Anda di halaman 1dari 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lengkuas

Lengkuas (Alpinia galanga) merupakan famili dari Zingeberaceae adalah

jenis rempah-rempah di Indonesia (Nastiti, 2020). Lengkuas seringkali disebut

sebagai Greater galanga dalam bahasa Inggris dan Kulanjan dalam bahasa

Hindi (Verma et al., 2011). Lengkuas terkenal sebagai tanaman obat yang

penting dalam pengobatan tradisional untuk mengobati

beragam penyakit termasuk infeksi mikroba, radang, nyeri rematik, nyeri

dada, dan dispepsia, demam, rasa terbakar pada hati, penyakit ginjal, tumor,

diabetes dan bahkan HIV (Chaudhary, 2018).

2.1.1 Taksonomi

Taksonomi Alpinia galanga


Kingdom : Plantae

Ordo : Zingiberales

Famili : Zingiberaceae

Subfamili : Alpinioideae

Tribe : Alpinieae

Genus : Alpinia

Spesies : Alpinia galanga

(Verma et al., 2011)

5
6

(Eram et al., 2019)

Gambar 2.1 Tanaman Lengkuas (Alpinia Galanga L.)

2.1.2 Morfologi

A. Rimpang : Lengkuas dapat tumbuh tinggi mencapai 3,5 m dengan rimpang

aromatik di bawah tanah yang merambat dan bercabang banyak. Rimpang

lengkuas memiliki ketebalan 2,5-10,0 cm. Bagian luar berwarna coklat

kemerahan, dan bagian dalam berwarna oranye-jingga muda.

B. Batang : Lengkuas memiliki batang berdaun (batang semu) tegak yang

dibentuk oleh selubung daun yang digulung.

C. Daun : Daun lengkuas berukuran 23–45 x 3,8–11,5 cm, berseling, berbelok,

lonjong, lanset, lancip dan tidak berbulu..

D. Bunga : Perbungaannya adalah rasem berbunga banyak terminal dan harum.

Bunganya memiliki panjang 3–4 cm dan berwarna kuning-putih.

E. Buah : Buahnya berbentuk bulat berupa kapsul ellipsoidal dengan diameter

1–1,5 cm, berwarnna oranye-merah hingga merah anggur.

F. Warna : Kultivar dengan rimpang berwarrna merah muda hingga merah dan

rimpang berwarna kuning-putih adalah warna rimpang yang sering


7

dijumpai. Batang semu kultivar putih mencapai tinggi sekitar 3 m, dan

diameter rimpang 8-10 cm. Kultivar merah yang lebih umum dan banyak

digunakan, tingginya mencapai 1–1,5 m dengan diameter rimpang 1–2 cm.

(Eram et al., 2019).

2.1.3 Kandungan dan khasiat

Senyawa aktif dari berbagai bagian lengkuas banyak dipelajari oleh banyak

peneliti. Senyawa aktif utama yang ditemukan pada rimpang lengkuas

adalah galangoflavonoid, 1’S-1’- acetoxychavicol acetate (ACE), 1’S-1’-

acetoxyeuginol acetate, 1’- acetoxychavicol acetate (ACA), Isomer

acetoxycineoles seperti (trans and cis) -2-and 3-acetoxy- 1, 1, dan 8-

cineoles. Selain itu juga dijumpai senyawa Β-Sitosterol diglucoside (AG-7)

dan β-sitsteryl Arabinoside (AG-8) (Raviraja, 2015). 1, 8-cineole dilaporkan

sebagai senyawa yang paling melimpah di sebagian besar penelitian tentang

A. Galanga (Subramanian, 2015). 1’S-1’-acetoxychavicol acetate (ACE),

diisolasi dari A. galanga adalah senyawa utama yang sejauh ini dilaporkan

dengan berbagai aktivitas biologis (Chaudhary, 2018).

(Chaudhary, 2018)
Gambar 2.2 Struktur biomolekul lengkuas
8

Tabel 2.1 Kandungan rimpang lengkuas


Nama senyawa Persentase Efek farmakologi
1,8 cineole 30,3% Memiliki aktivitas antibakteri
terhadap Staphylococcus aureus
Fenol 23,381% Menghambat proliferasi
melanoma manusia
1’- 3,798% Menghambat aktivitas enzim
Asetoksikavikol xanthine oxidase untuk
asetat (ACA) Menurunkan kadar asam urat
Fenchyl acetat 7,2% Antifungal yang menghambat
candida albicans (Selyfia,2021)
β-caryophyllene 5,8% Berperan dalam peradangan
kronis dengan mengurangi
mediator pro-inflamasi
(Scandiffio,2020)
(Menon, 2006)

a. Alkaloid, terpenoid, saponin

Uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak rimpang lengkuas mengandung

tanin, steroid, flavonoid, alkaloid, minyak atsiri, dan terpenoid (Ika et al.,

2020). Alkaloid, terpenoid, dan saponin mampu menghambat enzim

sitokrom P450. Alkaloid mampu menginhibisi beberapa gen CYP yang

berperan untuk mengkode enzim metabolisme di hepar yaitu sitokrom P450

diantaranya gen CYP2D6, CYP2D6, CYP1A2, CYP2A6, CYP3A4,

CYP2C19, CYP2C6, dan CYP1A1. Sedangkan saponin mampu

menginhibisi gen CYP2C9, CYP1A2, CY2D6, dan CYP3A4. Dan

terpenoid menghambat gen CYP3A4 dan CYP1A2 (Ika et al., 2020).

b. Flavonoid

Ekstrak rimpang lengkuas memiliki kandungan flavonoid dan fenol yang

tinggi jika dibandingkan dengan daunnya (Eram et al., 2019). Beberapa

flavonoid yang telah teridentifikasi adalah kaempferol, kaempferida,


9

galangin dan alpinin. Galangin memiliki efek anti kanker dengan

menghambat enzim CYP1A1 dan memodulasi reseptor hidrokarbon

(Chudiwal, 2010). Selain itu, penelitian sebelumnya melaporkan galangin

mampu melindungi sel fibroblast kulit manusia dari penuaan dan

mengurangi ekspresi faktor inflamasi. Galangin mengurangi stress oksidatif

dan memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat faktor (NF) -κB serta

meningkatkan regulasi heme oxygenase (HO) -1 (Tungmunnithum et al.,

2020). Selain itu, flavonoid pada lengkuas juga memiliki efek

hepatoprotektor (Ika et al., 2020).

(Verma et al., 2011)


Gambar 2.3. Struktur galangin

(Tungmunnithum et al., 2020)

Gambar 2.4. Flavonoid lengkuas


10

c. Fenol (curcuminoid)
Komponen fenol yang dimiliki lengkuas adalah bisdemethoxycurcumin

(BDMC) dan 1,7-bis(4-hydroxyphenyl)-1, 4, 6-heptatrien-3-one

(BHPHTO). Zat tersebut menghambat proliferasi melanoma manusia.

Dalam penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa senyawa tersebut

menghambat aktivitas tirosinase seluler dan kandungan melanin (Eram et

al., 2019).

d. Phenylpropanoid

Komponen phenylpropanoid yang dimiliki lengkuas diantaranya :

1’-acetoxychavicol acetate (ACA) : ACA yang diperoleh dari rimpang

Alpinia galanga menginduksi apoptosis pada sel leukemia myeloid melalui

jalur ganda independen. ACA berpotensi sebagai agen terapi baru untuk

pengobatan leukemia myeloid. Sel leukemia promyelocytic NB4 sensitif

terhadap ACA. Dalam sel NB4, apoptosis yang diinduksi ACA disebabkan

hilangnya potensi transmembran mitokondria dan mekanisme aktivasi

caspase-9. Hal ini disebabkan karena sinyal destruksi yang diinduksi ACA

dimediasi melalui jalur stres oksigen mitokondria. Selain itu, ACA

menstimulasi apoptosis yang dimediasi cepat dengan menginduksi aktivitas

caspase-8 (Chaudhary, 2018). Disamping itu, ACA juga mampu

menghambat aktivitas enzim xanthine oxidase untuk menurunkan kadar

asam urat (Chudiwal, 2010).


11

(Chaudhary, 2018)

Gambar 2.5. Induksi apoptosis oleh ACA

1′S-1′-acetoxyeugenol acetate : Senyawa ini mampu menghambat produksi

rilis TNF-α dan IL-4 yang dimediasi oleh kompleks antigen-IgE sehingga

senyawa ini berperan sebagai antiinflamasi dan reaksi alergi tipe I

(Chaudhary, 2018).

(Verma et al., 2011)

Gambar 2.6. acetoxyeugenol acetate

p-hydroxycinnamaldehyde : Senyawa ini merupakan agen terapeutik

potensial untuk pengobatan osteoartritis karena memiliki efek pada

kondrosit manusia.
12

(Verma et al., 2011)


Gambar 2.7. p-hydroxycinnamaldehyde

1’S-1’- acetoxychavicol acetate (ACE) : Senyawa ini bekerja dengan

menghambat pompa eflux yang memprovokasi resistensi pada mikobakteri,

oleh sebab itu senyawa ini menjadi target baru untuk penemuan agen anti-

TB. Disamping itu, senyawa ini memiliki efek antikanker yang bekerja

dengan menekan aktivasi IKKα / β sehingga menghambat pengaktifan NF-

κB. Dengan demikian senyawa ini mampu menghambat pertumbuhan

karsinoma sel skuamosa oral in vitro atau in vivo. Kelebihan lain dari

senyawa ini adalah memiliki aktivitas antiplasmid melawan bakteri yang

resistan terhadap beberapa obat. (Chaudhary, 2018).

(Chaudhary, 2018)
Gambar 2.8. Mekanisme kerja ACE
13

e. Diterpene

Salah satu contoh senyawa diterpene adalah (E) - 8β, 17-epoxylabd-12-ene-15,

16-dial. Senyawa ini mampu meningkatkan aktivitas antijamur quercetin dan

chalcone dalam melawan Candida albicans (Chaudhary, 2018).

(Verma et al., 2011)


Gambar 2.9. struktur diterpene
f. 1,8 Cineole

1,8-Cineole dari ekstrak etanol Alpinia galanga diketahui memiliki aktivitas

antibakteri terhadap Staphylococcus aureus. Aktivitas antimikroba

disebabkan oleh komposisi 1,8-cineole, 4-allyphenyl acetate dan a-

bisabolene. Selain itu, 1,8 cineole memiliki efek fungisida dengan

dekstruksi hifa pada strain jamur dengan dosis 5000-300 micro g/ml (Verma

et al., 2011).

(Chudiwal, 2010)
Gambar 2.10. Struktur 1,8 Cineole
14

2.1.4. Dosis toksik ekstrak rimpang lengkuas

Tingkat kematian dan gejala toksisitas akut dari ekstrak rimpang lengkuas

yang diberikan secara oral meningkat seiring dengan peningkatan dosis dari

2.000-5.000 mg/kg. Tanda-tanda perilaku toksisitas utama yang diamati adalah

astenia, piloereksi, ataksia, anoreksia, buang air kecil, diare, lesu, dan koma.

Toksisitas oral akut (LD50) ekstrak lengkuas pada tikus dihitung dengan analisis

probit menjadi 4.998 mg/kg (Al-Adhroey, 2010).

2.1.5. Patomekanisme lengkuas dalam menurunkan asam urat

Xanthine oksidase (XO) adalah enzim yang bekerja dengan merombak

senyawa purin dalam tubuh. Produk akhir dari katabolisme purin adalah asam

urat yang dapat diekskresikan oleh ginjal. Proses katabolisme purin

menghasilkan anion radikal superoksida dan hidrogen peroksida yang

merupakan contoh oksigen reaktif. Apabila aktivitas enzim XO berlebihan,

maka akan meningkatkan akumulasi asam urat dalam plasma (hiperurisemia)

yang kemudian memicu perkembangan penyakit seperti gout dan gangguan

ginjal (Sabandar et al., 2020). Pada lengkuas, ditemukan 5 bahan aktif yang

berperan dalam inhibisi enzim xanthine oksidase, yaitu trans-coniferyl diacetate,

trans-p-coumaryl diaceate, [1’S]-1’-acetoxychavicol acetate, [1’S]-1’-

acetoxyeugenol acetate, dan 4-hydroxybenzaldehide (Subramanian, 2015).


15

Pada lengkuas terdapat kandungan zat quercetin, hexadecanoid acid, dan

1’Acetoxychavicol acetate yang mampu mengurangi kadar asam urat dengan

menginhibisi enzim xantin oksidase pada mekanisme konversi hipoxantin

menjadi xantin dan sintesis xantin menjadi asam urat (Ika et al., 2020).

1’Acetoxychavicol acetate (ACA) pada A. galanga dapat menghambat

xantin oksidase yang menghasilkan anion superoksida yang berkaitan dengan

pertumbuhan tumor (Tanaka et al., 1997). Senyawa lain yang dapat

menghambat enzim XO adalah senyawa polifenol quercetin. Penelitian Zhang et

al., 2018 mengatakan bahwa senyawa quersetin mampu menghambat sintesis

asam urat dengan menginhibisi kerja enzim xantin oksidase melalui proses

campuran kompetitif maupun nonkompetitif. Polifenol quercetin membentuk

kompleks dengan asam amino melalui pengikatan hidrofobik pada kantong XO

dan dengan demikian menghambat aktivitas enzim XO.

(Mehmood et al., 2019)


Gambar 2.11. Mekanisme quercetin di ginjal sebagai uricostatic dan uricosuric
dengan menurunkan regulasi transporter reabsorbsi asam urat URAT1 dan
GLUT9
16

Transporter urat yang ada di ginjal berperan penting untuk membuang

kelebihan asam urat. OAT 1 dan OAT 3 merupakan anion organik dan

pengangkut urat yang ada di membran basolateral sel tubulus proksimal yang

memfasilitasi pembuangan urat di ginjal. Sedangkan transporter URAT1 dan

GLUT9 memfasilitasi reabsorpsi asam urat. URAT1 adalah transporter urat

ginjal yang ada di tubulus proksimal. Sedangkan GLUT9 terletak di sisi basal

dan memfasilitasi asam urat dari sel epitel ke dalam darah. Diketahui diet

polifenol meningkatkan eliminasi urat melalui transporter urat. Polifenol pada

lengkuas yakni quercetin hadir dan bertindak sebagai uricostatic dan uricosuric

dengan mengurangi asam urat serum melalui penurunan regulasi transporter

reabsorbsi asam urat di ginjal yakni URAT1 dan GLUT9.

2.2 Asam Urat

Asam urat adalah bentuk akhir dari metabolisme purin. Konsentrasi asam

urat dalam darah dapat beragam menurut usia maupun jenis kelamin. Purin

dapat didapat dari intake makanan dan pemecahan asam nukleat. Senyawa

purin berperan dalam ekspresi genetik. Di dalam darah, asam urat larut berupa

natrium urat, sedangkan dalam urin dijumpai berupa asam urat. Di dalam

makanan, purin terdapat dalam bentuk nukleopreotein (Kusumayanti, 2014).


17

Purin di dalam tubuh akan di degradasi menjadi nukleotida monofosfat

GMP dan IMP. Molekul ini kemudian dikonversi menjadi guanosin dan inosin

oleh enzim nukleotidase. Berbeda dengan GMP dan IMP, AMP merupakan

molekul yang tidak rentan terhadap nukleotidase, sehingga AMP dapat

dikonversi menjadi IMP. AMP mampu dikonversi menjadi adenosin dengan

bantuan enzim adenosin deaminase. Katabolisme dari guanosin dan inosin

dimediasi oleh enzim purin nukleoside fosforilase. Guanosin dikonversi

menjadi guanin, sedangkan inosin menjadi hipoxantin. Guanin dan hipoxantin

diubah menjadi xantine oleh enzim guanin deaminase dan xantine oxidase.

Xantine oxidase pada akhirnya juga mengubah xantin menjadi asam urat. Untuk

mengubah asam urat menjadi bentuk yang larut air, beberapa hewan memiliki

enzim uricase agar asam urat diubah menjadi alantoic acid yang kemudian

didegradasi menjadi urea dan lebih mudah diekskresikan (Keenan, 2017).

(Keenan,2017)

Gambar 2.12. Biosintesis asam urat


18

(Rodwell, 2006)
Gambar 2.13. Pembentukan Asam urat

2.3 Hiperurisemia

Hiperurisemia adalah kondisi dimana terdapat kenaikan kadar asam urat

serum yang melebihi normal yakni >7,0 mg/dl pada laki-laki dan >6,0 mg/dl

pada perempuan (Hidayah et al., 2018).

Konsentrasi asam urat serum yang berlebih berkaitan dengan timbulnya

gout arthritis dan produksi batu ginjal (Boleu, Mangimbulude and Karwur,

2018). Hiperurisemia telah diimplikasikan sebagai tolak ukur pada penyakit

sindrom metabolik seperti diabetes, penyakit kardiovaskular ginjal kronis

(George, 2020).
19

2.3.1 Faktor penyebab hiperurisemia

Hiperurisemia dapat terjadi karena produksi asam urat yang berlebihan,

ekskresi yang menurun atau kombinasi keduanya. Pada produksi yang berlebih,

bisa diakibatkan oleh intake makanan kaya purin yang menyebabkan

peningkatan konversi purin menjadi asam urat. Selain itu, pada kelainan

genetik dapat dijumpai defisiensi enzim HGPRT dan aktivitas PRPP yang

berlebih yang menimbulkan peningkatan substrat untuk pembentukan asam

urat. Demikian pula dengan turnover asam nukleat, tumor lysis syndrome dan

glycogen storage disease dapat meningkatkan produksi asam urat. Pada kondisi

tertentu seperti penyakit ginjal, sindroma X, asidosis metabolik, intoksikasi

timah dan gangguan tiroid dapat menyebabkan penurunan ekskresi asam urat,

terutama pada penyakit ginjal. Ginjal yang terganggu tidak dapat berfungsi

dengan baik sehingga akan menjadi hambatan dalam pembuangan asam urat.

Pada konsumsi diuretik dapat meningkatkan serum urat. Adapun faktor penicu

hiperurisemia yakni kombinasi dari kedua proses sebelumnya, yang terdiri dari

alkoholik yang dapat menaikkan konsentrasi asam laktat. Asam laktat yang

diproduksi dapat menginhibisi ekskresi asam urat. Selain itu, kekurangan

glukosa 6 fosfatase dan fruktosa 1 fosfat aldolase juga dapat menyebabkan

hiperurisemia. Pada kondisi tersebut, terlalu banyak asam laktat yang

diproduksi sehingga ekskresi asam urat berkurang karena bersaing dengan

asam laktat (Kusumayanti, 2014).


20

Tabel 2.2 Faktor penyebab Hiperurisemia

Produksi berlebih Ekskresi yang Kombinasi


menurun keduanya
Makanan kaya purin Penyakit ginjal Alkoholik
Defisiensi enzim HGPRT Sindroma X Defisiensi
glukosa 6
fosfatase
Aktivitas PRPP yang Obat-obatan defisiensi
berlebih (diuretik) fruktosa 1
fosfat
aldolase.
Peningkatan turnover asam Asidosis
nukleat metabolik
Tumor lysis syndrome hiperparatiroid,
hipotiroid, pre-
eklampsi dan
eklampsi,
Glycogen storage disease Intoksikasi timah
hitam (Pb)
(Manampiring, 2013)

2.3.2 Patogenesis hiperurisemia

2.3.2.1 Produksi asam urat berlebih

Intake makanan kaya purin seperti seafood, daging merah, organ (hati)

yang berlebihan dapat meningkatkan resiko hiperurisemia sebab dapat

meningkatkan biosintesis purin menjadi asam urat. Intake fruktosa juga dapat

memicu hiperurisemia. Fruktosa yang dikonsumsi akan diubah menjadi fruktosa-1-

fosfat. Proses konversi ini memerlukan ATP yang kemudian menghasilkan ADP

dan sekuestersinorganik fosfat. ADP yang dihasilkan berperan sebagai substrat

untuk sintesis asam urat, sedangkan penipisan ATP dan Pi dapat mengurangi

feedback inhibisi terhadap enzim yang memediasi sintesis asam urat (Keenan,

2017).
21

Pada kelainan genetik, terjadi kekurangan enzim hipoksantin-guanin

fosforibosil transferase (HGPRT) yang membuat laju sintesis purin meningkat.

Selain itu, peningkatan laju produksi purin juga disebabkan oleh enzim

fosforilasi pirofosfatase (PRPP) yang berlebihan, yang menyebabkan gangguan

metabolisme purin. Defisiensi enzim HGPRT mengakibatkan penumpukan PRPP

sehingga akan mengurangi pemakaian PRPP untuk mekanisme feedback negatif.

Dengan demikian, semua hipoxantin akan dipakai untuk menghasilkan asam urat.

Tak hanya itu, kerja enzim PRPP yang berlebihan dapat menimbulkan

berkurangnya sintesis asam guanilat (GMP) dan Adenilat deaminase (AMP). Hal

tersebut dapat memicu penghambatan feedback yang akhirnya dapat meningkatkan

sintesis uric acid (Kusumayanti, 2014).

2.3.2.2 Ekskresi asam urat menurun

Urikase merupakan enzim yang berperan dalam mengoksidasi asam urat

menjadi alantoin. Kondisi stres dan penuaan dapat mengganggu aktivitas enzim

tersebut yang mengakibatkan ekskresi asam urat akan berkurang sehingga asam

urat serum terakumulasi. Fungsi ginjal yang terganggu juga dapat mengurangi

ekskresi asam urat sehingga asam urat meningkat dalam darah. Penurunan ekskresi

disebabkan oleh penumpukan asam organik lain yang berkompetisi dengan asam

urat untuk dikeluarkan (Kusumayanti, 2014).

