Anda di halaman 1dari 16

Penelitian Gaya Bahasa Iklan Sampoerna A Mild dengan

Metode Gaya Bahasa Gorys Keraf

Daffa Bagaskara
19/SA/443341/SA/19830

I. Pengantar
Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi yang dimaksudkan untuk
mempromosikan sesuatu kepada khalayak umum. Iklan bersifat persuatif
(mempengaruhi) dan sugestif (mensugesti). Iklan dapat kita jumpai di mana saja,
seperti di media cetak dan elektronik. Rhenald Kasali berpendapat bahwa iklan
merupakan salah satu bentuk komunikasi yang dimaksudkan sebagai alat promosi
untuk menyampaikan informasi produk, barang, jasa, gagasan, dan ide kepada
konsumen yang menjadi sasarannya (1992:34). Sementara itu, KBBI mengartikan
iklan ke dalam dua arti, yaitu berita pesanan untuk mendorong, membujuk
khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan;
Pemberitahuan kepada khalayak mengenai barang atau jasa yang dijual, dipasang
di dalam media massa (seperti surat kabar dan majalah) atau di tempat umum.
Dari beberapa penjelasan tentang iklan di atas, dapat disimpulkan bahwa iklan
merupakan pemberitahuan atau promosi barang atau jasa kepada khalayak yang
menjadi sasarannya di dalam media massa atau tempat umum agar mereka
tertarik dengan hal yang diiklankan.
Salah satu produk yang menggunakan iklan sebagai media promosi
adalah rokok. Di Indonesia, iklan rokok masih dapat dijumpai di media cetak
maupun elektronik. Hal ini berbeda dengan kebanyakan negara di Asia Tenggara
lainnya yang sudah melarang penayangan iklan rokok (TCSC yang dikutip dari
Utami dan Shofaa, 2017). Akan tetapi, iklan rokok telah diatur ketat oleh
pemerintah lewat PP Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan Pasal 16 Ayat 3 yang memerintahkan bahwa iklan rokok hanya boleh
ditayangkan di siaran televisi mulai pukul 21.30 sampai 05.00 dan Pasal 17
melarang pencantuman rokok, bungkus rokok, serta kegiatan merokok secara
eksplisit (Peraturan Pemerintah, dikutip dari ahhagag:45, 201987). Oleh karena
itu, para pengiklan rokok selalu berusaha untuk membuat iklan sekreatif mungkin
agar konsumen dapat terpikat oleh produk yang mereka iklankan tanpa harus
memasukkan unsur-unsur yang berkaitan dengan rokok. Tirto.id melaporkan
bahwa belanja promosi dan iklan emiten rokok di Indonesia mesih terbilang
tinggi. Data menunjukkan bahwa dari rentang tahun 2017 hingga 2018,
pengalokasian iklan rokok dari emiten rokok yang diriset di laporan tersebut
cenderung naik. PT HM Sampoerna tercatat sebagai emiten rokok yang
menempati peringkat pertama dalam laporan tersebut dengan nilai belanja
promosi sebesar hampir Rp2,5 triliun.
Salah satu produk dari PT HM Sampoerna adalah Sampoerna Hijau.
Produk rokok tersebut dikenal dengan iklan-iklannya yang menggunakan unsur
sindiran dan permainan kata-kata. Produk rokok tersebut juga menyampaikan
iklannya secara abstrak atau tidak dapat ditelaah secara jelas namun memiliki
makna yang jelas (Pondaag, 2013). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
meneliti tentang gaya bahasa dari iklan Sampoerna A Mild. Objek penelitian yang
diteliti pada penelitian ini meliputi iklan banner Sampoerna A Mild versi “Bukan
Main” keluaran terbaru yang berjumlah 14 buah.
Objek penelitian tersebut akan diteliti menggunakan teori diksi dan gaya
bahasa milik Gorys Keraf dengan menggunakan metode kualitatif.

