Anda di halaman 1dari 27

Giuseppina Monaco

Studi Naskah Batak: Masalah dan Prosedurnya


Dwi Mahendra Putra
Replika Naskah Nusantara
sebagai Pengembangan Seni Budaya, dan Sastra

Rahmat Sopian, Aditya Pradana, Mamat Ruhimat Indeksasi Digital Aksara Sunda Kuno: Studi Kasus
pada Naskah Koleksi Skriptorium Kabuyutan Ciburuy Garut | Ilham Nurwansah Hukum dalam Naskah Sunda
Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian | Sarwit Sarwono Naskah Ulu MNB 07.55: Wacana dan Praktik Sosial
Begadisan pada Kelompok Etnik Serawai di Bengkulu | Jamaluddin Kontribusi Naskah Sasak bagi Pembentukan
Karakter Bangsa | Wiwien Widyawati Rahayu Pola Perjalanan Spiritual Karya Sastra Jawa Abad XVIII melalui
Naskah Jaka Selewah | Agung Zainal Muttakin Raden, Mohamad Sjafei Andrijanto Hikayat
Purasara: Komunikasi Visual Ilustrasi Wayang pada Naskah Sastra Betawi Abad ke-19 | Tommy Christomy
Menziarahi Masa Lalu untuk Masa Kini melalui Naskah Pakualaman II.

Vol. 7, No.1, 2017


ISSN: 2252-5343
Jurnal Manassa
Volume 7, Nomor 1, 2017

PIMPINAN REDAKSI
Oman Fathurahman

DEWAN PENYUNTING INTERNASIONAL


Achadiati Ikram, Al Azhar, Annabel Teh Gallop, Dick van der Meij, Ding Choo Ming,
Edwin Wieringa, Henri Chambert-Loir, Jan van der Putten, Mujizah, Lili Manus,
Munawar Holil, Nabilah Lubis, Roger Tol, Siti Chamamah Soeratno, Sudibyo,
Titik Pudjiastuti, Tjiptaningrum Fuad Hasan, Yumi Sugahara, Willem van der Molen

REDAKTUR PELAKSANA
Muhammad Nida’ Fadlan
Aditia Gunawan

PENYUNTING
Ali Akbar, Asep Saefullah, Agus Iswanto, Dewaki Kramadibrata,
M. Adib Misbachul Islam, Priscila Fitriasih Limbong, Yulianetta

ASISTEN PENYUNTING
Abdullah Maulani

DESAIN SAMPUL
Muhammad Nida’ Fadlan

ALAMAT REDAKSI
Sekretariat Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA)
Gedung VIII, Lantai 1, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424
Website. http://journal.perpusnas.go.id/index.php/manuskripta
Email. jmanuskripta@gmail.com

MANUSKRIPTA (P-ISSN: 2252-5343; E-ISSN: 2355-7605) adalah jurnal ilmiah yang


dikelola oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), asosiasi profesi pertama
dan satu-satunya di Indonesia yang memperhatikan pengkajian dan pelestarian
naskah Nusantara. Jurnal ini dimaksudkan sebagai media pembahasan ilmiah dan
penyebarluasan hasil penelitian di bidang filologi, kodikologi, dan paleografi. Terbit
dua kali dalam setahun.
Daftar Isi

Artikel

1 Giuseppina Monaco
Studi Naskah Batak:
Masalah dan Prosedurnya

17 Rahmat Sopian, Aditya Pradana, Mamat Ruhimat


Indeksasi Digital Aksara Sunda Kuno:
Studi Kasus pada Naskah Koleksi Skriptorium
Kabuyutan Ciburuy Garut

31 Ilham Nurwansah
Hukum dalam Naskah Sunda Kuna
Sanghyang Siksa Kandang Karesian

63 Sarwit Sarwono
Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan
pada Kelompok Etnik Serawai di Bengkulu

81 Dwi Mahendra Putra
Replika Naskah Nusantara
sebagai Pengembangan Seni, Budaya, dan Sastra

97 Jamaluddin
Kontribusi Naskah Sasak
bagi Pembentukan Karakter Bangsa

119 Wiwien Widyawati Rahayu


Pola Perjalanan Spiritual
dalam Karya Sastra Jawa Abad XVIII
melalui Naskah Jaka Slewah
141 Agung Zainal Muttakin Raden, Mohamad Sjafei Andrijanto
Hikayat Purasara:
Komunikasi Visual Ilustrasi Wayang
pada Naskah Sastra Betawi Abad ke-19

Review Buku

169 Tommy Christomy


Menziarahi Masa Lalu untuk Masa Kini
melalui Naskah Pakualaman II
Sarwit Sarwono

Naskah Ulu MNB 07.55:


Wacana dan Praktik Sosial Begadisan
pada Kelompok Etnik Serawai di Bengkulu

Abstract: This research aims to disscuss about Ulu MNB 07.55 manuscript related to
social practice of begadisan in Serawai ethnic group of Bengkulu. The research based
on text as discourse, that is knowledge about social practices, of how things are or must
be done, together with specific evaluations and legitimations of, and purposes for, these
practices. Based on codex data, known that MNB 07.55 manuscript derived from Serawai
ethnic group of Bengkulu, written approximately in the mid-twentieth century. At that
time (even until today), the social practice of begadisan still carried out intensively by the
ethnic. Furthermore, this manuscript containts a dialogue between unmarriage bachelors
and girls. In this connection, the writing of this manuscript is not intended as a record of
events begadisan objectively, but is intended as the construction of knowledge about the
practice of begadisan that it contains a certain value and legitimacy of identity and social
functions of the author of the text. In the context of writing, the manuscript can be seen
as a re-contextualization begadisan practice.

Keywords: Ulu Manuscripts, Social Practice, Begadisan, Serawai Ethnic of Bengkulu.

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan tentang Ulu MNB 07.55 yang
berkaitan dengan paktik-praktik sosial begadisan di Serawak, salah satu etnis Bengkulu.
riset ini berdasarkan diskursus teks naskah tersebut yang memuat pengetahuan tentang
hal itu, bagaimana sesuatu yang harus diselesaikan beserta evaluasi yang spesifik,
legitimasi, dan tujuan ritual tersebut dilakukan. Berdasarkan naskah tersebut, diketahui
bahwa MNB 07.55 berasal dari etnis Serawai, Bengkulu, ditulis kira-kira pertengahan abad
ke-20. pada masa itu sampai hari ini, praktik-praktik sosial begadisan tetap dilestarikan
dengan baik oleh etnis tersebut. Lebih lanjut, naskah ini memuat dialog antara lelaki
perjaka dengan gadis yang hendak disuntingnya. Dalam relasinya, penulisan manuskrip
ini tidak hanya merekam aktivitas begadisan semata, melainkan juga membangun
pemahaman tentang nilai-nilai legitimasi identitas dan fungsi sosial yang terdapat pada
ritual begadisan yang terdapat pada teks naskah ini. Dalam konteks penulisan, naskah ini
juga dapat ditinjau sebagai pengembalian konteks ritual begadisan.