2.3.2.3 Kombinasi keduanya

Kondisi kombinasi disebabkan oleh defisiensi Glukosa-6-fosfatase dan

intoleransi fruktosa yang menyebabkan sintesis asam laktat meningkat, kemudian


22

asam urat dapat bersaing dengan asam laktat, akibatnya ekskresi asam urat

menurun. Kejadian kombinasi ini juga bisa ditimbulkan oleh konsumsi alkohol

yang berlebih. Alkohol akan meningkatkan penguraian ATP di hepar, sehingga

sintesis asam urat dalam tubuh meningkat (Kusumayanti, 2014).

2.4. Gout Artritis

Gout artritis adalah artropati inflamasi yang disebabkan oleh pengendapan

kristal urat di sendi dan peri - artikular. Hal ini disebabkan oleh kadar asam urat

yang melebihi jumlah normal yang memicu pembentukan kristal urat (Swales,

2012).

Saat kadar asam urat tinggi, cairan ekstrasel dan plasma sangat jenuh

terhadap asam urat sehingga sintesis kristal menjadi mudah. Kondisi tersebut

menimbulkan klinis berupa nyeri dan bengkak pada sendi lalu berkembang menjadi

gout arthritis (Hidayah et al., 2018). Monosodium urat dapat membentuk kristal

apabila kadarnya berlebih pada plasma, yaitu sekitar 7,0 mg/dl. Interaksi kristal urat

dengan jaringan lokal akan mengaktivasi komplemen dan sel radang di sinovium.

Sel yang teraktivasi menghasilkan sitokin pro inflamasi lainnya yang dapat

menstimulasi neutrofil di sirkulasi dan sel endotel. Respon ini memungkinkan

neutrofil untuk menempel dan melintasi endotel, sehingga neutrofil menimbulkan

penyebaran peradangan pada jaringan (Keenan, 2017).


23

(Keenan,2017)
Gambar 2.14. Patofisiologi : kristal urat bebas mengaktivasi komplemen dan sel
pertahanan dari sinovium. Proses tersebut menstimulasi neutrofil sirkulasi untuk
menyebabkan peradangan jaringan serta vasodilatasi endotel
Mulanya jaringan lokal terpajan oleh kristal urat bebas. Hal tersebut

menimbulkan respon berupa aktivasi komplemen c5a dan makrofag, fibroblas, serta

sel mast yang ada di cairan sinovial. Aktivasi makrofag menimbulkan sekresi

sitokin IL-1β, TNF, IL-6, dan chemokine IL-8, sedangkan sel mast akan merilis

histamin. Hal ini memcu sel neutrofil PMN yang ada di sirkulasi. Sedangkan sitokin

yang lain seperti IL-B, histamin akan memicu vasodilatasi dan kebocoran vaskuler.

Neutrofil akan bermigrasi ke dalam sendi dan melisiskan kristal urat. Neutrofil

mampu melepaskan matrix metalloproteinases (MMP) yang mampu merusak

jaringan lokal. Sehingga akan timbul kerusakan jaringan dan peradangan. Apabila

berlangsung lama, sitokin yang berperan diatas dapat memicu sinovitis kronis,

destruksi tulang rawan, dan erosi tulang. Selain itu, penimbunan kristal urat juga

akan menjadi tophus yang dapat merusak jaringan dan dapat memicu peradangan

lebih lanjut.

Manifestasi klinis gout arthritis antara lain, asimptomatik gout, stadium

akut, stadium interkritikal dan stadium kronis. Pada asimptomatik gout,


24

hiperurisemia umumnya tidak bergejala yang berarti pada kondisi ini terjadi proses

akumulasi asam urat pada jaringan selama jangka waktu tertentu. Pada stadium akut

terjadi inflamasi sendi yang timbul dalam waktu singkat. Di stadium ini pasien

merasakan nyeri hebat hingga tak mampu berjalan saat pagi hari ketika bangun

tidur. Selain itu, stadium akut seringkali hanya mengenai 1 sendi dengan klinis

bengkak, hangat, dan merah. Serangan pertama seringkali mengenai sendi

metatarsophalangeal- 1 (MTP-1) yang disebut dengan podagra. Pada stadium

interkritikal, tidak djumpai tanda-tanda inflamasi secara klinis, akan tetapi dalam

pengambilan cairan sendi dijumpai kristal urat. Sedangkan pada stadium gout yang

menahun umumnya terdapat banyak tofus dan mengenai beberapa sendi (Wahyu

Widyanto, 2017).