II. Perangkat
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Metode ini dimaksudkan untuk memahami fenomena yang dialami oleh
subjek penelitian secara alamiah dan holistik dengan memanfaatkan metode
alamiah dengan dimulai dari pengumpulan data, klasifikasi data, dan pembuatan
penelitian (Moeloeng 2012). selain itu, Dey (2013), berpendapat bahwa metode
kualitatif adalah metode yang dimaksudkan untuk mendeskripsikan suatu
fenomena tertentu dengan cara yang saksama dan komprehensif. Untuk
mendapatkan hasil penelitian yang komprehensif dan dapat didekripsikan secara
holistik dan saksama, maka metode deskriptif kualitatif digunakan sebagai
metode penilitian dalam penelitian ini.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori diksi dan gaya
bahasa milik Gorys Keraf. Menurut Keraf (2006: 115), gaya bahasa dapat dilihat
dari dua sudut pandnag, yaitu nonbahasa dan bahasa. Sudut pandang nonbahasa
terbagi atas tujuh pokok, yaitu berdasarkan pengarang, masa, medium, subjek,
tempat, hadirin, dan tujuan. Sementara itu, sudut pandang bahasa terbagi atas
empat pokok landasan, yaitu pilihan kata, nada yang terkandung dalam wacana,
struktur kalimat, dan langsung atau tidaknya makna (2006: 115-117). Akan tetapi,
objek penelitian di penelitian ini hanya akan diteliti menggunakan sudut pandang
bahasa saja.

III. Pembahasan
Gaya bahasa bila dilihat dari sudut pandang bahasa atau beberapa unsur
bahasa yang digunakan bisa dideferensiasikan berdasarkan titik tolok unsur
bahasa yang dipergunakan. Titik tolok unsur bahasa tersebut, yaitu:
1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata;
2. Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana;
3. Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat;
4. Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna.
Berikut ini adalah pembahasan gaya bahasa pada iklan Sampoerna A
Mild.

1. Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata


Keraf berpendapat bahwa terdapat tiga jenis gaya bahasa berdasarkan
pilihan kata yang meliputi gaya bahasa resmi, tak resmi, dan percakapan.
Objek penelitian dalam penelitian ini, iklan-iklan Sampoerna A Mild,
cenderung menggunakan gaya bahasa tak resmi. Gaya bahasa tak resmi
merupakan gaya bahasa yang dipergunakan dalam bahasa standar, khususnya
dalam kesempatan-kesempatan yang tidak formal atau kurang formal dan
bentuknya tidak konservatif ( 2006: 117).
Penggunaan gaya bahasa tak resmi pada iklan-iklan Sampoerna A Mild
dapat dilihat dari beberapa contoh seperti “yang gak sabar silahkan terbang”;
“lo yang salah, lo yang galak”; “udah datang, udah pergi”; dan “udah bisa
jalan-jalan masih aja buang sembarangan”. Penggunaan kalimat tidak baku
seperti lo, gak, silahkan, udah, dan aja merupakan contoh bahwa iklan-iklan
tersebut menggunakan bahasa tak resmi.
Penggunaan gaya bahasa tak resmi pada iklan-iklan Sampoerna A Mild
yang menjadi objek penelitian dimaksudkan agar iklan-iklan tersebut lebih
komunikatif dan tidak terkesan konservatif mengingat target pasar Sampoerna
A Mild merupakan anak muda. Menurut penuturan H. D. Silalahi, citra yang
hendak dibentuk oleh produk rokok tersebut adalah rokok banci dan
perempuan. Hal tersebut berbeda dengan pencitraan rokok lain yang cenderung
jantan dan macho. Pada awal kemunculan produk rokok Sampoerna A Mild,
rokok dan kegiatan merokok identik dengan hal-hal yang berbau patriarkis.

