya? Katanya orang
tua itu serupa benar dengan Raden Saleh. Tapi kemudian orang itu menyingkirkan diri lalu menghilang
dikerumunan orang banyak!

GUNARTO
Ah, tidak mungkin dia ada disini....

238
I B U (Setelah Diam Sebentar)
Aku kira juga dia sudah meninggal dunia atau keluar negeri. Sudah dua puluh tahun semenjak dia pergi
pada malam hari raya seperti ini.

MAIMUN
Ada orang mengatakan dia ada Singapur, Bu?

IBU
Tapi itu sudah sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu kata orang dia mempunyai toko yang sangat besar
disana. Dan kata orang juga yang pernah melihat, hidupnya sangat mewah.

GUNARTO (Kesal)
Ya! Tapi anaknya makan lumpur!

I B U (Seperti Tidak Mendengar Gunarto)


Tapi kemudian tak ada lagi sama sekali kabar apapun tentang Ayahmu. Apalagi sesudah perang
sekarang ini, dimana kita dapat bertanya?

MAIMUN
Bagaimana rupa Ayah yang sebenarnya, Bu?

IBU
Waktu ia masih muda, ia tak suka belajar. Tidak seperti kau. Ia lebih suka berfoya-foya. Ayahmu pada
masa itu sangat disegani orang. Ia suka meminjamkan uang kesana kemari. Dan itulah....

GUNARTO (Kesal Lalu Mengalihkan Pembicaraan)


Selama hari raya ini berapa hari kau libur, Mun?

MAIMUN
Dua hari, Bang.

IBU
Oh ya! Hampir lupa masih ada makanan yang belum Ibu taruh dimeja.

(IBU LALU MASUK KEDALAM)

GUNARTO (Setelah Diam Sebentar)


Pak Tirto bertemu dengan orang tua itu kapan, Mun?

MAIMUN
Kemarin sore, Bang. Kira-kira jam setengah tujuh.

GUNARTO
Bagaimana pakaiannya?

MAIMUN
Tak begitu bagus lagi katanya. Pakaiannya sudah compang-camping dan kopiahnya sudah hampir putih.

GUNARTO (Acuh Saja)


Oh begitu?

MAIMUN
Kau masih ingat rupa Ayah, Bang?

239
GUNARTO (Cepat)
Tidak ingat lagi aku.

MAIMUN
Semestinya abang ingat, karena umur abang waktu itu sudah delapan tahun. Sedangkan aku saja masih
ingat, walaupun samar-samar.

MAIMUN (Agak Kesal)


Tidak ingat lagi aku. Sudah lama aku paksa diriku untuk melupakannya.

MAIMUN (Terus Bicara)


Pak Tirto banyak cari tanya tentang Ayah.

IBU KELUAR KEMBALI MEMBAWA MAKANAN LALU BERGABUNG LAGI DENGAN


MEREKA.

IBU
Ya, kata orang Ayahmu seorang yang baik hati. (MENERAWANG) Jika ia berada disini sekarang
dirumah ini, besok hari raya, tentu ia bisa bersenang-senang dengan anak-anaknya...

GUNARTO (Mengalihkan Pembicaraan)


Eh, Mintarsih seharusnya sudah pulang sekarang.. jam berapa sekarang ini?

MAIMUN
Bang Narto. Ada kabar aneh lagi nih! Tadi pagi aku berkenalan dengan orang India. Dia mengajarkan
aku bahasa Urdu, dan aku memberikan pelajaran bahasa Indonesia kepada dia!

GUNARTO
Baguslah itu. Kau memang harus mengumpulkan ilmu sebanyak-banyaknya. Supaya nanti kau dapat
banggakan kalau kau bisa jadi orang yang sangat berguna bagi masyarakat! Jangan seperti aku ini,
hanya lulusan sekolah rendah. Aku tidak pernah merasakan atau bisa lebih tinggi lagi, karena aku tidak
punya Ayah. Tidak ada orang yang mau membantu aku. Tapi kau Maimun, yang sekolah cukup tinggi,
bekerjalah sekuat tenagamu! Aku percaya kau pasti bisa memenuhi tuntutan zaman sekarang ini!

MASUK MINTARSIH SEORANG ANAK GADIS YANG TAMPAK RIANG. IA MEMBAWA


SESUATU YANG TAMPAKNYA UNTUK KEPERLUAN HARI RAYA BESOK.

MINTARSIH
Ah.... sudah berbuka puasa semuanya?

IBU
Tadi kami menunggu kau, tapi lama benar?

(Mintarsih Bergerak Mendekati Jendela Lalu Melongokkan Kepalanya Melihat Keluar)

Makanlah. Apa yang kau lihat diluar?

MINTARSIH
Waktu saya lewat disitu tadi...

(Menoleh Melihat Gunarto Yang Tampak Acuh Saja)

Bang Narto... dengarlah dulu..

GUNARTO (Tenang)

240
Ya, aku dengar.

MINTARSIH
Ada orang tua diujung jalan ini. Dari jembatan sana melihat-lihat kearah rumah kita. Nampaknya seperti
seorang pengemis.

(Semua DiaM)

Yah... kenapa semua jadi diam?

GUNARTO TERTUNDUK MEMBISU

MAIMUN (Dengan Cepat)


Orang tua?? bagaimana rupanya?

MINTARSIH
Hari agak gelap. Jadi tidak begitu jelas kelihatannya... tapi orangnya....

TINGGI ATAU PENDEK TERGANTUNG PEMERAN. SUARA BEDUG AGAK KERAS


TERDENGAR.

MAIMUN (Bangkit Dari Duduknya Lalu Melihat Ke Jendela)


Coba ku lihat!

KEMUDIAN MAIMUN KELUAR TAK LAMA MASUK KEMBALI, LALU MELONGOKKAN


KEPALANYA KE JENDELA LAGI

GUNARTO (Menoleh Sedikit Kepada Maimun)


Siapa Mun?

MAIMUN
Tak ada orang kelihatannya?!

DUDUK KEMBALI

I B U (tampak sedih)
Malam hari raya seperti ini ia berlalu dulu itu...

(Terkenang)

Mungkin ....

GUNARTO (agak kesal)


Ah Bu, lupakan sajalah apa yang sudah berlalu itu.

SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN TERDENGAR AGAK JELAS KETIKA SUASANA HENING,
SAMBIL MENUNGGU DIALOG.

IBU
Waktu kami masih sama-sama muda, kami sangat berkasih-kasihan. Sejelek-jelek Ayahmu, banyak
juga kenangan-kenangan di masa itu yang tak dapat Ibu lupakan. Nak, mungkin ia kembali juga?

SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN MAKIN SAYUP-SAYUP LALU TERDENGAR SUARA


ORANG MEMBERI SALAM DARI PINTU LUAR.

241
R. SALEH
Assalamualaikum, assalamualaikum... apa disini rumahnya Nyonya Saleh?

IBU
Astagfirullah! Seperti suara Ayahmu, nak? Ayahmu pulang, nak!

IBU BERGERAK MENDEKATI PINTU RUMAH LALU MEMBUKA PINTU LEBIH LEBAR.
DAN NAMPAK RADEN SALEH BERDIRI DIHADAPANNYA. SUASANA JADI HENING TIBA-
TIBA. HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP
NAMUN JELAS TERDENGAR.

R. SALEH (setelah lama berpandangan)


Tina? Engkau Tina??

I B U (agak gugup)
Saleh? Engkau Saleh?? Engkau banyak berubah, Saleh.

R. SALEH (tersenyum malu)


Ya. Ya aku berubah, Tina. Dua puluh tahun perceraian merubah wajahku.

(KEMUDIAN MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU)

Dan ini tentunya anak-anak kita semua?

IBU
Ya, memang ini adalah anak-anakmu semua. Sudah lebih besar dari Ayahnya. Mari duduk, dan
pandangilah mereka...

R. SALEH (ragu)
Apa? Aku boleh duduk, Tina?

MINTARSIH MENARIK KURSI UNTUK MEMPERSILAHKAN RADEN SALEH DUDUK.

IBU
Tentu saja boleh. Mari....

(Menuntun raden saleh sampai ke kursi)

Ayahmu pulang, Nak.

MAIMUN (gembira lalu berlutut dihadapan raden saleh)


Ayah, aku Maimun.

R. SALEH
Maimun? Engkau sudah besar sekarang, Nak. Waktu aku pergi dulu, engkau masih kecil sekali. Kakimu
masih lemah, belum dapat berdiri.

(Diam sebentar lalu melihat mintarsih)

Dan Nona ini, siapa?

MINTARSIH
Saya Mintarsih, Ayah.

(LALU MENCIUM TANGAN AYAHNYA)

242
R. SALEH
Ya, ya... Mintarsih. Aku dengardari jauh bahwa aku mendapat seorang anak lagi. Seorang putri.

(Memandang wajah mintarsih)

Engkau cantik, Mintarsih. Seperti Ibumu dimasa muda.

(Ibu tersipu malu)

Aku senang sekali. Tak tahu apa yang harus ku lakukan?

IBU
Aku sendiri tidak tahu dimana aku harus memulai berbicara? Anak-anak semuanya sudah besar seperti
ini. Aku kira inilah bahagia yang paling besar.

R. SALEH (tersenyum pahit)


Ya, rupanya anak-anak dapat juga besar walaupun tidak dengan Ayahnya.

IBU
Mereka semua sudah jadi orang pandai sekarang. Gunarto bekerja diperusahaan tenun. Dan Maimun
tak pernah tinggal kelas selama bersekolah. Tiap kali keluar sebagai yang pertama dalam ujian.
Sekarang mereka sudah mempunyai penghasilan masing-masing. Dan Mintarsih dia ini membantu aku
menjahit.

MINTARSIH (malu)
Ah, Ibu.

R. SALEH (sambil batuk-batuk)


Sepuluh tahun aku menjadi seorang saudagar besar disingapur. Aku menjadi kepala perusahaan dengan
pegawai berpuluh-puluh orang. Tapi malang bagiku, toko itu habis terbakar. Lalu seolah-olah seperti
masih belum puas menyeret aku kelembah kehancuran, saham-saham yang ku beli merosot semua
nilainya sehabis perang ini. Sesudah itu semua segala yang kukerjakan tak ada lagi yang sempurna.
Sementara aku sudah mulai tua. lalu tempat tinggalku, keluargaku, anak isteriku tergambar kembali
didepan mata dan jiwaku. Kalian seperti mengharapkan kasihku.

(Batuk-batuk. Lalu memandang gunarto)

Maukah engkau memberikan air segelas buat ku Gunarto? Hanya engkau yang tidak....

I B U (gelisah serba salah)


Narto, Ayahmu yang berbicara itu. Mestinya engkau gembira, nak. Sudah semestinya Ayah berjumpa
kembali dengan anak-anaknya yang sudah sekian lama tidak bertemu.

R. SALEH
Kalau Narto tak mau, engkaulah Maimun. Maukah kau memberikan Ayah air segelas?

MAIMUN
Baik, Ayah.

MAIMUN BERGERAK HENDAK MENGAMBILKAN AIR MINUM, TAPI NIATNYA TERHENTI


OLEH TEGURAN KERAS GUNARTO.

GUNARTO
Maimun! Kapan kau mempunyai seorang Ayah!

243
IBU
Gunarto!

(SEDIH, GELISAH DAN MULAI MENANGIS)

GUNARTO (bicara perlahan tapi pahit)


Kami tidak mempunyai Ayah, Bu. Kapan kami mempunyai seorang Ayah?

I B U (agak keras tapi tertahan)


Gunarto! Apa katamu itu!

GUNARTO
Kami tidak mempunyai seorang Ayah kataku. Kalau kami mempunyai Ayah, lalu apa perlunya kami
membanting tulang selama ini? Jadi budak orang! Waktu aku berumur delapan tahun, aku dan Ibu
hampir saja terjun kedalam laut, untung Ibu cepat sadar. Dan jika kami mempunyai Ayah, lalu apa
perlunya aku menjadi anak suruhan waktu aku berumur sepuluh tahun? Kami tidak mempunyai seorang
Ayah. Kami besar dalam keadaan sengsara. Rasa gembira didalam hati sedikitpun tidak ada. Dan kau
Maimun,. Lupakah engkau waktu menangis disekolah rendah dulu? Karena kau tidak bisa membeli
kelereng seperti kawan-kawanmu yang lain. Dan kau pergi kesekolah dengan pakaian yang sudah robek
dan tambalan sana-sini? Itu semua terjadi karena kita tidak mempunyai seorang Ayah! Kalau kita punya
seorang Ayah, lalu kenapa hidup kita melarat selama ini!

IBU DAN MINTARSIH MULAI MENANGIS DAN MAIMUN MERASA SEDIH.

MAIMUN
Tapi bang, Narto. Ibu saja sudah memaafkannya. Kenapa kita tidak?

GUNARTO (sikapnya dingin, namun keras)


Ibu seorang perempuan. Waktu aku kecil dulu, aku pernah menangis dipangkuan Ibu karena lapar,
dingin dan penyakitan, dan Ibu selalu bilang “Ini semua adalah kesalahan Ayahmu, Ayahmu yang harus
disalahkan.” Lalu kemudian aku jadi budak suruhan orang! Dan Ibu jadi babu mencuci pakaian kotor
orang lain! Tapi aku berusaha bekerja sekuat tenagaku! Aku buktikan kalau aku dapat memberi makan
keluargaku! Aku berteriak kepada dunia, aku tidak butuh pertolongan orang lain! Yah.. orang yang
meninggalkan anak dan isterinya dalam keadaan sengsara. Tapi aku sanggup menjadi orang yang
berharga, meskipun aku tidak mengenal kasih sayang seorarng ayah! Waktu aku berumur delapan belas
tahun, tak lain yang selalu terbayang dan terlihat diruang mataku hanya gambaran Ayahku yang telah
sesat! Ia melarikan diri dengan seorang perempuan asing yang lalu menyeretnya kedalam lembah
kedurjanaan! Lupa ia kepada anak dan isterinya! Juga lupa ia kepada kewajibannya karena nafsunya
telah membawanya kepintu neraka! Hutangnya yang ditinggalkan kepada kita bertimbun-timbun!
Sampai-sampai buku tabunganku yang disimpan oleh Ibu ikut hilang juga bersama Ayah yang minggat
itu! Yah, masa kecil kita sungguh-sungguh sangat tersiksa. Maka jika memang kita mempunyai Ayah,
maka Ayah itulah musuhku yang sebesar-besarnya!!

IBU
Gunarto!

(MINTARSIH DAN IBU MENANGIS)

MAIMUN
Bang!

MINTARSIH
Bang!

244
(KALAU MUNGKIN DIALOG MEREKA BERTIGA TADI DIUCAPKAN BERBARENGAN)

MAIMUN (dengan suara agak sedih)


Tapi, Bang. Lihat Ayah sudah seperti ini sekarang. Ia sudah tua bang Narto.

GUNARTO
Maimun, sering benar kau ucapkan kalimat “Ayah” kepada orang yang tidak berarti ini? Cuma karena
ada seorang tua yang masuk kerumah ini dan ia mengatakan kalau ia Ayah kita, lalu kau sebut pula ia
Ayah kita? Padahal dia tidak kita kenal. Sama sekali tidak Maimun. Coba kau perhatikan apakah kau
benar-benar bisa merasakan kalau kau sedang berhadapan dengan Ayah mu?

MAIMUN
Bang Narto, kita adalah darah dagingnya. Bagaimanapun buruknya kelakuan dia kita tetap anaknya
yang harus merawatnya.

GUNARTO
Jadi maksudmu ini adalah kewajiban kita? Sesudah ia melepaskan hawa nafsunya dimana-mana, lalu
sekarang ia kembali lagi kesini karena sudah tua dan kita harus memeliharanya? Huh, enak betul!

I B U (bingung, serba-salah)
Gunarto, sampai hati benar kau berkata begitu terhadap Ayahmu. Ayah kandungmu.

GUNARTO (cepat)
Ayah kandung? Memang Gunarto yang dulu pernah punya Ayah, tapi dia sudah meninggal dunia dua
puluh tahun yang lalu. Dan Gunarto yang sekarang adalah Gunarto yang dibentuk oleh Gunarto sendiri!
aku tidak pernah berhutang budi kepada siapapun diatas dunia ini. Aku merdeka, semerdeka
merdekanya, Bu!

SUARA BEDUG DAN TAKBIR BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI SUARA TANGIS IBU DAN
MINTARSIH.

R. SALEH (diantara batuknya)


Aku memang berdosa dulu itu. Aku mengaku. Dan itulah sebabnya aku kembali pada hari ini. Pada hari
tuaku untuk memperbaiki kesalahan dan dosaku. Tapi ternyata sekarang.... yah, benar katamu Narto.
Aku seorang tua dan aku tidak bermaksud untuk mendorong-dorongkan diri agar diterima dimana
tempat yang aku tidak dikehendaki.

(Berfikir,sementara maimun tertunduk diam dan mintarsih menangis dipelukan ibunya)

Baiklah aku akan pergi. Tapi tahukah kau Narto, bagaimana sedih rasa hatiku. Aku yang pernah
dihormati, orang kaya yang memiliki uang berjuta-juta banyaknya, sekarang diusir sebagai pengemis
oleh seorang anak kandungnya sendiri.... tapi biarlah sedalam apapun aku terjerumus kedalam
kesengsaraan, aku tidak akan mengganggu kalian lagi.

(BERDIRI HENDAK PERGI, TETAP BATUK-BATUK)

MAIMUN (menahan)
Tunggu dulu, Ayah! Jika Bang Narto tidak mau menerima Ayah, akulah yang menerima Ayah. Aku
tidak perduli apa yang terjadi!

GUNARTO
Maimun! Apa pernah kau menerima pertolongan dari orang tua seperti ini? Aku pernah menerima
tamparan dan tendangan juga pukulan dari dia dulu! Tapi sebiji djarahpun, tak pernah aku menerima
apa-apa dari dia!

245
MAIMUN
Jangan begitu keras, Bang Narto.

GUNARTO (marah, dengan cepat)


Jangan kau membela dia! Ingat, siapa yang membesarkan kau! Kau lupa! Akulah yang membiayaimu
selama ini dari penghasilanku sebagai kuli dan kacung suruhan! Ayahmu yang sebenar-benarnya adalah
aku!

MINTARSIH
Engkau menyakiti hati Ibu, Bang.

(SAMBIL TERSEDU-SEDU)

GUNARTO
Kau ikut pula membela-bela dia! Sedangkan untuk kau, aku juga yang bertindak menjadi Ayahmu
selama ini! Baiklah, peliharalah orang itu jika memang kalian cinta kepadanya! Mungkin kau tidak
merasakan dulu pahit getirnya hidup karena kita tidak punya seorang Ayah. Tapi sudahlah, demi
kebahagiaan saudara-saudaraku, jangan sampai menderita seperti aku ini.

IBU DAN MINTARSIH TERUS MENANGIS. SEMENTARA MAIMUN DIAM KAKU. SUARA
BEDUG DAN TAKBIR TERUS BERSAHUT-SAHUTAN. LALU TERDENGAR SUARA
GEMURUH PETIR DAN HUJANPUN TURUN.

R. SALEH
Aku mengerti... bagiku tidak ada jalan untuk kembali. Jika aku kembali aku hanya mengganggu
kedamaian dan kebahagiaan anakku saja. Biarlah aku pergi. Inilah jalan yang terbaik. Tidak ada jalan
untuk kembali.

RADEN SALEH BERGERAK PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK, SEMENTARA MAIMUN


MENGIKUTI DARI BELAKANG.

MAIMUN
Ayah, apa Ayah punya uang? Ayah sudah makan?

MINTARSIH (dengan air mata tangisan)


Kemana Ayah akan pergi sekarang?

R. SALEH
Tepi jalan atau dalam sungai. Aku cuma seorang pengemis sekarang. Seharusnya memang aku malu
untuk masuk kedalam rumah ini yang kutinggalkan dulu. Aku sudah tua lemah dan sadar, langkahku
terayun kembali. Yah, sudah tiga hari aku berdiri didepan sana, tapi aku malu tak sanggup sebenarnya
untuk masuk kesini. Aku sudah tua, dan ....

RADEN SALEH MEMANDANGI ANAK-ANAKNYA SATU PERSATU LALU KELUAR


DENGAN PERLAHAN SAMBIL BATUK-BATUK. BERJALAN LEMAH DIIRINGI SUARA
BEDUG DAN TAKBIRAN YANG SAYUP-SAYUP MASIH TERDENGAR, SEMENTARA HUJAN
MULAI TURUN DENGAN DERAS.

I B U (sambil menangis)
Malam hari raya dia pergi dan datang untuk pergi kembali. Seperti gelombang yang dimainkan oleh
angin topan. Demikianlah nasib Ibu, Nak.

MINTARSIH (sambil menangis menghampiri gunarto, lalu bergerak kedekat jendela)


Bang.... bagaimanakah Abang? Tidak dapatkah Abang memaafkan Ayah? Besok hari raya, sudah
semestinya kita saling memaafkan. Abang tidak kasihan? Kemana dia akan pergi setua itu?

246
HUJAN SEMAKIN DERAS.

MAIMUN (kesal)
Tidak ada rasa belas kasihan. Tidak ada rasa tanggung jawab terhadap adik-adiknya yang tidak berAyah
lagi.

MINTARSIH
Dalam hujan lebat seperti ini, Abang suruh dia pergi. Dia Ayah kita Bang. Ayah kita sendiri!

GUNARTO (memandang adiknya)


Janganlah kalian lihat aku sebagai terdakwa. Mengapa kalian menyalahkan aku saja? Aku sudah
hilangkan semua rasa itu! Sekarang kalian harus pilih, dia atau aku!!

MAIMUN (tiba-tiba bangkit marahnya)


Tidak! Aku akan panggil kembali Ayahku pulang! Aku tidak perduli apa yang Abang mau lakukan?
Kalau perlu bunuh saja aku kalau Abang mau! Aku akan panggil Ayahku! Ayahku pulang! Ayahku
mesti pulang!

MAIMUN LARI KELUAR RUMAH. SEMENTARA HUJAN MAKIN LEBAT DIIRINGI SUARA
BEDUG DAN TAKBIRAN SAYUP-SAYUP TERDENGAR.

GUNARTO
Maimun kembali!

GUNARTO CEPAT HENDAK MENYUSUL MAIMUN TAPI TIDAK JADI LALU PERLAHAN-
LAHAN DUDUK KEMBALI. IBU DAN MINTARSIH MENANGIS. SUASANA HENING
SEJENAK HANYA TERDENGAR SUARA BEDUG DAN TAKBIRAN SERTA GEMURUH
HUJAN. TAK BERAPA LAMA TAMPAK MAIMUN MASUK KEMBALI. NAMUN IA HANYA
MEMBAWA PAKAIAN DAN KOPIAH AYAHNYA SAJA. MAIMUN KELIHATAN MENANGIS.

MINTARSIH
Mana Ayah, Bang?

IBU
Mana Ayahmu?

MAIMUN
Tidak aku lihat. Hanya kopiah dan bajunya saja yang kudapati....

GUNARTO
Maimun, dimana kau dapatkan baju dan kopiah itu?

MAIMUN
Dibawah lampu dekat jembatan...

GUNARTO
Lalu Ayah? Bagaimana dengan Ayah? Dimana Ayah?

MAIMUN
Aku tidak tahu....

GUNARTO (kaget. Sadar)


Jadi, jadi Ayah meloncat kedalam sungai!!

247
I B U (menjerit)
Gunarto....!!!

GUNARTO (berbicara sendiri sambil memeggang pakaian dan kopiah ayahnya. Tampak menyesal)
Dia tak tahan menerima penghinaan dariku. Dia yang biasa dihormati orang, dan dia yang angkuh, yah,
angkuh seperti diriku juga.... Ayahku. Aku telah membunuh Ayahku. Ayahku sendiri. Ayahku pulang,
Ayahku pulang......

GUNARTO BERTERIAK MEMANGGIL-MANGGIL AYAHNYA LALU LARI KELUAR RUMAH


DAN TERUS BERTERIAK-TERIAK SEPERTI ORANG GILA. IBU MINTARSIH DAN MAIMUN
BERBARENGAN BERTERIAK MEMANGGIL GUNARTO “GUNARTO....!!” SUARA BEDUG
BERSAHUT-SAHUTAN DIIRINGI TAKBIR. SEMENTARA HUJAN MASIH SAJA TURUN
DENGAN DERASNYA. LAMPU PANGGUNG PERLAHAN-LAHAN MATI LALU LAYAR
TURUN.