Kata Kunci: Naskah Ulu, Praktik Sosial, Begadisan, Etnis Serawai Bengkulu.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017 63


64 Sarwit Sarwono

Pertautan antara tradisi tulis Ulu dan tradisi lisan dari berbagai
etnik di Provinsi Bengkulu merupakan fenomena yang sangat umum.
Terdapat cukup banyak bukti bahwa teks-teks yang tertulis dalam
naskah-naskah Ulu yang dapat ditemukan ada atau hidup dalam tradisi
lisan. Misalnya, MNB 07.32 dan MNB 07.72, keduanya berupa satu ruas
gelondong bambu. Yang pertama berisi Nandai Kancil dan yang kedua
Nandai Biyawak Nebat; kedua prosa rakyat itu lazim dijumpai dituturkan
dalam tradisi lisan. Contoh lainnya adalah MNB 07.34, MNB 07.39, dan
MNB 07.139 yang berisi sedingan (kadang disebut seding delapan),
sebuah teks yang mengisahkan kesedihan manusia dalam kahdupan di
dunia. Pada sekitar Juni 2006, saya berkesempatan mendengarkan teks
sedingan dituturkan oleh Sukaimah di desa Muara Timput Kabupaten
Seluma. Menurutnya, pada masa ia remaja, sekitar tahun 1950-an,
sedingan merupakan teks yang populer dan dikuasai oleh kebanyakan
orang, serta biasa dituturkan di desanya. Tampaknya tradisi lisan
merupakan sumber bagi tradisi tulis Ulu. Dalam kaitan ini, tampak bahwa
tradisi penyalinan teks (transmisi teks), dari tulis ke tulis tidak lazim
dijumpai, sementara transformasi teks (dari lisan ke tulis) sangat lazim
dijumpai1.

Gambar MNB 07.32, nandai kancil

Gambar MNB 07.72, nandai biyawak nebat

Gambar MNB 07.139, seding delapan.

1 Sarwono, Sarwit, Transformasi Teks dalam Tradisi Tulis Ulu pada Etnik Serawai di
Bengkulu, Laporan Penelitian Fundamental DP2M Ditjen Dikti, 2009.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 65

Tidak sedikit bahkan, teks-teks tulis Ulu yang memiliki pertautan


dengan praktik-praktik sosial atau upacara tradisional, seperti menanam
padi ladang, mengambil madu, ritus kelahiran, ritus pralihan, pernikahan,
serta praktik pengobatan tradisional. Sebagai contoh, naskah MNB 07.69,
berjudul usuran beumo ausur baux , bertalian dengan praktik menyemai
padi ladang. Teks berupa doa yang biasa diucapkan pawang padi ketika
menabur benih padi di ladang pada kelompok etnik Serawai. Sementara
itu, naskah Ulu MNB 07.91, berjudul caro ngambiak madu siyalang c:r
N: Bia:1xdu siyl’ bertalian dengan praktik mengambil madu lebah pada
pohon sialang di hutan. Dalam hal ini, teks MNB 07.91 juga hanya
menyajikan doa atau jampi yang lazim diucapkan pawang sialang ketika
memanen madu pada pohon sialang. Naskah Ulu MNB 07.49, berjudul
caro paduwan kulo c:rp:duw”kul merupakan teks yang berkaitan dengan
praktik berasan betunang, yakni musyawarah dua keluarga dalam
rangka pertunangan anak-anak mereka, selain untuk menyepakati jenis
pernikahan, serta kesepakatan lain dalam kaitannya dengan pelaksanaan
bimbang atau pesta pernikahan.
Meskipun hampir semua naskah Ulu (baik yang tersimpan di
Museum Negeri Bengkulu maupun yang tersimpan di masyarakat) tidak
memiliki kolofon yang yang menunjukkan waktu penulisan, namum
berdasarkan petunjuk yang tersedia, dapat dipastikan bahwa naskah-
naskah Ulu itu ditulis sekitar akhir abad XIX atau awal abad XX. Pada
masa itu, praktik dan ritus sosial sebagaimana dicontohkan di atas (dan
praktik atau ritus sosial lainnya) masih dijalankan oleh berbagai etnik di
Provinsi Bengkulu. Bahkan hingga dewasa ini, praktik nyialang, menanam
dan juga menuai padi ladang, berasan baik dalam konteks melamar dan
bertunangan ataupun bimbang/pesta pernikahan, dan praktik sosial
lainnya masih dijalankan oleh berbagai kelompok etnik tempat naskah-
naskah Ulu dilahirkan; meski intensitasnya mulai menurun.
Fenomena tersebut di atas kiranya menarik untuk dicermati.
Mengapa, misalnya, orang menulis teks atau bagian teks yang
masih dituturkan dalam tradisi lisan; atau menuliskan peristiwa atau
bagian perstiwa atau bagian teks dari suatu praktik sosial yang masih
dijalankan? Demikianlah tulisan ini dimaksudkan untuk mencermati dan
menjelaskan pertautan antara tradisi lisan, praktik sosial, dan tradisi tulis
Ulu khususnya pada kelompok etnik Serawai di Provinsi Bengkulu. Untuk

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


66 Sarwit Sarwono

keperluan ini, naskah MNB 07.55 dipilih sebagai contohnya. Naskah


MNB 07.55 merupakan naskah gelondong bambu, berjudul perambak
bujang nga gadis “perambak bujang dengan gadis”, berupa dialog antara
bujang dan gadis, menunjuk kepada praktik sosial begadisan. MNB 07.55
merupakan naskah Ulu dari kelompok etnik Serawai dan diduga kuat
ditulis pada awal abad ke-20.

Praktik Sosial Begadisan


Sebelum membahas lebih lanjut naskah dan teks MNB 07.55, perlu
kiranya dikemukakan secara ringkas mengenai praktik sosial begadisan
atau begadis2. Praktik sosial ini dijumpai pada kelompok-kelompok etnik
Serawai, Pasemah, Lembak, dan Rejang. Kata begadisan diturunkan dari
kata dasar gadis "gadis". Begadisan adalah peristiwa bujang berkunjung
ke rumah seorang gadis, untuk berkenalan dan berbincang-bincang serta
saling menjajagi kemungkinan dapat menjadi pacar. Peristiwa begadisan
bersifat sosial dan melembaga karena ketika bujang dan gadis melakukan
kegiatan ini mereka dilandasi pengetahuan yang secara sosial dipahami
bersama, berlaku umum, dan mengikat secara sosial. Seorang bujang
yang bermaksud mencari pacar (atau calon istri) lazimnya ditemani
beberapa rekannya, pergi mengunjungi seorang gadis di rumahnya.
Seorang gadis yang menerima kunjungan bujang-bujang itu di rumahnya
didampingi ibunya atau perempuan dewasa kerabat dekatnya, biasanya
bibinya. Begadisan berlangsung di rumah orang tua si gadis, pada malam
hari, sekitar pukul 20.00 sampai dengan pukul 22.00.
Begadisan disebut juga betandang ‟bertandang‟ atau ‟berkunjung‟,
yaitu bujang berkunjung ke rumah gadis. Bujang dan gadis yang dimaksud
biasanya berasal dari desa yang berbeda dan tidak memiliki hubungan
darah atau berbeda sako3. Gadis yang akan dikunjungi biasanya diketahui