2. Gaya Berdasarkan Nada


Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan
dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalan sebuah wacana. Gaya bahasa
berdasarkan nada dibagi atas beberapa gaya, yaitu gaya sederhana, mulia dan
bertenaga, dan menengah (Keraf, 2006: 121).
Iklan-iklan Sampoerna A Mild menggunakan nada bahasa menengah.
Penggunaan gaya bahasa tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesan yang
damai dengan unsur humor yang sehat (Keraf, 2006: 122). Hal tersebut dapat
dilihat dari kalimat “yang gak sabar silahkan terbang”. Dapat kita lihat bahwa
iklan tersebut mengandung unsur humor yang disampaikan damai tanpa ada
tekanan. Penggunaan nada bahasa semacam itu dimaksudkan untuk membentuk
atmosfir yang santai, damai, dan tidak terlalu serius.

3. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat


Struktur kalimat adalah bagaimana tempat sebuah unsur yang
dipentingkan dalam suatu kalimat. Struktur sebuah kalimat dapat dijadikan
landasan untuk menciptakan gaya bahasa (Keraf, 2006: 124). Keraf membagi
gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat ke dalam lima gaya, yaitu klimaks,
antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi. Sementara itu, gaya bahasa
repetisi selanjutnya dikelompokkan ke dalam delapan gaya bahasa yang
meliputi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis,
epanalepsis, dan anadiplosis.
Berdasarkan hasil penelitian, iklan-iklan Sampoerna A Mild dapat
dikelompokkan ke dalam lima gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat.
Berikut ini hasil penelitian objek penelitian menggunakan gaya bahasa
berdasarkan struktur kalimat.
a. Klimaks
Gaya bahasa klimaks adalah gaya bahasa yang mengandung urutan-
urutan pikiran yang semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-
gagasan sebelumnya. Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang
bersifat periodik (Keraf, 2006: 124).
Gaya bahasa klimaks dalam objek penelitian dapat ditemukan pada
kalimat “satu-satu aku bisa semua” yang gagasannya meningkat. Dari satu
per satu kemudian menjadi semua. Selain itu, gaya bahasa klimaks dalam
objek penelitian dapat ditemukan pada kalimat “tanaman demi tanaman
lama-lama jadi taman” yang gagasannya juga meningkat. Dari tanaman
kemudian menjadi taman.
b. Antiklimaks
Antiklimaks, sebagai gaya bahasa, merupakan suatu acuan yang
gagasan-gagasannya diurutkan dari yang penting-penting dahulu, kemudian
menurun ke gagasan-gagasan yang kurang dianggap penting (Keraf, 2006:
125).
Contoh dari gaya bahasa antiklimaks pada objek penelitian terdapat
pada kalimat “acara satu jam, sambutan setengah jam”. Dapat dilihat bahwa
gagasan pada kalimat tersebut menurun. Dari satu jam ke setengah jam.
Penggunaan gaya bahasa antiklimaks pada kalimat tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan keironisan. Acara yang berlangsung satu
jam diisi dengan kata sambutan yang berlangsung setengah jam. Padahal,
biasanya acara sambutan diisi dengan durasi waktu yang sebentar, tidak
