Anda di halaman 1dari 25

PENGGUNAAN METAFORA DALAM PESAN タバコをやめよう:

ANALISIS WACANA DALAM KAMPANYE ANTI MEROKOK

PROPOSAL SKRIPSI

OLEH:

A. ALFANDY JAHARUDDIN

F081201045

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai

makhluk sosial, komunikasi dibutuhkan untuk menyampaikan suatu gagasan atau

ide , pendapat dan bahkan memberi informasi. Menurut Wijana & Rohmadi, pada

waktu berkomunikasi manusia tidak hanya melakukan dengan satu kelompok

penutur saja, melainkan dilakukan dengan berbagai kelompok penutur yang

dilatar belakangi oleh berbagai faktor yang diantaranya faktor usia, faktor

kedudukan sosial, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, latar belakang

keagamaan ataupun latar belakang geografis dan lainnya (2006: 45-46). Oleh

karena itu, setiap negara mempunyai cara berkomunikasi yang berbeda dan

memiliki ciri khas tersendiri terhadap bahasa yang dimiliki. Hal ini menunjukkan

bahwa setiap negara memiliki bahasa yang digunakan oleh masyarakat di negara

tersebut.

Dalam berinteraksi, kemampuan berkomunikasi untuk menyampaikan

pesan yang dimaksud sangatlah penting, karena keberhasilannya tidak hanya

berdasarkan menarik atau tidak materi yang disampaikan, tetapi juga cara

pembicara menyampaikannya sehingga mampu memengaruhi massa (West dan

Turner, 2008). Ketika berkomunikasi dalam lingkup yang luas, iklan atau

kampanye digunakan sebagai salah satu cara mengungkapkan isi pikiran.

1
Menurut Rogers dan Storey dalam Ruslan 2008: 23, bahwa kampanye

adalah serangkaian kegiatan komunikasi yang terorganisir dengan tujuan untuk

menciptakan suatu akibat tertentu terhadap sasaran secara berkelanjutan dalam

periode tertentu. Menurut Charles U. Larson dalam Ruslan 2008: 25-26,

kampanye terdiri atas tiga kategori yakni Product-oriented campaigns atau

kampanye produk yang mengarah pada bisnis, candidate-oriented campaigns atau

kampanye kandidat politik, serta ideological-oriented campaigns atau kampanye

yang mengarah pada tujuan-tujuan khusus dan biasa berdimensi sosial.

Sebuah iklan atau kampanye dibuat untuk mempengaruhi cara berpikir dan

perilaku masyarakat dalam menanggapi iklan yang disampaikan. Daya tarik

sebuah iklan atau kampanye dibangun untuk mengingatkan khalayak pada citraan

tertentu. Citraan muncul dari penggunaan gaya bahasa yang digunakan dalam

sebuah iklan, sehingga khalayalak ramai tertarik terhadap hal yang digagas dalam

sebuah kampanye. Menurut Keraf (2004: 113), penggunaan gaya bahasa

setidaknya dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang dalam

penggunaan bahasa tertentu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula

penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin

buruk pula penilaian diberikan padanya.

Dari sekian banyak gaya bahasa, metafora menjadi gaya bahasa yang

menarik untuk dikaji, karena metafora merupakan gaya bahasa yang kerap hadir

dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Johnson & Lakoff (1980: 3), cara kita

berpikir dan bertindak pada dasarnya bersifat metaforis. Dalam kehidupan sehari-

2
hari, secara sadar atau tidak, melalui cara berpikir dan bertindak kita, sudah

dipengaruhi oleh metafora secara ilmiah.

Metafora atau 隠喩 (Inyu) dalam bahasa Jepang, yaitu gaya bahasa yang

digunakan untuk mengumpamakan sesuatu hal dengan hal yang lain, karena

adanya kemiripan atau kesamaannya (Sutedi, 2011: 210). Menurut Tarigan (1986:

15), metafora dapat menolong seorang pembicara atau penulis melukiskan satu

gambaran yang jelas melalui komparasi atau kontras. Lakoff dan Johnson

membagi jenis metafora menjadi tiga, yaitu metafora struktural, metafora

orientasional dan metafora ontologis.