2 Bahan-bahan dikumpulkan dan dirangkum dari hasil wawancara dengan Bapak Rohani
di desa Karang Anyar, Kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma pada sekitar Agustus 2001;
wawancara dengan beberapa narasumber dari etnik Serawai dan Pasemah; serta catatan lapangan
selama pengamatan terhadap beberapa praktik begadisan bersama Sdr. Jonairi (di Desa Sukaraja
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma; 1997), Sdr. Sairah Asnili, di Padang Guci Kabupaten Kaur
(2001), dan Fitra Youpika di beberapa desa di Kecamatan Kaur Utara Kabupaten Kaur (2013).
3 Secara harfiah, kata sako berarti "tiang". Dalam konteks ini, kata sako berarti
poyang. Orang-orang yang berasal dari sako yang sama berarti orang-orang yang berasal dari
poyang yang sama, dan dengan demikian berkerabat, serta tabu melakukan begadisan, tabu
berpasangan menari adat, dan tabu menikah.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 67

oleh si bujang melalui temannya yang berasal dari desa yang sama dengan
desa si gadis. Dalam hal ini, teman si bujang merupakan sumber informasi
awal mengenai si gadis. Bisa jadi, gadis yang akan dikunjungi oleh seorang
bujang adalah gadis yang pernah dilihat atau dikenalnya ketika ada suatu
keramaian seperti pesta pernikahan atau ada keramaian lainnya, atau pada
suatu kesempatan lainnya. Jika si bujang tersebut bermaksud mengenali lebih
jauh seorang gadis yang dikenalnya atau yang dimaksudkan oleh temannya
atau yang dikenalnya pada suatu kesempatan keramaian, maka ia dan
temannya akan bertandang ke rumah si gadis.
Begadisan hanya berlaku bagi bujang dan gadis, seorang yang masih
perjaka dan masih perawan. Dalam hal seorang laki-laki yang pernah menikah
atau duda, dan demikian juga seorang perempuan yang sudah pernah
menikah atau janda bermaksud mencari calon istri atau calon suami, mereka
melakukannya tidak melalui lembaga sosial begadisan.
Adat berkunjung atau bertandang mengatur tata cara jika seorang bujang
yang hendak begadisan di rumah seorang gadis. Misalnya, dalam bertandang
seorang bujang tidak boleh melalui pintu belakang rumah seorang gadis. Ia
dan teman-temannya harus melalui pintu depan. Ia harus permisi kepada
tuan rumah, menyampaikan salam, dan menyatakan maksud kedatangannya,
yaitu hendak begadisan dengan anak gadis tuan rumah yang dikunjungi. Jika
kelaziman ini tidak dipatuhi, si bujang akan ditolak untuk begadisan karena
dianggap tidak santun dan tidak sungguh-sungguh. Lama waktu bujang dan
gadis berbincang-bincang dibatasi, lebih kurang dua jam, dari pukul 20.00
sampai dengan pukul 22.00 WIB. Jika mendapat kunjungan bujang, seorang
gadis wajib menemui tamunya.
Sebagaimana yang dituturkan Bapak Rohani (ketua adat desa Karang
Anyar), pada masa lampau, ketika seorang bujang datang ke rumah seorang
gadis untuk begadisan, si gadis akan mengeluarkan atau menyediakan (ngen-
juakka dalam bahasa Serawai yang berarti "menyediakan‟ atau "memberi-
kan‟) tikar gamar (tikar dari anyaman daun pandan) dan lengguay (bejana
berisi sirih, pinang, gambir, dan kapur sirih). Bujang dan gadis akan duduk di
atas tikar yang disediakan si gadis4. Posisi duduk si bujang dan si gadis tidak
boleh lurus berhadapan. Jika si gadis tidak berkenan terhadap si bujang, dan
4 Dewasa ini keharusan menyediakan tikar gamar dan lengguay oleh seorang gadis
yang dikunjungi bujang tidak lazim lagi. Dewasa ini, bujang yang bertandang akan diterima di
ruang tamu atau di beranda rumah atau dalam ruang bagian belakang rumah dan duduk di
kursi atau di bangku.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


68 Sarwit Sarwono

ia bermaksud menyuruh si bujang segera meninggalkan rumahnya, maka sig-


adis akan mengambil bambu biduak (buluwa biduak; sejenis bambu yang ber-
diameter kecil dan berkulit tipis) dan kemudian membakar bagian ujungnya
lalu digosok-gosokkan ke telapak tangan dan arangnya dioleskan ke bibirnya.
Kemudian bambu yang telah terbakar ujungnya itu diberikan kepada si bu-
jang. Inilah tanda atau isyarat bahwa si gadis tidak berkenan dan meminta si
bujang segera pulang5. Jika si gadis berkenan terhadap si bujang yang datang
mengunjunginya, maka ia akan menawari si bujang makan sirih. Setelah si
bujang mengambil dan makan sirih, maka mereka kemudian berbincang-bin-
cang.
Awal perbincangan biasanya berkisar pada perkenalan masing-
masing. Tidak jarang ibu si gadis atau kerabat perempuan si gadis yang
memulai membuka perbicangan ini dengan menanyakan asal si bujang.
Pertanyaan-pertanyaan ibu si gadis tentang asal sang bujang menjadi
hal penting untuk memastikan bahwa si bujang dan si gadis tidak
memiliki hubungan darah atau tidak berkerabat. Jika diketahui bahwa
bujang dan gadis saling berkerabat, atau berasal dari sako yang sama,
maka begadisan tidak dapat dilanjutkan. Mungkin saja, obrolan atau
perbincangan antara bujang dan gadis tetap berlangsung, tetapi tidak
bermakna sebagai begadisan, melainkan perbincangan sebagai saudara
atau sebagai teman. Misalnya dalam kasus Sandra, seorang bujang yang
bermaksud begadisan tetapi batal karena gadis yang dimaksudkan masih
kerabat dekatnya.
Sandra bermaksud begadisan dengan ditemani Gatok (rekan
dekatnya), maka ia berkunjung ke rumah Yofi. Kedua bujang diterima
oleh ibu dan ayah Yofi di beranda rumah Yofi. Ketika memasuki beranda
rumah Yofi, Sandra merasa pernah singgah di rumah tersebut, tetapi
ia ragu. Maka, ia memaksakan diri singgah. Dalam perbincangan awal
dengan ibu Yofi, diketahuilah bahwa Sandra berkerabat dengan Yofi6.

5 Tindakan simbolik seorang gadis seperti tersebut untuk meminta seorang


bujang segera meninggalkan rumahnya, dewasa ini tidak dijumpai lagi dalam begadisan.
Juga menawarkan sirih kepada sang bujang yang berkunjung sebagai tanda seorang gadis
bersedia dikunjungi tidak ada lagi. Untuk menyampaikan pesan penolakan seorang gadis
akan menggunakan simbol-simbol atau alasan-alasan lainnya. Misalnya dengan mengatakan
kurang enak badan, sehingga ia terhindar dari keharusan menemui si bujang yang hendak
begadisan dengannya karena ia memang tidak suka dengan si bujang tersebut.
6 Dikutip dari catatan peristiwa begadisan yang diikuti oleh Sdr. Fitra Youpika di Desa
Selika I pada 23 Desember 2012, di rumah Yofi.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 69

Maka, begadisan pun batal berlangsung. Dari kutipan dialog yang


berikut7, diketuhi bahwa Sandra masih bersaudara dengan Yofi. Sandra
adalah anak laki-laki dari saudara laki-laki Ibu Yofi. Dalam istilah setempat,
Sandra adalah muanai (saudara laki-laki satu nenek atau satu buyut) dari
Yofi dan Yofi adalah kelawai (saudara perempuan satu nenek atau satu
buyut) dari Sandra. Sandra menyebut Ibu Yofi makwe (bude; mak tua),
dan dengan demikian Sandra dan Yofi tabu menikah.
Setelah dapat dipastikan bahwa si bujang dan si gadis tidak berasal
dari sako yang sama dan tidak berkerabat satu dengan lainnya, maka
dapatlah begadisan dilanjutkan. Perbincangan antara bujang-bujang dan
gadis dapat berlanjut dan tidak jarang diselingi oleh si ibu gadis, seputar
maksud dan tujuan kedatangan si dan topik-topik lainnya. Pernyataan
si gadis seperti yang berikut misalnya, dimaksudkan untuk mengetahui
apakah si bujang sengaja datang ke rumahnya atau tidak.

