oleh:
Yayang Putra Pratama, S.Kep.
NIM 102311101061
3. Limfoma Maligna
3.1 Pengertian Limfoma Maligna
Limfoma maligna (kanker kelenjar getah bening) merupakan bentuk
keganasan dari sistem limfatik yaitu sel-sel limforetikular seperti sel B, sel T dan
histiosit sehingga muncul istilah limfoma maligna (maligna = ganas). Ironisnya,
pada orang sehat sistem limfatik tersebut justru merupakan komponen sistem
kekebalan tubuh. Ada dua jenis limfoma maligna yaitu Limfoma Hodgkin (HD)
dan Limfoma non-Hodgkin (LNH). Limfoma maligna adalah kelompok
neoplasma maligna/ganas yang muncul dalam kelenjar limfe atau jaringan limfoid
ekstranodal yang ditandai dengan proliferasi atau akumulasi sel-sel asli jaringan
limfoid (limfosit, histiosit dengan pra-sel dan derivatnya).
Limfoma atau limfoma maligna adalah sekelompok kanker di mana sel-sel
limfatik menjadi abnormal dan mulai tumbuh secara tidak terkontrol. Karena
jaringan limfe terdapat di sebagian besar tubuh manusia, maka pertumbuhan
limfoma dapat dimulai dari organ apapun.2
3.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua
jenis5, yaitu:
a. Limfoma Hodgkin (LH)
Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular
predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat
subtipe menurut Rye, antara lain:
Nodular Sclerosis
Lymphocyte Predominance
Lymphocyte Depletion
Mixed Cellularity
b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)
Formulasi Kerja (Working Formulation) membagi limfoma non-hodgkin
menjadi tiga kelompok utama, antara lain:
Limfoma Derajat Rendah
Kelompok ini meliputi tiga tumor, yaitu limfoma limfositik kecil, limfoma
folikuler dengan sel belah kecil, dan limfoma folikuler campuran sel belah
besar dan kecil.
Limfoma Derajat Menengah
Ada empat tumor dalam kategori ini, yaitu limfoma folikuler sel besar,
limfoma difus sel belah kecil, limfoma difus campuran sel besar dan kecil,
dan limfoma difus sel besar.
Limfoma Derajat Tinggi
Terdapat tiga tumor dalam kelompok ini, yaitu limfoma imunoblastik sel
besar, limfoma limfoblastik, dan limfoma sel tidak belah kecil.
3.3 Epidemiologi
Pada tahun 2002, tercatat 62.000 kasus LH di seluruh dunia. Di negara-
negara berkembang ada dua tipe limfoma hodgkin yang paling sering terjadi, yaitu
mixed cellularity dan limphocyte depletion, sedangkan di negara-negara yang
sudah maju lebih banyak limfoma hodgkin tipe nodular sclerosis. Limfoma
hodgkin lebih sering terjadi pada pria daripada wanita, dengan distribusi usia
antara 15-34 tahun dan di atas 55 tahun.1
Berbeda dengan LH, LNH lima kali lipat lebih sering terjadi dan
menempati urutan ke-7 dari seluruh kasus penyakit kanker di seluruh dunia.
Secara keseluruhan, LNH sedikit lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita.
Rata-rata untuk semua tipe LNH terjadi pada usia di atas 50 tahun.6
Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia
menduduki urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya
mengapa angka kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang
erat antara penyakit AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan
antara kejadian limfoma dengan kejadian infeksi sebelumnya.4
3.4 Etiologi
Penyebab limfoma hodgkin dan non-hodgkin sampai saat ini belum
diketahui secara pasti1,2,6. Beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab
penyakit ini antara lain:
a. Infeksi (EBV, HTLV-1, HCV, KSHV, dan Helicobacter pylori)
b. Faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida,
bahan kimia organik, dan lain-lain), kemoterapi, dan radiasi.
c. Inflamasi kronis karena penyakit autoimun
d. Faktor genetik
3.5 Patofisiologi
Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada
sel-sel tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi
terjadinya keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor
tumor, gen yang mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang
produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor
tumor adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya,
kedua gen ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat
dicegah. Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi
inaktivasi gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi
tanpa henti.
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur
apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen
yang mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang
terprogram, sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi
regenerasi. Jika gen ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan
seharusnya sudah mati menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi
regenerasinya, sehingga proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya
gen yang mengatur perbaikan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan
menginduksi terjadinya mutasi sel normal menjadi sel kanker.5
Gambar 3. Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan
Selain tanda dan gejala di atas, stadium limfoma maligna secara klinis juga
dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Ann Arbor yang telah dimodifikasi
Costwell.1,3,6
Tabel 2. Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh
Costwell
Keterlibatan/Penampakan
Stadium
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ
ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio yang
letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama (IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma
ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik
Suffix
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
sebelum diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui
penyebabnya
Demam intermitten > 38° C
Berkeringat di malam hari
X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10 cm,
atau , massa mediastinum dengan ukuran > 1
/3 dari diameter
transthoracal maximum pada foto polos dada PA
Gambar 4. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor
3.7 Diagnosis
Diagnosis limfoma hodgkin maupun non-hodgkin dapat ditegakkan
melalui prosedur-prosedur di bawah ini.3
1. Anamnesis lengkap yang mencakup pajanan, infeksi, demam, keringat
malam, berat badan turun lebih dari 10 % dalam waktu kurang dari 6
bulan.
