OLEH :
PRODI S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
2019
Pengertian / Definis Fraud :
Dari beberapa definisi atau pengertian fraud (kecurangan) di atas, maka dapat diketahui
bahwa pengertian fraud sangat luas dan dapat dilihat pada beberapa kategori kecurangan.
Menurut Binbangkum (n.d.) secara umum, unsurunsur dari kecurangan adalah:
Fraud triangle theory merupakan suatu gagasan yang meneliti tentang penyebab
terjadinya kecurangan. Gagasan ini pertama kali diciptakan oleh Donald R. Cressey (1953)
yang dinamakan fraud triangle atau segitiga kecurangan. Fraud triangle menjelaskan tiga
faktor yang hadir dalam setiap situasi fraud:
1. Pressure (Tekanan)
Tekanan menyebabkan seseorang melakukan kecurangan. Tekanan dapat berupa
bermacam-macam termasuk gaya hidup, tuntutan ekonomi, dan lain-lain. Tekanan
paling sering datang dari adanya tekanan kebutuhan keuangan. Kebutuhan ini
seringkali dianggap kebutuhan yang tidak dapat dibagi dengan orang lain untuk
bersama-sama menyelesaikannya sehingga harus diselesaikan secara tersembunyi dan
pada akhirnya menyebabkan terjadinya kecurangan.
2. Opportunity (Peluang)
Adanya peluang memungkinkan terjadinya kecurangan. Peluang tercipta karena
adanya kelemahan pengendalian internal, ketidakefektifan pengawasan manajemen,
atau penyalahgunaan posisi atau otoritas. Kegagalan untuk menetapkan prosedur yang
memadai untuk mendeteksi aktivitas kecurangan juga meningkatkan peluang
terjadinya kecurangan. Dari tiga faktor risiko kecurangan (pressure, opportunity dan
rationalization), peluang merupakan hal dasar yang dapat terjadi kapan saja sehingga
memerlukan pengawasan dari struktur organisasi mulai dari atas. Organisasi harus
membangun adanya proses, prosedur dan pengendalian yang bermanfaat dan
menempatkan karyawan dalam posisi tertentu agar mereka tidak dapat melakukan
kecurangan dan efektif dalam mendeteksi kecurangan seperti yang dinyatakan dalam
SAS No.99.
3. Rationalization (Rasionalisasi)
Rasionalisasi adalah komponen penting dalam banyak kecurangan (fraud).
Rasionalisasi menyebabkan pelaku kecurangan mencari pembenaran atas
perbuatannya. Rasionalisasi merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit
diukur (Skousen et al., 2009).
Tipe/Jenis Fraud Berdasar Fraud Tree
Menurut ACFE (The Association of Certified Fraud Examiners) merupakan organisasi yang
profesional di bidang pemeriksaan atas kecurangan mengklasifikasikan fraud (kecurangan)
kedalam tiga tingkatan yang disebut Fraud Tree yaitu (Albrech, 2009) :
- Memiliki akses ke uang tunai dan memanipulasi akun tersebut untuk menutupi
pencurian kas.
- Mencuri persediaan atau aset lain dan memanipulasi catatan keuangan untuk
menutupi kerugian.
- Keliru atau kelalaian dari peristiwa, transaksi, atau orang penting lainnya
informasi.
- Suap (Bribery)
Pada bentuk ini, karyawan meminta pembayaran dari rekan (vendor) atas
keputusan yang diambil yang menguntungkan rekan tersebut. Caranya dengan
ancaman, bujukan maupun lainnya secara memaksa.
4. Teori Pemicu Fraud : Edwin H. Sutherland Theory, Fraud Triangle Theory, Steve
Albrecht Theory, Gone Theory, Fraud Pentagon Theory.
Sistem pengendalian internal yang lemah dan tata kelola organisasi yang buruk.
Hal ini terjadi karen seseorang mencari pembenaran atas aktifitasnya yang
menagndung fraud. Para pelaku fraud meyakini atau merasa bahwa tindakannya
bukan merupakan suatu fraud tetapi adalah suatu yang memang merupakan
haknya.