S E L E S A I

248
Beruang Penagih Hutang (The Bear/The Boor)
Karya Anton Pavlovich Chekhov
Terjemahan Landung Simatupang

NYONYA YULINA SANGAT MURUNG MEMANDANGI POTRET NIKO SUAMINYA,


KAUL, PELAYAN TUA YANG SETIA, BERSAMANYA

KAUL
Nyonya, sudah . sudah. Jangan begitu-begitu terus. Ini namanya bunuh diri pelan-pelan,
relakan kepergiannya. Nyonya, semua orang bersenang-senang dipagi yang cerah dan segar
ini. Bahkan kucing pun tahu cara menghibur diri. Jalan melenggak-lenggok ditaman lalu
melompat sembunyi, kemudian tiba-tiba melompat lagi menakuti burung-burung. Tapi
nyonya yulina setiap hari mengurung diri, dengan muka yang selalu kusut, muram.
Hitunghitung, Sudah satu tahun penuh lho Nyonya tidak pernah lagi keluar-keluar.

YULI
Dan aku tidak akan keluar-keluar lagi. kaul, Kehidupanku sudah berakhir, Suamiku
meninggal, terbaring dalam kuburnya, dan aku mengubur diri sendiri dirumah ini, kami
berdua sama-sama sudah mati kaul, Mati !..

KAUL
Naah….Nyonya kan, mulai lagi ! Saya jadi sedih mendengarnya. Memang, tuan meninggal,
Tapi mau bagaimana lagi kalau dia memang harus meninggal ? Itu kehendak Tuhan, nyonya.
Dan jadilah kehendak NYA di surga dan di bumi ! Nyonya sudah berkabung waktu
tuan meninggal dulu, sekarang duka citanya sudah cukup nyonya, masa nyonya mau nangis
terus, murung terus seumur hidup ?? Saya juga pernah kehilangan istri Nya, Yah.. apa boleh
buat, saya menangis dan berkabung selama kurang lebih satu bulan, itu sudah cukup. Kalau
saya terus meraung-raung sepanjang hari, itu kan berlebihan namanya. Apalagi istri saya itu
mukanya sudah cukup tua dan cukup jelek….

Nyonya telah melupakan para tetangga begitu saja, tidak pernah lagi mengunjungi mereka.
Kalau mereka datang, nyonya menolak, tidak mau menemui. Nyonya kan masih muda,
cantik, sehat dan segar. Nyonya hanya perlu lebih merawat diri lagi, dandan yang bagus, lalu
keluarlah berjalan-jalan. Di luar sana banyak Nya pria tampan dan terhormat yang pasti
terpikat begitu mata mereka melihat nyonya, sungguh, saya jamin. Tapi ya…jangan tunggu
sampai sepuluh tahun lagi. Anugerah yang bernama kecantikan dan kemudaan itu bukan
sesuatu yang abadi. Nanti kalau pipi sudah menggantung-gantung kebawah, atau melesak
kedalam, wah sudah telat !

YULI
Diam kaul…Kau tidak boleh bicara seperti itu, kau khan tahu bahwa sejak Niko suamiku
meninggal, kehidupan tidak lagi ada artinya buatku. Aku sudah bersumpah untuk tidak akan
berhenti berkabung, tidak akan lagi menikmati cuaca terang seumur hidupku. Dengar ?!
Semoga arwahnya tahu dan melihat betapa besar cintaku padanya. Aku tahu bukan rahasia
lagi bagimu bahwa Niko sering kejam kepadaku, Kasar, dan bahkan….Serong. Tetapi aku
kaul, kesetiaanku kepadanya akan kubawa sampai alam kubur. Biarlah Niko menyaksikan
besarnya kemampuanku untuk mencintainya dari alam seberang, dia akan melihatku tetap
sama seperti sebelum ia meninggal.

249
KAUL
Wah..Wah, dari pada bicara yang serem-serem begitu, nyonya lebih baik jalan-jalan saja di
kebun belakang yang luas itu, bercanda dengan si Beo, si Mencol, Menengok si Merak….

YULI
Oh…Oh…..Uhuk..Uhuk

MENANGIS

KAUL
Nyonya…! Nyonya…! Ada apa? mengapa jadi menangis begini ! Nyonya, Pandanglah saya
nyonya…

YULI
Niko sayang sekali pada si Merak, setiap kali dia memandang Merak itu, wajahnya
bercahaya, matanya berkilau jernih bagaikan mata bocah. kaul…Lipat duakan jatah
makannya hari ini.

KAUL
Baik Nyonya.

SUARA BELL PINTU, KERAS SEKALI DAN JELEK BUNYINYA

YULI (Kaget)
Siapa itu ? katakan, Aku tidak terima tamu, siapa pun.

KAUL
Iya nyonya ( Keluar)

YULI (Sendiri Memandangi Potret)


Lihatlah Niko, Lihatlah betapa aku bisa mencintai dan memaafkanmu….cintaku hanya akan
berakhir ketika hidupku di bumi ini berakhir.

(Tertawa, Setengah Menagis)

Apa kau tidak malu dengan dirimu sendiri ? Aku wanita baik-baik, Istri yang begini setia,
Aku mengurung diri dirumah dan setia sampai mati…… Sedangkan engkau, Hai tua gendut !
Kau mengibuli aku, ada main di sana sini, sementara aku kau tinggalkan dirumah berminggu-
minggu !

KAUL (Masuk, Gugup),


Nyonya…ada orang mencari nyonya, dia mau ketemu dengan nyonya….

YULI
Kan sudah kubilang tadi, kau katakan padanya aku tidak terima tamu siapapun setelah
suamiku meninggal

KAUL
Sudah nyonya. Saya sudah bilang begitu. Tapi dia tidak mau tahu. Persoalannya penting
sekali katanya

250
YULI
Aku tidak akan menemui tamu. Siapapun.

KAUL
Itu sudah saya bilang padanya berkali-kali. Tapi memang ……kaya setan dia itu Nya. Dia
malah maki-maki dan menggasak saya, lalu masuk. Sekarang dia sudah disitu nyonya.

YULI
Kurang ajar !

(Tersinggung)

suruh dia kesini.

(Kaul Keluar)

Sukarnya bergaul dengan orang-orang macam itu. Apa yang mereka inginkan ? mengapa
selalu saja mengganggu ketenangan batinku !, makin lama orang-orang menjadi makin kasar
saja. Kehilangan perasaan !

(Merenung Sebentar)

barangkali aku memang harus tinggal di biara.

TAMU (Sambil Masuk, Memaki-Maki Kaul)


Manusia goblok ! Banyak cerewet ! Kerbau ! Kunyuk tua !

(Ketika Melihat Yuli, Berubah Sikap Menjadi Santun)

Ah, nyonya. Perkenankan saya memperkenalkan diri kepada nyonya yang terhormat. Nama
saya andri dan saya pernah jadi tentara

(Sambil Mengulurkan Tangannya)

saya terpaksa sedikit mengganggu nyonya karena ada suatu urusan yang sangat penting…

YULI (Tidak Mengulurkan Tangan)


Ada apa ?

TAMU Semasa hidupnya, suami nyonya – yang merupakan kenalan baik saya – mempunyai
hutang 250.000. karena besok pagi saya harus membayar dua angsuran sekaligus, dengan
sangat terpaksa saya mohon nyonya melunasi pinjaman itu hari ini.

YULI
250.000 ? untuk apa suami saya meminjam uang sebanyak itu dari saudara ?.

TAMU
Ya, macam-macam, yang jelas dia sering membeli gandum dan beras dengan cara
Berhutang. Jadi 250.000 itu adalah jumlah hutangnya kepada saya.

251
YULI
Kalau Niko meminjam dari saudara, tentu saja saya akan mengembalikannya. Hanya saja
saya meminta maaf karena saat ini saya sedang tidak ada uang. Besok lusa, baru saya punya
uang dari penjualan hasil bumi. Selain itu, ini persis tujuh bulan sejak suami saya meninggal,
sekarang ini suasana hati saya tidak mengijinkan saya untuk mengurus soal keuangan.

TAMU
Tapi nyonya, suasana kantong saya membuat saya harus memperoleh uang untuk membayar
angsuran besok pagi. Kalau tidak, saya bangkrut.

YULI
Saudara akan menerima uang saudara lusa.

TAMU
Saya memerlukannya hari ini. Bukan lusa !

YULI
Maaf sebesar-besarnya. Hari ini saya tidak bisa.

TAMU
Maaf sebesar-besarnya, saya tidak bisa tunggu sampai lusa.

YULI
Tapi bagaimana lagi kalau saya tidak punya uang !
_
TAMU
Jadi maksud nyonya. Nyonya tidak bisa bayar ?

YULI
Saya tidak bisa.

TAMU
Itu jawaban nyonya yang terakhir ?

YULI
Ya ! itulah.

TAMU
Betul ?

YULI
Betul.

TAMU
Pasti ?

YULI
Pasti

252
TAMU
Bagus ! hebat ! terima kasih.

(Jeda)

bagaimana bisa saya tidak marah-marah! Dalam perjalanan kesini Aku jumpa seorang
kenalan… dia bilang, mengapa kau ini selalu kelihatan marah, uringan - uringan terus
sepanjang waktu. Bagaimana saya akan tersenyum damai menghadapi orang-orang yang
seenak perutnya sendiri macam ini ! saya sedang sangat membutuhkan duit, pagi-pagi
kemarin, pagi-pagi buta, saya meninggalkan rumah, berkeliling menagih hutang. Tapi, astaga
! tidak seekorpun yang mau bayar. Coba ! apa pantas itu ? ketika akhirnya saya sampai
kemari, 37 kilometer dari rumah, dan berharap mendapatkan uang saya kembali, saya
disambut dengan ”suasana hati yang tidak mengijinkan menyelesaikan soal-oal keuangan”.
Bagaimana saya tidak akan marah-marah !!!

YULI
Saya rasa saya telah menjelaskan keadannya. Lusa setelah saya mendapatkan uang hasil
penjualan cengkeh dan tembakau, uang saudara akan saya kembalikan.

TAMU
Persetan ! saya tidak ada urusan dengan cengkeh dan tembakau nyonya !

YULI
Maaf, saudara. Saya tidak terbiasa dengan kata-kata kasar, atau nada-nada bicara yang
semacam itu! Saya tidak mau mendengarnya lagi

KELUAR

TAMU
Hebat ! sungguh hebat dalih yang dia ajukan ”suasana hati”….. suaminya mati kan sudah
tujuh bulan yang lalu !. Sedih ya sedih. Orang boleh saja sedih. Tapi bagaimana dengan
kepentinganku ? aku harus membayar angsuran. Besok dua orang akan datang menagih.

(Berteriak Ke Bagian Dalam Rumah)

Nyonya, saya tau suami nyonya meninggal, nyonya sedang berduka cita dan tembakau
nyonya belum dibayar…. Tetapi coba katakan lantas saya mesti bagaimana ? apa saya harus
lari terbirit-birit kalau kedua orang penagih itu datang ? Aku managih herman istrinya bilang
dia sedang pergi. Aku pindah menagih yaros, ia sembunyi. Lusio malah mengajakku
bertengkar sampai hampir-hampir kulemparkan dia dari jendela. Blasius bilang sudah sebulan
sakit perut, dan yang satu ini… sedang terserang “suasana hati”. Gila ! tidak satupun yang
mau membayar

(Jeda)

Aku tau sebabnya,.. Aku terlalu baik, terlalu lembut hati, serba maklum, serba memaafkan,
itulah sebabnya… Tapi mulai sekarang, lihat saja! Aku tidak lagi bisa dipermainkan. ! Aku
akan tetap disini sampai dia membayar. Marah betul Aku hari ini ! Sampai sengal napasku
!….aakhh ! ya tuhan, mataku sampai berkunang-kunang

253
(Berteriak)

hei kamu, sini !

(Kaul DATANG)

KAUL
Ada apa, tuan?

TAMU
Ambilkan minum

(Kaul Pergi)

Coba, dimana logikanya ? Aku sangat kepepet, butuh uang dengan segera, tetapi dia tidak
mau membayar gara-gara suasana hati yang tidak mengijinkannya mengurus soal-soal yang
berhubungan dengan uang ! Dasar logika perempuan ! Cupet !! Itulah mengapa Aku tidak
suka berembuk dengan perempuan. Aduh… sekujur tubuhku gemetaran, begitu Aku melihat
mahluk puitis semacam itu, meski dari jauh, aku begitu menggelegak sampai kakiku kejang

KAUL (Datang Membawa Segelas Air)


Nyonya sedang tidak enak badan dan sedang tidak terima Tamu.

TAMU
Keluar!

(Kaul Pergi)

tidak enak badan dan tidak terima Tamu! Baiklah ! kau tidak usah menemuiku ! Aku akan
terus duduk-duduk disini sampai hutang-hutang dilunasi. Kalau kau tidak enak badan
seminggu, Aku duduk disini seminggu, kalau kau sulit satu tahun, Aku duduk disini satu
tahun !…… pokoknya aku harus mendapatkan uangku kembali, nyonya yang terhormat!
saya tidak akan bisa kau kelabuhi dengan kesedihanmu atau lesung pipimu, kedip matamu!
Nah !!

(Pergi Ke Jendela)

memuakkan! Panasnya keparat, tidak ada yang mau bayar,


semalaman Aku tidak bisa tidur, dan yang paling menjengkelkan adalah perempuan murung
dengan segala tetek bengek suasana hatinya ini! Aduh ! Pusing kepalaku! Nyeri ! Baiknya
minum saja lagi ? ya.

(Teriak)

hei kamu ! Sini !!

KAUL (Datang)
Ada apa ?

TAMU

254
Minum !

(Kaul Pergi)

Aduh!

(Memandang-Mandang Diri Sendiri Sambil Duduk)

Penampilanku memang tidak karuan. Penuh debu, sepatuku kotor, rambutku acakacakan.
Tentunya nyonya itu menganggapku orang gelandangan saja. (MENGUAP) memang
tidak sopan masuk kerumah ini dalam penampilanku yang begini … ah ! peduli amat ! Aku
kan bukan Tamu yang mau mengapeli dia ! Aku disini sebagai penagih hutang. Dan tidak ada
aturan berpakaian bagi penagih hutang.

KAUL (Menyajikan Segelas Minukman)


Makin lama tuan makin seenak tuan sendiri !

TAMU (Marah)
Apa kamu !

KAUL (Keder)
ee..Tidak…tidak apa-apa tuan. cuma…

TAMU
Tidak tahu ya, siapa yang kau ajak bicara ini ! Tutup mulut busukmu itu !

KAUL (Kesamping)
Wah ini betul-betul binatang buas, celaka ! padahal sekarang cuma aku dan nyonya yang
dirumah.

PERGI

TAMU
Betul-betul marah aku!

(Menderum)

rasanya ingin meremas seisi dunia sampai hancur, kulumat jadi serbuk. Bangsat ! Sampai
nanar mataku

(Tiba-Tiba Teriak)

hei kunyuk jelek !

YULI (Datang Dengan Pandangan Luruh)


Tuan, saya sungguh tidak terbiasa selama beberapa waktu ini, mendengar suara manusia.
sayaingin hidup menyepi. Dan saya tidak tahan mendengar teriakan. Saya mohon dengan
hormat dan sangat, janganlah tuan mengganggu ketenteraman saya.

TAMU

255
Bayar utang nyonya, dan saya segera pergi.

YULI
Sudah saya katakan kepada tuan dengan bahasa yang jelas dan lugas saat ini saya tidak
pegang uang, tunggulah sampai lusa.

TAMU
Dan dengan rasa hormat yang sebesar-besarnya telah saya katakan dengan bahasa yang jelas
dan lugas pula saya butuh uang hari ini, bukan lusa.

YULI
Tapi apa yang bisa saya lakukan kalau saya tidak punya uang untuk melunasi tuan?

TAMU
Jadi nyonya tidak mau membayar sekarang juga ?

YULI
Saya tidak bisa.

TAMU
Kalau begitu, ya saya akan terus tinggal disini. saya akan terus duduk disini sampai uang
saya dikembalikan.

(Duduk),

jadi.. nyonya mau bayar lusa. Baik, saya akan duduk begini
ini sampai lusa

(Terlonjak Tiba-Tiba)

hei! Tapi dengarlah saya kan harus membayar angsuran besok pagi ? Ya tidak ?!! Apa
nyonya pikir saya cuma melucu, bikin-bikin ?!

YULI
Saudara saya mohon tidak berteriak-teriak, ini bukan kandang kuda !

TAMU
Saya tidak hanya soal kandang kuda, tapi besok saya kan harus bayar angsuran dua macam !
ya apa tidak !

YULI
Saudara ini tidak tahu bagaimana seharusnya berbicara dihadapan seorang wanita.

TAMU
Tahu ! aku tahu benar bagaimana harus berperilaku di hadapan wanita

YULI
Sama sekali tidak ! saudara kasar dan tidak tahu sopan santun sama sekali, pria baik-baik
tidak bicara dengan bahasa semacam itu dengan wanita.

256
TAMU
Oo..ini baru kejutan ! Nyonya ingin saya bicara dengan bahasa yang bagaimana dengan
nyonya? Bahasa prancis mungkin ? Baik

(Dengan Lagak Yang Sangat Diformal-Formalkan)


madame, je vous prie ..(madam, sye vu pri)

saya begitu bahagia bahwa nyonya tidak akan membayar saya… aaah, maafkan saya yang
telah mengganggu nyonya ! alangkah cerah udara pada hari ini ! Pakaian berkabung yang
nyonya kenakan itu sangat cocok dan pantas untuk nyonya !

(MEMBUNGKUKKAN BADAN, MENGHENTAKKAN TUMIT KE LANTAI)

YULI
Itu kasar, tolol, sama sekali tidak lucu. !

TAMU (Menirukan)
itu kasar tolol, sama sekali tidak lucu. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi wanita,
katanya, dengar ! Aku banyak sekali mengenal wanita dengan segala lekuk liku mereka.
Banyak sekali. Lebih banyak dari burung gereja yang nyonya lihat sepanjang hidup. Sudah
tiga kali Aku berduel senjata gara-gara perempuan, dua belas wanita aku tolak cintanya, dan
cuma sembilan orang yang menampik saya. Aku pernah tolol dan konyol, sentimentil
menghadapi wanita. merayu-rayu, melimpahkan sanjungan, membungkuk-bungkuk,
merangkak-rangkak, melata-lata, Aku pernah tulus bercinta, menderita duka lara, berkeluh
kesah pada rembulan, Aku pernah bercinta dengan penuh gairah asmara, dengan cinta birahi
yang menggila.

Aku pernah juga berkicau seperti kutilang, berbusa-busa ngomong tentang emansipasi
wanita. Dan separuh hartaku kuhabiskan untuk memanjakan emosi-emosi kemesraanku. Tapi
sekarang ? Ohoo ! Terima kasih !! Jangan harap nyonya bisa menjerat saya. Pengalaman
pahit sudah cukup. Bola mata yang hitam berbinar, mata yang sayu memendam birahi, bibir
merah membasah, lesung pipit di pipi, cahaya purnama, bisik-bisik mesra, helaan nafas yang
memberat…alaah..! sialan ! dengar nyonya, seratus perak pun tidak saya kasih untuk
membayar semua itu !!!

(Mencegah Yulina Yang Tampak Hendak Memotong Pembicaraannya)

Nanti dulu. Jangan salah tangkap. Yang Aku maksudkan bukanlah wanita yang ada
dimukaku ini, tetapi semua wanita ! Semua ! Yang muda, yang tua, semua sama saja, semua
licik, semua munafik, penipu paling tengik ! Walaupun, maaf, biasanya ininya

(Menampar Dahinya Sendiri)

payah. Tumpul, tidak bisa logis. Memang mereka mahluk puitis, melihat luarnya saja, laki-
laki pasti terpana, gandrung, ngebet, aduuh alangkah haluus, muluus…kuduus bagaikan dewi
suci. Tapi coba saja, intiplah pikiran dan hatinya. Apa yang kelihatan ? Ha ? Apa nyonya ?
Buaya ! Buaya busuk itu juga !

(Yulina Yang Penasaran Mau Menyela Lagi)

257
Nanti dulu! saya belum selesai, dan yang paling memuakkan, buaya ini merasa bahwa dialah
mahluk yang memonopoli penghayatan akan cinta dan kemesraan. Aaassem !! Coba nyonya,
nyonya boleh menggantung saya dengan kepala di bawah – nah, di paku itu –

(Menunjuk Ke Dinding)

kalau nyonya bisa tunjukkan perempuan yang betul-betul sanggup mencintai orang lain
siapapun juga. Pada akhirnya, semua perempuan kan hanya inigin menguasai lakilaki,
memperbudaknya. Ya tidak ?
Ah..Nyonya sendiri perempuan, jadi nyonya pasti tau sifat perempuan berdasarkan sifat
nyonya sendiri. Jawablah dengan jujur demi kehormatan nyonya sendiri. Pernahkah
sepanjang hidup nyonya bertemu wanita yang betul betul tulus, setia, pantang goyah ? Tidak
pernah ! cuma perempuan tua yang peot saja yang bisa setia !

YULI
Maaf, jadi menurut tuan, siapa yang setia dan tidak goyah dalam hal cinta ? Tentunya bukan
laki-laki, kan ?

TAMU
Ya laki-laki ! laki-laki tentu saja !

YULI
Laki-laki

(Ketawa Dengan Marahnya)

Laki-laki bisa setia dan tidak goyah dalam hal cinta ! Ini sungguh-sungguh berita gempar.

(Penuh Perasaan)

Kau punya hak apa untuk berkata begitu ?? Laki-laki setia dan tidak goyah !! baik. karena
pembicaraan sudah sampai disini, sekarang kau boleh tau. Di antara semua lelaki yang
kukenal, suamiku adalah yang paling baik, Aku mencintai dia dengan seluruh diriku,
kepadanya kuserahkan hidupku, usia mudaku, kebahagiaanku, nasib peruntunganku. Aku
mengagumi dia, memuja dia sampai seperti menyembah berhala.
Lalu,….kau tau apa yang terjadi tuan yang budiman ? Lelaki terbaik diantara semua lelaki ini
menipu dan menghianati aku setiap kali ada kesempatan. Sesudah dia meninggal, kutemukan
surat cinta satu laci penuh dari begitu banyak wanita lain. Sementara, ketika dia masih hidup,
Aku sering dia tinggalkan sendirian, berminggu-minggu lamanya.
Dia bercumbu dengan wanita lain didepan mataku, dan jelaslah bahwa dia tidak pernah
mencoba setia kepadaku. Dia boros-boroskan uangku, dan mentertawakan perasaanku
kepadanya. Meskipun dia begitu busuk, aku tetap mencintai dia. tetap setia kepadanya….
Bahkan lebih dari itu, Sampai sekarang, meskipun dia sudah meninggal, Aku tetap setia,
tidak pernah menyeleweng. Kukuburkan diriku dirumah ini, diantara tembok-tembok itu buat
selamanya. Dan aku tidak akan melepas pakaian berkabung ini sampai hari kematianku……

TAMU (Ketawa Mengejek)


Pakaian berkabung ! Aduh-aduh… lucu betul! Jadi kau kira aku tidak tau mengapa kau
mengenakan pakaianmu yang aneh itu dan tidak pernah keluar rumah ? astaga ! saya tau
nyonya ! Betapa misterius ! Oh alangkah puitisnya. lalu nanti akan ada mahasiswamahasiswa,

258
anak-anak muda tak berpengalaman yang melihatmu diambang jendela. Lalu mereka akan
berkata, “eh dirumah ini ada seorang wanita misterius, yang mengurung diri dirumah demi
cintanya pada suaminya”. Kau akan jadi terkenal. Dan makin lama para pemuda itu akan
makin terangsang untuk mendekatimu. Alaah..Aku tau akal-akalan macam itu nyonya….

YULI (Meledak)
Apa ? berani kau ngomong begitu ?!

TAMU
Nyonya mengurung diri dalam rumah, tetapi tidak pernah lupa merias wajah.

(Menunjuk)

itu ! Yang di wajah nyonya itu apa bukan bedak, dan yang itu gincu ?

YULI
Berani kau bicara seperti itu ? Dirumahku ??!!

TAMU
Sst..!! jangan teriak-teriak nyonya, Aku bukan bujangmu. Ijinkan Aku mengatakan hitam itu
hitam, putih itu putih. Aku bukan perempuan, dan Aku terbiasa menyatakan pikiranku tanpa
berputar-putar

(Berteriak)

jadi jangan berteriak !

YULI
Bukan Aku yang berteriak. Tapi kamu, Aku minta, pergilah. Pergi.

TAMU
Kembalikan uangku. Aku akan pergi.