(Burns and Wortmann, 2017)


Gambar 2.15. Manifestasi klinis gout : A. Podagra (inflamasi pada sendi MTP-
1), D. Tofus pada jari tangan
Untuk mendiagnosis gout artritis dapat dilakukan pemeriksaan uric acid

level, x-ray, dan aspirasi sendi. Pemeriksaan uric acid level menunjukkan kadar

asam urat dalam tubuh. Pada pemeriksaan foto polos x-ray pada kasus gout artritis

akan dijumpai pembengkakan jaringan, dan tampak erosi. Pemeriksaan aspirasi

cairan sendi dilakukan untuk melihat adanya kristal urat (Swales, 2012).
25

(Burns and Wortmann, 2017)


Gambar 2.16. Pemeriksaan penunjang : C. Aspirasi cairan sendi tampak kristal
monosodium urat berbentuk jarum dibawah mikroskop cahaya, D. Radiografi
tampak erosi pada sendi MTP-1

2.5 Mekanisme Alpinia galanga dalam Memperbaiki Gout Arthritis

Alpinia galanga dapat memperbaiki gout karena memiliki bahan aktif

sebagai antihiperurisemik dan antiinflamasi. Alpinia galanga mampu mencegah

induksi gen yang berperan dalam proses inflamasi, beserta gen yang menstimulasi

sitokin, kemokin, serta enzim COX-2 (Kholifah, 2019).

Menurut teori dan penelitian sebelumnya, kandungan metabolit sekunder

yang mempunyai efek antihiperurisemia timbul karena adanya kandungan

flavonoid. Senyawa flavonoid yang dimiliki lengkuas berpotensi sebagai antigout

dengan mengurangi konsentrasi asam urat dan penangkapan aktivitas superoksida

pada jaringan. Struktur dari flavonoid membuat senyawa ini memiliki potensi

menjadi penghambat kompetitif terhadap xanthine oxidase (Juwita, 2017).

Senyawa 1’-acetoxychavicol acetate (ACA) merupakan inhibitor dari enzim

pembentukan asam urat yakni enzim xanthine oxidase sehingga mampu

menurunkan produksi asam urat (Chudiwal, 2010). 1’-acetoxychavicol acetate

(ACA) diketahui dapat mengurangi produksi anion superoksida dengan


26

menghambat xantin oksidase (XO). Bahan aktif tersebut juga menunjukkan

aktivitas antioksidan yang kuat, meningkatkan apoptosis sel, dan menurunkan

produksi sitokin oleh sel T helper. Kandungan senyawa lain yaitu quercetin yang

tergolong polifenol juga merupakan xanthine oxidase inhibitor dan bertindak

sebagai uricostatic dan uricosuric dengan mengurangi serum asam urat

(Bhattacharyya et al., 2011).

Selain itu, kandungan fenilpropanoid pada Alpinia galanga secara selektif

mampu menekan produksi IFNγ dalam sel limfosit T CD4 (T helper)

(Bhattacharyya et al., 2011). Adapun senyawa 1′S-1′-acetoxyeugenol acetate

(ACE) juga mampu menghambat rilis TNF-α dan IL-4 yang dimediasi oleh

kompleks antigen-IgE sehingga senyawa ini berperan sebagai antiinflamasi dan

reaksi alergi (Chaudhary, 2018).

2.5 Alopurinol

Alopurinol mengurangi sintesis xantin dan uric acid dengan menginhibisi

enzim xanthine oxidase. Pada dosis minimum, mekanisme inhibisi terjadi secara

kompetitif sedangkan pada dosis tinggi terjadi mekanisme inhibisi yang tidak

kompetitif (Suhendi et al., 2011).

Efek dari alopurinol yakni dapat menurunkan kadar asam urat 2 hari

setelah mengonsumsi obat, dan maksimal 7-10 hari. Setelah menggunakan

alopurinol selama 2-3 minggu, kadar asam urat serum harus diperiksa untuk

memastikan bahwa kadar asam urat berkurang. Erupsi kulit merupakan efek

samping yang banyak dijumpai. Selain itu juga ditemukan toksisitas hepar, demam
27

dan nefritis interstisial akut. Jika obat dihentikan, reaksi alergi ini akan mereda.

Namun apabila pengobatan diteruskan, dapat timbul exfoliative dermatitis,

kelainan hematologi, pembesaran hati, ikterus, kematian sel hati, dan merusak

ginjal (Lyrawati, 2008).

Selain itu, efek samping lain mungkin ditemui, termasuk mual, muntah

dan diare, neuritis perifer, depresi komponen sumsum tulang belakang, dan

bahkan anemia aplastik (Kusuma, 2014).