2. Pemeriksaan fisik dengan perhatian khusus pada sistem limfatik (kelenjar
getah bening, hati, dan lien dengan dokumentasi ukuran), infiltrasi kulit
atau infeksi.
3. Hitung sel darah rutin, pemeriksaan differensiasi sel darah putih, dan
hitung trombosit.
4. Pemeriksaan kimia darah, mencakup tes faal hati dan ginjal, asam urat,
laktat dehidrogenase (LDH), serta alkali fosfatase.
5. Pembuatan radiogram dada untuk melihat adanya adenopati di hilus
(pembesaran kelenjar getah bening bronkus, efusi pleura, dan penebalan
dinding dada.
6. CT scan atau MRI dada, abdomen, dan pelvis.
7. Scan tulang jika ada nyeri tekan pada tulang.
8. Scan galium, dilakukan sebelum dan sesudah terapi, dapat menunjukkan
area penyakit atau penyakit residual pada mediastinum.
9. Biopsi dan aspirasi sumsum tulang pada limfoma stadium III dan IV.
10. Evaluasi sitogenetik dan sitometri aliran.
3.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,
yaitu:
a. Pembedahan
Tata laksana dengan pembedahan atau operasi memiliki peranan yang
terbatas dalam pengobatan limfoma. Untuk beberapa jenis limfoma,
seperti limfoma gaster yang terbatas pada bagian perut saja atau jika ada
resiko perforasi, obstruksi, dan perdarahan masif, pembedahan masih
menjadi pilihan utama. Namun, sejauh ini pembedahan hanya dilakukan
untuk mendukung proses penegakan diagnosis melalui surgical biopsy.7
b. Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan
limfoma, terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini
lebih sulit untuk diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah
banyak digunakan untuk mengobati limfoma hodgkin seperti
radioimunoterapi dan radioisotope. Radioimunoterapi menggunakan
antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22 untuk melawan antigen
spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan radioisotope
menggunakan Iodine atau 90Yttrium untuk irradiasi sel-sel tumor secara
131
3.9 Komplikasi
Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma
maligna, yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi
karena penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu
sendiri dapat berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung,
kelainan pada paru-paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord,
kelainan neurologis, obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal,
nyeri, dan leukositosis jika penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan
komplikasi akibat penggunaan kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan
muntah, infeksi, kelelahan, neuropati, dehidrasi setelah diare atau muntah,
toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin, kanker sekunder, dan sindrom
lisis tumor.1,6
3. Pathway
2.2 Pengkajian
Managemen Asuhan Keperawatan
4. Managemen Asuhan Keperawatan
4.1 Pengakajian keperawatan
Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien limfoma hodgkin
antara lain:
1. Data subjektif :
a. Mengeluh sesak
b. Cepat merasa lelah
c. Badan Lemah
2. Data Obyektif :
a. Timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan pada leher (bisa terjadi
juga pada ketiak atau pangkal paha)
b. Wajah pucat
3. Kebutuhan dasar
a. Aktivitas/Istirahat
Gejala:
1. Kelelahan, kelemahan atau malaise umum
2. Kehilangan produktifitas dan penurunan toleransi latihan
3. Kebutuhan tidur dan istirahat lebih banyak
Tanda:
Penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban dan tanda lain yang
menunjukkan kelelahan
b. Sirkulasi
1. Takikardia
2. Ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan
obtruksi duktus empedu dan pembesaran nodus limfa(mungkin tanda
lanjut)
3. Keringat malam.
c. Integritas Ego
Kemungkinan muncul gejala:
1. Faktor stress, misalnya sekolah, pekerjaan, keluarga
2. Masalah finansial: biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut
kehilangan pekerjaan sehubungan dengan kehilangan waktu kerja.
3. Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan menjadi orang yang
tergantung pada keluarga.
Tanda:
Kemungkinan perilaku, misalnya marah, menarik diri, pasif
d. Eliminasi
Gejala
1. Perubahan karakteristik urine dan urin output
2. Riwayat Obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorbsi
(infiltrasi dari nodus limfa retroperitoneal)
Tanda
Penurunan haluaran urine urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretal/ gagal
ginjal).
e. Makanan/Cairan
Gejala:
Peningkatan berat badan
Tanda:
1. Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder
terhadap kompresi venakava superior oleh pembesaran nodus limfa)
2. Asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran
nodus limfa intraabdominal).
f. Neurosensori
Gejala:
Nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran
nodus limfa pada brakial, lumbar, dan pada pleksus sakral
Kelemahan otot, parestesia.
