Rahmat Sopian, Aditya Pradana, Mamat Ruhimat Indeksasi Digital Aksara Sunda Kuno: Studi Kasus
pada Naskah Koleksi Skriptorium Kabuyutan Ciburuy Garut | Ilham Nurwansah Hukum dalam Naskah Sunda
Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian | Sarwit Sarwono Naskah Ulu MNB 07.55: Wacana dan Praktik Sosial
Begadisan pada Kelompok Etnik Serawai di Bengkulu | Jamaluddin Kontribusi Naskah Sasak bagi Pembentukan
Karakter Bangsa | Wiwien Widyawati Rahayu Pola Perjalanan Spiritual Karya Sastra Jawa Abad XVIII melalui
Naskah Jaka Selewah | Agung Zainal Muttakin Raden, Mohamad Sjafei Andrijanto Hikayat
Purasara: Komunikasi Visual Ilustrasi Wayang pada Naskah Sastra Betawi Abad ke-19 | Tommy Christomy
Menziarahi Masa Lalu untuk Masa Kini melalui Naskah Pakualaman II.
PIMPINAN REDAKSI
Oman Fathurahman
REDAKTUR PELAKSANA
Muhammad Nida’ Fadlan
Aditia Gunawan
PENYUNTING
Ali Akbar, Asep Saefullah, Agus Iswanto, Dewaki Kramadibrata,
M. Adib Misbachul Islam, Priscila Fitriasih Limbong, Yulianetta
ASISTEN PENYUNTING
Abdullah Maulani
DESAIN SAMPUL
Muhammad Nida’ Fadlan
ALAMAT REDAKSI
Sekretariat Masyarakat Pernaskahan Nusantara (MANASSA)
Gedung VIII, Lantai 1, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya,
Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 16424
Website. http://journal.perpusnas.go.id/index.php/manuskripta
Email. jmanuskripta@gmail.com
Artikel
1 Giuseppina Monaco
Studi Naskah Batak:
Masalah dan Prosedurnya
97 Jamaluddin
Kontribusi Naskah Sasak
bagi Pembentukan Karakter Bangsa
Abstract: This research aims to disscuss about Ulu MNB 07.55 manuscript related to
social practice of begadisan in Serawai ethnic group of Bengkulu. The research based
on text as discourse, that is knowledge about social practices, of how things are or must
be done, together with specific evaluations and legitimations of, and purposes for, these
practices. Based on codex data, known that MNB 07.55 manuscript derived from Serawai
ethnic group of Bengkulu, written approximately in the mid-twentieth century. At that
time (even until today), the social practice of begadisan still carried out intensively by the
ethnic. Furthermore, this manuscript containts a dialogue between unmarriage bachelors
and girls. In this connection, the writing of this manuscript is not intended as a record of
events begadisan objectively, but is intended as the construction of knowledge about the
practice of begadisan that it contains a certain value and legitimacy of identity and social
functions of the author of the text. In the context of writing, the manuscript can be seen
as a re-contextualization begadisan practice.
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendiskusikan tentang Ulu MNB 07.55 yang
berkaitan dengan paktik-praktik sosial begadisan di Serawak, salah satu etnis Bengkulu.
riset ini berdasarkan diskursus teks naskah tersebut yang memuat pengetahuan tentang
hal itu, bagaimana sesuatu yang harus diselesaikan beserta evaluasi yang spesifik,
legitimasi, dan tujuan ritual tersebut dilakukan. Berdasarkan naskah tersebut, diketahui
bahwa MNB 07.55 berasal dari etnis Serawai, Bengkulu, ditulis kira-kira pertengahan abad
ke-20. pada masa itu sampai hari ini, praktik-praktik sosial begadisan tetap dilestarikan
dengan baik oleh etnis tersebut. Lebih lanjut, naskah ini memuat dialog antara lelaki
perjaka dengan gadis yang hendak disuntingnya. Dalam relasinya, penulisan manuskrip
ini tidak hanya merekam aktivitas begadisan semata, melainkan juga membangun
pemahaman tentang nilai-nilai legitimasi identitas dan fungsi sosial yang terdapat pada
ritual begadisan yang terdapat pada teks naskah ini. Dalam konteks penulisan, naskah ini
juga dapat ditinjau sebagai pengembalian konteks ritual begadisan.
Kata Kunci: Naskah Ulu, Praktik Sosial, Begadisan, Etnis Serawai Bengkulu.