sampai memakan setengah durasi acara.
c. Paralelisme
Paralelisme merupakan semacam gaya bahasa yang berusaha
mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa yang
menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama (Keraf,
2006: 126).
Contoh dari gaya bahasa paralelisme dalam objek penelitian adalah
pada kalimat “udah datang udah pergi”. Bentuk paralelisme dalam contoh
tersebut terdapat pada frasa “udah datang” dan “udah pergi” yang memiliki
bentuk gramatikal yang sama.
d. Antitesis
Antitesis merupakan sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-
gagasan yang saling berlawanan dengan mempergunakan kata-kata atau
kelompok kata yang berlawanan (Keraf, 2006: 126).
Contoh dari gaya bahasa antitesis pada objek kajian adalah pada
kalimat “bukannya adu maju, malah adu domba”. Gejala gaya bahasa
antitesis pada kalimat tersebut terletak pada penggunaan frasa “adu maju”
dan “adu domba” yang saling bertentangan. Frasa “adu maju” berarti
bersaing secara sehat dan bermakna positif, sementara itu frasa “adu
domba” berarti menghasut dan bermakna negatif.
e. Repetisi
Repetisi merupakan pengulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian
kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai. Gaya bahasa repetisi terbagi ke dalam delapan gaya
bahasa, yaitu epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke,
mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis (Keraf, 2006: 127-128).
Setelah dilakukan penelitian, terdapat empat gaya bahasa yang
terkandung dalam objek penelitian yang diteliti. Berikut ini penjelasannya.
1. Taoutes
Taoutes adalah repetisi sebuah kata yang berulang-ulang dalam
sebuah konstruksi (Keraf, 2006: 127).
Contoh dari gaya bahasa taoutes pada objek penelitian terdapat
pada kalimat “kerjasama: sini kerja situ bersama”. Terdapat kata
“kerja” dan “sama” yang berada di dalam kata “bersama” yang
mengonstruksikan kata “kerjasama”.
2. Anafora
Anafora merupakan pengulangan kata pertama pada tiap baris,
frasa, atau kalimat berikutnya (Keraf, 2006: 127).
Contoh dari gaya bahasa anafora pada objek penelitian terdapat
pada kalimat “lo yang salah, lo yang galak”; “udah datang, udah
pergi”: dan “pintu maaf dibuka, pintu rumah ditutup. Ketiga kalimat
tersebut memiliki pengulangan kata pertama dan kedua pada tiap frasa.
3. Epistrofa
Epistrofa merupakan pengulangan kata atau frasa pada akhir
baris atau kalimat yang berurutan (Keraf, 2006: 128).
Contoh dari gaya bahasa epistrofa pada objek penelitian terdapat
pada kalimat “acara satu jam, sambutan setengah jam”. Kata “jam”
tercatat diulang pada baris akhir setiap frasa.
4. Mesodiplosis
Mesodiplosis merupakan pengulangan frasa atau kalimat yang
terletak di tengah-tengah baris atau beberapa kalimat berurutan (Keraf,
2006: 128).
Contoh dari gaya bahasa mesodiplosis pada objek penelitian
terdapat pada kalimat “bukannya adu maju, malah adu domba”. Dapat
dilihat bahwa pengulangan frasa atau kalimat “adu” terdapat di tengah-
tengah kalimat.

4. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna


Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna,
yang berarti apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna
denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Terdapat dua gaya bahasa
berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu gaya bahasa retoris dan kiasan.
Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna umumnya disebut sebagai
trope atau figure of speech (Keraf, 2006: 129).
a. Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris dibagi ke dalam 21 gaya bahasa. Objek penelitian
yang diteliti memenuhi kriteria enam gaya bahasa dari 21 gaya bahasa yang
ada. Gaya bahasa tersebut adalah aliterasi, asonansi, histeron proteron,
asidenton, erotesis, dan paradoks.
Berikut ini adalah penguraian objek material yang diuraikan dengan
keenam gaya bahasa tersebut.
1. Aliterasi
Aliterasi merupakan semacam gaya bahasa yang berwujud
pengulangan konsonan yang sama (Keraf, 2006: 130).
Contoh dari gaya bahasa aliterasi pada objek penelitian terdapat
pada kalimat “tanaman demi tanaman lama-lama jadi taman”. Terdapat
pengulangan konsonan t, n, dan m dalam kalimat tersebut.
2. Asonansi
Asonansi merupakan semacam gaya bahasa yang berwujud
pengulangan bunyi vokal yang sama (Keraf, 2006: 130).
Contoh dari gaya bahasa asonansi pada objek penelitian terdapat
pada kalimat “yang gak sabar silahkan terbang”. Terdapat pengulangan
bunyi vokal a dalam setiap kata dalam kalimat tersebut.
3. Asidenton
Asidenton merupakan suatu gaya bahasa yang berupa acuan yang
bersifat padat dan mampat. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat
tidak dihubungkan dengan kata sambung (Keraf, 2006: 131).
Contoh dari gaya bahasa asindeton pada objek kajian terdapat pada
kalimat “udah datang, udah pergi”; “pintu maaf dibuka, pintu rumah
ditutup”; “acara satu jam, sambutan satu setengah jam”; dan “kerjasama:
sini kerja, situ bersama”.
Frekuensi penggunaan gaya bahasa ini pada iklan Sampoerna A
Mild cukup sering. Hal ini dapat terjadi karena pengiklan cenderung
menggunakan kalimat yang singkat padat dan jelas agar bisa dimengerti
oleh orang dan tidak memakan ruang yang cukup banyak di banner.
4. Histeron Proteron
Histeron proteron merupakan semacam gaya bahasa yang
berkebalikan dari sesuatu yang logis atau sesuatu yang wajar (Keraf, 2006:
133).
Contoh dari gaya bahasa histeron proteron dalam objek kajian
terdapat pada kalimat “yang gak sabar silahkan terbang”. Kalimat tersebut
merupakan sindiran bagi para pengemudi kendaraan yang terkadang tidak
sabar dalam mengantre di lampu merah. Jika dipikir secara logis, manusia,
maupun kendaraan biasa (kecuali pesawat dan helikopter) tidak dapat
terbang. Selain itu, cara terlogis untuk kabur dari lampu merah adalah
dengan menerobos lampu merah atau menyalip kendaraan di depan yang
sedang mengantre.
5. Erotesis
Erotesis merupakan semacam pertanyaan yang digunakan untuk
mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar. Erotesis
sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Erotesis dapat
disebut sebagai pertanyaan retoris (Keraf, 2006: 134).
Contoh dari penggunaan gaya bahasa ini pada objek kajian terdapat
pada kalimat “kalau bisa bersih kenapa harus kotor?”. Kalimat tersebut
merupakan sebuah pertanyaan retoris yang tidak menghendaki adanya suatu
jawaban.
6. Paradoks
Paradoks merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung
pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada (Keraf, 2006: 136).
Contoh dari penggunaan gaya bahasa ini pada objek kajian terdapat
pada kalimat “pintu maaf dibuka, pintu rumah ditutup”. Pada kalimat
tersebut, terdapat pertentangan yang cukup mencolok. Ketika pintu maaf
dibuka, justru pintu rumah malah ditutup. Kalimat tersebut mengacu pada
tradisi bermaaf-maafan pada hari raya lebaran yang umunya seseorang akan
berkunjung ke rumah orang lain untuk meminta maaf dan bersilaturahmi.
Secara etika, ketika orang berkunjung ke rumah orang lain untuk tujuan
yang baik, yaitu bermaaf-maafan, si tuan rumah pasti akan dengan senang
hati membukakan pintu rumahnya. Akan tetapi, pada contoh tersebut si
pemilik rumah malah menutup pintu rumahnya.

