Anda di halaman 1dari 5

Mencoba belajar Istiqomah mungkin itu yang pantas buat forum diskusi Bayt Al-Hikmah, meksi dengan berbagai

aktivitasnya
teman-teman Bayt Al-Hikmah sebisa mungkin membagi waktu aktvitas mereka supaya bisa tetap melakukan kajian dan diskusi-
diskusi kecil di Bayt Al-Hikmah. Jum’at (11/09/09) senandung Sholawat dan Barjanji bergema di rumah samping kantor Fahmina
yang merupakan tempat rutin teman-teman Bayt Al-Hikmah mengadakan berbagai kegiatan baik sebelum dan sesudah Ramadhan
ini.Hiruk pikuk orang diluar sana menyiapakan datangnya hari nan fitri (Idul Fitri) dengan Shopping keberbagai Mall yang berada
di kota Cirebon dan teriknya matahari tak menyurutkan semangat mereka. Mereka asyik dengan senandung sholawatan, barjanji
dan semaan Al-Qur’an. Makna idul fitri bukan dari baju baru, sandal baru dan lain-lain, akan tetapi bagaimana implentasi perilaku
dan sensifitas kita terhadap lingkungan sekitar. Jangan sampai kita senang-senang tetapi tetangga kita kekurangan hingga mereka
melakukan hal-hal yang tidak di inginkan.Meski marhabanan sekarang tak banyak kita dengar lagi dalam masyarakat, baik di suro-
Suro (Musola) seolah-olah hampir hilang, oleh karenanya Bayt Al-Hikmah di Ramadhan ini berusaha menghidupkan kembali
tradisi marhabana yang sarat akan makna kebersamaan dan bentuk kecintaan kita terhadap Nabi Muhammad SAW. Harapan
teman-teman Bayt Al-Hikmah marhabanan ini akan terus berjalanan setelah Ramadhan ini usai agar tradisi-tradisi lokal tidak
punah “Ungkap Mba Masyitoh disela-sela waktu istrihata”.