Teori Fraud Scale dicetuskan oleh Dr.Steve Albrecht. Teori ini mengukur
kemungkinan tindakan penipuan dengan cara mengevaluasi kekuatan tekanan,
kesempatan dan integritas pribadi. Ketika tekanan situasional dan kesempatan untuk
melakukan fraud tinggi namun integritas personal rendah maka kemungkinan
terjadinya fraud akan sangat tinggi. Karena menurut Fraud Scale, kecurangan paling
sering terjadi ketika tekanan pada situasi sangat tinggi, Integritas pribadi yang
rendah, dan adanya kesempatan atau peluang yang tinggi untuk melakukan fraud.
Selain itu, Menurut Albrecht 3 faktor penyebab seseorang melakukan fraud atau
kecurangan dilihat dari karakteristik khusus menurut teori fraud scale, antara lain:
a. Hutang pribadi yang tinggi
b. Hidup di luar kemampuan mereka
c. Keinginan yang besar untuk keuntungan
d. Gone Theory
Teori GONE merupakan teori yang menyempurnakan Teori Triangle Fraud, dimana
kedua teori tersebut mengungkapkan alasan seorang koruptor melakukan tindak fraud.
Teori GONE menyebutkan akar penyebab kecurangan terdiri dari empat faktor
yaitu: Greed, Opportunities, Need dan Expose. Greed terkait keserakahan dan
kerakusan para pelaku korupsi yang secara potensial ada dalam diri setiap orang.
Opportunity atau kesempatan terkait dengan sistem yang memberi lubang
terjadinya korupsi, yang berkaitan dengan keadaan organisasi/instansi atau
lingkungan masyarakat yang membuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan. Need atau kebutuhan adalah sikap mental yang tidak
pernah cukup, penuh sikap konsumerisme, dan selalu sarat kebutuhan yang tak
pernah usai. Exposes sebagai hal yang berkaitan dengan hukuman pada pelaku
korupsi yang rendah, hukuman yang tidak membuat jera pelaku maupun orang
lain, dan deterrence effect yang minim.
- Arogansi (arrogance)
Menurut Crowe, arogansi adalah sikap superioritas atas hak yang dimiliki dan
merasa bahwa kontrol internal atau kebijaka
Pelaku Fraud
Jabatan Pelaku Fraud
Di Indonesia menurut pendapat resonden, bahwa manajer merupakan jabatan yang paling
banyak melakukan fraud. Selanjutnya diikuti oleh atasan (direksi) atau pemilik. Berbeda
dengan Report to the Nationss (2016) yang meungkapkan bahwa karyawan lah yang
merupakan pelaku fraud yang paling banyak. Hal ini memang sejalan dengan fenomena yang
sekarang terjadi di Indonesia, bahwa tingkat middle managerial-lah yang paling banyak
melakukan fraud.
Dari gambaran di atas dapat dijelaskan bahwa di Indonesia, rata-rata usia pelaku fraud yang
paling banyak adalah usia 36-45 tahun (47%). Selanjutnya dilakukan oleh usia 46-55 tahun.
Usia tersebut menunjukkan bahwa para pelaku fraud berada pada posisi yang sangat
produktif serta lazimnya berada pada posisi puncak.
Kerugian Fraud berdasarkan Usia Pelaku
Hasil survai menunjukkan tiga hal pada poin kerugian fraud berdasarkan usia pelaku.
Pertama, kerugian paling banyak yang diakibatkan oleh fraud berada dalam rentang Rp 100
juta sampai dengan Rp 500 juta. Hal ini terlihat dari 30 kasus atau (%) dilakukan oleh pelaku
yang berusia 36-45. Sementara terdapat 32 kasus atau % dilakukan oleh pelaku berusia 46-55
tahun. Hal kedua yang dapat diperoleh dari survai ini juga menunjukkan bahwa dalam usia
produktif, dalam hal ini 36-45 tahun yang diasumsikan menduduki puncak karir lebih banyak
melakukan kasus fraud. Hal ketiga yang dapat diambil kesimpulan adalah pada usia 46-55
tahun yang mencapai kematangan, pelaku lebih cenderung berkurang. Namun, kejahatan
pada level kerugian lebih dari Rp 10 milyar meningkat.
Jenis Kelamin Pelaku Fraud
Berbeda jauh dengan Report to The Nationss (2016), yang menyatakan bahwa laki-laki
merupakan 65% dari pelaku fraud, maka di Indonesia menurut pendapat responden pelaku
fraud yang ber gender laki – laki mencapai 97%. Namun hal ini sejalan dengan data yang
telah kami ambil dari Mahkaman Agung khusus korupsi yang menerangkan bahwa 92%
pelaku fraud khususnya jenis korupsi adalah 92%.
Dengan demikian secara logika, karena yang paling merugikan adalah laki-laki, maka
kerugian akibat fraud pada tingkat berapapun sebagian besar adalah dilakukan oleh laki –
laki.
Break down Kerugian Fraud Berdasarkan Jenis Kelamin
1. Laki-laki
Agar lebih mendalami jumlah kerugian berdasarkan masa kerja, berikut ini kami sajikan
breakdown untuk setiap range masa kerja beserta kerugian yang diakibatkan.
Masa Kerja Kurang dari 1 Tahun
Gambar 39 : Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku masa > 1 tahun.
Hanya ada dua responden yang memiliki pengalaman menemukan fraud pada masa kerja
kurang dari satu tahun. Jumlah yang diakibatkan pun maksimal Rp 100 juta. Namun, hal ini
perlu menjadi perhatian bahwa pada masa kerja kurang dari satu tahun, pelaku telah dapat
mengakibatkan kerugian yang berdampak material terhadap keuangan perusahaan. Hal ini
dapat diakibatkan kurangnya program asistensi perusahaan untuk karyawan baru dalam
perusahaan.
Gambar 40 :
Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku dengan masa kerja 1-5 Tahun
Naik satu tingkat dari masa kerja yang kurang dari satu tahun, tingkat kerugian paling banyak
yang dilakukan oleh pelaku fraud juga ikut meningkat. Jika kerugian pada masa kerja kurang
dari satu tahun hanya mencapai Rp 100 juta, maka untuk masa kerja 1-5 tahun ini kerugian
terbanyak (26%) ada pada range Rp 500 juta sampai dengan Rp 1 milyar.
Masa Kerja 6-10 Tahun
Gambar 41 :
Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku dengan masa kerja 6-10 tahun
Berdasarkan gambar 38, dapat diketahui bahwa semakin lama masa kerja, maka semakin
berpotensi melakukan fraud. Meski berada satu tingkat di atas masa kerja 1-5 tahun, namun
range kerugian akibat terjadinya fraud tidak terlalu banyak perubahan, yaitu pada range Rp
500 juta sampai dengan Rp 1 milyar.
Gambar 42 :
Kerugian akibat Fraud yang diakibatkan oleh Pelaku dengan masa kerja lebih dari 10 tahun
Masa kerja lebih dari 10 tahun, selain didapatkan kasus lebih banyak, pada jenjang ini juga
ditemukan risiko kerugian lebih dari Rp 10 milyar yang juga lebih banyak daripada masa
kelompok masa kerja yang lainnya.
Pendidikan Pelaku Fraud
Sama dengan Report to The Nationss (2016), maka pendidikan pelaku fraud di Indonesia
adalah sarjana ke atas.Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana proses pendidikan tinggi
di Indonesia. Hal ini merupakan pertanyaan besar yang tidak hanya di Indonesia tetapi juga di
dunia. Jawabannya memerlukan penelitian yang mendalam. Namun diduga bahwa di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia, pendidikan tinggi lebih mengutamakan hardskill dibandingkan
softskill. Di masa depan Indonesia perlu menekankan perlunya pendidikan tinggi yang
mengutamakan proses kejujuran, integritas, dan lainnya, dibandingkan pendidikan tinggi
yang hanya menekankan pada keahlian. ACFE Indonesia Chapter dapat berperan dalam hal
ini.
Organisasi/Lembaga yang Dirugikan akibat Fraud
Pada survai ini didapatkan informasi bahwa pemerintah dianggap sebagai organisasi
yang ‘mutlak’ dirugikan atas terjadinya fraud. Mayoritas responden sebanyak 81.2% memilih
pemerintah sebagai jenis/lembaga yang dirugikan akibat fraud. Kemudian diikuti oleh
perusahaan negara//BUMN sebanyak 8.1% serta perusahaan swasta 7.2%. Pada poin lainnya
yang mendapat respon dari responden (2.2%) sering diwakilkan dengan masyarakat atau
rakyat Indonesia sendiri.
Gambar 17: Organisasi/Lembaga yang Dirugikan Akibat Fraud
Pertama, dari segi umur, pada survei tahun 2002 ACFE menemukan bahwa jika
pelaku fraud semakin tua umurnya, maka semakin mahal pula skema yang mereka buat.
Kerugian yang diperoleh dari karyawan yang lebih tua adalah 27 kali dari kerugian yang
dilakukan oleh penipu usia muda. Alasannya ialah, bahwa karyawan yang lebih tua memiliki
jabatan yang lebih seinor dengan aset yang lebih bebas. Biasanya dalam sebuah perusahaan,
mayoritas jabatan papan atas (manajerial dan di atasnya) dipegang oleh laki-laki. Temuan
dalam survei melaporkan bahwa sebagian besar tindak fraud dilakukan oleh laki-laki.
Kerugian yang disebabkan oleh pelaku fraud berjenis kelamin laki-laki adalah tiga kali lipat
lebih besar dibandingkan pelaku perempuan, misalnya, laki-laki terlibat dalam tindak fraud
75 persen dari perempuan. Semakin tinggi jabatan, semakin tinggi pula tingkat pendidikan.
ACFE melaporkan bahwa mereka yang memegang gelar sarjana ternyata menyebabkan 3,5
kali kerugian dibandingkan mereka yang memiliki pendidikan di bawahnya, misalnya
diploma atau SLTA. Jika tingkat pendidikan pelaku fraud semakin tinggi, maka semakin
besar pula angka kerugian yang diderita oleh perusahaan/organisasi. Kolusi merupakan
kegiatan kolaborasi ilegal yang sangat sulit untuk dicegah dan dideteksi, khususnya jika
kolusi terjadi antara manajer dan karyawan. Hal ini karena manajer biasanya diandalkan
sebagai personil kunci bagi struktur pengendalian perusahaan. Mereka dipercaya untuk
mengidentifikasi dan mendeteksi fraud melalui fungsi mereka.
Hasil survei dalam RTTN tahun 2018 yang berdasarkan pada 2.690 kasus kecurangan
kerja yang dilaporkan dari 125 negara, terdapat banyak dampak yang luar biasa dalam
organisasi. Penelitian ini didasarkan pada 220 kasus kecurangan kerja dari negara-negara
Asia-Pasifik yang dilaporkan pada tahun 2017 dalam Global Fraud Survey. Secara kolektif,
kasus-kasus ini, yang menyumbang 11% dari semua kasus dalam penelitian global kami,
yang menyebabkan kerugian rata-rata sebesar USD 236.000 dan berlangsung rata-rata 18
bulan sebelum kecurangan terdeteksi. RTTN menunjukkan bahwa kasus kecurangan kerja
dapat dipecah menjadi tiga kategori besar. Yang pertama adalah penyalahgunaan aset sebesar
80% dari kasus di wilayah Asia-Pasifik yang menyebabkan kerugian rata-rata USD 180.000.
Selanjutnya adalah kasus penipuan laporan keuangan menyumbang 13% dari kasus di
wilayah tersebut dan mengalami kerugian rata-rata USD 700.000. terakhir adalah korupsi
yang berada di tengah-tengah kedua hal tersebut, terjadi pada 51% kasus dan menyebabkan
kerugian rata-rata USD 500.000. Lebih dari 75% dari penipuan di kawasan Asia-Pasifik
terjadi pada organisasi-organisasi nirlaba, dengan 39% dari organisasi korban menjadi
perusahaan swasta dan 38% menjadi perusahaan publik. Perusahaan swasta dalam penelitian
kami menderita kerugian median terbesar, sebesar USD 310.000. organisasi pemerintah
adalah korban hanya 17% dari kecurangan dan mengalami kerugian rata-rata USD 193.000.
Pengendalian internal memainkan peranan penting dalam melindungi organisasi terhadap
kecurangan seperti tabel dibawah ini :
Pengendali % Kasus
Audit eksternal dari laporan keuangan 93%
Kode etik 87%
Departemen audit internal 80%
Sertifikasi manajemen laporan keuangan 79%
Hotline 74%
Audit eksternal kontrol internal atas pelaporan keuangan 73%
Ulasan manajemen 71%
Komite audit independen 69%
Kebijakan Anti-penipuan 60%
Pelatihan fraud bagi karyawan 59%
Pelatihan fraud untuk manajer / eksekutif 57%
Program dukungan karyawan 49%
Departemen penipuan Dedicated, fungsi, atau tim 42%
Penilaian risiko penipuan Formal 37%
Audit Surprise 34%
Data proaktif pemantauan / analisis 32%
Rotasi pekerjaan / wajib liburan 16%
Hadiah untuk whistleblower 11%
Pelaku kecurangan terbesar dilakukan oleh Manajer 41% dengan kerugian rata-rata sebesar
USD 323.000 dan disusul oleh karyawan sebesar 30% mencapai kerugian rata-rata USD
58.000 dan Pemilik / eksekutif sebesar 26 % dengan kurugian rata-rata USD 1.000.000.
pelaku biasanya berasal dari lima departement paling umum dalam perusahaan yaitu,
operasional 16% kasus, penjualan 16% kasus, eksekutif / manajemen atas 11% kasus,
akuntansi 8% kasus dan keuangan 8% kasus
Kasus Enron
Kasus Enron mulai terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada
tanggal 2 Desember 2001. Pada saat itulah terungkap bahwa terdapat hutang perusahaan yang
tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam
jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen
mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan
dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron
menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan
mendapatkan laba bersih sebesar $ 393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami
kerugian sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang didirikan oleh Enron. Dalam proses pengusutan sebab-sebab kebangkrutan
itu Enron dicurigai telah melakukan praktek Window dressing yaitu dengan cara penundaan
pencatatan piutang karena kasnya digunakan untuk kepentingan pribadi. Manajemen Enron
telah menggelembungkan pendapatannya USD 600.000.000 dan menyembunyikan utangnya
sejumlah USD 1,2 miliar.
Worldcom pada awalnya merupakan perusahaan penyedia layanan telpon jarak jauh.
Selama tahun 90an perusahaan ini melakukan beberapa akuisisi terhadap perusahaan
telekomunikasi lain yang kemudian meningkatkan pendapatnnya dari $152 juta pada tahun
1990 menjadi $392 milyar pada 2001, yang pada akhirnya menempatkan worldcom pada
posisi ke 42 dari 500 perusahan lainnya menurut versi majah fortune. Akuisisi yang besar
telah terjadi pada tahun 1998 pada saat worlcom mengambil alih perusahaan MCI yaitu
peruahaan kedua terbesar di Amerika yang bergerak pada bidang telekomunikasi jarak jauh.
Dan pada tahun yang sama Worldcom membeli perusahaan UUNet, Compuserve, dan
jaringan data AOL (american Online) yang mengukuhkan posisi Worldcom menjadi operator
no 1 dalam infrastruktur internet. Pada tahun 1990 terjadi masalah fundamental ekonomi
pada Worldcom yaitu terlalu besarnya kapasitas telekomunikasi. Masalah ini terjadi karena
pada tahun 1998 Amerika mengalami resesi ekonomi sehingga permintaan terhadap
infrastruktur internet berkurang drastis.hal ini berimbas pada pendapatan Worldcom yang
menurun drastis sehingga pendpatan ini jauh dari yang diharapkan.padahal untuk biaya
akuisisi dan untuk membiayai investasi infrastruktur Worldcom menggunakan sumber
pendanaan dari luar atau utang. Worldcom bukan satu-satunya perusahaan yang memiliki
masalah keuangan pda saat itu, perusahaan lain yang mengalami masalah keuangan antara
lainQwest Communications, Global Crossing, Adelphia, Lucent Technologies,dan Enron.
Perusahaan-perusahaan tersebuit memiliki investasi yang besar dalam bisnis internet. Seperti
pada perusahaan tadi investor di Worldcom mengalami kerugian besar. Nilai pasar saham
perusahaan Worldcom turun dari sekitar 150 milyar dollar (januari 2000) menjadi hanya
sekitar $150 juta (1 juli 2002). Keadaan ini mebuatan pihak manajemen berusaha melakukan
praktek-praktek akuntansi untuk menghindari berita buruk tersebut.
Praktek Akuntansi
Pertanyaan Audit
Berdasarkan latar belakang tersebut, penyajian beban jaringan sebagai pengeluaran modal
ditemukanoleh internal auditor Cynthia Cooper. Mei 2002 Auditor Cynthia Cooper
mendiskusikan masalah tersebut kepada kepala keuangan Worldcom Scott D. Sullivan dan
controller perusahaan saat itu David F. Myers. Cooper melaporkan masalah tersebut pada
kepala komite audit Max Bobbitt, sekitar 12 Juni. Yang kemudian Max Bobbitt meminta
kepada KPMG selaku eksternal auditor saat itu untuk melakukan investigasi. Kepala
keuangan worldcom diminta untuk mengkoreksi salah saji/salah pengklasifikasiannya.
Setelah berdiskusi lebih lanjut Scott D. Sullivan dipecat pada saat Worldcom mengadakan
pengumuman. Pada hari yang sama David F. Myers mengundurkan diri. Dilaporkan bahwa
Sullivan tidak pernah mengkonsultasikan penyajian tersebut kepada Artuhr Anderson selaku
auditor eksernal pada tahun 2001. dan Arthur Anderson pun menyatakan bahwa Sullivan
tidak pernah berkonsultasi dengan nya. Pada tanggal 15 Juli,Tauzi yang merupakan House
Energy and Commerce Committee mengatakan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen
internal dan email Worldcom mengindikasikan bahwa sebenarnya pihak eksekutif sudah
mengetahui salah saji tersebut sejak awal musim panas 2000 silam. Internal auditor adalah
pertahanan awal terhadap kesalahan paktek-praktek akuntansi dan kecurangan akuntansi.
Satu pertanyaan kepada Internal Auditor Worldcom adalah kenapa butuh waktu lama (1
tahun) untuk mengungkap salah saji ini. Padahal mengingat nilai kapitalisasi yang begitu
besar dan pengaruhnya terhadap nilai pendapatan bersih dan total aktiva harusnnya bisa
diungkap lebih cepat. Pertanyaan yang lebih berat dilyangkan kepada KAP Arthur Anderson ,
beberapa pengamat menyatakan bahwa Arthur Anderson tahu mengenai salah saji yang
dilakukan pihak Worldcom. Karena seharusnya Arthur Anderson bertugas untuk mengaudit
kesalah semacam itu, apalagi kesalah ini sangat material. Beberapa pengamat juga
menyatakan bahwa Arthur Anderson seharusnya lebih peka terhadap kondisi keuangan
Worldcom, yang dapat mengakibatkan manajemen perusahaan melakuakan hal diluar
kewajaran praktek akuntansi.
Dampak
25 Juni 2002, saham Worldcom dari $64,5 pada pertengahan 1999 menjadi kurang dari $2
per saham. Dan turun lagi hingga kurang dari $1 yang akhirnya nilai sahamnya kurang dari 1
sen. Para pegawai Worldcom yang mempunyai saham perusahaan sebagai bagian dari dana
pensiun mereka juga mengalami kerugian. Pada akhir tahun 2000 sekitar 32 % atau $642,3
juta dana pensiun mereka berupa saham.Dan mengumumkan akan memberhentikan 17.000
karyawan dari total 85 ribu karyawan. 21 Juli 2002, Worldcom mengikuti program proteksi
kebangkrutan sementara dari departemen kehakiman Amerika serikat. Worldcom melaporkan
aset sebesar $103 milyar dengan total utang $41 milyar. Kebangkrutan Worldcom merupakan
kebangkrutan yang paling besar di Amerika Serikat Pada tahun 2004 Worldcom berubah
nama mnjadi MCI, dan CEO Worldcom diganti dari Ebbers menjadi john Sidgemore. Scott
D. Sullivan didakwa dengan hukuman penjara maksimum 25 tahun penjara sedangkan Ebbers
didakwa dengan hukuman penjara lebih dari 25 tahun.