Salah satu bentuk kampanye atau iklan menarik untuk dibahas dan dikaji

adalah kampanye anti merokok, khususnya di Jepang. Merokok telah menjadi

salah satu masalah kesehatan global yang mendalam dan kompleks. Praktik

merokok, yang melibatkan penggunaan produk tembakau yang dihisap dan

mengandung nikotin, telah menjadi pandemi yang memengaruhi jutaan orang di

seluruh dunia, termasuk di Jepang.

Metafora dalam bahasa Jepang sering kali menggambarkan rokok sebagai

"monster" atau "setan" yang mengancam kesehatan dan kehidupan seseorang.

Sebagai contoh, iklan layanan masyarakat yang populer di Jepang

menggambarkan rokok sebagai "monster hitam" yang menghisap darah dan

mengancam kehidupan seseorang. Penggunaan metafora dalam iklan layanan

masyarakat Jepang untuk menggambarkan bahaya merokok juga sering kali

dilengkapi dengan gambar visual yang kuat dan menarik perhatian. Hal ini

3
bertujuan untuk memperkuat pesan yang ingin disampaikan dan meningkatkan

efektivitas iklan.

Dari uraian di atas, penulis tertarik untuk membahas mengenai metafora

dalam kampanye anti merokok di Jepang yang kemudian penulis paparkan dalam

bentuk skripsi berjudul “Penggunaan Metafora dalam Pesan タバコをやめよう:

Analisis Wacana dalam Kampanye Anti Merokok”.

1.2. Identifikasi Masalah

Setelah mengamati beberapa wacana berupa kampanye atau iklan anti

rokok di Jepang, penulis mengidentifikasi masalah pada wacana tersebut yaitu:

1. Merokok menjadi masalah serius yang dihadapi dunia (khususnya Jepang)

yang berdampak dari segi eknomi, kesehatan, dan aspek lainnya;

2. Penggunaan iklan atau kampanye anti rokok terkadang menjadi kurang

efektif dalam menyampaikan pesan, hal ini disebabkan karena penggunaan

metafora yang kurang tepat;

3. Penggunaan metafora yang terlalu abstrak pada bebrapa kampanye anti

merokok di Jepang;

4. Penggunaan metafora yang terlalu berlebihan atau dramatis, sehingga

menimbulkan perasaan berlebihan pada target iklan atau kampanye.

1.3. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

4
1. Bagaimana penggunaan metafora pada iklan atau kampanye anti merokok

di Jepang?

2. Bagaimana dampak bagi masyarakat dari penggunaan metafora pada iklan

atau kampanye merokok di Jepang?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1. Tujuan

Berdasarkan masalah yang telah dijabarkan di atas, maka tujuan penelitian ini

adalah:

1. Mendeskripsikan penggunaan metafora pada iklan atau kampanye anti

merokok di Jepang.

2. Mendeskripsikan dampak bagi masyarakat dari penggunaan metafora pada

iklan atau kampanye merokok di Jepang.

1.4.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memperluas dan

mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai penggunaan

metafora dalam iklan atau kampanye.

2. Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan bagi pembaca

mengenai penggunaan metafora dan dampak penggunaan metafora dalam

sebuah iklan atau kampanye.

5
3. Hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan acuan bagi penelitian

dengan teori yang sama atau bagi penelitian yang menggunakan objek yang

serupa.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

Landasan teori sangat diperhitungkan bagi penelitian sastra sebagai buah

pemikiran yang mendalam, sistematis, dan terstruktur. Landasan teori juga

berfungsi sebagai pengarah dalam kegiatan penelitian atau sebagai alat untuk

memecahkan masalah. Menurut Sugiyono (2010: 54), landasan teori merupakan

alur logika atau penalaran yang merupakan seperangkat konsep, definisi dan

proporsi yang disusun secara sistematis. Landasan teori harus relevan dengan

tujuan penelitian, maka teori yang dipilih harus sesuai dengan yang diteliti. Sesuai

dengan rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu membahas mengenai

penggunaan metafora dalam iklan atau kampanye anti merokok di Jepang dengan

menggunakan pendekatan analisis wacana.

2.1.1. Wacana

Menurut Eriyanto (2001: 1), kata wacana adalah salah satu kata yang

sering disebut saat ini selain demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan

lingkungan hidup. Akan tetapi, seperti umumnya banyak kata, semakin tinggi

disebut dan dipakai kadang bukan makin jelas tetapi makin membingungkan dan

rancu. Ada yang mengartikan wacana sebagai unit bahasa yang lebih besar dari

kalimat. Ada juga yang mengartikan sebagai pembicaraan atau diskursus.