Pengasoanku la kuawasi, kusepadoi. Tapi kerno dighi munika tinjak lengitka


bayang. Sebab, dighi salah tumpak. Maksud dighi salah tuju. Kerno dighi
tumpak umbak dilawun badai. Mungkin sesat sampai ke sini8.

(Rasanya telah kuawasi dan kucermati, tapi kamu tidak tampak olehku. Ba-
rangkali kamu salah datang, salah tujuan. Barangkali kamu tersesat sehingga
sampai ke sini).

Jawaban si bujang atas pertanyaan si gadis seperti yang dikutip berikut,


menunjukkan bahwa si bujang secara sengaja datang ke rumah si gadis, dan
itulah tujuannya semata, bukan kebetulan lewat dan kemudian singgah.
Bukan sesat bukan anyut. Diantak lagi bulan aji, diancam lagi bulan sapar.
Maksud nido duo tigo. Sajo nido empat limo. Tujuanku ndak ke sini nian.....9

(Bukan sesat, bukan pula hanyut. Kedatanganku ke sini sudah direncanakan


sejak bulan Haji, direncanakan sejak bulan Sapar. Maksudku tidak dua-tiga,
7 Hanya bagian-bagian penting saja dari dialog yang dikutip, sesuai dengan
kebutuhan. Terjemahan dibuat berdasarkan prinsip alih ide.
8 Kutipan diambil dari transkripsi rekaman begadisan yang dilakukan Sdr. Jonairi di
Desa Sukaraja Kabupaten Seluma (1997).
9 Kutipan diambil dari transkripsi rekaman begadisan yang dilakukan Sdr. Jonairi di
desa Sukaraja Kabupaten Seluma (1997).

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


70 Sarwit Sarwono

juga tidak empat-lima. Tujuanku memang tidak lain hendak ke sini....)

Demikian selanjutnya, pernyataan atau pertanyaan si bujang atau


si gadis, dan tanggapan-tanggapan masing-masing terhadap lawan
bicara merupakan ungkapan isi hati masing-masing terhadap lawan
bicaranya. Isi dialog akan mengarah ke pengenalan lebih dekat sehingga
masing-masing akan mengetahui secara lebih mendalam keadaan lawan
bicaranya, dan bahwa kemudian diketahui lawan bicaranya membuka
diri untuk menjadi calon „pacar‟ (atau santing dalam bahasa Serawai;
santing dapat diartikan sebagai „pasangan‟) atau tidak.
Sebagaimana kelaziman yang berlaku, aktivitas begadisan
berlangsung beberapa kali. Jika si bujang dan si gadis masing-masing
berkenan terhadap lawannya, maka kunjungan si bujang ke rumah si
gadis akan berlangsung beberapa kali. Selama kunjungan yang kedua
dan seterusnya itulah si bujang akan lebih tegas menyatakan isi hatinya,
yaitu bahwa ia bermaksud membina hubungan yang serius, bermaksud
menjadikan si gadis sebagai calon istrinya. Dalam hal yang demikian, si
gadis akan menyampaikan tanggapan atas maksud si bujang sekiranya ia
pun berkenan terhadap si bujang. Kutipan ucapan si gadis yang berikut
misalnya, menunjukkan tanggapannya mengenai niat si bujang untuk
membina hubungan serius dengan si gadis. Yang dikatakan si gadis dalam
kutipan berikut antara lain adalah permintaan agar si bujang memikirkan
dan merenungkan secara masak dan mendalam niat dan keinginannya
untuk menjadikan si gadis sebagai calon istri. Dikatakan sang gadis,
agar si bujang mendengar, sebenar-benarnya mendengar serta melihat
atau mencermati sebenar-benarnya siapa si gadis agar si bujang tidak
menyesal di kemudian hari telah memilihnya. Sebab, sesal kemudian
tiada berguna. Jika tidak dipikirkan dan direnungkan masak-masak
dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Misalnya, si bujang akan berpaling kepada gadis lain meninggalkannya.
Di akhir tanggapannya si gadis mengajukan pertanyaan secara simbolik
untuk menguji kesungguhan si bujang.

Yak nga nian. Mo luak itu tebao. Pikirka kudai abis-abis, benano kudai sudo-
sudo. Kalu pikiran kaba abis pagi, penano kaba lagi abis petang. Inak kudai, inak
jangan seinak-inako. Dengagh kudai, dengagh jangan sedengagh-dengagho.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 71

Inak kaba lagi tabir kain, dengar kaba lagi tabir dinding. Cacato nati kaba
nesal. Padoka nesal kemudian, iluak la nesal seduluo. Nesal dulu penapatan,
nesal kemudian nido beguno. Kalu belum ko boalia bada duduak sepisa bada
tegak, pikiran kaba la duo tigo, peneno kaba la empat limo. Pikiran kaba la
beghuba pado ughang lain, penano kaba la ngalia pada ughang asing....10

(Benar demikian halnya. Itu jika demikian keadaannya. Pikirkanlah habis-


habis, renungkan dahulu masak-masak. Jangan-jangan yang kau pikirkan pagi
hilang pada petang hari. Lihat, asal jangan melihat. Dengar dahulu jangan
asal mendengar. Jangan-jangan yang kau lihat baru lahirnya. Kelak kamu akan
menyesal. Dari pada menyesal kemudian lebih baik menyesal dahulu. Sesal
dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada berguna. Jika belum, pikiranmu
akan berubah begitu kamu berpindah dari duduk ke berdiri. Pikiranmu akan
berubah kepada orang lain, perasaanmu akan berpindah kepada orang asing.
Itulah cacatnya kalau kamu belum berpikir masak-masak.

