Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

TEKNOLOGI MANAJEMEN LAHAN KRITIS


(MANAJEMEN PENGELOLAAN LAHAN KRITIS)

OLEH:

LA ODE RAHMAN MUSAWA : I012202023


DARMANSYAH : I012202018
ABDUL FARID : I012202021

PROGRAM STUDI MAGISTER


ILMU DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
PENDAHULUAN

Potensi lahan kering untuk pengembangan pertanian di Indonesia sangat


besar, diperkirakan mencapai 76 juta hektar yang berada di dataran rendah hingga
tinggi dengan iklim basah dan kering. Dari luas lahan kering di Indonesia yang
mencapai 144,47 juta ha, sekitar 99,65 juta ha (68,98%) merupakan lahan
potensial untuk pertanian, sedangkan sisanya sekitar 44,82 juta ha tidak potensial
untuk pertanian sebagian besar terdapat di kawasan hutan (Balitbang Pertanian
2015).
Lahan kering beriklim kering (LKIK) terdiri dari LKIK dataran rendah dan
dataran tinggi. Berdasarkan kondisi iklim, khususnya curah hujan, LKIK dataran
rendah hanya + 9,32 juta ha (6,45%). LKIK dataran rendah terutama terdapat di
Nusa Tenggara, serta sebagian kecil di Sulawesi bagian timur, Jawa bagian timur
dan Papua bagian timur di sekitar Merauke. LKIK dataran tinggi hanya + 1,43
juta ha (0,99%), terdapat di Nusa tenggara serta sebagian kecil Jawa bagian timur
dan Sulawesi (Balitbang Pertanian 2015).
Sampai saat ini, pemanfaatan lahan kering di Indonesia belum optimal
sehingga produktivitasnya pun masih rendah. Pada masa yang akan datang,
Indonesia mungkin akan semakin bertumpu pada pertanian lahan kering beriklim
kering. Hal ini dapat terjadi karena teknologi yang adaptif terhadap perubahan
iklim global di wilayah tropis seperti sistem pertanian konservasi saat ini telah
dikembangkan.
Faktor pembatas pada lahan kering iklim kering utamanya adalah air, oleh
karena itu pengelolaan air merupakan salah satu aspek penting untuk keberhasilan
pengelolaan LKIK. Penelitian dan Pengembangan di lahan kering dimulai tahun
1980. Periode 1980 - 1990 dilakukan penelitian Program Penelitian Pertanian
Menunjang Transmigrasi (P3MT); Tropsoil Project pada lahan kering masam di
daerah transmigrasi Sitiung, Sumatera Barat pada periode 1980-1986.
Kondisi lahan seperti ini banyak dijumpai di NTT dan NTB. Bahan induk
yang banyak ditemukan adalah batu kapur, batu gamping, sedimen dan volkanik.
Pencucian basa-basa rendah, sehingga umumnya kejenuhan basa >50% (eutrik),
pH tanah netral dan cenderung agak alkalis (Mulyani et al. 2013; Mulyani dan
Sarwani 2013). Ilustrasi kondisi lahan pada musim kemarau di desa Mbawa,
kecamatan Donggo, NTB. Dalam upaya pengembangan SUP di LKIK diperlukan
perbaikan terhadap kondisi biofisik lahan seperti perbaikan kualitas tanah, serta
dukungan pengelolaan air.
Selain itu diperlukan integrasi dengan paket teknologi budi daya,
perbaikan kelembagaan dan kondisi sosial ekonomi. Teknologi budi daya lahan
kering yang dikembangkan harus bersifat adaptif, artinya paket teknologi tersebut
berwawasan lingkungan dan cocok untuk kondisi agroekosistemnya. Selain itu
secara teknis dan sosial dapat diterapkan oleh masyarakat dan berimplikasi
ekonomi.
Menurut Mulyani (2013) serta Kartiwa dan Dariah (2013), SUP di LKIK
dapat dilaksanakan dalam 3 musim tanam setahun dengan pola jagung-
jagungkacang hijau, jika disertai irigasi suplemen. Menurut Harmanto et al.
(2019), budi daya jagung-kacang hijau di Desa Mbawa, kecamatan Donggo,
kabupaten Bima, NTB dilaksanakan dengan bantuan sistem irigasi suplemen dari
dam parit (SIDAMPRIT: Sistem Irigasi Dam Parit Terintegrasi Tampungan
Renteng Irit Air). Budi daya tanaman pada kacang hijau.
Hasil penelitian teknologi pengelolaan tanah (konservasi tanah, pemulihan
kualitas tanah, dan pemupukan) dijadikan salah satu acuan dalam menyusun
rekomendasi teknologi pengelolaan tanah. Kendala yang menghambat laju
infiltrasi pada lahan di Oebola, Kabupaten Kupang, NTT adalah terdapatnya
lapisan kedap air pada kedalaman 0,5 Meter karena bahan induk tanah berupa
kapur. Didalam melakukan Tindakan konservasi tanah tahapan yang harus
dilakukan adalah (1) perencanaan; (2) pembuatan kontur memotong lereng; (3)
pembuatan teras atau guludan; dan (4) penanaman tanaman penguat teras (Dariah
et al. (2013).
PEMBAHASAN

