Anda di halaman 1dari 8

Etika Profesi Akuntan Pajak

8.1 AICPA Statements on Standars For Tax Service


Statements on Standards for Tax Servicesmerupakan pertimbangan etika umum yang
mendasari standar yang dibuat oleh Tax Executive Committee of the AICPA dalam sebuah
pamflet yang bertajuk. Pernyataan ini, yang disebut SSTS, dan interpretasinya
menggantikan SRTP dan interpretasinya sejak 1 Oktober 2000. Yang menarik adalah pada
kalimat pembukaannya: “Standar praktek adalah hallmark dari penyebutan diri sebagai
seorang profesional. Anggota harus memenuhi tanggungjawabnya sebagai profesional
dengan mendukung dan mempertahankan standar yang dengan itu kinerja profesionalnya
bisa diukur”. Dalam kasus tersebut, indikasi terbaik dari standar etika yang bisa dipenuhi
oleh akuntan pajak bisa ditemukan dalam standar tersebut.

Ada 6 (enam) standar yang ditunjukkan dalam SSTS, yaitu:


1. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi kecuali ada
kemungkinan realistik untuk kebaikan yang berkelanjutan.
2. Seorang akuntan pajak tidak boleh membuat atau menandatangani return jika
ini berada dalam posisi yang tidak boleh disarankan menurut point 1.
3. Seorang akuntan pajak dapat menyarankan sebuah posisi yang menurutnya
tidak ceroboh selama ini bisa didisklosur.
4. Seorang akuntan pajak berkewajiban untuk menasehati klien tentang potensi
hukuman di beberapa posisi, dan menyarankan disklosur.
5. Seorang akuntan pajak tidak boleh menyarankan sebuah posisi yang
“mengeksploitasi” proses seleksi audit IRS atau;
6. Dilarang bertindak sekadar dalam posisi “membantah”.

Menurut standar ini, dikatakan tidak etis bila mengkapitulasi permintaan klien untuk
mengurangi liabilitas pajak klien sebenarnya, karena ketika menandatangani return, anda
berarti menyatakan bahwa return adalah benar, tepat, dan lengkap. Bila
menandatanganinya berarti anda terlibat kebohongan. Sebuah sistem yang
menggunakan self-assessment dan reporting membuat orang membayangkan tipe
pekerjaan yang membuat golf menjadi permainan yang terhormat. Pajak juga seperti itu.
Ini ditentukan oleh self-assessment dan reporting. Dalam konteks tersebut,
sikap fair yang bisa dilakukan setiap orang adalah dengan mengawasi diri sendiri.
Masyarakat kita sering menggunakan sistem kehormatan yang besar dan ini bisa
dijalankan ketika sebagian besar orang diatur oleh sistem kehormatan tersebut.

8.2 Tanggung Jawab Akuntan Pajak


Akuntan pajak memiliki tanggung jawab publik yang besar, misalnya :

a. Jujur dalam melaporkan kewajiban pajak


b. Tidak menjadi bagian dari pelaku konspirasi kejahatan pajak
c. Tanda tangan akuntan adalah bukti pernyataan yang siap dimejahijaukan, bahwa
kewajiban pajak telah dihitung dengan ketelitian tinggi, berdasarkan bukti
pendukung yang valid dan lengkap
Dalam pernyataan AICPA nomor 11 telah dinyatakan bahwa akuntan memiliki
tanggungjawab tidak hanya kepada klien tetapi juga kepada sistem, untuk mematuhi
sistem. Tanggungjawab akhir atas penyajian fakta dan kewajiban pajak ada di tangan
wajib pajak, tetapi akuntan memiliki kewajiban untuk menunjukkan kewajiban legal
wajib pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tanggungjawab ini sesuai dengan
sifat dari sistem perpajakan yaitu, self assesment system wajib pajak dituntut untuk
menghitung sendiri dengan jujur dan benar kewajiban pajaknya. Di Indonesia juga
menganut sistem ini dimana jika tidak menggunakan sisitem ini maka akuntan pajak
akan kewalahan dan juga tidak terpenuhinya jumlah akuntan pajak yang ada.

8.3 Etika Akuntan Pajak


Dalam kaitannya dengan etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statemet on
Responsibilities in Tax Practice (SRTP). Adapun isinya adalah sebagai berikut:
1) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 1, Tax Return Positions
(Posisi Pengembalian Pajak)
Statemen ini menetapkan standar masa depan yang bisa diterapkan untuk
anggota ketika merekomendasikan tingkat pengembalian pajak dan menyiapkan
atau menandatangani surat pembayaran pajak (termasuk klaim untuk lebih
bayar) yang disimpan dengan mengenakan pajak otoritas. Karena tujuan standar
ini, suatu nilai pajak terutang, (a) mencerminkan tingkat pengembalian pajak
seperti yang mana wajib pajak telah secara rinci membicarakannya dengan
anggota atau (b) suatu anggota mempunyai pengetahuan semua fakta yang
bersifat material dan, atas dasar fakta itu, telah menyimpulkan apakah posisinya
sudah sesuai. Karena tujuan standar ini, suatu wajib pajak adalah klien, pemberi
kerja, atau pihak ketiga lain penerima jasa pajak.
2) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 2, Answers to Questions on
Returns (Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian)
Statemen Ini menetapkan standar yang bisa diterapkan untuk anggota ketika
menandatangani suatu pajak kembalian jika atau mempertanyakan kelebiahan
pajak kembalian. Istilah questionsincludes meminta informasi untuk pajak
kembalian di dalam perusahaan. Instruksi, atau di dalam peraturan, ya atau
tidaknya dinyatakan format suatu pertanyaan.
Pernyataan: Suatu anggota perlu membuat suatu usaha yang layak untuk
memperoleh informasi dari wajib pajak yang diperlukan untuk menyediakan
jawaban sesuai dengan semua pertanyaan atas suatu pajak kembalian sebelum
ditandatangani.
3) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 3, Certain Procedural
Aspects of Preparing Returns (Aspek prosedur tertentu dalam menyiapkan
Pengembalian)
Dalam menyiapkan atau menandatangani suatu pajak kembalian, suatu anggota
dengan hati jujur boleh mempercayakan, tanpa verifikasi, atas informasi yang
diberikan oleh wajib pajak atau dengan pihak ketiga. Bagaimanapun, suatu
anggota mestinya tidak mengabaikan tentang implikasi yang melengkapi
informasi tersebut dan perlu membuat pemeriksaan yang layak jika informasi
nampak seperti ada kesalahan, tidak sempurna, atau plin-plan baik di bagian
depannya atau atas dasar lain fakta tidak diketahui oleh suatu anggota. Jika
hukum perpajakan atau peraturan memaksakan suatu kondisi dengan rasa
hormat, seperti pemeliharaan buku dan arsip atau memperkuat dokumentasi
wajib pajak untuk mendukung pengurangan yang dilaporkan ke kantor pajak,
suatu anggota perlu membuat pemeriksaan yang sesuai untuk menentukan
kondisi yang dijumpai untuk memberi kepuasan kepada wajib pajak.
4) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 4, Use of
Estimates(Penggunaan Estimasi)
Kecuali jika yang dilarang oleh undang-undang atau menurut peraturan, suatu
anggota boleh menggunakan taxpayer’s untuk menaksir persiapan suatu pajak
kembalian jika itu bukanlah praktis untuk memperoleh data tepat dan jika
anggota menentukan bahwa perkiraan yang layak adalah didasarkan pada
keadaan dan fakta saat itu yang diperlihatkan kepada anggota. Jika perkiraan
dengan taxpayer’s digunakan, mereka harus diperlihatkan dengan suatu cara
yang tidak menyiratkan ketelitian lebih besar disbanding yang ada.
5) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 5, Departure From a
Position Previously Concluded in an Administrative Proceeding or Court
Decision (Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan di
dalam suatu kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan)
Pajak Kembalian berkenaan dengan memposisikan suatu item ketika ditentukan
di dalam suatu kelanjutan administratif atau keputusan pengadilan/lingkungan
tidak membatasi suatu anggota merekomendasikan dari suatu pajak yang
berbeda, kemudian memposisikannya kembali, kecuali jika wajib pajak dalam
pemeriksaan. Oleh karena itu, ketika disiapkan dalam bentuk Statement on
Responsibilities in Tax Services No.1, pajak kembalian diposisikan, anggota
boleh merekomendasikan sebuah pajak kembalian untuk memposisikan atau
menyiapkan suatu pajak kembalian yang memerlukan pemeriksaan dari suatu
item ketika disimpulkan untuk suatu kelanjutan administratif atau meramahi
keputusan berkenaan dengan suatu kembali wajib pajak.
6) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 6, Knowledge of Error:
Return Preparation (Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian)
Suatu anggota perlu menginformasikan kepada wajib pajak dengan segera atas
suatu kesalahan di dalam suatu pajak kembalian yang disimpan atau ketika sadar
akan kegaalan suatu taxpayer’s untuk memfile suatu kembalian yang diperlukan.
Seorang anggota perlu merekomendasikan ukuran yang diambil untuk
melakukan koreksi, seperti rekomendasi yang diberi dengan lisan. Anggota
tidaklah diwajibkan untuk menginformasikannya untuk mengenakan pajak
otoritas, dan suatu anggota tidak boleh melakukannya tanpa ijin taxpayer’s,
kecuali ketika yang diperlukan di depan hukum. Jika suatu anggota diminta
untuk kembalian untuk tahun sekarang dan wajib pajak belum mengambil
tindakan yang sesuai untuk mengoreksi suatu kesalahan utama di dalam suatu
tahun kembalian, anggota perlu mempertimbangkan apakah untuk menarik dari
menyiapkan kembalian itu dan apakah suatu professional melanjutkan
hubungan atau hubungan ketenaga-kerjaan dengan wajib pajak itu. Jika anggota
menyiapkan, seperti itu kembalian tahun ini, anggota perlu mengambil langkah-
langkah layak untuk memastikan bahwa kesalahan itu tidaklah diulangi.
7) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 7, Knowledge of Error:
Administrative Proceedings (Pengetahuan Kesalahan: Cara kerja administrasi)
Jika suatu anggota sedang mewakili suatu wajib pajak di dalam administratifnya
untuk suatu kembalian yang berisi suatu kesalahan, maka anggota perlu
menginformasikannya kepada wajib pajak itu. Anggota perlu
merekomendasikan ukuran yang akan diambil untuk mengoreksinya, yang
mungkin diberi dengan lisan. Suatu anggota bukan diwajibkan untuk
menginformasikan hal itu mengenakan pajak otoritas maupun mengijinkan
untuk melakukannya tanpa ijin tax payer’s, kecuali jika yang diperlukan di
depan hukum. Suatu anggota perlu meminta persetujuan tax payer’s untuk
menyingkapkan kesalahan kepada pajak authority.
8) Statement on Responsibilities in Tax Services No. 8, Form and Content of
Advice to Taxpayers (Format dan isi nasihat pada klien)
Suatu anggota tidaklah diperlukan untuk mengikuti suatu bentuk standar atau
petunjuk dalam berkomunikasi lisan atau tertulisdalam memberi petunjuk
kepada suatu wajib pajak. Suatu anggota perlu berasumsi bahwa petunjuk pajak
yang disajikan ke suatu wajib pajak akan mempengaruhi cara di mana berbagai
hal atau transaksi yang akan dipertimbangkan. Oleh karena itu, untuk semua
petunjuk pajak diberikan kepada suatu wajib pajak, suatu anggota perlu
mengikuti aturan yang baku dalam Statement on Responsibilities inTax
Services No. 1. Pengembangan yang berikutnya mempengaruhi petunjuk yang
sebelumnya menyajikan berbagai hal penting, kecuali sedang membantu
seorang wajib pajak di dalam menerapkan prosedur atau rencana yang
berhubungan dengan petunjuk menyajikan atau ketika suatu anggota melakukan
kewajiban ini dengan persetujuan spesifik.

8.1 Kompleksitas Aturan Perpajakan Dan Tuntutan Klien


Pajak secara klasik memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi budgetair. Kedua, fungsi
reguleren. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan
bahwa “segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain sebagai
sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi, pemerataan
pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau kita lihat APBN,
pajak selalu dituntut untuk bertambah dan bertambah.
Pemerintah harus memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara. Dalam
struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari
pajak. Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan
perpajakan. Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas
bagi pemerintah supaya tidak terjadi tax avoidance.
Berikut ini beberapa kasus yang mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs
tuntutan klien :
1) Pajak Ganda pada Dividen
Secara teori Indonesiamenganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan
subyek pajak yaitu subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang
bermasalah dalam pajak dividen adalah terjadi economic double taxation yang
artinya ialah bahwa sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, laba tersebut
merupakan laba perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut Pajak Korporat.
Namun, ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang
saham itu harus dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda.
Sebagai perbandingan,Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak
atas dividen. Mereka menggunakan kredit sistem yakni pajak yang bisa
dikreditkan kepada para pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat
hanya dimaknai sebagai sarana. Subyek pajak tetap melekat pada pribadi. Tak
ada lagi pajak ganda yang membebani.
2) Sengketa Pajak
Kalau terjadi DISPUTE, yakni hitungan wajib pajak (WP) dengan petugas pajak
berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi
sengketa SPT, maka apapun yang akan dipakai adalah hitungan aparat pajak,
dan hitungan itu harus dibayar lebih dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari
hitungan petugas pajak sebelum bisa dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau
hitungan WP yang dinyatakan pengadilan benar maka WP berhak menerima
restitusi. Namun, uang restitusi itu kenyataannya tidak segera dibayarkan oleh
fiscus. Jika uang restitusi jumlahnya milyaran, jelas saja mengganggu cash flow
para pengusaha. Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat pajak.
Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara
bersama-sama. Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu
dipakai adalah klaim WP. Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya
cukup membayar sebesar 50 persen dari klaim hitungan WP sendiri.
REFRENSI
Dewi, Sutrisna. 2011. Etika Bisnis : Konsep Dasar Implementasi dan Kasus: Udayana Press
http://diahaulia99.blogspot.com/2018/07/tanggungjawab-akuntan-pajak.html
http://etikaakuntansiperpajakan.blogspot.com/

Anda mungkin juga menyukai