YULI
Aku tidak akan membayarmu.

TAMU
Kau harus.

YULI
Tidak bisa. Pergi. Tinggalkan rumah ini.

TAMU
Karena aku bukan tunanganmu, bukan pula buruhmu, kau tidak usah berlagak macammacam,
nyonya

(Duduk)

Aku tidak suka kau berlagak begitu.

259
YULI (Tersengal Saking Marahnya)
kau….masih berani duduk ??

TAMU
Berani, ada apa ?

YULI
Aku minta, saudara pergi !

TAMU
Kembalikan uang saya

(Ngomong Sendiri, Menyamping)

Penasaran betul aku !… penasaran betul !!

YULI
Aku tidak mau bicara dengan orang tidak waras. Aku mohon, pergilah tuan!

(Jeda)

tidak mau pergi ?

TAMU
Tidak .

YULI
Tidak ?

TAMU
Tidak.

YULI
Baik.

(Memanggil )

Kaul !….

(Kaul Datang )

Kaul, antarkan tuan ini keluar.

KAUL (Mendekati Tamu)


Tuan…. Sudilah tuan betul-betul pergi kalau sudah diminta pergi… Tuan jangan….

TAMU (Bangkit, Garang)


Tutup mulutmu. Siapa yang kau ajak ngomong ini ? Aku betot lidahmu nanti!

KAUL LARI TERBIRIT-BIRIT

260
YULI
Dimana kawan-kawanmu yang lain, Kaul ?

KAUL (Dari Luar Panggung)


Tidak ada nyonya. Semua sedang keluar.

YULI
Ayo tuan. Segera keluar dari rumahku ini !

TAMU
Agaklah sopan sedikit !

YULI (Mengepalkan Tangannya)


kamu ini memang bangsat, beruang biadab, hewan !

TAMU (Maju Mengarah Yuli)


Heh darimana hakmu menghina aku ?

YULI
Ya. Aku menghina kamu. Lalu mau apa ? Kamu pikir aku takut ya ?

TAMU
Dan kau kira karena kau kebetulan mahluk puitis, lalu kau bisa menghina orang seenaknya
tanpa mendapatkan hukuman ? Aku tantang kamu berduel ! Pistol !!

YULI
Cuma karena jarimu gemuk-gemuk, kepalamu besar, dan bisa meraung kaya’ kerbau di
sembelih, lantas aku takut padamu, hei kerbau ! Beruang ?!!

TAMU
Setan ! tidak akan kubiarkan seorangpun menghina aku. Ayo, Aku tantang kamu !
Mentang-mentang kau mahluk lemah, lantas kau pikir Aku tidak tega ?

YULI
Kau menantang duel ? Boleh !

TAMU
Sekarang juga !

YULI
Sekarang juga ! almarhum suamiku punya koleksi beberapa pistol, aku ambil,
jangan lari kamu !

TAMU
Akan ku bidik dia seperti membidik ayam. Dikiranya Aku ini remaja yang sentimentil apa !

KAUL (Masuk)
Oh tuan…tuan,

261
(Berlutut Dihadapan Tamu)

Jangan tuan. Kasihanilah saya, orang tua ini. Pergilah segera tuan. Tadi tuan membentak saya
sampai jantung saya copot. Sekarang tuan malah mau berduel pistol.

TAMU (Tidak Perduli)


Ya duel, antara laki-laki dan wanita. Inilah yang namanya persamaan hak. Emansipasi. Demi
prinsip. Aku harus menembak mati dia. Harus. ini prinsip.

(Jeda)

Tapi, bukan main hebatnya perempuan itu, wajahnya menyala-nyala, matanya berkilap-kilap.
Dia meladeni tantanganku ! Gila !! belum pernah Aku kenal perempuan macam begini
seumur hidup.

KAUL
Tuan, pergilah tuan, Aku mohon ! Aku akan mendoakan tuan, Aku janji !

TAMU
Ini wanita sejati. Wanita idaman. Bukan modelnya perempuan-perempuan lemah,
yang merengek-rengek, mendesah, dan melenguh-lenguh ! Sungguh sayang. Aku terpaksa
membunuhnya.

KAUL (Meratap)
Oh tuan… pergilah .. pergi…

TAMU
Aku senang padanya, itu jelas. Perempuan penuh pesona…

YULI MASUK DENGAN MEMBAWA DUA PISTOL

KAUL
Astaga ! Tuhan. Minta ampuun !!! Bagaimana ini ! aduh ngeri aku.

(KABUR SAMBIL MENUTUP TELINGA DENGAN TANGANNYA)

YULI
Nah. Ini pistolnya. Tapi sebelum kita mulai. Tolong jelaskan pada saya bagaimana cara
menggunakannya ! Baru pertama kali ini Aku menyentuhnya.

TAMU (Mengamati Pistol-Pistol Itu)


Begini. Ada bermacam-macam pistol. Ada yang khusus dibikin untuk duel, misalnya yang
bikinan mortimer. Kalau ini…. Ini sungguhsungguh pistol bagis, mahal ..hmmm begini cara
menggenggamnya…

(Bicara Sendiri Menyamping)

aduh ! matanya ! Ya tuhan. Matanya !

YULI

262
Begini ?

TAMU
Betul. Kemudian angkat bagian ini. Ya. Lalu mulailah membidik sasaran…. Ya begitu.
Kepalamu ditegakkan sedikit. Itu lengan nyonya harus direngangkan penuh….naah.. begini.
Lalu jari yang ini nyangkol dan menekan disini…. Hiyyak.! Tapi aturan yang terpenting
adalah... jangan tegang, jangan terburu-buru. Nyonya harus menguasai seluruh tangan agar
tidak gemetar...

YULI
Beres ! Kurang enak menenbak-nembak didalam rumah. Mari kehalaman belakang.

TAMU
Baiklah. Cuma… perlu kuingatkan bahwa aku nanti akan menembak keudara.

YULI
Lantas ? Mengapa begitu ?

TAMU
Sebab ….. sebab, ah ! Itu urusanku !

YULI
Oo jadi tuan tidak tega ya ? apa tuan takut ? jangan ! Contohlah aku, aku tidak akan berkedip
sampai peluruku melobangi jidatmu. Jidat yang sangat aku benci itu. Jadi kau takut ?

TAMU
Ya.. Aku takut. Kita batalkan saja.

YULI
Omong kosong ! Mengapa kau batalkan ?

TAMU
Sebab ….. sebab…. Aku…. Jatuh hati padamu.

YULI (Ketawa Dengan Marah)


Dia jatuh hati padaku ! berani-beraninya dia bilang begitu.

(Menuding Ke Pintu)

Pergi dari sini !!!

TAMU (Meletakkan Pistol Dengan Membisu, Mengambil Topinya Dan


Melang Kah Ke Pintu, Dekat Pintu Dia Berhenti. Selama Kira-Kira
Setengah Menit, Keduanya Saling Pandang. Kemudian Tamu Itu
Mendekati Yulina Dengan Langkah Berat)
Dengar …. kau masih marah, nyonya ? …. Nama saya Grego… saya juga marah besar,
tapi…. Bagaimana Aku menjelaskannya… soalnya adalah… ehem… terus terang saja…
begini…

(Berteriak)

263
bagaimanapun juga, apakah saya salah mengatakan hal ini padamu ? Sialan !
Aku jatuh hati! Mengerti ? Malahan hampir jatuh cinta.

YULI
Jangan mendekat, benci Aku !

TAMU
Ya tuhan.. hebatnya wanita ini, sepanjang hidup baru sekarang aku ketemu yang sedahsyat
ini. Aku tenggelam . Aku tikus yang masuk perangkap. Tamatlah riwayatku !

YULI
Jangan dekat ! Aku tembak nanti !!

TAMU
Tembak. Tembaklah. Tidak bisa kau bayangkan alangkah bahagianya mati di hadapan
sepasang mata yang indah dan ajaib itu. Terbunuh oleh peluru dari senjata yang di genggam
tangan halus dan gemulai itu….aah ! Aku jadi tidak bisa berfikir. Pertimbangkan dan
putuskanlah sekarang. Nyonya, karena sekali aku melangkah meninggalkan rumah ini, kita
tidak akan pernah berjumpa lagi. Kau harus membuat keputusan. Aku keturunan orang
baikbaik, Aku lelaki jujur, dan penghasilanku lumayan….dan Aku bisa menembak sasaran
uang
logam yang engkau lemparkan keudara….

YULI (Ketus Mengacung-Acungkan Pistol)


Ayolah duel. Aku tantang kau sekarang !

TAMU
Pikiranku macet. Otakku mogok.

(Teriak)

hai. kunyuk tua ! Air !!

YULI (Teriak)
Ayo bertempur !!!

TAMU
Aku kalang kabut, jatuh cinta. Seperti mahasiswa semester pertama.

(Tiba-Tiba Menangkap Dan Menggenggam Tangan Yulina. Yulina


Memekik Kesakitan)

Aku jatuh cinta padamu

(Berlutut Di Hadapan Yulina)

belum pernah aku mengalami cinta yang sedahsyat ini. Dua belas perempuan aku
tolak, dan sembilan orang wanita menolakku, tapi belum pernah aku mencintai perempuan
seperti aku mencintai nyonya sekarang ini.

264
Aku menjadi lemah-lembut, lemah, lembek…..Sialan !!! ini memalukan !!! Sudah lima tahun
aku berhasil tidak jatuh cinta. Aku pernah bersumpah untuk tidak jatuh cinta lagi, tapi
sekarang… Mendadak aku tidak bisa berkutik. Nyonya, aku melamarmu. Jadilah istriku.
Mau apa tidak ? tidak ? baiklah. Kalau tidak mau ya jangan

BANGKIT DAN BERJALAN CEPAT KEARAH PINTU

YULI
Tunggu sebentar….

TAMU (Berhenti)
Bagaimana ?

YULI
Tidak. tidak apa apa… Pergilah kalau mau pergi. Tapi sebentar… Tidak ! Pergi ! Pergi sana !
Aku benci melihatmu !! Tapi….Nanti dulu !

(Menggeletakkan Pistol Di Meja)

Kau tidak tahu bagaimana marahnya Aku ! jari-jariku sampai kesemutan menggenggam
barang jahanam itu !

(Menyeka Muka Dengan Sapu Tangan, Lalu Tiba Tiba Mengoyak


Sapu Tangan Itu Dengan Garang)

Mengapa Ngejublek di situ. Keluaar…!

TAMU
Selamat tinggal.

YULI
Ya Pergi. Pergi sana…

(Teriak)

Hai mau kemana itu ? tunggu dulu…. tapi tidak ! Pergilah. Oookh…. Alangkah marahnya
Aku ! Jangan. Jangan dekat-dekat lagi ! awas !

TAMU (Mendekati Dengan Langkah Lamban Namun Tegas)


Nyonya, betapa marahnya aku hari ini… Aku jatuh cinta seperti anak remaja, Aku berlutut,
memohon-mohon padamu, Nyonya Aku mencintai kamu, dan ini satu hal yang paling tidak
ku inginkan. Besok pagi aku harus membayar angsuran dua macam, dan sekarang kau
membikin Aku jatuh cinta…..

(Meraih Pinggang Yuli)

Untuk ini Aku tidak bakalan pernah memaafkan diriku sendiri.

YULI

265
Eh….! Kurang Ajar ! Lepaskan Aku. Aku benci, Aku…..aku tantang kamu !

MEREKA BERPELUKAN. KAUL MASUK MEMBAWA KAPAK DI IRINGI


BEBERAPA LELAKI LAIN MEMBAWA PENTUNGAN, SEKOP, PARANG

KAUL (Melihat Pasangan Yang Sedang Bermesraan Itu)


Ya ..Tuhan !

SELESAI

266
PADA SUATU HARI
KARYA: ARIFIN C. NOO

Para Tokoh:
Nenek
Kakek
Pesuruh
Janda, Nyonya Wenas
Arba, Sopir
Novia
Nita
Meli
Feri

SANDIWARA INI DIMULAI DENGAN MENG-EXPOSE LEBIH DULU:


1. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA PACARAN
2. POTRET KAKEK DAN NENEK KETIKA KAWIN
3. POTRET KAKEK DAN NENEK DENGAN ANAK-ANAK
4. POTRET KELUARGA BESAR
5. POTRET KAKEK TUA
6. POTRET NENEK TUA
7. MAIN TITLE ETC-ETC

Kakek dan Nenek duduk berhadapan.


Beberapa saat mereka saling memandang, Beberapa saat mereka saling tersenyum. Suatu saat
mereka sama-sama menuju ke sofa, duduk berdampingan, seperti sepasang pemuda dan pemudi.
Setelah mereka ketawa kembali mereka duduk berhadapan. Lalu beberapa saat saling memandang,
tersenyum, lalu ke sofa lagi duduk berdampingan, seperti pepasang pengantin, malu-malu dan
sebagainya, demikian seterusnya..

TIGA
Kakek Sekarang kau nyanyi.
Nenek (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek Seperti dulu.
Nenek (menggeleng sambil tersenyum manja)
Kakek Nyanyi seperti dulu.

267
Nenek (Malu)
Kakek Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek Habis kaupun selalu mengejek setiap kali saya menyanyi.
Kakek Sekarang tidak, sejak sekarang saya tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek Saya tidak mau menyanyi.
Kakek Kapanpun?
Nenek Kapanpun.
Kakek Juga untuk saya.
Nenek Juga untuk kau.
Kakek Sama sekali?
Nenek Sama sekali.
Kakek Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya mati tanpa lebih dulu mendengar kau
menyanyi.
Nenek Sayang, kenapa kau berfikir kesana? Itu sangat tidak baik, lagi tidak ada gunanya.
Sayang , berhenti kau berfikir tentang hal itu.
Kakek Mati saya tidak bahagia karena kau tidak maumenyanyi. Ini memang salah saya.
Tetapi kalau sejak dulu kau cukup mengerti bahwa saya memang sangat memainkan
kau, tentu kau bisa memaafkan segala macam ejekan-ejekan saya. Tuhan, saya kira
saya akan menghembuskan nafas saya yang terakhir tatkala kau sedang menyanyikan
sebuah lagu ditelinga saya.
Nenek Sayang saya mohon berhentilah kau berfikir mengenai hal itu. Demi segala-galanya
berhentilah. Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek Saya akan tersenyum kalau kau mau mengucapkan janji.
Nenek Tentu, tentu.
Kakek Kau mau menyanyi.
Nenek Tentu, sayang, tentu.
Kakek Kapan?
Nenek Suatu ketika.
Kakek Sebelum saya mati?
Nenek Ya, sayang, ya, sayang.
Kakek Sekarang.
Nenek Tidak mungkin, sayang, kau tahu saya sedikit flu karena pesta beberapa hari yang
lalu?
Kakek (Tertawa) U, saya baru ingat sekarang.
Nenek Selalu kau begitu. Selalu kau tak pernah ambil pusing setiap kali saya sakit.
Kakek Kau melebih-lebihkan.
Nenek Tapi acap kali kau begitu. Kalau saya batuk baru setelah satu minggu kau tahu.

268
Kakek Ya, saya akui saya acap kali terlalu asyik dengan diri sendiri. Saya akui. Saya minta
dimaafkan supaya sorga saya tidak tertutup, supaya kubur saya…….
Nenek Sayang, saya tidak mau memberi maaf kalau kau tidak mau juga berhenti menyebut-
nyebut soal kematian.
Kakek Maaf, tidak lagi.
Nenek Sekarang saya akan memaafkan kau dengan satu syarat.
Kakek Apa?
Nenek Kau harus menyanyi.
Kakek (menggelengkan kepalanya)
Nenek Kalu begitu, kau tak saya maafkan.
Kakek Dan sorga saya…?
Nenek Mungkin, tertutup.
Kakek Baik, saya akan menyanyi. Tapi separo. Kalau terlalu lama nanti saya batuk.
Nenek Tidak. Satu lagu.
Kakek Nanti batuk.
Nenek Setiap kali kau bilang begitu, padahal kau memang pintar menyanyi. Dan kau selalu
menghabiskan sebuah lagu dengan sempurna tanpa batuk.
Kakek Satu lagu?
Nenek Ayolah, sayang. Penonton sudah tidak sabar lagi menunggu sang penyanyi.
(Kemudian Kakek menyanyi du tiga baris dari no other love stand – chen Schubert
atau lainnya dan selebihnya play back. Begitu lagu berakhir Nenek bertepuk tangan
dengan semangat.)
Nenek Suara kau tidak pernah berubah.
Kakek Mana album kesatu? Saya ingin melihat gambar saya ketika saya menyanyi di depan
umum dimana kau juga ikut mendengarkan. Kau ingat kapan itu.
Nenek Ketika itu kau baru saja lulus propaedus. Kau sombong betul ketika itu.
Kakek Kau juga. Sepicingpun kau tak pernah membalas pandang saya.
Nenek Habis pandangan kau nakal.
Kakek Habis kau juga suka mencuri pandang.
Nenek Kau sudah terlalu pintar berciuman ketika pertama kali kau mencium saya.
Kakek Saya memang pintar berkhayal. Setiap kali saya menonton saya selalu
mengkhayalkan adegan ciuman secara amat terperinci.

EMPAT
Pesuruh Ada tamu, nyonya besar.
Nenek Siapa?
Pesuruh Nyonya Wenas, nyonya.

269
Nenek (Melirik pada Kakek ) Nyonya janda itu (kepada pesuruh) Sebentar saya ke depan.
Pesuruh exit.
Nenek Kau surati dia?
Kakek Tidak.
Nenek Kau bohong. Bagaimana dia bisa tahu tentang pesta kita?
Kakek Saya tidak tahu.
Nenek Kau bohong (Exit) Demam saya mulai kambuh.

LIMA
Kakek Seharusnya dia tidak perlu datang kemari.
\ Kemudian Kakek mondar-mandir sambil bersungut-sungut.
Kakek Saya takut dia betul-betul demam karena kedatangan janda itu. Ah. Lebih baik saya
menyingkir ke ruang baca. (Exit)

ENAM
Nenek Kami sangat berharap sekali nyonya hadir kemarin. Suami saya juga heran kenapa
nyonya tidak datang kemudian.
Janda Kami sakit.
Nenek Kami? Maksud nyonya….
Janda Ya, saya dan anjing saya sakit. Setiap kali saya sakit anjing saya juga ikut sakit. Saya
agak senang karena sekarang saya agak sembuh, tetapi Bison agak parah sakitnya.
Nenek Kasihan. Sayang. (Heran suaminya tidak ada). Dimana kau? Dia tadi disini.
Sebentar, nyonya (beseru) Onda, dimana kau? (Exit)

TUJUH
Sambil mengamati ruangan tengah itu nyonya Wenas membenahi dirinya.
Janda Terlaknat saya, kenapa saya jadi gemetar?

DELAPAN
Pesuruh muncul membawa minuman, ketika pesuruh itu akan pergi,
Janda Nanti dulu.
Pesuruh Ya, nyonya.
Janda Siapa yang memilih minuman ini?
Pesuruh Saya sendiri, nyonya, kenapa?
Janda Ini memang kesukaan saya.
Pesuruh Menyenangkan sekali. silahkan minum, nyonya.
Janda (Minum) Segar bukan main. Bagaimana kau tahu saya suka minuman ini?

270
Pesuruh Tuan besar sering menceritakan perihal nyonya kepada saya. Dan ketika saya tahu
nyonya datang, segera saya buatkan minuman itu. Selamat minum nyonya.
Janda Nanti dulu.
Pesuruh Ya, nyonya?
Janda Tuan besar masih suka…
Pesuruh Menyirami kaktus?
Janda Ya?
Pesuruh Tidak, nonya, tapi tuan besar menyirami seluruh bunga sekarang, setiap pagi dan
sore. Memang tengah malam seringkali diam-diam ia menyirami kaktus yang ditaruh
di dalam kakus. Maaf nyonya, saya harus ke dalam.

SEMBILAN
Nenek Selamat datan, nyonya.
Janda Selamat atas….
Kakek Terima kasih. Maaf , nyonya Tampubolon?
Nenek Kau pelupa benar.
Kakek Siapa bilang, Nyonya pasti nyonya Mangandaralam.
Nenek Sayang, ini nyonya Wenas.
Kakek Ya, saya maksud nyonya Wnas. Apa kabar suami nyonya?
Nenek Maaf, Nyonya. Sayang, tuan Wenas telah meninggal sebelas tahun yang lalu.
Kakek Maafkan kau benar sayang. Daya ingat saya jelek sekali. maafkan nyonya.
Janda Tidak apa.
Nenek (Berseru) Joni.!
Pesuruh Ya, nyonya.
Nenek Bawa minuman ini ke dalam.
Pesuruh membawa minuman tadi ke dalam.
Kakek Baik-baik nyonya?
Janda Berkat doa tuan dan nyonya. Tuan sendiri?
Kakek Berkat doa nyonya.
Nenek Nyonya suka minum jeruk?
Janda Minuman apa saja saya suka. Tapi es susu saya paling uka.
Kakek Saya sendiritidak begitu, tapi……..
Nenek Kita berdua minum jeruk saja. Kita flue (Berseru) Joni!
Pesuruh Ya, nyonya.
Nenek Bikin es susu dan dua gelas jeruk panas.
Pesuruh Dua es susu dan satu gelas jeruk panas, maksud nyonya?
Nenek Dua es jeruk satu susu panas.

271
Kakek Bagaimana anak-anak nyonya?
Nenek Sayang, Nyonya dan tuan Wenas tidak diberkahi putera. Kenapa kau bertanya begitu?
Kakek Maaf, saya lupa. Maksud saya apa tujuan nyonya datang kemari?
Nenek Maafkan suami saya, Nyonya. Kadangkala dia amat kaar, tapi sebenarnya dia lelaki
yang amat lembut.
Janda Betul, nyonya. Onda adalah lelaki yang amat lembut, malah sangat amat lembut.
Onda selalu cermat dalam memilih kata-kata dan juga saya kira ia tidak pernah
memakai tanda seru selama hidupnya.

Kakek Kita minum apa? Nyonya suka….


Nenek Onda, kita baru saja memesan minuman (menyeret) Tingkahmu berlebihan sehingga
memuakkan.
Kakek Kausendiri yang menyuruh agar saya berlaku pura-pura tidak kenal kepada nyonya
itu.
Nenek Ya, tapi kau berlebihan. Kau kurang wajar.
Kakek Susah. Kalau saya wajar kau marah. Kalau saya berlebihan kau juga marah. Kalau
saya jumput di perpustakaan kau juga marah. Saya tidak tahu bagaimana supaya kau
tidak marah dan saya tidak mau marah agar kau tidak marah.
Nenek Pendeknya berlakulah sedikit agak sopan.
Kakek Saya coba.
Nenek Kendorkan urat wajahmu.
Sementara itu pesuruh telah menyajikan minuman di atas meja dan baru saja akan
melangkah pergi.
Kakek Udara sangat baik akhir-akhir ini, di rumah nyonya sering turun hujan?
Janda Ya, terutama belakangan ini.
Nenek Memang musim hujan.
JAnda Dan terutama kalau sore.
Kakek Seperti di rumah kita, tidak begitu, sayang?
Nenek Tentu saja. Kalau di rumah nyonya Wenas jatuh hujan di rumah kitapun turun hujan,
sebab nyonya dan kita satu kota, bahkan satu wilayah kecamatan.
Kakek memang satu kota, satu kecamatan. Tidak begitu nyonya eh, siapa? O ya nyonya
Wenas? Tidak begitu?
Janda Ya, kita satu kota.
Kakek Mari kita minum, satu kota mari.
Nenek Silahkan, nyonya.
Kakek (Setelah minum) Alangkah hangat es jeruk ini.
Nenek Ya, silahkan, nyonya. Nyonya tidak suka?