Jika keduanya, si bujang dan si gadis sepakat dan bersungguh-sung-


guh hendak menjalin hubungan serius dan berpacaran, maka mereka
melakukan ciri begaday (disebut juga betepiak ciri atau nepiak tanci).
Kata ciri berarti 'ciri' atau 'tanda'. Kata begaday diturunkan dari kata
dasar gaday 'gadai' atau 'jaminan'. Ciri begaday merupakan syarat yang
harus dipenuhi baik oleh si bujang maupun oleh si gadis sebagai tanda
ikatan dan jaminan bahwa keduanya sama-sama suka dan sama-sama
bermaksud melanjutkan hubungan mereka. Ciri begaday terdiri dari dua
macam, yaitu ciri tanci (berupa pemberian uang) dan ciri begaday (be-
rupa pemberian barang). Kata tanci berarti 'uang'. Ciri tanci merupakan
kewajiban yang harus dilakukan bujang, yaitu memberikan tanda berupa
uang kepada si gadis yang besarnya sesuai dengan aturan adat. Ciri be-
gaday merupakan kewajiban si gadis, yaitu memberikan tanda berupa
barang, biasanya kain, selendang, atau baju kepada si bujang sebagai bal-
asan atas pemberian ciri tanci kepadanya. Baik uang yang diberikan oleh
si bujang kepada si gadis maupun barang yang diberikan oleh si gadis
kepada sang bujang tidak boleh digunakan. Adat bahkan mengatur, yai-
tu baju atau kain atau selendang, misalnya, yang diberikan oleh si gadis

10 Kutipan diambil dari transkripsi rekaman begadisan yang dilakukan Sdr. Jonairi di
desa Sukaraja Kabupaten Seluma (1997).

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


72 Sarwit Sarwono

kepada si bujang tidak boleh dibuka agar lipatannya tidak berubah.


Pemberian uang oleh bujang kepada gadis dan pemberian kain,
selendang atau baju oleh gadis kepada bujang sebagai tanda ikatan
dan janji sesama mereka disebut juga betepiak11. Kata betepiak berasal
dari kata tepiak dengan mendapat awalan be- dan yang berarti
'meletakkan'; dalam konteks ini, meletakkan janji dan ikatan bersama.
Ciri begaday dapat dipandang sebagai tanda kesepakatan ikatan bahwa
bujang dan gadis telah melakukan 'pertunangan' di antara mereka.
Itulah sebabnya, pemberian uang (ciri tanci) oleh sang bujang kepada
gadis disebut juga nunang gadis (nunang dari kata tunang)12. Nunang
gadis adalah peristiwa terjadinya kesepakatan sesama kaum muda,
ialah kesepakatan bujang dan gadis. Nunang gadis lazim juga disebut
juga rasan mudo yang berarti musyawarah untuk suatu kesepakatan
ikatan di antara bujang dan gadis, di antara anak-anak muda. Secara
sosial, ciri begaday menandai bahwa seorang bujang dan seorang
gadis telah sepakat menjadi 'pacar' dan bermaksud menikah pada
suatu saat nanti.
Setelah si bujang melakukan ciri tanci dan si gadis membalasnya
dengan melakukan ciri begaday, berakhirlah aktivitas begadisan. Si
bujang kemudian akan menyampaikan kepada orang tuanya bahwa
ia menghendaki dan bermaksud membina rumah tangga dengan
seorang gadis, dan bahwa ia telah melakukan ciri tanci. Demikian
juga si gadis akan menyampaikan kepada orang tuanya tentang niat
dan keinginannya untuk membina rumah tangga dengan seorang
bujang, dan bahwa ia juga telah melakukan ciri begaday. Mendengar
ikhwal ini, baik keluarga si bujang maupun si gadis kemudian
melakukan musyawarah keluarga guna melaksanakan berasan yaitu

11 Kata betepiak atau bentuk turunannya yaitu nepiak atau tetepiak berarti
“meletakkan” atau “menetapkan.” Nepiak tanci berarti memberikan uang sebagai tanda
ketetapan seorang bujang atas seorang gadis sebagai “pacar” dan calon istrinya. Helfrich
memeri makna kata ini antara lain sebagai nepiak (rijal), eene ceremonie bij het huwelijk
(Helfrich, O.L., “Bijdragen tot de kennis van het Midden-Maleisch Besemahsch en Serawajsch
Dialect),” VBG LIII, 1904, hal. 177.
12 Helfrich memberikan penjelasan atas nunang gadis sebagai "het geven van 5
rijksdalders als pand en teeken door een jongeling aan het meisje, waarmede hij zich wil
verloven“ pemberian sebesar 5 rijksdalders (mata uang Belanda) sebagai bukti atau jaminan
dan tanda yang diberikan seorang bujang kepada seorang gadis bahwa ia mau berteman
(menjadi calon istri)” (Helfrich, O.L., hal. 190).

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 73

pihak keluarga bujang berjunjung ke pihak keluarga gadis untuk


membicarakan keinginan anak-anak mereka.

Teks Perambak Bujang nga Gadis


Kato budak gadis : “Makan sighiya peghaba.”
Jawap bujang : “La lamo niyan maksut ndak makan sighiya kaba Anyo kalu la
ado jemo ka ngampunyo.”
Jawap gadis : “Yak, lamo mak[su]t13 kato ati, amo di dalam aso pikirannyo
endak mintak mpakanyo nga kaba.”
[Kato bujang] : “Sebenagho aku tu la lamo bumbung ditetak, bemban la
lama diampayka, la lamo rindu diantak, dendam la lamo diintayka. Diantak
kepado ading sikuak, diintaykan pado kaba sughang.”
[Kato gadis]: “Amo luak itu muni kato, alaka injik aso ati, ala riyang pulo pikiran.
Injiak mbak nayiak kayu kecik, ibo mbak nayiak kayu agha.”
[Kato bujang] : “Injik tu nido sanding ganyiak, bada nido sanding duko. Injiak
kepado ading sikuak. Injiak kepado ading sughang. Anyo jalan ku ghagak, kalu
gi cak jalan ka campo, kalu nido.”
[Kato gadis]: “Kalu kaba tu ndak alap kato di muko, ndak ringkiya. Mbak
ibarat jemo ngarang bungo ka nempo, mbak ughang ngarang tampunyo.
Manoka alap kaba buwat, manoka ringkiya kaba banu. Ndak alap
karangan bungo, ndak ringkiya karangan tampung.”
Jawap [bujang]: “Ngapo sangko batiak kulepangka. Uli padi tu la tumbuwa
nga pangku(?). Kiciak kaba, ncaka dalam ati tula. Suruwa kepado ading
sikuak. Suruwa kepado sa[nak]14 sughang tuwo”.
[Jawap gadis]: “Amo kiciak tu nido ngarang bulak rambakan tu bukan
ngarang mbuung, ndak cap nga panciyo. Ndak nginak tando nga biyoyo cap
benga panci tando beasi tando biyo. Kato beguno jadi anyo nyampay. Mbak
kato jemo, amo nido ka asak belata jemo pati (pating?) asak sebela. Kamu
bayo kicikan la nunggal sutiak rambakan la nunggal satu. Lalu betepiak ciri, lalu
bejanji besemanyo. Janji tesandung kepa[do] [bu]lan, teletak kepado tawun”.

MNB 07.55: Wacana dan Praktik Sosial Begadisan


Naskah MNB 07.55 berupa satu ruas gelondong bambu berukuran

13 Tertulis mkst1 makasat.


14 Tertulis (sn) sana.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


74 Sarwit Sarwono

panjang 57 cm dan diameter 7,5 cm. Naskah ini berasal dari desa Rawa
Indah, diperoleh Museum Negeri Bengkulu tanggal 28 September 1998.
Terdapat satu larik yang berbunyi perambak bujang nga gadis yang
ditempatkan dalam kurung, seperti berikut ( pr:Ba1buj’ N: g:d si1), dan
merupakan judul teks. Dapat dipastikan bahwa naskah ini termasuk ke
dalam kelompok naskah Ulu Serawai dan diduga kuat ditulis pada awal
abab XX, mengingat karakteristik bentuk huruf dan bentuk sandangan,
serta penempatan sandangan dalam penulisan kata. Bahasa yang
digunakan dalam naskah memperlihatkan bahasa yang dewasa ini masih
digunakan oleh warga etnik Serawai di Bengkulu.

