Anda di halaman 1dari 41

POLICY BRIEF

PERSI PUSAT
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia

Dr. R. Koesmedi Priharto, SpOT, FICS, FAPOA


Highlight
Lex Spesialis Pajak Obat
UU RUMAH adalah LEX Pajak Obat Rawat Jalan
SPESIALIS

Pembiayaan JKN Rujukan


Pembiayaan JKN Rujukan Layanan Kesehatan

PERSI PERSI
Selisih BIAYA Standar Layanan & Kelas
Selisih Biaya dalam Layanan Standar Layanan Kesehatan
JKN dan Kelas Standar

Obat & ALKES Penyakit Katastrofik


Obat dan Alat Kesehatan Penyakit Katastrofik
Highlight
Mutu Layanan Sengketa Medik
Mutu layanan Kesehatan Penyelesaian Sengketa Medik
di RS

Regulasi Layanan di Era


JKN Fraud
Regulasi layanan JKN Pengaturan mengenai Fraud

PERSI PERSI
Hospital BASE Telemed & Keamanan Data
Selisih Biaya dalam Layanan Keamanan data, rekam medis
JKN dan telemedicine

Perlindungan Disharmonisasi Regulasi


Perlindungan bagi Rumah Sakit, Disharmonisasi regulasi
tenaga medis dan tenaga
Kesehatan di RS
PENGATAR
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia

Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada tahun 2023 ini
akan memasuki usia 45 tahun Jumlah Rumah Sakit di Indonesia per April
2023 adalah 3074 dan kira-kira sekitar 80% Rumah Sakit anggota PERSI
sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dalam suatu Perjanjian Kerja
Sama yang menghormati azas kesetaraan.
Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) pada tahun 2023 ini akan memasuki
usia 45 tahun dan telah berhimpun 18 Asosiasi Perumahsakitan mencakup Rumah Sakit Publik
dan Rumah Sakit Privat. Rumah Sakit telah menjadi anggota PERSI yang tersebar di seluruh
Indonesia pada tahun 2023 telah mencapai 2.695 dari total 3.074 Rumah Sakit di Seluruh
Indonesia ditopang dengan 32 Pengurus PERSI Wilayah.

PERSI merupakan organisasi berbadan hukum sebagaimana pengesahan Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-290.AH.01.07 tahun 2013. Berdasarkan
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No: HK.02.02/MENKES/252/2016, PERSI
merupakan perwakilan Asosiasi Rumah Sakit se-Indonesia dalam program Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Sebagai organisasi yang menghimpun Rumah Sakit Seluruh Indonesia, maka
PERSI sangat peduli dengan anggotanya dalam mengemban amanah Undang-Undang Nomor
44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang di akan dihapus dan dinyatakan tidak berlaku dalam
Rancangan Undang-Undang (RUU) KESEHATAN.

Bahwa PERSI sangat menyayangkan dengan akan dicabutnya Undang-Undang Nomor 44


tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang telah berlaku sebagai Lex spesialis dalam regulasi
penyelenggaraan perumahsakitan dalam RUU KESEHATAN.
Fungsi Rumah Sakit
Pasal 2 & 3 UU No 44 Tahun 2009 tentang RS

Fungsi & Tujuan


Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan
kepada nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat,
keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan,
perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial,
yang bertujuan:

1. Mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan


pelayanan kesehatan;
2. Memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien,
masyarakat, lingkungan Rumah Sakit dan sumber daya
manusia di Rumah Sakit;
3. Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar
pelayanan Rumah Sakit; dan
4. Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat,
sumber daya manusia Rumah Sakit, dan Rumah Sakit.
Ketimpangan jumlah dan
sebaran fasyankes dan
tenaga kesehatan

10 TAHUN PERJALANAN JKN

Selama 10 (sepuluh) tahun perjalanan JKN


di Indonesia banyak dinamika yang terjadi
di lapangan, tidak hanya masalah issue
“kecukupan iuran dalam membiayai
manfaat JKN” yang berdampak pada
pelayanan rumah sakit, tetapi juga
menghadapi masalah regulasi yang dirasa
terlalu banyak dan sering berganti-ganti
dan bahkan sering terjadi disharmoni di
antara regulasi, serta ketimpangan jumlah
dan sebaran fasilitas beserta tenaga
kesehatan.
Undang2 SJSN yang diterbitkan pada tahun 2004 ( UU no 40
tahun 2004
Terimplikasi 1 Januari 2014 sampai sekarang masih belum
sempurna ,
perlu perbaikan disana sini

• Mekanisme pembiayaan

• Administrasi

• Verifikasi

Maka kita perlu berbenah dengan masif untuk


menyempurnakan
1.
PEMBIAYAAN JKN
Menetapkan jenis dan tingkat iuran JKN dengan mempertimbangkan faktor kemampuan membayar iuran seluruh pemangku
kepentingan terdiri: APBN (PBI), perusahaan dan pekerja mandiri atau Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU).

Dalam pasal 27 RUU Kesehatan disebutkan:


(1) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Peserta penerima upah, Peserta bukan penerima upah, dan Peserta bukan pekerja
ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari upah atau pendapatan rumah tangga seseorang.
(2) Besaran iuran jaminan kesehatan untuk Peserta penerima bantuan iuran ditetapkan sebesar rata- rata besaran iuran per orang
per bulan bagi Peserta penerima upah.

