Pertanyaan: Dr. Nadjwa: 1. Kapan kita perlu memeriksa immunophenotyping dan BCR-ABL pada kasus CML? Apakah CML cukup dengan pemeriksaan morfologi saja? Jawaban: - Dr. Delita dan dr. Anti: Untuk CML, immunophenotyping belum perlu. Immunophenotyping diperlukan pada kasus-kasus tertentu, seperti saat diperiksa morfologi ragu blast tipe M atau L, atau dicurigai ada 2 jenis blast, misalnya pada pasien-pasien putus kemoterapi. Pada kasus seperti itu immunophenotyping akan diperlukan. Sementara untuk BCR-ABL, BPJS mengharuskan adanya pemeriksaan BCR-ABL Molekuler sebagai syarat pemberian terapi Tirosine Kinase Inhibitor pada pasien CML. 2. Mengingat interpretasi scattergram pemeriksaan hematologi 35 parameter cukup rumit, apakah sebagai DSPK kita perlu menginterpretasi secara detail dengan scattergram? Jadi apa gunanya scattergram tersebut? Jawaban: - Dr. Leni dan dr. Nina Susana Dewi: Guna scattergram adalah untuk menambah informasi bagi klinisi. Saat ini banyak klinisi seperti dari bagian anak dan hemato- onkologi yang sudah meminta interpretasi scattergram dan mau belajar tentang scattergram. Klinisi perlu diinformasikan dan diedukasi lebih lanjut terkait scattergram. Seminar dan workshop scattergram dari DSPK bagi klinisi mungkin dibutuhkan. Dr. Jenny – Soreang 1. Untuk mendiagnosis leukemia, apakah boleh langsung dengan immunophenotyping dan tanpa pemeriksaan apus sumsum tulang? Untuk mendiagnosis MDS apakah boleh tanpa pemeriksaan apus sumsum tulang? Jawaban: - dr. Delita: Bila jumlah sel cukup untuk diagnosis leukemia, bisa langsung dengan immunophenotyping, namun sangat tergantung dengan kasusnya. MDS belum bisa langsung dengan immunophenotyping, karena pada immunophenotyping, yang dilihat adalah sel dominan. Sehingga untuk kasus MDS harus dilakukan pemeriksaan morfologi bone marrow. Sesi Imunoserologi (Infeksi) Pertanyaan: Dr. Widyo 1. Pemeriksaan sifilis dengan RPR sudah biasa dilakukan, namun menurut saya spesifisitas RPR rendah. Pemeriksaan apa yang paling dianjurkan untuk sifilis? Jawaban: - Dr. Agnes: Pemeriksaan sifilis menggunakan reverse algorithm. Yang dilakukan pertama kali adalah pemeriksaan treponemal dulu, namun karena hasil pemeriksaan treponemal akan selalu positif seumur hidup, dilanjutkan dengan tes non treponemal (RPR) untuk menentukan titernya. (Guna monitoring terapi) Dr. Idayanti 1. Saya pernah mendapatkan kasus sebagai berikut: Ibu dengan sifilis (TPHA positif) melahirkan, dan klinisi minta diperiksakan TPHA pada bayinya. Setelah diperiksa, ternyata hasilnya reaktif. Klinisi juga meminta untuk diperiksakan VDRL, lalu hasilnya juga reaktif. Namun, di RS saya tidak ada tes kuantitatif untuk sifilis, dan semua pemeriksaan tersebut positif tanpa tidak diketahui titernya. Bagaimana cara menegakkan sifilis kongenital bila tidak ada pemeriksaan kuantitatif, mengingat setelah diagnosis sifilis kongenital ditegakkan, anak akan diterapi? Jawaban: - Dr. Agnes: Mendiagnosis sifilis kongenital harus ekstra hati-hati karena jika terdiagnosis positif, anak akan diterapi. Untuk mendiagnosis sifilis kongenital, mau tidak mau harus ada hasil titernya, karena hasil TPHA positif bisa saja berasal dari ibu. Untuk diagnosis, titer bayi harus 4x lipat dari titer ibunya, atau di atas 1/64. Barulah anak bisa diterapi. Jika titer