Kata perambak berasal dari kata dasar rambak; turunannya antara


lain kata perambak, beperambak, dan rambakan. Secara umum, kata
perambak artinya „perkataan‟. Kata beperambak berarti „berbicara‟
atau „berkata‟, sedangkan rambakan berarti „ucapan‟ atau „perkataan‟.
Dalam teks kata ini berpadanan dengan kata kiciak yang artinya
„perkataan‟ atau „ucapan‟. Perambak atau rambakan biasa juga
disebut rimbaian, merupakan istilah yang menunjuk kepada ucapan
atau perkataan (biasanya penuh kias), yaitu penggunaan bahasa antara
dua atau lebih pihak (dialog; musyawarah) untuk tujuan mendapatkan
kesepakatan atau kesepahaman mengenai sesuatu bagi beberapa
pihak itu. Tidak semua dialog atau musyawarah untuk mendapatkan
kesepakatan atau kesepahaman dapat dinamai rambakan atau rimbaian.
Disebut perambak atau rambakan atau rimbaian karena latar
berlangsungnya dialog atau musyawarah itu dan karena komposisi
bahasa dan tindakan lain yang menyertainya. Perambak atau rambakan
atau rimbaian biasanya berlatar peristiwa begadisan, berasan betunang
(melamar atau meminang), atau berasan kulo (menikahkan). Aktivitas
be-perambak biasanya diawali dengan makan sirih, simbol untuk
menunjukkan bahwa kegiatan itu berlatar adat, dan segala yang
dihasilkan dari dialog atau musyawarah itu bermakna sosial, bermakna

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 75

adat, mengikat secara sosial. Komposisi rambakan seperti dialog pada


umumnya, ada bagian awal, bagian tengah atau inti dan bagian akhir atau
penutup. Bagian awal merupakan bagian yang berisi perkenalan kedua
belah pihak, adakalanya berisi penyampaian maksud salah satu pihak.
Bagian tengah atau inti berisi pernyataan, pertanyaan, dan tanggapan
atau jawaban atas suatu topik atau hal yang dibicarakan. Bagian akhir
atau penutup merupakan simpulan atau kesepakatan kedua belah
pihak. Untuk kasus berasan betunang dan berasan bekulo, bagian akhir
biasanya disampaikan oleh sakonam15 atau ketua adat atau kepala desa.
Dalam perambak atau rimbaian akan dijumpai penggunaan pepatah,
ungkapan atau peribahasa, adakalanya pantun untuk menyampaikan
maksud secara tidak langsung.
Bangun teks ini adalah dialog antara budak gadis dan budak bujang
serta anak gadis dan anak bujang‟, dialog yang disusun menyerupai
teks drama. Susunan teks dimulai dengan ucapan seorang gadis dan
kemudian dijawab oleh budak bujang, demikian seterusnya sampai akhir
teks16.
Kutipan di atas menunjukkan si bujang dan si gadis berdialog, saling
menyatakan perasaan hatinya satu terhadap lainnya. Terdapat kias,
pernyataan tidak langsung untuk mengungkapkan isi hatinya, seperti
“bumbung ditetak” yang harfiahnya berarti “bambu dipotong”, suatu kias
untuk menyatakan bahwa si bujang kosong, seperti bambu yang kedua
ruasnya dipotong, kosong, tidak ada isinya. Kata ditetak, dengan bunyi
akhir yang bersesuaian dengan diantak adalah asosiasi bunyi, untuk
mengantarkan maksud bahwa perasaan si bujang hanyalah (diantak,
ditujukan, atau disampaikan) buat si gadis.
Dialog dalam teks sebagaimana dikutip dia atas, mengingatkan
kepada dan menunjuk ide atau acuan yang sama dengan dialog yang
lazim diucapkan bujang dan gadis ketika begadisan. Si gadis menyilakan

15 Sakonam merupakan bentukan kata sako (lihat catatan kaki nomor 3 halaman 4)
dan nam 'enam'. Sakonam adalah kumpulan enam orang yang merupakan keturunan dari
enam poyang yang berbeda-beda (tidak sedarah) yang berada dalam satu desa atau dalam
satu marga; merepresentasikan lembaga sosial yang mengontrol jalannya adat dalam desa
atau marga yang bersangkutan. Dewasa ini lembaga sakonam sudah jarang ditemui, dan
kalau pun ada, jumlah orangnya tidak selalu enam, bisa tiga atau empat.
16 Penulisan transliterasi dan terjemahan disesuaikan dengan menambahan kata
atau bagian teks yang tidak tertulis dan tanda-tanda baca.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


76 Sarwit Sarwono

si bujang makan sirih dan si bujang menjawabnya bahwa ia tak


keberatan menerima tawaran si gadis yang memang sudah sejak lama
diharapkannya. Bagian dialog itu juga menunjuk kepada kepada suatu
kondisi bahwa baik si gadis maupun si bujang masih lajang, belum
menikah. Kata budak menunjuk status ini. Kata budak dalam bahasa
Serawai tidak pernah digunakan untuk menunjuk kepada „orang dewasa
secara sosial‟ atau „orang yang sudah menikah‟. Dalam bahasa Serawai,
kata budak (adakalanya dipadankan dengan kata mudo) menunjuk
kepada status sosial seseorang yang sudah dewasa (biologis) tetapi
belum menikah. Kata ini digunakan untuk menyatakan bahwa yang
bersangkutan belum dewasa secara sosial, belum menjadi 'orang tua' dan
belum bisa disebut tuwo. Selanjutnya adalah kata kaba. Dalam bahasa
Serawai kata kaba berarti 'kamu'. Dalam bahasa Serawai juga dikenal
kata kamu, yang artinya 'kamu'. Kata kaba dan kata kamu berbeda dalam
penggunaannya. Kata kaba digunakan untuk menyapa lawan bicara yang
sederajat dengan pembicara, serta menunjukkan relasi yang biasa, tidak
terlalu dekat. Kata kamu digunakan untuk menyapa orang yang lebih tua,
dihormati, atau disayangi. Seorang bujang akan menyapa seorang gadis
yang ia kenal sebagai teman dengan sapaan kaba, demikian sebaliknya.
Namun seorang bujang akan menyapa kekasihnya atau pacarnya
dengan kamu, demikian sebaliknya. Maka larik dalam manuskrip ini
yang berbunyi jawap bujang, “la lamo niyan maksut ndak makan sighiya
kaba” menunjukkan bahwa hubungan antara si bujang dan si gadis
masih sebatas teman atau orang yang baru dikenalnya. Dengan kata lain,
dialog dengan sapaan kaba sebagaimana dalam manuskrip ini menunjuk
kepada dialog dalam aktivitas begadisan. Sebab, dalam begadisan-lah
bujang dan gadis saling menjajagi satu sama lain untuk kemungkinan
menjadi pacar.
Jika dicermati lebih lanjut, dialog dalam nsakah ini (khususnya
pada bagian akhir) menunjukkan bahwa di antara bujang dan gadis
terjadi kesepakatan, setelah masing-masing mengungkapkan isi hatinya.
Kutipan dari bagian akhir teks ini seperti yang berikut menunjukkan
adanya kesepakatan tersebut. Ungkapan-ungkapan amo kiciak tu nido
ngarang bulak (jika perkataan itu benar adanya/tidak dusta) serta
rambakan tu bukan ngarang mbu'ung (pernyataan itu bukan bohong
belaka), di samping ungkapan-ungkapan ndak nginak tando nga biyoyo

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 77

(ingin kuketahui tanda dan bianya) dan lalu betepiak tanci (maka betepiak
tanci)17 menunjukkan bahwa si gadis mengajukan syarat kepastian yang
lazimnya dinamai betepiak tanci sebagai bukti bahwa si bujang benar
adanya menghendaki si gadis sebagai 'pacarnya'.