Usulan/rekomendasi: diberi Batasan Persentase maksimum (bukan Batasan tertentu), usulan : Maksimal 7,5 %
upah

Dalam pasal 15 (hlm 216) RUU Kesehatan disebutkan:


(1) Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan
program jaminan sosial yang diikuti.
(2) Dalam hal Pemberi Kerja tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pekerja berhak
untuk mendaftarkan diri sebagai Peserta atas tanggungan Pemberi Kerja.

Usulan/rekomendasi: disesuaikan dengan kesepakatan dan perjanjian kerja

Bahkan ada pasal yang terkesan sangat memaksa dan menyulitkan;


Pasal 11 (hlm 214) yang memberikan kewenangan kepada BPJS Kesehatan untuk melaporkan “melaporkan Pemberi Kerja
kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi
kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”

Usulan/rekomendasi: Mengedepankan sanksi administratif


PEMBIAYAAN JKN
Bahkan Pemberi kerja tidak dapat memutuskan bila belum ada Putusan Pengadilan atau Keinginan sendiri pekerja, akan
menyulitkan pemberi kerja. Disebutkan dalam pasal tambahan 15 A:

“Pemberi kerja tidak dapat menghentikan kepesertaan Pekerja pada BPJS tanpa ada putusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap atau permintaan dari Pekerja itu sendiri.”

Usulan/rekomendasi: dihapus

Dana Jaminan Sosial Kesehatan merupakan dana wali amanah yang dapat memiliki sumber lain yang diatur pemerintah, seperti
melalui peningkatan pajak rokok, peningkatan pajak perpanjangan STNK kendaraan bermotor dengan ketentuan
tertentu/peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal 11 RUU Kesehatan,


Usulan/rekomendasi: sebaiknya ditambahkan kewenangan BPJS Kesehatan; “Menerima pembagian hasil
alokasi pajak dari pajak rokok, perpanjangan STNK, pajak, dan lain-lain yang dipergunakan untuk
pemenuhan akses pelayanan kesehatan dan pemberiaan insentif bagi fasilitas pelayanan kesehatan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan”

Agar iuran ASN 5% dikaji ulang, dengan mengubah penghitungan iuran dari gaji pokok dengan tanggungan sampai 5
anggota keluarga, dinaikkan menjadi 6% gaji take home pay. Sebagai referensi pembanding disampaikan bahwa dalam
pengalamanan program ASKES, tingkat iuran 5% gaji pokok yang ditanggung adalah empat jiwa disamping pemberlakuan
PEMBIAYAAN JKN
Disamping menaikkan iuran PBPU, juga dilakukan perbaikan data PBI mengingat iuran tersebut dibiayai
APBN melalui anggaran sektor kesehatan melalui Kementerian Kesehatan. Disampaikan pula bahwa
retensi (kolektibilitas) PBPU sangat rendah hanya 54%.
Agar klaim pembiayaan yang telah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada Rumah Sakit yang telah
memberikan pelayanan kesehatan dan telah melalui proses verifikasi internal Tim BPJS Kesehatan, maka
tidak ada kewajiban untuk dilakukan pengembalian dengan hanya beralasan hasil audit internal tanpa
melalui adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inch act).

Besar anggaran kesehatan Pemerintah Pusat minimal sebesar 10 % (sepuluh persen) dari anggaran
pendapatan dan belanja negara di luar gaji

BPJS adalah lembaga pelaksana jaminan kesehatan nasional agar terpadu dalam program penyelenggaran
kesehatan nasional dalam perencanaan, pelaksanaan, dan fungsi kontrol pemerintah, BPJS bertanggung
jawab kepada presiden melalui Menteri Kesehatan.
Selisih BIAYA
1. Menambahkan klausul pasal tambahan tentang selisih biaya atas pelayanan kesehatan yang dilakukan
atas permintaan sendiri tidak hanya peningkatan mutu akomodasi tetapi juga peningkatan mutu
pelayanan medis.
2. Saat ini selisih biaya hanya untuk peningkatan mutu akomodasi saja seperti rawat jalan eksekutif atau
naik kelas perawatan pada manfaat rawat inap. Maka PERSI mengusulkan juga ada selisih biaya untuk
manfaat medis. Misal sudah ditetapkan menggunakan standar lensa standar untuk pasien katarak,
dapat meningkatkan manfaat dengan membayar selisih biaya menggunakan lensa premium yang lebih
baik kualitasnya dengan membayar selisih biaya dengan harga yang sudah ditetapkan.
3. Agar kebijakan selisih biaya dilakukan melalui harmonisasi regulasi dan tetap diperbolehkan
disebutkan dalam UU bagi masyarakat yang mampu dan menginginkan fasilitas serta pelayanan untuk
memenuhi keinginan dan kebutuhan medis pasien.
4. Mengenai COB (coordination of benefit), maka PERSI mengusulkan pembayar pertama adalah dari
perusahaan asuransi swasta bukan BPJS Kesehatan. Selisih biaya bisa dibayarkan individu,
perusahaan, atau asuransi kesehatan swasta.
TARIF INACBGS
1. Menaikkan tarif INA CBG setiap tahun, mengikuti kenaikan inflasi, kenaikan UMR/UMP, mengikuti indeks kemahalan daerah (regionalisasi
ditambah).
2. Mendorong Pemda agar lebih aktif dan produktif dalam menjalankan fungsi monitoring dan evaluasi pelaksanaan JKN di tingkat daerah.
3. Program Supply Change Financing (SCF) dengan ketentuan:
a. Persyaratan ringan
b. Bunga SCF dan biaya lainnya dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan ke bank
c. Tagihan rumah sakit yang sudah terverifikasi BPJS Kesehatan cair dari bank ketika jatuh tempo
d. RS tidak perlu berharap pada denda keterlambatan pembayaran dan BPJS Kesehatan tidak perlu terbebani denda keterlambatan
pembayaran ke rumah sakit
e. Pemerintah menugaskan bank pemerintah (BUMN) untuk SCF
f. Program JKN adalah program Negara, sudah semestinya Negara hadir untuk menutupi defisit JKN, biarlah urusan defisit menjadi usuran
BPJS Kesehatan dengan bank pemerintah (government to government) tidak perlu menjadi hiruk pikuk dan diskusi yang tiada ujung
4. Menunjuk verifikator independen untuk memverifikasi tagihan dari RS.
5. Menjadikan:
a. Kementerian Kesehatan sebagai juru atur
b. BPJS Kesehatan hanya sebagai juru bayar
c. Faskes sebagai juru layan
6. Membuka akses e-katalog dan e-purchasing yang sama antara Rumah Sakit Pemerintah dan Rumah Sakit Swasta.
7. Mendirikan bulog obat dan alat kesehatan guna mengatasi kelangkaan obat dan alat kesehatan.
8. Segera mengesahkan Pedonam Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) yang telah diusulkan oleh Organisasi Profesi bersama Asosiasi
Perumahsakitan (PERSI) yang diberlakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan sarana prasarana rumah sakit serta memperhatikan
rumah sakit kecil dengan keterbatasan SDM serta sarana prasarana.
Bukan hanya tarif tetapi pengertian
pengertian dibalik pembiayaan seperti