Efek samping umumnya timbul karena ketidaksesuaian dosis, khususnya

pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Alopurinol menambah efek toksik

beberapa obat yang dimetabolisme oleh xanthine oxidase. Bila digunakan

bersama allopurinol, dosis obat sitotoksik (seperti azathioprine) harus dikurangi.

Selain itu, alopurinol dapat menambah efek toksik siklofosfamid terhadap

sumsum tulang (Lyrawati, 2008).

(Gilman, 2012)

Gambar 2.17. Mekanisme kerja Allopurinol

2.6 Kalium Oksonat

Kalium oksonat adalah oksonat atau garam potassium. Kalium oksonat

memiliki berat mol sebesar 195, 18 serta rumus C4H2KN3O4. Kalium oksonat
28

bekerja dengan bertindak sebagai inhibitor urikase selektif kompetitif, yang

dapat menghambat kinerja enzim uricase hepar dan menghasilkan uric acid

yang berlebihan dalam darah hewan percobaan seperti tikus. Apabila uricase

dihambat, jumlah uric acid dapat naik sehingga kalium oksonat dapat dipakai

untuk menginduksi hiperurisemia (Putra, 2019). Hal inilah yang

membedakan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian Ika

et al., 2020 hanya menggunakan makanan kaya purin berupa hati ayam untuk

membuat kondisi hiperurisemia tikus. Diketahui tikus mempunyai enzim

uricase yang mampu mengoksidasi uric acid menjadi alantoin yaitu bentuk

yang mudah larut air sehingga uric acid mudah diekskresikan dan menyebabkan

kadar uric acid menurun (Kristiani et al., 2013). Dengan demikian, perlu

ditambah induksi potassium oksonat untuk mencegah pengonversian asam urat

yang akan dilakukan pada penelitian ini agar tidak terjadi penurunan asam urat

tikus sebelum diukur kadarnya (Kusuma et al., 2014).

Selain itu, penelitian Ika et al., 2020 menggunakan mencit dimana memiliki

ukuran yang lebih kecil dibanding tikus wistar. Selain itu, tikus wistar memiliki

kesamaan dengan manusia dalam sistem reproduksi, saraf, penyakit, dan

kecemasannya. Hal dikarenakan adanya kesamaan organisasi DNA dan

ekspresi gen di mana 98% gen manusia memiliki gen sebanding dengan gen

tikus (Purwo, 2018).


29

(Utami, 2008)

Gambar 2.18. Mekanisme Kalium Oksonat


2.7 Ekstraksi

Ekstraksi terdiri atas memilah bagian tanaman, mengeringkan, menggiling, dan

memilih zat untuk melarutkan ekstrak tanaman yang terdiri dari pelarut polar

(etanol), semipolar (etil asetat), dan nonpolar (kloroform) (Mukhriani, 2014).

Macam metode ekstraksi diantaranya :

2.7.1 Maserasi

Maserasi merupakan metode yang sering dipakai. Langkah dari metode ini

adalah dengan memasukkan serbuk tanaman beserta pelarutnya ke wadah

kemudian disimpan di suhu kamar dan ditutup. Hentikan ekstraksi apabila

konsentrasi antara tanaman dan pelarut sudah setimbang. Kemudian dilakukan

penyaringan untuk memisahkan tanaman dan pelarut. (Mukhriani, 2014).

2.7.2 Perkolasi

Serbuk tanaman dibasuh dalam perkolator dengan perlahan. Lalu diberi

pelarut keatas serbuk tanaman dan dibiarkan menetes. Keunggulan perkolasi

yakni tanaman teraliri oleh pelarut dengan stabil. Namun apabila tanaman dalam
30

perkolar tidak tercampur, pelarut menjadi sukar dalam mencapai semua area

(Mukhriani, 2014).

2.7.3 Soxhlet

Serbuk tanaman diletakkan dalam kertas saring saring pada kelongsong lalu

diletakkan di atas labu dan di bawah kondensor. Kemudian dimasukkan pelarut ke

dalam labu dan suhu penangas diatur di bawah suhu reflux.

Kelebihan soxhlet yakni proses ektraksi konstan, tanaman terekstraksi olch

pelarut murni hasil kondensasi sehingga lebih hemat pelarut dan lebih cepat.

Namun, senyawa yang tidak tahan terhadap suhu tinggi dapat terurai sebab ekstrak

selalu diletakkan pada titik didih (Mukhriani, 2014).

Anda mungkin juga menyukai