[Kato gadis] : “Amo kiciak tu nido ngarang bulak rambakan tu bukan


ngarang mbu‟ung, ndak cap nga panciyo. Ndak nginak tando nga biyoyo cap
benga panci tando beasi tando biyo. Kato beguno jadi anyo nyampay. Mbak
kato jemo, amo nido ka asak belata jemo pati asak sebela. Kamu bayo kicikan
la nunggal sutiak rambakan la nunggal satu. Lalu betepiak ciri, lalu bejanji
besamonyo. Janji tesandung kepa[do] [bu]lan, teletak kepado tawun.”

[Kata gadis]: Jikalau perkataanmu tidak main-main dan tidak dusta, juga
rambakan-mu tidak bohong, aku ingin tahu tandanya. Ucapanmu akan
berguna dan dengan demikian sampailah maksud kita. Lalu betepiak ciri. Lalu
berjanji. Janji yang kita sepakati akan terpenuhi suatu saat nanti pada bulan
dan tahunnya.

Menarik untuk dicermati antara lain kata atau ungkapan pada


bagian akhir teks ini yang menunjuk kepada ide atau acuan yang
sama dengan ide sebagaimana dimaksudkan dalam dialog begadisan.
Kata atau ungkapan itu adalah bejanji besemayo, ungkapan cap
nga panciyo, serta ungkapan betepiak ciri. Kata-kata atau ungkapan
tersebut merupakan kata-kata yang juga muncul dalam praktik
berasan betunang, yaitu musyawarah antara pihak keluarga laki-laki
dan pihak keluarga perempuan untuk menentukan pertunangan anak-
anak mereka, di samping menyepakati hal-hal lain yang menyangkut
uang pengendak serta waktu pelaksanaan pernikahan18. Kata bejanji
bersinonim dengan kata besemayo yang artinya 'berjanji', yaitu bujang
dan gadis saling berjanji untuk 'berpacaran' (besantingan dalam bahasa

17 Kata tepiak atau bentuk turunannya yaitu nepiak atau tetepiak berarti meletakkan
atau menetapkan. Nepiak tanci berarti memberikan uang sebagai tanda ketetapan seorang
bujang atas seorang gadis sebagai “pacar” dan calon istrinya. Helfrich memberikan makna
kata ini antara lain sebagai “nepiak (rijal), eene ceremonie bij het huwelijk” (Helfrich, O.L.,
1904: 177).
18 Naskah Ulu yang mengemukakan ikhwal berasan betunang adalah MNB 07.49,
berupa ruas gelondong bambu, panjang 43 cm diameter 6 cm.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


78 Sarwit Sarwono

Serawai). Dalam berasan betunang pernyataan wakil keluarga pihak bujang


selalu merujuk kepada janji semayo sesamo budak, maksudnya janji antara
bujang dan gadis yang telah mereka sepakati dalam begadisan. Berasan
betunang merupakan konsekuensi dari kesepakatan bujang dan gadis
selama praktik begadisan. Kata bejanji besemayo adalah janji kesepakatan
bujang gadis untuk menjadi pacar masing-masing dan akan setia tidak
mencari pacar lain. Ungkapan cap nga panciyo harfiahnya berarti 'tanda'
atau bukti. Maksudnya adalah bukti bahwa mereka setuju “berpacaran”,
setuju atau bersedia menjadi calon “pasangan suami istri” untuk . Tanda
atau bukti itu adalah pemberian uang oleh bujang kepada si gadis dan
pemberian selendang oleh gadis kepada si bujang. Pemberian tanda atau
bukti oleh bujang kepada gadis dan sebaliknya itulah yang disebut betepiak
ciri, suatu ungkapan untuk menyatakan kesepakatan disertai tanda dan
bukti fisik yang mengikat keduanya, mengikat secara sosial atau secara
adat.
Demikianlah, MNB 07.55 (selanjutnya disebut Perambak Bujang
nga Gadis; PBG) dapat dipandang sebagai wacana (discourse)19. Teks
PBG ditulis oleh penulisnya20 tidak dimaksudkan sebagai rekaman faktual
praktik begadisan, melainkan ditulis dalam kaitannya dengn identitas dan
peran sosialnya dalam lingkungan budaya masyarakatnya21 khususnya

19 Wacana dalam makna van Leeuwen, “... that is, not in the sense of “an extended
stretch of connected speech or writing,” a “text,” but in the sense of social cognition, of “a
socially constructed knowledge of some social practice,” developed in specific social contexts,
and in ways appropriate to these contexts, ...” (van Leeuwen, Theo. Discourse and Practice.
New Tools for Critical Discourse Analysis. Oxford: Oxford University Press, 2008, hlm. 6).
20 Terdapat cukup petunjuk adanya keterkaitan antara jenis dan isi teks Ulu dengan
identitas dan peran sosial penulisnya. Atas dasar keterkaitan ini, dapat dipastikan MNB 07.55
ditulis oleh orang dengan identitas sosial pemangku adat (lihat Sarwono, Sarwit dan Nunuk
Juli Astuti, Pemetaan Penulis dan Pusat Penulisan Naskah-naskah Ulu Melalui Penelusuran
Naskah-naskah Ulu pada Masyarakat di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian Hibah Pekerti
DP2M, Ditjen Dikti, 2007)
21 Bandingkan dengan pandangan Luc, “A narrative never provides a perfect copy of
the reality constituting its subject. A person who narrates what has happened to him will always
summarize, expand, embellish, and leave out certain aspects of his experience.” (Herman, Luc
and Bart Vervaeck. Handbook of Narrative Analysis. Lincoln and London: University of Nebraska
Press, 2005, hlm. 14); dan juga pandangan Caldas-Coulthard untuk kasus berita (news) sebagai
berikut, “News therefore, is not an objective representation of facts – news is a cultural construct
that encodes fixed values. These values help journalists to determine what is newsworthy and
therefore what gets reported” (Caldas-Coulthard, Carmen Rosa, “Cross-Cultural Representation of
„Otherness‟ in Media Discourse Cross-Cultural Representation of „Otherness‟ in Media Discourse”,
dalam Gilbert Weis dan Ruth Wodak (eds.), Critical Discourse Analysis Theory and Interdiciplinarity,
Palgrave Macmilan, 2003 (272-296), hlm 273.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