Tanda:
1. Status mental : letargi, menarik diri, kurang minatumum terhadap sekitar.
2. Paraplegia (kompresi batang spinaldari tubuh vetrebal, keterlibatan
diskus pada kompresiegenerasi, atau kompresi suplai darah terhadap
batng spinal).
g. Nyeri/Kenyamanan
Gejala:
1. Nyeri pada saat menelan
2. Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol.
Tanda
Fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.
h. Pernapasan
Gejala:
Dispnea pada kerja atau istirahat
Tanda:
1. Dispnea, takikardia
2. Batuk kering non-produktif
3. Tanda distres pernapasan, contoh peningkatan frekwensi pernapasan dan
kedaalaman penggunaan otot bantu, stridor, sianosis.
4. Parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf
laringeal).
i. Keamanan
Gejala:
1. Riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitasimunitas seluler pwencetus
untuk infeksi virus herpes sistemik, TB, toksoplasmosis atau infeksi
bakterial)
2. Riwayat monokleus (resiko tinggi penyakit Hodgkin pada pasien yang
titer tinggi virus Epstein-Barr).
3. Riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster.
4. Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari terakhir sampai beberapa
minggu (demam pel Ebstein) diikuti oleh periode demam, keringat
malam tanpa menggigil.
5. Kemerahan/pruritus umum
Tanda:
1. Nodus limfe simetris, tak nyeri, membengkak/membesar (nodus servikal
paling umum terkena, lebih pada sisi kiri daripada kanan, kemudian
nodus aksila dan mediastinal)
2. Nodus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan.
Pembesaran tosil
3. Pruritus umum.
4. Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo).
j. Seksualitas
Gejala :
Penurunan libido.
4. Pemeriksaan fisik:
TTV:
Tekanan darah meningkat
Respiratory rate meningkat (normal RR = 16-20 x/menit)
Nadi meningkat (normal N = 60-100 x/menit)
Suhu normal (normal T = 35,5 oC -36,5oC)
a. Inspeksi :
Terdapat pembengkakan kelenjar di leher, ketiak, atau pangkal paha
Terlihat bahu merosot
Terdapat sianosis
Klien tampak lemah
Terdapat pembengkakan atau cekungan yang spesifik di bagian ulu hati
(splenomegali)
b. Palpasi:
Edema teraba kenyal seperti karet
Kekuatan otot menurun
CRT > 3 detik
c. Perkusi: -
d. Auskultasi: -
5. Pemeriksaan diagnostik:
Pemeriksaan darah dapat bervariasi dari secara lengkap normal sampai
abnormal. Pada tahap I sedikit klien mengalami abnormalitas hasil
pemeriksaan darah.
a. SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.
b. Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin
ditemukan. Limfopenia lengkap (gejala lanjut).
c. SDM dan Hb/Ht : menurun.
d. Pemeriksaan SDM : dapat menunjukkan normositik ringan sampai sedang,
anemia normokromik (hiperplenisme).
e. LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau
penyakit malignansi. Berguna untuk mengawasi klien pada perbaikan dan
untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.
f. Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat
g. Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang digantikan
oleh limfoma dan oleh hipersplenisme)
h. Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun, hasil
negatif biasanya terjadi pada penyakit lanjut.
i. Besi serum dan TIBC : menurun.
j. Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.
k. Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.
l. Asam urat serum : meningkat sehubungan dengan destruksi nukleoprotein
dan keterlibatan hati dan ginjal.
m. BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin,
ASL (SGOT), klirens kreatinin dan sebagainya mungkin dilakukan untuk
mendeteksi keterlibatan organ.
n. Hipergamaglobulinemia umum : hipogama globulinemia dapat terjadi pada
penyakit lanjut.
o. Foto dada : dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat,
nodulus atau efusi pleural
p. Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang
nyeri tekan : menentukan area yang terkena dan membantu dalam
pentahapan.
q. Tomografi paru secara keseluruhan atau skan CT dada: dilakukan bila
adenopati hilus terjadi. Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa
mediatinum.
r. CT scan abdominal : mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit
nodus pada abdomen dan pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada
pemeriksaan fisik.
s. Ultrasound abdominal : mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa
retroperitoneal.
t. Scan tulang : dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang.
u. Skintigrafi Galliium-67 : berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya
penyakit nodul, khususnya diatas diagfragma.
v. Biopsi sumsum tulang : menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi
sumsum tulang terlihat pada tahap luas.
w. Biopsi nodus limfa : membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada
adanya sel Reed-Sternberg.
x. Mediastinoskopi : mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan
nodus mediastinal.
y. Laparatomi pentahapan : mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen
nodus retroperitoneal, kedua lobus hati dan atau pengangkatan limfa
(Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan resiko
infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali klien mengalami
manifestasi klinis penyakit tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan
sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.
Judith M. Wilkison. 2007. Buku Saku Keperawatan Dengan Intervensi NIC dan
Kriteria NOC. Jakarta: EGC.