b. Gaya Bahasa Kiasan


Gaya bahasa kiasan merupakan gaya bahasa yang dibentuk
berdasarkan perbandingan atau persamaan. Terdapat 16 macam gaya bahasa
kiasan, yaitu simile, metafora, alegori, personifikasi, alusi, eponim, epitet,
sinekdoke (pars pro toto dan totum pro parte), metonimia, antonomasia,
hipalase, ironi-sinisme-sarkasme, satire, inuendo, antifrasis, dan paronomasia
(Keraf, 2006: 136-138).
Setelah dilakukan penelitian, ternyata terdapat empat gaya bahasa
yang terdapat pada objek penelitian. Berikut ini adalah hasil penelitian
terhadap objek penelitian yang diteliti dengan ke-empat gaya bahasa di atas.
1. Sinekdoke
Sinekdoke merupakan semacam gaya bahasa figuratif yang
menggunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan
(pars pro toto) atau menggunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian
(totum pro parte) (Keraf, 2006: 142).
Contoh dari sinekdoke totum pro parte pada objek kajian terletak
pada kalimat “acara satu jam, sambutan setengah jam”. Kata “acara” pada
kalimat tersebut merupakan keseluruhan dan kata “sambutan” merupakan
salah satu bagian dari kata “acara”.
2. Ironi
Ironi merupakan suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu
dengan makna atau maksud yang berlainan (Keraf, 2006: 143).
Contoh dari kalimat ironi pada objek kajian terdapat pada kalimat
“pintu maaf dibuka, pintu rumah ditutup”. Dalam contoh tersebut ada
wacana yang saling bertolakbelakang, yaitu “ditutup” dan “dibuka”. Ketika
pintu maaf dibuka, justru pintu rumah malah ditutup. Hal tersebut
merupakan sebuah ironi, sebab biasanya ketika orang berkunjung ke rumah
orang lain untuk saling bermaafan, si tuan rumah pasti akan dengan senang
hati membukakan pintu rumahnya dan untuk bermaaf-maafan juga. Akan
tetapi, pada contoh tersebut si pemilik rumah malah menutup pintu
rumahnya.
3. Satire
Satire merupakan ungkapan yang menertawakan atau menolak
sesuatu. Satire mengandung kritik tentang kelemahan manusia agar mereka
memperbaiki kelemahannya tersebut secara etis maupun estetis (Keraf,
2006: 144). Satire menyindir seuatu secara halus.
Contoh dari kalimat satire pada objek kajian terdapat pada kalimat
“yang gak sabar silahkan terbang”; “habis hoax terbitlah klarifikasi”;
“bukannya adu maju malah adu domba”; “udah datang udah pergi; “belum
pinter kalau belum komen”; dan “acara satu jam sambutan setengah jam”.
Penggunaan kalimat satire pada contoh-contoh di atas merupakan cara
Sampoerna A Mild dalam memperkuat citranya.
Seperti yang sudah disebutkan di bagian pendahuluan di atas,
Sampoerna A Mild telah lama menggunakan gaya bahasa sindiran dalam
beriklan. Cara ini selaras dengan slogan produk rokok tersebut, yaitu
“bukan main” dan “bukan basa-basi”. Produk rokok tersebut hendak
membangun citra produknya sebagai produk yang langsung berbicara
sesuai tujuan mereka. Hal inilah yang membedakan produk rokok tersebut
dengan produk rokok lainnya yang kebanyakan menggunakan ilustrasi
ataupun pencitraan seorang tokoh (misalnya rokok Marlboro dengan
Marlboro Man-nya) dan kegiatan (misalnya rokok Gudang Garam
Internasional yang menggunakan petualangan).
4. Sarkasme
Sarkasme merupakan suatu acuan yang mengandung kepahitan dan
celaan yang getir. Sarkasme memiliki ciri, yaitu getir dan menyakiti hati
(Keraf, 2006: 143-144).
Contoh dari sarkasme pada objek kajian terdapat pada kalimat
“hidup lo adalah konten gue” dan “lo yang salah, lo yang galak”. Kalimat
tersebut merupakan sebuah sarkasme karena langsung mengarahkan
sindiran ke subjek dengan penggunaan kata sapaan seperti lo dan gue.

IV. Penutup
Setelah dilakukan penelitian yang komprehensif dan alamiah terhadap
objek penelitian, yaitu iklan Sampoerna A Mild keluaran terbaru versi “Bukan
Main” yang berjumlah 14 buah, berikut ini adalah hasil dari penelitian objek
penelitian yang diteliti menggunakan teori gaya bahasa dari Gorys Keraf.
Iklan-iklan yang menjadi objek penelitian semuanya menggunakan gaya
bahasa tak resmi dan nada bahasa menengah. Berdasarkan struktur kalimat, objek
penelitian tersebut menggunakan gaya bahasa klimaks, antiklimas, paralelisme,
antitesis, dan repetisi yang terbagi menjadi gaya bahasa taoutes, anafora,
epistrofa, dan mesodiplosis.
Berdasarkan langsung tidaknya makna, objek penelitian tersebut
menggunakan gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya bahasa retoris yang
terkandung pada objek penelitian mencakup aliterasi, asonansi, asidenton,
histeron prosteron, erotesis, dan paradoks. Sementara itu, gaya bahasa kiasan
yang terkandung pada objek penelitian mencakupo sinekdoks (totum pro parte),
ironi, satire, dan sarkasme.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis menemukan
kecenderungan-kecenderungan penggunaan gaya bahasa tertentu yang terdapat
pada objek penelitian, yaitu gaya bahasa tak resmi; nada bahasa menengah;
pengulangan kata, frasa, konsonan, dan bunyi vokal; dan gaya bahasa satire,
sarkasme, dan ironi.
Iklan-iklan yang menjadi objek penelitian tersebut cenderung
menggunakan nada bahasa menengah dan gaya bahasa tak resmi untuk
menciptakan kesan yang santai, damai, tidak terlalu konservatif, dan komunikatif.
Hal tersebut selaras dengan target konsumen dari produk rokok tersebut, yaitu
anak muda.
Penulis juga menemukan pengulangan kata, frasa, konsonan, dan bunyi
vokal yang dimaksudkan untuk menambah keestetikan iklan. Selain itu, terdapat
kecenderungan penggunaan majas satire, sarkasme, dan ironi yang dimaksudkan
untuk menyindir seseorang. Kedua hal tersebut sesuai dengan citra dari iklan-
iklan Sampoerna A Mild yang dikenal dengan iklan-iklannya yang cenderung
menggunakan sindiran dan permainan kata-kata.
Lampiran
Daftar Pustaka
Dey, I. 1993. Qualitative Data Aanalysis: A User Friendly Guide For Social Scientist.
London: Routledge.
Gumiwang, Ringkang. 2019. Belanja Iklan Rokok yang Tak Surut Meski Makin
Dibatasi. Jakarta: Tirto.id. https://tirto.id/belanja-iklan-rokok-yang-tak-surut-
meski-makin-dibatasi-ectp diakses pada tanggal 31 Maret 2021 pada pukul 2.51
WIB.
Indonesia, Departemen Pendidikan. 2021. KBBI. Jakarta: Balai Pustaka.
Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan: Konsep dan Aplikasinya di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Moeloeng, Lexi J. 2012. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Remaja Rosdyakarya.
Pondaag, Agatha Fregina. 2013. Analisis Semiotika Iklan A Mild Go Ahead Versi
“Dorong Bangunan” di Televisi. Manado: Journal “Acta Diurna”, Vol. 1, No.
1.
Utami, Meina Astria dan Fathin Shofaa. 2017. Menyingkap Makna dan Tanda
dalam Iklan Rokok A-Mild Versi “Hasrat”: Sebuah Kajian Semiotika.
Jakarta: Ranah: Jurnal Kajian Bahasa, Vol. 6, No. 2. Halaman 180-197.
Silalahi, H.D. 2019. Inovasi Marketing membuat Sampoerna Mild menjadi
Rokok Nomor 1 di Indonesia. Jakarta: Kompasiana.
https://www.kompasiana.com/donalsigiro/5cecb4756b07c558f40ab9f5/inovasi-
marketing-membuat-sampoerna-mild-menjadi-rokok-nomor-1-di-indonesia
diakses pada 7 April 2021 pukul 5.04 WIB.

Anda mungkin juga menyukai