272
Janda (Menjerit) Alangkah sejuknya. Terima kasih.
Kakek Sejak kapan nyonya suka es susu yang panas?
Janda Sejak, sejak kemarin. Ya, kemarin.
Kakek Kami sendiri menyukai wedang jeruk yang sejuk baru saja. Tidak begitu sayang?
Nenek Ya.
Janda Terus terang saya sangat kagum pada nyonya. Saya tidak pernah melihat nyonya
bertambah tua.
Nenek Nyonya berlebihan.
Janda Saya sungguh-sungguh, nyonya.
Nenek Kalau begitu saypun berterus terang. Nyonya semakin tua semakin cantik.
Kakek Memang (Nenek melotot). Maksud saya, maksud saya ketuaan itu hanya timbul
apabila kita merasa tua. Adapun tua itu sendiri hanya hasil dari suatu penjabaran,
hanya sayangnya penjabaran tersebut dilakukan oleh waktu, sehingga menyebabkan
kurang enak kita terima konsekwensinya.
Nenek Saya kira tidak begitu. Tua adalah konsekwensi dari kesadaran kita.
Kakek Ya, kalau saja kita punya matematika, kita tidak akan pernah tua. Juga kalau saja kita
tidak punya jam kita tidak akan pernah tua.
Janda Tapi kita punya matahari.
Nenek Itu susahnya.
Kakek Takdir. Sekarang mari kita minum seakan kita tidak punya matahari.
Janda Alangkah sejuknyausu pana ini.
Kakek Alangkah panasnya es jeruk ini. Tidak begitu, sayang?
Nenek Ya.
Janda Tapi kalau kita tidak punya matahari kitapun tak akan pernah punya bulan.
Nenek Juga kita tidak akan punya iang hari dan rematik kau akan lebih parah lagi.
Janda Kita tidak akan punya siang dan punya malam.
Kakek Kalau begitu?
Nenek Lebih baik punya matahari daripada sama sekali tak punya apa-apa.
Kakek Ya, dan itu berarti tuapun merupakan rahmat.
Janda Tidak, bukan rahmat tapi “apa boleh buat”
Kakek Apa boleh buat mari kita minum lagi.
Mereka minum dan omong seperti tadi.
Janda Tua dan tidak tua tetap saja ama, kaktus, misalnya.
Nenek Ya, kaktus memang tetap kaktus kaku dan berduri kapanpun.
Kakek Saya jadi ingat Old Shatterhand dengan Winnetou, bagaimana keduanya merangkak
di atas padang rumput sambil membaui udara yang mengantarkan bau musuh, atau
bagaimana mereka mendengarkan bentak-bentakan kaki kuda musuh dari jarak ber-

273
mil-mil. Kaktus-kaktus liar banyak bertumbuhan di Amerika.
Janda Indahnya.
Nenek Apa tidak indah kemeriahan flamboyant, yang mampu menciptakan jalan selalu
diliputi senja?
Kakek Saya kira lebih indah, juga lebih bermanfaat. Kita bahkan bisa berteduh di bawah
cahaya kuning merahnya.
Janda Tapi flamboyant saya kira terlalu mewah dan kurang sederhana.
Nenek Kaktus memang selalu kesepian.
Janda Memang ia kurang dihiraukan orang.
Nenek Lantaran berbahaya.
Kakek Bagaimana kalau kita beralih kepada bunga bank saja. Ini lebih langsung
menyangkut kepentingan ekonomi kita.
Janda Sayang sekali kita telah sepakat menerima kehadiran matahari, sehingga saya kini
telah ditegurnya. Sudah cukup lama.
Janda ……Saya di jamu di sini. Saya minta diri sekali lagi saya mengucapkan selamat ata
perkawinan emas tuan dan nyonya.
Sayang sekali dia sedang sakit: saya harus segera pulang.
Nenek Terima kasih banyak ata kunjungan nyonya.
Kakek Terima kasih banyak. Salam pada suami nyonya.
Janda Terima kasih (Sambil pergi) Bisonku.

SEPULUH
Perang bisu meletus antara Kakek dan Nenek.

SEBELAS
Kakek Kenapa kau diam begitu?
Nenek diam saja.
Kakek Kenapa kau begitu diam?
Nenek Kau juga begitu.
Kakek Kenapa?
Nenek Kau juga kenapa?
Kakek Sayang, adalah tidak baik kita bubuhi pesta emas dengan kata-kata seru.
Nenek Kau sendiri yang membubuhinya. Kau rusak bunga-bunga pesta kita dengan kaktus-
kaktu pacar kau.
Kakek Sejak muda kau begitu yakin seakan saya pernah punya hubungan percintaan dengan
perempuan tadi. Saya heran kenapa kau begitu berhasil menciptakan tokoh yang
fantatis itu menjadi tokoh yang seolah nyata dalam diri kau sehingga tokoh itu

274
mampu mempermainkan kau sendiri selama hidup kau.
Nenek Bukan fantastis. Tapi memang dia tokoh fantasi kau bahkan sampai saat kau tua
(Menangis) Sengaja kau suruh Joni menyiapkan segera minuman kesukaannya begitu
dia datang.
Kakek Siapa? Saya? Menyuruh Joni? Minuman apa?
Nenek Kau menyuruh Joni membuat es susu begitu nyonya janda itu datang.
Kakek Tidak. Saya tidak menyuruh Joni.
Nenek Kau lakukan itu ketika saya sedang menemui dia tadi ketika kau menyingkir dari dari
sini tadi dan kemudian kau sembunyi ke kamar baca.
Kakek Tidak, sayang, dari sini tadi saya langsung ke kamar baca dan kemudian saya asyik
membaca mengenai para psikologi. Ketika kau datang tepat saya sampai pada baris-
baris mengenai telepati. Saya ingat betul.
Nenek Kau bohong.
Kakek Kalau tidak percaya kau boleh memanggil Joni (Berseru) J o n i !

DUA BELAS
Pesuruh Ya, tuan besar.
Kakek Siapa yang menyuruh…..
Nenek Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh Ya, nyonya besar.
Kakek Siapa yang menyuru…..
Nenek Biar saya yang Tanya (Kepada Joni) Joni.
Pesuruh Ya, nyonya besar.
Nenek Sejak tadi pagi sudah berapa kali kau berbohong?
Pesuruh Belum sekalipun nyonya.
Nenek Akui saja toh tidak akan mengurangi penghasilanmu.
Pesuruh Terus terang sudah dua kali, nyonya.
Nenek Nah, begitu lebih jantan. Apa saja?
Pesuruh Pertama kepada istri saya.
Nenek Itu tidak perlu, yang kedua?
Pesuruh Yang kedua kepada istri saya.
Nenek Jadi kau selalu berdusta kepada istrimu sendiri?
Pesuruh Tidak selalu, nyonya. Kadang kala, tetapi tidak pernah lebih tiga kali sehari.
Nenek Kenapa kau lakukan itu?
Pesuruh Karena saya percaya istri sayapun melakukan hal yang sama.
Nenek Mengenai hal apa saja kau berbohong?
Pesuruh hampir segala hal dari yang paling ringan sampai yang paling berat.

275
Nenek Yang paling ringan misalnya?
Pesuruh Pura-pura sakit.
Nenek Yang paling berat?
Pesuruh Soal sembahyang.
Nenek Tentang perempuan?
Pesuruh Itu taraf tengah-tengah, nyonya.
Nenek Bagaimana?
Pesuruh Saya kira pertanyaan ini sudah bersifat sangat amat pribadi, nyonya dan kurang
sopan.
Nenek Kau memang jago silat. Baik. Sekarang kau akui saja siapa yang menyuruh kau
menyiapkan tiga gelas e susu begitu tamu tadi datang?
Pesuruh Saya sendiri nyonya.
Nenek Kenapa justru es susu?
Pesuruh Saya tidak tahu. Saya asal saja. Nyonya, seperti halnya untuk tamu sebelumnya saya
buatkan es sirop dan nyonya diam saja.
Sunyi.
Pesuruh Ada yang perlu saya kerjakan lagi, nyonya besar?
Nenek Pergi !
Joni exit.

TIGA BELAS
Sunyi.
Nenek Berkomplot.
Kakek Tidak baik mengada-ada.
Nenek Bahkan kau diam-diam memelihara kaktus dalam kakus.
Kakek Tidak melulu kaktus tapi beberapa jenis bunga lainnya, juga……
Nenek tiba-tiba menangis sangat kerasnya.
Kakek Diamlah, sayang. Kalau kau diam saya akan menyanyi lagi. Diamlah. Saya akan
menyanyi dua buah lagu sekaligus. Sayang diamlah. Lagi jangan terlalu keras kau
menangis nanti kau batuk kalau batuk tenggorokan bisa luka dan suara bisa serak.
Selain itu apa kata anak-anak nanti kalau mereka datang. Sayang. Atau kau mau saya
membaca kitab suci? Dongeng? Saya akan membaca bagaimana nabi Nuh melayani
singa betina yang bunting, sementara seekor kera sakit enfluensa.
Nenek Biarpun kau dukung saya dari sini ke kamar saya tidak akan diam.
Kakek Baiklah, saya tidak akan berbuat apa-apa tapi kau mau diam.
Nenek Kalau kau tidak berbuat apa-apa saya akan menangis lebih keras lagi.
Kakek Tuhanku,kepala saya Cuma satu dan puyeng. Kalau saja saya punya tiga kepala

276
barangkali saya tahu apa yang harus saya perbuat agar kau diam. Tapi kepala saya
Cuma stud an tangis kau memenuhi kepala saya dengan sejuta lalat hijau. Tuhan-ku.
Nenek Saya akan terus menangis. Biar geledek menyambar saya tetap menangis.
Kakek Katakan bidadariku apa yang……..
Nenek Saya bukan bidadari.
Kakek Katakan malaikat ku.
Nenek Saya bukan malaikat!
Kakek Katakan dewiku………..
Nenek Saya bukan dewi.
Kakek Terserah siapa kau tapi katakana………..
Nenek Saya istrimu!
Kakek Ya, katakan istriku apa yang……..
Nenek Saya bukan istrimu!
Kakek Tuhan-ku.
Nenek Kau kejam. Kau bagaikan patung perunggu dengan hati terbuat dari timah. Kau tidak
punya perasaan. Kau nodai percintaan kita dengan perempuan berhati kaktus. Hatimu
ular cobra. Kejam! Kejam! Tuhan, masukkan dia ke dalam neraka sampai kukunya
hangus.
Kakek (Menangis) Doamu jahat.
Nenek Biar
Kakek Kau ingin saya masuk neraka?
Nenek Bukan. Kerak neraka. Neraka paling neraka.
Kakek Kau kejam dank au sendiri?
Nenek Ke sorga.
Kakek Kau egoistis.
Nenek Biar.
Kakek Kenapa kita tidak sama-sama satu tempat?
Nenek Tidak sudi.
Kakek Kau rupanya ingin kita pisah.
Nenek Ya, saya ingin kita pisah tapi kau tidak mengerti.
Nenek …..Saya ingin kita cerai.
Kakek Cerai?
Nenek Ya, cerai. Hari ini juga kita ke pengadilan. Kita cerai.
Kakek Sayang, kau harus panjang berfikir untuk sampai ke sana.
Nenek Kalau saya panjang fakir saya takut kita nanti tidak jadi cerai.
Kakek Tapi kau harus berfikir…..
Nenek Dalam soal perceraian tidak perlu fikiran tapi perasaan seperti halnya soal percintaan.

277
Pokoknya kita harus cerai.
Hari ini juga kita harus selesaikan surat-suratnya.
Kakek Sekarang sudah terlalu siang dan saya kira kantor-kantor………
Nenek Kalau kantor-kantor tutup besokpun jadi, tapi mulai malam ini saya tidak sudi tidur
satu kamar bersama kau.
Kau boleh tidur di kamar baca di ata kitab-kitabmu bersama rayap-rayapnya.
Suara Nita Bustami
Suara Joni Ya, nyonya!
Kakek Kau dengar? Nita sudah datang.
Joni lewat.
Kakek Sayang diamlah.
Nenek Saya tidak mau diam.
Kakek Nita datang.
Nenek Tidak perduli.
Joni lewat membawa banyak bungkusan belanja, begitu muncul Nita begitu Nenek
lari ke dalam.

EMPAT BELAS
Kakek (Mengejar) Sayang.
Nita Ada apa lagi, pak?
Kakek Kaktus dalam kakus (Exit)
Nita Bustam.
Joni Ya, Nyonya.
Nita Ibu dan bapak bertengkar?
Joni Tidak tahu, nyonya, tapi saya dengar mereka tangis tangisan.

LIMA BELAS
Ketika Nita dan kemudian Joni exit, muncul Sopir Arba membawa beberapa koper
dan tas meletakkan di sana, tidak lama kemudian muncul Novia dengan anak-
anaknya, Meli dan Feri.
Arba Di sini, nyonya?
Novia Ya, letakkan saja di sini dulu.
Arba Yang lainnya, nya?
Novia Biarkan saja di mobil, kau tunggulah disana.
Meli Papa nanti ke sini, Mam?
Novia Ya, sayang (berseru) Pak Arba!

278
Arba Ya, nyonya?
Novia Tidak, nanti saja.
Arba Baik, nyonya (exit)
Feri Mana bude Ita, Mam?
Novia Sebentar, sayang.
Feri Feri ingin lihat ikan, Mam?
Novia Sebentar, sayang, sebentar.
Meli Meli juga, Mam.
Novia Ya, sayang Meli dan Feri boleh lihat ikan dengan janji tidak main-main air. Nanti
ikannya sakit. Kalau ikannya sakit nanti Kakek dan Nenek menangis.
Feri Nenek juga suka menangis, Mam?

ENAM BELAS
Muncul Nita dan terkejut.
Nita (Setelah memainkan Meli dan Feri) Ada apa lagi Novia?
Novia Nanti saya ceritakan semuanya. Mana Memet?
Nita Bustam!
Joni Ya, nyonya.
Novia Memet!
Nita Ya, nyonya.
Novia Bawa masuk Meli dan Feri (pada anak-anaknya) Siapa yang mau lihat ikan?
Meli dan Feri mengacungkan tangannya: Saya Mam.
Novia Ikutlah sama Mang Memet.
Joni Ayo lita nonton ikan.
Joni dan Meli dan Feri masuk ke dalam.

TUJUH BELAS
Nita Lagu lama?
Novia Tapi kali ini saya kira yang terakhir.
Nita Dulu kau juga bilang begitu.
Novia Tapi, Nita, kau sendiri bisa menimbang bagaimana sakitnya perasaan saya melihat
tingkah Vita terhadap pasiennya yang pura-pura sakit itu.
Nita Siapa lagi?
Novia Icih, anak sunda itu, pacarnya waktu sekolah.
Nita Tapi kalau memang dia sakit apa salahnya berobat kepada suamimu?
Novia Saya yakin dia hanya pura-pura sakit.

279
DELAPAN BELAS
Kakek Begitu Nita. Kau harus dengar dari permulaan sekali soal ibumu……
Novia Pak…..
Kakek Ada apa kau? Baru kemarin kau pulang dari sini? Dengan siapa?
Novia Anak-anak.
Kakek Mana mereka?
Novia Di belakang. Lihat ikan seperti biasanya.
Kakek (Setelah berfikir) Kebetulan kau datang. Begini. Tidak salah kalau kau juga sebagai
anak tahu. Ini persoalan juga sangat runcing dan bisa mengakibatkan kesedihan
berlarut-larut.
Novia Soal apa pak?
Nita Ibu Purik. Ibu marah.
Novia Kenapa?
Kakek Itulah dengarkan saya (berfikir). Begini. Soalnya sepele dan tidak bermutu. Ibumu
tidak suka tanaman kaktus. Saya suka tanaman itu. Bahkan saya punya tanaman
kaktus dalam kakus. Ibumu marah-marah.
Novia Bapak tidak mau mengalah?
Kakek Selama hidup saya selalu mengalah dan terus-terusan kalah malah.
Novia Buang saja kaktus itu.
Nita Soalnya bukan kaktus. Soalnya itu cemburu pada nyonya Enas.
Kakek Ya, begitulah kalau tanpa tedeng aling-aling. Ibumu cemburu dan minta cerai.
Novia Minta cerai?
Kakek Minta cerai. Bahkan ibumu minta supaya hari ini juga diselesaikan surat-suratnya.
Novia Ibu?
Nita Ya, seperti kau sekarang.
Kakek Apa? Seperti kau, Novia? Ada apa? Kau juga sedang minta cerai? Dari siapa?
Nita Dari siapa. Dari suaminya tentu, Vita.
Kakek Kau dan ibumu memang satu jiwa. Alasan apa yang mendorong kau meminta
kesedihan serupa itu? Kebodohan macam apa yang mengotori otakmu? Cerai! Seakan
dengan mendapatkan kata itu kau dapat mengecap hidup inilebih nikmat? Novia, kau
jangan seperti gadis ingusan. Kamu kira rumah tangga itu rumah-rumahan dari kotak
geretan yang dengan mudah dapat kau bongkar-bongkar dank au susun-susun? Novia,
kau sudah waktunya menginsafi bahwa rumah tangga adalah rumah suci yang lain,
seperti masjid, gereja dan kelenteng. Dan rumah suci adalah tempat dimana firman-
firman Tuhan yang agung dan suci dimulyakan, rumah suci adalah tempat dimana
cinta kasih ditumbuh-kembangkan menjadi gairah hidup, untuk meraih maka hidup
yang samara dalam semesta ini.

280
Tuhanku…
Novia, alasan picisan apa yang menjadikan kau begitu gairah mendapatkan surat
talak? Jangan main-main. Ini bukan lagi semata persolan kau, juga bukan persoalan
suamimu semata, tetapi persoalan anak-anakmu yang masih kecil (Menangis)
Meli, Feri…. Ini sudah menjadi persolan Negara, persoalan dunia, saya tidak boelh
membiarkan rumahmu terbakar hanya disebabkan api mainan yang diminyaki
cemburu buta. Saya harus beritahu segera ibumu. (Exit)

SEMBILAN BELAS

Nita Novia, apakah kau tidak pernah memperhatikan baik-baik betapa jernih mata anak-
anakmu yang lucu itu. Meli dan Feri.
Novia Tapi kau juga bisa menimbang betapa sakitnya hati saya. Coba saja, icih. Si sundal
itu hampir setiap hari ia berobat ke rumah.
Nita Tiap hari?
Novia Tidak. Maksud saya hampir seminggu sekali.
Nita Seminggu sekali?
Novia Katakanlah sebulan sekali tapi sekalipun begitu tingkahnya yang kekanak-kanakan
cukup membakar seluruh amarah saya.
Nita Bagaimana kau tahu? Apa kau ikut memeriksa penyakitnya?
Novia Saya terpaksa jadi polisi kalau tahu perempuan itu mau berobat. Sengaja saya masuk
dalam kamar praktek. Pura-pura mencari sesuatu.
Nita Kau juga dengan apa yang dipercakapkan Icih dengan suamimu?
Novia Dengar.
Nita Apa?
Novia Seperti dokter dan pasien.
Nita Lalu apa yang kau cemburukan?
Novia (Setelah diam) Kalau periksa dalam.
Nita Kenapa kau tidak ikut ke dalam dan menyaksikan Vita memeriksa tubuh perempuan
itu.
Novia Gila.
Nita Lalu kau di luar saja.
Novia Tentu saja.
Nita Itulah kesalahanmu.
Novia Lalu apa saya perlu juga membuka kancing roknya? Gila!
Nita Daripada kau di luar dan membayang-bayangkan yang tidak-tidak?
Novia Saya tidak membayang-bayangkan tapi memastikan.

281
Nita Tapi nanti dulu. Coba jelaskan. Jujur. Icih sudah bersuami?
Novia Ini bukan masalah bersuami atau belum tapi masalah watak. Sekalipun perempuan
jalang itu sudah mati saya yakin rohnya masih banal.
Nita Betul-betul kau diliputi kemarahan saja. Cobalah berfikir dengan tenang. Sebegitu
banyak sudah kata yang kau ucapkan tapi tidak sepatahpun kata yang dapat
menjelaskan kenapa kau minta cerai dari suamimu. Kalau kau mau jujr sebenarnya
kau hanya digerakkan oleh prasngka-praangkamu sendiri saja. Coba. Kalau kau bisa
cemburu oleh Icih kenapa oleh puluhan perempuan-perempuan lain atau bahkan
gadis-gadis yang juga berobat kepada suamimu?
Novia Apa kau kira semua perempuan banal seperti sundal itu? Kalau ternyata memang
demikian sayapun pasti cemburu sebesar-besarnya terhadap semua perempuan. Tapi
saya kira kaupun yakin tidak semua perempuan punya leher selenggang-lenggok
leher Icih yang suka membelit leher suami orang lain.

DUA PULUH
Muncul Nenek dan Kakek .
Nenek (Menubruk Novia sambil menangis) Novia, sayang, kau jangan suka membaca
roman-roman picisan. Kau bisa bayangkan sendiri apa jadinya isi kepalamu dengan
roman-roman seperti itu. Dengan membaca cerita-cerita cengeng seperti itu kau sama
dengan mengisi usus besarmu dengan minuman keras. Sekali-kali tentu kau boleh,
tapi kalau setiap hari kau minum arak sama dengan memperpendek usiamu sendiri.
Nenek ………….Novia, ibu yakin kau telah terpengaruh roman-roman sampah itu sehingga
hidup bagimu tak ubahnya seperti mainan peranan belaka. Bacalah Romeo Juliet.
Bacalah tentang kesetiaan cinta, dan singkirkan bacaan yang mengajarkan kebencian
dan perceraian. Kau kira perceraian itu jalan cuci?
Kakek Kau kira kau akan menjadi betina yang jantan kalau kau berhasil bercerai dengan
suamimu?
Nenek Jangan kau sangka perasaanmu dan kecemburuanmu akan menuntun hidupmu kea
rah kebahagiaan.
Nita Juga jangan lupakan Meli dan Feri.
Kakek Hanya karena soal cemburu, soal-soal roman picisan rumah tangga kau bongkar?
Kenapa tidak kandang ayam saja yang kau bongkar yang sudah jelas sudah tapuh itu?
Nenek Novia, sayang, tidak satupun kebaikan yang terselip dalam niatmu untuk bercerai
dari suamimu. Lagi tidakkah kau dapat membayangkan kembali kebaikan-kebaikan
suamimu seperti katamu dulu, ketika kau mendesak ibu agar menerima lamaran?
(Novia akan bicara) tidak perlu kau bicara apa-apa.

282
Kakek Ya, tidak perlu sebab, kata-kata seru saja yang kau punya sekarang.
Nenek Kau dalam keadaan marah. Dalam keadaan marah lebih baik orang diam, dan lebih
baiklagi kalau kau mau mendengarkan sayan orang lain.
Kakek Ya, saya kira begitu. Ibumu sebenarnya juga sedang marah tetapi tak sepatahpun kata
kata yang diucapkan.
Nenek Ban ini, kopor-kopor iniapa perlu artinya? Main-main kau sudah keterlaluan.
Novia Saya tidak main-main, bu, saya sungguh-sungguh.
Nenek Lebih jelek lagi (menangis lagi) Tuhanku, apa jadinya nanti kalau kau jadi berpisah
dengan Vita yang dulu kau agung-agungkan? Apa jadinya hidupmu?
Nita Apa jadinya anak-anakmu? Meli dan Feri akan kehausan cinta sebab mereka tidak
akan lengkap menerima keutuhan cinta.
Nenek Fikirkan baik-baik, sayangku. Singkirkan kegelapan yang dibenihkan setan cemburu.
Kakek Apa kira surat talak itu cek?
Nenek Tuhanku, limpahilah anak saya dengan cahaya kasih Mu. Novia, tidakkah kau bisa
menimba pelajaran dari pengalaman-pengalaman ibu dan ayahmu?
Kakek Ayah dan ibumu berumah tangga selama setengah abad, tanpa sedikitpun
membiarkan setan talak bertelur dalam kamar tidurnya, bahkan tidak dalam dapurnya.
Nenek Kami bagaikan Adam dan Hawa.
Kakek Apa kau pernah mendengar Hawa minta talak kepada Adam? Berkacalah kepada ibu
dan Ayahmu. Kamilah pasangan abadi dunia dan akhirat.
Nenek Kami bagaikan Sam Pek dan Eng Tay.
Kakek Pronocitro dan Roro Mendut.
Nenek Di sahara kami adalah Leila dan Qais.
Kakek Kau sendiri tahu betapa setianya Layonsari sampai-sampai ia bunuh diri demi
cintanya kepada Jayaprana.
Nenek Bacalah semua itu, sayang. SEmua itu pusaka Nenek moyang kita yang manjur.
Kakek Demi menegakkan tiang-tiang rumah tangga kita, berfikir dengan tenang.
Nita Dan demi kebahagiaan anak kita. Adikku, kau begitu bahagia dengan Meli dan Feri
dan papanya Vita kenapa kau sebodoh itu mau memuaskan kebahagiaan itu?
Tidakkah kau tahu bahwa diam-diam saya sebagai kakakmu selalu merasa iri karena
saya dan suami saya tidak pernah diberkahi anak?
Nenek Belum. Nita.
Kakek Kau tidak boleh berkata begitu.
Novia Tapi bu.
Nenek Tidak, jangan bicara.
Kakek Sekarang kau tidak akan bicara kecualimarah-marah.
Nenek Marah-marah hanya menghasilkan kerut muka.