Diagnostik Penatalaksanaan mulai


pengobatan Tindakan sampai dengan
pemantauan hasil Tindakan perlu dibahas
secara mendalam untuk Kesembuhan
penderita sampai tehnologi 2 modern
untuk perkembangan Pengobatan didalam
negeri.
Obat dan ALKES
1. Pemerintah harus menjamin ketersediaan obat dalam jumlah yang cukup dan harga yang
terjangkau
2. Membuka akses e-katalog dan e-purchasing yang sama antara Rumah Sakit Pemerintah dan
Rumah Sakit Swasta.
3. Perlu dikaji adanya badan khusus yang menangani produksi dan distribusi obat seperti Bulog obat
4. Perlu ditingkatkan riset dan pengembangan ketersediaan bahan baku obat dalam negeri sehingga
tidak tergantung pada impor
5. Pemerintah harus menjamin ketersediaan Dana Jaminan Sosial, agar ketersediaan obat sesuai
kebutuhan tidak terganggu
6. Segera dikembangkan sistem yang terintegrasi agar bisa dipakai sebagai data dalam perencanaan
kebutuhan obat secara nasional.
7. RKO harus valid dan tepat waktu, Pembayaran klaim rumah sakit lancar dan tepat waktu
Pajak (PPN) Obat Rawat Jalan