Manajemen Pengelolaan Lahan Kering


Keberhasilan usaha pertanian di lahan kering, perencanaan dan
pengembangannya haruslah mengarah kepada tercapainya peningkatan
kesejahteraan masyarakat yang menggarapnya dan sekaligus harus menjaga
kelestarian sumber daya alam yang dikelola. Upaya tersebut adalah sesuai dengan
tujuan pengelolaan pertanian lahan kering (Dumaski, 2001; Georgis. 2003), yaitu
meningkatkan produktivitas lahan (Productivity), mengurangi resiko kegagalan
(Stability atau Security), melindungi potensi sumberdaya alam dan mencegah
degradasi tanah dan air (Protection atau Conservation), meningkatkan pendapatan
(Viability), dan memenuhi kebutuhan sosial (Acceptability). Oleh karena itu perlu
di temukan strategi yang tepat dalam tercapainya tujuan tersebut, melalui
manajemen pengelolaan lahan: 1) ameliorasi tanah yang potensial guna
meningkatkan kualitas tanah, 2) Peningkatan produktivitas lahan dan produksi
tanaman secara berkelanjutan, dan 3) Teknologi rain harvesting, dan perbaikan
infrastruktur ekonomi.
Ameliorasi Tanah
Dalam pengelolaan lahan krim kegiatan awal yang harus dilakukan adalah
bagaimana kita dapat memperbaiki kualitas tanah sehingga produktivitasnya dapat
ditingkatkan. Kualitas tanah merupakan sifat tanah yang menggambarkan tanah
tersebut sehat mempunyai sifat tanah fisik kimiawi dan biologis yang baik dan
produktivitasnya tinggi. Dalam menyediakan hara air dan udara tanah untuk
meningkatkan produktivitas lahan dan mempunyai daya tahan yang tinggi
terhadap pengaruh degradasi tanah.

Tanah-tanah pertanian kita saat ini memiliki kualitas tanah yang rendah
ditandai dari rendahnya kadar karbon organik tanah, yaitu berkisar antara 1,4
sampai 2,24% (Mateus, et al 2016). Penyebabnya adalah faktor alami (erosi) dan
faktor pengelolaan lahan, seperti sistem pertanian konvensional dan pola usaha
tani tradisional yang sering membakar residu tanaman menjelang musim tanam.
Keadaan itu akan berdampak pada menurunnya produktivitas lahan kering. Untuk
itu pada skenario di tingkat lapangan, petani harus terus diberdayakan dan petani
harus menjadi motor penggerak pengelolaan lahan.