ibu sm anak sama, berarti hasil positif ini berasal dari ibunya. Dr. Imei (Tangerang) 1. Bagaimana pada pasien yang hasil VDRL-nya sudah turun, kemudian naik lagi ketika diterapi? Jawaban: - Dr. Agnes: Pemeriksaan treponemal akan terus positif dengan atau tanpa pengobatan. Sementara pemeriksaan non treponemal tanpa pengobatan akan negatif. Naik turunnya titer dianggap signifikan apabila jumlahnya 4x lipat. Dr. Wita (Purworejo) 1. Penentuan lini alat uji HIV apakah harus mengikuti rekomendasi WHO, di mana lini 1 adalah alat uji yang sensitivitasnya tinggi, dan alat uji ke-2 dan ke-3 yang spesifisitasnya tinggi? Karena pada kenyataannya di lapangan, terjadi ketidaksesuaian, seperti alat uji lini ke-2 dipakai sebagai alat uji lini ke-1 di puskesmas. Dari segi penentuan lini alat uji apakah harus ikut rekomendasi WHO? Atau mengikuti insert kit, atau ketentuan dari dinas kesehatan? Jawaban: - Dr. Fajar dan dr. Agnes: Penentuan lini harus objektif, bukan dari insert kit, karena tidak semua vendor bisa dipercaya. Memang ada lembaga-lembaga tertentu yang sudah menetapkan alur diagnosis, seperti Dinas Kesehatan. Untuk penentuan alat uji lini ke-1, lini ke-2, dan lini ke-3, tetap harus menggunakan algoritma dari WHO. Hasil false positive dari tes pertama tidak bisa dihindari karena memang tidak bisa melihat spesifisitasnya (alat sangat sensitif) oleh karena itu dikonfirmasi ke tes kedua dan ketiga yang sangat spesifik.
Sesi Imunoserologi (Autoimun)
Pertanyaan Dr. Martha 1. Bagaimana cara menegakkan diagnosis SLE bila tidak ada pemeriksaan ANA Test, dan bagaimana pengaruh infeksi virus seperti COVID-19 pada SLE? Jawaban: - Dr. Anna dan Dr. Verina: Setiap penyakit memiliki kriteria diagnosis. Kalau tidak ada pemeriksaan ANA test, mau tidak mau melihat gejala klinis dan melihat respon terhadap terapi, jika responnya baik maka kemungkinan besar adalah suatu kondisi autoimun. Harus dikomunikasikan kembali dengan klinisi, bisa juga menggunakan parameter laboratorium lain selain ANA Test untuk melihat keterlibatan organ lain, seperti ginjal. Hubungan antara COVID-19 dan SLE: Saat COVID sedang marak, banyak pasien COVID yang diperiksakan ANA Test dan hasilnya reaktif. Hasil pemeriksaan ANA Test memang dipengaruhi oleh virus misalnya virus COVID- 19. Sehingga yang dianjurkan adalah setelah infeksi COVID membaik, dilakukan pemeriksaan ANA ulang. Dr. Nadjwa 1. Bagaimana kondisi hemostasis pada pasien SLE, karena pada pasien ini C3 dan C4 menurun. Apakah ada kecenderungan hiperkoagulasi atau perdarahan pada pasien SLE? Jawaban: - Dr. Anna: Sayang sekali pada pasien ini tidak diperiksakan status hemostasisnya, namun memang risiko terjadinya trombosis akan meningkat pada pasien-pasien SLE. Menjadi ide untuk dilakukannya penelitian lebih lanjut. Dr. Luthfi 1. Seberapa penting dilakukannya pemeriksaan komplemen pada pasien ini? Jawaban: - Dr. Anna: Komplemen adalah penanda utama terjadinya inflamasi kronis pada pasien autoimun. Seperti patogenesisnya, pada suatu kondisi autoimun terbentuk kompleks antigen-antibody yang akan mengaktivasi komplemen terutama lewat jalur klasik, lalu akan menghasilkan sequential component seperti C3b, C5a, yang menjadi mediator inflamasi, lalu ikut aliran darah dan bisa mengendap di area tubuh tertentu (misalnya glomerulus).