283
Kakek Ibumu juga tidak suka marah.
Nenek Sekali-kali tentu saja boleh sekedar olah raga urat muka, tapi kalau terlalu sering bisa
membuatpenyakit.
Nita Dan anak-anakmu, Novia, anak-anakmu? Akan kau biarkan mereka kehausan cinta
hanya demi kepuaan amarahmu? Egoistis?
Novia Saya tidak akan bicara apa-apa, saya hanya akan menjelakan panjang lebar. Duduk
perkaranya.
Nenek Bicaralah.
Kakek Apa persoalannya.
Nita Sudahlah, kita semua sudah mengerti.
Nenek Biarlah dia jelaskan semua, Nita.
Kakek Bagaimana kita bisa mengerti tanpa lebih dulu mendengar penjelasannya?
Novia Vita mau kawin lagi.
Nita Apa kau bilang?
Kakek Dia bilang apa?
Nenek Apa kau yakin itu kalimatmu? Saya yakin kalimat itu kau pungut dari salah satu buku
picisanmu (berseru) Joni! (tak ada sahutan)
Nita Bustam !
Novia Memet !
Kakek Joni!
Joni Ya, tuan besar.
Nita Air dingin, Bustam!
Novia Cepat, Met!
Joni Sebentar, nyonya.
Nita Permainanmu terlalu kasar, Novia, kalau kau teruskan ibu bisa pingsan.
Novia Maksud saya, maksud saya, Vita serong.
Nenek Dari halaman berapa kau pungut kalimat itu? (berseru) Joni!
Novia Met !
Kakek Joni !
Nita Bus !
Joni tergesa membawa empat gelas air dingin, mereka berempat sama-sama minum
Nita Ganti kalimatmu, Novia.
Kakek Ya, kalau kau tidak ingin perut kamu kembung oleh air dingin.
Nenek Cari halaman lain yang lebih lembut kata-katanya.
Novia Ibu, saya cemburu.
Nenek Nah, itu baik. Cemburu itu suci. Hanya dengan modal itu kaumampu bercinta.
Novia Tapi vita keterlaluan.

284
Kakek Barangkali cemburu kau yang keterlaluan.
Nita Novia, cemburu pada salah seorang pasien Vita.
Nenek Novia, rupanya kau beluim menyadari bahwa usapan tangan seorang dokter lembut
dan suci seperti lembut usapan orang-orang suci atau bahkan nabi. Dokter-dokter
bekerja atas tugas suci. Merekalah yang paling nyata mengamalkan firman-firman
Tuhan. Kalau kau mau mengerti para dokterlah yang paling banyak tahu tentang
penderitaan manusia sepanjang sejarahnya. Merekalah yang berjuang dengan nyata
agar kita bisa mengecap hidup ini bertambah baik.
Kakek Merekalah menghibur kita, menyembuhkan kita dari segala macam luka yang
ditatahkan sang kala.
Nenek Saya jadi terharu.
Kakek Kasihan Vita.
Nenek Anak sebaik itu dicurigai.
Kakek Seperti nabi-nabi yang diludahi oleh umatnya sendiri.
Nenek Kau kejam, Novia Abujahal kau.
Kakek Judas kau.
Dengan pucat dan tergesa Joni muncul.
Nita Ada apa, Bus?
Nenek Ada apa, Joni?
Novia Ada apa, Met?
Joni Meli, nya.
Keempatnya Meli?
Joni Feri.
Keempatnya Feri?
Joni Meli dan Feri ?
Keempatnya Meli dan Feri?
Joni Ya, nya.
Keempatnya Kenapa?
Joni Hilang.
Keempatnya Apa?
Joni Hilang.
Keempatnya Diculik ?
Joni Hilang.
Novia Kau gila.
Nita Kau taruh dimana mereka?
Kakek Beberapa kali saya bilang, hati-hati.
Nenek Dunia penuh culik.

285
Nita Kenapa kau bengong begitu?
Keempatnya Cari.
Nita Tidak telpon dulu.
Kakek Polisi.
Kemudian mereka berimprovisasi, mereka betul-betul cemas, takut dan lain-lain.
Nita Meli ! Feri ! Di mana.
Kakek Cucuku.
Nenek Cucuku.
Novia Met !
Joni Ya, nya.
Novia Panggil Arba.
Arba Saya di sini, nya.
Novia Kenapa kau diam saja?
Arba Saya di sini, nya.
Novia Meli dan Feri hilang.
Arba Mereka diculik, nya.
Novia Diculik?
Arba Papanya sendiri yang menculik, kira-kira seperempat jam yang lalu tuan dokter tadi
menemui saya dan diam-diam mengajak Meli dan Feri pulang.
Novia Gila kamu.
Kakek dan Nenek dan Nita muncul.
Nenek Di mana mereka?
Kakek Sudah ada telpon dari Polisi?
Nita Tukang rokok seberang jalan Cuma bilang bahwa seorang laki-laki telah membawa
lari Meli dan Feri dalam sebuah mobil.
Nenek dan Kakek : Apa?
Nenek (minum) Telpon polisi lagi.
Telpon berdering.
Kakek Pasti dari Polisi.
Nenek Cucuku yang malang…. Oh saya sedang membayangkan mereka menangis karena
penculik itu mengeluarkan pisau cukur.
Nita (menyerahkan pesawat telpon) untuk mamanya Meli.
Kakek Dari Polisi?
Nita Dari Meli.
Kakek Berapapun bayar saja permintaannya.
Nenek Saya yakin pisau cukur itu menyentuh lehernya yang halus.
Nita Meli dan Feri sudah di rumahnya ekarang. Mereka diculik oleh papanya sendiri.

286
Nenek Dongeng apa ini?
Kakek Keterlaluan! Keterlaluan! Saya tidak bisa memaafkan permainan kasar seperti ini ini.
Nenek Kenapa berang begitu? Seharusnya kita bersyukur bahwa ini semua Cuma main-
main.
Kakek Justru lantaran main-main saya jadi berang.
Nenek Lalu apa kau berharap semua ini sungguh-sungguh? Apa memang kau berharap agar
Meli dan Feri diculik?
Kakek Bukan begitu maksud saya, tapi permainan ini bukan untuk orang-orang tua macam
kita. Ini permainan pemuda dan bukan untuk orang-orang yang rapuh jantungnya.
Setelah Novia telpon, Nita mendekati dan keduanya bercakap tampak Nita membujuk
Novia.

Kakek Betapapun akan saya marahi Vita. Akan saya katakana bahwa sebagai dokter dia
kurang mempertimbangkan kemungkinan effek psikologis dari permainannya. Apa
dia tahu bahwa setiap kali saya harus mengatur peredaran darah saya sedemikian rupa
di depan aquarium sambil mendengarkan lagu-lagu yang paling lembut agar
kesehatan saya terpelihara? Dengan permainan baru saja, sama dengan dia
meledakkan granat di atas batok kepala saya. Apa dia fakir dia mampu mengobati
kalau saya sakit keras? Barang kali dia lupa bahwa dia dokter muda. Dokter muda
jelas baru tahu tentang ilmu kedokteran seninya. Untuk ia, ia perlu bergaul dengan
alam. Banyak tingkah. Coba……
Novia Pak, Ibu, saya permisi pulang.
Kakek Tanpa minta maaf?
Pulanglah dan bilanglah pada suamimu besok dia harus menghadap kemari.
Novia Pulang dulu, bu.
Nenek Jangan lupa semua nasehat ibu.
Novia Ya, bu.
Joni Polisi, Nyonya.
Nita Sebentar, saya ke muka.

TAMAT

287
KISAH CINTA HARI RABU
KARYA :ANTON CHEKOV

P : Saudara-saudara serta hadirin sekalian yang terhormat ini tahun 2010,


Ya, tahun 2010½, jadi kira-kira 50 tahun jaraknya dari tahun dimana tuan-tuan
hidup. Ya, cukup lama juga. Dan selama 50 tahun yang terakhir ini sudah banyak
sekali kemajuan yang di dapat oleh umat manusia.
Politik maju, ekonomi maju, musik maju dan seni sastra tentu saja juga
mengalami kemajuan. Pokoknya segala kegiatan kebudayaan mengalami
kemajuan- kemajuan yang pesat sekali, terutama ilmu eksakta. Kalau
segala-galanya mengalami kemajuan,kenapa pula cinta tidak mengalami
kemajuan?
Oho, tentu saja mengalami kemajuan juga yang amat pesat sekali. Cinta,
lama kelamaan berkembang menjadi semacam ilmu yang pelik dan rumit.
Suatu lapangan keilmuan yang menarik meskipun agak ruwet. Tentu saja
yang saya maksudkan adalah cinta antara dua orang manusia, dan bukan
cinta antara dua ekor anjing misalnya. Anjing, seperti juga binatang-
binatang lainnya, sama sekali tak mengalami kemajuan dalam bercinta,
masih dengan yang itu-itu juga.
Saya tak begitu tahu cara bagaimana orang-orang Majapahit dahulu
bercinta, tapi yang jelas tuan-tuan dan nona-nona serta nyonya-nyonya
sekalian tahu bagaimana cara nenek-nenek dan kakek-kakek tuan dulu
bercinta. Tuan tentu merasa lucu dan geli kalau melihat mereka dulu
saling mencari kutu atau saling kerikan. Dan ... ... ...
Dan sebaliknya, saya pun merasa lucu kalau melihat tuan-tuan bercinta.
Bayangkan: Tuan-tuan yang di sana sejak sore tadi sudah berdandan
sebab sudah berjanji akan menjemput pacarnya nonton sandiwara. Dan
kemudian keduanya berangkat bersama, mereka dengan sengaja lewat
tempat-tempat yang gelap untuk bisa berbisik-bisik dan berpegangan
tangan, atau kalau perlu ... ... ... Heeeem.
Dan kalau sudah sampai di gedung sandiwara, lantas mulai cubit-cubitan.
Yaaaa, agak lucu juga rasanya.
Tapi apa yang bakal tuan tonton ini lain sama sekali. Akibat kemajuan
yang dicapai oleh manusia, semuanya berubah. Ingat tuan, saya hidup
dalam tahun 2010, 50 tahun jaraknya dari jaman tuan-tuan sekalian.

G : Hai ngung, apa yang sedang kau kerjakan? (BERDIRI)

P : Oooohh, tidak apa-apa nona. Cuma omong-omong sendiri.

G : Omong-omong sendiri bagaimana? Sudahlah jangan suka ngomong


sendiri lagi, Ngung.

P : Tentu saja saya tak suka nona, cuma terpaksa. Hai, kenapa nona tidak
pergi kantor hari ini?

G : Nah, kau lupa lagi. Sudah berapa bulan kau jadi pembantuku masih saja
belum hapal. Ini hari apa coba?

288
P : Hari ... ... Rabu, nona.
G : Itulah! Tiap hari Rabu aku akan harus di rumah. Hari Rabu adalah hari
bicaraku, sebab menurut astrologi, hari Rabu sangat cocok bagiku. Aku terima
tamu sampai sore, ingat?

P : Sejak tadi sudah saya tanyakan dalam hati, kenapa sih nona sibuk benar
di depan kaca. Saya lupa kalau hari ini, hari Rabu, dan nona sedang menunggu
kalau-kalau ada tamu rupanya.

G : Maklumlah Ngung, aku makin hari makin tua, dan aku butuh seorang
suami. Padahal aku hanya sempat di rumah pada hari Rabu saja. Hari-hari lain
aku terpaksa sibuk di luar.

P : Saya tahu, nona.

G : Dan saya jadi sedih Ngung, sudah berpuluh-puluh hari Rabu ini tak ada
seorang tamupun yang datang.

P : Itukah sebabnya nona jadi sedih dan kawatir saja tiap-tiap hari? Suami
memang sukar didapat, nona. Jaman serba sulit sekarang. Tapi kenapa pula
begitu tergesa-gesa buat menerima seorang yang akan melamar

nona? Nona kan belum terlalu tua.

G : Seorang gadis, umur selalu rahasia. Yang kau boleh tahu adalah bahwa
aku telah memasukkan namaku ke dalam lebih dari sepuluh biro perkawinan,
lengkap dengan foto-foto dengan pose serta riwayat hidupku. Tapi rupanya tak
ada yang memperhatikan.

P : Cuma belum saja, nona. Tunggu saja tanggal mainnya. Saya rasa untuk
orang yang macam nona, banyak laki-laki yang mau melirikkan matanya. Nona
cukup cantik. Oho, ini bukan main-main, nona.

G : Jangan mencoba merayu Ngung.

P : Ah, tidak.

G : Sudahlah Ngung, sudahlah. Kenyataan memang selalu menyakitkan hati.


Celakanya orang harus selalu berhadapan langsung dengan kenyataan, terus-
menerus.

P : Sssssst. Saya seperti mendengar suara sepatu di luar, nona. Ada tamu
barangkali.

G : Aku juga mendengarnya. Benar, ada tamu hari ini, hari Rabu yang mujur.

P : Betul nona, itu dia, tamu nona.

