Anda di halaman 1dari 47

KELOMPOK 1:

1. Nita Mardhatillah C301 20 152


2. Nurul Adha C301 20 146
3. Dania Abubakar C301 20 157
4. Maharany Listyawati C301 20 219
5. Feybe Faradea C301 20 228
6. Tri Setio Utomo C301 20 125
7. Chintya Rachel Octavina C301 20 209
8. Daud C301 20 044
Landasan teori

01 Teori tentang fraud

Teknik pencegahan fraud dalam


02
organisasi
Definisi Fraud
Association of Certified Fraud Examiners (2016)
kecurangan laporan keuangan adalah kesalahan
yang disengaja dari kondisi keuangan suatu
perusahaan yang dicapai melalui salah saji atau
kelalaian atas pengungkapan jumlah angka
dalam laporan keuangan untuk menipu
pengguna laporan keuangan
01
Teori
tentang
Fraud?
TEORI FRAUD
● Teori Fraud Scale ● Teori Fraud Diamond ● Teori GONE ( Greed,
Opportunity, Needs,
● Teori Agensi ● Teori Fraud Pentagon
Exposure)
● Teori Fraud Triangle ● Teori Fraud Hexagon
● Teori MICE ( Money,
Ideology, Coercion,Ego)

● Teori Fraud Tree


A.
Fraud Scale
Theory
Fraud scale theory merupakan sebuah teori
yang dikemukakan oleh Dr.Steve Albrecht
seorang doktor akuntansi pada tahun 1980-an.
Studi dari Albrecht ini merupakan
perkembangan sekaligus memperkuat studi
Donald R.Cressey (1970-an) sebelumnya.
Cressey mengemukakan terdapat tiga faktor
penyebab terjadinya kecurangan yaitu
kesempatan, rasionalisasi, dan
dorongan/tekanan yang disebut fraud triangle
(segitiga kecurangan akuntansi).
Cressey mengemukakan terdapat tiga faktor penyebab
terjadinya kecurangan yaitu :

01 Tekanan (pressure)

02 Peluang (opportunity)

03 Rasionalisasi (razionalization)
B.
Teori Agensi
(Agency Theory)
DaIam teori agensi bahwa manajemen akan mencoba
memaksimalkan kesejahteraannya sendiri dengan cara
meminimalisir berbagai biaya agensi. Perbedaan kepentingan
anatara pihak manajemen dan pemegang saham terjadi
karena pihak manajemen yang berperan sebagai agen
cenderung menginginkan kesejahteraan mereka sendiri untuk
mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya atas kinerja
mereka, sedangkan pemegang saham sebagai principal
berfokus pada peningkatan kinerja keuangan berupa tingkat
pengembalian (return) yang tinggi atas investasi mereka.
C.
Teori Fraud
Triangle
Ada 3 hal yang mendorong terjadinya sebuah upaya fraud,
sebagai berikut :
1. Pressure (Dorongan)
Pressure adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan fraud,
contohnya hutang atau tagihan yang menumpuk, gaya hidup mewah,
ketergantungan narkoba, dan sebagainya.
2. Opportunity (Kesempatan)
Opportunity adalah peluang yang memungkinkan fraud terjadi. Biasanya
disebabkan karena internal control suatu organisasi yang lemah, kurangnya
pengawasan, dan/atau penyalahgunaan wewenang.
3. Rationalization (Pembenaran)
Rasionalisasi menjadi elemen penting dalam terjadinya fraud, dimana
pelaku mencari pembenaran atas tindakannya,
D.
Teori Fraud Diamond
Teori fraud diamond merupakan penyempurnaan teori fraud triangle.
Teori fraud diamond menambahkan elemen kapabilitas/kemampuan
(capability) sebagai elemen keempat selain elemen tekanan
(pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi
(rationalization) yang sebelumnya telah dijelaskan dalam teori
fraudtriangle. Menurut Wolfe dan Hermanson, penipuan atau
kecurangan tidak mungkin dapat terjadi tanpa orang yang memiliki
kemampuan yang tepat untuk melaksanakan penipuan atau
kecurangan tersebut.
E.
Teori Fraud
Pentagon
Dalam teori ini menambahkan dua penyebab fraud yaitu kompetensi
(competence) dan arogansi (arrogance). Untuk faktor pressure, oppurtunity
dan rasionalization sama dengan teori triangle yaitu masing masing karena
seseorang mempunyai tekanan sehingga terdapat dorongan untuk melakukan
fraud, seseorang mempunyai kesempatan untuk melakukan fraud karena
lemahnya pengawasan, dan seseorang mencari pembenaran atas tindakan fraud
tersebut.
F
Teori Fraud
Hexagon
Teori yang dikembangkan oleh Georgius
Vousinas dari National Technical
University of Athens ini berasal dari
pengembangan teori pentagon
(S.C.O.R.E), yang terdiri dari Stimulus,
Capability, Opportunity, Rationalization,
dan Ego. Kemudian, S.C.C.O.R.E model
memperbarui dan mengadaptasi teori
tersebut dari kasus fraud yang ada
dengan menambahkan Collusion.
Teori ini berpendapat bahwa kolusi secara tidak sengaja
dapat pula menjadi pengembang fraud yang ada di dalam
organisasi. Fraudster menggunakan kemampuan mereka
untuk mengambil keuntungan dari posisi orang lain dan
memanfaatkan korban.
Signifikansi kolusi sebagai faktor utama penyebab fraud
juga terdapat dalam laporan ACFE pada Nations on
Occupational Fraud and Abuse (2016). Laporan tersebut
menunjukkan bahwa hampir dari setengah kasus yang
diperiksa adalah pelaku yang melakukan kolusi dengan
orang lain dalam tindakan fraud. Semakin besar angka
fraudster yang terlibat, maka kerugian akan cenderung
lebih tinggi.
G.
Teori GONE
(Greed, Opportunity,
Needs, Exposure)
Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Jack Bologne,
pada tahun 1999. Berbeda dengan teori-teori fraud yang
dipaparkan di atas yang menjelaskan faktor terjadinya
fraud disebabkan oleh beberapa sisi, teori ini lebih kepada
sebuah akronim. Namun, tetap mengacu pada behaviour
internal dan lingkungan eksternal seseorang.
4 faktor yang mendorong terjadinya fraud, yaitu :

