Anda di halaman 1dari 12

NOTULEN

RAPAT KOORDINASI BAPENDA PROVINSI DAN


KABUPATEN KOTA SE- KALIMANTAN TIMUR

I. PELAKSANAAN KEGIATAN
1. Hari/ Tanggal : Senin, 31 Juli 2023
2. Waktu : 09.00 WITA s.d Selesai
3. Tempat : Hotel Novotel Balikpapan
4. Nama Kegiatan : Rapat Koordinasi Bapenda Provinsi Dan Kabupaten Kota
Se- Kalimantan Timur

II. MATERI
Sinergi Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota untuk Optimalisasi
Pendapatan Asli Daerah Menuju Kalimantan Timur yang Mandiri

III. NARASUMBER DAN PESERTA


1. Narasumber : a. Aditya Noviaji, S. T. (Koordinator Pokja Perencanaan
Penerimaan Mineral dan Batubara)
b. Mariana Dyah Savitri (Fungsional Analis Keuangan
Pusat dan Daerah Ahli Madya)
2. Peserta : a. Unsur Badan Pendapatan Daerah Provinsi Kalimantan
Timur
b. Unsur Dinas Energi Sumber Daya Mineral dan Batubara
Daerah Provinsi Kalimantan Timur
c. Unsur Sekretariat Daerah Kabupaten/Kota se
Kalimantan Timur
d. Unsur Bagian Perekonomian Kabupaten/Kota se
Kalimantan Timur
e. Unsur Dinas Perkebunan dan Dinas Pertanian
Kabupaten/Kota se Kalimantan Timur
f. Unsur Badan Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota se
Kalimantan Timur
g. Unsur Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah
Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah
Kabupaten/Kota se Kalimantan Timur
h. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
Kalimantan Timur
IV. HASIL
1. Pembagian Keuntungan Bersih Bagian Pemerintah Daerah Dari
Perusahaan Pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Sebagai
Kelanjutan Kontrak Kerja/Perjanjian

Materi disampaikan oleh Bapak Aditya Noviaji, S. T. selaku Koordinator Pokja


Perencanaan Penerimaan Minerba, Kementerian ESDM.

1) Jenis izin usaha pertambangan batubara

Sesuai Pasal 35 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No.
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Izin Usaha
Pertambangan (IUP) batubara di Indonesia terdiri dari 3 jenis izin yaitu:

a) Izin Usaha Pertambangan (IUP);

b) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK);

c) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Operasi


Kontrak/Perjanjian.

Selain ke-3 jenis IUP tersebut, dalam Pasal 169 huruf a UU No. 4 Tahun 2009
sebagaimana diubah dengan UU No. 3 Tahun 2020, diatur bahwa Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum
berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu
berakhirnya perjanjian dan apabila peralihan perizinan perusahaan dari PKP2B
menjadi IUPK dilakukan pada saat setelah terbitnya PP 15 Tahun 2023, maka
pemberlakuan bagi hasil keuntungan bersih perusahaan dapat dilakukan pada
tahun berikutnya.

2) Dasar Hukum
a) Undang-Undang No 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan UU No 4 Tahun
2009 Tentang Mineral dan Batubara.
b) Undang-Undang No 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
c) Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2022 Tentang Perlakuan Perpajakan
dan/atau Penerimaan Negara Bukan Pajak Di Bidang Usaha Pertambangan
Batubara
Di Provinsi Kalimantan Timur telah terdapat 5 badan usaha yang berubah
izinnya dari PKP2B menjadi IUPK berdasarkan Surat Keputusan Pemberian IUPK
yaitu :

 PT Tanito Harum Nomor 4.K/MB.01/MEM.B/2022 tanggal 11 Januari 2019

 PT Kaltim Prima Coal Nomor 90/1/IUP/PMA/2021 tanggal 31 Desember 2021

 PT Kideco Jaya Agung Nomor 14/1/IUP/PMA/2022 tanggal 16 Desember 2022

 PT Multi Harapan Utama Nomor 608/1/IUP/PMDN/2022 tanggal 1 April 2022

 PT Kendilo Coal Indonesia Nomor 60/1/IUP/PMA/2021 tanggal 14 September


2021 (diterminasi)

3) Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2020 Pasal 129, Pemegang IUPK pada tahap
kegiatan Operasi Produksi untuk Pertambangan Mineral Logam dan Batubara
wajib membayar sebesar 4 % (empat persen) kepada pemerintah pusat dan
6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak
berproduksi.
4) Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada UU Nomor 3 Tahun
2020 Pasal 129 Ayat (1) diatur sebagai berikut:

a) Pemerintah daerah provinsi mendapat bagian sebesar 1,5% (satu koma


lima persen);

b) Pemerintah daerah kabupaten/kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5


% (dua koma lima persen); dan

c) Pemerintah daerah kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama


mendapat bagian sebesar 2% (dua persen).

5) Pemerintah kabupaten/kota dihimbau untuk segera membuat payung hukum


mengenai tata cara dan regulasi agar dapat diakui sebagai pendapatan daerah
dan dapat digunakan untuk pembangunan daerah.
6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, pelaporan, dan pembayaran
bagian pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dengan atau
berdasarkan peraturan pemerintah daerah.
7) Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2020 Pasal 16 Ayat 1 Huruf (e), Penerimaan
Negara Bukan Pajak berupa bagian pemerintah pusat sebesar 4% (empat
persen) dari keuntungan perish pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi
Kontrak/ Perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang Pertambangan Mineral dan Batubara pada saat IUPK sebagai
Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian diterbitkan.
8) Berdasarkan PP Nomor 15 Tahun 2020 Pasal 16 Ayat 1 Huruf (f), bagian
pemerintah daerah sebesar 6% (enam persen) dari keuntungan bersih
pemegang IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/ Perjanjian sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pertambangan Mineral
dan Batubara pada saat IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian
diterbitkan, hingga masa IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian
berakhir.
9) Status perizinan IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian
mempengaruhi kewajiban PNBP dan perpajakan perusahaan, yaitu:
a) Perubahan tarif PNBP perusahaan semula adalah 13,5 % (PKP2B) berubah
menjadi 14% - 28% (IUPK), sehingga menyebabkan peningkatan
penerimaan negara;
b) Aset yang dibeli badan usaha semula berstatus sebagai aset Barang Milik
Negara (PKP2B) berubah menjadi milik perusahaan (IUPK);
c) Pajak bersifat yang semula nailed down menjadi bersifat prevailing;
d) Saat perusahaan ber-izin PKP2B, nilai kewajibannya sudah ditentukan
untuk memenuhi kewajiban pajak pajak daerah, dengan berubah menjadi
IUPK maka kewajiban pajak daerah mengikuti regulasi prevailing atau
sesuai peraturan daerah ditambah adanya PDRD income after tax yang
tarifnya sebesar 6% (untuk pemerintah daerah).
2. Dana Bagi Hasil Perkebunan Kelapa Sawit

Materi disampaikan oleh Ibu Mariana Dyah Savitri selaku Fungsional Analis
Keuangan Pusat dan Daerah Ahli Madya pada Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan, Kementerian Keuangan.

1) Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil


Perkebunan Sawit ditetapkan pada tanggal 24 Juli 2023
2) Dasar Hukum:
a) UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah.
b) Pemerintah dapat menetapkan jenis Dana Bagi Hasil (DBH) lainnya setelah
berkonsultasi dengan DPR RI dan dituangkan di dalam Peraturan
Pemerintah;
c) UU No. 2 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2023;
d) PP No. 38 tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit.

Peraturan teknis DBH Sawit akan dituangkan melalui Peraturan Menteri


Keuangan dimana sampai saat ini masih dalam proses penyusunan.