1. Menambahkan pasal tentang insentif pajak atau pengurangan pajak bagi obat – obatan
yang dibeli melalui e-katalog

2. Dirjen Pajak segera membuat edaran ke seluruh Kantor Pelayanan Pajak bahwa obat dan
alkes di rawat jalan khusus pasien JKN bebas PPN
Obat dan alkes merupakan satu bagian
dari rangkaian pengobatan, Seharusnya
tidak dibebani pajak yang tinggi
sehingga membuat Biaya pengobatan jadi
mahal, termasuk menghambat penyembuhan
penderita dan Menghambat kemajuan
perkembangan ilmu kedokteran di negeri
ini
Rujukan Layanan Kesehatan
1. Agar penerapan rujukan berjenjang dilakukan secara bertahap berdasarkan kesiapan wilayahnya. Untuk mewujudkan sistem rujukan berjenjang yang baik,
peran Pemda sangat diperlukan.
2. Perlu dilakukan analisis data ASPAK maupun HFIS oleh Pemerintah daerah dan BPJS Kesehatan setempat dengan melibatkan asosiasi profesi/faskes yang
ada, guna membuat suatu sistem rujukan berjenjang yang efektif dan efisien, mudah dan dapat diterima peserta, termasuk peserta di dekat batas wilayah
yang perlu penerapan prinsip portabilitas.
3. Kita semua berharap agar Sistem Rujukan Terpadu (SISRUTE) yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan yang konon lebih unggul dengan sistem
rujukan on line yang ada, segera bisa ditetapkan dan diundangkan.
4. Peninjauan iuran dengan kebijakan relaksasi yaitu memberikan pilihan bagi perusahaan sesuai dengan kondisi cash flow dan peraturan perusahaan masing-
masing, sebagai berikut:
a. Pilihan mengurangkan beban iuran JKN, yaitu perusahaan dapat memilih dengan tingkat iuran karyawan 0,5% dan perusahaan 2,5% upah dengan
manfaat kelas-3; dan untuk memenuhi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau peraturan pada saat karyawan/keluarganya membutuhkan operasi dan
atau rawat inap di Rumah Sakit, perusahaan dapat menggunakan kelas lain dengan membayar langsung ke Rumah Sakit dan atau menggunakan
manfaat polis asuransi.
b. Bagi perusahaan dengan karyawan lebih dari 50% bujangan, diberi kesempatan membayar iuran bujangan 3% upah.
5. Kementerian Kesehatan mengeluarkan kebijakan untuk menggunakan aplikasi Sistem Rujukan terpadu (Sisrute) untuk memfasilitasi rujukan pasien antar
FKRTL, dan mengeluarkan Permenkes No. 47 tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan, dimana kriteria kegawatan yang disebutkan adalah:
• Mengancam nyawa, membahayakan diri dan orang lain/lingkungan
• Adanya gangguan pada jalan nafas, pernafasan, dan sirkulasi
• Adanya penurunan kesadaran;
• Adanya gangguan hemodinamik;dan/atau
• Memerlukan segera.
1. Belum adanya standar nasional tata kelola fasilitas kesehatan dan tata kelola klinis (good corporate and clinical governance), dan masih banyak Komite
Medis Rumah Sakit belum berperan aktif dalam mengawal dan mendorong penerapan good clinical governance. Dalam rangka memperkuat sistem rujukan
benjenjang diusulkan agar peran Komite Medis lebih dioptimalkan.
Rujukan Layanan Kesehatan
7. Menghargai hak pasien untuk menentukan faskes pilihannya, sepanjang sesuai dengan kebutuhan
medisnya. Ada penerapan urun biaya bagi yang memilih langsung rumah sakit dengan kelas yang lebih
tinggi dari yang ditetapkan, atau yang berada di luar wilayahnya (prinsip portabilitas).
8. FKRTL dengan tingkat pencapaian akreditasi rumah sakit yang lebih tinggi, secara sistem mendapat
prioritas tujuan rujukan. Ini diperlukan untuk memacu peningkatan mutu rumah sakit
9. Optimalisasi aplikasi mobile JKN, terintegrasi dengan aplikasi Aplicares-HFIS, sehingga peserta dapat
melihat dan menentukan pilihan faskes rujukan sesuai dengan kriteria yang masuk dalam daftar rs
rujukan.
10. Program rujukan berjenjang belum bisa diterapkan di seluruh Indonesia secara serentak, karena
distribusi Faskes dan Nakes berdasar kompetensinya sesuai jejaring rujukan berjenjang belum ideal.
11. Perlu dikembangkan rujukan parsial berupa pemeriksaan kesehatan dan jejaring konsultasi kasus ke
FKRTL yang memiliki kompetensi.
12. Berikan kepercayaan kepada BPJS Kesehatan untuk mengatur dan mengelola JKN secara luas sesuai
amanat Undang-Undang SJSN, sehingga menghilangkan kesan adanya kementerian JKN.
Rujukan berjenjang memang harus dilakukan ,
akan tetapi tidak harus semua kelas rumah sakit harus dilalui
,hal ini akan membuat pembiayaan pengobatan menjadi mahal.

Selain itu faktor geografi di negara kita bukan hal yang mudah
Untuk diatasi , untuk itu sebaiknya masing-masing daerah membuat
Sistem rujukan di daerah disesuaikan dengan keadaan daerahnya.

Membuat sistem rujukan Kesehatan tidak bisa hanya diselesaikan


Oleh kita-kita dikesehatan , perlu kebersamaan termasuk
pemberdayaan masyarakat
Standar Layanan & Kelas Standar
Usulan/rekomendasi:

1. Tidak ada pengertian/definisi tentang KESEMBUHAN, kebutuhan dasar, belum pernah dijelaskan
dan didefinisikan dalam ketentuan peraturan perundangan sehingga menimbulkan penafsiran yang
bermacam-macam.
2. Menghapuskan frasa “kesembuhan” dengan diganti dengan “sesuai standar profesi, standar
pelayanan Kesehatan dan standar prosedur operasional”.
3. Rumah sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis peserta/pasien
sesuai standar pelayanan, standar prosedur operasional dengan tetap memperhatikan mutu dan
keselamatan pasien (Mutu menurut WHO: efektif, efisien, berorientasi pada pasien, waktu
pelayanan, adil, keselamatan pasien dan terintegrasi).
4. Kiranya tidak perlu tergesa – gesa dalam memberlakukan kelas standar bagi rumah sakit tetapi
dilakukan secara bertahap.
5. Kelas standar tidak hanya berfokus pada standar fisik bangunan saja tetapi juga standar SDM dan
sarana prasarana sesuai dengan standar pelayanan Kesehatan.
Mutu layanan dan SDM
Usulan/rekomendasi:
1) Untuk menjadi kepala/direktur rumah sakit harus seorang tenaga medis yang memahami manajemen rumah sakit.
2) Menambahkan dalam pasal 182 ayat (3) pemilik rumah sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala rumah sakit.
3) Satuan Pengawas Internal (SIP) tetap ada dan tidak perlu dihilangkan dalam RUU
4) Audit pelayanan kesehatan dalam pasal 311, namun tidak jelas disebutkan dalam pengertian dan penjelasan,
dengan menghilangkan fungsi komite medis dalam melakukan audit medis dan audit kinerja oleh SPI RS (pasal 39,
49, dan, 74 UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit)
5) Pengelolaan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) berbentuk kelembagaan berupa Perangkat Daerah bukan sebagai
UPT (merubah pasal 181)
6) Layanan kesehatan tradisional yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tradisional selain diwajibkan memiliki SIP dan
STR juga wajib dilakukan monitoring dan evaluasi serta pembinaan dan pengawasan demi keselamatan pasien.
7) Dalam rangka pelaksanaan kegiatan kendali mutu, sarana pelayanan kesehatan dilakukan akreditasi oleh lembaga
akreditasi independen, untuk setiap 3 (tiga) tahun sekali.
8) Penyelenggara sistem informasi kesehatan melaksanakan tata kelola yang mendukung pelayanan, mutu pelayanan,
kerahasiaan data, dan informasi yang harus di rahasikan menurut peraturan, dan dilaksanakan oleh tenaga ahli yang
kompeten sesuai bidangnya.
9) Tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melaksanakan pelayanan di masa wabah berhak menolak pasien yang
tidak mendapatkan mentaati ketentuan pemerintah, sepeti vaksinansi, alat pelindung diri, maupun ketentuan
pemerintah lainnya.
Regulasi Kesehatan di Era JKN
Usulan/rekomendasi:
1. BPJS Kesehatan tetap hanya sebagai Badan “PENYELENGGARA”, seharusnya tidak diberi kewenangan sebagai
“REGULATOR” dan “YUDIKATOR”, peran sebagai regulator dan yudikator harus dihilangkan dan dikembalikan
kepada Lembaga masing – masing (kementerian Kesehatan dan kemenkumham).
2. Pepres No. 82 tahun 2018 perlu direvisi dengan mengakomodir saran dan masukan dari Asosiasi perumahksakitan.
3. Menghilangkan kewenangan pengawasan, dan evaluasi dalam pasal 24.
4. Menghilangkan kewenangan dalam pasal 11 RUU Kesehatan (hlm 213), diantaranya:
a. Menghapus kewenangan ayat (1) huruf c: melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta
dan pemberi kerja.
b. Menghapus kewenangan ayat (1) huruf e: membuat atau menghentikan kerja sama dengan fasilitas Kesehatan
(karena bertentangan dengan pasal 23 RUU Kesehatan).
c. Menghapus kewenangan ayat (1) huruf f: mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja
yang tidak memenuhi kewajibannya.
d. Menghapus kewenangan ayat (1) huruf h: melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
5. BPJS Kesehatan bertanggungjawab kepada Menteri Kesehatan dan tunduk terhadap peraturan yg telah dibuat oleh
Menteri Kesehatan sesuai pasal 7 ayat (2)
Standar layanan , kelas layanan juga harus diperbaiki
dengan melibatkan
Seluruh stakeholder yang akan berkolaborasi .

Sistem pembangunan tempat-tempat layanan Kesehatan


peralatan termasuk SDM Kesehatan yang merupakan ujung
tombak pelayanan.

SDM untuk dibentuk kemudian didistribusikan bukan hal


yang mudah Perlu perencanaan dan pendukung termasuk
pendapatan bagi mereka Sebagai amunisi kehidupannya

Remunerasi sistem pemberian saleri harus disusun


secara bersama
Perlindungan Hukum
Usulan/rekomendasi:
1. Perlindungan terhadap tenaga kesehatan, perlindungan hukum terhadap pengelola Rumah Sakit sangat
penting dan perlu diatur tersendiri.
2. Mengedepankan asas ultimum remedium (apabila suatu perkara dapat ditempuh jalur lain seperti
mediasi dan hukum perdata ataupun hukum administratif hendaklah ditempuh sebelum mengenakan
hukum pidana).
3. Permasalahan sengketa medik wajib dilakukan MEDIASI (bukan alternatif penyelesaian sengketa,
sebagaimana disebut dalam pasal 327)
4. Permasalahan sengketa medik dilakukan melalui Lembaga/Badan Arbitrase Medik yang putusannya
bersifat final and banding.
5. Tenaga Medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik secara legal, punya SIP, praktik sesuai
standart profesi, standar pelayanan profesi, SOP, etik serta kebutuhan kesehatan pasien, tidak dapat
dituntut secara pidana dan/atau perdata.
6. Pengaduan Tenaga medis atau tenaga kesehatan kepada majlis dalam rangka penegakan disiplin dengan
dugaan kesalahan dalam pelayanan kesehatan tidak dapat dilaporkan untuk kasus pelanggaran
hukumnya, sebelum terbukti dan ada keputusan dari majlis penegakan disiplin, dan terbukti ada
pelanggaran hukumnya.
Penyelesaian Sengketa Medik

Usulan/rekomendasi
1. Perlu ditambahkan pengertian sengketa medik
2. Mengedepankan asas ultimum remedium (apabila suatu perkara dapat ditempuh
jalur lain seperti; mediasi dan hukum perdata ataupun hukum administratif
hendaklah ditempuh sebelum mengenakan hukum pidana)
3. Permasalahan sengketa medik wajib dilakukan MEDIASI (bukan alternatif
penyelesaian sengketa, sebagaimana disebut dalam pasal 327)
4. Permasalahan sengketa medik dilakukan melalui Lembaga/Badan Arbitrase Medik
yang putusannya bersifat final and binding.
Hukum kesehatan adalah hukum lex Spesialis Derogat legi generalis
Tidak satu tenaga Kesehatan yg mempunyai keinginan untuk
tidak menyembuhkan pasien, atau mencelakai pasien sampai membuat
Pasien tidak sembuh, atau cacat
.
Aturan di RS diatur dengan pemantauan kompetensi oleh profesinya,
Dibuat tata laksana yang dibuat secara ketat dan di update setiap saat
sesuai dengan kemajuan teknik pengobatan terbaru, mereka harus
senantiasa
Mengupgrade skill dan pengetahuannya baik sesama profesi ataupun antar
profesi.

Rumah sakit atau tempat pelayanan pasien pun selalu dipantau dengan
aturan 2 , SOP pelayanan , safety untuk pasien sampai dilakukan
pengawasan melalui akreditasi
Agar standar dan mutu layanannya tetap terjaga

Bila akhirnya hukum Kesehatan akan dirobah. Pasti kita tetap berjuang
dengan jalan apapun

Hospital by law, medical by law, nursing by law harus disempurnakan


untuk melindunginya
Pengaturan Utuh terkait FRAUD
Usulan/rekomendasi:

1. Diharapkan segera dapat disusun UU tentang pencegahan tindakan kecurangan


pada Program Jaminan Kesehatan Nasional.
2. Pengaturan delik pidana kecurangan atau fraud hendaknya ditempatkan sebagai
ultimum remidium yaitu sanksi pidananya hanya akan ditegakan apabila upaya
penegakan sanksi admintratif tidak berjalan efektif atau menemui kegagalan.
3. Sambil menunggu tersusunnya UU tentang pencegahan tindakan kecurangan,
diusulkan perbaikan defenisi dan pengertian kecurangan atau fraud yang tertuang
dalam Peraturan Presiden no 82/2018 dan Permenkes no 36/2015 jo Permenkes
No 17/2019 untuk meminimalisir multi tafsir.
Disharmonisasi Peraturan

Usulan/rekomendasi:
Melakukan sinkronisasi semua regulasi yang telah dikeluarkan sebelum berlakukan UU Kesehatan ini
dengan melibatkan unsur profesi, dan asosiasi perumahsakitan.
Sistem layanan BPJS juga senantiasa ikut menjaga mutu layanan,
Memantau layanan-layanan yang diberikan oleh dokter dan
petugas lainnya.

Big Data yang kita input dalam sistem yang terhubung akan
mudah Melakukan Analisa-analisa akibat tidak kesesuaian
layanan yg dilakukan.

ini akan mudah terdeteksi , berbagai bentuk fraud yg mungkin


tidak diketahui atau Mempunyai niat yg jelek akan mudah
dideteksi, maka kita harus betul Bisa mengendalikan Tindakan-
Tindakan yang sesuai termasuk kendali mutu kendali biaya
Hospital Base
Usulan/rekomendasi:

1. Tidak menghapus pasal 30 ayat (1) huruf h di dalam UU No 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dalam RUU
Kesehatan yang berbunyi: mendapatkan insentif pajak bagi Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit yang ditetapkan
sebagai Rumah Sakit Pendidikan.
2. Persi Memandang bahwa semua bentuk RS dapat menyelenggarakan Pendidikan baik University based maupun
hospital based, setelah memenuhi persyaratan perundangan yang berlaku dan tidak melaksanakan dua basic
sistem yang sama pada satu rumah sakit.
3. Dalam pasal 183, point 3, yang dimaksud dengan menyelenggarakan pendidikan mandiri tidak jelas, dengan
syarat telah melaksanakan AHS?, sedangkan standar AHS nya sendiri tidak jelas, perlu dipikirkan maksud dari
pasal tersebut.
4. Rumah sakit yang menyelenggarakan pendidikan, sebaiknya adalah rumah sakit yang memiliki kualitas layanan
yang sudah baik.
5. Rumah sakit yang menjadi tempat Pendidikan harus dapat mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan,
keselamatan pasien dan tetap bisa tumbuh serta produk pelayanan tetap bisa dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya juga ada penerapan system penjaminan mutu pendidikan, menjaga jumlah dan kulitas dosennya,
serta proses belajar mengajar. Untuk itu harus ada standar dan persyaratan untuk RS yang akan menjadi RS
Pendidikan/digunakan untuk Pendidikan.
6. Sebaiknya impementasi Hospital base diperuntukkan penyelenggaraan pendidikan fellowship yang belum
mempunyai prodi terlebih dahulu.
Hospital Base
Usulan/rekomendasi:

7. Baik Pendidikan berbasis universitas atau RS harus mempunyai standar kurikulum yang setara, standar proses belajar
yang setara sehingga akan didaptakan produk mutu Pendidikan yang setara
8. Menambahkan 1 (satu) ayat dalam pasal 183 RUU Kesehatan terkait pendanaan untuk penyelenggaraan fungsi Rumah
Sakit Pendidikan. Sehingga Pasal 183 menjadi 3 (tiga) ayat dan ayat (3) berbunyi : “Seluruh pendanaan untuk
penyelenggaraan fungsi Rumah Sakit Pendidikan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah, baik pendanaan untuk peserta
didik, maupun pengembangan Dosen serta pengembangan sarana prasarana penunjang proses pendidikan, menjadi
tanggung jawab Pemerintah cq pemilik Rumah Sakit Pendidikan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah dan Institusi
Penyelenggara Pendidikan milik Pemerintah”.
9. Istilah pemberian ijasah profesi tidak lazim, yang lazim adalah ijazah diberikan dari Institusi Pendidikan untuk kelulusan
Pendidikan jenjang akademik, sedangkan untuk profesi adalah berupa sertifikat kompetensi, diberikan oleh Kolegium
(Profesi). dan apakah dibenarkan yang memberikan adalah tanda tangan Direktur RS dan Rektor? (kesetaraan jabatan?
Antara setingkat Esselon II dan Esselon I). Bagaimana dengan fungsi dan tupoksi ketiga tungku sejarangan (RS
Pendidikan-Institusi Pendidikan- Kolegium?) yang sangat berpengaruh dan saling bersinergi terhadap proses pendidikan di
kedokteran.
10. Diperlukan harmonisasi dengan peraturan perundangan tentang UU Pendidikan Tinggi, Undang-undang no 20 tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran, supaya tidak terjadi kerancuan, disharmoni, tidak sinergi dan missed leading.
Pendidikan berbasis kompetensi :

Bukan hal yg mudah ; mendidik seorang dokter harus melewati


Kematangan attitude , prilaku , pengetahuan, skill sampai
dinyatakan Layak menjadi dokter bahkan spesialis.