Marhabanan sebagai Asah Mental Seni para


Santri
Diposting oleh Redaksi http://buntetpesantren.org/index.php?option=com_content&task=view&id=867&Itemid=39
Friday, 30 January 2009
SENI dalam ranah pesantren sedikit berbeda baunya dibanding aktvitas seni di dunia luar. Jika di dunia luar ada tradisi pembacaan
syair-syair seperti para penyair bangsa dari berbagai angkatan, maka sedikit berbeda, seni bertutur dan bersyair juga akrab di
Pesantren. Salah satu syair yang sering dikumandangkan adalah pembacaan barzanji. Diakui, seni barzanji ini berdaya "magis"
diantaranya bisa memberikan rasa religiusitas yang mendalam karena di dalamnya terkandung ajaran cinta Rasul yang membangun
akhlak dalam hubungan kemanuisaan.
Setidaknya kegiatan itu terwujud kemarin, Kamis (29/1) di Masjid Buntet pesantren. Marhabanan yang diikuti semua asrama di
Buntet Pesantren itu merupakan gagasan Kang Zidni sebagai ketua IKAPB (Ikatan Keluarga dan Asrama Pondok Buntet
Pesantren) dan kawan-kawan sebagai bagian dari melestarikan tradisi yang baik.
Tujuan kegiatan itu menurut pengurus IKAPB adalah bagian dari upaya meng-ukhuwahkan para santri yang bermukim di berbagai
asrama yang jumlahnya puluhan di Buntet. "Kami ingni agar para santri itu menyatu, tidak lagi mengunggulkan asrama A, B tetapi
sebagai santri Buntet Pesantren," Ujar A. Mubarok pengurus IKAPB.
Selain itu, diungkapkan juga oleh pengurus IKAPB lainnya bahwa tujuan dari marhabanan itu sendiri sebagai bagian dari tradisi
seni pesantren yang harus dilestarikan. Ada banyak nilai-nilai seni yang bisa menghaluskan rasa dan perasaan para santri. Salah
satunya adalah marhabanan. Pembacaan marhabanan ini cukup tepat karena disamping dilagukan, juga mengandung syair sejarah
sebagai bagian dari apresiasi terhadap Rasulullah saw.
Kontan saja upaya IKAPB ini disambut antusias oleh asrama-asrama di Buntet. Asrama Al Firdaus, Darussalam, Nadwatul Umah,
Istiqomah, Al Hikmah dan lain-lain ikut bergabung pada marhabanan "ambreg-ambregan".
Disamping para santri, hadir pula penduduk Buntet lainnya yang ikut menyuarakan lantunan syair jawab menjawab. Diantaranya,
Man Dun, Man Hasan dan pengurus DKM Masjid Buntet.
Tradisi
Tidak diragukan lagi, pesantren kerap akrab dengan berbagai jenis tradisi seni yang berbau "arab" salah satunya adalah pembacaan
syair-syair puitis yang terkumpul dalam buku Barzanji, karya Sayyid Ja'far bin Sayyid Hasan bin Sayyid 'Abdul Karim bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Rasul al-Barzanji, seorang tokoh Mufti Madinah (1126-1184 H), yang sangat terkenal.
Dalam syair itu terkumpul lantunan kalimat yang sangat puitis dan bernilai sastra tinggi. Kesemuanya menyebutkan tentang
kemuliaan Nabi Muhammad saw. Bahkan cerita sejarah yang diungkap dalam buku setebal lebih dari 300 lembar itu lengkap dari
mulai Pra kelahiran hingga wafatnya.
Kehebatan syair barzanji ini mengundang ulama kondang Indonesia, Imam An Nawawi al Bantani, menyusun syarah atas kitab
Barzanji yang bernama Madarijussu'uud.
barzanji dan syair yang dikandungnya merupakan karya seni yang akrab dengan dunia pesantren. Tentang apakah manfaat dari seni
ini sendiri tentu banyak kajian yang mengungkap manfaat seni dalam kehidupan.
Salah satunya seperti kajian John Dewey. MenurUtnya, seni itu sendiri merupakan bentuk dari penilaian akan peristiwa dalam
kehidupan itu sendiri. Kesan mendengar suara berbagai benda, kesan yang timbul dari pengalaman keharuan seorang wanita yang
melihat bunga pertama menyeruak dari tanaman yang selalu disiraminya. Keharuan ganjil saat pertama melihat embrio anak kita
pada foto USG. Berbagai kesan yang timbul dari dinamika perubahan bentuk yang menggoncang persepsi kita tentang hakekat dan
denyut kehidupan, yang penuh warna itu, adalah pola-pola dasar persepsi estetik yang melatari ungkapan dan apresiasi seni rupa,
suara, dan gerak.
Karenanya maka lahirlah keindahan sebagai bentuk kehidupahn. Kesan-kesan itu kemudiaan lewat “medan bentuk” merangsang
imajinasi, pikiran dan perasaan untuk menggerayang meraba-raba makna hidup yang lebih dalam pun menyentuh-nyentuh misteri
kehidupan dan alam.
Pada akhirnya, keindahan itu akan melahirkan kepekaan lewat inderawi, lewat medan bentuk dan imajinasi, saat kegiatan persepsi
itu sendiri terasa mengasyikkan dan keasyikan itu sendiri saja yang memotivasi persepsi; Namun saat imajinasi terbang tinggi
namun takkan kehilangan pijakan di bumi. Kesadaran baru yang muncul dari dinamika “medan bentuk” itulah kemudian terungkap
dalam kehiduapan nyata, visual baik tercetak dalam tingkah laku dan sikap, ucap dan pola pikir.
Di dalam syari berzanji karenanya, diucapkan secara putis melahirkan suara yang indah karena diucapkan dengan langgam yagn
fasih dan memenuhi standar lagu dalam bertutur syair. Setidaknya ada 10 lebih lagu-lagu syair barzanji yang diucapkan dalam
marhabanan. Belum lagi dalam tradisi Genjringan bisa ditemui pola-pola yang tidak kalah aasiknya bila didendangkan.
Seni pada akhirnya bisa melahirkan sikap dan tindakan yang jauh dari lawan seni itu sendiri yaitu kekerasan, dan merugikan orang
lain. Tidak salah jika kemudian kesimpulan mengatakan bahwa pesantren dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan mampu
beradaptasi dengan dunia luar serta bisa mengadposinya, dan lagi-lagi daya imaginasilah yang melingkari itu. Hal itu karena para
santri diasah daya imaginasinya dengan seni yang baik yang memang lebih akrab dengan akhlak. Wallahu a'lam.