a. Greed (keserakahan), berkaitan dengan keserakahan potensial.

Opportunity (Kesempatan), berkaitan dengan keadaan dalam organisasi yang


b. terbuka sehingga dapat membuka kesempatan untuk melakukan
kecurangan.

c. Need (Kebutuhan), adalah suatu tuntutan kebutuhan individu yang


harus terpenuhi.

Exposure (Pengungkapan), adalah berkaitan dengan kemungkinan


d. diungkapkannya serta sanksi hukum yang menjerat.
Dapat disimpulkan bahwa menurut teori Gone
kecurangan dapat terjadi dikarenakan adanya
keserakahan didalam kekuasaan, adanya peluang
untuk melakukan kecurangan, serta karena dihimpit
oleh tuntutan hidup, baik berupa tuntutan primer
seperti keluarga individu, maupun karena gengsi. Di
Indonesia sendiri hukum yang mengatur mengenai
kecurangan telah diatur, namun di dalam
pelaksanaannya masih banyak berbenturan dengan
etika yang sepantasnya tidak dapat dilanggar.
H.
Teori MICE
(Money, Ideology,
Coercion, Ego)
Teori M.I.C.E. secara keseluruhan merupakan motivasi bagi
seorang individu untuk melakukan penipuan. “M” berarti tekanan
money (uang) yang merupkan motivasi untuk melakukan
tindakan kecurangan. “I” berarti ideology (ideologi), yang
berhubungan dengan keadaan pikiran seseorang. Tindakan
curang tidak sejalan dengan masalah ideologi yang sering
terjadi, contohnya adalah penggelapan pajak karena orang
percaya mereka sudah membayar cukup. “C” berarti coercion
(paksaan), situasi di mana seorang individu tidak ingin
melakukan penipuan, tetapi tidak memiliki pilihan lain. Terakhir
adalah “E” berarti ego yang mengarah pada lebih banyak uang
mengarah ke lebih banyak kekuatan yang mungkin menjadi
motivasi seseorang melakukan tindak kecurangan tersebut.
I.

Teori Fraud Tree


Secara umum, klasifikasi yang dilakukan terbagi menjadi
tiga, yaitu:

a. Korupsi (Corruption)
b. Penyimpangan Atas Asset (Asset Misappropriation)
c. Pernyataan Palsu (Fraudulent Statement)
a. Korupsi (Corruption)
Fraud jenis ini sering kali tidak dapat dideteksi karena para
pihak yang bekerja sama menikmati keuntungan (simbiosis
mutualisme). Termasuk didalamnya adalah
penyalahgunaan wewenang/konflik kepentingan (conflict
of interest), penyuapan (bribery), penerimaan yang tidak
sah/illegal (illegal gratuities), dan pemerasan secara
ekonomi (economic extortion). Sedangkan Delf (2004)
menambahkan satu lagi tipologi fraud yaitu cybercrime. Ini
jenis fraud yang paling canggih dan dilakukan oleh pihak
yang mempunyai keahlian khusus yang tidak selalu dimiliki
oleh pihak lain. Cybercrime juga akan menjadi jenis fraud
yang paling ditakuti di masa depan di mana teknologi
berkembang dengan pesat dan canggih.
b. Penyimpangan Atas Asset
(Asset Misappropriation)
Asset Misappropriation atau pengambilan aset secara
ilegal dalam bahasa sehari-hari disebut mencuri.
Namun, dalam istilah hukum, mengambil aset secara
ilegal yang dilakukan oleh seseorang yang diberi
wewenang untuk mengelola atau mengawasi aset
tersebut, disebut menggelapkan, istilah pencurian
dalam fraud tree disebut larneny. Theodorrus M.
Tunakotta (2010) menerjamahkan misappropriation
sebagai penjarahan.
c. Pernyataan Palsu
(Fraudulent Statement)
Financial Statement Fraud meliputi tindakan
yang dilakukan oleh pejabat atau eksekutif
suatu perusahaan atau instansi pemerintah
untuk menutupi kondisi keuangan yang
sebenarnya dengan melakukan rekayasa
keuangan (financial engineering) dalam
penyajian laporan keuangannya untuk
memperoleh keuntungan atau mungkin dapat
dianalogikan dengan istilah window dressing.
02
Teknik
pencegahan
fraud dalam
organisasi
Organisasi dapat menciptakan lingkungan penipuan
rendah atau penipuan tinggi. Ada dua faktor
penting yang terlibat dalam lingkungan penipuan
rendah yang penting dalam mencegah penipuan.

1. melibatkan penciptaan budaya kejujuran,


keterbukaan, dan atribut bantuan dari
lingkungan penipuan rendah.
2. kedua melibatkan menghilangkan peluang
untuk melakukan penipuan dan menciptakan
harapan bahwa penipuan akan dihukum.
A. Menciptakan Budaya Kejujuran,
Keterbukaan, dan Pendampingan
Tiga faktor utama dalam pencegahan penipuan berhubungan
dengan menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan
bantuan. Ketiga faktor tersebut adalah (1) mempekerjakan orang
jujur dan memberikan pelatihan kesadaran penipuan; (2)
menciptakan lingkungan kerja yang positif, yang berarti memiliki
kode etik yang terdefinisi dengan baik, memiliki kebijakan pintu
terbuka, tidak beroperasi atas dasar krisis, dan memiliki atmosfir
penipuan yang rendah; dan (3) menyediakan program bantuan
karyawan (EAP) yang membantu karyawan menghadapi tekanan
pribadi.
1. Mempekerjakan Orang Jujur dan
Memberikan Pelatihan Kesadaran Penipuan
Dengan undang-undang privasi yang ketat saat ini, penting bagi perusahaan untuk memiliki
kebijakan penyaringan karyawan yang baik. Bahkan dalam lingkungan yang sangat terkendali,
karyawan yang tidak jujur dengan tekanan berat sering kali melakukan kecurangan. Verifikasi dan
sertifikasi resume adalah dua taktik yang harus digunakan organisasi untuk mencegah penipuan.
Salah satu tanggung jawab terpenting pemberi kerja adalah perekrutan dan retensi karyawannya.
Di pasar saat ini, perputaran cenderung tinggi dan loyalitas karyawan mungkin rendah.

Keputusan perekrutan yang buruk tidak hanya dapat menyebabkan mempekerjakan karyawan
yang tidak jujur tetapi juga di bawah klaim perekrutan dan/atau retensi yang lalai, pemberi kerja
dapat bertanggung jawab atas tindakan atau kelalaian karyawan, baik di dalam atau di luar
lingkup pekerjaan karyawan, selama pihak yang dirugikan dapat menunjukkan tindakan
lalai tertentu dari pemberi kerja itu sendiri.
2. Menciptakan Lingkungan
Kerja yang Positif
Faktor kedua yang penting dalam budaya kejujuran,
keterbukaan, dan bantuan adalah menciptakan lingkungan kerja
yang positif. Lingkungan kerja yang positif tidak terjadi secara
otomatis; sebaliknya, mereka harus dibudidayakan. Ini adalah
fakta bahwa penipuan karyawan dan tindakan tidak jujur lainnya
lebih lazim di beberapa organisasi daripada yang lain. Organisasi
yang sangat rentan terhadap penipuan dapat dibedakan dari
organisasi yang kurang rentan dengan membandingkan iklim
perusahaan mereka.
Tiga elemen yang berkontribusi terhadap terciptanya lingkungan kerja yang positif,
sehingga membuat organisasi kurang rentan terhadap penipuan, adalah
● menciptakan harapan tentang kejujuran melalui kode etik perusahaan yang baik dan
menyampaikan harapan tersebut ke seluruh organisasi,
● memiliki kebijakan pintu terbuka atau kemudahan akses, dan
● memiliki personel dan prosedur operasi yang positif.
● Menetapkan ekspektasi yang tepat adalah alat yang ampuh dalam memotivasi
karyawan untuk berperilaku jujur.
3. Menerapkan Employee Assistance
Program (EAP)
Faktor ketiga dalam menciptakan budaya kejujuran, keterbukaan, dan bantuan adalah
formalitasprogram bantuan karyawan (EAP). Salah satu dari tiga elemen segitiga penipuan
adalah tekanan yang dirasakan. Seringkali, tekanan yang memotivasi penipuan adalah apa yang
pelaku anggap tidak dapat dibagikan atau apa yang mereka yakini tidak memiliki kemungkinan
solusi hukum. Perusahaan yang memberi karyawan cara efektif untuk menghadapi tekanan
pribadi menghilangkan banyak potensi penipuan. Metode paling umum untuk membantu
karyawan yang mengalami tekanan adalah dengan menerapkan EAP formal.

EAP yang berhasil diintegrasikan ke dalam sistem pendukung karyawan organisasi lainnya
dengan program dan layanan yang mencakup kesehatan, pembangunan tim, pelatihan, resolusi
konflik, respons insiden kritis, penilaian, konseling, dan rujukan dapat dan memang membantu
mengurangi penipuan dan bentuk ketidakjujuran lainnya. Karyawan menyambut manfaat ini,
mereka menggunakannya, dan mereka melaporkan secara konsisten dalam survei dampak
bahwa EAP membuat perbedaan dalam hidup mereka, dan dalam kualitas pekerjaan mereka.
B. Menghilangkan Peluang
Terjadinya Penipuan
segitiga motivasi penipuan merasakan tekanan, peluang yang
dirasakan, dan rasionalisasi — diperkenalkan untuk menjelaskan
mengapa penipuan terjadi. Ketika tekanan, peluang, dan
rasionalisasi digabungkan, kemungkinan terjadinya penipuan
meningkat secara dramatis. Jika salah satu dari ketiga elemen
tersebut tidak ada, kemungkinan terjadinya penipuan akan
berkurang.
5 metode untuk menghilangkan peluang penipuan yaitu :

1. memiliki kontrol internal yang baik,


2. mencegah kolusi antara karyawan dan pelanggan atau vendor dan dengan jelas memberi
tahu vendor dan kontak luar lainnya tentang kebijakan perusahaan terhadap penipuan
3. memantau karyawan dan menyediakan hotline (sistem peniup peluit) untuk tip anonim,
4. menciptakan ekspektasi hukuman, dan
5. melakukan audit proaktif. Masing-masing metode ini mengurangi peluang aktual atau yang
dirasakan untuk melakukan penipuan, dan semuanya digabungkan dengan faktor budaya
yang dijelaskan sebelumnya untuk menyediakan program pencegahan penipuan yang
komprehensif.
1. Memiliki Sistem Pengendalian Internal yang Baik

Memiliki sistem pengendalian internal yang baik


merupakan satu-satunya alat yang paling efektif dalam
mencegah dan mendeteksi kecurangan. Terkadang, kurangnya
kepatuhan terjadi karena karyawan meniru sikap apatis
manajemen terhadap kontrol. Di lain waktu, manajer dengan
tepat memodelkan dan memberi label prosedur kontrol yang
baik, tetapi karyawan tidak mematuhinya karena
ketidaktertarikan, kurangnya penghargaan untuk mengikuti atau
hukuman karena tidak mengikuti kontrol, kurang fokus, atau
alasan lainnya. Karena prosedur pengendalian paling baik hanya
dapat memberikan “jaminan yang masuk akal”, pengendalian
hanyalah salah satu elemen dari rencana pencegahan kecurangan
yang komprehensif.
2. Mencegah Kolusi antara Karyawan dan Pihak Lain serta Memperingatkan Vendor dan
Kontraktor tentang Kebijakan Perusahaan

Penipuan kolusif biasanya lebih lambat untuk berkembang (dibutuhkan waktu untuk
mengenal orang lain cukup baik untuk berkolusi dan untuk "percaya" bahwa mereka akan
bekerja sama daripada mengungkapkannya) daripada penipuan yang dilakukan oleh satu
individu.

Dua tren terbaru dalam bisnis mungkin telah meningkatkan jumlah penipuan kolusi. Yang
pertama adalah sifat bisnis yang semakin kompleks. Dalam lingkungan yang kompleks,
karyawan yang dipercaya lebih cenderung beroperasi di lingkungan yang terisolasi atau
khusus di mana mereka terpisah dari individu lain. Yang kedua adalah meningkatnya
frekuensi aliansi pemasok, di mana perjanjian lisan menggantikan jejak kertas dan hubungan
yang lebih erat terjalin antara pembeli dan pemasok.
3. Memantau Karyawan dan Memiliki Whistle-Blowing System
Pemantauan ketat memfasilitasi deteksi dini. Ini juga
mencegah penipuan karena calon pelaku menyadari
bahwa “orang lain sedang menonton.” Karena
pemantauan oleh rekan kerja merupakan cara yang
efektif untuk menangkap tindakan tidak jujur, maka
Bagian 307 Undang-Undang Sarbanes-Oxley tahun
2002 mewajibkan semua perusahaan publik untuk
memiliki sistem pengungkap fakta yang memudahkan
karyawan dan orang lain untuk melaporkan aktivitas
yang mencurigakan. Dalam sebagian besar kasus
penipuan yang telah kami pelajari, individu
mencurigai atau mengetahui bahwa penipuan sedang
terjadi tetapi takut untuk memberikan informasi atau
tidak tahu bagaimana mengungkapkan informasi
tersebut. Undang-undang whistle-blowing yang baru
akan membantu dalam kasus-kasus ini.
Ada Empat alasan Menurut Deloitte mengapa beberapa sistem
whistle-blowing gagal dalam upaya mereka untuk mendeteksi
pelanggaran.

● Kurangnya anonimitas
● Budaya-Budaya organisasi ditentukan oleh nada di atas.
● Kebijakan
● Kurangnya kesadaran
Unsur yang harus dimiliki
oleh sistem whistle-blowing
● Anonimitas
● Kemerdekaan
● Aksesibilitas
● Menindaklanjuti
4. Menciptakan Harapan akan Hukuman

kebijakan penuntutan yang kuat yang dipublikasikan dengan baik


memungkinkan karyawan mengetahui bahwa tindakan tidak jujur
akan dihukum berat, bahwa tidak semua orang tidak jujur, dan bahwa
pinjaman yang tidak sah dari perusahaan tidak akan ditoleransi.
5. Melakukan Audit Kecurangan Proaktif Sangat sedikit
organisasi yang secara aktif mengaudit

Sangat sedikit organisasi yang secara aktif mengaudit


penipuan. Sebaliknya, auditor mereka puas untuk
melakukan audit keuangan, operasional, dan kepatuhan
dan untuk menyelidiki kecurangan hanya ketika gejalanya
sangat parah sehingga diduga ada kecurangan. Organisasi
yang secara proaktif mengaudit kecurangan menciptakan
kesadaran di kalangan karyawan bahwa tindakan
karyawan dapat ditinjau kapan saja. Dengan
meningkatkan rasa takut ketahuan, audit proaktif
mengurangi perilaku curang.
THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai