Anda di halaman 1dari 1

Resensi: Sekolah Nir Kekerasan

Siapa sih yang tidak menginginkan iklim belajar di


sekolah anak-anak kita yang menyenangkan?
Menjadi sebuah impian banyak orangtua ketika
mendapati anaknya sangat bersemangat untuk hadir
ke sekolah dan pulangnya selalu menularkan cerita
keasikan saat belajar bersama teman-teman dan guru
di sekolah. Penggambaran suasana semacam itu
terwakili dengan ungkapan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan periode 2014-2016;
“Sekolah yang baik itu sekolah yang
membuat anak-anak datang dengan senang
hati, berada di sekolah dengan senang hati,
dan pulang dengan berat hati. Bukan
sebaliknya.” —Anies Rasyid Baswedan
Perwujudan suasana sekolah semacam itu dipaparkan dalam buku ini; “Sekolah Nir Kekerasan”;
dengan beragam kekhasannya masing-masing. Sayangnya, suasana sekolah yang menyenangkan
tersebut masih sangat langka di temui di Indonesia. Sebab, buku ini ditulis para diaspora Indonesia
yang mengungkapkan rasa kagumnya saat mereka menyekolahkan anak-anak mereka di belahan
dunia lain.
Setidaknya ada 26 tulisan terkait pengalaman mereka menyekolahkan anak-anak mereka di luar
negeri. Ketakjuban ketika kita membaca bagaimana sekolah-sekolah di tiap benua begitu menaruh
perhatian serius terhadap pendidikan. Yang tidak kalah penting adalah harapan para diaspora
tersebut ketika memimpikan sekolah yang menyenangkan bagi anak-anak Indonesia.

Kata kunci “Siswa harus bebas dari rasa takut dan tertekan (beban pelajaran, guru, persaingan,
bahkan ancaman perundungan)” menjadi sebuah tantangan yang amat serius dan tidak bisa
dianggap ringan bagi perubahan dunia pendidikan di Indonesia. Tetapi di Norwegia, upaya
menjaga iklim sekolah nir-kekerasan adalah dengan menerapkan program “kakak asuh” (di
sana disebut “faddertime” yang bermakna waktu istirahat bersama teman). Seorang murid
kelas 1 mendapat dua kakak damping dari kelas 6. Saat istirahat, mereka akan berkumpul.
Fungsi kakak damping adalah menjaga dan membimbing adiknya. Waktu istirahat dapat
dimanfaatkan dengan aktivitas apapun dengan tujuan utamanya agar adik kelas merasa
nyaman di sekolah. Di Norwegia, peringkat kelas dan pencapaian akademis di tingkat SD
bukan menjadi prioritas. Ujian tiap semester dilaksanakan  untuk memetakan kemampuan
akademis siswa. Hasil akhir (rapor) hanya berisi grafik disertai komentar guru. Hal tersebut
diterapkan agar belajar menjadi kegiatan sukacita,  bukan semata-mata mengejar angka.
Sosialisme pergaulan, kebahagiaan, ketenangan, dan rasa aman ketika siswa di sekolah
menjadi fokus pendidikan Norwegia, khususnya pendidikan dasar sebagai pondasi utama
(hlm. 9-10). »»» lebih lengkap https://warung-arsip.blogspot.com/2023/08/resensi-sekolah-nir-
kekerasan.html

Anda mungkin juga menyukai