3) Alokasi DBH Sawit bagian daerah akan ditetapkan di dalam Peraturan Menteri
Keuangan, dan berdasarkan Perpres Nomor 130 Tahun 2022 telah dialokasikan
sebesar Rp 3,4 T secara nasional (alokasi perhitungan untuk setiap pemerintah
daerah masih dalam proses perhitungan oleh Kementerian Keuangan bersama
kementrian/lembaga penyedia data).
4) Alokasi DBH Sawit sebesar Rp3,4 T dengan dana yang bersumber dari
Pungutan Ekspor (PE) dan Bea Keluar (BK) atas kelapa sawit, minyak kelapa
sawit mentah, dan/atau produk turunannya.
5) Besaran porsi DBH Sawit minimal 4% dari Pungutan Ekspor (PE) dan Bea
Keluar (BK) atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk
turunannya dan dapat disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan
keuangan negara.
6) Penerima DBH Sawit:
a) Pemerintah daerah provinsi
b) Pemerintah daerah kab/kota penghasil
c) Pemerintah daerah kab/kota berbatasan dengan penghasil
7) Dasar perhitungan alokasi per daerah
a) Alokasi Formula : Luas lahan, tingkat produktivitas lahan, dan/atau
indikator lainnya.
b) Alokasi Kinerja : penurunan tingkat kemiskinan, pembangunan kelapa sawit
berkelanjutan, dan/atau kinerja lainnya.
8) Sumber data

Data bersumber dari Kementerian Keuangan dan/atau Kementerian/Lembaga


terkait sesuai dengan penggunaannya

9) Penggunaan DBH Sawit

a) Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan;

b) Kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam Peraturan


Menteri Keuangan (PMK).

10) Penyaluran DBH Sawit

a) Dapat dilakukan secara bertahap

Untuk DBH Sawit Tahun 2023 akan ada pengaturan secara khusus yaitu
rencana penyaluran secara sekaligus (1 tahap) yang akan dituangkan dalam
Peraturan Peralihan pada Peraturan Menteri Keuangan. Hal ini dikarenakan
Tahun Anggaran 2023 sudah berjalan;

b) Mekanisme penyaluran DBH Sawit akan diberlakukan mulai Tahun 2024

 Tahap 1 (Bulan Mei) Sebesar 50% dengan syarat salur:

 Rencana Kegiatan & Penganggaran (RKP) yang dibahas bersama


kementerian/lembaga terkait;

 Laporan realisasi s.d. Tahap II Tahun Anggaran sebelumnya.

 Tahap 2 (Bulan Oktober) sebesar 50% dengan syarat salur:

 Laporan Realisasi tahap I Tahun Anggaran berjalan

c) Daerah perlu memenuhi syarat penyaluran

11) Alokasi minimum DBH Sawit

Pemerintah dapat menetapkan:

a) alokasi minimum DBH Sawit secara nasional (alokasi minimum untuk tahun
2024 sebesar Rp 3 Trilyun);

b) alokasi minimum DBH Sawit per daerah provinsi/kabupaten/kota (alokasi


minimum untuk tahun 2023 sebesar Rp 1 Milyar).
12) Kondisi pasar CPO (Crude Palm Oil) hingga April 2023 cenderung berfluktuasi
dan lebih rendah dibandingkan tahun 2022 dan kebijakan pemerintah yang
salah satunya adalah penyesuaian dan penghapusan tarif, sehingga
menyebabkan penerimaan PE dan BK berfluktuasi.
13) Berdasarkan data dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
(BPDPKS), pada Tahun 2019 tidak ada penerimaan PE atas kelapa sawit,
sedangkan penerimaan BK pada Tahun 2015-2020 sangat rendah dikarenakan
tarif BK dan harga dari CPO rendah, dan pada Tahun 2021 terjadi peningkatan
penerimaan PE dan BK.
14) Dalam PP 38 Tahun 2023 disebutkan bahwa presentase DBH Sawit minimal
sebesar 4% dan dapat disesuaikan dengan memperhatikan keuangan negara.
Proporsi penerimaan DBH Sawit:
a) Provinsi: 20% x (Basis 4%) = 0,8%
b) Kab/Kota Penghasil: 60% x (Basis 4%) = 2,4%
c) Kab/Kota yang berbatasan langsung dengan Penghasil: 20% x (Basis 4%)
= 0,8%
15) Formula Pembagian per daerah:
a) Alokasi formula sebesar 90%
1) Variabel Untuk Kab/Kota penghasil didasarkan pada:
 Luas lahan
 Produktivitas CPO
 Indikator lainnya yang ditetapkan oleh menteri
2) Variabel Untuk kab/kota penghasil yang berbatasan langsung:
 Batas wilayah
b) Alokasi kinerja sebesar 10% dengan indikator berupa:

 Perubahan tingkat kemiskinan;

 Rencana Aksi Daerah (RAD) Kelapa Sawit Berkelanjutan; dan/atau

 Indikator lainnya yang ditetapkan Menteri Keuangan.

Indikator akan menjadi dasar kementerian keuangan untuk perhitungan alokasi


DBH sawit per daerah.
16) Alokasi DBH Sawit:
 Penanganan eksternalitas negatif pada pemerintah daerah;
 Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan;
 Kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan (tertuang dalam
PMK).
17) DBH Sawit merupakan bagian pendapatan daerah yang digunakan untuk
mendanai kegiatan tertentu sesuai dengan kewenangan daerah dan/atau
prioritas nasional.
18) Pemerintah daerah perlu menyusun Rancangan Kegiatan dan Penganggaran
yang berisi rencana kegiatan apa saja yang akan dilakukan yang sumber
dananya berasal dari DBH sawit.
19) Kegiatan yang direncanakan dalam RKP mengacu kepada peraturan
perundang-undangan dan perlu dibahas dengan lembaga pemerintah terkait.
20) Pemerintah provinsi akan melakukan koordinasi dengan kabupaten/kota dalam
menyusun Rancangan Kegiatan dan Penganggaran (RKP) terkait DBH Sawit
untuk wilayahnya masing-masing.
21) Pemantauan dan evaluasi:
 Penyusunan RKP dilakukan T-1 sebelum pelaksanaan kegiatan yang
sumber pendanaannya dari DBH Sawit.
 Untuk pelaksanaan RKP 2023, Penyusunan RKP dilakukan pada tahun
2023.
 Setelah melaksanakan kegiatan yang dibiayai dari DBH Sawit, pemerintah
daerah menyampaikan laporan penggunaan DBH Sawit kepada
kementerian/lembaga terkait.
 Terkait penyusunan laporan penggunaan DBH Sawit akan dituangkan di
dalam PMK.
 Pemantauan dan evaluasi dilakukan oleh Kementerian Keuangan,
kementerian/lembaga terkait, dan provinsi (untuk kabupaten/kota di
wilayahnya).
22) Sumber data alokasi DBH Sawit (menggunakan data terupdate):
a) Alokasi Formula (90%)
 Data luas lahan diperoleh dari BPS;
 Data produktivitas CPO diperoleh dari Kementerian Pertanian;
 Data perbatasan wilayah diperoleh dari Kementerian Dalam Negeri
b) Alokasi Kinerja (10%)
 Data Rencana Aksi Daerah (RAD) Kelapa Sawit Berkelanjutan diperoleh
dari Kemenko Perekonomian, untuk daerah yang telah memiliki RAD
akan memperoleh poin untuk alokasi kinerja (untuk daerah penghasil
dan daerah Provinsi);
 Data Presentase Penduduk Miskin diperoleh dari BPS (untuk alokasi
semua daerah penerima DBH Sawit).
23) Pokok-pokok yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
a) Penganggaran, penggunaan, pengalokasian, penyaluran, dan pemantauan
dan evaluasi;
b) Rincian alokasi DBH Sawit menurut daerah provinsi/kabupaten/kota TA
2023;
c) Ketentuan peralihan mengenai pelaksanaan DBH Sawit TA 2023.
24) Pendanaan untuk pembangunan infrastruktur jalan pada pemerintah daerah
dapat dilakukan menggunakan DBH Sawit dan sumber dana lainnya dengan
konsep bersinergi.

Uraian Pelaksanaan Diskusi


1. Dra. Hj. Ismiati, M. Si. (Kepala Badan Pendapatan Daerah Prov. Kaltim)
Pertanyaan
- Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur telah menyampaikan surat dari Gubernur
kepada PT. KPC agar dapat merealisasikan keuntungan bersih IUPK dan PT. KPC
telah bersedia membayarkeuntungan bersih bagian pemerintah daerah sebesar
6%. Berkaitan dengan daerah penghasil, apabila terdapat sebuah perusahaan
yang site-nya berada pada lebih dari 1 wilayah dimana salah satu wilayahnya
lebih luas dari pada 1 wilayah lainnya tetapi produksinya lebih besar di daerah
yang wilayahnya lebih kecil bagaimanakah solusinya?

Hasil pembahasan Rancangan Peraturan Gubernur yang berkaitan dengan IUPK


bersama dengan Biro Hukum dan Kementerian Dalam Negeri, apabila terdapat
lebih dari 1 daerah kabupaten atau kota penghasil maka pembagian keuntungan
bersih sebesar 2,5% dilakukan secara proporsional. Di sisi lain, perusahaan
pemegang IUPK harus segera melakukan penyaluran kewajibannya dan tidak
diperbolehkan menahan keuntungan bersih terlalu lama, jangan sampai
mekanisme penyaluran yang terlalu panjang menghambat perusahaan.

- Apabila dilihat dari jumlah presentase DBH perkebunan sawit dimana pemerintah
provinsi mendapat bagian 20%, pemerintah kabupaten/kota penghasil mendapat
bagian 60%, dan kabupten/kota yang berbatasan langsung dengan penghasil
mendapat bagian 20%. Apakah bagi hasil sejumlah 20% untuk pemerintah
daerah yang berbatasan dengan daerah penghasil hanya untuk daerah yang
berbatasan saja atau ada bagian pemerataan dalam rangka penguatan fiskal
untuk pemerataan pada kabupaten/kota seluruhnya dalam 1 provinsi? Karena
apabila mengacu kepada PP Nomor 38 Tahun 2023, peraturan tersebut bertujuan
untuk penguatan fiskal daerah.
Jawaban

- Kabupaten kota penghasil mendapat bagian sebesar 2,5%, apabila satu badan
usaha berproduksi pada 3 kabupaten/kota penghasil, maka bagian daerah
penghasil 2,5% dibagi 3 sehingga tidak mengganggu bagian dari provinsi (1,5%)
dan kabupaten kota lainnya (2%)

Hal yang paling pentinh adalah ketika satu badan usaha memiliki wilayah lintas
(lebih dari 1), dimana satu wilayahnya luas dan satu wilayah lainnya kecil namun
produksinya lebih besar pada wilayah yang kecil, maka perhitungannya
dikembalikan kepada pemerintah provinsi untuk berkordinasi dengan pemerintah
kabupaten/kota.

Kalimantan Timur termasuk daerah provinsi yang lebih awal dalam pembahasan
dasar hukum bagi hasil keuntungan bersih IUPK.

- Pembagian DBH Sawit sesuai dengan peraturan yang telah ditentukan sesuai
dengan PP 35 Tahun 2023, dimana terdapat 3 kategori penerima DBH sawit yaitu:
1. Provinsi (20%)
2. Kabupaten/Kota Penghasil (60%)
3. Kab/Kota yang berbatasan langsung dengan penghasil (20%)

Dengan pertimbangan sebagai berikut:

1. DBH sawit digunakan untuk mengatasi dan memperbaiki infrastruktur jalan


yang membutuhkan dana cukup besar, hal ini menjadikan adanya alokasi
minimum DBH Sawit per daerah, dimana pada tahun 2023 alokasi
minimumnya sebesar Rp 1 Milyar per daerah untuk mengantisipasi kurang
efektifnya penggunaan DBH Sawit untuk pembangunan infrastruktur jalan.
2. Tidak ada pemerataan untuk pemerintah kabupaten/kota termasuk provinsi
dan hanya untuk daerah penghasil saja.
2. Ahmad Muzzakir (Kepala Dinas Perkebunan Prov. Kaltim)

Pertanyaan

Berkaitan dengan besaran DBH Sawit yang akan dialokasikan untuk pemerintah
daerah perlu dilakukan antisipasi karena sudah ditentukan untuk peruntukannya
yaitu perbaikan infrastruktur jalan sebesar minimal Rp 1 Milyar.

a. Terkait kebijakan alokasi DBH Sawit, pemerintah daerah menginginkan hasil dari
kelapa sawit seharusnya dikembalikan kepada petani sawit. Apakah kegiatan-
kegiatan yang pendanaannya bersumber dari DBH Sawit tidak akan tercampur
dengan APBD yang telah ditentukan?
b. Apakah kegiatan-kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan di
dalam Peraturan Menteri Keuangan untuk alokasi DBH Sawit kelak akan
mempertimbangakan prioritas-prioritas daerah yang telah ditentukan sesuai
dengan SIPD Kementerian Dalam Negeri?

Terkait dengan tugas dan fungsi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk
melakukan evaluasi, karena masih belum jelas peraturan dan turunannya,
harapannya di dalam Peraturan Menteri Keuangan beserta juknisnya dapat mengatur
tugas dan fungsi tersebut secara mendetail.

Jawaban

DBH Sawit diutamakan untuk pembangunan infrastruktur jalan dan kegiatan lain
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dituangkan di dalam Peraturan Menteri
Keuangan. Pada saat ini, Kementerian Keuangan sedang berkoordinasi dengan
kementerian/lembaga terkait tentang hal-hal apa saja yang sekiranya perlu
dituangkan pada Peraturan Menteri Keuangan tersebut, dimana salah satunya
adalah alokasi Dana Bagi Hasil Sawit untuk perkembangan industri sawit dan
kesejahteraan petani sawit di daerah. Penggunaan DBH Sawit untuk pembangunan
infrastruktur jalan dilakukan sesuai dengan kewenangan jalan pada pemerintah
daerah masing-masing.

a. Terdapat proses penyusunan RKP yang berisi recana pemerintah daerah dalam
pengalokasian DBH sawit, selanjutnya RKP akan dibahas pemerintah daerah
bersama kementerian/lembaga terkait dan dapat direvisi sebelum kegiatan dalam
RKP dilaksanakan. Adanya RKP dapat menjadi guidance pemerintah daerah
supaya pendanaan kegiatan-kegiatan pada pemerintah daerah tidak tercampur
dengan APBD dan lebih terarah penggunaannya.
b. Kementerian Keuangan akan berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri
untuk menyelaraskan alokasi DBH Sawit dengan nomenklatur kegiatan-kegiatan
prioritas pemerintah daerah pada SIPD. Alokasi DBH Sawit akan dipertimbangkan
seperti halnya Dana Bagi Hasil Cukai dan Hasil Tembakau serta Dana Reboisasi.

3. Heri Yulandi (Badan Pendapatan Daerah Kab. Kutai Barat)

Pertanyaan

Apabila pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam melakukaan pemutakhiran


data perusahaan untuk mendukung tindak lanjut penerimaan dari IUPK dan DBH
Sawit karena keterbatasan anggaran (belum mandiri secara fiskal) bagaimana
solusinya?

Jawaban

Apabila ditinjau secara national, masih jarang pemerintah daerah yang memiliki
kemandirian fiskal atau PAD sebesar 50% dalam struktur APBD dalam kurun waktu 5
tahun terakhir. Berkaitan dengan kemandarian fiskal pemerintah daerah khususnya
kabupaten/kota, opsen PKB dan BBNKB akan menjadi komponen penguatan
Pendapatan Asli Daerah kabupaten/kota. Gubernur telah menginstruksikan untuk
tidak meninggikan PKB, namun lebih memprioritaskan upaya agar masyarakat secara
keseluruhan dapat membayar pajak sehingga penerimaan dapat dioptimalkan.
Besaran PKB pada Raperda perpajakan Provinsi Kalimantan Timur adalah sebesar
1% dengan tujuan agar tidak membebani kabupaten/kota (mengingat plafon atas
PKB dalam UU HKPD maksimal sebesar 1,2%.)

Demikian Notulen ini dibuat untuk menjadi bahan kebijakan lebih lanjut.

Mengetahui, Notulen,
Kepala Bidang Penerimaan Daerah Kepala Subbidang Dana Bagi Hasil
Bukan Pajak Pajak dan Bukan Pajak

Maya Fatmini, S. Hut., M. Si. Hj. Juraidah Diany, S. Hut. M. Si.


NIP. 19680616 199503 2 006 NIP. 19780928 200801 2 022

Anda mungkin juga menyukai