Pertautan antara tradisi tulis Ulu dan tradisi lisan dari berbagai
etnik di Provinsi Bengkulu merupakan fenomena yang sangat umum.
Terdapat cukup banyak bukti bahwa teks-teks yang tertulis dalam
naskah-naskah Ulu yang dapat ditemukan ada atau hidup dalam tradisi
lisan. Misalnya, MNB 07.32 dan MNB 07.72, keduanya berupa satu ruas
gelondong bambu. Yang pertama berisi Nandai Kancil dan yang kedua
Nandai Biyawak Nebat; kedua prosa rakyat itu lazim dijumpai dituturkan
dalam tradisi lisan. Contoh lainnya adalah MNB 07.34, MNB 07.39, dan
MNB 07.139 yang berisi sedingan (kadang disebut seding delapan),
sebuah teks yang mengisahkan kesedihan manusia dalam kahdupan di
dunia. Pada sekitar Juni 2006, saya berkesempatan mendengarkan teks
sedingan dituturkan oleh Sukaimah di desa Muara Timput Kabupaten
Seluma. Menurutnya, pada masa ia remaja, sekitar tahun 1950-an,
sedingan merupakan teks yang populer dan dikuasai oleh kebanyakan
orang, serta biasa dituturkan di desanya. Tampaknya tradisi lisan
merupakan sumber bagi tradisi tulis Ulu. Dalam kaitan ini, tampak bahwa
tradisi penyalinan teks (transmisi teks), dari tulis ke tulis tidak lazim
dijumpai, sementara transformasi teks (dari lisan ke tulis) sangat lazim
dijumpai1.
1 Sarwono, Sarwit, Transformasi Teks dalam Tradisi Tulis Ulu pada Etnik Serawai di
Bengkulu, Laporan Penelitian Fundamental DP2M Ditjen Dikti, 2009.
2 Bahan-bahan dikumpulkan dan dirangkum dari hasil wawancara dengan Bapak Rohani
di desa Karang Anyar, Kecamatan Semidang Alas, Kabupaten Seluma pada sekitar Agustus 2001;
wawancara dengan beberapa narasumber dari etnik Serawai dan Pasemah; serta catatan lapangan
selama pengamatan terhadap beberapa praktik begadisan bersama Sdr. Jonairi (di Desa Sukaraja
Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Seluma; 1997), Sdr. Sairah Asnili, di Padang Guci Kabupaten Kaur
(2001), dan Fitra Youpika di beberapa desa di Kecamatan Kaur Utara Kabupaten Kaur (2013).
3 Secara harfiah, kata sako berarti "tiang". Dalam konteks ini, kata sako berarti
poyang. Orang-orang yang berasal dari sako yang sama berarti orang-orang yang berasal dari
poyang yang sama, dan dengan demikian berkerabat, serta tabu melakukan begadisan, tabu
berpasangan menari adat, dan tabu menikah.
oleh si bujang melalui temannya yang berasal dari desa yang sama dengan
desa si gadis. Dalam hal ini, teman si bujang merupakan sumber informasi
awal mengenai si gadis. Bisa jadi, gadis yang akan dikunjungi oleh seorang
bujang adalah gadis yang pernah dilihat atau dikenalnya ketika ada suatu
keramaian seperti pesta pernikahan atau ada keramaian lainnya, atau pada
suatu kesempatan lainnya. Jika si bujang tersebut bermaksud mengenali lebih
jauh seorang gadis yang dikenalnya atau yang dimaksudkan oleh temannya
atau yang dikenalnya pada suatu kesempatan keramaian, maka ia dan
temannya akan bertandang ke rumah si gadis.
Begadisan hanya berlaku bagi bujang dan gadis, seorang yang masih
perjaka dan masih perawan. Dalam hal seorang laki-laki yang pernah menikah
atau duda, dan demikian juga seorang perempuan yang sudah pernah
menikah atau janda bermaksud mencari calon istri atau calon suami, mereka
melakukannya tidak melalui lembaga sosial begadisan.
Adat berkunjung atau bertandang mengatur tata cara jika seorang bujang
yang hendak begadisan di rumah seorang gadis. Misalnya, dalam bertandang
seorang bujang tidak boleh melalui pintu belakang rumah seorang gadis. Ia
dan teman-temannya harus melalui pintu depan. Ia harus permisi kepada
tuan rumah, menyampaikan salam, dan menyatakan maksud kedatangannya,
yaitu hendak begadisan dengan anak gadis tuan rumah yang dikunjungi. Jika
kelaziman ini tidak dipatuhi, si bujang akan ditolak untuk begadisan karena
dianggap tidak santun dan tidak sungguh-sungguh. Lama waktu bujang dan
gadis berbincang-bincang dibatasi, lebih kurang dua jam, dari pukul 20.00
sampai dengan pukul 22.00 WIB. Jika mendapat kunjungan bujang, seorang
gadis wajib menemui tamunya.