http://malikmughni.blogspot.com/
Banten yang memiliki genealogis (keeratan hubungan) dengan tradisi Islam Kesultanan, kaya dengan adat keislaman lokal.
Beragam tradisi kerap menghias perayaan bertajuk keagamaan. Panjang hias di bulan Maulid (Rabiul Awal) dan pembacaan
Barzanzi, adalah sebagian tradisi khas masyarakat Banten, yang unik.
Panjang mulud, bersama dengan tradisi pembacaan kitab Barzanji atau marhabanan pada malam Maulid Nabi tanggal 12
Rabi’ul Awwal, adalah ritual yang telah diajarkan oleh para alim ulama pendahulu kepada masyarakat Banten secara turun-
temurun (dari generasi ke generasi).
Tidak hanya setiap tahun, tradisi marhabanan juga dilakukan pada setiap malam Jum’at. Tradisi marhabanan ini adalah budaya
warisan (generic culture) yang dilakukan oleh seluruh umat Islam tradisional, terutama bagi pesantren-pesantren tradisional
Indonesia. Inilah kultur generik Islam tradisional Banten yang senantiasa dilakukan oleh umat Islam tradisional Indonesia
setiap tahun sejak masa Syaikh Nawawi al-Bantani hingga sekarang ini.
Terdapat nilai historis yang fungsional dalam tradisi lokal Banten, yakni sejarah perjuangan dalam melawan penjajahan. Di
kalangan tradisional masa lampau –era Syaikh Nawawi dan KH. Wasid,- panjang hias digunakan sebagai sarana pengumpulan
dana perang, demi perjuangan melawan penjajahan Belanda. Marahaban juga berdimensi ganda, selain media silaturrahim dan
pemuasan spiritual, marhabanan dijadikan sarana komunikasi politik para ulama. Saat dan setelah marhabanan, para ulama
membincangkan strategi gerilya yang akan dilakukan.
Kearifan lokal ditengah gamangnya globalisasi

