Anda di halaman 1dari 6

1.

Pattimura

Biografi
Pattimura lahir sebagai Thomas Matulessia pada 8
Juni 1783 di Saparua.[3][4] Orang tuanya adalah Frans
Matulessia dan Fransina Tilahoi, dan dia memiliki
seorang adik laki-laki bernama Yohanis. [5] Menurut
I.O. Nanulaitta, dikutip dari Historia.id, keluarga
Matulessia beragama Kristen Protestan. [6

Pemberontakan Ambon tahun 1817 Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Luhak
Agam, Pagaruyung, 1772 – wafat
dalam pengasingan dan
dimakamkan di Lotta, Pineleng, Minahasa, 6
November 1864) adalah salah
seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda dalam peperangan yang
dikenal dengan nama Perang Padri pada tahun 1803–
1838.[1] Tuanku Imam Bonjol diangkat
Benteng Duurstede, Saparua, Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan
SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973,
Ia ditunjuk sebagai Kapitan oleh rakyat Saparua
tanggal 6 November 1973.[2]
untuk memberontak melawan Belanda pada 14 Mei
1817.[3] Serangan dimulai pada tanggal 15, dengan
Perang Padri
Pattimura dan para letnannya Said Perintah,
Anthony Reebhok , Paulus Tiahahu dan putri
Tiahahu Martha Christina Tiahahu memimpin.[9] Pada
16 Mei 1817, mereka merebut Benteng
Duurstede dan membunuh 19 tentara Belanda,
Residen Johannes Rudolph van den Berg (yang baru
tiba dua bulan sebelumnya), istrinya, tiga anaknya
dan pengasuh mereka.[10][3][9] Satu-satunya Belanda
yang selamat adalah putra Van den Berg yang
berusia lima tahun, Jean Lubbert.[9]

Peninggalan Kapitan Pattimura Makam Tuanku Imam Bonjol di Pineleng, Minahasa

Tak dapat dipungkiri, Perang Padri meninggalkan


kenangan heroik sekaligus traumatis di ranah
Minangkabau. Selama sekitar 18 tahun pertama
perang itu (1803–1821) praktis yang berperang
adalah sesama
orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari


Benteng Duurstede, Saparua, Indonesia keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan
Pagaruyung untuk menerapkan dan
menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh
pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah
Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian
pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk
mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang
tidak sesuai dengan Islam (bid'ah).

Dalam beberapa perundingan tidak ada


2. Tuanku Imam Bonjol kata sepakat antara Kaum Padri (penamaan bagi
kaum ulama) dengan Kaum Adat. Seiring itu di Bendara Pangeran Harya Dipanegara (atau biasa
beberapa nagari dalam kerajaan dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro, 11
Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum November 1785 – 8 Januari 1855) adalah salah
Padri di bawah pimpinan Tuanku seorang pahlawan nasional Republik Indonesia, yang
Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa
dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan
Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa pemerintah Hindia Belanda.
melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubukjambi.
Perang Diponegoro (1825–1830)
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi
bekerja sama dengan pemerintah Hindia Perang Diponegoro atau Perang Jawa diawali dari
Belanda berperang melawan kaum keputusan dan tindakan Hindia Belanda yang
Padri dalam perjanjian yang ditandatangani memasang patok-patok di atas lahan milik
di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat Diponegoro di Desa Tegalrejo. Tindakan tersebut
hak akses dan penguasaan atas ditambah beberapa kelakuan Hindia Belanda yang
wilayah darek (pedalaman Minangkabau).[5] Perjanjian tidak menghargai adat istiadat setempat dan
itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan eksploitasi berlebihan terhadap rakyat dengan pajak
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam tinggi, membuat Pangeran Diponegoro semakin muak
Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu. hingga mencetuskan sikap perlawanan sang Pangeran.
[10]

TUANKU IMAM BONJOL, adapun peninggalannya


Di beberapa literatur yang ditulis oleh Hindia
sebagai berikut: Belanda, menurut mantan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Profesor Wardiman Djojonegoro,
terdapat pembelokan sejarah penyebab perlawanan
 Meriam Sutan Palembang. Meriam ini adalah senjata Pangeran Diponegoro karena sakit hati terhadap
yang dahulu digunakan Tuanku Imam Bonjol melawan pemerintahan Hindia Belanda dan keraton, yang
menolaknya menjadi raja. Padahal, perlawanan yang
penjajah. Meriam ini masih ada namun hampir dilakukan disebabkan sang pangeran ingin
terkubur dengan tanah. melepaskan penderitaan rakyat miskin dari sistem
pajak Hindia Belanda dan membebaskan istana dari
 Tongkat berisi pedang dan juga serpihan senapan. madat.
Senjata ini digunakan Imam Bonjol sewaktu perang