Pandangan petani terhadap sumber daya lahan harus berubah dari


pandangan yang menganggap lahan merupakan sumber daya yang dapat di
tambang terus-menerus tanpa habis menjadi sumber daya yang kemampuannya
dalam mendukung pertumbuhan tanaman sangat terbatas. Lahan dapat dianggap
sebagai sebuah bank atau depositonya petani yang kalau unggulnya ambil terus
tanpa pernah menambahnya, maka depositonya akan habis. Sebaliknya kalau
petani selalu menyimpan kebaya kembali uangnya ke bank maka depositonya
akan bertambah dan masa depan petani akan terjamin. Selain itu tanah juga harus
dianggap sebagai titipan anak cucu yang harus dilindungi jangan sampai
terdegradasi.

upaya praktis yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas tanah


adalah melalui ameliorasi (bahan pembenah tanah) ameliorasi tanah dapat
dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pemberian pupuk organik seperti
pupuk kandang, kompos dan biogas dari limbah pertanian. Mateus et al (2017)
menjelaskan bahwa biogas dari limbah pertanian berpotensi besar untuk
meningkatkan kualitas tanah dalam jangka waktu yang lama karena resisten
terhadap pelapukan. Tindakan ameliorasi pada tanah-tanah pertanian yang
produktif saat ini, sangat tepat sebagai upaya untuk memulihkan lahan lahan
pertanian baik lahan basah maupun lahan kering karena berada dalam keadaan
jenuh.
Upaya ameliorasi ini ditunjukkan untuk meningkatkan efisiensi
pemupukan sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Bagi
petani lahan kering, penggunaan bahan ameliorasi berupa pupuk organik
seringkali sulit dijangkau oleh petani alasannya karena jumlah yang dibutuhkan
banyak yaitu berkisar 5 sampai 20 hektar tanah dan tidak bersifat ins situs (Dariah
et al., 2010). Untuk itu perlu dicari pola ameliorasi tanah secara ekonomis
menguntungkan secara sosial dapat diaplikasikan oleh petani lahan kering dan
secara ekologis sangat tepat untuk mendukung sistem kehidupan dalam tanah dan
sebagai salah satu strategi mitigasi untuk menekan emisi gas karbon di atmosfer.
Sistem pemberaan dengan tanaman legum penutup tanah setelah panen
tanaman semusim menjadi solusi terbaik untuk mengatasi masalah ketersediaan
bahan organik in situ, karena murah dan mudah bagi petani Bot dan Benites,
2005, Acosta, 2009, Mateus 2014). Penanaman tanaman legum penutup tanah
potensial lahan kering, dapat dilakukan menjelang panen tanaman semusim dan
dibiarkan tumbuh selama masa bera sampai musim tanam berikutnya.
Peningkatan Produktivitas Lahan dan Produksi Tanaman Secara
Berkelanjutan
Paket teknologi alternatif yang akan diterapkan dalam rangka peningkatan
produktivitas lahan dan produksi tanaman, harus dapat memberikan kompensasi
terhadap keterbatasan kemampuan alamiah lahan tersebut. Dalam hal ini teknologi
yang sesuai adalah teknologi tepat guna yang mengutamakan daya dukung lahan,
baik dilihat dari upaya mengeliminasi pengaruh degradasi lahan maupun faktor-
faktor pembatas kesuburan tanah, dan keterbatasan ketersediaan air. Mengingat
kendala utama dalam pertanian lahan kering seperti yang telah dikemukakan di
atas adalah air unsur hara dan erosi, maka pendekatan pemecahan masalah ini
dapat dilakukan melalui pendekatan tanaman komoditas dan sistem pertanaman.
1. Pendekatan Tanaman Komoditas
Potensi pertanian lahan kering memiliki keunggulan komparatif dan
keunggulan kompetitif karena dapat dikembangkan berbagai jenis komoditas
unggulan potensial yang memiliki daya saing seperti di bidang tanaman pangan
dan bidang holtikultura kita punya jeruk dan di bidang perkebunan serta
kehutanan. Produk-produk pertanian yang dihasilkan oleh petani petani kita
sangat beragam sehingga memiliki nilai ekonomi yang rendah, serta permasalahan
lainnya adalah efisiensi ekonomi dari produk-produk pertanian kita relatif rendah
hal ini karena wilayah pengembangannya berpencar.
Untuk itu perlu adanya inisiasi oleh pemerintah daerah melalui kebijakan-
kebijakan guna meningkatkan daya saing produk-produk komoditas unggulan
kita. Melalui pendekatan tanaman komoditas unggulan berbasis perwilayahan
komoditas. Hal ini penting karena di NTB merupakan wilayah kepulauan yang
memiliki kondisi si agroklimat yang variatif serta cultural masyarakat yang
beragam.