Masyarakat Indonesia cenderung erat mempertahankan adat dan tradisi yang telah diwariskan leluhur. Meski demikian,
masyarakat timur yang santun dan terbuka, tidak menutup diri terhadap akulturasi budaya. Sayangnya, globalisasi budaya yang
minim filtrasi, menghadirkan keniscayaan bahwa generasi muda Indonesia kurang akrab dengan tradisi lokal yang bernilai
positif.
Tradisi sebagai kristalisasi nilai-nilai budaya yang telah dilembagakan dan diwariskan dari generasi kegenerasi, merupakan
modal bagi masyarakat dalam membentuk cosmos (keteraturan ketertiban). Tradisi juga merupakan bentuk eksistensi
masyarakat “akar rumput” dalam struktur sosial dan pemerintahan. Tanpa tradisi, masyarakat lokal yang telah membaur
dengan budaya global, akan mudah terjebak chaos (kekacauan) yang akhirnya meniadakan masyarakat lokal dalam globalitas
struktur sosial.
Di era globalisasi, tentunya, adanya khazanah kultur generik Banten ini, kita semua bersama-sama melakukan penguatan
budaya lokal (reinforcement of local culture) sebagai aset (kekayaan) budaya Islam Banten. Mengingat doktrin globalisasi
neoliberal yang mengajarkan bahwa kompetisi menjadi nilai sentral. Kompetisi merupakan strategi terbaik untuk meraih profit
maksimal sekaligus memeroleh alokasi resources secara optimal. Dan, melihat kenyataan bahwa pergeseran kultur sebagai
proses globalisasi telah melahirkan diferensiasi yang meluas yang tampak dari proses pembentukan gaya hidup dan identitas
baru. Adalah tanggung jawab kita bersama (masyarakat, pemerintah, pemilik modal) untuk tetap meladani perilaku Sayyidina
Muhammad Saw dalam melakukan tradisi panjang hias sebagai aktualisasi ajaran Islam rahmatan li ‘alamin di Banten yang
Islami. Juga, sebagai bentuk respon atas kompetisi global amal ma’ruf nahi munkar di bumi manusia, terutama bumi Banten
. Pewarisan budaya yang sarat nilai dan makna kebajikan dan kebijaksanaan, hampir terputus dan mengarah punah. Karenanya,
perlu penggalangan dan penggalakan kesadaran akan pentingnya mempertahankan tradisi local sebagai bagian dari kekayaan
budaya Indonesia.
Pelestarian tradisi, idealnya didukung oleh seluruh elemen masyarakat, pemerintah, pengusaha, akademisi dan masyarakat
terdidik lainya serta masyarakat umum secara luas yang sadar akan pentingnya pelestarian tradisi. Kita perlu melakukan
penguatan tradisi Islam Banten sebagai kearifan lokal untuk dikenalkan kepada generasi muslim sebagai pewaris ilmu para
alim ulama. Penguatan tradisi Islam Banten dapat direalisasikan dalam bentuk Festival Tradisi Panjang Hias Masyarakat
Banten, atau apapun bentuknya yang mendukung pelestarian tradisi lokal.
Tidak hanya pelestarian yang perlu dilakukan, penggalian makna, konstektualisasi atas kearifan lokal yang berlaku. Dana yang
terhambur dalam setiap perayaan, biasanya diperuntukkan bagi undangan pendatang, di era sekarang, -semestinya- dapat
diberikan kepada para anak yatim dan masyarakat miskin. Pelaku perayaan, sudah tentu harus berasal dari kelas ekonomi atas
dan mengah. Sehingga reaktualisasi makna sedekah di bulan mulud dapat memberi manfaat bagi sesama.
• Ditulis oleh Abdul Malik,
Pengaji di Umbruch Cercle

Psikologi Agama
http://www.mail-archive.com/majelismuda@yahoogroups.com/msg01773.html

Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak


dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan
yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek
dan obyek sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan
keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan orang lain.
Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena
agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi
sebagian orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa,
bagi yang lain agama adalah pengabdian kepada sesama manusia bahkan
sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah akhlak atau
perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk
suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati
(istisyhad) demi keyakinan.
Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu
bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan,
karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu,
akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski
mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani
mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu
menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa
hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan
dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati,
ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima
dengan logika.
Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik
menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya
akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang
dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat,
sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan.
Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di
depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar
tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh
seorang tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara
Tubuh dan Roh, The Marriage of Sence and Soul.(Ken Wilber, The
Marriage of Sence and Soul, Boston, Shambala,2000).
Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari
dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan
membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya.
Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas;
dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan,
dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan
kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang
menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama
(misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami
agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama
yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama
tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.
Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa,
kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya
diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul
mu'mini dinuhu, wa muru'atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn
Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga
lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang
baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang
baik adalah sekuat mungkin jangan marah, ( an la taghdlaba in
istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).
Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba
menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi
keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai
oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar
Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang sangat bergantung
kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab
Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi
mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar
perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah
mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang
manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan
itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru
atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.
Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar
hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias
culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk
menguak keberagamaan orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi
Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin
Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi'ah tidak tercover oleh
Psikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa
makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan
seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni
psikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk
meneliti keberagamaan orang Islam juga hanya mungkin jika
menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychology.
Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya
menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian
tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku,
tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh
karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu
Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang muslim dengan
pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagamaan
kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term
Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada
dalam al Qur'an akan lebih memudahkan menangkap realitas
keberagamaan seorang muslim.
Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of
Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut
Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic
features of religion) sebagai berikut :
1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas,
merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau
diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan
gagasan Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya
dengan Tuhan
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan
dihubungkan dengan Tuhan
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.

Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu


sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki
keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang
sangat rational, ada yang tradisional, ada yang "fundamentalis" dan
ada yang irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang
konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan
sosialnya, tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh, ahli
ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang
yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang sangat saleh,
sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara
memadai.

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai