NPM : 1112211058
Prodi : S1 Akuntansi (A)
KUIS
AKUNTANSI FORENSIK DAN AUDIT INVESTIGATIF
Pressure (tekanan)
Kondisi yang dapat menekan seseorang untuk melakukan kecurangan yang
dikemukakan oleh Albrecht et al. (2011) dalam Sihombing (2014), pressure terdiri
dari tiga kelompok yaitu:
1) Tekanan Keuangan (Financial Pressure) Hampir 95% Fraud dilakukan karena
adanya tekanan dari segi keuangan yang biasanya diselesaikan dengan tindakan
mencuri.
2) Tekanan akan Kebiasaan Buruk (Vices Pressures) Tekanan ini dikarenakan
adanya dorongan memuaskan nafsu. Tekanan ini mendorong memenuhi kebiasaan
buruk yang dapat dibilang sebagai hobi.
3) Tekanan yang Berhubungan dengan Pekerjaan (Work-Related Pressure)
Kebutuhan akan keadaan dalam lingkungan kerja tidak diperoleh karyawan karena
hubungan antar sesama rekan maupun hubungan dengan atasan-bawahan kurang
harmonis baik dalam hal pekerjaan maupun kinerja individu, sehingga terjadi
tekanan dan mendorong karyawan untuk melakukan fraud untuk memperoleh
perhatian atas usahanya.
Opportunity (peluang/kesempatan)
Fraud tidak mungkin terjadi apabila tidak ada peluang atau kesempatan pada kondisi
yang tepat. Menurut Albrecht et al. (2011) dalam Sihombing (2014) terdapat enam
faktor peluang untuk melakukan fraud antara lain:
1) Kurangnya kontrol dalam pencegahan atau mendeteksi fraud
2) Ketidakmampuan untuk menilai kualitas kinerja
3) Kegagalan untuk mendisiplinkan para pelaku fraud
4) Kurangnya pengawasan terhadap akses informasi
5) Ketidakpedulian dan ketidakmampuan untuk mengantisipasi fraud
6) Kurangnya jejak audit (audit trail)
Rationalization (pembenaran)
Rasionalisasi merupakan alasan pembenaran dari pribadi pelaku fraud atas kesalahan
dari perbuatan yang merugikan pihak lain. Albrecht dan Sihombing (2014)
menjelaskan bahwa rasionalisasi sering terjadi ketika melakukan fraud antara lain:
1) Asset itu sebenarnya milik saya (perpetrator’s fraud)
2) Saya hanya meminjam dan akan membayarnya kembali
3) Tidak ada pihak yang dirugikan
4) Ini dilakukan untuk sesuatu yang mendesak
5) Kami akan memperbaiki pembukuan setelah masalah keuangan ini selesai
6) Saya rela mengorbankan reputasi dan integritas saya asal hal itu dapat
meningkatkan standar hidup saya
Konsep dari capability dan competence secara umum sama definisinya, dalam fraud
diamond (Wolfe dan Hermanson, 2004) dan Crowe’s Fraud Pentagon (Horwath, 2011).
Competence merupakan perluasan pada elemen dari opportunity yang meliputi
kemampuan individu untuk mengesampingkan pengendalian internal dan untuk
mengendalikan secara sosial situasi tersebut untuk keuntungan pribadinya. Sedangkan
arrogance merupakan perilaku superioritas dan hak atau keserakahan pada pelaku
kejahatan yang mempercayai bahwa kebijakan perusahaan dan prosedur tidak diterapkan
kepadanya (Horwath, 2011).
Horwath (2011) mengemukakan bahwa ada lima elemen dari arrogance dari perspektif
CEO, sebagai berikut (Yusof, Khair, & Simon, 2015):
1) Ego besar – CEO terlihat seperti selebriti daripada seorang pengusaha.
2) Mereka menganggap pengendalian internal tidak berlaku untuk dirinya.
3) Memiliki karakteristik perilaku pengganggu.
4) Memiliki kebiasaan memimpin secara otoriter.
5) Memiliki ketakutan akan kehilangan posisi atau status.
FRAUD HEXAGON
Fraud hexagon yang terdiri dari 6 poin dimana model fraud hexagon ditemukan oleh
Georgios L. Vousinas pada tahun 2016 (Desviana et al., 2020). Keenam poin dalam fraud
hexagon terdiri dari:
Stimulus (Pressure): Pelaku pada saat ini melakukan kejahatan yang didorong oleh
tekanan dimana hal ini dapat berasal dari tekanan akan kebutuhan keuangan, target
keuangan yang menurun, perekonomian keluarga yang mendesak, dan lainnya, sehingga
mendorong pelaku untuk berani melakukan pencurian kas perusahaan.
Capability (kapabilitas): Hal ini menunjukan seberapa besar daya dan kapasitas dari
suatu pihak untuk melakukan kecurangan di lingkungan perusahaan. Pada poin ini, salah
satu contoh yang menggambarkan dengan jelas adalah saat terjadinya perubahan direksi
yang merupakan terciptanya wujud conflict of interest (Sari & Nugroho, 2020).
Opportunity (peluang): Bila terdapat kelemahan dalam pengendalian internal
perusahaan, pengawasan yang melemah mendorong seseorang untuk bertindak dalam
melakukan kecurangan. Celah ini dapat mengundang hal yang fatal bagi perusahaan
dimana kelemahan dalam pengendalian internal yang berjalan dimanfaatkan oleh
seseorang.
Rationalization: Pada poin tersebut, pelaku akan melakukan pembenaran atau merasa
bahwa tindakannya benar saat mereka melakukan kecurangan. Perilaku tersebut muncul
disaat seseorang merasa telah berbuat lebih bagi perusahaan, sehingga mereka terdorong
untuk mengambil keuntungan yang didasari pemikiran bahwa hal tersebut sah-sah saja
selama mereka bekerja dengan benar.
Ego (Arrogance): Arogansi adalah sikap superioritas yang menyebabkan keserakahan
dari orang yang percaya bahwa pengendalian internal tidak berlaku secara pribadi. Hal ini
disebabkan saat seseorang merasa lebih tinggi kedudukannya ketimbang pihak lainnya
(Desviana et al., 2020).
Collusion: Menurut Vousinas, (2019) kolusi merujuk kepada perjanjian yang menipu
suatu pihak dimana pihak yang tertipu sebanyak dua orang atau lebih, untuk satu pihak
yang bertujuan untuk mengambil tindakan lain untuk beberapa tujuan kurang baik, seperti
menipu pihak ketiga dari hak yang dimilikinya.