7
Dalam studi sosiologi, wacana menunjuk terutama pada hubungan antara

konteks sosial dari penggunaan bahasa. Pada defenisi dalam linguistik, wacana

merupakan unit bahasa yang paling besar dari sebuah kalimat. Analisis wacana

dalam studi linguistik ini merupakan reaksi dari bentuk linguistik formal yang

lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau kalimat semata tanpa melihat

keterkaitan antara unsur-unsur tersebut. Analisis wacana, kebalikan dari linguistik

formal, justru memusatkan perhatian pada level di atas kalimat seperti hubungan

gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari kalimat.

2.1.2. Analisis Wacana

Menurut Eriyanto dalam bukunya “Analisis Wacana”, istilah analisis

wacana adalah istilah umum yang dipakai dalam banyak disiplin ilmu dan dengan

berbagai pengertian. Meskipun ada gradasi besar dari berbagai definisi, titik

singgungnya adalah analisis wacana berhubungan dengan studi mengenai

bahasa/pemakaian bahasa. Mohammad A. S. Hikam (2001: 3) dalam tulisannya

telah membahas perbedaan paradigma analisis wacana dalam melihat bahasa

setidaknya terdiri atas tiga pandangan.

Pandangan pertama diwakili oleh kaum positivismi-empiris. Oleh

penganut aliran ini, bahasa dilihat sebgai jembatan antara manusia dengan objek

diluar dirinya. Pengalamanpengalaman manusia dianggap dapat secara langsung

diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala atau distorsi, sejauh

ia dinyatakan dengan memakai pernyataan–pernyataan logis, sintaksis, dan

memiliki hubungan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri dari pemikiran ini

8
adalah pemisahan antara pemikiran dan realitas. Dalam kaitannya dengan analisis

wacana, konsekuensi logis, dari pemahaman ini adalah orang tidak perlu

mengetahui makna-makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya,

sebab yang penting adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar

menurut kaidah sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, tata bahasa, kebenaran

sintaksis adalah bidang utama dari aliran positivisme-empiris. Analisis wacana

dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan pengertian

bersama. Wacana lantas diukur dengan pertimbangan kebenaran/ketidak benaran

(menurut sintaksis dan semantik). (Eriyanto, 2001: 4)

Pandangan kedua, disebut konstruktivisme. Pandangan ini banyak

dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan

empirisme/positivisme yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam

padangan konsrtuktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk

memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai

penyampai pernyataan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor

sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya. Dalam hal ini,

seperti dikatakan A.S. Hikam subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol

terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Bahasa dipahami dalam

paradigma ini diatur dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan.

Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna, yakni

tindakan pembentukan diri serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh

karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk

membongkar maksud dan makna-makna tertentu. Wacana adalah suatu upaya

9
pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu

pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan di antaranya dengan menempatkan diri

pada posisi pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang

pembicara. (Eriyanto, 2001: 5)

Pandangan ketiga disebut sebagai pandangan kritis. Pandangan ini ingin

mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi

dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Seperti

ditulis A. S. Hikam, pandangan konstruktivisme masih belum menganalisis faktor-

faktor hubungan kekuasaan yang inheren dalam setiap wacana yang pada

gilirannya berperan dalam membentuk jenis-jenis subjek tertentu berikut perilaku-

perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Analisis wacana tidak

dipusatkan pada kebenaran/ketidak benaran struktur tata bahasa atau proses

penafsiran seperti pada analisis konstruktivisme. Analisis wacana dalam

paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses

produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang

netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya karena sangat

berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.

Bahasa di sini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak di luar diri si

pembicara. Bahasa dalam pandangan kritis dipahami sebagai representasi yang

berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun

strategi-strategi di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana dipakai untuk

membongkar yang ada dalam setiap proses bahasa: batasan-batasan apa yang

diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang mesti dipakai, topik apa yang

10
dibicarakan. Dengan pandangan semacam ini, wacana melihat bahasa selalu

terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, dan

berbagai tindakan representasi yang terdapat dalam masyarakat. (Eriyanto, 2001:

6)

Dalam iklan atau kampanye anti merokok di Jepang mengandung maksud

tertentu yang dimasukkan di dalamnya sehingga untuk dapat menganalisis hal

tersebut dibutuhkan teori yang tepat untuk dapat menarik relasi antara tujuan

tersebut dengan isi dari iklan atau kampanye anti merokok tersebut.

2.1.3. Analisis Wacana Van Dijk

Ada banyak model analisis wacana dari berbagai ahli. Dari sekian banyak

model analisis wacana yang diperkenalkan dan dikembangkan oleh beberapa ahli,

model Van Dijk adalah model yang paling sering dipakai. Hal ini bisa saja karena

Van Dijk mengelola perangkat-perangkat wacana sehingga bisa digunakan dan

dipakai secara praktis. Model yang dipakai oleh Van Dijk ini sering disebut

sebagai “kognisi sosial”. Menurut Van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup

hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari suatu

praktik produksi yang harus juga diamati.

Di sini juga mesti dilihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga

memperoleh pengetahuan kenapa teks bisa semacam itu. Kalau ada teks yag

memarjinalkan wanita, dibutuhkan suatu penelitian yang melihat bagaimana

produksi teks itu bekerja, kenapa teks tersebut memarjinalkan wanita. Proses

produksi itu, dan pendekatan ini sangat khas van dijk, melibatkan suatu proses

11
yang disebut sebagai kognisi sosial. Istilah ini sebenarnya diadopsi dari

pendekatan dari lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur

dan proses terbentuknya suatu teks. Suatu teks yang cenderung memarjinalkan

posisi wanita, misalnya lahir karena kognisi atau kesadaran mental di antara

wartawan bahkan kesadaran dari masyarakat yang memandang wanita secara

rendah. Sehingga teks di sini hanya bagian kecil saja dari praktik wacana yang

merendakan wanita. Oleh karena itu, penelitian mengenai wacana tidak bisa

mengekslusi seakan-akan teks adalah bidang yang kosong, sebaliknya ia adalah

begian kecil dari struktur besar masyarakat. Pendekatan yang dikenal sebagai

kognisi sosial ini membantu memetakan bagaimana produksi teks yang

melibatkan proses yang kompleks tersebut dapat dipelajari dan dijelaskan.

(Eriyanto, 2001: 221)

Menurut Van Dijk dalam Eriyanto, teks bukan sesuatu yang datang dari

langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi, teks dibentuk

dalam suatu praktik diskursus, suatu praktik wacana. Kalau ada teks

memarjinalkan wanita, bukan berarti teks tersebut suatu ruang hampa, bukan pula

sesuatu yang datang dari langit. Teks itu hadir dan bagian dari representasi yang

masyarakat yang patriarkal. Di sini ada dua bagian: teks yang mikro yang

merepresentasikan marjinalisasi terhadap wanita dalam berita, dan elemen besar

berupa struktur sosial yang patriarkal. Van Dijk membuat suatu jembatan yang

menghubungkan elemen besar berupa struktur sosial tersebut dengan elemen

wacana yang mikro dengan sebuah dimensi yang dinamakan kognisi sosial.

Kognisi sosial tersebut memilihi dua arti. Di satu sisi ia menunjukkan bagaimana

12
proses teks tersebut diproduksi oleh wartawan atau media, di sisi lain ia

menggambarkan bagaimana nilai-nilai masyarakat yang patriarkal itu menyebar

dan diserap oleh kognisi wartawan, dan akhirnya digunakannya untuk membuat

teks berita.

2.1.4. Metafora

Dalam bahasa Jepang metafora adalah inyu, menurut yoku wakaru

gengogaku nyumon, metafora adalah :

2つの事物.概念の何らかの類似性に基づき、一方の事物.概念を表
す語で、他方の事物.概念を表すという比喩です。すでに見た「あい
つはブタだ」という文における「ブタ」は隠喩です。つまり、「ブタ」
と呼ばれる動物の何らかの特徴と「あいつ」という言葉で指示されて
いる人何らかの特徴類似性に基づき、その人の特徴を「ブタ」と表現
しているわけです。

Futatsu no kotomono, gainen no nanrakano rujisei ni motozuki, ippo no


kotomono, gainen wo arawasu go de, tahou no kotomono, gainen wo
arawasu to iu hiyu desu. Sudeni mita (aitsu wa buta da) to iu bun ni okeru
(buta) wa inyu desu. Tsumari, (buta) to yobareru doubutsu no nanrakano
tokuchou to (aitsu) to iu kotoba de shijisarete iru hito nanrakano tokuchou
ruijisei ni motozuki, sono hito no tokuchou (buta) to hyougenshite iru wake
desu.

„Metafora merupakan gaya bahasa yang mengungkapkan suatu hal atau


perkara dengan hal lainnya berdasarkan persamaan sifat atau konsep.
Sebelumnya terlihat kata “babi” pada kalimat “dia adalah babi” yang
merupakan metafora. Dengan kata lain, karakteristik hewan “babi” pada kata
“dia” ditunjukan untuk mewakili kesamaan sifat seseorang, kata “babi”
mengungkapkan ciri dari orang itu.‟
(Machida & Yosuke, 1997: 112)

Menurut Knowles dan Moon (2006: 3-4), metafora adalah bahasa yang

merujuk pada sesuatu lebih dari arti harfiah agar dapat terbentuk suatu hubungan

13
antara dua hal yang mempunyai kemiripan. Kemudian Knowles dan Moon juga

menjelaskan bahwa fungsi metafora dalam sebuah penulisan adalah sebagai alat

untuk mengkomunikasikan emosi, evaluasi, dan penjelasan. Dengan adanya

metafora, diharapkan tujuan mencari kata yang dapat menggambarkan sesuatu

lebih mendalam lagi dapat berhasil.

Sedangkan menurut Sutedi (2003: 141), Metafora (inyu) adalah gaya

bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal atau perkara, dengan

cara mengumpamakannya dengan perkara atau hal lain, berdasarkan pada sifat

kemiripan/kesamaannya.

Menurut Lakoff dan Johnson (1980: 3), metafora seharusnya sudah bukan

hal baru lagi dalam kehidupan kita karena pada dasarnya selain berbahasa, cara

bertindak dan berpikir kita sudah dipengaruhi oleh metafora secara alamiah. Teori

metafora ini lebih dikenal dengan teori metafora konseptual (Conceptual

Metaphor Theory) disingkat CMT. Dalam CMT, terdapat dua ranah konseptual,

yaitu ranah sumber dan ranah sasaran. Ranah sumber (Source Domain) digunakan

untuk memahami konsep abstrak dalam ranah sasaran (Target Domain), umumnya

berupa hal-hal yang biasa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Ranah sumber

ini lebih bersifat konkret, sedangkan dalam ranah sasaran bersifat abstrak.

Dalam Lakoff dan Johnson dijelaskan bahwa esensi dari metafora adalah

kita dapat mengerti dan mengalami sesuatu hal melalui proses pemahamannya

akan hal lain yang telah dipahami sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa

14
metafora bukan sekedar kata-kata tetapi merupakan fakta bahwa proses berpikir

manusia dan sistem pemahamannya sebagian adalah metaforis.

Berdasarkan teori Johnson dan Lakoff (1980: 14), jenis- jenis metafora

dibagi menjadi tiga, antara lain metafora struktural, metafora orientasional, dan

metafora ontologis. Adapun penjelasan rincinya adalah sebagai berikut.

a. Metafora Struktural

Menurut Knowles & Moon (2006: 33), metafora struktural adalah konsep

yang dibentuk secar metaforis melalui penggunaan konsep yang lain. Metafora

struktural juga dapat didefinisikan sebagai metafora yang menyatakan konsep

yang bersifat abstrak ke dalam konsep yang konkrit.

b. Metafora Orientasional

Metafora orientasional adalah metafora yang berkaitan dengan ruang dan

tempat yang dapat ditentukan melalui pengalaman fisik manusia, seperti naik-

turun (up-down), dalam-luar (in-out), depan-belakang (front-back), dan lai-lain.

Metafora ini diawali dengan kenyataan bahwa kita mempunya tubuh yang dapat

berfungsi dalam lingkungan fisik (Lakoff & Johnson, 1980: 14).

c. Metafora Ontologis

Memahami pengalaman-pengalaman kita melalui objek atau substansi

dapat mengambil aspek-aspek tertentu bagian dari pengalaman kita untuk

dijadikan sebuah entitas yang mempunyai ciri-ciri sendiri. metafora ontologis

15
merupakan metafora yang mengubah suatu peristiwa, aktivitas, ide, dan emosi

kedalam sebuah entitas (Lakoff & Johnson, 1980: 25).

2.2. Penelitian Relevan

Dalam penelitian ini, penulis mengacu pada beberapa penelitian yang

sudah ada sebelumnya yang cukup relevan dengan penelitian saat ini. Penelitian

yang membahas tentang analisis metafora pada iklan atau kampanye dengan

pendekatan analisis wacana telah banyak diteliti oleh peneliti di Indonesia. Hal ini

terbukti dengan banyaknya penelitian baik di internet maupun di perpustakaan

yang ditemukan oleh penulis. Oleh karena itu, penulis mengacu pada beberapa

karya ilmiah yang memiliki persamaan teori yang digunakan. Adapun di bawah

ini beberapa hasil penelitian yang relevan.

1. Penelitian pertama adalah skripsi berjudul “Metafora dalam Teks Pidato

Politik Shinzo Abe dalam Konteks Krisis Covid 19” oleh M. Nur Mufaddal

Sahlan pada tahun 2022 dari Universitas Hasanuddin Makassar. Penelitian ini

menjelaskan jenis metafora dan bagaimana makna kontekstual pada metafora

yang digunakan oleh Shinzo Abe dalam pidato politik mengenai penyebaran

virus Covid-19 dengan menggunakan teori Michael C. Halley dan Teun A.

Van Dijk. Permasalahan yang diteliti mengenai bagaimanakah jenis metafora

dan makna kontekstual pada penggunaan metafora pada pidato politik Shinzo

Abe yang membahas mengenai penyebaran virus Covid-19 di Jepang.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan analisis wacana

kritis dan merupakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif.

16
Data dari pidato politik Shinzo Abe didapat dari situs internet. Data

pendukung juga didapat dari berbagai jurnal, penelitian, buku dan berbagai

situs. Hasil penelitian menunjukkan dalam sebuah pidato, penting untuk

menggunakan bahasa yang dapat mempengaruhi cara pandang pendengar

dalam rangka mencapai tujuan dari pembicara tersebut.

2. Penelitian kedua adalah skripsi berjudul “Metafora Jepang dalam Iklan

Majalah Very Edisi 9 September 2014” oleh Nadia Nur Maemunah dari

Universitas Diponegoro Semarang pada tahun 2017. Permasalahan yang

diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai jenis metafora yang terdapat di

dalam Iklan Produk Kecantikan pada Majalah Very, edisi 9 September 2014,

serta jenis metafora yang sering muncul di dalam Iklan Produk Kecantikan

pada Majalah Very, edisi 9 September 2014? Penelitian ini adalah penelitian

deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori Lakoff dan Johnson (1980).

3. Penelitian ketiga adalah skripsi berjudul “Analisis Gaya Bahasa dalam

Slogan Iklan Minuman di Televisi” oleh Lazfihma dari Universitas Negeri

Yogyakarta pada tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan

gaya bahasa yang digunakan dalam slogan iklan minuman teh dan kopi di

televisi, dan makna yang terkandung dalam slogan iklan. Subjek penelitian

adalah slogan iklan minuman teh dan kopi yang ditayangkan pada beberapa

saluran televisi. Objek penelitian adalah gaya bahasa yang terdapat pada

slogan iklan minuman teh dan kopi edisi tahun 2011-2013. Data diperoleh

dari slogan iklan produk minuman teh dan kopi di televisi yang berupa frasa,

kalimat dan gambar iklan produk minuman. Metode penelitian ini adalah

17
deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik

pengamatan dan teknik catat. Instrumen penelitian adalah human instrumen.

Uji reliabilitas menggunakan intrarater dan interrater. Data dianalisis dengan

menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

Berdasarkan penelitian di atas yang dijadikan penelitian yang relevan, dari

penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, dapat dilihat bahwa penelitian

mengenai metafora sudah banyak dilakukan, kususnya pada iklan. Pada penelitian

ini membahas mengenai analisis penggunaan metafora dalam iklan anti merokok

di Jepang.

18
2.3. Kerangka Pikir

Iklan atau Kampanye anti rokok


di Jepang

Analisis Wacana Iklan

Metafora

Penggunaan metafora pada iklan


anti rokok di Jepang

Dampak penggunaan metafora pada iklan atau kampanye


anti rokok di Jepang

Analisis

Kesimpulan

19
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara utama yang digunakan peneliti untuk

mencapai tujuan dan menentukan jawaban atas masalah yang diajukan (Nazir,

1988:51). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penggunaan metafora dalam

iklan atau kampanye anti merokok di Jepang, serta menganalisis dampak dari

penggunaan metafora dalam iklan tersebut. Metode yang digunakan penulis

adalah metode deskriptif-analisis dalam cakupan kualitatif. Menurut Mukhtar

(2013: 10), metode penelitian deksriptif kualitatif adalah sebuah metode yang

digunakan peneliti untuk menemukan pengetahuan atau teori terhadap penelitian

pada satu waktu tertentu.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

analisis wacana iklan, yakni pendekatan dalam ilmu linguistik yang penerapannya

dengan menganalisis wacana berupa iklan atau kampanye anti rokok di Jepang.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah library

research atau studi kepustakaan. Menurut Nazir (1998: 111), studi kepustakaan

merupakan teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan

terhadap buku-buku, catatan-catatan, laporan-laporan, atau yang berhubungan

20
dengan kasus yang dipecahkan. Objek yang menjadi acuan dalam penelitian ini

terdiri dari data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Data primer adalah data yang secara langsung didapatkan dari objek

material yang digunakan untuk penelitian. Dalam penelitian ini, data primer

didapatkan dari beberapa iklan atau kampanye dari Jepang. Data berupa iklan atau

kampanye tersebut bisa dari kampanye tertulis dari brosur, maupun iklan layanan

masyarakat.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data tambahan yang mendukung data primer. Data

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka berupa

skripsi dan buku-buku yang berkaitan dengan objek penelitian dan fokus

masalahnya. Selain itu, terdapat juga beberapa data dari internet yang disusun

menjadi data yang baik dalam penelitian ini.

3.3. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan analisis wacana iklan. Teori ini sudah umum dilakukan dalam

mengkaji wacana berupa iklan. Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk menelaah

secara mendalam mengenai penggunaan metafora dalam iklan atau kampanye anti

merokok di Jepang.

21
Pendekatan analisis wacana digunakan dalam menganalisis penggunaan

metafora dalam iklan atau kampanya anti merokok di Jepang. Metode ini terbatas

hanya pada iklan atau kampanye anti merokok dalam bentuk tulisan atau melalui

media massa berupa iklan layanan masyarakat.

3.4. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan kerangka kerja yang disusun secara

sistematis dan terstruktur untuk memudahkan penulis dalam proses penelitian.

Prosedur penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Memilih dan menentukan objek penelitian. Setelah melakukan survei

terhadap topik yang menarik untuk diteliti, penulis memilih iklan atau

kampanye anti rook di Jepang untuk dijadikan objek penelitian;

2. Menelusuri dan menelaah mendalam objek penelitian dengan teliti;

3. Mengidentifikasi masalah-masalah yang ditemukan dalam objek penelitian;

4. Membatasi dan merumuskan masalah untuk diteliti;

5. Menetapkan teori pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian;

6. Mencari dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan rancangan

penelitian;

7. Menganalisis dan mengolah data dengan menggunakan teori yang digunakan

untuk menjawab rumusan masalah penelitian;

8. Menarik simpulan dari hasil penelitian.

22
DAFTAR PUSTAKA

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:


LKIS.

Gorys, Keraf. 2004. Komposisi: Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa. Ende-


Flores: Nusa Indah.

Knowles, Murray. Moon, Rosamund. 2006. Introducing Methaphor. London:


Psychology Press.

Lakoff, George. Johnson, Mark. 1980. Methapors We Live By. Chicago:


University of Chicago Press.

Lazfihma. 2014. Analisis Gaya Bahasa dalam Slogan Iklan Minuman di Televisi.
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

Machida, Ken. Yosuke, Momiyama. 1997. Yoku Wakaru Gengogaku Nyumon.


Tokyo: Babel Press.

Mukhtar. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: GP Press.

Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Nur Maemunah, Nadiah. 2017. Metafora Jepang dalam Iklan Majalah Very Edisi
9 September 2014. Semarang: Universitas Diponegoro.

Putu Wijana, I Dewa. Rohmadi, Muhammad. 2006. Sosiolinguistik, Kajian Teori


dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ruslan. 2008. Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi. Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

Sahlan, M. Nur Mufaddal. 2022. Metafora dalam Teks Pidato Politik Shinzo Abe
dalam Konteks Krisis Covid 19. Makassar: Universitas Hasanuddin.

23
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.

Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora.

Sutedi, Dedi. 2011. Dasar-dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung: Humaniora.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.


Bandung: Angkasa.

West, Richard. H. Turner, Lynn. 2008. Pengantar Teori Komunikasi. Jakarta:


Salemba Humanika.

24

Anda mungkin juga menyukai