Sebagaimana yang dituturkan Bapak Rohani (ketua adat desa Karang
Anyar), pada masa lampau, ketika seorang bujang datang ke rumah seorang
gadis untuk begadisan, si gadis akan mengeluarkan atau menyediakan (ngen-
juakka dalam bahasa Serawai yang berarti "menyediakan‟ atau "memberi-
kan‟) tikar gamar (tikar dari anyaman daun pandan) dan lengguay (bejana
berisi sirih, pinang, gambir, dan kapur sirih). Bujang dan gadis akan duduk di
atas tikar yang disediakan si gadis4. Posisi duduk si bujang dan si gadis tidak
boleh lurus berhadapan. Jika si gadis tidak berkenan terhadap si bujang, dan
4 Dewasa ini keharusan menyediakan tikar gamar dan lengguay oleh seorang gadis
yang dikunjungi bujang tidak lazim lagi. Dewasa ini, bujang yang bertandang akan diterima di
ruang tamu atau di beranda rumah atau dalam ruang bagian belakang rumah dan duduk di
kursi atau di bangku.
(Rasanya telah kuawasi dan kucermati, tapi kamu tidak tampak olehku. Ba-
rangkali kamu salah datang, salah tujuan. Barangkali kamu tersesat sehingga
sampai ke sini).
Yak nga nian. Mo luak itu tebao. Pikirka kudai abis-abis, benano kudai sudo-
sudo. Kalu pikiran kaba abis pagi, penano kaba lagi abis petang. Inak kudai, inak
jangan seinak-inako. Dengagh kudai, dengagh jangan sedengagh-dengagho.
Inak kaba lagi tabir kain, dengar kaba lagi tabir dinding. Cacato nati kaba
nesal. Padoka nesal kemudian, iluak la nesal seduluo. Nesal dulu penapatan,
nesal kemudian nido beguno. Kalu belum ko boalia bada duduak sepisa bada
tegak, pikiran kaba la duo tigo, peneno kaba la empat limo. Pikiran kaba la
beghuba pado ughang lain, penano kaba la ngalia pada ughang asing....10
10 Kutipan diambil dari transkripsi rekaman begadisan yang dilakukan Sdr. Jonairi di
desa Sukaraja Kabupaten Seluma (1997).
11 Kata betepiak atau bentuk turunannya yaitu nepiak atau tetepiak berarti
“meletakkan” atau “menetapkan.” Nepiak tanci berarti memberikan uang sebagai tanda
ketetapan seorang bujang atas seorang gadis sebagai “pacar” dan calon istrinya. Helfrich
memeri makna kata ini antara lain sebagai nepiak (rijal), eene ceremonie bij het huwelijk
(Helfrich, O.L., “Bijdragen tot de kennis van het Midden-Maleisch Besemahsch en Serawajsch
Dialect),” VBG LIII, 1904, hal. 177.
12 Helfrich memberikan penjelasan atas nunang gadis sebagai "het geven van 5
rijksdalders als pand en teeken door een jongeling aan het meisje, waarmede hij zich wil
verloven“ pemberian sebesar 5 rijksdalders (mata uang Belanda) sebagai bukti atau jaminan
dan tanda yang diberikan seorang bujang kepada seorang gadis bahwa ia mau berteman
(menjadi calon istri)” (Helfrich, O.L., hal. 190).
panjang 57 cm dan diameter 7,5 cm. Naskah ini berasal dari desa Rawa
Indah, diperoleh Museum Negeri Bengkulu tanggal 28 September 1998.
Terdapat satu larik yang berbunyi perambak bujang nga gadis yang
ditempatkan dalam kurung, seperti berikut ( pr:Ba1buj’ N: g:d si1), dan
merupakan judul teks. Dapat dipastikan bahwa naskah ini termasuk ke
dalam kelompok naskah Ulu Serawai dan diduga kuat ditulis pada awal
abab XX, mengingat karakteristik bentuk huruf dan bentuk sandangan,
serta penempatan sandangan dalam penulisan kata. Bahasa yang
digunakan dalam naskah memperlihatkan bahasa yang dewasa ini masih
digunakan oleh warga etnik Serawai di Bengkulu.