Naskah Ulu MNB 07.55:
Wacana dan Praktik Sosial Begadisan, Bengkulu 79

yang menyangkut praktik sosial


begadisan. Teks PBG dapat dipandang sebagai representasi praktik
sosial begadisan22, dan dalam kerangka proses dan distribusi teks, PBG
merupakan media merekontekstualisasi praktik begadisan. Dalam
kaitan ini, keseluruhan rangkaian tindakan para partisipan dalam setting
ruang dan waktu yang tertentu untuk mencapai tujuan tertentu di
transformasi ke dalam wujud teks PBG. Elemen-elemen lain dalam
realitas praktik begadisan tidak dikisahkan dalam teks, misalnya tempat
dan waktu berlangsungnya praktik tersebut. Sebaliknya, dalam teks, soal
tujuan praktik begadisan mendapat penekanan. Sebagaimana sudah
disinggung di atas, bagian akhir teks PBG secara eksplisit menunjukkan
tujuan praktik sosial begadisan. Kalimat yang diucapkan gadis, “Ndak
nginak tando nga biyoyo cap benga panci…” menandai ide bahwasannya
tujuan akhir dari praktik begadisan adalah tercapainya kesepatakan
bujang-gadis yang ditandai dengan “tepiak ciri‟ oleh keduanya;
pemberian tanda atau ciri untuk saling mengikat sampai waktunya tiba
nanti untuk manikah. Selanjutnya, penggunaan kata kaba “kamu” pada
awal teks, dan munculnya kata kamu “kamu” pada akhir teks sebagai
bentuk sapaan antara bujang dan gadis juga menandai tujuan praktik
begadisan. Teks PBG adalah wujud transformasi ide dan praktik sosial
begadisan, merepresentasi identitas sosial, serta digunakan sebagai
media merekontekstualisasi praktik sosial tersebut.

Penutup
MNB 07.55 salah satu saja dari banyak naskah Ulu yang memiliki
pertautan dengan teks-teks dalam tradisi lisan serta praktik-praktik
sosial pada berbagai kelompok etnik di Bengkulu. Studi naskah-naskah
Ulu dalam kerangka menghasilkan suntingan teks yang dapat diakses
menjadi penting dilakukan, mengingat studi yang dimaksud dapat
menjadi sarana penyediaan korpus data yang akan sangat bermanfaat
bagi studi sosial humaniora. Studi dengan menempatkan naskah dan
teks-teks dalam kerangka yang lebih luas juga perlu dilakukan. Cara
pandang terhadap naskah dan teks perlu diperluas, mencakup proses

22 Lihat misalnya van Leeuwen, Theo, Discourse and Practice. New Tools for Critical
Discourse Analysis, New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 4-6; juga Caldas-Coulthard,
op.cit., 2003 (272-296), hlm. 275-276.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


80 Sarwit Sarwono

produksinya misalnya, selain konteks budaya yang melahirkan naskah


dan teks yang tidak dapat dipisahkan dari naskah dan teks. Teks-teks dari
sumber tradisi lisan menjadi penting untuk diperhatikan, juga berbagai
macam aktivitas melembaga atau tradisi dan ritus sosial lainnya dalam
studi naskah. Dalam kerangka ini, naskah dan teks dapat dipahami secara
lebih proporsional dan memberikan informasi yang mendalam.

Bibliografi
Helfrich, O.L., 1904. “Bijdragen tot de kennis van het Midden-Maleisch
Besemahsch en Serawajsch Dialect,” dalam VBG LIII.
Herman, Luc and Bart, Vervaeck. 2005. Handbook of Narrative
Analysis. Lincoln and London: University of Nebraska Press.
Van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse and Practice. New Tools for
Critical Discourse Analysis. Oxford: Oxford University Press.
Sarwono, Sarwit dan Astuti, Nunuk Juli. 2007. Pemetaan Penulis dan
Pusat Penulisan Naskah-naskah Ulu Melalui Penelusuran Naskah-
naskah Ulu pada Masyarakat di Provinsi Bengkulu, Laporan
Penelitian Hibah Pekerti DP2M, Ditjen Dikti.
Sarwono, Sarwit. 2009. Transformasi Teks dalam Tradisi Tulis Ulu
pada Etnik Serawai di Bengkulu, Laporan Penelitian Fundamental
DP2M Ditjen Dikti.
Weis, Gilbert dan Wodak, Ruth (eds.). 2003. Critical Discourse Analysis
Theory and Interdiciplinarity, Palgrave Macmilan.

Sarwit Sarwono, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP


Universitas Bengkulu, Indonesia. E-mail: sarwitsudiro@gmail.com.

Manuskripta, Vol. 7, No. 1, 2017


KETENTUAN PENGIRIMAN TULISAN

Jenis Tulisan
Jenis tulisan yang dapat dikirimkan ke Manuskripta ialah:
a. Artikel hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
b. Artikel setara hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
c. Tinjauan buku (buku ilmiah, karya fiksi, atau karya populer)
mengenai pernaskahanNusantara
d. Artikel merupakan karya asli, tidak terdapat penjiplakan
(plagiarism), serta belum pernah ditebitkan atau tidak sedang
dalam proses penerbitan

Bentuk Naskah
1. Artikel dan tinjauan buku ditulis dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku.
2. Naskah tulisan dikirimkan dalam format Microsoft Word dengan
panjang tulisan 5000-7000 kata (untuk artikel) dan 1000-2000
kata (untuk tinjauan buku).
3. Menuliskan abstrak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
sebanyak 150 kata.
4. Menyertakan kata kunci (keywords) dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia sebanyak 5-7 kata.
5. Untuk tinjauan buku, harap menuliskan informasi bibliografis
mengenai buku yang ditinjau.

Tata Cara Pengutipan


1. Sistem pengutipan menggunakan gaya American Political Sciences
Association (APSA).
2. Penulis dianjurkan menggunakan aplikasi pengutipan standar
seperti Zotero, Mendeley, atau Endnote.
3. Sistem pengutipan menggunakan body note sedangkan catatan
akhir digunakan untuk menuliskan keterangan-keterangan terkait
artikel.
Sistem Transliterasi
Sistem alih aksara (transliterasi) yang digunakan merujuk pada
pedoman Library of Congress (LOC).

Identitas Penulis
Penulis agar menyertakan nama lengkap penulis tanpa gelar
akademik, afiliasi lembaga, serta alamat surat elektronik (email) aktif.
Apabila penulis terdapat lebih dari satu orang, maka penyertaan
identitas tersebut berlaku untuk penulis berikutnya.

Pengiriman Naskah
Naskah tulisan dikirimkan melalui email: jmanuskripta@gmail.com.

Penerbitan Naskah
Manuskripta merupakan jurnal ilmiah yang terbit secara elektronik
dan daring (online). Penulis akan mendapatkan kiriman jurnal dalam
format PDF apabila tulisannya diterbitkan. Penulis diperkenankan
untuk mendapatkan jurnal dalam edisi cetak dengan menghubungi
email: jmanuskripta@gmail.com.
MANUSKRIPTA (ISSN 2252-5343) adalah jurnal ilmiah yang dikelola
oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), asosiasi profesi
pertama dan satu-satunya di Indonesia yang memperhatikan
preservasi naskah. Jurnal ini dimaksudkan sebagai media pembahasan
ilmiah dan publikasi hasil penelitian filologi, kodikologi, dan
paleografi. Terbit dua kali dalam setahun.

Anda mungkin juga menyukai