Seorang pendidik pun harus mempunyai latar belakang yang


mengerti Kaidah-kaidah itu, guru yg baik pasti tidak akan
memberikan ilmu yang mempunyai resiko tinggi Untuk murid
yang kira-kira belum mampu ……perguruan silat
Sistem Informasi dan Keamanan Data
1. Di dalam Ketentuan umum, pasal 1, ayat 21 tentang Sistem Informasi Kesehatan, untuk meningkatkan efektivitas dan efisien
penyelenggaraan kesehatan tidak hanya pelayanan pesehatan. Sistem Informasi Kesehatan (SIK) tidak hanya untuk fasiltas
pelayanan kesehatan tetapi juga organisasi Kesehatan
2. RUU ini akan mencabut UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009, sedangkan dalam UU Rumah Sakit pasal 52 menyebutkan secara
eksplisit bahwa Rumah Sakit harus memiliki Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, tetapi dalam RUU ini malah tidak
menyebut sama sekali mengenai SIM RS, maka perlu ditambahkan kewajiban penerapan SIMRS di rumah sakit.
3. Dalam bagian Tata Kelola SIK, perlu menyebutkan kewajiban organisasi memiliki unit/tim disertai SDM yang mengelola dan
atau mengembangkan SIK.
4. Dalam Pasal 350 ayat 9 perlu diperjelas “Menteri” yang berkaitan dengan izin cloud, apakah Menteri Kesehatan atau Menteri
Kominfo?.
5. Dalam Pasal 353, ayat (2) perencanaan SIK tidak hanya tentang data dan variabel data. Perlu ditambahkan aspek
perencanaan strategik, pembuatan peta jalan SIK, SDM, infrastruktur, keuangan, dan berbagai aspek manajemen dan
operasional
6. Dalam Pasal 353 ayat (7) perlu ditambahkan penggunaan lain yang sah sesuai Undang-Undang
7. Dalam Pasal 425 Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial maka PERSI mengusulkan perubahan sebagai berikut:
a. Selain melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Kesehatan juga berkewajiban untuk (2)
b. menghubungkan sistem informasi yang dikelolanya dengan sistem informasi yang mengintegrasikan seluruh pelayanan
kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat; dan Daerah
8. Pasal 349 – 355 harus dipertegas, bagaimana tentang kerahasiaan Data Sistem Informasi Kesehatan, untuk menjamin kualitas
data, tidak terjadi kebocoran data, dan seberapa mampu memback up data untuk seluruh Indonesia.
Telehealth dan Telemedicine
PERSI mengusulkan dimasukkan ketentuan dalam pasal RUU Kesehatan namun bukan membedakan
telehealth dibatasi dan dipahami untuk layanan non medis dan telemedicine diberikan untuk layanan
medis namun telehealth harus dipahami sebagai suatu integrasi sistem telekomunikasi ke dalam
praktik melindungi dan mempromosikan kesehatan, sedangkan telemedis adalah penggabungan
sistem ini ke dalam pengobatan kuratif. Telehealth mencakup pendidikan untuk kesehatan, kesehatan
masyarakat dan komunitas, pengembangan sistem kesehatan dan epidemiologi sedangkan
telemedicine lebih berorientasi pada bagian klinis.

Dengan demikian, telemedicine secara harfiah adalah pengobatan yang dipraktikkan dari jarak jauh.
Sedangkan telehealth adalah komunikasi jarak jauh dalam rangka layanan klinis tidak langsung
(konferensi kasus pasien jarak jauh untuk mendapatkan pandangan pelayanan yang lebih baik),
pelatihan kompetensi klinik, pertemuan administrasi sector Kesehatan juga Pendidikan
kedokteran/keperawatan/profesi Kesehatan lain berkelanjutan.

Telemedicine Perlu dibuat aturan turunannya yang jelas, untuk memastikan implementasi Kode Etik
Kedokteran, serta kualitas layanan dan keselamatan Pasien tetap terjaga, serta aturan untuk
perlindungan dan keamanan data pribadi.
Penggunaan telehealth telemedicine memang
bagian dari kemajuan jaman, Tapi kita harus
betul siap terhadap big Data.