2. Pendekatan Sistem Pertanaman


Penerapan sistem tanam yang tepat akan dapat meningkatkan produktivitas
lahan usahatani. Pendekatan sistem tanam meliputi pengaturan pola tanam dan
peningkatan intensitas penanaman. Pemanfaatan lahan kering dengan sistem
tumpangsari dapat memberikan keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan sistem bertanam secara tunggal. di daerah tropis pada usahatani berskala
kecil cara ini lebih banyak digunakan dibandingkan dengan cara bertanam tunggal
karena lebih produktif dan lebih efisien dalam penggunaan ruang dan waktu.
Tujuan cara bertanam ini adalah untuk meningkatkan produksi tanam
persatuan luas dan waktu serta selaras dengan tujuan konservasi dan pelestarian
sumber daya alam. Dibandingkan dengan sistem pertanaman tunggal sistem
tumpang sari mempunyai keuntungan yaitu penggunaan sumber daya alam lebih
optimal, menekan pertumbuhan gulma, mengurangi resiko kegagalan panen,
memberikan diversifikasi jenis tanaman dan bahkan menambahkan kesepakatan
kerja. Hal berikutnya yang dapat dilakukan petani lahan kering adalah
peningkatan intensitas penanaman.
Misalnya penanaman dari satu kali ditingkatkan menjadi 2 kali dalam
setahun untuk memanfaatkan sisa legas tanah. Sehingga contoh adalah
pemanfaatan lahan untuk tanam pangan pada musim hujan yang diikuti dengan
pembelaan lahan dengan tanaman penutup tanah yang secara nyata meningkatkan
simpanan C-organik tanah dan kualitas tanah lahan kering setelah 6 bulan
pemberaan (Acosta, 2009 dan Mateus, 2017).
Teknologi Rain Harvesting
Dampak kekeringan dan banjir kini dirasakan semakin besar dan resiko
pertanian semakin meningkat serta sulit diprediksi. Sementara itu tekanan
penduduk yang luas biasanya menyebabkan kerusakan hutan dan daur hidrologi
tidak terelakan lagi. Indikatornya debit sungai merosot tajam di musim kemarau
sementara di musim penghujan debit air meningkat tajam. Rendahnya daya serap
dan kapasitas simpan air di DAS menyebabkan pasokan air untuk pertanian
semakin tidak menentu. Kondisi ini diperburuk dengan terjadinya kekeringan
agronomis sebagai akibat pemilihan komoditas yang tidak sesuai dengan
kemampuan pasokan airnya.
Untuk mengatasi kekeringan maka salah satu strategis teknologi rain
harvesting yang paling murah cepat dan efektif serta hasilnya langsung terlihat
adalah dengan membangun embung (onfarm reservoir) yang dipadukan dengan
paket teknologi budidaya, menjadi esensial untuk pengelolaan pertanian lahan
kering berkelanjutan (Irianto et al, 1999) karena dengan pembangunan embung
secara langsung dapat meningkatkan produktifitas dan intensitas tanaman di lahan
kering. Serta dapat meningkatkan produktivitas tenaga kerja petani khususnya
pada musim kemarau sehingga usaha urbanisasi dari desa ke kota dapat ditekan.
Perbaikan Infrastruktur Ekonomi
Secara umum pangsa pasar produk komoditas yang dihasilkan oleh petani
lahan kering masih terbatas karena konsumen yang terbatas sebagai akibat
lemahnya infrastruktur pendukung dan bentuk produk yang kebanyakan masih
berupa bahan mentah yang belum diolah sehingga peningkatan produksi dari
suatu komoditas dengan pangsa pasar yang terbatas tidak selalu membawa kepada
peningkatan pendapatan nyata. Karena komoditas peternakan dan pertanian pada
umumnya cepat mengalami kejenuhan pasar yang mengakibatkan harga merosot.
Pemerintah dapat berperan dalam hal ini dengan menciptakan sistem yang dapat
mengendalikan harga komoditas. Pendekatan lainnya adalah mengusahakan
komoditas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dengan pemasaran yang luas.
Untuk itu pengaturan kebijakan harga yang lebih efektif dan
menguntungkan petani diharapkan dapat merangsang pemanfaatan lahan kering
sebagai kegiatan usaha pertanian. Pembentukan unit-unit agribisnis dengan
kegiatan-kegiatan yang terkonsolidasi secara vertikal dan horizontal dapat
menciptakan perbaikan infrastruktur secara ekonomi bagi petani lahan. dengan
demikian pengembangan komoditas yang berorientasi industri dan ekspor
barangkali merupakan suatu jalan keluar untuk mengatasi hal ini.