289
G : Pergilah ke dalam,Ngung. Biar aku layani tamu itu sendiri.

``````````P : Ya, nona. Tenang-tenang saja, nona! (PERGIKELUAR)


G : Ya Allah, Ya Tuhan. Semoga orang itu mencari saya, dan ... dan ...
melamar saya. Ya Tuhan, sudah saya muat nama-nama saya di surat kabar
untuk mencari jodoh, dan semoga inilah hari Rabu yang berbahagia. Ya Tuhan,
berkatilah hambaMu ini.

T : (DARI LUAR) Spada.

G : (BISIK-BISIK) Ya Tuhan! (KERAS-KERAS) Yaaaa ... masuk!

T : (MUNCUL) Selamat pagi, nona!


(SEPERTI ACUH TAK ACUH, TERUS DUDUK) Apa kabar nona?

G : (KESAMPING) Ganteng benar orang ini. Semoga dia melamar saya.

T : Ou, nona sudah melamun ya, selamat pagi nona!

G : Ah, selamat pagi tuan. Tentunya ada perlu penting, dengan saya. Pagi-
pagi sudah datang kemari.

T : Memang nona. Tapi nona duduklah dulu, saya mau bicara penting pada
nona. (MENYULUT ROKOK)

G : (KE SAMPING) Tentu mau melamar, dia! Aduh, ganteng benar.

T : Apakah ini rumah nona sendiri?

G : Ya.

T : Bagus juga! Dan bersih, meskipun musim banyak hujan, masih tetap
bersih. Tentunya nona suka memelihara rumah.

G : Ah, tidak. Saya punya bujang.

T : Bujang??? O ya, bukan barang baru lagi sekarang bagi seorang gadis
untuk hidup dengan bujangnya. Eeeemm, nona pernah bermimpi?

G : Pernah, tentu saja. Kenapa sih??!!!

T : Maksud saya mimpi digigit ular, nona.

G : Tepat malam tadi, tuan. Tapi kenapa tuan sepertinya tahu? Saya
memang bermimpi seperti digigit ular pada jari kaki saya.

T : Menurut orang-orang tua dahulu ... ... Ah, tapi tak usah sajalah nona.
(KESAMPING) Rupa-rupanya memang tugasku berhasil. Begini nona ...

290
G : Ya. (KESAMPING) Ya Tuhan, semoga ia melamar saya!

T : Apakah betul nona yang bernama ... Retno Asiani Endang Sri Supraptini?
G : Ya, betul. Dan panggil saja saya Ninik.

T : Terima kasih. Dan umur nona ... ... 25 tahun?

G : Ya, tepat!

T : (SAMBIL MEMBACA FORMULIR). Nona adalah putri ke tiga dari tuan


Martosuwignyo? Masih ada sedikit sangkut pautnya dengan para bangsawan
Balambangan dulu. Eeeee, pokoknya nona yang mengisi formulir ini?

G : Ya, betul. Dan tuan rupa-rupanya telah mengambil formulir itu dari biro
perkawinan ASMARA JAYA.

T : Ya.

G : Tuan sudah membaca semua tentunya.


(KESAMPING) Ya Tuhan, semoga dia melamar saya.

T : Nona rupanya tak begitu jauh lebih jelek dari potret yang ada di sana.
Banyak gadis yang memasukkan potret palsu kedalam biro-biro perkawinan.

G : Mereka itulah yang memburukkan nama kami, gadis-gadis yang jujur.

T : Tapi sebelum saya sampaikan maksud saya yang terakhir, boleh saya
melanjutkan mengecek nona?

G : Boleh, tentu saja. Silahkan!

T : Nona mempunyai rumah sendiri, ialah rumah di jalan sawo ini. Dan selain
itu nona juga mempunyai sebidang tanah 150 x 100 meter diluar kota, benar?

G : Ya.

T : Nona punya gaji Rp. 7.000,- sebulan, dan kadang-kadang menerima juga
uang lembur yang lumayan jumlahnya.

G : Dan jangan lupa tuan, gaji saya akan naik bulan depan.

T : Baik, baik! Dan yang penting, nona punya uang simpanan di Bank
sebanyak 100 ribu rupiah.

G : Itu benar juga tuan, tapi barangkali tentang jumlah, ada sedikit kekilafan.
Simpanan saya kira-kira ... ... ...

T : Stop! Sudahlah, kita putuskan saja pembicaraan ini ... ... ...
Gadis yang punya sedikit simpanan di Bank, tak menarik bagi calon
suami.

291
(DIA BANGKIT DAN MAU KELUAR). Selamat pagi nona.

G : Eee, nanti dulu tuan. Jangan tergesa-gesa, duduklah dulu nanti saya
terangkan sebenarnya (TAMU DUDUK KEMBALI). Sebenarnya masih ada
simpanan saya di Bank sebanyak itu, tapi itu tidak saya simpan di Bank saja.
(DUDUK)

T : Tidak pada satu Bank saja,kalau begitu baik jugalah. Jadi kalau begitu
nona sudah mencukupi syarat minimum bagi seorang isteri yang ideal, yang lain-
lain akan segera kita putuskan nanti.

G : Jadi tuan datang buat membicarakan perkawinan?

T : Tak lain dan tak bukan!

G : Terima kasih tuan (BANGKIT DAN BERBICARA KESAMPING). Tak lain


dan tak bukan. Alangkah sedapnya kata-kata itu, sudah kuduga sebelumnya
bahwa hari ini adalah hari yang menentukan bagiku. Hari Rabu yang bahagia,
yang penuh rahmat. Kawin alangkah indahnya kata-kata itu. Dan tamu yang
datang itu masih muda, tidak terlalu bobrok juga wajahnya. Ooh, alangkah
manisnya dunia ini. Dia akan jadi suamiku, betapa bahagianya.

T : Bagaimana nona? Apa bisa kita lanjutkan pembicaraan kita?

G : (KAGET DARI MELAMUN). Oh, maaf tuan, bagaimana?

T : Apa bisa kita lanjutkan pembicaraan ini?

G : Tentu, tentu bisa tuan. Tapi maaf, mau ke dalam sebentar.


(KESAMPING). Ya Tuhan, sudah sampai waktunya dunia kesepian ini
akan hancur. (MASUK)
(BUJANG MASUK SAMBIL MAMBAWA MINUM)

P : Selamat pagi, tuan?

T : Selamt pa ... ... hei! Kau kan yang dulu turut mas Tono dulu?

P : Ya, tuan.

T : Kemana dia sekarang?

P : Beliau pindah rumah, dan saya terpaksa pindah pekerjaan juga. Ha ...
jauh lebih enak, tuan. Oh ya, ada perlu apa sih, dengan tuan rumah?

T : Cuma urusan rutin biasa. Kerja apa-apa, seret sekarang!

P : Urusan rutin macam apa sih? Ooo, barangkali tuan, sobat nona rumah?
Dia baik sekali dijadikan sobat, tuan. Orangnya ramah tamah dan baik hati, tapi
sering ... ... ...

292
T : Sering apa?

P : Cuma sering sibuk.

T : Bagus sekali, tepat.

P : Lho, tepat sekali bagaimana?

T : Tepat untuk urusan saya ini.

P : Ah, saya tak tahu! Pokoknya dia tepat untuk sobat, tuan. Manis dan tak
suka keluyuran, dan ... sudahlah pokoknya dia orang yang baik hati, gadis yang
baik.

T : Kau ini macam anu saja.

P : Oh, ya apa kerja tuan sekarang?

T : Masih macam dulu juga.

P : Jadi tuan masih juga suka makelaran? Bagaimana harga-harga sepeda


motor dan mobil sekarang?

T : Benar makelaran. Tetapi bukan makelaran sepeda motor dan mobil.

P : Lantas makelaran rumah barangkali?

T : Bukan, semuanya bukan, sudahlah sana kau masuk. Aku tak butuh bicara
sama kau. Aku butuh bicara sama nonamu itu.

P : (KESAMPING). Bukan makelar mobil, bukan makelar rumah. Ya Allah,


makelaran apa pula sekarang? Oh ya, barangkali makelaran kereta api atau
kapal terbang. (TERUS MASUK).
(GADIS MASUK LAGI SAMBIL MEMBAWA SELEMBAR KERTAS)

G : Tentunya sudah tuan baca semua syarat-syarat bagi calon suami yang
saya idamkan, bukan? (BERDIRI)

T : Sudah nona.

G : Nah, ini daftar turunan dari syarat-syarat yang harus di penuhi oleh calon
suami saya sebelum berani melamar saya. (DUDUK)

T : Barangkali ada juga saya yang lupa. Tolong bacakan.

G : (MEMBACA)
Calon suami saya harus seorang intelek, artinya paling sedikit harus punya ijasah
sarjana muda.

T : Ya, benar.

293
G : 2. Calon suami saya harus orang yang matang, artinya tidak seperti
kanak-kanak lagi yang mboseni.

T : Okey.

G : 3. Calon suami saya harus seorang yang tak punya cacat luar dan
dalam, artinya cacat yang bisa merusak kebahagiaan rumah tangga.
4. Calon suami saya harus orang yang bebas, artinya tak punya isteri, baik yang
terang maupun yang gelap.

T : Tentu, nona. Tentu, tentu.

G : Itu semua rasanya penting tuan ketahui, mengingat banyak sekarang


yang menipu kesana-kemari.

T : Saya paham, nona. Dan kalau tak salah, ada syarat tentang penghasilan
dan gaji.

G : Ya itu bisa dirundingkan berdamai.

T : Bagaimana kalau calon suami nona punya penghasilan


Rp.5.000,- sebulan?

G : Wah, wah. Itu Cuma sedikit tuan! Kenapa mau dilepaskan? Tapi baiklah ,
itu saya terima, asal tidak terlalu banyak menyakiti hati saya.
(KESAMPING) Barang sudah di tangan.

T : Siapa pula mau menyakiti hati nona yag manis ini?

G : Aha, jangan mulai merayu cara film Malaya, tuan.

T : Toh, pembicaraan kita belum tentu jadi.

G : (KESAMPING) Ya tuan, pembicaraan ini harus jadi. Sudah terlampau


sepi dunia ini.

T : Menurut pandangan saya, pembicaraan kita ini sudah hampir mencapai


persesuaian faham, sebab banyak hal yang bisa kita terima bersama. Sekarang
menginjak pelaksanaan perkawinan, nona.

G : Ya, bagaimana?

T : Siapa yang menanggung segala ongkosnya?


G : Wahai, tentu saja pihak laki-laki, tuan.

T : Bagaimana kalau kompromi?

G : Maksud tuan bagaimana?

294
T : Anu ... fifty-fifty, nona?

G : Kalau terpaksa benar baiknya. Tapi ingat tuan, perkawinan hanya


berlangsung hari Rabu dan Sabtu sore. Hari-hari lain penuh!

T : Itu terserah. Masing-masing berangkat sendiri-sendiri dari rumah, kembali


ke kota, dan di sana menandatangani surat kawin. Begitu?

G : Yak, dan masing-masing harus membawa saksi yang akan menjamin


kebenaran syarat-syarat yang ditetapkan tadi.

T : Dan saksi tersebut harus juga mau bersumpah di depan polisi dan
memberi jaminan tentang kedua bakal pengantin. Kalau seorang tak memenuhi
syarat, misalnya nona, maka polisi berhak turut campur tangan dalam hal ini.
Nona bisa masuk bui lantaran terbukti memalsukan kenyataan.

G : Kenapa menyangkut polisi, tuan. Saya takut pada polisi. (BERDIRI)

T : Ini syarat mutlak, nona. Apa nona curang? Kalau tak curang kenapa mesti
takut sama polisi?

G : (KESAMPING) Polisi, polisi! Perkawinan di bawah pengawasan polisi.


Ngeri juga rasanya tapi bagaimana lagi.
(KERAS) Saya tidak curang , tuan. Tapi kalu polisi turut campur, saya
gemetar juga.

T : Apa sebaiknya batal saja perkawinan ini?

G : Batal? Ah,tidak tuan! Saya menerima.

T : Nah, sekarang tinggal satu persoalan yang terakhir tapi yang paling
penting, ialah persen untuk penghubung.

G : Persen untuk penghubung? Bagaimana maksud tuan?

T : Seorang penghubung dalam soal-soal perkawinan tentunya mendapat


tegen prestasi untuk jasa-jasanya, nona. Dan uang itu harus dipastikan
jumlahnya sekarang.

G : Lho, kan tak ada penghubung dalam persoalan kita ini. Saya butuh
seorang suami, dan tuan datang kemari melamar saya, dan saya telah
menerimanya. Itu beres sudah.

T : Nona salah tafsir rupa-rupanya.

G : Salah tafsir bagaiman, tuan. Syarat kita masing-masing sudah dipenuhi.


Tuan rupa-rupanya cinta kepada saya, dan saya pun sudah berhasil mencintai
tuan, tadi. Apalagi? Apa barangkali ada seorang di belakang tuan yang
menghubungkan kita?

295
T : Nona salah tafsir. Dan justru pada hal yang penting, nona salah tafsir.

G : Bagaimana ini? (DUDUK)

T : Nona kira bahwa saya datang buat melamar nona?

G : Lantas buat apalagi?

T : Benar. Tapi bukan saya sendiri yang bakal mengawini nona, saya cuma
seorang makelar.

G : Makelar! Ya, Tuhan, jadi tuan cuma makelar? Jadi ada orang di belakang
tuan yang akan mengawini saya? Tapi kenapa dia tidak datang sendiri? Saya
belum bisa menentukan kalau begitu, jangan-jangan dia seperti drakula.
(KE SAMPING) Ya Tuhan, hancur segala mimpiku sekarang.

T : Nona sudah mengajukan syarat-syarat, dan syarat-syarat itu sudah


terpenuhi. Itu beres kan? Nona minta apa lagi?

G : Tapi kenapa dia tidak datang sendiri?

T : Hari ini dia ke Rumah sakit, sedang nona hanya bisa menerima tamu
pada hari Rabu saja. Jadi terpaksa harus saya yang melamarkan dia. Tapi
minggu depan katanya sudah bisa melaksanakan perkawinan.

G : Tapi bagaimana kira-kira dia tampangnya tuan?

T : Oh, nona jagan kawatir. Pokoknya syarat-syarat yang nona sodorkan


semua sudah dia penuhi. Ia seorang yang jauh lebih baik dari apa yang nona
sangkakan. Ia seorang yang sudah banyak pengalaman dan alim, pernah ke luar
negeri, meskipun cuma sebentar, nona. Dan dia dari keluarga alim.
Dan yang terpenting, dia telah jatuh cinta begitu pertama kali melihat
gambar nona. Ia sungguh jatuh cinta sehingga mau menyerahkan jiwa
raga buat mendapatkan nona.

G : Tapi saya belum pernah sekalipun melihat dia, bagaimana bisa


mencintainya?!

T : Tanpa tetapi, nona. Nona segera jatuh cinta pada lelaki itu, pada pandang
pertama. Tentu.
G : Apakah kau bisa menjamin?

T : Tentu, nona jangan kawatir. Saya mau memberi jaminan asal nona mau
saja.
Dia orang alim yang mau hidup sedehana. Yang penting ialah, ia telah
jatuh cinta pada nona. Nona ayu, sekarang sukar mencari orang yang
jatuh cinta.

G : Baiklah tuan, untuk sementara saya mau menerimanya, tapi kalau


syaratnya tak terpenuhi, dia bisa masuk bui.

296
T : Nah, begitu bagus. Jangan nona meragukan kwalitet saya sebagai
makelar. (MELIHAT JAM) Hei,sudah jam 10 sekarang saya mesti buru-buru
pergi, nona. Ada urusan makelar lain yang mesti saya rampungkan sebelum jam
tugas nanti. Jadi nona, pokoknya sudah setuju dan persoalan-persoalan
selanjutnya saya telpon saja.

G : Terserah tuan saja, asal tuan yang menanggung calon suami saya itu.

T : Jangan takut nona. Oh ya, jangan lupa menulis surat pernyataan kepada
surat kabar dan biro-biro perkawinan itu, bahwa lowongan sudah terisi. Ini perlu
nona. Toh nona tak mau punya suami dua orang.

G : Akan saya telpon kantor-kantor itu dengan segera.

T : (BANGKIT) Selamat pagi nona maaf saya agak tergesa-gesa. Jangan


lupa segala-galanya nona.

G : Selamat pagi, tuan. (TAMU KELUAR)


Ya Tuhan saya akan segera kawin. Tapi dengan seorang belum saya
pernah kenal. Aduuuuh nasib! Tapi biarlah, aku akan kawin. Itu adalah
suatu kebahagiaan yang cukup buat saya dalam kesunyian ini. Wahai hari
Rabu yang gilang gemilang. Aku akan kawin.

T : (TERGESA-GESA MASUK LAGI) Maaf nona, ada kelupaan sedikit.

G : Ada apa, tuan?

T : Tadi sudah diputuskan berapa nona harus bayar pada saya? Tarip saya
adalah Rp.5.000,- untuk setiap perkawinan yang berhasil saya rancangkan.

G : Rp.5.000,-? Apa tidak bisa kurang, tuan? Saya sedang krisis.

T : Tak ada tawar menawar, nona!

G : Bagaimana kalau saya bayar separuh dulu!


(TAMU MENGELUARKAN KWITANSI DAN GADIS MASUK MENGAMBIL
UANG, TERUS KELUAR LAGI)
(SETELAH MENANDATANGANI TERUS BERKEMAS).
T : Bisa juga! (TELAH MENANDATANGANI, TERUS BERKEMAS) Terima
kasih nona, yang lain besok kalau perkawinan sudah berlangsung.

G : Stop dulu, tuan!

T : Ada apa? (BERDIRI DI PINTU)

G : Kira-kira berapa umur bakal suami saya itu?

T : Ah, saya lupa tepatnya. Tapi kira-kira seperti gambar yang ada di atas
meja nona itu. Aahhh, itu. Selamat pagi, nona. (CEPAT-CEPAT KELUAR)

297
G : (TERKEJUT) Seperti gambar itu? (MEMEGANG GAMBAR) Tapi ini
gambar ayahku. Gambar almarhum ayahku. Jadi aku mesti kawin dengan orang
setua ayah? Ah, tidak masuk akal rasanya. Jaman dulu ada pepatah: tua-tua
kelapa, makin tua ... ... Ya Tuhan, saya akan kawin dengan orang yang seumur
ayahku sendiri? Tapi semuanya sudah disetujui. Dan lagi aku memang sudah
pengen berumah tangga.
(PENGUNG MASUK)

P : Ada apa nona, sudah pergi tamu tadi?

G : Sudah, anu ... Ngung, aku mau kawin. Dan kalu jadi nanti, kau terpaksa
harus keluar. Sebab tentunya sebagian kerjamu sudah bisa dikerjakan oleh bakal
suamiku. Sediakan sekedar makanan, malam ini, untuk pesta kecil antara kau
dan aku. Kita rayakan hari Rabu yang bahagia ini dengan sekedar ramai-ramai
berdua. Kau harus turut berbahagia pula, Ngung.Ya Tuhan aku akan kawin.
(KELUAR)

P : Ini tahun 2010. Ingat, tuan-tuan serta nona-nona dan nyonya-nyonya,


berdua. Semua mengalami kemajuan. 50 tahun jaraknya dari jaman tuan-tuan
sekalian. Semua serba praktis, dan cinta pula bisa selesai praktis, tuan tak bisa
lagi mendengar bisik-bisik di tempat gelap, atau bergandeng tangan sambil
berjalan. Tak ada lagi saling cubit mencubit atau sentuh-sentuhan mesra diantara
dua orang kekasih. Tak cium-cium dalam gelap. Tak ada lagi.
Hal-hal tersebut sudah dilindas oleh sejarah, jaman menghendaki hal-hal
lebih praktis, tak ada hal-hal nampak lucu.
Jaman sudah berubah, tuan-tuan. Jaman sudah berubah dan akan selalu
berubah.
Para hadirin sekalian, selamat malam.

Layar Turun

298
AWAL DAN MIRA
Drama Satu Babak
Karya:
Utuy Tatang Sontani

Sandiwara ini pertama kali diterbitkan pada 1949 di majalah Indonesia, sebuah majalah yang
mengetengahkan karangan prosa. Sesuai dengan tujuan majalahitu, format sandiwara diubah
agar sandiwara dapat dibaca sebagai cerita pendek. Untuk penerbitan buku ini bentuk prosa
itu diganti dengan formatsandiwara namun dialog tidak diubah.

Soal antara kita ialah


kau bukan aku dan aku bukan kau.

TOKOH:

AWAL
MIRA
IBU MIRA
PEREMPUAN
SI BAJU BIRU
SI BAJU PUTIH
LAKI-LAKI TUA
WARTAWANJURU
POTRET
ANAK LAKI-LAKI
SEORANG LAKI-LAKI
SI PEREMPUAN

299
BABAK 1

Peristiwa ini terjadi pada suatu malam dalam tahun 1951 di depan kedai kopi
kepunyaan seorang perempuan cantik bernama MIRA.
Yang dimaksud dengan kedai kopi kepunyaan MIRA itu sebenarnya
serambi muka dari rumah MIRA yang dibangun jadi kedai kopi. Dan rumah MIRA
itu rumah bambu, kecil tapi masih baru, letaknya menghadap ke jalan, didirikan
di atas bekas runtuhan rumah batu yang hancur oleh peperangan, terpencil jauh
dari keramaian.
Entah kapan rumah itu didirikan di sana, entah mulai kapan pula serambi
muka rumah itu dibangun jadi kedai kopi. Tapi yang sudah pasti, kedai kopi MIRA
itu seperti juga kehadiran kedai-kedai kopi yang lain, selain dialati oleh
perabotan-perabotan yang bersangkutan dengan keperluan penjualan kopi, di
sana juga ada disediakan barang-barang dagangan yang sudah biasa dijual di
kedai kopi. Ada kue-kue, ada limun, ada sigaret, geretan, dan sebagainya. Dan
seperti juga kedai-kedai kopi yang lain, di depan kedai kopi MIRA itu pun ada
bangku panjang tempat duduk para pembeli, dan antara ruangan kedai dan
bangku panjang itu teralang oleh meja dan rak dagangan setinggi dada, dan tidak
ada pintu.
Malam itu pukul 9 lebih.
MIRA yang cantik asyik menyulam di belakang dagangan, di bawah lampu
listrik, hanya kelihatan dari dada ke atas.
IBU MIRA, seorang perempuan sudah berusia lanjut, ada di luar ruangan
kedai, asyik mengatur-ngatur penempatan dagangan. Dan di depan kedai, di atas
bangku duduk seorang LAKI-LAKI MUDA, menghadapi gelas kopi di atas meja.

LAKI-LAKI MUDA: (Menghabiskan kopinya seraya katanya) Berapa, Mira?


MIRA: Tiga Talen.
LAKI-LAKI MUDA: (Seraya menyerahkan uang) Kembali setalen.
(MIRA tak mengasih uang pengembalian. Setelah menerima uang dari
LAKI-LAKI MUDA itu, ia terdiam saja.)
LAKI-LAKI MUDA: (Kepada MIRA) Mana kembaliannya?
MIRA: Bah!
LAKI-LAKI MUDA: (Dengan heran) Lho? Setalen ya setalen.
MIRA: Tapi engkau terlalu lama duduk di sini, terlalu lama melihat wajahku.
LAKI-LAKI MUDA: Melihat wajahmu mesti bayar?
MIRA: Mengapa tidak? Memangnya istrimu di rumah cantik seperti aku? (LAKI-
LAKI MUDA itu kebingungan, tapi akhirnya ia bangkit berdiri)
LAKI-LAKI MUDA: (Seraya berdiri) Yah, apa boleh buat.
(Dengan tidak berkata lagi, LAKI-LAKI MUDA terus berjalan
meninggalkan kedai, pergi ke arah kanan.)
MIRA: (setelah LAKI-LAKI MUDA jauh berjalan) Laki-laki berabe! Setalen saja
dihitung!
IBU MIRA: Maklum sekarang sudah bulan tua, Mira. Sudah tiga malam berturut-turut
kita kekurangan pembeli. Rupanya orang sudah pada kehabisan duit. (Terus
melihat ke arah jauh sebelah kiri) Heh, sepi

300
saja…Kulihat hanya ada seorang laki-laki yang berjalan menuju sini.(Tiba-tiba
terkejut dan bicara tergopoh-gopoh) Mira! Orang itu kiranya Den Awal.
MIRA: (Kepada IBUNYA seraya masuk ke dalam rumah) Katakan saja saya pergi
ke toko!
(Laki-laki yang bernama AWAL itu berumur antara 27 dan 30 tahun.
Badannya kurus, rambutnya gondrong tidak dipelihara. Dan ia datang ke
depan kedai dengan langkah lesu terhuyung-huyung. Berat bunyi
suaranya sewaktu bicara.)
AWAL: (Sewaktu sampai di depan IBU MIRA) Mira ada, Bu?
IBU MIRA: Ke toko, Den…Entah akan membeli apa.
AWAL: Sudah lama?
IBU MIRA: Lama juga.
(AWAL yang berbadan kurus itu lesu duduk di atas bangku. Duduk
membelakangi dagangan.)
AWAL: (Memperdengarkan lagi suaranya yang berat) Kapan anak Ibu itu berhenti
mempertahankan?
IBU MIRA: (Bingung) Mempertahankan. . .?
AWAL: Mau disebut apa lagi, kalau selama saya sakit, meskipun berkali-kali saya
mengirim surat ke sini minta supaya Mira sudi menengok saya ke rumah, tapi dia
tidak pernah datang?
IBU MIRA: Dia banyak urusan, Den.
AWAL: Banyak urusan? Hm ya, sekarang saya memaksa diri datang di sini, diatidak ada.
(IBU MIRA tidak menjawab lagi. Diam-diam ia memasuki pintu di samping
rumah sebelah kiri, tak lama kemudian keluar dari pintu yang tadi dimasuki
MIRA, ada di dalam ruangan kedai.)
IBU MIRA: (Dari dalam kedai) Kopi susu, Den?
AWAL: Biar, tak usah.
(Sejurus lamanya IBU MIRA terdiam membelakangi AWAL. Akhirnya
diam-diam ia menghampiri radio yang ditaruh tidak jauh dari pintu ke
dalam rumah dan terus diam-diam menyetel radio itu. Sebentar kemudian
radio pun berbunyi, memecah kesunyian, mendengungkan suara
perempuan nyaring lantang.)
SUARA RADIO: …dari itu, adalah sudah menjadi kewajiban kita kaum wanita, supaya
di zaman sekarang ini, setelah kita banyak kehilangan sebagai akibat peperangan,
kita kaum wanita mesti lebih giat berjuang berdampingan dengan kaum laki-laki
guna membangun masyarakat damai di tanah air kita Indonesia yang indah dan
molek ini. Marilah kita menyingsingkan lengan baju kita. . . .
AWAL: (Tiba-tiba bangkit dan berdiri seraya katanya dengan tangan terkepal)
Tutup radio itu, Bu!
IBU MIRA: (Sambil mematikan radio) Menga mengapa, Den?
AWAL: (Dengan cetus) Omong kosong semuanya juga! Omongan badut. Hh, berjuang
berdampingan. . . . Tanah air yang indah dan molek! Enak saja bicara. Dia sendiri
tak akan tahu apa yang dikatakannya. Asal saja berbunyi. (Kembali duduk
terhuyung)
IBU MIRA: (Gugup) Be betul, Den, tidak akan minum?

301
AWAL: (Tegas) Saya mau bicara dengan Mira, Bu.
IBU MIRA: Tapi barangkali akan lama juga dia pergi. Tidak dapatkah Ibumenolong
menyampaikan pesan Aden kepadanya?
AWAL: (Mengulangi) Saya mau bicara dengan Mira sendiri. Lain, lain dari omongan
orang lain yang akan saya katakan padanya.
IBU MIRA: Tapi, De. . .Mira. . .anak Ibu itu, manusia biasa saja. Jangan Aden
mengharapkan yang bukan-bukan dari dia.
AWAL: (Mengangkat kepala, tegak memangdang IBU MIRA) Siapa pula yang