Penggunaan E-MR yang akan disambung dengan


satu sehat perlu pendalaman Secara matang
…. Karena banyak rahasia didalamnya yang
bisa disalah gunakan.
Perlindungan Hukum
1. Perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan, perlindungan hukum terhadap pengelola Rumah Sakit sangat penting
dan perlu diatur tersendiri. Yang dipertegas adalah sebelum terjadinya konflik, saat terjadi konflik, dan setelah terjadi
konflik, siapa yang paling bertanggung jawab melakukan pendampingan dalam melaksanakan penrlindungan hukum.
2. Tenaga Medis dan tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik secara legal, punya SIP, praktik sesuai standart profesi,
standar pelayanan profesi, SOP, standar etik serta kebutuhan kesehatan pasien dilakukan dengan iktikad baik tidak dapat
dituntut secara pidana dan/atau perdata.
3. Pengaduan Tenaga medis atau tenaga kesehatan kepada majelis dalam rangka penegakan disiplin dengan dugaan
kesalahan dalam pelayanan kesehatan tidak dapat dilaporkan untuk kasus pelanggaran hukumnya, sebelum terbukti dan
ada keputusan dari majelis penegakan disiplin, dan terbukti ada pelanggaran hukumnya.
4. Rumah Sakit, tenaga medis dan tenaga Kesehatan dalam rangka penyelamatan nyawa, dan penanganan bencana tidak
dapat dituntut.
5. Sebelum dilakukan tuntutan pidana umum, pada pengadilan umum, diharuskan menjalani pengadilan profesi (pengadilan
khusus) terlebih dulu
6. Mengedepankan asas ultimum remedium (apabila suatu perkara dapat ditempuh jalur lain seperti mediasi dan hukum
perdata ataupun hukum administratif hendaklah ditempuh sebelum mengenakan hukum pidana).
7. Permasalahan sengketa medik wajib dilakukan MEDIASI (bukan alternatif penyelesaian sengketa, sebagaimana disebut
dalam pasal 327)
8. Permasalahan sengketa medik dilakukan melalui Lembaga/Badan Arbitrase Medik yang putusannya bersifat final and
binding.
Penyelesaian Sengketa

1. Perlu ditambahkan pengertian sengketa medik


2. Mengedepankan asas ultimum remedium (apabila suatu perkara dapat
ditempuh jalur lain seperti; mediasi dan hukum perdata ataupun hukum
administratif hendaklah ditempuh sebelum mengenakan hukum pidana)
3. Permasalahan sengketa medik wajib dilakukan MEDIASI (bukan alternatif
penyelesaian sengketa, sebagaimana disebut dalam pasal 327)
4. Permasalahan sengketa medik dilakukan melalui Lembaga/Badan Arbitrase
Medik yang putusannya bersifat final and binding.
Kesimpulan
1. PERSI Mendukung perbaikan RUU Kesehatan selama tidak mencabut Undang Undang Rumah Sakit No 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan seluruh Undang – Undang yang telah baik mengatur tentang Profesi
Kesehatan.
2. PERSI meminta agar Pemerintah tidak mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU Rumah Sakit NO
44/2009 dan UU Yang telah mengatur Profesi Kesehatan keseluruhan, karena UU tersebut saat ini telah
sangat baik dalam mengatur dan memberikan perlindungan kepada pengelola rumah sakit dan tenaga
medis dan tenaga kesehatan.
3. Lex Spesialis bagi profesi kesehatan dan perumahsakitan sangat dibutuhkan saat ini, demi untuk memberi
ketenangan, kenyamanan dan perlindungan bagi tenaga medis, tenaga Kesehatan, pengelola rumah sakit
dan masyarakat, sehingga pendekatan penyelesaian sengketa dapat diselesaikan internal melalui mediasi
bukan dengan pemidanaan.
4. Bahwa pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang penuh ketidakpastian (uncertainty) sehingga pelayanan
Kesehatan adalah suatu INSVANNING VERBINTENIS (Upaya maksimal dalam memberika pelayanan demi
kepentingan medis terbaik pasien) sehingga selalu saja dapat berdampak suatu risiko medis yang tidak
diinginkan pasien maupun tenaga kesehatan.
Kesimpulan
5. Bahwa PERSI tidak setuju dengan usulan Pemerintah menghapus anggaran kesehatan minimal sebesar 10
% dari APBN/APBD dalam draft RUU Kesehatan yang tercantum dalam pasal 419 RUU yang diusulkan
untuk di HAPUS oleh PEMERINTAH. Karena hal tersebut adalah bagian dari peran dan kewajiban
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pemenuhan hak rakyat atas pelayanan Kesehatan.
6. Pengenaan hukum pidana berdasarkan KUHP akan dapat menimbulkan ketakutan dan berdampak pada
praktik defensive medicine yang akan dapat merugikan pasien dan pelayanan kesehatan akibat tenaga
medis dan tenaga Kesehatan takut dipidana.
7. Sebaiknya pemerintah fokus pada turunan regulasi yang telah diamanahkan dalam UU eksisting baik
dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri bukan merubah dan mencabut Undang –
undang yang telah berlaku saat ini.
TERIMA KASIH

Seluruh isi policy brief ini bersumber dari diskusi seluruh asosiasi perumahsakitan dan insan
perumahsakitan, kajian literatur dan usulan dari berbagai pihak.

Kami berharap policy brief ini dapat memberi masukan bagi perbaikan RUU Kesehatan. Semoga saran dan
masukan ini dapat memberi pemahaman para pembuat kebijakan untuk melakukan perbaikan regulasi
kesehatan di masa mendatang. Semoga kesehatan dan perumahsakitan di Indonesia semakin meningkat
dan SDM Kesehatan serta masyarakat semakin sehat, bahagia, dan sejahtera.
Thank you
Perhimpunan RS Seluruh Indonesia

Anda mungkin juga menyukai