Anda di halaman 1dari 4

“SOAP OPERA” Dardanella

Judul buku: Dardanella: Perintis Teater Indonesia Modern

Penulis: Jaap Erkelens

Penyunting: RBE Agung Nugroho

Tebal: xix + 500 halaman

Penerbit: Penerbit Buku Kompas

Tahun terbit: 2022

ISBN: 978-623-346-197-9

Catatan Redaks

Pada suatu masa, Hindia Belanda pernah melahirkan kelompok opera/tonil Melayu modern
bernama Dardanella. Perang Dunia I berlangsung pada 1914-1918, delapan tahun sesudahnya
berdirilah kelompok-kelompok sandiwara besar. Salah satunya adalah Dardanella the Malay
Opera. Kelompok ini didirikan Vladimir Klimanoff, yang berganti nama panggung menjadi
A Piedro. Ia seniman berdarah Rusia yang lahir di Penang (Malaysia).

Dardanella lahir di Sidoarjo pada 21 Juni 1926. Kelompok ini bertekad menyusul Miss
Riboet Orion, kelompok opera yang lebih dulu mengorbit. Dardanella memiliki bintang-
bintang panggung, seperti Miss Dja (1924-1989), Tan Tjeng Bok, Andjar Asmara, dan Ratna
Asmara. Sementara Miss Riboet Orion mengandalkan ketenaran Riboet Rawit sebagai penari,
penyanyi dan pelakon Fifi Young, serta Njoo Cheong Seng selaku penulis naskah dan
pengatur laku.

Julukan Dardanella the Malay Opera sebagai perintis teater Indonesia menjadi perdebatan
sejak masa pergerakan H Agus Salim. Dalam tulisannya di media, H Agus Salim keberatan
jika Dardanella mendapat stigma perintis. Alasannya, Miss Riboet Orion dan opera-opera
komedi untuk bangsawan sudah lebih dulu berkibar.
”Tapi sekali-kali tidaklah tooneel atau cabaret Dja’s Dardanella boleh dikatakan berurat
kepada tingkat-tingkat yang dulu itu, melainkan adalah ”kelahiran baru”, bukan ”penitisan”
daripada tingkat-tingkat yang dulu itu” (hlm 1).

Kelompok ini memangkas durasi panggungnya lebih efisien. Meminimalkan tarian dan
nyanyiannya di tengah pertunjukan. Kemudian mengambil tema kritik dalam kisahnya.

Bahwa Dardanella mengambil segmentasi berbeda dari tonil yang lain tak dapat dimungkiri.
Kelompok ini memangkas durasi panggungnya lebih efisien. Meminimalkan tarian dan
nyanyiannya di tengah pertunjukan. Kemudian mengambil tema kritik dalam kisahnya.
Sasarannya adalah para kolonial. Piedro sebagai jenderal sangat sadar, penonton Dardanella
bukan rakyat biasa. Orang-orang terpelajar mulai mengambil waktu untuk menyaksikan.
Maka, semiotika panggung pun digarap secara subtil. Hadirlah pemanggungan seperti Dr
Samsi, Si Bongkok, Haida, dan Tjang.

Awak panggungnya juga heterogen. Ada Melayu, peranakan Tionghoa, dan peranakan Eropa.

Buku setebal 500 halaman ini terdiri dari delapan bab ditambah catatan akhir dan lampiran.
Bisa dibilang cukup komplet karena Jaap Erkelens menuliskan kisah tersebut dari berbagai
sumber. Termasuk dari sudut pandang kompetitor, dalam hal ini Miss Riboet Orion.

Menariknya, buku ini ditulis dengan menjaga keberpihakan penulis terhadap Dardanella.
Sebagai seorang penulis sejarah, Jaap Arkelens (penulis Indonesia kelahiran Sumba Barat
tahun 1939) memburu data pendukung di luar Dardanella.

Sebagai seorang penulis sejarah, Jaap Arkelens (penulis Indonesia kelahiran Sumba Barat
tahun 1939) memburu data pendukung di luar Dardanella.

Halaman pengantar dimulai dengan cerita apa pengertian stambul serta siapa ”Bapak
Stambul” di Hindia Belanda. Mengutip buku A Th Manusama di harian Bataviaasch
Nieuwsblad (Buletin Batavia), disebut Auguste Mahieu (1865-1903) adalah ”Bapak
Stambul”. Otto Knaap pun menulis di harian Algemeen Handelsblad (Jurnal Perdagangan
Umum) pada tahun 1902 dengan ungkapan sama.

Namun, di harian Soerabaiasch (Surabaya) dan De Locomotief (Lokomotif), nama Yap Goan
Thaij disebut pengusaha peranakan Tionghoa pendana opera komedi pertama di Hindia
Belanda (hlm 2-3).

Masa redup stambul komedi di negeri ini berujung pada berdirinya sejumlah stambul opera,
Salah satunya Miss Riboet Orion (1925). Pada tahun 1926, kelompok besar lain, The Malay
of Dardanella, berdiri. Vladimir Klimanoff (A Piedro) mengasosiasikan dua kelompok opera
itu mencontohkan drama gaya baru.

”The real soap opera”

Realitas panggung kedua seteru itu saling berebut popularitas. Perang judul dan perang iklan
tak terelakkan. Miss Riboet Orion terlebih dahulu menangguk sukses. Dardanella tak ingin
kalah, mereka menampilkan sejumlah pembaruan. Di kelompok ini ada Miss Dewi Dja atau
Devi Dja (nama aslinya Misri atau Soetidjah) serta sutradara dan penulis naskah Andjar
Asmara. Perseteruan kedua kelompok itu kadang terkesan slapstick dan kasar. Ibarat opera
sabun, di luar panggung kedua kelompok tersebut bermain konflik secara bersambung.

Realitas panggung kedua seteru itu saling berebut popularitas. Perang judul dan perang iklan
tak terelakkan.

Miss Riboet Orion didukung oleh ketenaran Riboet Rawit selaku primadona dan sosok seperti
Tio Tik Djien, Fifi Young, dan Njoo Cheong Seng (penulis naskah). Masih didukung penuh
oleh Tio Tik Djien, suami Miss Riboet sendiri, sebagai pemimpin. Miss Riboet menampilkan
judul-judul seperti Gagak Solo, Juannita de Vega (karya Antoinette de Zema). Di kelompok
ini pula musisi Jack Lesmana kemudian bernama besar.

Di Batavia, keduanya berseteru berat. Bahkan Tio Tik Djien pernah mengajukan gugatan ke
Dardanella berkaitan dengan pemakaian nama Miss Riboet di kelompok pimpinan A Piedro.

Pada tahun 1934, habislah masa kebesaran Miss Riboet Orion. Hal ini ditandai dengan
keluarnya Fifi Young dan Njoo Cheong Seng yang bergabung dengan Dardanella. Kebesaran
kelompok ini ditandai dengan pembaruan format panggung. Dardanella sudah tak lagi
menerapkan komedi opera. Lakon yang dimainkan kini utuh tanpa musik atau lelucon.
Dardanella mengoleksi lakon masterpiece semacam Dr Samsi dan The Seikh of Arabia.

Mereka juga melakukan pertunjukan keliling ke sejumlah negara di Asia, Eropa, dan
Amerika. Itulah kebesaran Dardanella sebagai opera Melayu yang mendunia. Kelompok ini
bubar setelah keliling dunia tahun 1936. Beberapa pemainnya, seperti Fifi Young dan Tan
Tjeng Bok, beralih ke dunia layar lebar.

Dardanella menjadi kelompok opera Melayu yang malang melintang di Singapura, Malaysia,
India, Birma. Kemudian keliling Yunani, Belanda, Perancis, Italia, juga Los Angeles dan
Chicago.

Miss Dja

Namun, ketenaran Miss Dja sendiri tak termungkiri. Bersama Dardanella, mantan pemain
tonil kecil dari Jawa Timur ini mendunia. Ia tidak saja direkrut A Piedro sebagai pemain,
namun diperistri pula oleh sang pendiri.

Dardanella menjadi kelompok opera Melayu yang malang melintang di Singapura, Malaysia,
India, Birma. Kemudian keliling Yunani, Belanda, Perancis, Italia, juga Los Angeles dan
Chicago.

Tahun 1946, Miss Dewi Dja dan Piedro mulai ada masalah. Gedung pertunjukan sekaligus
tempat tinggal baru Dewi Dja, Sarong Room di Chicago, terbakar. Selain itu, A Piedro
ketahuan menyelingkuhi seorang perempuan bernama Dewi Wani. Dewi Dja sendiri punya
hubungan dengan aktor Amerika keturunan bangsa Indian dari Oklahoma bernama Acee Blue
Eagle. Hubungan Piedro dan Dewi Dja berakhir dengan perpisahan (hlm 254-255).

Itulah sandiwara di dalam sandiwara. Tahun 1951, Dewi Dja menikah dengan Alli Assan,
anggota rombongan tarinya selepas Dardanella. Dan Dewi Dja berpisah kembali dengan Alli
Assan yang belakangan diketahui gila judi pacuan kuda.
Ia tetap menetap di Los Angeles dan menjadi warga negara Amerika Serikat hingga masa
tuanya. Dewi Dja meninggal dan dimakamkan di The Pavlova of the Orient pada 19 Januari
1989. Di batu makam Dewi Dja tertulis: ”May you dance in God’s light forever” (Semoga
kau menari dalam cahaya Tuhan selamanya) (hlm 262-279).

Demikianlah hidup. Kelompok tater modern yang sangat terkenal sepanjang tiga zaman itu
menyimpan kisah buram. Dardanella tetap menjadi tonggak pembaruan industri tontonan
pascakolonial.

Anda mungkin juga menyukai