15 Sakonam merupakan bentukan kata sako (lihat catatan kaki nomor 3 halaman 4)
dan nam 'enam'. Sakonam adalah kumpulan enam orang yang merupakan keturunan dari
enam poyang yang berbeda-beda (tidak sedarah) yang berada dalam satu desa atau dalam
satu marga; merepresentasikan lembaga sosial yang mengontrol jalannya adat dalam desa
atau marga yang bersangkutan. Dewasa ini lembaga sakonam sudah jarang ditemui, dan
kalau pun ada, jumlah orangnya tidak selalu enam, bisa tiga atau empat.
16 Penulisan transliterasi dan terjemahan disesuaikan dengan menambahan kata
atau bagian teks yang tidak tertulis dan tanda-tanda baca.
(ingin kuketahui tanda dan bianya) dan lalu betepiak tanci (maka betepiak
tanci)17 menunjukkan bahwa si gadis mengajukan syarat kepastian yang
lazimnya dinamai betepiak tanci sebagai bukti bahwa si bujang benar
adanya menghendaki si gadis sebagai 'pacarnya'.
[Kata gadis]: Jikalau perkataanmu tidak main-main dan tidak dusta, juga
rambakan-mu tidak bohong, aku ingin tahu tandanya. Ucapanmu akan
berguna dan dengan demikian sampailah maksud kita. Lalu betepiak ciri. Lalu
berjanji. Janji yang kita sepakati akan terpenuhi suatu saat nanti pada bulan
dan tahunnya.
17 Kata tepiak atau bentuk turunannya yaitu nepiak atau tetepiak berarti meletakkan
atau menetapkan. Nepiak tanci berarti memberikan uang sebagai tanda ketetapan seorang
bujang atas seorang gadis sebagai “pacar” dan calon istrinya. Helfrich memberikan makna
kata ini antara lain sebagai “nepiak (rijal), eene ceremonie bij het huwelijk” (Helfrich, O.L.,
1904: 177).
18 Naskah Ulu yang mengemukakan ikhwal berasan betunang adalah MNB 07.49,
berupa ruas gelondong bambu, panjang 43 cm diameter 6 cm.
19 Wacana dalam makna van Leeuwen, “... that is, not in the sense of “an extended
stretch of connected speech or writing,” a “text,” but in the sense of social cognition, of “a
socially constructed knowledge of some social practice,” developed in specific social contexts,
and in ways appropriate to these contexts, ...” (van Leeuwen, Theo. Discourse and Practice.
New Tools for Critical Discourse Analysis. Oxford: Oxford University Press, 2008, hlm. 6).
20 Terdapat cukup petunjuk adanya keterkaitan antara jenis dan isi teks Ulu dengan
identitas dan peran sosial penulisnya. Atas dasar keterkaitan ini, dapat dipastikan MNB 07.55
ditulis oleh orang dengan identitas sosial pemangku adat (lihat Sarwono, Sarwit dan Nunuk
Juli Astuti, Pemetaan Penulis dan Pusat Penulisan Naskah-naskah Ulu Melalui Penelusuran
Naskah-naskah Ulu pada Masyarakat di Provinsi Bengkulu, Laporan Penelitian Hibah Pekerti
DP2M, Ditjen Dikti, 2007)
21 Bandingkan dengan pandangan Luc, “A narrative never provides a perfect copy of
the reality constituting its subject. A person who narrates what has happened to him will always
summarize, expand, embellish, and leave out certain aspects of his experience.” (Herman, Luc
and Bart Vervaeck. Handbook of Narrative Analysis. Lincoln and London: University of Nebraska
Press, 2005, hlm. 14); dan juga pandangan Caldas-Coulthard untuk kasus berita (news) sebagai
berikut, “News therefore, is not an objective representation of facts – news is a cultural construct
that encodes fixed values. These values help journalists to determine what is newsworthy and
therefore what gets reported” (Caldas-Coulthard, Carmen Rosa, “Cross-Cultural Representation of
„Otherness‟ in Media Discourse Cross-Cultural Representation of „Otherness‟ in Media Discourse”,
dalam Gilbert Weis dan Ruth Wodak (eds.), Critical Discourse Analysis Theory and Interdiciplinarity,
Palgrave Macmilan, 2003 (272-296), hlm 273.