mengharapkan yang bukan-bukan? Saya tidak mengharapkan yang bukan-bukan
dari Mira. Harapan saya dari Mira adalah harapan laki-laki sewajarnya yang
menginginkan supaya perempuan itu jadi kawan hidup laki-laki. Itu harapan saya.
Dan harapan itu tidak bukan-bukan.
IBU MIRA: Maksud Ibu, Den, Mira itu bukan perempuan dari golongan atas. Diahanya
tukang kopi.
(AWAL yang berbadan kurus itu tegak memandang IBU MIRA.)
AWAL: Apa arti golongan atas di zaman edan seperti sekarang ini? Sangka Ibu
perempuan yang tadi berpidato di radio itu dari golongan atas? Perempuan bicara
asal berbunyi? Orang-orang semacam itulah yang menguasai masyarakat kita
sekarang—orang-orang yang maunya mengatasi orang lain dengan bicara, terus
bicara. Tak tahu jiwanyasendiri kering dangkal, dunianya sendiri sempit. Lebih
sempit dari ini kedai kopi!
(IBU MIRA tak berkata lagi. Dua orang laki-laki datang dari kanan:
Keduanya berumur lebih dari 30 tahun. Yang seorang berbadan besar-
tinggi dan memakai baju biru—SI BAJU BIRU. Dan yang seorang lagi,
yang badannya agak pendek memakai baju putih—SI BAJU PUTIH.
Mereka datang ke depan kedai dengan langkah ringan.)
SI BAJU BIRU: (Dengan suara ringan, kepada IBU MIRA) Mana Mira, Bu?
IBU MIRA: Ke toko. . . .
SI BAJU PUTIH: Ah, kalau tidak ada Mira, kurang senang kita minum di sini.
SI BAJU BIRU: Biar. Kita tunggu sampai dia datang.
(SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH lalu duduk tidak jauh dari AWAL.
Duduk menghadapi dagangan. Tapi AWAL yang didekati, setelah
memperhatikan gerak-gerik yang baru datang, terus saja bangkit dan
melangkah akan pergi.)
IBU MIRA: (Kepada AWAL) Ke mana, Den? Duduk-duduk dulu.
AWAL: Biar, Bu. . . .
(Tanpa berkata lagi, AWAL terus berjalan ke arah kanan, tidak menoleh
lagi ke belakang. Langkahnya yang terhuyung-huyung dipandang oleh SI
BAJU BIRU. Dan jika yang dipandang sudah jauh berjalan, dia
memandang kawannya.)
SI BAJU BIRU: Mengapa dia kecut?
SI BAJU PUTIH: Seperti marah kepada kita.
IBU MIRA: Dia orang terpelajar.
SI BAJU BIRU: Tapi tampaknya seperti orang tidak waras otak. Di zaman setelah
peperangan sekarang ini memang tidak sedikit orang yang tidak waras otak. Dia
tentu berasal dari golongan menak, ya, Bu?

302
IBU MIRA: Ya. . . . Menurut kata orang, orang tuanya itu bukan sembarangan orang.
Tapi sekarang dia hidup sendirian.
SI BAJU BIRU: (Menyambung) Dan tidak lagi terhormat seperti orang tuanya!
(Diarahkan kepada SI BAJU PUTIH) Itulah celakanya orang dari golongan
menak hidup di zaman sekarang. Zaman sudah berubah, tapi dia masih mau hidup
seperti di zaman sebelum perang, di kala golongannya masih dihormat-hormat.
Akibatnya seperti orang tidak waras otak.
(Tiba-tiba MIRA yang tadi masuk ke dalam rumah, tampil dari pintu)
MIRA: Sudah! Jangan membicarakan dia. Toh semua komentarmu tidak benar!
SI BAJU BIRU: Lho engkau ada, Mira? Hampir saja aku percaya bahwa kau pergi ke
toko. (Kepada SI BAJU PUTIH) Tahu kau sekarang, bahwa Mirapergi ke toko
bukan untuk kita, tapi hanya untuk pemuda yang tidak waras otaknya itu?
SI BAJU PUTIH: Ya! Kasihan, sungguh kasihan dengan pemuda yang sial itu.
MIRA: (Seraya duduk lagi di belakang dagangan) Aku bilang jangan membicarakan
dia.
SI BAJU BIRU: Katakanlah, Mira, bahwa bagimu kami lebih berarti daripada pemuda
itu.
MIRA: Apa yang lebih berarti? Kalian datang ke sini untuk membeli dagangan yang
kujual. Dan itu mesti kuladeni. Tapi pemuda itu. . . .
SI BAJU PUTIH: Pemuda itu bagaimana?
MIRA: Itu urusan aku dan dia. Kalian jangan turut campur. Kalau mau minum, lekas
katakan! Kopi pahit, manis, atau pakai susu?
(SI BAJU BIRU yang sudah ringan berkata jadi ringan tertawa.)
SI BAJU BIRU: Dengar bagaimana gagahnya kekasih kita ini berkata! Dan inilah yang
menyenangkan kita duduk di sini, bukan? Sampai larut malam, senang kita
nongkrong di sini.
MIRA: Lekas katakan! Kopi pahit? Manis? Atau pakai susu?
SI BAJU PUTIH: (Seraya tertawa) Oh! Dia menyerang terus.
(SI BAJU BIRU yang sudah tertawa melebarkan tawanya.)
SI BAJU BIRU: Tapi kita jangan kalah. Kita minta kopi susu! Biar taripnya dinaikkan,
kita tak akan mundur.
IBU MIRA: (Kepada kedua tamu) Dua-duanya kopi susu?
SI BAJU PUTIH: Tentu saja dua, Bu. Masakan beda! (Sambungnya lagi diarahkan
kepada MIRA) Mengapa radionya tidak disetel, Mira? Biar kita lebih senang
duduk di sini.
MIRA: Bah! Hanya pidato omong kosong melulu.
SI BAJU PUTIH: Biar, setel saja.
SI BAJU BIRU: Tak usah tak usah dengar radio. Lihat Mira saja sudah puas!
(Pada saat IBU MIRA menyodorkan gelas kopi susu ke depan SI BAJU
BIRU dan kawannya, lewat ke depan kedai dari kanan SEORANG LAKI-
LAKI dan SEORANG PEREMPUAN berpakaian bagus-bagus. SI
PEREMPUAN berjalan di muka dan SI LAKI-LAKI berjalan di
belakangnya. Tapi di depan kedai yang SI LAKI-LAKI melambatkan
langkah, memandang kepada MIRA yang duduk di belakang dagangan.
Dan ia memandang terlalu lama; demikian lama, sehingga SI
PEREMPUAN yang diiringkannya menarik tangannya.)

303
SI PEREMPUAN: Ayoh!
(SI LAKI-LAKI yang diperintah menurut dan mempercepat langkah. Tapi
SI PEREMPUAN terus melihat MIRA, dan setelah lama melihat terus
meludah.)
MIRA: (Berteriak) Heh! Apa arti ludah itu? Takut suamimu direbut?
SI PEREMPUAN: (Meludah lagi kemudian menyahut) Memangnya?! (Cepat
berjalan menjauh)
MIRA: (Berteriak lagi) Pengecut! (Terus menyemburkan air dan tambahnya lagi
setelah ternyata semburan itu tak berhasil) Mengapa kau tak proteskepada
moyangmu yang melahirkan kau tidak lebih cantik dari aku?
(SI BAJU PUTIH tegang tercengang, tapi SI BAJU BIRU enak tertawa)
SI BAJU BIRU: Engkau juga pengecut Mira! Mengapa perempuan itu tidak kaukejar?
MIRA: Hm. . . ! Memangnya mesti meributkan laki-laki begitu macam?
SI BAJU PUTIH: Ada-ada saja Mira ini .............Baiknya kita tidak sampai melihat
darah.
SI BAJU BIRU: Siapa tahu, antara suami-istri itu sesampainya di rumah keluardarah.
SI BAJU PUTIH: Untung saja kita belum kawin.
MIRA: Memangnya kau mengatakan masih bujang? Hh, bujang?
SI BAJU BIRU: (Tertawa) Kau tak percaya, Mira, bahwa kami belum kawin?
MIRA: Apa percaya? Mesti aku percaya kepada omongan orang yang ngomonglantaran
ada aku?
SI BAJU PUTIH: Apa, Mira? Apa maksud perkataanmu?
MIRA: Kalau tidak mengerti, sudah! Jangan bertanya lagi. Jangan bicara lagi.
Lebih baik minum kopi. Itu lebih aman!
(SI BAJU PUTIH nyengir dan SI BAJU BIRU yang tertawa mengeraskan
tawanya)
SI BAJU BIRU: Ya, ya, terkadang kita mesti mengaku bahwa sebagai tukang kopi Mira
terlalu pintar. Payah kita bicara dengan dia. Tempat Miramestinya di sana, di. . . .
SI BAJU PUTIH: (Menyela) di kantor advokat!
SI BAJU BIRU: (Membantah) Bukan di kantor advokat?
SI BAJU PUTIH: Itu menghina dong. Tempat Mira mestinya di sana, di sampingpaduka
tuan, jadi nyonya paduka tuan. ‘Kan zaman sekarang ini banyak paduka tuan-
paduka tuan yang di zaman peperangan pada bersembunyitakut mati, tiba-tiba
sekarang muncul dengan kedudukannya yang hebat- hebat, saking hebatnya
merasa perlu mempunyai bini dua atau tiga.
MIRA: Hm, kau menghina aku!
SI BAJU BIRU: Siapa bilang menghina? Nyonya paduka tuan, sekalipun jadi yang
nomor dua atau nomor tiga, sudah pasti tiap hari naik mobil turun mobil, diam di
gedung besar, sebentar-sebentar pergi ke restoran dan seminggu sekali ongkang-
ongkang di luar kota. Pendeknya hidup mewah. (Dengan muka dihadapkan
kepada SI BAJU PUTIH) Tidak seperti kita. Kita yang di zaman pertempuran
ikut memanggul senjata dan sering-sering hampir mati oleh peluru musuh,
sekarang tinggal di gubuk di gang becek.

304
SI BAJU PUTIH: Dunia ini memang tidak beres! Kita yang pernah capek, oranglain
yang merasakan kesenangannya.
MIRA: (Cepat membalas) Dari itu, aku lebih senang jadi tukang kopi, sebab dari
belakang dagangan ini aku dapat melihat orang-orang yang tidak beres rohaninya
seperti kalian!
SI BAJU PUTIH: Kami tidak beres?
MIRA: Lantas? Kalau rohanimu beres, buat apa kau meluapkan rasa dongkolmu terhadap
keadaan sekarang di hadapanku? Toh di sini kedai kopi. Orang di sini boleh
menggerutu dan mengomel sesuka hatinya. Tapi dagangan yang kau hadapi
bukan saksi yang akan mencatat segalaomonganmu. Dagangan itu kusediakan
untuk dibeli!
(Tertawa lagi SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH pun ikut tertawa.)
SI BAJU PUTIH: (Kepada SI BAJU BIRU) Bagaimana? Akan kita borong semua yang
ada di sini?
(Dari kanan datang seorang ANAK LAKI-LAKI kira-kira berumur 13
tahun. Langkahnya tegas. Ucapannya diarahkan kepada MIRA.)
ANAK LAKI-LAKI: (Tegas bunyinya) Nona Mira?
MIRA: Benar.
ANAK LAKI-LAKI: (Seraya mengunjukkan secarik kertas) Ini surat.
MIRA: Dari siapa?
ANAK LAKI-LAKI: Dari Tuan yang tadi datang di sini.
MIRA: Di mana dia sekarang?
ANAK-LAKI-LAKI: Di sana, menunggu di gardu.
(MIRA tak bertanya-tanya lagi. Secarik kertas yang diunjukkan ANAK
LAKI-LAKI itu diterimanya. Terus dibaca tulisannya.)
SI BAJU BIRU: (Kepada ANAK LAKI-LAKI) Disuruh oleh Tuan yang badannya
kurus, rambutnya gondrong?
ANAK LAKI-LAKI: Benar.
SI BAJU BIRU: Celaka tiga belas! (Seraya tertawa) Bohongnya ketahuan juga! (Dan
tambahnya diarahkan kepada MIRA) Dia tentu marah, Mira.
(MIRA asyik membaca dan tidak membalas)
SI BAJU BIRU: (Kepada IBU MIRA) Bagaimana, Bu, kalau sudah ketahuan bohong?
IBU MIRA: Orang tua seperti ibu ini tidak tahu apa-apa.
SI BAJU PUTIH: (Seraya meneguk isi gelas yang dihadapi) Ya, orang tua jangan
dibawa-bawa.
(Seperti juga SI BAJU BIRU, SI BAJU PUTIH terus memperhatikan
MIRA membaca surat.)
MIRA: (Sejurus kemudian kepada ANAK LAKI-LAKI) Katakan saja kepadanya,
bahwa saya tidak dapat meninggalkan kewajiban di sini. Lebih baik dia saja yang
datang ke mari.
ANAK LAKI-LAKI: (Seraya melangkah akan pergi.) Baik.
MIRA: Katakan, saya menunggu, ya.
ANAK LAKI-LAKI: Ya.
(ANAK LAKI-LAKI itu terus berjalan ke kanan. Langkahnya tegas seperti
ketika ia datang ke depan kedai. Setelah ANAK LAKI-LAKI jauh berjalan,
SI BAJU BIRU menegur MIRA.)
SI BAJU BIRU: Apa isi suratnya, Mira?

305
MIRA: Itu urusanku.
(SI BAJU BIRU yang sudah sering tertawa, sekali lagi tertawa. Kemudian
dia mendekati SI BAJU PUTIH dan terus berbisik di telinga kawannya.)
MIRA: Berbisik apa?
SI BAJU BIRU: Itu urusanku!
(Baik SI BAJU BIRU maupun SI BAJU PUTIH tertawa lagi. Terkekeh
mereka tertawa. Tiba-tiba SI BAJU PUTIH menunjuk ke arah jauh sebelah
kiri.)
SI BAJU PUTIH: Lihat, Mira! Itu apa?
(MIRA yang duduk di belakang dagangan melengong melihat ke arah
yang ditunjuk SI BAJU PUTIH. Lalai ia akan surat di tangan, tak tahu
bahwa surat akan direbut SI BAJU PUTIH. Dan secepat SI BAJU PUTIH
merebut surat dari tangan MIRA, secepat itu pula ia melemparkan surat
kepada kawannya.)
MIRA: (Berteriak lantang) Kurang ajar! Berani kau menyolok mata!
(Dengan gemas MIRA memandang SI BAJU PUTIH. Dan lebih gemas lagi
ia memandang SI BAJU BIRU. SI BAJU BIRU yang tertawa-tawa gembira
membaca isinya.)
SI BAJU BIRU: Mira! Meskipun kau barusan mendustai aku, tapi jiwamu dan duniamu
bagiku tetap merupakan soal. . .Oh, jiwamu, duniamu! Betul- betul orang ini sudah
tidak waras otaknya.
SI BAJU PUTIH: Jadi Mira ini mempunyai dunia? (Menggeleng-gelengkan kepala)
MIRA: (Teriak) Sudah!
SI BAJU BIRU: (Tanpa mengacuhkan MIRA, membaca lagi) Kau bagiku tetap
bukan tukang kopi.
SI BAJU PUTIH: (Menyela) Lho? Kalau bukan tukang kopi, apa?
SI BAJU BIRU: Dengar dulu! Dengar dulu! (Membaca lagi) Karena itu aku inginbicara
dengan kau berdua. Jangan di tempatmu, sebab ada. . .He, kita disebut badut-
badut. Apa maksudnya?
MIRA: (Teriak lagi) Sudah!
SI BAJU BIRU: (Meneruskan pembacaan surat) Dapatkah sekarang juga kau
meninggalkan tempatmu barang sebentar? Aku menunggu di gardu. (Berhenti
membaca, seraya menyerahkan surat kepada Mira.) Dan sekarang dia boleh
menunggu, ya Mira? Menunggu, sampai kami yang disebut badut-badut ini pada
pergi dari sini?
SI BAJU PUTIH: Tapi kami tidak akan pergi!
MIRA: Kalian kurang ajar! Biadab! Dasar!
SI BAJU BIRU: Katakan kepadanya, Mira, bahwa di zaman sekarang ini sudah bukan
waktunya lagi memupuk perasaan rindu dendam seperti di zamansebelum perang.
SI BAJU PUTIH: Sekarang zaman serba-cepat. Kalau tidak cepat, tidak akan kebagian.
Dan kalau tidak kebagian sekarang, kapan lagi? Bayangan Perang Dunia Ketiga
sudah dekat.
MIRA: (Membantah) Bah! Kau tahu apa tentang Perang Dunia Ketiga?
Gampang saja bicara tentang perkara yang kau sendiri tak tahu!

306
SI BAJU PUTIH: (Langsung membalas) Aku tidak tahu? Oh, gampang saja kau
menuduh. Buat apa orang tuaku dulu membayar uang sekolah supaya aku
sekarang pandai membaca koran?
MIRA: Patut!
SI BAJU PUTIH: Patut apa?
MIRA: Patut kau biadab, sebab kau masih percaya koran!
SI BAJU PUTIH: Lho. . . ?
SI BAJU BIRU: (Seraya memandang ke kanan) Sudah, sudah, jangan bicara. .
.Itu Tuan yang menyebut kita badut-badut menuju ke sini.
(SI BAJU BIRU pura-pura minum. SI BAJU PUTIH pun pura-pura minum.
Lama dulu sebelum AWAL yang berbadan kurus itu tampil lagi darikanan
dengan langkah lesu terhuyung-huyung. Sampai di depan kedai,ia tidak
terus mendekati bangku. MIRA, yang duduk di belakang dagangan,
mengajak dia duduk.)
MIRA: Silakan duduk, Mas. . . .
(Setelah diajak duduk, baru si AWAL duduk di atas bangku, namun
dengan membelakangi dagangan.)
MIRA: (Kepada AWAL) Kopi, Mas?
AWAL: Ya.
MIRA: (Kepada IBU MIRA) Kopi untuk Tuan Awal, Bu!
IBU MIRA: Pakai susu, Den?
AWAL: Ya, pakai susu.
(Tiba-tiba setelah IBU MIRA menyodorkan gelas kopi susu ke dekat
AWAL, berkata SI BAJU BIRU diarahkan kepada MIRA.)
SI BAJU BIRU: Mira! Meskipun kau barusan mendustai aku, tapi jiwamu dan duniamu
bagiku tetap merupakan soal.
(AWAL yang duduk membelakangi dagangan mendadak tegak. Tegak
memandang SI BAJU BIRU. Tapi yang dipandang pura-pura tidak tahu
dipandang.)
SI BAJU BIRU: (Dengan suara nyaring, seraya menghadapkan muka kepada
MIRA) Kau bagiku bukan tukang kopi, Mira. Dan aku ingin bicara berdua dengan
kau. Jangan di tempatmu, sebab ada badut-badut! Karena itu. . .
.
AWAL: Sudah!
SI BAJU BIRU: Bicara kepada siapa, Bung?
AWAL: (Dengan dada naik turun) Kau bicara kepada siapa?
SI BAJU BIRU: Aku bicara pada Mira. Betul, tidak, Mira? Kutunggu engkau di gardu,
ya Mira?
(AWAL bangkit berdiri. Sebentar dia memandang MIRA. Kemudian
memandang SI BAJU BIRU.)
AWAL: Perlu apa kau mencampuri surat orang lain? Perlu apa?
SI BAJU PUTIH: He, Saudara marah kepada siapa?
AWAL: (Membalas dengan suara lengking gementar) Kau buat apa mencampuri
urusan orang lain?
SI BAJU PUTIH: Mencampuri apa? Gampang saja marah pada orang. Pakai otak yang
sehat, dong. Jangan gampang berkata. Dan gampang saja menyebut badut segala
macam pada orang lain.
AWAL: (Dengan tangan terkepal) Memang kau badut! Kau bukan manusia!

307
SI BAJU BIRU: (Langsung berdiri) Gila kau! Gampang saja menyebut bukan manusia
padaku.
(SI BAJU BIRU mengamangkan tinju. AWAL yang sudah mengepalkan
tangan tidak berkata lagi. Terus saja menyerbu, meninjukan kepalan
tangannya kepada SI BAJU BIRU. Tapi SI BAJU BIRU yang berbadan
besar-tinggi—jauh lebih besar dari badan AWAL—cepat menangkis dan
terus membalas dengan mengasih pukulan sengit. Sekali, dua kali, tiga
kali ia melepaskan pukulannya. Dan AWAL yang berbadan kurus itu pun
tak sanggup menahan serangan pembalasan. Jatuh ia, tersungkur ke
tanah.)
SI BAJU PUTIH: Terus hajar!
MIRA: (Berteriak memerintahkan) Sudah!
(SI BAJU BIRU tidak mengindahkan teriakan MIRA. Ia mengangkat kaki
akan menginjak badan AWAL.)
MIRA: Sudah! (Ia cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU BIRU dan
menyemburkan isi gelas ke badan SI BAJU BIRU.) Kau memang kurang ajar!
Ayo, enyah! (Dan tambahnya diarahkan kepada SI BAJU PUTIH) Kau juga
pergi! Lekas!
SI BAJU PUTIH: Lho?!
MIRA: (Berteriak) Pergi! Kalau tidak. . . .
(MIRA cepat mengambil gelas kopi susu SI BAJU PUTIH, terus beragak
akan menyemburkan isinya.)
SI BAJU PUTIH: Mira! Kau mengusir?
MIRA: Jangan banyak bicara ayo pergi!
SI BAJU PUTIH: Kami mungkin tidak akan ke sini lagi.
MIRA: Masa bodoh! Ayo pergi! Pergi!
SI BAJU BIRU: (Seraya menyepak badan AWAL dan sambungnya diarahkan
kepada kawannya) Gara-gara ini, nih! Biar kita pergi saja, mari!
(SI BAJU BIRU dan SI BAJU PUTIH terus berjalan ke arah kanan dengan
tak meninggalkan lagi sepatah kata. Sepeninggal kedua laki-laki itu, MIRA
bicara kepada ibunya yang kecemasan.)
MIRA: Bangunkan dia, Bu.
(IBU MIRA tak membantah lagi; ia memasuki pintu ke dalam rumah, tak
lama kemudian keluar dari pintu di samping rumah, ada di luar ruangan
kedai, terus mendapatkan AWAL yang terlena di tanah.)
IBU MIRA: (Seraya menggoncang-goncang badan AWAL) Den. . .Eling, Den. . .
(Tertatih-tatih AWAL yang berbadan kurus itu bangkit berdiri. Tapi setelah
berdiri, ia terus memandang MIRA yang duduk di belakang dagangan.
Memandang dengan pandangan ngeri.)
AWAL: Sampai hati kau membiarkan aku dihina orang di hadapanmu? (Lantaran MIRA
yang duduk di belakang dagangan tidak menjawab,berkata lagi ia dengan
suara mengeras.) Kau kejam! Tak sedikit juga kaumerasakan perasaanku. Tak
sedikit juga. Sudah cukup tadi mempermainkan aku dengan mendusta, sekarang
kau senang, ya, melihat aku dihina orang setelah kepercayaanku kau rusakkan di
depan orang lain? (MIRA yang duduk di belakang dagangan tetap tidak
menjawab. Dan lantaran MIRA tidak menjawab, AWAL menghampiridia.)
Mira! Kau senang melihat aku dipukuli orang? Melihat aku dihina

308
sambil tetap duduk di tempatmu? (Lantaran MIRA tidak menjawab lagi,
AWAL kian dekat menghampiri dia.) Mira! Untuk itukah kau menyuruh aku
datang di sini? Untuk merusak kepercayaanku? (Karena MIRA tidak pula
bersuara AWAL berteriak) Mira!
MIRA: Duduk, Mas, jangan bicara.
AWAL: Tidak! Aku ingin mendengar jawaban. Untuk apa kau permainkan aku,
mendustai aku, membikin aku dihina orang? Untuk apa?
(Lantaran MIRA yang duduk di belakang dagangan terdiam lagi dan tidak
mendengarkan suara, AWAL terus saja menjangkau leher MIRA dari
depan dagangan.)
AWAL: Kau rupanya senang, ya, melihat aku mati untukmu?
IBU MIRA: (Dengan cemas) Den, eling, Den. . . .
(AWAL tak mau melepaskan pegangan.)
AWAL: Kau senang membikin aku jadi korban kecantikanmu?
IBU MIRA: (Kebingungan, akhirnya melolong sekuat tenaga) To ..... tolong!
(Perlahan-lahan AWAL melepaskan cekikan. Tangannya gemetar.
Kemudian lesu ia menjatuhkan badan di atas bangku.)
AWAL: (Dengan suara berat sayup-sayup) Ya, di dalam aku gelisah, kau .......... kau
tetap tenang. . . .
(Pada saat IBU MIRA masuk lagi ke dalam ruangan kedai, datang
tergopoh-gopoh dua orang PEMUDA. Kedua-duanya berumur di bawah
20 tahun. Tergopoh-gopoh pula PEMUDA itu. Yang berjalan di muka
melahirkan pertanyaan.)
PEMUDA 1: Ada apa?
MIRA: Mengapa? Di sini tidak ada apa-apa.
PEMUDA 2: Lho? Tadi ada yang minta tolong.
MIRA: Tidak, tidak ada apa-apa. . . . (Dengan suara berlainan) Kalau mau
minum, silakan duduk.
(Kedua PEMUDA itu saling pandang.)
PEMUDA 1: (Kepada PEMUDA 2) Minum kita? (Setelah kawannya memberi
isyarat tak punya uang) Biar, lain kali saja.
(Kedua PEMUDA itu lalu mengayun kaki ke arah kiri. Tapi baru tiga
langkah, PEMUDA 1, yang berjalan di muka tadi, berhenti berjalan dan
menoleh lagi ke belakang.)
MIRA: Mengapa pula tidak? Silakan masuk!
PEMUDA 2: Lain kali saja kami datang lagi di sini.
(PEMUDA 2 terus mengajak kawannya berjalan meninggalkan kedai.
Setelah PEMUDA-PEMUDA itu tidak ada, AWAL yang duduk
membelakangi dagangan mulai bicara.)
AWAL: (Dengan suaranya yang berat) Mira, kau ..... kau memaafkan aku?
MIRA: Jangan bicara, Mas. Itu kopi susu dingin.
AWAL: Kau. . .kau larang aku bicara? Tapi orang lain kau beri hati supayabicara.
MIRA: Mereka pembeli dagangan, Mas. Dan antara kita tak ada yang mesti
dibicarakan.
AWAL: (Menegakkan kepala, memandang MIRA) Tak ada yang mesti
dibicarakan? Kau anggap di antara kita tak ada yang mesti dibicarakan?
MIRA: Antara kita tidak untuk dibicarakan. Tapi untuk dirasakan.

309
AWAL: (Seraya bangkit berdiri) Hm, jawabanmu jawaban manusia dewi, tapi sampai
mana kau merasakan perasaanku? Aku gelisah, kau tak mau tahu. Aku sakit, kau
tak acuh. Aku dihina, kau diam melihat. Tidak! Kau tidak merasakan perasaanku.
Kau menutup hatimu.
MIRA: Mas, pintu hati hanya dapat dibuka oleh hati. Dan hati saya sudahterbuka.
AWAL: Terbuka untuk mempermainkan hatiku.
MIRA: Itu menurut rasamu. Menurut rasaku, aku tidak mempermainkan.
AWAL: Kau tak merasakan rasaku!
MIRA: Itu menurut rasamu.
(Duduk lagi AWAL yang berdiri itu. Duduk dengan kepala tertunduk.)
AWAL: (Dengan suara seperti bicara pada diri sendiri) Hm ya, soal antara kita ialah
kau bukan aku dan aku bukan kau. Tapi salahkah aku, kalau aku mau merasakan
kau jadi aku?
MIRA: Itu kopi susu dingin, Mas.
AWAL: (Seraya tegak) Biar! Aku mesti bicara padamu. Selama kau bukan aku,aku
mesti bicara padamu—bicara sampai kita tak ada soal.
MIRA: Antara kita sudah tak ada soal. Apa pula yang mesti dipersoalkan?
AWAL: Kau belum menenteramkan hatiku.
MIRA: Itu menurut hatimu.
AWAL: Kau belum memberi ketegasan!
MIRA: Itu menurut pendapatmu. Bagiku semuanya sudah tegas.
(Dari kanan datang seorang LAKI-LAKI TUA, berumur lebih kurang 58
tahun, berbaju kampret dan bersarung palekat. Dan melihat kedatangan
orang tua itu, MIRA yang duduk di belakang dagangan menjadi gembira.)
MIRA: Ah, Bapak! Silakan duduk.
LAKI-LAKI TUA: Sepi sekali malam ini, Mira
MIRA: Orang rupanya sudah pada bosan datang di sini.
LAKI-LAKI TUA: (Seraya duduk di atas bangku) Masak bosan? Siapa pula bosan
datang di sini? (Sambungnya dengan muka dihadapkan kepada AWAL)
Bukan bosan, tapi sudah bulan tua, ya anak muda?
MIRA: Kopi, Pak?
LAKI-LAKI TUA: (Dengan cepat menjawab) Jangan, jangan. . .teh pahit saja. Kalau