KESIMPULAN

Masukkan teknologi budidaya lahan kering melalui tindakan operasi guna


perbaikan kualitas tanah dengan memanfaatkan sumberdaya lokal yang bersifat
in-situ serta perioditas diversifikasi komoditas unggulan lahan kering, harus sesuai
dengan kondisi agroekosistem wilayah yaitu dapat diterima oleh masyarakat
setempat dan memberikan nilai tambah bagi pendapatan usahatani. Untuk itu
diharapkan peran pemerintah untuk memberikan perhatian terutama dalam
kebijakan yang menyangkut pertanian dan peternakan serta keberpihakan yang
lebih serius dan lebih besar terhadap pengembangan pertanian dan peternakan
lahan kering di bidang yang dilakukan selama ini. Pola pengembangan lahan
kering secara terstruktur seyogyanya menjadi agenda pemerintah daerah.
Koordinasi harmonis antara sektor pelaku pembangunan pertanian lahan kering
maupun peternakan lahan kering dengan masyarakat petani dan peternak
pembinaan SDM dan kelembagaan harus dikembangkan dengan tetap mengacu
pada aspek pemberdayaan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Acosta, S. I. C. 2009. “Promoting the use of tropical legumes as cover crops in


Puerto Rico” (tesis). Mayaguez. University of Puerto Rico.
Bot, A., Benites, J. 2005.The Importance of Soil Organic Matter.Key to
DroughtResistant Soil and Sustained Food and Production. FAO Soils
Buletin 80. Food and Agricukture Organization of the United Nations.
Rome: 71p.
Balitbang Pertanian. 2015. Sumberdaya Lahan Pertanian Indonesia. Luas
Penyebaran, dan Potensi Ketersediaan. IAARD Press. 100 Hlm.
Dariah, A., Nurida, N.L., Sutono. 2010. Formulasi Bahan Pembenah untuk
Rehabilitasi Lahan Terdegradasi. Jurnal Tanah dan Iklim. No 11.
Dumanski, J. 2001. Sustainable Land Manajement Easttern Cereal &Oilseed
Research Centre. Canada.
Georgis, K. 2003. Dryland Agriculture Research. EARO.
http://wysiwyg/dlfetiopia.htm. 07/31/03.
Irianto, G., P. Perez & T. Prasetyo. 1999. Pengelolaan Embung Untuk
Meningkatkan Lahan Produksi dan Kendalanya. Prosiding P2SUKA.
Puslitanak. Bogor.
Mateus, R. 2014. Peranan Legum Penutup Tanah Tropis dalam Meningkatkan
Simpanan Karbon Organik dan Kualitas Tanah serta Hasil Jagung di
Lahan Kering (Disertasi). Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Denpasar:
Mateus, R., L.M. Mooy, D. Kantur; 2017. Utilization of Corn Stover and Pruned
Gliricidia Sepium Biochars as Soil Conditioner to Improve Carbon
Sequestration, Soil Nutrients and Maize Production at Dry Land Farming
in Timor, Indonesia. International Journal of Agronomy and Agricultural
Research (IJAAR), Vol. 10 (4): 1-8. (Journal Online).
Mateus, R., M. K.Salli;, D. Kantur; M. R. S. Moata. 2017. Synchronization
Between Available Nitrogen and Mayze (Zea mays) Need: Study on
Different Application Time and Type of Green Fertilizers. International
Journal of Agriculture, Environment and Bioresearch (IJAEB). Vol. 2 (5):
260-171.
Mulyani A, Sarwani M. 2013. Karakteristik dan potensi lahan sub optimal untuk
pengembangan pertanian di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan. 7(1):47-
55.

Anda mungkin juga menyukai