Penutup
MNB 07.55 salah satu saja dari banyak naskah Ulu yang memiliki
pertautan dengan teks-teks dalam tradisi lisan serta praktik-praktik
sosial pada berbagai kelompok etnik di Bengkulu. Studi naskah-naskah
Ulu dalam kerangka menghasilkan suntingan teks yang dapat diakses
menjadi penting dilakukan, mengingat studi yang dimaksud dapat
menjadi sarana penyediaan korpus data yang akan sangat bermanfaat
bagi studi sosial humaniora. Studi dengan menempatkan naskah dan
teks-teks dalam kerangka yang lebih luas juga perlu dilakukan. Cara
pandang terhadap naskah dan teks perlu diperluas, mencakup proses
22 Lihat misalnya van Leeuwen, Theo, Discourse and Practice. New Tools for Critical
Discourse Analysis, New York: Oxford University Press, 2008, hlm. 4-6; juga Caldas-Coulthard,
op.cit., 2003 (272-296), hlm. 275-276.
Bibliografi
Helfrich, O.L., 1904. “Bijdragen tot de kennis van het Midden-Maleisch
Besemahsch en Serawajsch Dialect,” dalam VBG LIII.
Herman, Luc and Bart, Vervaeck. 2005. Handbook of Narrative
Analysis. Lincoln and London: University of Nebraska Press.
Van Leeuwen, Theo. 2008. Discourse and Practice. New Tools for
Critical Discourse Analysis. Oxford: Oxford University Press.
Sarwono, Sarwit dan Astuti, Nunuk Juli. 2007. Pemetaan Penulis dan
Pusat Penulisan Naskah-naskah Ulu Melalui Penelusuran Naskah-
naskah Ulu pada Masyarakat di Provinsi Bengkulu, Laporan
Penelitian Hibah Pekerti DP2M, Ditjen Dikti.
Sarwono, Sarwit. 2009. Transformasi Teks dalam Tradisi Tulis Ulu
pada Etnik Serawai di Bengkulu, Laporan Penelitian Fundamental
DP2M Ditjen Dikti.
Weis, Gilbert dan Wodak, Ruth (eds.). 2003. Critical Discourse Analysis
Theory and Interdiciplinarity, Palgrave Macmilan.
Jenis Tulisan
Jenis tulisan yang dapat dikirimkan ke Manuskripta ialah:
a. Artikel hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
b. Artikel setara hasil penelitian mengenai pernaskahan Nusantara
c. Tinjauan buku (buku ilmiah, karya fiksi, atau karya populer)
mengenai pernaskahanNusantara
d. Artikel merupakan karya asli, tidak terdapat penjiplakan
(plagiarism), serta belum pernah ditebitkan atau tidak sedang
dalam proses penerbitan
Bentuk Naskah
1. Artikel dan tinjauan buku ditulis dalam bahasa Indonesia atau
bahasa Inggris dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku.
2. Naskah tulisan dikirimkan dalam format Microsoft Word dengan
panjang tulisan 5000-7000 kata (untuk artikel) dan 1000-2000
kata (untuk tinjauan buku).
3. Menuliskan abstrak dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia
sebanyak 150 kata.
4. Menyertakan kata kunci (keywords) dalam bahasa Inggris dan
bahasa Indonesia sebanyak 5-7 kata.
5. Untuk tinjauan buku, harap menuliskan informasi bibliografis
mengenai buku yang ditinjau.
Identitas Penulis
Penulis agar menyertakan nama lengkap penulis tanpa gelar
akademik, afiliasi lembaga, serta alamat surat elektronik (email) aktif.
Apabila penulis terdapat lebih dari satu orang, maka penyertaan
identitas tersebut berlaku untuk penulis berikutnya.
Pengiriman Naskah
Naskah tulisan dikirimkan melalui email: jmanuskripta@gmail.com.
Penerbitan Naskah
Manuskripta merupakan jurnal ilmiah yang terbit secara elektronik
dan daring (online). Penulis akan mendapatkan kiriman jurnal dalam
format PDF apabila tulisannya diterbitkan. Penulis diperkenankan
untuk mendapatkan jurnal dalam edisi cetak dengan menghubungi
email: jmanuskripta@gmail.com.
MANUSKRIPTA (ISSN 2252-5343) adalah jurnal ilmiah yang dikelola
oleh Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), asosiasi profesi
pertama dan satu-satunya di Indonesia yang memperhatikan
preservasi naskah. Jurnal ini dimaksudkan sebagai media pembahasan
ilmiah dan publikasi hasil penelitian filologi, kodikologi, dan
paleografi. Terbit dua kali dalam setahun.