minum kopi, nanti bisa tak tidur. Dan jika di rumah tidak bisa tidur, berat.
MIRA: Mengapa berat?
LAKI-LAKI TUA: Kalau rumah yang kudiami sekarang sebesar rumahku sebelum
peperangan dulu, tak apa aku membuka mata di rumah pada malam hari, sebab
pemandangan tak sempit. Tapi rumahku sekarang, hm, namanya saja sudah bukan
rumah, hanya cukup untuk tidur.
IBU MIRA: Tapi di zaman sekarang ini sudah umum begitu (kata IBU MIRA
seraya menyodorkan gelas teh pahit.)
LAKI-LAKI TUA: Ya, siapa yang dulu rumahnya gedung, sekarang belum tentu bisa
diam lagi dalam gedung. Dan di atas runtuhan gedung—seperti rumahmu ini,
Mira—hanya bisa didirikan rumah bambu. Tapi bagaimanapun juga, dengan
adanya kedai kopimu di sini, engkau membuat jasa banyak.

310
MIRA: Mengapa?
LAKI-LAKI TUA: Orang-orang yang merasa tak betah diam di rumah itu, di malam hari
terpaksa keluar rumah. Dan di sini bisa duduk-duduk sambil bicara-bicara
melupakan keruwetan. (Kepada AWAL) Betul, tidak, Anak Muda?
(AWAL tegak, memandang kepada LAKI-LAKI TUA.)
AWAL: Tidak. Tidak betul.
LAKI-LAKI TUA: Lho, apa tidak betulnya?
AWAL: Bapak seperti orang banyak, datang di sini untuk melupakankeruwetan?
LAKI-LAKI TUA: Ya, begitulah.
AWAL: Jadi Bapak ini seorang badut?
LAKI-LAKI TUA: Badut?
AWAL: Ya, badut. Tukang omong kosong. Bukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Bapak. . .Bapak kurang mengerti.
AWAL: Tentu saja tak akan mengerti. Kalau mengerti, tak akan saya sebut badut. Tapi
orang semacam bapak ini, di zaman sekarang ini banyak. Kalau mereka bicara,
asal saja berbunyi. Di sini, di kedai kopi bicara mereka asal saja menimbulkan
rasa suka sebentar bagi dirinya sendiri dan bagi yang dibawa bicara. Tapi orang
yang bukan badut, tentu akan menganggap Mira bukan sebagai pengusir
keruwetan.
LAKI-LAKI TUA: Jadi—jadi bagaimana mestinya kita menganggap Mira?
AWAL: Itu terserah.
(LAKI-LAKI TUA terdiam sebentar.)
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghirup teh pahit sereguk) Bapak ini sudah tua, Anak
Muda, sudah banyak mengalami pertukaran zaman. Dan menurut pengalaman
Bapak, bagaimanapun juga keadaan zaman, tapi akhir- akhirnya dalam hal
menempatkan perempuan bagi laki-laki tak ada yang lebih sempurna seperti di
zaman kebesaran Nabi Muhammad.
AWAL: (Tiba-tiba berdiri seraya katanya) Zaman kebesaran Nabi Muhammad! Hh,
enak saja bicara, seperti pernah hidup di zaman itu. Justru perkataan semacam
itulah yang mesti diberantas, perkataan asal dikatakan, Pak! Dengan omongan
Bapak itu kian jelas bahwa Bapak seorang badut, berarti tak ada gunanya bicara
dengan saya! (Langsung melangkah, berjalan ke arah kiri)
(Sejurus lamanya LAKI-LAKI TUA terdiam saja. Terdiam keheranan.)
LAKI-LAKI TUA: Siapa sih pemuda itu, Mira? Nampaknya dia pintar, tapi. . . .
MIRA: Hm, ya Hanya saya yang tahu siapa dia.
LAKI-LAKI TUA: Dan kau permainkan dia!
MIRA: Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Sebenarnya aku tadi mendengar percakapan kamu berdua. Dan aku
bertanya-tanya apakah kamu sedang berkasih-kasihan atau sedang bercakaran?
Tapi yang sudah pasti, pemuda itu nampaknyasudah kehilangan pegangan.
MIRA: Memang, dia sudah lama merindukan manusia.
LAKI-LAKI TUA: Merindukan manusia? Apa maksudmu?
MIRA: Di zaman sekarang ini, mana ada manusia. . .maksud saya, manusia yang bisa
dipercaya?

311
LAKI-LAKI TUA: Memang, Mira, sebagai orang tua, hidup di zaman setelah peperangan
sekarang ini aku pun sering bertanya-tanya: apakah dunia sekarang sudah akan
kiamat? Di mana-mana terjadi kekacauan, di mana-mana terjadi penggedoran,
perampokan, pembunuhan, seolah-olah sudah tak ada lagi cinta di antara sesama
manusia. Antara kita saling curiga, sedang para pemimpin dunia pun pada
berteriak menganjurkan damai tapi sambil bersedia-sedia akan perang lagi. Ini
semuanya menimbulkan kegelisahan. Dan kegelisahan ini kurasakanpula. Tapi
bagaimanapun juga, sebagai orang tua aku masih ada pegangan. Dan pegangan
itu ialah pegangan kita bersama, yaitu kepercayaan kepada Tuhan yang lebih
berkuasa dari manusia. Akan tetapi pemuda itu nampaknya sudah kehilangan
pegangan sama sekali. Dan itu sangat berbahaya.
MIRA: Tapi dia masih ada pegangan.
LAKI-LAKI TUA: Apa?
MIRA: Dia percaya pada saya.
LAKI-LAKI TUA: Tapi percaya padamu bukan berarti percaya kepada yang seharusnya
mesti dipercaya!
MIRA: Itu bagi Bapak, tapi bagi dia apa salahnya?LAKI-
LAKI TUA: Tapi. . .tapi kau permainkan dia? MIRA:
Siapa bilang?
LAKI-LAKI TUA: Kalau kau cinta padanya?
MIRA: Hm, apa cinta?
LAKI-LAKI TUA: (Setelah menghela nafas dan mereguk isi gelas sampai habis)
Kau ini memang orang aneh juga, Mira. Tapi ya, keanehanmu sebenarnya tak usah
kuanehkan lagi. Apa yang terjadi di depanmu memang tak aneh. Tapi sudahlah!
Aku tak akan lama mengganggu. (Bangkit berdiri, menyerahkan uang)
MIRA: Mengganggu apa? Duduk-duduk dulu.
LAKI-LAKI TUA: Aku tak akan membiarkan pemuda itu terlalu lama menunggu
kesempatan untuk dapat bicara lagi dengan kau.
MIRA: Percaya Bapak, bahwa dia akan datang lagi di sini?
LAKI-LAKI TUA: Aku sudah tua, Mira. Dan meskipun aku bukan pemuda di zaman
sekarang, tapi aku pun pernah merasakan apa yang dirasakan pemuda itu.
(Setelah LAKI-LAKI TUA pergi, MIRA menghitung uang.)
MIRA: (Seraya menghitung) Tak ada yang beres manusia yang datang di sini ini. Kalau
tidak goblok, menghina. Kalau tidak menghina, maunya mengasih kursus.
Semuanya bukan lagi manusia. Dan semuanya mesti kita ladeni. Seperti pendapatan
kita ini sama dengan gaji pembesar!
(IBU MIRA terdiam saja. Terdiam duduk mengantuk. Sekali. . .dua kali. .
.tiga kali ia menguap.)
IBU MIRA: Tadi siang aku tidak tidur, Mira. Akibatnya sekarang ngantuk.
MIRA: Kalau sudah mau tidur, tidurlah. Toh sekarang sudah malam, tak akan datang lagi
banyak tamu.
(Tidak berkata lagi IBU MIRA diam-diam memasuki pintu ke dalam rumah
dan terus tak muncul lagi. Lonceng di kejauhan terdengar berbunyi sepuluh
kali. Dan sebentar setelah itu terdengar suara lonceng yang

312
penghabisan, datang dari kiri AWAL dengan langkahnya yang terhuyung-
huyung seperti tadi. Dan seperti tadi saja, sesampai di depan kedai lama
dulu baru ia duduk di atas bangku. Duduk membelakangi dagangan.)
MIRA: Ganti kopi susunya, Mas?
AWAL: Biar, tak usah.
MIRA: Minumlah, supaya badan Mas segar.
AWAL: Hm. . .Kau merisaukan badanku, tapi rohaniku tak kau acuhkan.
MIRA: Sebab badan lebih nyata.
AWAL: Tapi hanya badut-badut yang matanya terbatas kepada jasmani.
MIRA: Maksud Mas, jasmani tidak penting?
AWAL: Datangku ke sini untuk mempersoalkan jiwa kita, Mira. Itulah soal kita.
MIRA: Tapi saya sudah bilang, antara kita sudah tak ada soal.
AWAL: Kau belum tahu keinginanku.
MIRA: Saya sudah tahu.
AWAL: Kalau sudah tahu, tentu kau sekarang mau meninggalkan kedai.
MIRA: Itu tak perlu. Lagi pula saya tak dapat meninggalkan kewajiban. (Sebentar
AWAL tegak memandang MIRA, menghela napas sekali,kemudian
menundukkan lagi kepala. Lama dulu sebelum ia
memperdengarkan lagi suara.)
AWAL: Mira, kau tahu bahwa selain dari kau, orang banyak itu bagiku tak adaartinya.
MIRA: Saya tukang kopi, Mas.
AWAL: Tapi kau dan jiwamu lain dari yang lain. Kau berisi dan bukan tidak bisamengisi
kekosongan orang lain.
MIRA: Sudah, Mas. Ini kedai kopi. Dan orang-orang menuju ke sini.
(Yang datang itu dua orang laki-laki: keduanya sebaya dengan AWAL,
datang dari sebelah kanan. Laki-laki yang berjalan di muka bercelana
pendek dan menjinjing kodak—si JURU POTRET. Dan yang seorang lagi,
seorang WARTAWAN, memakai kaca mata, tangannya memegang map
tempat surat-surat. Masih jauh mereka dari kedai, MIRA yang duduk di
belakang dagangan sudah menyambut mereka.)
MIRA: Selamat malam, Juru Potret!
JURU POTRET: Selamat malam, Mira.
MIRA: Bagaimana? Sudah selesai dengan potretku?
JURU POTRET: (Seraya duduk di atas bangku) Ini ada saya bawa. Tapi saya
perkenalkan dulu kawan saya ini. Dia wartawan.
(JURU POTRET menunjuk kepada kawannya. Si WARTAWAN itu manggut
pada MIRA)
MIRA: (Membalas manggut seraya berkata) Silakan duduk
WARTAWAN: Terima kasih.
(Si WARTAWAN terus duduk di samping kawannya. Si JURU POTRET
kemudian mengeluarkan potret dari kantung bajunya dan menyerahkan
potret itu pada MIRA.)
JURU POTRET: (Setelah MIRA melihat-lihat potret) Bagaimana? Puas kau
dengan potretmu?
MIRA: Hm, ya. . .Ini untukku?
JURU POTRET: Boleh kau simpan. Aku bikin banyak. Dan satu di antaranyasudah
diminta oleh kawan saya ini.

313
MIRA: Untuk apa?
WARTAWAN: Dalam minggu ini juga, mungkin nona akan melihat potret nona itu
dalam majalah yang saya pimpin.
MIRA: Apa saya sudah sepenting itu?
WARTAWAN: Mengapa tidak?
MIRA: Tapi saya lihat, koran-koran dan majalah-majalah di zaman sekarang lebih
mementingkan potret-potret orang resmi daripada misalnya potret seorang rakyat
biasa yang cacat badannya oleh kecelakaan, lebih mementingkan potret pembesar-
pembesar, opsir-opsir, pemimpin- pemimpin politik yang diinterpiu…
AWAL: (Tiba-tiba menyela) Lebih mementingkan orang ngomong. Sekalipun
omongan mereka asal saja mengisi halaman koran.
(Si WARTAWAN memandang kepada AWAL. Demikian juga si JURU
POTRET.)
WARTAWAN: (Seraya menghadapkan lagi muka kepada MIRA) Dari itu, majalah
yang saya pimpin itu akan memuat potret Nona, potret rakyat jelata.
MIRA: Tapi apa kepentingannya potret saya dimuat?
JURU POTRET: Oh! Belum kau sadar, Mira, bahwa kau cantik?
MIRA: Bahwa aku cantik, aku lebih tahu dari siapapun juga.
AWAL: Dan kau sudah tahu juga, Mira, bahwa jika seseorang di zaman sekarang ini
minta sesuatu padamu, itu adalah untuk kepentingan orang itu. Untuk itulah
potretmu akan dimuat dalam majalah.
(Lagi sekali si WARTAWAN menoleh kepada AWAL.)
WARTAWAN: Maaf Saudara, kita belum berkenalan.
AWAL: Dengan mendengar omongan Saudara, saya sudah mengenal jiwa Saudara. Dan
itu bagi saya sudah cukup, lebih dari cukup daripada mengenal nama atau jabatan.
WARTAWAN: Saudara! Saya rasa di zaman sekarang ini sudah bukan waktunya lagi
menempatkan diri sebagai dewa; sudah bukan waktunya lagi bicara dengan
menggunakan kata-kata yang tidak mudah dipahami orang.
AWAL: Siapa pula menempatkan diri sebagai dewa? Kalau perkataan saya tidak
dimengerti orang, bukan saya yang menempat diri sebagai dewa, tapi orang itu
yang mesti disesalkan jiwanya. Tapi di masyarakat kita sekarang, orang-orang yang
kering dan dangkal jiwanya itu banyak. Banyak sekali!
(Sebentar WARTAWAN memandang kepada kawannya. Dan jika si JURU
POTRET sudah membalas memandang kepadanya, berkata lagi ia kepada
MIRA.)
WARTAWAN: Bagaimana, Nona? Setuju, kalau potrer Nona dimuat dalammajalah
saya?
MIRA: Berapa akan saya dibayar?
JURU POTRET: Lho! Bukan kau mesti minta dibayar, Mira, tapi kau mesti
berterima kasih.
WARTAWAN: Tapi dimisalkan saya mesti membayar, berapa Nona minta?
MIRA: Seribu rupiah.

314
WARTAWAN: (Tertawa) Nona, di mana di dunia ini ada majalah yang pernah
membayar seribu rupiah untuk pemasangan sebuah potret? bahkan bintang-bintang
filem yang sudah masyhur, banyak yang menyerahkan potretnya kepada majalah
dengan begitu saja.
MIRA: Tapi saya bukan bintang filem. Dan tak mau disamakan dengan bintang filem.
JURU POTRET: (Menyela) Dari itu. . . .
MIRA: Dari itu saya minta dibayar mahal!
WARTAWAN: Begini saja, Nona, harap nona tahu bahwa majalah yang saya pimpin ini
majalah kepunyaan bangsa sendiri. Kalau Nona sudah sadar atas panggilan zaman
dan insyaf atas kewajiban sebagai bangsa, apa salahnya kita bekerja bersama-sama
untuk bangsa dan untuk tanah air yang kita cintai…
AWAL: (Seraya bangkit berdiri) Bekerja bersama-sama! Tanah air yang kita cintai!
Ayo! Apa lagi? Mengapa tidak dikatakan pula bahwa tanah air itu indah dan molek?
Biar lebih enak dikatakannya!
WARTAWAN: Saya tidak bicara pada Saudara.
AWAL: (Dengan dada naik-turun) Atas nama Mira saya minta supaya Saudara bicara
yang benar, bicara secara manusia, jangan asal berbunyi.
WARTAWAN: Betul di sini kedai kopi. Tapi lihat! Orang yang duduk di belakang
dagangan itu manusia. Manusia! Bukan boneka atau keranjang sampah yang boleh
dilempari kata-kata asal dikatakan.
AWAL: Siapa pula yang menyamakan Nona ini dengan keranjang sampah?
WARTAWAN: Siapa pula? Hh, bahwa omongan sendiri keluar dari jiwa yang picik
sudah tidak disadari! Sangkamu apa yang kau katakan tadi itu tidak merupakan
omong kosong bagi pihak yang mendengar? Sangkamu orangyang kau ajak bicara
itu mempunyai dunia yang sama dengan duniamu. .
.duniamu yang sempit picik, asal ngomong?
(Sekali lagi si WARTAWAN memandang kepada JURU POTRET. Sekali ini,
setelah kawannya balas memandang kepadanya, terus saja ia bangkit
berdiri.)
WARTAWAN: Nona, biar lain kali saja saya datang lagi.
MIRA: Tidak akan minum dulu?
WARTAWAN: Biar, terima kasih.
(Si WARTAWAN terus berisyarat kepada JURU POTRET mengajak pergi
meninggalkan kedai. Kawannya bangkit berdiri dan mengiringkan dia pergi.)
JURU POTRET: (Kepada MIRA, seraya berjalan ke arah kanan) Selamat malam,
sampai ketemu lagi, Mira.
MIRA: Selamat malam.
AWAL: (Setelah tinggal berdua) Hmm, badut-badut melulu yang datang di sini.
MIRA: Dari itu .......Mas lebih baik tinggal diam di rumah. Di sini kedai kopi.
AWAL: Tapi selama kau tak dapat kubawa, aku tak akan pergi.
MIRA: Itu menyiksa diri sendiri, nanti Mas kedinginan.
AWAL: Apa arti diri sendiri, jika ada diri lain tempat menyerahkan
kepercayaan?
MIRA: Tapi di zaman sekarang, Mas, kita mesti percaya diri sendiri, jaganpercaya
orang lain.

315
AWAL: Mira! Masyarakat kita sekarang banyak badutnya adalah karena orang tak mau
menyerahkan kepercayaan pada orang lain. Tapi aku, selama perempuan dilahirkan
ke dunia untuk jadi kawan hidup laki-laki, selama itu aku harus dan mesti
menyerahkan kepercayaan pada orang lain yang akan kujadikan kawan hidupku.
Dan bagiku sekarang sudah jelas, bahwa kau dengan duniamu yang tidak sempit
adalah manusia yang kucari-cari selama ini.
MIRA: Saya tukang kopi, Mas!
AWAL: Kau dengan jiwamu yang penuh berisi kehidupan adalah paduan dari keindahan
surga yang kuimpikan dan kepahitan dunia yang kurasakan. Kaulah ujud wanita
utama.
MIRA: Hm, kau memuji! Tapi siapa mau percaya bahwa di dunia sekarang ini ada
manusia yang lebih mencintai orang lain daripada mencintai diri sendiri?
AWAL: Siapa pula yang percaya? Engkau tidak. Aku pun tidak. Tapi untukmu, aku akan
mencoba.
MIRA: Tapi sekarang Mas lebih baik pulang. Ibu saya sudah tidur. Dan sebentar lagi
kedai ini akan ditutup.
AWAL: Kalau kedai ditutup, kau akan kubawa. Dan kalau kau tak dapat dibawa, aku
akan ikut ditutup di dalam kedai.
MIRA: Itu tidak bisa jadi.
AWAL: Kalau begitu, kedai ini jangan ditutup!
MIRA: Jadi Mas akan menyiksa orang lain? Menyiksa saya? Itukah percobaan Mas di
dalam hendak menunjukkan bahwa Mas lebih mencintai orang lain daripada
mencintai diri sendiri? (AWAL berdiam tidak menjawan) Itukah tandanya Mas
cinta? Tandanya Mas berlainan dari orang lain yang Mas sendiri namakan badut?
(Dengan suara lebih tegas karena AWAL tidak juga menyahut) Saya tahu,
Mas, saya tahu bahwa perkataan yang akan saya katakan ini bagimu tajam, lebih
tajam daripada diam saya selama ini.Tapi saya terpaksa mengatakannya. Tidak lain
supaya Mas tahu bagaimana anggapan saya terhadap Mas. (MIRA memandang
lagi kepada AWAL. Dan jika AWAL yang dipandang tetap terdiam tidak
bergerak-gerak, berkata lagi ia dengan suara tetap) Mas, apa yang kau
lakukan selama ini di hadapanku bagiku lebih membadut daripada kelakuan orang-
orang yang kau sendiri namakan badut. Kau mencela jiwa orang lain, tapi kau
sendiri merangkak-rangkak di bawah kaki mereka. Kau badut besar. Akibat
peperangan kau sudah kehilangan pegangan, kehilangan kepercayaan pada diri
sendiri. Padahal di zaman setelah peperangan sekarang, bagi kita tidak ada yang
mesti dipercaya selain diri sendiri. Tidak ada. Sungguh tidak ada!
(AWAL masih saja terdiam tidak bergerak-gerak. Tapi tiba-tiba ia
tersenyum, tersenyum pahit.)
AWAL: Kalau itu yang kau katakan, keindahan surga yang kuimpikan tinggal tetap
impian, dan kau bagiku adalah kepahitan dunia belaka. (Terus bangkit berdiri
seraya katanya lagi) Selamat tinggal, Mira!
MIRA: Mengapa selamat tinggal?
AWAL: Aku tak akan datang lagi ke hadapanmu. Dan tidak ke hadapan siapa pun juga.

316
MIRA: Hm, kamu mau bunuh diri! Mengapa kau tidak berani membunuh aku?
AWAL: Sebab aku manusia, dan bukan badut! (Terus melangkah)
MIRA: (Cepat menyusul) Aku belum habis bicara.
AWAL: Sudah, Mira! Kita sudah kebanyakan bicara, sudah kebanyakan menghambur-
hamburkan kata. Dan bagiku sudah jelas: selama kau bukanaku, tak mungkin kau
mengerti aku: selama duniamu bukan duniaku, tak mungkin kau mengetahui apa
yang tersimpan di lubuk hatiku. Tadinya aku percaya bahwa di dalam aku
merasakan ketandusan zaman sekarang, di dalam aku melihat orang-orang sudah
pada membadut, sudah pada merupakan runtuhan-runtuhan belaka sebagai akibat
peperangan, akuakan masih menjumpai cinta dalam hatimu. Cinta manusia, yang
merasakan perasaan yang dicintai. Tapi cinta semacam itu ternyata tidak ada dalam
hati siapapun juga. Tidak ada di dalam hati manusia di zaman sekarang. Juga tidak
di dalam hatimu!
MIRA: Kalau kau bunuh diri, aku pun bunuh diri!
(AWAL berhenti lagi berjalan.)
AWAL: (Seraya menoleh) Mengapa?
MIRA: Aku cinta padamu…(Dan tambahnya seraya menyapu-nyapu mata) Cinta
dengan segenap jiwa rohaniku. (Lantaran AWAL tidak menjawab,
ditambahkannya lagi dengan suara tegas) Aku cinta padamu. Tapi aku tidak
percaya cintamu padaku akan melebihi cintamu pada dirimu sendiri. Tidak! Aku
tidak percaya! Tidak percaya!
(AWAL yang akan meninggalkan kedai jadi bimbang. Tapi akhirnya ia
menghampiri lagi.)
AWAL: Jadi kau masih juga menuduhku badut? Menuduh aku sama dengan orang
banyak yang suka omong kosong di hadapanmu?
MIRA: Kalau kau cinta padaku, bunuh aku! Bunuh dengan segenap cintamu.
AWAL: Gila kau! Aku cinta padamu karena ada cita-cita, karena menginginkan hidup
bersama.
MIRA: Tidak! Kau dan aku mesti mati. Mati bersama. Sebab aku tidak percaya kau dan
aku bisa hidup bersama. Aku tidak percya cintamu padaku akan melebihi cintamu
pada dirimu sendiri.
(AWAL terdiam. Bingung.)
AWAL: (Tiba-tiba dengan suara menurun) Mira, mari kita tinggalkan kedai ini.
Kita bicara di alam luas, di bawah cahaya bintang.
MIRA: Bicara di bawah cahaya bintang memang nikmat. . . .
AWAL: Ya, mari kita pergi.
MIRA: Tapi saya tak dapat meninggalkan kewajiban sebagai tukang kopi. (Mendadak
tegak lagi AWAL yang sudah mengendurkan suara itu. Tegakdengan
tangan terkepal.)
AWAL: (Dengan suara mengeras) Mira! Mengapa kau terikat benar oleh kedaimu
ini? Mesti kuhancurkan kedai ini untuk membuktikan bahwa kau bagiku bukan
tukang kopi?
MIRA: Mas, jangan mencoba pula hendak menimbulkan kepercayaan dalam hatiku
dengan mengatakan yang bukan-bukan. Kedaiku ini duniaku. Dan kedaiku ini kuat.
Sedangkan tenaga jasmanimu lemah.
AWAL: Katakanlah, Mira, bahwa kau mau kubawa hanya jika kedai ini kubongkar!

317
MIRA: Kau tak akan mempunyai tenaga sampai ke sana. Dan jika kau mengatakan sanggup
membawa aku dari sini dengan membongkar kedai ini, itu hanya omong kosong
belaka. Omong kosong seperti orang banyak.
AWAL: Bilanglah tidak percaya!
MIRA: Bagaimana saya mesti percaya, kalau bagi saya di dunia sekarang ini sudah tidak ada
lagi yang mesti dipercaya?
(AWAL tidak membalas lagi. Tangannya yang sudah dikepalkan terus saja
dijangkaukan kepada meja dan rak dagangan yang menghalangi dia dan
MIRA. Kemudian meja dan rak dagangan itu digoncang-goncang,direnggut-
renggut dan diangkat-angkat. Dan barang-barang dagangan pun berjatuhan.)
MIRA: Sudah, Mas. . .Kau kemasukan.
(Tapi AWAL terus merenggut-renggut meja dan rak dagangan. Terus
mengeluarkan tenaga. Dan terus mengeluarkan tenaga. Dan napasnya
megap-megap. Keringat keluar.)
MIRA: (Sambil menyapu-nyapu matanya) Sudah, Mas, sudah. . .Kau capek. (Tapi
AWAL seperti tidak mendengar. Ia terus mengeluarkan tenaga.Terus
berusaha membongkar meja dan rak dagangan. Akhirnya meja danrak
dagangan itu pun terbongkar. Tapi AWAL jatuh. Tangannya berdarah.Dan
jika dia bangkit lagi, sempoyongan ia berdiri. Dan napasnya pendek-
pendek.)
AWAL: (Terengah-engah) Ma. . .mari, Mira. . .Ke. . .keluar!
(MIRA bangkit berdiri, terus berjalan ke luar kedai, mendapatkan AWAL.
Berjalan dengan menggunakan kruk pada kedua ketiaknya. Dan melihat itu,
AWAL yang sudah bernapas pendek-pendek itu mundur. Tangannya yang
berdarah meraba kepalanya. Matanya yang berkeringat dikedip- kedipkan.)
AWAL: (Hampir tidak kedengaran) Oh. . . .
(AWAL mundur lagi, mundur dengan langkah sempoyongan akan jatuh.)
MIRA: (Seraya menyapu-nyapu air mata di pipi) Ya, Mas, inilah kenyataanku. Kakiku
dua-duanya buntung. Buntung karena peperangan. Tapi lantaran inilah, Mas, lantaran
ke atas aku cantik dan ke bawah aku cacat, aku bagimu merupakan paduan dari
keindahan surga yang kau impikan dan kepahitan dunia yang kau rasakan. .
.merupakan wanita utama. Tapisekarang. . . .
(AWAL yang berbadan kurus itu mundur lagi. Dan mundur lagi.
Tangannya yang gemetar berdarah diacuhkan. Mulutnya menganga.)
AWAL: (Hampir tak kedengaran) Mi… (Tiba-tiba memekik) Mi…Miraaaaaaaaa!
(Langsung jatuh telungkup)
(MIRA segera mendapatkan. Badan AWAL yang kurus itu dirangkulnya.)
MIRA: (Seraya mengisak) Aku tahu, Mas…Aku tahu bahwa kau tak akan dapatmencapai
cita-citamu. Tapi kau bagiku, Mas…Kau bagiku adalah satu-satunya manusia yang
mesti kumuliakan. Kau dengan kejujuranmu sudahmenumbuhkan cinta dan
menimbulkan kepercayaan baru salam hatiku. (Dan setelah itu, di depan kedai kopi
yang sudah rusak berantakan itu punsunyi. Yang kedengaran hanya isakan
MIRA.)

Tamat

318

Anda mungkin juga menyukai