Paderi. Keris Kanjeng Kiai Nogo Siluman merupakan keris


 Al-Quran tulisan tangan asli dari isteri imam Bonjol. milik Pangeran Diponegoro yang dikisahkan sering
dilempar ke Laut Kidul, namun kembali lagi.
 Lesung untuk membuat mesiu. Setelah 189 tahun berada di tangan Belanda, keris
 Tugu kecil di atas Bukit Banteng yang berisi itu akhirnya dikembalikan ke tanah air pada Maret
2020 lalu.
ungkapan kekecewaan Imam Bonjol karena

masyarakat terpecah.

 Tambo yang ditulis langsung oleh anak Tuanku Imam

Bonjol.

3. Pangeran Diponegoro

4. Pangeran Antasari
dan persenjataan modern, akhirnya berhasil
mendesak terus pasukan Pangeran Antasari. Dan
akhirnya Pangeran Antasari memindahkan pusat
benteng pertahanannya di Muara Teweh.

Benteng Tundakan

Pangeran Antasari (lahir di Kayu Tangi, Kesultanan


Banjar, 1797[1][2] atau 1809[3][4][5][6] – meninggal di
Bayan Begok, Hindia Belanda, 11 Oktober 1862 pada
umur 53 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia.

Ia adalah Sultan Banjar.[7] Pada 14 Maret 1862, dia 5. Cut Nyak Dien
dinobatkan sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi
di Kesultanan Banjar (Sultan Banjar) dengan
menyandang gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul
Mukminin dihadapan para kepala suku Dayak dan
adipati (gubernur) penguasa wilayah Dusun
Atas, Kapuas dan Kahayan yaitu Tumenggung
Surapati/Tumenggung Yang Pati Jaya Raja.

Perlawanan terhadap Belanda

Cut Nyak Dhien (ejaan lama: Tjoet Nja'


Dhien, Lampadang, Kerajaan
Aceh, 1848 – Sumedang, Jawa Barat, 6
November 1908;[1] dimakamkan di Gunung Puyuh,
Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda
Lanting Kotamara semacam benteng terapung pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim
di sungai Barito dalam pertempuran dengan Kapal diserang, ia mengungsi, sementara suaminya Ibrahim
Lamnga bertempur melawan Belanda. Tewasnya
Celebes dekat pulau Kanamit, Barito Utara Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29
Juni 1878 kemudian menyeret Cut Nyak Dhien lebih
Perang Banjar pecah saat Pangeran Antasari dengan
jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.
300 prajuritnya menyerang tambang batu bara milik
Belanda di Pengaron tanggal 25 April 1859.
Perlawanan saat Perang Aceh
Selanjutnya peperangan demi peperangan
dikomandoi Pangeran Antasari di seluruh wilayah Pada tanggal 26
Kerajaan Banjar. Dengan dibantu para panglima dan Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Ace
pengikutnya yang setia, Pangeran Antasari h, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
menyerang pos-pos Belanda di Martapura, Hulu daratan Aceh dari kapal perang Citadel van
Sungai, Riam Kanan, Tanah Laut, Tabalong, sepanjang Antwerpen. Perang Aceh pun meletus. Pada perang
sungai Barito sampai ke Puruk Cahu.[18] pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin
oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah
Pertempuran yang berkecamuk makin sengit antara
bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan
pasukan Pangeran Antasari dengan pasukan Belanda,
Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim
berlangsung terus di berbagai medan. Pasukan
3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8
Belanda yang ditopang oleh bala bantuan dari Batavia
April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen
di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa
menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan
membakarnya. Kesultanan Aceh dapat
memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang
bertarung di garis depan kembali dengan sorak
kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak
pada April 1873.

Pada tahun 1874-1880, di bawah


pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI
Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873,
sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874.
Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi
bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada
tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya
bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia
Februari 1899) adalah pahlawan asal Aceh yang
tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat
berjuang dengan cara berpura-pura bekerja sama
Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan
dengan Belanda dan terkenal akan strategi perang
menghancurkan Belanda.[3]
gerilyanya. Ia melawan Belanda ketika telah
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.
Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak.
Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk
ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien
Perang Aceh
akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan
Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini meningkatkan Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar
moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh
Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya
dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut ia berjuang di kampungnya sendiri, kemudian
Gambang. dilanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih
Rumah Cut Nyak Dien muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai
keuchik gampong (kepala desa) di daerah
Daya Meulaboh.[2]

Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan


Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk
meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian
menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari
Panglima Sagi XXV Mukim.

Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut


Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia.
Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga
meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan
melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian
6. Teuku Umar
berjuang bersama melancarkan serangan terhadap
pos-pos Belanda

Insiden Kapal Nicero

Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero"


terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh
raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai
10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial
Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan
kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah
mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan
Belanda.
Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Abu Gagang sebagai salah-satu regalia Banjar untuk
Kapal "Nicero" merupakan pekerjaan yang berat mendukung keabsahan Hidayatullah sebagai penerus
sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga takhta Banjar.[22] Hidayatullah lalu mulai menghimpun
Inggris sendiri tidak dapat merebutnya kembali. kekuatan untuk bersiap melakukan serangan
Namun ia sanggup merebut kembali asal terhadap daerah-daerah yang dikuasai pemerintah
diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga kolonial seperti tambang batu bara. Pada 18
dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. April 1859 terjadi penyerangan terhadap tambang
batu bara Oranje-Nassau milik Hindia Belanda di
Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku
Pengaron, yang dipimpin oleh Pangeran Antasari,
Umar berangkat dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh
Pembekal Ali Akbar, dan Mantri Temeng Yuda
Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan
Panakawan atas persetujuan Hidayatulah.
beberapa panglimanya. [10]
Penyerangan ini menandai dimulainya Perang
Keris Teuku Umar Banjar yang akan berlangsung sampai tahun 1906.
[27]
Setelah serangan yang dilancarkan terhadap
tambang Oranje-Nassau, Hidayatullah lalu
menggunakan taktik gerilya untuk menghadapi
Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih
canggih. Di bawah kepemimpinan Antasari, pasukan
Banjar mampu menguasai seluruh Martapura pada
Mei 1859.[11] Sementara Hidayatullah sendiri
memilih Karang Intan sebagai basis pertahanannya
dalam menghadapi pasukan Belanda.

7. Pangeran Hidayatullah
Makam Pangeran Hidayatullah

Sultan Hidayatullah II, terlahir dengan nama Gusti


Andarun, dengan gelar mangkubumi Pangeran
8. Sisingamangaraja XII
Hidayatullah kemudian bergelar Sultan
Hidayatullah Halil Illah (lahir di Martapura, 1822 – Si Singamangaraja XII dengan nama
meninggal di Cianjur, Jawa Barat, 24 lengkap Patuan Bosar Sinambela gelar Ompu Pulo
November 1904 pada umur 82 tahun), adalah Batu (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah
pemimpin Kesultanan Banjar yang memerintah antara seorang raja di Negeri Toba dan pejuang yang
tahun 1859 sampai 1862.[2][3] Ia dikenal sebagai salah berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh
seorang tokoh pemimpin Perang Banjar melawan pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional
pemerintahan Hindia Belanda. Indonesia pada tanggal 9 November 1961
berdasarkan SK Presiden RI No 590/1961.

Semula, ia dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara,


Perang Banjar dimulai
lalu dipindahkan ke Soposurung, Balige, Toba pada
Langkah Hidayatullah untuk menggantikan Sultan tahun 1953
Adam sebagai sultan menjadi lebih terbuka pada
pada Februari 1859, ketika Nyai Ratu Kamala Sari
beserta puteri-puterinya menyerahkan surat kepada
Perang melawan Belanda
Pangeran Hidayat, bahwa kesultanan Banjar
diwariskan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Pada 1824 Perjanjian Belanda Inggris (Anglo-Dutch
Sultan Adam. Sultan Adam juga mewariskan Keris Treaty of 1824) memberikan seluruh wilayah Inggris
di Sumatra kepada Belanda. Hal ini membuka peluang
bagi Hindia Belanda untuk meng-aneksasi seluruh
wilayah yang belum dikuasai di Sumatra.[butuh rujukan]

Pada tahun 1873 Belanda melakukan invasi militer ke


Aceh (Perang Aceh, dilanjutkan dengan invasi ke
Tanah Batak pada 1878. Raja-raja huta Kristen
Batak menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah
Batak, sementara Raja Bakara, Si Singamangaraja
yang memiliki hubungan dekat dengan Kerajaan Aceh
menolak dan menyatakan perang.[butuh rujukan]

Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan


Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah
kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh
Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda
dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya
menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bakara
tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada
tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di
Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig
Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen
dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda
terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng
pertahanan[butuh rujukan]. Namun kehadiran tentara
kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja
XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang)
pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke
pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

Istana Raja Sisingamangaraja XII

Anda mungkin juga menyukai